• Tidak ada hasil yang ditemukan

Optimisme Masa Depan pada Pasangan Suami Istri yang Belum Dikaruniai Anak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Optimisme Masa Depan pada Pasangan Suami Istri yang Belum Dikaruniai Anak"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

OPTIMISME MASA DEPAN PADA PASANGAN SUAMI ISTRI

YANG BELUM DIKARUNIAI ANAK

Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata 1 pada Jurusan Psikologi Fakultas Psikologi

Oleh: Nailis Sa’adah

F 100140097

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

1

OPTIMISME MASA DEPAN PADA PASANGAN YANG BELUM DIKARUNIAI ANAK

Abstrak

Optimisme perlu dimiliki oleh pasangan suami istri yang belum dikaruniai anak agar memiliki semangat dan harapan demi masa depan yang lebih baik. Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami dan mendeskripsikan bagaimana optimisme masa depan yang dimiliki oleh pasangan suami istri yang belum dikaruniai anak. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif fenomenologi. Informan berjumlah 4 pasangan suami istri. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh informan memiliki rasa optimis terhadap masa masa depan. Pada awal pernikahan, seluruh informan merasa optimis bahwa setelah menikah akan memiliki keturunan berdasarkan riwayat keturunan dan atau hasil tes yang dilakukan sebelum melaksanakan pernikahan. Seluruh informan tetap berpikir positif bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan merupakan takdir yang telah ditentukan oleh Allah SWT. Ketidakhadiran anak dianggap sebagai hal yang bersifat sementara dan optimis bahwa suatu saat dapat memiliki keturunan dengan tetap melakukan beberapa usaha untuk memperoleh keturunan. Faktor yang mempengaruhi informan memiliki rasa optimis adalah adanya dukungan dari pasangan serta keluarga dan keyakinan dalam diri bahwa suatu saat dapat memiliki keturunan. Kata kunci: optimisme, pasangan menikah, dan keturunan.

Abstract

Optimism needs to be owned by married couples who have not been blessed with children to have enthusiasm and hope for a better future. The purpose of this study is to understand and describe the future optimism that is owned by a married couple who have not been blessed with children. This study uses a phenomenological qualitative approach. Informants numbered 4 married couples. The method of collecting data in this study was interviews. The results showed that all informants had a sense of optimism about the future. At the beginning of the marriage, all informants were optimistic that after marriage they would have offspring based on hereditary history and / or the results of tests carried out before carrying out the marriage. All informants still think positively that everything that happens in life is a destiny that has been determined by Allah SWT. The absence of children is considered as a temporary thing and is optimistic that one day they can have offspring while making several attempts to obtain offspring. The factors that influence informants have an optimistic feeling is the support from their spouse and family and their self-confidence that they can have children at some time.

(6)

2 1. PENDAHULUAN

Pernikahan akan sempurna jika telah dilengkapi oleh kehadiran buah hati (anak) yang menjadi harapan bagi pasangan suami istri yang telah menikah. Seperti yang dikemukakan oleh Lestari (2012) bahwa sebuah pernikahan dapat dikatakan sempurna dengan hadirnya seorang anak yang dapat menjadi harapan akan sempurnanya kebahagiaan pernikahan tersebut seiring pertumbuhan dan perkembangan anak. Jumlah wanita usia produktif di Indonesia berdasarkan data Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2008 sekitar 39,8 juta jiwa. BPS mencatat dari keseluruhan data populasi di Indonesia, 10-15% sekitar 4 juta jiwa mengalami infertilitas. (Deviyana, 2014). Sebanyak 40% kasus infertilitas atau gangguan kesuburan disebabkan oleh ketidakproduktifan wanita, 30% disebabkan oleh ketidakproduktifan pria dan 30% disebabkan oleh keduanya (Indriyani, 2011).

Infertilitas atau ketidaksuburan adalah ketidakmampuan untuk memiliki keturunan setelah kurang lebih 1 tahun berhubungan suami istri secara teratur tanpa menggunakan alat pelindung kehamilan atau kontrasepsi (Bell, 2013). Infertilitas dapat berakibat pada munculnya permasalahan dalam hubungan perkawinan. Srisusanti dan Zulkaida (2013) menyebutkan bahwa ketidakberhasilan pasangan suami istri untuk mempunyai keturunan dalam perkawinan mereka seringkali menyebabkan ketegangan dan bahkan mengakibatkan perceraian. Hasil penelitian lain juga menunjukkan bahwa seseorang yang belum mempunyai keturunan (infertile) merasakan kesedihan yang mendalam, kemarahan, perasaan bersalah, merasa tidak berguna, kesepian, merasa tertekan, dan ketidakstabilan perkawinan (Dyer, Abrahams, Hoffman, & van der Spuy, 2002). Selain itu, dampak sosial dari infertilitas diantaranya adalah kurangnya dukungan sosial yang diterima seperti omongan-omongan negatif, tekanan dari keluarga dan sahabat, serta pengucilan (Ferland & Caron, 2013). Ketidakhadiran anak dalam sebuah perkawinan juga dapat mengakibatkan seseorang melakukan tindakan bunuh diri (Iswidodo, 2015). Keadaan seperti di atas tidak semuanya dialami oleh pasangan suami istri yang belum memiliki keturunan. Burns & Covington (dalam Putri, 2016) menjelaskan bahwa keadaan pasangan yang tidak memiliki anak justru membuat pasangan semakin meningkatkan keintiman dan komunikasi antar pasangan. Hasil penelitian

(7)

3

yang dilakukan oleh Mardiyan dan Kustanti (2016) menunjukkan bahwa istri cukup merasa bahagia dengan pengertian, perhatian dan kasih sayang yang diberikan oleh suami meski ketidakhadiran anak membuat pernikahan mereka belum sempurna.

Pasangan suami istri yang belum memiliki keturunan tidak perlu berkecil hati meskipun kehadiran anak memang sangat diharapkan dalam sebuah perkawinan. Tantangan kehidupan yang akan selalu terjadi di kemudian hari memaksa seseorang untuk segera menentukan sikap, yaitu menyerah kepada keadaan dan nasib (pesimis) atau menyiapkan diri dengan sebaik-baiknya dalam menghadapi tantangan kehidupan (optimis). Menurut Carver (2010) definisi optimisme berfokus pada harapan terhadap masa depan. Individu yang memiliki rasa optimis cenderung akan lebih percaya diri dan gigih dalam menghadapi tantangan kehidupan yang beragam. Rasa optimis yang dimiliki membuat individu tersebut yakin bahwa permasalahan yang dihadapi akan dapat terselesaikan dan memperoleh kualitas hidup yang lebih baik.

Seligman (2006) menyatakan bahwa optimisme pada dasarnya adalah bagaimana cara berpikir seseorang ketika sedang menghadapi suatu masalah, yang mana erat hubungannya dengan pola pikir tentang suatu peristiwa yang menimpa seseorang, khususnya peristiwa yang buruk. Seligman mengemukakan bahwa terdapat 3 aspek, individu dalam memandang suatu peristiwa/masalah yang erat hubungannya dengan gaya penjelasan (explanatory style). Pertama, permanence

merupakan cara individu dalam melihat sebuah peristiwa berdasarkan waktu, bersifat sementara (temporary) ataukah menetap (permanence). Individu yang memiliki rasa optimis meyakini penyebab kejadian-kejadian buruk hanya bersifat sementara. Kedua, pervasiveness merupakan gaya penjelasan yang berkaitan dengan ruang lingkup, yaitu spesifik dan universal. Individu yang optimis ketika mengalami kejadian yang tidak mengenakkan akan membuat penjelasan yang spesifik dari kejadian tersebut, sedangkan individu yang merasa pesimis cenderung memaknainya sebagai sesuatu yang universal yang mana akan meluas keseluruh sisi lain dalam hidupnya. Ketiga, personalization merupakan gaya penjelasan yang melihat sebuah peristiwa berdasarkan faktor penyebab dari peristiwa tersebut, eksternal ataukah internal. Individu yang optimis saat mengalami kejadian yang

(8)

4

buruk menganggap bahwa hal tersebut terjadi karena faktor eksternal, sedangkan saat mengalami kejadian yang baik percaya bahwa kejadian tersebut terjadi karena pengaruh dari dalam dirinya.

Beberapa fenomena yang terjadi di masyakat menunjukkan bahwa tidak semua pasangan yang telah menikah dapat segera memiliki keturunan. Menjalani kehidupan pernikahan selama kurang lebih empat tahun lamanya membuat N dan istri mendambakan kehadian seorang anak. Usaha untuk dapat segera mendapatkan keturunan sudah dilakukan oleh keduanya seperti melakukan bulan madu beberapa kali dan cek kesehatan. Meskipun hingga sekarang ini belum memiliki keturunan, mereka tetap optimis suatu saat nanti dapat memiliki keturunan (Pardede, 2016). Berdasarkan hasil wawancara pada 09 Oktober 2017 dengan subjek FR (istri) dan FP (suami) pasangan yang belum dikaruniai anak selama kurang lebih 2 ½ tahun, menunjukkan bahwa FR dan FP masih memiliki keyakinan bahwa suatu saat nanti akan memiliki anak. FR meyakini bahwa anak merupakan rizki dari Allah, sehingga rizki tersebut pasti akan datang ketika sudah tepat waktunya. Keadaan ini diakui oleh FR, salah satunya disebabkan kurangnya waktu untuk dapat melakukan hubungan suami istri karena FP bekerja di luar kota. Alasan FR tidak ikut pindah ke luar kota karena memiliki beberapa usaha yang harus diurus. Ketidakhadiran anak dalam pernikahan FR dan FP sampai sekarang ini membuat FR merasa malu dengan orang-orang di sekitarnya meskipun belum pernah ada perkataan yang membuat sakit hati.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti ingin mengetahui hal apa saja yang dapat membuat pasangan suami istri dapat menumbuhkan keyakinan dan rasa optimis terhadap masa depan terkait dengan ketidakhadiran anak dalam kehidupan pernikahan.

2. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Informan penelitian dipilih berdasarkan kriteria yang telah ditentukan sebelumnya oleh peneliti yang disesuaikan dengan tujuan dalam penelitian ini. Informan dalam penelitian ini berjumlah 4 pasangan yang berada di wilayah Solo Raya dengan kriteria sebagai berikut :

(9)

5

a. pasangan suami istri dengan usia pernikahan minimal 0-5 tahun (2 pasang) dan usia pernikahan 5-10 tahun (2 pasang),

b. tidak memiliki anak kandung dan anak angkat, dan c. tinggal bersama dengan keluarga atau di rumah sendiri.

Kehidupan pernikahan merupakan saat di mana individu memasuki lima tahapan siklus kehidupan keluarga (Santrock, 2012). Lima tahapan siklus tersebut diantaranya adalah bekerja, memilih pasangan, belajar untuk hidup bersama orang lain, membangun keluarga dan menjadi orang tua, serta mengasuh anak. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Doss, Rhoades, Stenly, & Markman (2009) menyebutkan bahwa usia pernikahan lima tahun pertama akan mengalami berbagai persoalan. Salah satu persoalan yang dialami oleh pasangan suami istri adalah belum hadirnya keturunan di awal pernikahan, sehingga penelitian ini memfokuskan pada pasangan suami istri yang belum dikaruniai anak dengan usia pernikahan 0-5 tahun dan 6-10 tahun terkait dengan optimisme dalam menghadapi masa depan

Berikut profil demografis informan penelitian :

Tabel 1. Profil demografis informan penelitian

Informan Usia Jenis

Kelamin Pendidikan Pekerjaan

Usia pernikahan

Keluarga Inti/Besar

1. LO ±27 th Pr S1 jurusan

Tarbiyah Guru Tk ±10 bulan

Keluarga Besar 2. FG ±26 th Lk S1 jurusan Tarbiyah Usaha sablon ±10 bulan Keluarga Besar

3. DIK ±31 th Pr SMA Ibu rumah

tangga ±3 tahun

Keluarga Inti

4. NEW ±33 th Lk SMA Jualan

Online ±3 tahun

Keluarga Inti

5. SH ±30 th Pr SMA Ibu rumah

tangga ±8 tahun Keluarga Inti 6. D ±36 th Lk SMA Usaha wi-fi ±8 tahun Keluarga Inti 7. NH ±36 th Pr S1 jurusan

PAUD Guru Tk ±10 tahun

Keluarga Inti

8. M ±38 th Lk S1 jurusan

Ekonomi Karyawan ±10 tahun

Keluarga Inti

(10)

6

Sumber data didapat berdasarkan dari hasil wawancara mendalam yang dilakukan antara peneliti dengan informan penelitian, sehingga data yang diperoleh akan semakin dapat dipertanggungjawabkan. Peneliti menggunakan wawancara semi terstruktur dimana wawancara dilakukan secara lebih bebas, dengan menggunakan guide wawancara sebagai pedoman penggalian data, sehingga tidak ada pertanyaan baku yang telah disusun sebelumnya. Peneliti berharap dengan menggunakan metode ini, dapat memahami terkait dengan optimisme yang dimiliki oleh pasangan suami istri dalam menatap masa depan.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Optimisme pasangan suami istri yang belum dikaruniai anak

Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan pasangan 1 yaitu LO dan FG, merasa optimis bahwa suatu saat dapat memiliki keturunan karena keduanya berasal dari keluarga yang sama-sama memiliki keturunan. Hal ini disampaikan dalam kutipan hasil wawancara (W/FG.107-109). Pasangan 2 yaitu DIK dan NEW, merasa optimis bahwa suatu saat dapat memiliki keturunan karena keduanya dalam keadaan sehat dan normal berdasarkan tes kesehatan yang telah dilakukan sebelum pernikahan. Hal tersebut terdapat dalam kutipan wawancara (W/DIK.97-99). Pasangan 3 yaitu SH dan D, merasa optimis bahwa suatu saat dapat memiliki keturunan karena keduanya sama-sama berasal dari keluarga yang memiliki keturunan. Hal tersebut terdapat dalam kutipan wawancara(W/D.93-94). Pasangan 4 yaitu NH dan M, merasa optimis bahwa suatu saat dapat memiliki keturunan karena keduanya berasal dari keluarga yang juga sama-sama memiliki keturunan. Hal tersebut terdapat kutipan wawancara (W/NH.353).

Tabel 2. Matriks Optimisme Masa Depan pasa Pasangan Suami Istri yang Belum Dikaruniai Anak

Informan Aspek permanence

1. LO & FG Informan LO menyatakan bahwa kehadiran anak sangatlah penting karena sebagai pengikat antara suami dan istri dan penentu langkah orang tua di akhirat. Informan LO & FG menganggap ketidakhadiran anak sampai saat ini merupakan

(11)

7

takdir dari Allah yang harus diterima, namun LO & FG juga percaya bahwa keadaan tesebut hanya bersifat sementara dan yakin bahwa suatu saat akan memiliki keturunan. Hal tersebut berdasarkan kutipan wawancara (W/LO.30-31), (W/LO.35-37), (W/LO.76-80), (W/FG.88-90) & (W/FG.95-99).

2. DIK & NEW

Informan DIK menganggap bahwa ketidakhadiran anak sampai saat ini merupakan takdir Allah yang bersifat sementara dan percaya bahwa Allah akan memberikan suatu saat nanti, sehingga informan lebih banyak melakukan introspeksi diri dan menata kehidupan. Hal tersebut berdasarkan kutipan wawancara (W/DIK.70-73) & (W/DIK.118-123). Informan NEW menyatakan bahwa kehadiran anak tetap penting karena menjadi pertanda keberhasilan sebuah keluarga dalam meneruskan silsilah keturunan. NEW tetap percaya bahwa keadaan tersebut hanya bersifat sementara dan suatu saat nanti dapat memiliki keturunan. Hal tersebut berdasarkan kutipan wawancara (W/NEW.41-42) & (W/NEW.62-64).

3. SH & D Informan SH menganggap bahwa kehadiran anak sangatlah penting dan tetap percaya bahwa suatu saat akan memiliki keturunan. Hal tersebut berdasarkan kutipan wawancara (W/SH.86-89). Informan D menganggap ketidakhadiran anak sebagai takdir dari Allah yang harus diterima, dan menilai mungkin inilah yang terbaik untuk saat ini dan tetap percaya bahwa suatu saat akan memiliki keturunan. Hal tersebut berdasarkan kutipan wawancara (W/D.89-91).

4. NH & M Informan NH menyatakan bahwa kehadiran anak sangatlahh penting sampai kapan pun sehingga NH tetap yakin bahwa suatu saat akan memiliki keturunan dan menganggap bahwa keadaan sekarang ini hanya bersifat sementara. Hal tersebut

(12)

8

berdasarkan kutipan wawancara (W/NH.310-313) & (W/NH.315-316). Informan M menyatakan bahwa kehadiran anak sangatlah penting dan meyakini bahwa keadaan sekarang ini bersifat sementara dan tetap percaya bahwa suatu saat dapat memiliki keturunan. Hal tersebut berdasarkan kutipan wawancara (W/M.82-84).

Kesimpulan Berdasarkan pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa seluruh informan menganggap pentingnya kehadiran anak dalam sebuah keluarga. Seluruh informan juga meyakini bahwa ketidakhadiran anak sampai saat ini hanya bersifat sementara dan tetap optimis bahwa suatu saat dapat memiliki keturunan.

Informan Aspek pervasiveness

1. LO & FG Informan LO & FG merasa ketidakhadiran anak sampai sekarang ini karena Allah belum menilai kesiapan mereka untuk menjadi orang tua. Hal tersebut berdasarkan kutipan wawancara (W/LO.76-80), (W/FG.88-90), & (W/FG.95-99). 2. DIK &

NEW

Informan DIK merasa bahwa ketidakhadiran anak sebagai sebuah cobaan dan belum menjadi rizkinya sehingga DIK lebih banyak melakukan introspeksi diri dan mungkin Allah akan menyiapkan suatu saat nanti. Hal tersebut berdasarkan kutipan wawancara (W/DIK.70-73), (W/DIK.94-95), &

(W/DIK.118-123). Informan NEW merasa bahwa

ketidakhadiran anak sebagai ujian dari Allah dan mungkin Allah menilai kesiapan NEW untuk menjadi orang tua. Hal tersebut berdasarkan kutipan wawancara (W/NEW.40-42). 3. SH & D Informan SH merasa bahwa ketidakhadiran anak sebagai

cobaan karena belum diberi kepercayaan dan tingkat kedewasaannya yang kurang. Hal tersebut berdasarkan

(13)

9

kutipan wawancara (W/SH.142-144) & (W/SH.112-112). Informan D merasa bahwa ketidakhadiran anak sebagai takdir yang harus diterima dan mungkin karena belum rizkinya saja. Hal tersebut berdasarkan kutipan wawancara (W/D.89-91). 4. NH & M Informan NH merasa bahwa ketidakhadiran sebagai ujian dari

Allah SWT dan bukan merupakan balasan atas apa yang telah diperbuat di masa lalu. Hal tersebut berdasarkan kutipan wawancara (W/NH.225-226). Informan M menyatakan bahwa anak merupakan sebuah rizki, dan percaya bahwa suatu saat jika memang menjadi rizkinya maka Allah akan memberi. Hal tersebut berdasarkan kutipan wawancara (W/M.87-91). Kesimpulan Berdasarkan pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa

seluruh informan memberikan penjelasan secara spesifik dari kejadian yang saat ini sedang dialami terkait belum hadirnya anak dalam kehidupan pernikahan mereka.

Informan Aspek personalization

1. LO & FG Informan LO dan FG memandang ketidakhadiran anak sampai

dengan saat ini sebagai takdir dari Allah dan tetap berpikir positif bahwa suatu saat akan memiliki keturunan. Hal tersebut berdasarkan kutipan wawancara (W/LO.80) & (W/FG.95-97). 2. DIK &

NEW

Informan DIK & NEW menganggap bahwa anak merupakan titipan dan rizki dari Allah yang tidak bisa diminta dan ditolak sehingga ketidakhadiran anak dianggap sebagai rizki yang tertunda. Hal tersebut berdasarkan kutipan wawancara (W/DIK.118-119) & (W/NEW.40-42).

3. SH & D Informan SH merasa sudah berikhtiar sehingga yakin bahwa suatu saat Allah akan memberi. Informan D menganggap bahwa anak merupakan titipan dan rizki dari Allah yang tidak bisa diminta dan ditolak. Hal tersebut berdasarkan kutipan

(14)

10

wawancara (W/SH.241-242), (W/D.89-91), & (W/D.102-109).

4. NH & M Informan NH menganggap bahwa apa yang terjadi sekarang ini merupakan jalan yang terbaik yang diberikan oleh Allah. Informan M menganggap bahwa anak merupakan titipan dan rizki dari Allah yang tidak bisa diminta dan ditolak. Hal tersebut berdasarkan kutipan wawancara (W/NH.225-231) & (W/M.86-91).

Kesimpulan Berdasarkan pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa seluruh informan melihat faktor dari ketidakhadiran anak berdasarkan eksternal.

Seligman (2006) menyatakan bahwa optimisme pada dasarnya adalah bagaimana cara berpikir seseorang ketika sedang menghadapi suatu masalah, yang mana erat hubungannya dengan pola pikir tentang suatu peristiwa yang menimpa seseorang, khususnya peristiwa yang buruk. Gaya penjelasan

permanence merupakan cara individu dalam melihat sebuah peristiwa berdasarkan waktu, bersifat sementara (temporary) ataukah menetap (permanence). Individu yang memiliki rasa optimis meyakini penyebab kejadian-kejadian buruk hanya bersifat sementara. Penelitian ini mengungkapkan bahwa seluruh informan tetap berpikir positif terhadap ketidakhadiran anak dalam pernikahan sampai dengan sekarang ini. Keadaan yang tengah dialami oleh para informan dipandang sebagai sebuah takdir yang telah ditentukan Allah SWT yang harus diterima dengan lapang dada karena merupakan jalan yang terbaik untuk saat ini. Informan menganggap bahwa keadaan yang sekarang ini dialami hanya bersifat sementara, sehingga informan memiliki rasa optimis terhadap masa depannya bahwa suatu saat akan memiliki keturunan. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa seseorang yang menggunakan pola pikir positif akan menimbulkan sikap optimis terhadap permasalahan yang tengah dihadapi, sedangkan seseorang yang memiliki pola

(15)

11

pikir negatif akan merasa pesimis dalam menghadapi permasalahannya (Fanida, 2010).

Seluruh informan memiliki optimisme bahwa suatu saat dapat memiliki keturunan dan hanya tinggal menunggu waktu yang tepat saja. Optimisme tersebut bersumber dari adanya keyakinan bahwa Allah SWT tidak akan memberikan cobaan di luar batas kemampuan hamba-Nya. Keyakinan tersebut memberikan motivasi kepada informan untuk tetap semangat dalam menjalani kehidupan meskipun dengan adanya permasalahan yang dialami dalam menatap masa depan. Pemikiran positif yang kemudian diwujudkan berupa tindakan untuk terus bersemangat dalam menjalani hidup meskipun sedang mengalami permasalahan merupakan salah satu bentuk optimisme yang dimiliki oleh informan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Seligman (2006), yang menyatakan bahwa seseorang yang sedang dihadapkan pada permasalahan yang tidak mengenakkan cenderung akan memiliki kemampuan untuk menginterpretasikan secara positif segala peristiwa dan pengalaman yang ada dalam hidupnya, yang kemudian diwujudkan dalam bentuk perilaku. Seligman (2006) menjelaskan bahwa pervasiveness merupakan gaya penjelasan yang berkaitan dengan ruang lingkup, yaitu spesifik dan universal. Individu yang optimis ketika mengalami kejadian yang tidak mengenakkan akan membuat penjelasan yang spesifik dari kejadian tersebut, sedangkan individu yang merasa pesimis cenderung memaknainya sebagai sesuatu yang universal yang mana akan meluas keseluruh sisi lain dalam hidupnya. Temuan dalam penelitian ini mengungkapkan bahwa informan memaknai keadaan yang dialami sekarang ini sebagai takdir dari Allah SWT yang harus diterima. Informan LO, FG, DIK, dan NEW menyebutkan bahwa dengan mencoba untuk menerima kenyataan yang ada membuat informan dapat mengendalikan diri agar tidak terus larut dalam kesedihan. Informan SH dan D menyebutkan, pengendalian diri penting sekali dilakukan terutama yang berkaitan dengan masalah psikologis, agar tidak menjadikan informan terus memikirkan ketidakhadiran anak dalam keluarga. Informan NH dan M juga menyebutkan dengan melakukan pengendalian diri, maka ketidakhadiran anak tidak terlalu

(16)

12

mempengaruhi kehidupan informan secara menyeluruh. Ketidakhadiran anak merupakan bagian dari perjalanan hidup yang harus tetap disyukuri karena masih banyak nikmat lainnya yang dimiliki.

Informan LO, FG, SH, D, DIK, NEW, dan M memaknai ketidakhadiran anak sebagai pertanda Allah SWT belum mempercayakan untuk mengasuh anak dan akan memberikan keturunan di waktu yang tepat. Informan NH juga menyatakan bahwa kejadian yang tengah dialami sekarang ini adalah takdir yang harus dijalani dan bukan merupakan sebuah balasan akibat perbuatan yang pernah dilakukan dulu. Hal tersebut juga sesuai dengan pendapat Seligman (2006) yang menyatakan bahwa gaya penjelasan personalization

merupakan gaya penjelasan yang melihat sebuah peristiwa berdasarkan faktor penyebab dari peristiwa tersebut, eksternal ataukah internal. Individu yang optimis saat mengalami kejadian yang buruk menganggap bahwa hal tersebut terjadi karena faktor eksternal, sedangkan saat mengalami kejadian yang baik percaya bahwa kejadian tersebut terjadi karena pengaruh dari dalam dirinya. 3.2 Faktor yang mempengaruhi optimisme

Vinacle (1998) menerangkan bahwa terdapat dua faktor yang dapat mempengaruhi seseorang memiliki optimisme yaitu faktor etnosentris dan faktor egosentris. Faktor-faktor etnosentris diantaranya berupa jenis kelamin, keluarga, status sosial, agama, dan kebudayaan. Agama adalah sebuah bentuk keyakinan tentang adanya Tuhan sebagai pengatur segala urusan yang ada di dunia ini, yang kemudian diaplikasikan dalam bentuk do’a karena do’a merupakan penghubung antara individu dengan Tuhan-Nya. Temuan dalam penelitian ini mengungkapkan bahwa informan memiliki keyakinan terhadap keadaan yang dialami sekarang ini sebagai ketetapan yang telah diatur oleh Allah SWT. Informan juga meyakini bahwa Allah SWT akan memberikan keturunan di masa yang akan datang. Informan hanya bisa berusaha dan berdo’a kepada Allah agar suatu saat dapat memiliki keturunan, karena informan meyakini bahwa Allah SWT akan mengabulkan do’a-do’a hamba-Nya yang telah berusaha.

(17)

13

Dukungan dari orang-orang terdekat berupa dukungan moril dan saran-saran membuat informan menjadi merasa lebih yakin dan bersemangat lagi dalam menghadapi masa depan dengan keadaan yang tengah dialami. Informan menyatakan bahwa sempat memiliki kekhawatiran jika suatu saat nanti tidak dapat memiliki keturunan, namun dengan adanya dukungan dari orang-orang terdekat membuat informan kembali merasa yakin bahwa suatu saat dapat memiliki keturunan. Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Cahyasari dan Sakti (2014) membuktikan bahwa dengan adanya dukungan sosial keluarga dapat membuat individu merasa lebih optimis karena merasa akan selalu ada dukungan yang diterimanya, sehingga dapat menjadikan individu merasa lebih memiliki harapan di masa mendatang.

4. PENUTUP

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa optimisme merupakan harapan akan terjadinya suatu hal yang baik di masa mendatang. Seluruh informan pada awal pernikahan memiliki optimisme bahwa akan memiliki keturunan setelah menikah. Kehadiran anak dalam keluarga merupakan suatu hal yang sangat penting bagi seluruh informan karena anak merupakan penerus silsilah keluarga dan menjadi pelengkap sebuah keluarga. Optimisme yang dimiliki oleh seluruh informan diwujudkan dengan melakukan beberapa usaha untuk memperoleh keturunan, namun sampai sekarang ini belum juga membuahkan hasil. Informan kemudian menganggap bahwa ketidakhadiran anak sebagai sesuatu yang harus diterima karena merupakan takdir yang telah ditentukan oleh Allah SWT. Informan meyakini keadaan yang sekarang ini dialami hanya bersifat sementara, sehingga informan memiliki rasa optimis terhadap masa depannya bahwa suatu saat akan memiliki keturunanyang diwujudkan dengan tetap melakukan beberapa usaha untuk mendapatkan keturunan. Faktor yang mempengaruhi informan dapat memiliki optimisme terhadap masa depan adalah karena adanya keyakinan dalam diri bahwa suatu saat dapat memiliki keturunan serta dukungan dari orang-orang terdekat. Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan, maka peneliti memberikan saran kepada berbagai pihak. Pertama, bagi pasangan suami istri disarankan agar

(18)

14

dapat terus berupaya lebih giat lagi dalam menjalankan program kehamilan serta selalu rutin untuk melakukan beberapa usaha yang telah dilakukan sebelumnya, dan rutin untuk melakukan cek kesehatan serta lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Kedua, pihak keluarga diharapkan untuk dapat terus memberikan dukungan moral kepada suami istri yang belum dikaruniai anak agar selalu merasa optimis bahwa suatu saat akan memiliki keturunan. Ketiga, bagi peneliti selanjutnya diharapkan untuk dapat lebih mendalam lagi dalam menggali data sehingga diperoleh data yang lebi akurat terkait optimisme pada setiap responden juga disarankan untuk mengkaji ulang berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi optimisme, sehingga nantinya akan diperoleh data yang lebih beragam terkait hal tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Bell, K. (2013). Constructions of “infertility” and some lived experiences of involuntary childlessness. Affilia,Journal of Women and

SocialWork, 28(3), 284-295. doi : 10.1177/0886109913495726

Cahyasari., A. S., & Sakti, H., (2014). Optimisme kesembuhan pada penderita mioma uteri. Jurnal Psikologi, 13 (1), 21-33.

Carver, C. S., Scheier, M. F., & Segerstrom, S. C. (2010). Optimism. Clinical psychology review, 30(7), 879-889. doi : 10.1016/j.cpr.2010.01.006

Dyer, S. J., Abrahams, N., Hoffman, M., & van der Spuy, Z. M. (2002). Men leave me as I cannot have children': women's experiences with involuntary childlessness. Human Reproduction, 17(6), 1663-1668. Diunduh dari https://academic.oup.com/humrep/article/17/6/1663/2919233

Fanida, W. (2010). Hubungan Antara Konsep Diri dengan Optimisme pada Penyalahguna Narkoba (Skripsi tidak dipublikasikan). Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.

Ferland, P., & Caron, S. L. (2013). Exploring the long-term impact of female infertility: a qualitative analysis of interviews with postmenopausal

women who remained childless. The Family Journal, 21(2), 180-188. doi : 10.1177/1066480712466813

Ginnis, A. L., (1990), Kekuatan Optimisme (alih bahasa Adi Wiyoto, Anton). Jakarta: New York: Mc Milan Publishing Co.

(19)

15

Indriyani, D. (2011). Konseling infertilitas. The Indonesian Journal Of Health Science, 1 (2), 83-94. Diunduh dari

http://www.jogjapress.com/index.php/HUMANITAS/article/view/707/373 Iswidodo (Ed.). (2015). Frustasi tak kunjung punya anak, rachel nekat bunuh diri.

Diunduh dari http://jateng.tribunnews.com/2015/02/11/frustasi-tak-kunjung-punya-anak-rachel-nekat-bunuh-diri

Lestari, S. (2012). Psikologi keluarga: penanaman nilai dan penanganan konflik dalam keluarga. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Mardiyan, R., & Kustanti, E. R. (2016). Kepuasan pernikahan pada pasangan yang belum memiliki keturunan. Jurnal Empati, 5 (3), 558-565. Diunduh dari

https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/empati/article/view/15406/14898 Pardede, V. E. (2016). Empat tahun menikah, naga 'lyla' tetap optimis miliki

momongan. Diunduh dari https://hot.detik.com/celeb/d-3357665/empat-tahun-menikah-naga-lyla-tetap-optimis-miliki-momongan

Putri, I. K. D. B. (2016). Kepuasan perkawinan dan persepsi kehadiran anak pada pasangan yang tidak memiliki anak. (Skripsi,Universitas Katolik

Soegijapranata, Semarang).Diunduh dari

http://repository.unika.ac.id/13148/2/12.40.0054%20Indah%20Kartika%2 0Dewi%20Bayu%20Putri%20BAB%20I.pdf

Ruby, A. C. (2015). Optimisme masa depan narapidana ditinjau dariDukungan sosial keluarga.(Skripsi, Universitas Muhammadiyah

Surakarta,Sukoharjo). Diunduh dari

http://v1.eprints.ums.ac.id/archive/etd/38620/3/

Seligman, M. E. (2006). Learned optimism: How to change your mind and your life. [A Division of Random House, Inc. :New York]. Diunduh dari https://www.jamiiforums.com/.../martin-seligman_learned-optimism-pdf.454997/

Srisusanti, S., & Zulkaida, A. (2013). Studi deskriptif mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan perkawinan pada istri. UG Jurnal, 7(06), 8-12.Diunduh

darihttp://www.ejournal.gunadarma.ac.id/index.php/ugjournal/article/view File/1198/1059/

Gambar

Tabel 1. Profil demografis informan penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Kombinasi level dari subatribut yang sama antara kedua rumah sakit tersebut hanya pada atribut emphaty , pada atribut reliability, responsiveness , assurance , tangible

Menggunakan   dan merawat baterai  Fungsi, kontruksi  baterai  Pengisian baterai  Pemeliharaan baterai  sesuai dengan SOP Mengamati

Kecernaan Bahan Kering, Bahan Organik dan Protein Kasar Ransum yang Mengandung Tepung Limbah Ikan Gabus Pasir Butis amboinensis sebagai Subsitusi Tepung Ikan pada Broiler..

a). Penyisipan vokal /a/ dalam gugus konsonan dapat diketahui dari tabel 12. Vokal yang disisipkan pada gugus konsonan tersebut di atas adalah sejenis dengan vokal sebelumnya.

[r]

Berdasarkan survei awal yang telah dilakukan di Puskesmas Rambah ditemui bahwa SDM yang masih kurang seperti pendidikan yang tidak sesuai dengan kompetensi yang

Pada jurnal Hasan dan Putra (2019), Sharon dan Santoso (2017) dan Aminah dkk (2017) menuliskan metode SERVQUAL sebagai ldanasan digunakan dalam mengukur kualitas

Karsinoma Nasofaring Dalam :Buku Ajar Telinga Hidung, Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi 6,