• Tidak ada hasil yang ditemukan

I Made Cita Adnyana, Prof. Dr. Nengah Bawa Atmadja, M.A, Dr. I Made Pageh, M.Hum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "I Made Cita Adnyana, Prof. Dr. Nengah Bawa Atmadja, M.A, Dr. I Made Pageh, M.Hum"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

PURA PAJENENGAN DI DESA PAKRAMAN PANJI, BULELENG,

BALI (SEJARAH, STRUKTUR, FUNGSI PURA DAN

POTENSINYA SEBAGAI SUMBER BELAJAR

SEJARAH BERBENTUK RANCANGAN

BUKU SUPLEMEN DI SMA)

I Made Cita Adnyana, Prof. Dr. Nengah Bawa Atmadja, M.A, Dr. I Made Pageh, M.Hum

Jurusan Pendidikan Sejarah Universitas Pendidikan Ganesha

Singaraja, Indonesia

e-mail : {adnyanacita@yahoo.co.id, madepagehundiksha@mail.com, nengah_Bawa_atmadja@yahoo.co.id}@undiksha.ac.id

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk memecahkan masalah terkait dengan tujuan penelitian: (1) Sejarah Pura Pajenengan di Desa Pakraman Panji, Sukasada, Buleleng, Bali, (2) Struktur dari Pura Pajenengan di Desa Pakraman Panji, Sukasada, Buleleng, Bali, (3) Fungsi dari Pura Pajenengan di Desa Pakraman Panji, Sukasada, Buleleng, Bali, (4) Potensi dari Pura Pajenengan di Desa Pakraman Panji, Sukasada, Buleleng, Bali sebagai sumber belajar yang berbentuk rancangan buku suplemen. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif yang terdiri dari penentuan lokasi, penentuan informan, pengumpulan data (observasi, keabsahan data dan analisis data. Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa (1) Berdirinya Pura Pajenengan di Desa Pakraman Panji, Sukasada, Buleleng, Bali yang berawal dari sebuah puri yang lengkap dengan pemerajan dan pemereman raja Buleleng yang beranama Panji Sakti, putra dari Raja Dalem Segening, Gelgel, (2) Struktur Pura Pajenengan ini menggunakan konsep Tri Mandala yang terdiri dari Nista Mandala (Jaba Sisi), Madya Mandala (Jaba Tengah), dan Utama Mandala (Jeroan), (3) Fungsi Pura Pajenengan meliputi Fungsi Religius, Sosial, Budaya, Rekreasi, dan Pendidikan, (4) Potensi dari Pura Pajenengan sebagai sumber sumber belajar sejarah dapat di lihat dari segi Historis dan segi Peninggalan-peninggalan yang nantinya berbentuk sebuah buku sebagai materi tambahan dalam pembelajaran sejarah.

Kata Kunci : Sejarah, Pura Pajenengan, Sumber Belajar

Abstract

This research is aimed to solved the problems which is related to the research objectives: (1) the History of the Pajenengan Temple In the Pakraman Village of Panji, Sukasada, Buleleng, Bali, (2) the Structure of Pajenengan temple In the Pakaraman Village of Panji, Sukasada, Buleleng, Bali, (3) the Function of Pajenengan temple In the Pakraman Village of Panji, Sukasada, Buleleng, Bali, (4) the Potential of Pajenengan temple In the Pakraman Village of Panji, Sukasada, Buleleng, Bali as a source of learning in form of a draft book supplements. The method used in this research is a qualitative research method that consists of determination of location, determination of informants, data collection (observation, data validity and data analysis. From these results it can be seen that (1) the Establishment of Pajenengan temple in the Pakraman Village of Panji, Sukasada, Buleleng, Bali which originated from a castle that is complete with pemerajan and pemereman of the king of Buleleng named Panji Sakti, the son of King Dalem Segening, Gelgel, (2) the Structure of the Pajenengan temple using the concept of Tri Mandala, which consists of the Nista Mandala (Jaba Sisi), Madya Mandala (Jaba Tengah), and the Utama Mandala (Jeroan), (3) the Function of Pajenengan temple include the functions of Religious, Social, Cultural, Recreational, and Education, (4) the Potential of Pajenengan temple as a source of learning history can be viewed in terms of Historically and in terms of relics which later become a book as additional material in the teaching of history.

(2)

PENDAHULUAN

Pura adalah istilah untuk tempat ibadah Agama Hindu di Indonesia, khususnya di Bali. Oleh karena itu, muncullah sebutan untuk Bali sebagai

Pulau Seribu Pura (The Island of Thounsand Temples) (Wiana, 2007:

74). Pura dibangun begitu megah dengan tujuan sebagai curahan hati nurani umat Hindu dan sekaligus sebagai media untuk memusatkan pikiran dalam memuliakan “Ida Sang

Hyang Widhi Wasa” (Tuhan Yang

Maha Kuasa). Di Bali terdapat bangunan suci (pura) dengan nama dan fungsinya masing-masing. Selain itu, pura di masing-masing daerah juga mempunyai keunikan dan kekhasan hiasan puranya.

Di Kabupaten Buleleng yang ibukotanya Singaraja yang terletak di Bali Utara merupakan wilayah yang sangat bersejarah. Salah satunya yaitu dengan adanya Pura Pajenengan di Desa Pekraman Panji. Pura ini memiliki nilai historis yang sangat penting, karena Pura Pajenengan ini dulunya merupakan bekas Kerajaan Buleleng pada sekiar pertengahan abad ke-17. Adapun keistimewaan dari Pura Pajenengan yaitu pertama, jika dilihat dari sejarahnya, seperti dijelaskan di atas Pura Pajenengan merupakan dulunya bekas Kerajaan Buleleng yang rajanya bernama I Gusti Ngurah Panji atau sering disebut Panji Sakti. Pada saat Panji Sakti diangkat menjadi raja oleh rakyatnya, beliau membuat istana (puri) untuk tempat istirahatnya (pemereman) dan sekaligus dibuatkan tempat suci (merajan) yang sekarang menjadi Pura Pajenengan. Beliau diyakini wafat dengan cara moksa tempatnya di Pemerajan Panji (Pemereman) dengan menerapkan atau melaksakan ajaran yang sangat suci dengan melakukan “Yoga Samadi”

dan yang beliau kuasai yakni “Ajaran

Sang Hyang Kamahayanikan”. Ajaran

Tersebut merupakan ajaran

“Ciwa-Budha”.

Keistimewaan yang kedua,di

dalam Pura Pajenengan ini jika dilihat dari struktur pura-Nya sangat unik dan lain dari pura yang lain, pada bagian

utama mandala terdapat tempat suci

atau tempat pemujaan (merajan) Panji Sakti, sedangkan pada bagian madya

mandala terdapat tempat tidurnya atau pamereman Panji Sakti. Keistimewan

yang ketiga, selain banyaknya masyarakat yang sembahyang ke pura Pajenengan, ada juga para pejabat, baik bupati, maupun calon DPR yang sembahyang di Pura tersebut. Jadi Pura Pajenengan ini mempunyai keistimewaan yang unik dan memiliki nilai historis sangat penting dalam konteks sejarah Bali sebagai salah satu peninggalan Kerajaan Buleleng yang patut dilestarikan dan bisa dipakai sebagai sumber belajar sejarah yang efektif, baik itu dari peninggalan berupa tempat istirahatnya (pemereman) Raja Ranji Sakti dan peninggalan berupa benda-benda seperti keris, tombak, dan lain-lain sebagai bukti adanya bekas dari adanya Kerajaan Buleleng.

Dari keistimewaan ataupun keunikan yang ada dalam Pura Pajenengan tersebut, penulis mengaitkan pada kurikulum 2013 mata pelajaran sejarah di kelas X IPS SMA yang disesuaikan dengan materi silabus sejarah dan dituangkan ke dalam KI, KD, dan indicator didalam silabus sejarah.

Penelitian tentang kajian pura telah banyak dilakukan oleh para penulis baik itu dalam bentuk skripsi , seperti yang diteliti oleh Ni Wayan Yuliasih (2014) yang berjudul “Pura

(3)

Jagaraga, Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng (Latar Belakang Berdirinya dan Potensinya Sebagai Sumber Belajar Sejarah Lokal)”. Dalam

penelitian ini mengkaji tentang sejarah berdirinya pura, aspek-aspek yang dimiliki pura tersebut sebagai sumber belajar sejarah lokal, dan faktor yang menyebabkan SMA Wira Bhakti belum memamfaatkan Pura Dalem Segara Madhu sebagai sumber belajar sejarah lokal. Adapun metode yang digunakan dalam penelitiannya menggunakan metode penelitian kualitatif yaitu teknik penentuan informan, teknik pengumpulan data (observasi, wawancara, studi dokumen) dan analisis data. Hasil dari penelitian tersebut bahwa Pura Dalem Segara Madhu sebelumnya bernama “Jaya Pura” yang berfungsi sebagai

Pasraman. Akan tetapi, pada masa

Perang Jagaraga tahun 1849, pura ini dijadikan sebagai pusat pertahanan benteng dalam menghalau serangan Belanda. Namun, akibat kekalahan perang pada masa itu, pura ini sempat dihancurkan oleh Belanda dan dibangun kembali oleh masyarakat Buleleng pada tahun 1865 dengan nama “Segara Madhu”.

Pada penelitian ini, peneliti membatasi kajiannya tentang latar belakang didirikannya pura, bagaimanakah struktur dan fungsi pura, keunikan apa saja yang dimiliki Pura Pajenengan sehingga berpotensi sebagai bahan ajar yang berbentuk rancangan buku suplemen di SMA. Dari hal tersebut peneliti tertarik untuk meneliti tentang Pura Pajenengan dengan judul ” Pura Pajenengan di Desa Pakraman Panji, Buleleng, Bali (Sejarah, Struktur, Fungsi Pura dan Potensinya Sebagai Sumber Belajar Sejarah Berbentuk Rancangan Buku Suplemen di SMA)”.

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah yaitu:

1. Bagaimanakah latar belakang berdirinya Pura Pajenengan di Desa Panji, Kabupaten Buleleng, Bali? 2. Bagaimanakah struktur dan fungsi

Pura Pajenengan di Desa Panji, Kabupaten Buleleng, Bali?

3. Bagaimanakah potensi Pura Pajenengan di Desa Panji, Kabupaten Buleleng, Bali sebagai sumber belajar sejarah dalam bentuk rancangan buku suplemen di SMA?

Adapun tujuan dari penelitian yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui latar belakang berdirinya Pura Pajenengan di Desa Panji, Kabupaten Buleleng, Bali. 2. Untuk mengetahui struktur dan

fungsi Pura Pajenengan di Desa Panji, Kabupaten Buleleng, Bali. 3. Untuk mengetahui potensi Pura

Pajenengan di Desa Panji, Kabupaten Buleleng, Bali sebagai sumber belajar sejarah dalam bentuk rancangan buku suplemen di SMA.

Adapun tujuan dari penelitian yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Secara Teoretis

Penelitian ini dapat digunakan

sebagai sumbangan bagi

perkembangan ilmu khususnya ilmu sejarah dalam bidang pembelajaran sejarah lokal, mengenai latar belakang pendirian pura, struktur pura dan potensi yang dimiliki Pura Pajenengan dalam kaitannya sebagai sumber belajar sejarah berbentuk rancangan buku suplemen di SMA.

(4)

2. Secara Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkaitan, yaitu:

a. Siswa

Dapat memberikan pengalaman belajar secara nyata dengan cara menggali informasi sebanyak-banyaknya mengenai sejarah berdirinya Pura Pajenengan yang dulunya merupakan istana (puri) Panji Sakti yang dapat dijadikan sebagai sumber belajar sejarah berbentuk rancangan buku suplemen di SMA.

b. Guru

Dapat dijadikan sebagai alternatif pembelajaran sejarah yang lebih menarik dan mendorong guru untuk lebih meningkatkan kepedulian terhadap lingkungan di luar sekolah dengan memanfaatkan Pura Pajenengan sebagai sumber belajar sejarah berbentuk rancangan buku suplemen di SMA.

c. Masyarakat

Dapat digunakan sebagai bahan informasi dan pengetahuan bagi masyarakat, sehingga masyarakat mengetahui latar belakang pendirian pura dan struktur serta fungsi Pura Pajenengan dalam kaitannya sebagai sumber belajar sejarah berbentuk rancangan buku suplemen di SMA.

d. Pemerintah

Dapat dijadikan sebagai sumbangan ilmu dan memperkaya wawasan tentang latar belakang pendirian pura dan struktur serta fungsi Pura Pajenengan dalam kaitannya sebagai sumber belajar sejarah berbentuk rancangan buku suplemen di SMA.

e. Jurusan Pendidikan Sejarah

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan dalam

perkembangan materi perkuliahan mengenai latar belakang pendirian Pura Pajenengan dalam kaitannya sebagai sumber belajar sejarah berbentuk rancangan buku suplemen di SMA.

Istilah pura dengan pengertian sebagai tempat pemujaan bagi masyarakat Hindu khususnya di Bali, tampaknya berasal dari zaman yang tidak begitu tua. Pada awalnya istilah pura berasal dari kata Sanskerta yaitu “Pur” yang berarti kota atau benteng yang lambat laun berubah arti menjadi tempat pemujaan Sang Hyang Widhi. Sebelum dikenal kata pura dipergunakanlah kata Kahyangan atau

Hyang (Nyoka, 1990: 34).

Konsepsi masyarakat Hindu di Bali tentang alam semesta didasarkan atas pandangan bahwa alam semesta tersusun menjadi tiga bagian yang disebut Tri Loka yakni alam bawah

(bhur loka), alam tengah (bwah loka),

dan alam atas (swah loka). Azas itu tercermin pula pada struktur konsep tempat suci yang terdiri atas tiga halaman tengah dan jeroan yaitu dalam. Namun pada pura yang sederhana hanya memiliki dua halaman (Dwi Mandala), yakni jaba sisi dan jeroan (Nyoka, 1990: 64)

Dalam arti luas, sumber belajar (learning resources) segala macam sumber yang ada diluar diri seseorang

(peserta didik) dan yang

mempermudah terjadinya proses belajar (Ahmad Rohani (1997: 102). Mengacu pada konsepsi tentang pura yang bisa sebagai media pendidikan, maka secara khusus pura dapat difungsikan sebagai sumber belajar sejarah.

Pembagian sumber belajar antara lain meliputi:

(5)

1. Sumber belajar cetak: buku, majalah, ensiklopedi, brosur, koran, poster, dan denah.

2. Sumber belajar non cetak: film, slide, video, model, boneka, dan audio kaset.

3. Sumber belajar yang berupa fasilitas: auditorium, perpustakaan, ruang belajar, meja belajar individual (carrel), studio, lapangan dan olahraga.

4. Sumber belajar yang berupa kegiatan: wawancara, kerja kelompok, observasi, simulasi, dan permainan.

5. Sumber belajar yang berupa lingkungan : taman dan terminal (Ahmad Rohani (1997: 107-111).

Pengertian Buku suplemen yaitu uplemen menurut Kamus Bahasa Indonesia berarti sesuatu yang ditambahkan untuk melengkapi atau tambahan (Pusat Bahasa, 2008). Sebuah buku disebut buku suplemen bahan ajar (materi ajar) karena buku ini berisi materi yang ringkas, spesifik, hanya mencakup sebagian kecil sub materi dari sebuah kompetensi dasar. Buku ini sifatnya sebagai pendukung materi pokok, karena materi yang dikembangkan hanya spesifik pada sub pokok bahasan mata pelajaran (Susilo, 2014).

METODE PENELITIAN

Di dalam melakukan penelitian, metode penulisan merupakan cara atau jalan yang mengatur dan menentukan langkah penulis dalam menyelesaikan penulisannya. Untuk itu metode sangat penting dalam kaitannya dengan penulisan tentang “Pura Pajenengan Di Desa Pakraman Panji, Buleleng, Bali (Sejarah, Struktur, Fungsi Pura Dan Potensinya Sebagai Sumber Belajar Sejarah Berbentuk Rancangan Buku Suplemen Di Sma)”. Penulisan ini bertujuan untuk

memberikan gambaran secara jelas kepada pembaca, sehingga metode yang digunakan lebih bersifat deskriptif

kualitatif. Adapun langkah-langkah penulisan yang akan dilakukan, antara lain; (1) Teknik Penentuan Lokasi Penelitian, penelitian ini berlokasi di Desa Pakraman Panji, Kabupaten Buleleng, (2) Teknik Penentuan Informan, penentuan informan dalam penulisan ini adalah menggunakan teknik Purposive Sampling dan Snow

ball, (3) Teknik pengumpulan data

melalui observasi, wawancara, studi dokumen, (4) Teknik penjaminan keabsahan data, melalui triangulasi data dan triangulasi metode,

Studi Dokumen

Selain kedua teknik di atas penulis juga menggunakan teknik studi dokumen yaitu dengan menggunakan sumber-sumber kepustakaan yang relevan dengan hal-hal yang diteliti seperti monografi desa, foto-foto yang terkait dengan Pura Pajenengan dan dokumen-dokumen yang terkait dengan permasalahan yang diteliti, (5) Teknik analisis data.

HASIL DAN PEMBAHASAN Sejarah Pura Pajenengan

Secara historis Pura

Pajenengan dulunya merupakan puri (tempat istrihat) Panji Sakti yang dilengkapi dengan pamerajan,dan

setelah Panji Sakti wafat dengan cara

moksa , maka puri beliau dirubah

menjadi sebuah pura yang dinamakan Pura Pajenengan. Nama Pajenengan ini berarti “tempat penyimpanan benda-benda pusaka”, karena didalam pura tersebut yang dulu merupakan bekas

puri Panji Sakti, jadi banyak terdapat

benda-benda pusaka termasuk keris, tombak, dan benda pecah belah dari China. Sebelum dirubah menjadi pura

(6)

yang menerapakan konsep Tri Mandala yaitu jabe sisi, jabe tengah,

dan jeroan, puri ini hanya menerapkan konsep Dwi Mandala yaitu jabe sisi yang merupakan area yang tidak suci, dan jeroan merupakan area yang paling suci (pamerajan Panji Sakti). Pembuatan Pura Pajenengan ini disungsung oleh keluarga puri yang merasa menjadi pengikut Panji Sakti maupun keluarga beliau. (hasil wawancara 2 Pebruari 2017).

Berdasarkan wawancara yang penulis lakukan, bahwa pembuatan Pura Pajenengan ini dibuat karena berbagai alasan yaitu pertama, alasan historis atau monumen untuk

mengenang sejarah berupa

pamereman (tempat istirahat) Panji

Sakti, karena pameraman tersebut merupakan bukti keberadaan beliau, demikian dengan menyelamatkan jejak sejarah Panji Sakti. Kedua, adanya suatu kepercayaan Hindu Bali terkait dengan pemujaan roh leluhur yang menganggap bahwa masyarakat Desa Panji memuja leluhurnya yaitu Panji Sakti, Ki Pungakan Gendis, dan keluarga besar Ni Luh Pasek (dalam Babad Buleleng).

Ketiga, mengenang kebesaran

tokoh legendaris Panji Sakti yang dipercaya bahwa seorang raja yang sangat sakti dan bijaksana dari golongan anak selir (Dalem Segening dan ibunya Ni Luh Pasek, Gobleg (Babad Buleleng)). Keempat, sebagai pemersatu keluarga besar Panji Sakti yang tersebar kemana-mana, mengingat setelah peristiwa perang dan Dinasti Panji Sakti diganti oleh Karangasem. Kelima, alasan emosional agar dapat kesempatan memuja Panji Sakti, selain untuk memohon keselamatan juga untuk mendapatkan restu sebagai seorang

pemimpin layaknya seorang Panji Sakti.

Pura Pajenengan ini dirubah pada tahun 1967 yang dilakukan sedikit renovasi mengingat dulu pernah terjadi bencana alam, sehingga merusak pelinggih-pelinggih di area pura tersebut. Menurut hasil wawancara baik itu terhadap

pemangku maupun masyarakat di

Desa Panji bahwa Pura Pajenegan ini merupakan Pura Kahyangan yang dijadikan tempat persembahyangan oleh masyarakat baik itu di Buleleng sampai diluar kabupaten maupun provinsi, akan tetapi secara formal belum dikatakan sebagai Pura Kahyangan Jagat. Selain itu setiap hari suci baik itu hari purnama, ti lem maupun hari raya suci lainnya banyak masyarakat yang sembahyang terutama Bupati Buleleng yang rutin sembahyang atau ngaturang bhakti di Pura Pajenengan tersebut. kemudian banyak juga masyarakat yang sembhyang di Pura Pajenengan ini terutama di pamereman Panji Sakti untuk memohon doa restu dan

kesehatan. Upacara yang

dilaksanakan di Pura Pajenengan (odalan) yaitu pada Tumpek Landep, bahan upacaranya sama dengan halnya upacara biasa dan dibantu oleh masyarakat yang bergotong royong membuat bahan upacara yang akan digunakan.

Bersadarkan pernyataan diatas, penulis juga akan menjelaskan bagaimana Panji Sakti bisa berkuasi di Den Bukit (Buleleng) sampai membuat sebuah puri di Desa Panji dan bisa menjadi Raja Buleleng. Menurut beberapa sumber buku dapat diungkapkan bahwa dulu seorang sejarawan Belanda yang bernama P. De. Kat Angelino pernah berkunjung ke Bali khusunya di Desa Panji (Buleleng)

(7)

pada tahun 1918 mengadakan pengenaan pajak. setalah rapat selesai, kepala camat mengajak Kat Angelino melihat rumah Panji Sakti pada saat beliau masih hidup. Dalam rumah tersebut banyak terdapat peralatan rumah seperti piring yang digunakan sebagai tempat meletakkan sesajen, pot-pot tempat kemenyan, barang pecah belah dari porselin Cina, meja pemujaan, bahkan terdapat tombak-tombak tua dan payung-payung yang berdiri dan sudah usang. Seorang Raja Panji Sakti yang merupakan pahlawan yang banyak disanjung-sanjung ternyata pernah bertempat tinggal ditengah-tengah keluarga ibunya Ni Luh Pasek Panji. Gubug atau rumah kecil tersebut dirawat oleh keturunan keluarga

punggawa lama Buleleng, sekarang

masih diwakili oleh I Gusti Putu Jelantik yang terakhir menjadi anggota Majelis Pengadilan Kerta di Singaraja. Pada saat itu Gusti Putu Jelantik memberikan lontar kecil ke Ket Angelino yang berjudul Babad I Gusti Ngurah Panji Sakti ring Buleleng.

Jadi dapat dipastikan bahwa rumah kecil yang dikatakan oleh De Kat Angelino itu merupakan puri pertama Panji Sakti yang sekarang ubah menjadi Pura Pajenengan. Dalam babad tersebut diceritakan banyak cerita yang mewarnai lahirnya Panji Sakti bahkan perjalanan beliau dengan ibunya (Luh Pasek) dari Gelgel ke Den Bukit (buleleng) serta masa pemerintahan beliau menguasai Bali dan Blambangan (Kat Angelino, 1925).

Pada zaman naiknya Gusti Panji Sakti yang dibuktikan dengan gelar-gelar yang terus menanjak diberikan oleh sumber-sumber Belanda kepadanya. Pada tahun 1661 Panji Sakti bernama “salah satu pembesar bali” , tiga tahun kemudian Panji Sakti

menjadi “Raja yang disebut Gusti”, sedangkan dalam tahun 1663 Panji Sakti menjadi “kepala dari pantai Bali (seluruh pantai utara)”. Akhirnya pada tahun 1672 dalam sepucuk surat dari Gubernur Jendral Maetsuyker, Panji Sakti disebut sebagai Raja Buleleng di Pulau Bali yang paling berkuasa dari semua raja tetangganya dan terkenal diantara semua penduduk (De Graaf, 1949).

Peristiwa yang paling besar dalam kehiduapan Gusti Panji Sakti adalah suksesnya menaklukan Blambangan, hampir sepertujuh dari isi Babad Blahbatuh menguraikan tentang hal ini. Dalam uaraian ini timbul kesan yang seakan-akan penundukan Blambangan tidak berjalan dengan mudah. Strategi yang dilakukan untuk persiapan perang sangat matang, caranya dengan Panji Sakti mengajak pembesar-pembesar bawahannya untuk turut dalam menyebrang lautan yang penuh dengan resiko. Menurut J.L. Swellengrebel mungkin berdasarkan tradisi yang sangat tua dan masih dapat diingat sekarang dalam permainan anak-anak Bali. Hal ini menunjukkan besarnya perhatian yang diberikan pada persiapan untuk ekspedisi militer ini.

Dengan 1600 orang pilihan dan 12.00 lainnya (jumlah yang tidak masuk akal untuk Bali pada abad ke-17), kiranya Panji Sakti merampas Blambangan tanpa banyak kesukaran dan Raja Blambangan berhasil melarikan diri ke Solo. Setelah

beberapa tahun mengalami

kebahagiaan, delapan orang Bali yang luka-luka menyampaikan berita sedih kepada pahlawan Panji Sakti, bahwa raja lama dari Blambangan dengan bantuan Raja Solo kembali ke Blambangan dan membunuh semua orang Bali termasuk putra Panji Sakti.

(8)

Setelah menerima berita buruk tersebut, Panji Sakti segera berangkat dengan pasukan baru, tetapi mengalami kekalahan berat di Pantai Selatan, dimitoskan bahwa, berkat adanya seekor belut raksasa yang begitu baik hati menyebrangkan Panji Sakti ke Bali.

Kehormatan Panji Sakti ternoda itu menuntut diadakannya ekspedisi ketiga dan kali ini ia meminta bantuan sekutu-sekutunya yaitu Mengwi dan Tabanan. Penyerangan ini dilakukan dengan 80.000 orang sebelah Selatan, sedangkan Gusti Panji Sakti beserta Made Agung dari Mengwi menikam orang-orang Blambangan dari belakang (Timur). Raja Blambangan dan adiknya mengerahkan segenap tenanganya untuk melawan Tabanan, akan tetapi Blambangan mengalami kekalahan dalam pertempuran tersebut. Panji Sakti merasa sedih dan kecewa akan kematian anaknya, sehingga beliau tidak memberi ampun kepada siapapun. Selanjutkan ketiga sekutu yaitu Raja Panji Sakti, Mengwi dan Tabanan bertengkar mengenai pembagian hasil rampasan mereka. Buleleng dengan mengwi terjadi permasalahan dengan Tabanan yang tidak mendapat apa-apa. Sejak saat itulah timbul permusuhan antara Tabanan dengan Mengwi, jadi itulah uaraian dari Babad Blahbatuh (De Graaf, 1949).

Bersadarkan pendapat dari De Kat Angelino tentang penyerbuan terhadap Blambangan, di uaraikan dahulu memang terdapat suatu hubungan antara Blambangan dan Bali, hal itu dibuktikan ada yang mengatakan bahwa kedua negara tersebut dahulu pernah bersatu, akan tetapi tanjung menjadi terputus karena adanya bancana alam yaitu letusan gunung berapi. Pada umunya

hubungan tersebut bersifat persahabatan, tetapi suatu ekspedisi yang dikirim oleh Panji Sakti menunjukkan keadaan yang lain dalam kerajaan di Blambangan. Jadi dapat dipastikan bahwa mula-mula timbul suatu perubahan hubungan setelah Blambangan ditaklukan oleh Mataram yang merupakan kerajaan besar dari raja-raja Islam, sedangkan Bali tinggal satu-satunya tempat pelarian bagi orang-orang Hindu.

Sultan Agung merampas Blambangan pada tahun 1639 yang pada waktu itu diperintah oleh Tawangalun. Setalah penaklukan ini Raja Mataram malah menyerang Bali, sehingga Raja Bali agak menyesal tidak mengabungkan diri dengan kompeni, yang sewaktu itu seseorang utusan dikirim pada tahun 1633 ke Gelgel untuk meminta bantuan kesediannya turut memerangi Mataram. Akan tetapi tahun 1648 Blambangan lagi memisahkan diri dan menjadi negara bawahan dari Bali. Kemudian pada tahun 1659 Mataram ditaklukan lagi berkat bantuan besar dari Bali, jadi dapat di[astikan bahwa Panji Sakti baru setelah 1659 dapat

melakukan penyerbuan di

Blambangan.

Jadi dalam Panji Sakti memperluas kekuasaanya, semua tindakan perang Panji Sakti dapat di bagi menjadi tiga golongan yaitu

pertama, tindakan perang di Bali Utara

dengan menanam kekuasaan di Buleleng lalu memperluas ke Timur dan Barat, kedua, perjalanan perangnya ke Selatan, terjadi perlawanan dua kali dengan Gelgel dan yang lainnya melawan Jembrana, Badung, Gianyar dan Payangan,

ketiga, ekspedisi besar ke Blambangan

(9)

STRUKTUR DAN FUNGSI PURA PEJENENGAN

1. Struktur Pura Pajenengan

Secara horisontal struktur tempat suci pura tidak lain merupkan bentuk mini dari alam semesta berdasarkan konsep Tri Mandala yakni jabe sisi yaitu halaman depan, jabe tengah yaitu halaman tengah, dan jeroan yaitu halaman dalam. Pembagian tempat suci yang terdiri dari tiga halaman tersebut juga berlaku di Pura Pajenengan yang mana juga dibagi menjadi tiga halaman yakni Nista Mandala (Jaba Sisi) merupakan mandala yang posisinya tidak suci. 2. Fungsi Pura Pajenengan

a. Fungsi Religius

Berdasarkan fungsi religius, maka Pura Pajenengan berfungsi sebagai tempat persembahyangan bagi umat Hindu khusunya bagi masyarakat Desa Panji dan sekitarnya.

b. Fungsi Rekreasi

Sarana hiburan bisa diperoleh dengan berkunjung ke Pura Pajenengan, atau bersembahyang ke pura tersebut atau lebih di kenal dengan istilah Tirta

Yatra, yang dapat menyegarkan badan

maupun pikiran umat dari rutinitas sehari-hari baik.

c. Fungsi Pendidikan

Pura Pajenengan yang merupakan tempat proses pembinaan dilakukan dalam bentuk Dharma Wacana bahkan pada proses Ngayah di pura sebenarnya sudah berlangusng proses pembelajaran. Selain itu, lembaga formal seperti sekolah juga bisa memamfaatkan pura untuk proses pembelajaran seperti mengadakan karya wisata atau Tirta Yatra ke suatu pura.

d. Fungsi Sosial

Pura Pajenengan terdapat bentuk integrasi sosial yang dilihat dari berbagai kegiatan seperti gotong royong (ngaturang Ngayah) ketika akan mempersiapkan upacara piodalan. Munculnya suatu kerja sama dan rasa solidaritas.

e. Fungsi Budaya

Pura dalam fungsi budaya bisa dilihat dari salah satu pengembangan kebudayaan karena biasanya di pura terutama pada saat pujawali akan dipentaskan berbagai kesenian yang berlangsung pada saat upacara atau piodalan. Keberadaan pura dengan seni budaya memiliki kaitan yang erat, sebab anatara pura dan seni budaya saling melengkapi. Jika ada suatu

Piodalan di pura, maka wajib menampilkan berbagai cabang seni yang terdiri dari seni suara (Kidung

Tabuh/Gong), seni gerak atau tari (Tari Wali, Tari Babali, Tari Bali-Balihan).

Potensi yang dimiliki oleh Pura Pajenengan Sebagai Sumber Belajar Sejarah Berbentuk Rancangan Buku Suplemen di SMA

1. Segi Historis Pura Pajenengan Pura Pajenengan ini dulunya merupakan Puri (istana) Panji Sakti yang dilengkapi dengan tempat istirahat (pemereman) Beliau. Secara historis Pura Pajenengan dulunya merupakan puri (tempat istrihat) Panji Sakti yang dilengkapi dengan

pamerajan,dan setelah Panji Sakti

wafat dengan cara moksa , maka puri beliau dirubah menjadi sebuah pura yang dinamakan Pura Pajenengan. Nama Pajenengan ini berarti “tempat penyimpanan benda-benda pusaka”, karena didalam pura tersebut yang dulu merupakan bekas puri Panji Sakti,

(10)

jadi banyak terdapat benda-benda pusaka termasuk keris, tombak, dan benda pecah belah dari China. Sebelum dirubah menjadi pura yang menerapakan konsep Tri Mandala yaitu jabe sisi, jabe tengah, dan jeroan,

puri ini hanya menerapkan konsep Dwi Mandala yaitu jabe sisi yang merupakan area yang tidak suci, dan

jeroan merupakan area yang paling

suci (pamerajan Panji Sakti). Pembuatan Pura Pajenengan ini disungsung oleh keluarga puri yang merasa menjadi pengikut Panji Sakti maupun keluarga beliau. (hasil wawancara 2 Pebruari 2017).

Berdasarkan wawancara yang penulis lakukan, bahwa pembuatan Pura Pajenengan ini dibuat karena berbagai alasan yaitu pertama, alasan historis atau monumen untuk

mengenang sejarah berupa

pamereman (tempat istirahat) Panji

Sakti, karena pameraman tersebut merupakan bukti keberadaan beliau, demikian dengan menyelamatkan jejak sejarah Panji Sakti. Kedua, adanya suatu kepercayaan Hindu Bali terkait dengan pemujaan roh leluhur yang menganggap bahwa masyarakat Desa Panji memuja leluhurnya yaitu Panji Sakti, Ki Pungakan Gendis, dan keluarga besar Ni Luh Pasek (dalam Babad Buleleng).

Ketiga, mengenang kebesaran

tokoh legendaris Panji Sakti yang dipercaya bahwa seorang raja yang sangat sakti dan bijaksana dari golongan anak selir (Dalem Segening dan ibunya Ni Luh Pasek, Gobleg (Babad Buleleng)). Keempat, sebagai pemersatu keluarga besar Panji Sakti yang tersebar kemana-mana, mengingat setelah peristiwa perang dan Dinasti Panji Sakti diganti oleh Karangasem. Kelima, alasan emosional agar dapat kesempatan

memuja Panji Sakti, selain untuk memohon keselamatan juga untuk mendapatkan restu sebagai seorang pemimpin layaknya seorang Panji Sakti.

Pura Pajenengan ini dirubah pada tahun 1967 yang dilakukan sedikit renovasi mengingat dulu pernah terjadi bencana alam, sehingga merusak pelinggih-pelinggih di area pura tersebut. Menurut hasil wawancara baik itu terhadap

pemangku maupun masyarakat di

Desa Panji bahwa Pura Pajenegan ini merupakan Pura Kahyangan yang dijadikan tempat persembahyangan oleh masyarakat baik itu di Buleleng sampai diluar kabupaten maupun provinsi, akan tetapi secara formal belum dikatakan sebagai Pura Kahyangan Jagat. Selain itu setiap hari suci baik itu hari purnama, ti lem maupun hari raya suci lainnya banyak masyarakat yang sembahyang terutama Bupati Buleleng yang rutin sembahyang atau ngaturang bhakti di Pura Pajenengan tersebut. kemudian banyak juga masyarakat yang sembhyang di Pura Pajenengan ini terutama di pamereman Panji Sakti untuk memohon doa restu dan

kesehatan. Upacara yang

dilaksanakan di Pura Pajenengan (odalan) yaitu pada Tumpek Landep, bahan upacaranya sama dengan halnya upacara biasa dan dibantu oleh masyarakat yang bergotong royong membuat bahan upacara yang akan digunakan.

Segi Peninggalan (Bangunan dan Benda)

Pura Pajenengan memiliki nilai historis yang tinggi, selain dilihat dari segi historis bisa juga dilihat dari segi peninggalan yang ditemukan di pura tersebut. adapun

(11)

peninggalan-peninggalan yang ditemukan sperti tempat istirahat (pemereman) Panji Sakti yang berada di madya mandala , dan terdapat juga benda-benda peninggalan, mengingat dulu Panji Sakti dapat menolong saudagar Cina di Pantai Penimbangan, yaitu berupa peninggalan piring-piring, mangkok yang berasal dari China serta keris dan tombak.

Pemanfaatan dari dua segi aspek peninggalan-peninggalan yang dimiliki oleh Pura Pajenengan sebagai sumber belajar sejarah yang berbentuk rancangan buku suplemen yang merupakan buku suplemen (tambahan) bahan ajar (materi ajar) yang berisi materi yang ringkas, spesifik, hanya mencakup sebagian kecil sub materi dari sebuah kompetensi dasar.

SIMPULAN

Berdirinya Pura Pajenengan sangat erat kaitannya dengan kebaraadan Raja Buleleng yang bernama Panji Sakti. Pura Pajenengan ini dulunya merupakan Puri (istana) Panji Sakti yang meruapakan bekas Kerajaan Buleleng sekitar pertengahan abad ke 17, yang dilengkapi dengan tempat istirahat (pemereman) Beliau. Kemudian, setelah Panji Sakti wafat dengan cara moksa pada tahun 1704 Masehi, Puri ini di rubah menjadi pura yang didirikan pada sekitar tahun 1967 Masehi dengan melakukan perubahan renovasi sedikit, dan nama puranya yaitu Pura Pajenengan. Struktur Pura Pajenengan meliputi : jabe sisi, jabe

tengah, dan jeroan. Adapun fungsi

Pura Pajenengan yaitu fungsi sosial, religius, pendidikan, rekreasi, dan sosial. Pura Pajenengan banyak terdapat potensi yang bisa diambil untuk sumber belajar sejarah yang nantinya benbentuk rancangan buku suplemen seperti dari segi historis pura

tersebut dan benda-benda peninggalan yang ada dalam Pura Pajenengan. SARAN

Berdasarkan penelitian di atas, maka dapat disampaikan beberapa saran, yakni Masyarakat Desa Pakraman Panji hendaknya terus menjaga dan melestarikan kesucian Pura Pajenengan agar keberadaannya tetap terpelihara dan terjaga kesucian serta kelestariannya. Kepada para guru atau pengajar lainnya, diharapkan Pura Pajenengan dapat difungsikan sebagai salah satu sumber belajar bagi siswa,Pemerintah Kabupaten Buleleng hendaknya agar ikut memelihara dan menjaga kesucian serta kelestariaan Pura Pajenengan sebagai bangunan sejarah dan juga aset budaya spiritual yang tidak ternilai harganya bagi keberlangsungan umat Hindu di Bali. Penelitian di Pura Pajenengan masih banyak hal yang menarik yang belum diteliti karena keterbatasan peneliti, sehingga diharapkan peneliti lain dapat meneliti potensi-potensi lain dari Pura Pajenengan.

DAFTAR PUSTAKA

Angelino, P. De Kat. 1925. “Gusti

Panji Sakti”, dalam Djawa

V. hal. 326-341

Dwipayana, Anak Agung Ngurah. 2013. Babad Raja Anglurah

Panji Sakti Pendiri Kerajaan Den Bukit-Buleleng.

Surabaya. PARAMITA

Graaf, H.J. De 1949. “Gusti Pandji

Sakti Vorst van Boeleleng”,

dalam TBG. Deel LXXXII- Aflevering I / Koningsplein W.12- Batavia-C

Nyoka. 1990. Sejarah Bali. Denpasar: Toko Buku Ria.

Nasution. 2008. Metode Penelitian

(12)

Bandung: PT. Tarsito Bandung.

Rohani, Ahmad. 1997. Media Instruksional Edukatif. Jakarta:

PT Rineka Cipta.

Simpen, I Wayan. 1989. Babad

Kerajaan Buleleng. Denpasar:

Cempaka

Susilo, Muhammad Joko. 2014. “Analisis Potensi Materi Ajar

Biologi SMP Berbasis pada Potensi Lokal dari Area

Sungai Gajah Wong

Kabupaten Bantul”.

Bioedukatika, Volume 2, No. I (hlm 1-9)

Wiana, I Ketut. 2007. Tri Hita Karana

Menurut Konsep Bali.

Referensi

Dokumen terkait

Nowadays the development of Information and Technology (IT) is amazing. Many human activities were done by computer, thus do in educational works. So, school in

Mengacu pada berbagai pengertian dan definisi tentang pendidikan dan karakter secara sederhana dapat diartikan bahwa pendidikan karakter adalah upaya sadar yang

Penelitian yang dilakukan oleh Syaikhul Falah (2007) menyatakan bahwa Hasil penelitian menemukan bahwa budaya etis organisasi berpengaruh terhadap idealisme akan tetapi

Hal itu berarti bahwa di satu sisi ada agen yang melakukan praktik sosial dalam konteks tertentu, dan di sisi lainnya ada aturan dan sumber daya yang memediasi praktik sosial

Peranan guru dalam strategi pembelajaran ini tidak berkurang, meskipun aktivitas pembelajaran lebih banyak pada siswa. Disini guru tidak berperan sebagai

Dua atau lebih dari petanda berikut ini yang terjadi segera setelah terpapar serupa alergen pada penderita beberapa menit sampai jam: a.Keterlibatan kulit-jaringan mukosa urtikaria

Penggunaan/ penutupan lahan hutan mangrove sekunder, hutan rawa primer, dan hutan rawa sekunder di Kabupaten Kubu Raya secara konsisten menurun, sedangkan

Semen Gresik (Persero) berdasarkan Akta Perseroan Terbatas No. Siregar gelar Mangaradja Namora, SH, notaris di Jakarta, yang telah mendapat persetujuan dari