Putu Sutawijaya (38) tengah berpameran tunggal dalam besar di Galeri Nasional Jakarta sekarang.
Dengan pameran "Legacy of Sagacity" di man a di bawahnya "the case of Putu Sutawijaya", Putu
memang sebuah kasus (case). la bisa
kasus mengenai posisi seniman, di tengah
sengkarut pemahaman orang mengenai apa yang dlsebut seni "kontemporer".
OLEH BRE REDANA & ILHAM KHOIRI
ontemporer"-kah Putu? Sejak semula, justru istilah
. lingkaran pewacana-an ypewacana-ang kemudipewacana-an melahirkpewacana-an
"1a~lisaS\~ .terhadap karya-karya seruman ltu yang meresahkan Putu. Dalam bahasanya sendiri ia menyebut dinamika wacana y~g berkembang tadi sebagai '
'pres-sure".
"Ada pressure dari wacana-wa-ca .... a yang ~erdas yang disam-palkan para mtelektual sem rupa saat itu," kata Putu, menggam-barkan situasi sekitar tahun
2000, ketika Putu dan teman-t
e-m:m
seangkatannya dari Ball mu-lw mencoba berkiprah di Yogya, tempat mereka berkuliah. Te-man-teman seangkatan,sekali-gus teman-teman dekat Putu itu bisa disebut antara lain Made
dan Pande Ketut Ta-~ "Saat itu ada kategori untuk sem rupa komersial yang dida-lang; oleh anak-anak Bali,
isti-gorengan .... ltu yang me-saya untuk membuk-tiIum bahwa saya bukan dalam
itu."
Ada sesuatu yang mendesak untuk diungkapkan: tidak melalui ajang perdebatan, melainkan
da-lam determinasi untuk berkarya. "Kita buktikan saja, siapa yang
bisa bertahan, survive."
Duma tradisi yang terus hidup dalam diri anak Bali seperti ini
meluap-luap hendak meletus ke-luar. Pada Putu ada sebuah ira-ma-suatu irama gerak-dalam hal ini adalah tari kuno
Sang-hyang. Dari getaran gerak tari yang bersifat mistik itulah Putu '
meniI11ba inspirasi, menyerahkan diri dalam irama gerak, mem-bawanya menyapu kanvas d e-ngan bentuk-bentuk tubuh
te-lanjang yang
Se-lain lewat lukisan, ge-rak Sanghyang juga ia alirkan
lewat jari-jari, ketika men e-, kuk-nekuk lempengan logam dan
kawat, membentuk patung-pa-yang dalam pameran yang
Galeri Canna ini
ia pl\iang sebagai karya instalasi. "Tubuh-tubuh yang muncul dalam lukisan saya itu hanya idi-om saja untuk menyampaikan
irama gerak ke publik. Namun. k1aim di luar, tubuh itu untuk
... " desahnya. Media ~ N\.E.~
.
Tanggel ~~ tJ'o I ~%. Hlm/klm l o.... _• •
••
••
Lagi-Iagi, wacana bergerak de -ngan prasangkanya sendiri dan kebebasannya sendiri. Waca-na-yang umumnya diimpor dari
Bara~ mengikuti jejak kaum Ori-entalis-nyatanya memang tidak tergempur.~gitu saja dengan
gu-gatan pemikiran seperti dari
EeI-ward s:nd, ~tuk memerdekakan manusla di planet ini agar tak terdefinisikan semata-mata oleh
B~t. Pu.tu barangkall hanya satu dan . seruman, yang merasakan, bagwmana wacana, ia sebut "bu-kannya mencerdaskan, tapi ma-lah mendiskreditkan"
" .
Ny?man Masriadi tennasuk
yang diserang saat itu," kata Putu menyebut temannya, perupa
~ ~ya menjadi karya
pa-ling diburu di balai lelang
se-karang. "Tapi, justru itu
membuat kita ingin . bertahyangan, .. lanjutnya.
MelMndang kasus paw
Kita ~ pada
berbeda. kalau pada
kasus seperti di ini Ta
ruhlah hubungan antara'
• Nama: Putu Sutawijaya
• l.ahir: Angseri, Tabanan, Bali,
27 November 1970
• Istri: Vi Mee Yel (Jenl), asal Malaysia
• AnaIc: Putu Zheng Kang Vijaya (7
tahun); Luh Made Zhen Xin Vijaya (2 tahun)
• Pendidikan:
- 1987-1991 Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR),
Denpasar, Bali
- 1991-1998 Seni Lukis Institut Seni Indonesia (151) Yogyakarta
• Artist Residencies/Workshop: - 2001 Der Kulturen Museum,
Basel, Swisszerland
- 2006 Valentine Willie Fine Art
and Gudang, Kuala Lumpur, Ma-laysia
- 2007 Valentine Willie Fine Art and Patisatu Studio, Kuala
Lumpur
sebuah desa di Tabanan, meng-ikuti anjuran guru yang melihat bakatnya, Putu meIanjutkan se-kolah di Sese-kolah Menengah Seni Rupa (SMSR) di Batu Bulan, Den-pasar.
Dia membuat pengakuan se-perti ini: "Saya kenal pasar ketika sekolah di SMSR" Dengan ber-semangat ia menceritakan, ba-gaimana dia ngacung-istilah di
Bali untuk menggambarkan ke-giatan mengasong. Lukisan
kar-yanya ia asong ke Pasar Suka-wati-pasar barang-barang kera-jinan terkenal di Bali. "Harga lu-Jeisan pertama Rp 3.500. Itu Iu-kisan Ball yang keci!," ceritanya
dagangannya "Di biasa kami sekoIah
sam-bil jualan Kami biasa mandiri."
Tempat mengasong meningkat dari waktu ke waktu. Pada per-kembangannya, ia bisa menjual
di toko-toko di kawasan
Kuta. harga lebih mahal, yakni Rp 10.000. Katanya, "Itu
saya Iakoni sampai kelas III SM-SR" Medio • • Tong9Ol • • Hlm/klm •
Setelah itu ada kesadaran, ma-sak hanya akan jadi tukang
gam-bar saja. la mendapat pengeta-huan tentang Yogyakarta berikut kerja kesenian, seperti dijalani seniman-seniman Bali semacam Nyoman Gunarsa dan Made Wi-anta Setamat SMSR, berangkat-lah Putu ke Yogya
"Saya berangkat bersama Ma-de Sumadiyasa dan PanMa-de Ketut Taman. Bertiga kuliah di Jurusan Seni Lukis ISI (Institut Seni In-donesia). Situasi saat itu menarik. Tahun 1991 ada euforia
perfor-mance arts. Muncul tren baru
dari Dadaisme. Saat itu SUITe-alisme juga tengah menguat di Yogya Kami kegencet. Latar
be-lakang kami kan seni ekspresif, seperti Budhiana, Djima, dan Erawan," kata Putu menyebut ti-ga tokoh yang merupakan ang-katan di atasnya, yakni Made
Budhiana, Made Djirlla, dan Nyo-man Erawan. Dengan gaya eks-presifnya, di Yogya mereka di-olok-olok sebagai "jebret art", yang konotasinya lebih kurang: "jebret-jebret" lukisan jadi dan langsung laku. "Itu lukisan ab-strak-ekspresionisme, yang seka-rang muncul kembali di lelang.
.
. .
.
.
"GeJalanya mmp-nunp .
Pulang ke Bali setiap libur se-mester, tak lupa Putu menen~eng karya "Saya langganan ~en-ga leri keci!. Lukisan saya Jual Rp
da-•
pat Rp 2 juta, kuliah empat semester. Untuk SPP Rp 90.000,
buat kos Rp 100.000, selebihnya untuk hidup."
Tahun 1992, pada pameran Dewata Indonesia (SDI)
di senilllan Nyoman
Gu-na. sa, Putu terjual Rp 2,5
juta. "Itu sudah luar biasa untuk ul(1lJ'3n saya yang masih semester
IV," kenangnya.
latar beJakang seperti itu, apakah Anda akan menga-takan: ooh, seniman ini sudah
. . sejak ingusan ... (itu kalau Anda memakai kaca-mata Barat, yang mencurigai se-gala hal pada masyarakat mu-takhir sudah teI makan proses ko-modiftkasi). Atau sebalikllya, ka-lau mencoba memahami
kacamata tradisi Bali,
berkata: dia lahir
se-bagai
seniman!Menyadari adanya ruang yang melulu menyalah-pahami krida seniman, maka Putu pun mencoba membikin ruang
sen-diri
.
ruang alternatif."Ka-mi
tak mun . terakomodasi oleh seni rupa dalam wilayah• •
Ton99Ol
• •Hlm/klm
• •yang maaf sok cerdas tadi. Ma-ka, ka mi bangun ruang sendiri untuk
survive."
Dengan dukungan istrinya, Vi Mee Yei atau biasa dipanggil Jeni desainer tekstil asal Ma-laysia mereka membell tanah seluas 500 meter persegi di Ni-tiprayan, Bantul, sekitar tujuh ki-lometer dari pusat Kota Yogya-karta. "Kata Jeni, kalllu punya dua pilihan. Kalau mau eksklusif, bell saja nnuah di penllnahan. Kita muncul saat tertentu saja, tanpa sosialisasi. Pilihan lain, kita tinggal di luar sarnbil membuat ruang publik. Oke, aku pilih ting-gal di ruang publik," kata Putu menceritakan percakapan de-ngan istrinya, yang memang ha-rus disebut punya peranan di balik kiprah kesenian Putu.
Di situ, lahirlah Sangkring Art Space, yang mulai dibuka untuk
publik
tahun
2007. Berbagai ke-giatan kesenian, dari pameran, pementasan teater, sarnpai pem-buatan publikasi, dilakukan di si-ni. San . g Art Space yangme-rupakan ban masif
berlan-tai
tiga itu boleh dikata ruang publik yang terbuka 24 jam. Di depannya, di sebuah lahankosong, did' . semacam kedai untuk nongkrong, dengan kom-por dan peralatan-peralatan da-pur semaca
m
cerek dan gelas, di mana orang bebas membuat teh dan kopi sendiri. Kedai ini ter-bllka, tak berdinding, semua orang bebas berseliweran."Biaya dari dana tabungan pri-badi. Ada juga biaya operasional dari a yang laku. Di Yogya kita bisa bikin kegiatan seni se-murah-murahnya. Jeni mengon-trol administrasi dan keuangan. Kalau di musik, Sangkring itu masuk wilayah indies."
Apakah dengan kiprahnya se-karang, termasuk pembangunan
ruang alternatif San . g Art Space, Putu sebagai seniman
me-rasa makin terpahami?
"Tidak juga .. " jawabnya "Ma-lah sekarang makin dicurigai. Pe-merhati, biarkanlah memerhati-kan apa yang jadi perkembangan. Orientasi kita sederhana, melukis
luki " ya me
s ...
Pada titik itu, Putu Sutawijaya sebenarnya telah memosisikan diri pada jalan hidup dari se-seorang yang dilahirkan sebagai seniman: danna seorang senilllan hanyalah berkarya!
Medio
Tong9Ol :
Hlm/klm •
•
Timur Media • • Tanggal • • Hlm/klm • • •
REINKARNASI
•
a]l
I
utu Sutawijaya menikahi Vi Mee Yei tanggal28 Desem-ber 2000. Vi yang biasa di-panggil Jeni adalah mahasiswa desain tekstil Seni Kriya ISI Yog-yakarta, masuk tahun 1994, be-berapa tahun di bawah Putu.
Pada masa kuliah itu, suatu saat Putu Sutawijaya, Pande Ketut Ta-man, dan Made Sumadiyasa
sarna-sama naik bus Jatayu dari Yogya menuju Ball. Di dalam bus,
mereka mendapati ada cewek du-duk sendirian, yang mereka tahu
sebagai mahasiswa IS1.
'J\ku kenal dia," kata Ketut
Taman di . Putu. Mereka bertiga membuat undian, siapa yang berhak maju terlebih dahulu untuk berkenalan. Putu keluar sebagai pemenang. .
"Khas anak Bali, kalau pacaran dengan orang asing, penginnya
,
menipu," cerita Putu sambil ter-tawa "Dia ATM saya .. " tambah-nya
Jeni menimpali, kelakuan Putu yang suka pinjam uang tadi "Ma-lam-malam dok-dok-dok menge-tuk rumah kos saya Oh Leong. .. Dia minta uang untuk bell rokok," ce-rita Jeni tak kalah seru mengenai
Putu yang biasa dipanggil Leong. Putu menimpali, "Saya mela-mar Jeni dengan uang hasil men-jual lukisan. Judulnya 'Di antara
Laki-Iaki', yang laku Rp 12 juta Saat itu lukisan itu dipamerkan di
Sika Gallery, Ubud."
Apa yang dilihat oleh Jeni pada Putu?
"Lukisannya beda dengan yang lain. Dia bertahan dengan figur. Dijual snsah. Dia bertahan
sarn-pai sekarang. Makan gak makan,
ikon saya," kata Jeni sambil
me-nepuk-nepuk Putu. "Saya ajari
dia to say no," lanjutnya
Putu tertawa "Saya ini
peke-wuhan (sungkan)," katanya. "Dari
Jeni saya belajar bilang tidak."
Kini, pasangan yang telah
di-karuniai dua anak ini adalah pa-sangan seniman yang relasinya kelihatannya punya makna pro-duktif. Istilah Sangkring yang di-maksudkan sebagai ruang
alter-Media Tanggol Hlm/klm • • • • • • Putu, Luh Made Zhen Xin Vijaya, Vi
Mee Yei, Putu Zheng Kang Vijaya.
natif itu, menurut Putu adalah
usnlan Jeni. "Sangkring itu nama
buyut saya yang tertera dalam
surat warisan. Bagi orang Bali, ini
semacam proses reinkarnasi,"