• Tidak ada hasil yang ditemukan

REferat imunisasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "REferat imunisasi"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

Dasar-dasar imunisasi

Pendahuluan

Dalam lingkup pelayanan kesehatan, bidang preventif merupakan prioritas utama. Imunisasi adalah salah satu bentuk intervensi kesehatan yang sangat efektif dalam upaya menurunkan angka kematian bayi dan balita. Imunisasi merupakan hal mutlak yang perlu diberikan pada bayi. Imunisasi adalah sarana untuk mencegah penyakit berbahaya, yang dapat menimbulkan kematian pada bayi. Penurunan insiden penyakit menular telah terjadi berpuluh-puluh tahun yang lampau di negara-negara maju yang telah melakukan imunisasi dengan teratur dengan cakupan yang luas.

Untuk dapat melakukan pelayanan imunisasi yang baik dan benar diperlukan pengetahuan dan keterampilan tentang vaksin ( vaksinologi ), ilmu kekebalan ( imunologi ) dan cara atau prosedur pemberian vaksin yang benar. Dengan melakukan imunisasi terhadap seorang anak, tidak hanya memberikan perlindungan pada anak tersebut tetapi juga berdampak kepada anak lainnya karena terjadi tingkat imunitas umum yang meningkat dan mengurangi penyebaran infeksi. Banyak penyakit menular yang bisa menyebabkan gangguan serius pada perkembangan fisik dan mental anak. Imunisasi bisa melindungi anak-anak dari penyakit melaui vaksinasi yang bisa berupa suntikan atau melalui mulut.

Imunisasi Upaya Pencegahan Primer

Angka kematian bayi ( AKB ) dalam dua dasawarsa terakhir ini menunjukkan penurunan yang bermakna, yaitu apabila pada tahun 1971 masih sebesar 142 dan menjadi 112 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 1980 ( memerlukan 10 tahun ). Pada tahun 1985 ke tahun 1990 ( hanya lima tahun ) dari 71 menjadi 54 per 1000 kelahiran hidup. Penurunan tersebut diikuti dengan menurunnya angka kematian BALITA atau AKABA menjadi 56 per 1000 kelahiran hidup. Keberhasilan tersebut adalah hasil teknologi tepat guna yang dilaksanakan di seluruh Indonesia sejak tahun 1977 dengan menggunakan kartu menuju sehat ( KMS ) dalam memantau tumbuh kembang anak, pemakaian cairan oralit pada anak yang menderita diare, meningkatkan pemberian ASI secara eksklusif kepada bayinya dan imunisasi sesuai Program Pembangunan Imunisasi ( PPI ). Yaitu BCG, Polio, DPT, hepatitis B dan

(2)

campak. Pada tahun 1990 Indonesia telah mencapai lebih dari 90% cakupan vaksinasi dasar tersebut yang dikenal sebagai Universal Child Immunization ( UCI ). Ditambah lagi dengan gerakan PIN ( Pekan Imunisasi Nasional ) terhadap penyakit polio pada tahun 1995-1996-1997-2002 secara berturut-turut dan serentak di seluruh tanah air yang kemudian karena masih ada kejadian virus polio liar di regional WHO-SEARO. Pin diulang kembali pada tahun 2002. Pada kesempatan PIN diberikan juga vaksinasi tetanus dan campak dengan harapan dapat mengurangi kesakitan dan kematian karena kedua penyakit tersebut.

Seiring dengan menurunnya angka kesakitan dan kematian anak pada umumnya maka kualitas hidup bangsa angka meningkat pula. Hasil penelitian di dunia mengatakan bahwa angka kelahiran dan usia harapan hidup di suatu negara berkaitan, yaitu bahwa makin rendah angka kelahiran makin tinggi usia harapan hidup. Untuk itu pencegahan terhadap penyakit infeksi merupakan upaya yang menentukan situasi tersebut dan mutlak harus dilakukan pada anak sedini mungkin guna dapat mempertahankan kualitas hidup yang prima dalam perjalanan hidupnya .

Vaksinasi atau lazim dipakai dengan istilah imunisasi merupakan suatu teknologi yang sangat berhasil di dunia kedokteran yang oleh Katz ( 1999 ) dikatakan sebagai “ sumbangan ilmu pengetahuan yang terbaik yang pernah dapat diberikan oleh para ilmuwan di dunia ini “. Satu upaya kesehatan yang paling efektif dan efisien dibandingkan dengan upaya kesehatan lainnya. Kekebalan atau imunitas tubuh terhadap ancaman penyakit dari lingkungannya adalah tujuan utama dari pemberian vaksinasi. Imunitas tersebut sebenarnya dapat diperoleh secara alamiah yaitu terjangkit suatu penyakit dan menjadi imun maupun secara aktif dibuat oleh manusia. Pada hakekatnya pada kedua cara mendapatkan imunitas tubuh dapat diperoleh dengan cara pasif maupun aktif. Dikatakan pasif karena tidak menyangkut sama sekali sistem imun tubuh sendiri dan hanya menerima secara pasif antibodi ke dalam tubuhnya, yaitu dapat terjadi melalui plasenta ke janin dari ibu kandungnya maupun dengan memberikan antibodi melalui suntikan ke dalam tubuh anak. Pemberian antigen dengan sengaja sehingga tubuh manusia kemudian memberikan respon imun adalah prinsip dari vaksinasi.

Imunisasi dan Vaksinasi

(3)

dapat merangsang pembentukan imunitas ( antibodi ) dari sistem imun di dalam tubuh.

Imunitas secara pasif dapat diperoleh dari pemberian dua macam bentuk, yaitu imunoglobulin yang non-spesifik atau disebut juga gamaglobulin dan imunoglobulin yang spesifik yang berasal dari plasma donor yang sudah sembuh atau baru saja mendapatkan vaksinasi penyakit tertentu. Imunuglobulin non-spesifik digunakan pada anak dengan defisiensi imunoglobulin sehingga memberikan perlindungan dengan segera dan cepat yang seringkali dapat terhindar dari kematian. Hanya saja perlindungan tersebut tidaklah permanen melainkan hanya berlangsung beberapa minggu saja. Selain itu cara tersebut juga mahal dan memungkinkan anak justru menjadi sakit karena secara kebetulan atau karena suatu kecelakaan serum yang diberikan tidak bersih dan masih mengandung kuman yang aktif. Sedangkan imunoglobulin yang spesifik diberikan pada anak yang belum terlindungi karena belum pernah mendapatkan vaksinasi dan kemudian terserang misalnya difteria, tetanus, hepatitis A dan B.

Vaksinasi, merupakan suatu tindakan yang dengan sengaja memberikan paparan pada suatu antigen berasal dari suatu patogen. Antigen yang diberikan telah dibuat demikian rupa sehingga tidak menimbulkan sakit namun memproduksi limfosit yang peka, antibodi dan sel memori. Cara ini menirukan infeksi alamiah yang tidak menimbulkan sakit namun cukup memberikan kekebalan. Tujuannya adalah memberikan “ infeksi ringan “ yang tidak berbahaya namun cukup untuk menyiapkan respon imun sehingga apabila terjangkit penyakit yang sesungguhnya dikemudian hari anak tidak menjadi sakit karena tubuh dengan cepat membentuk antibodi dan mematikan antigen / penyakit yang masuk tersebut.

Vaksinasi mempunyai keuntungan :

• Pertahanan tubuh yang terbentuk akan dibawa seumur hidupnya.

Vaksinasi cost-effective karena murah dan efektif.

• Vaksinasi tidak berbahaya. Reaksi yang serius sangat jarang terjadi, jauh lebih jarang daripada komplikasi yang timbul apabila terserang penyakit tersebut secara almiah.

(4)

Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen yang serupa tidak terjadi penyakit. Dilihat dari cara timbulnya maka terdapat dua jenis kekebalan, yaitu kekebalan pasif dan kekebalan aktif. Kekebalan pasif adalah kekebalan yang diperoleh dari luar tubuh, bukan dibuat oleh individu itu sendiri. Contohnya adalah kekebalan pada janin yang diperoleh dari ibu atau kekebalan yang diperoleh setelah pemberian suntikan imunoglobulin. Kekebalan pasif tidak berlangsung lama karena akan langsung dimetabolisme oleh tubuh. Kekebalan aktif adalah kekebalan yang dibuat oleh tubuh sendiri akibat terpajan pada antigen seperti pada imunisasi, atau terpajan secara alamiah. Kekebalan aktif biasanya berlangsung lebih lama karena adanya memori imunologi.

TUJUAN IMUNISASI adalah untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang, dan menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok masyarakat ( populasi ) atau bahkan menghilangkan penyakit tertentu dari dunia seperti pada imunisasi cacar.

Respons imun adalah respons tubuh berupa suatu urutan kejadian yang kompleks terhadap antigen, untuk mengeliminasi antigen tersebut. Dikenal dua macam pertahanan tubuh yaitu : 1) mekanisme pertahanan nonspesifiik disebut juga komponen nonadaptif atau innate artinya tidak ditujukan hanya untuk satu macam antigen , tetapi untuk berbagai macam antigen, 2) mekanisme pertahanan tubuh spesifik atau komponen adptif ditujukan khusus terhadap satu jenis antigen, terbentuknya antibodi lebih cepat dan lebih banyak pada pemberian antigen berikutnya. Hal ini disebabkan telah terbentuknya sel memori pada pengenalan antigen pertama kali. Bila pertahanan nonspesifik belum dapat mengatasi invasi mikroorganisme maka imunitas spesifik akan terangsang. Mikroorganisme yang pertama kali dikenal oleh sistem imun akan dipresentasikan oleh sel makrofag ( APC = antigen presenting cel ) Pada sel T untuk antigen TD ( T dependent ) sedangkan antigen TI ( T independent ) akan langsung diperoleh oleh sel B.

Mekanisme pertahanan spesifik terdiri atas imunitas selular dan imunitas humoral. Imunitas humoral akan menghasilkan antibodi bila dirangsang oleh antigen. Semua antibodi adalah protein dengan struktur yang sama yang disebut imunoglobulin ( Ig ) yang dapat dipindahkan secara pasif kepada individu yang lain dengan cara penyuntikan serum. Berbeda dengan imunitas selular hanya dapat

(5)

dipindahkan melalui sel, contohnya pada reaksi penolakan organ transplantasi oleh sel limfosit dan pada graft versus-host-disease.

Proses imun terdiri dari dua fase :

• Fase pengenalan, diperankan oleh sel yang mempresentasikan antigen ( APC = antigen presenting cells ), sel limfosit B, limfosit T.

• Fase efektor, diperankan oleh antibodi dan limfosit T efektor Keberhasilan Imunisasi

Tergantung dari beberapa faktor, yaitu status imun pejamu, faktor genetik pejamu, serta kualitas dan kuantitas vaksin.

Status imun pejamu

Terjadinya antibodi spesifik pada pejamu terhadap vaksin yang diberikan akan mempengaruhi keberhasilan vaksinasi. Misalnya pada bayi yang semasa fetus mendapat antibodi maternal spesifik terhadap virus campsk, bila vaksinasi campak diberikan pada saat kadar antibodi spesifik campak masih tinggi akan membeikan hasil yang kurang memuaskan. Demikian pula air susu ibu ( ASI ) yang mengandung IgA sekretori ( sIgA ) terhadap virus polio dapat mempengaruhi keberhasilan vaksinasi polio yang diberikan secara oral. Namun pada umumnya kadar sIgA terhadap virus polio pada ASI sudah rendah pada waktu bayi berumur beberapa bulan. Pada penelitian di Sub Bagian Alergi-Imunologi, Bagian IKA FKUI/RSCM, Jakarta ternyata sIgA polio sudah tidak ditemukan lagi pada ASI setelah bayi berumur 5 bulan. Kadar sIgA tinggi terdapat pada kolostrum. Karena itu bila vaksinasi polio diberikan pada masa pemberian kolostrum ( kurang atau sama dengan 3 hari setelah bayi lahir ), hendaknya ASI ( kolostrum ) jangan diberikan dahulu 2 jam sebelum dan sesudah vaksinasi.

Keberhasilan vaksinasi memerlukan maturitas imunologik. Pada bayi neonatus fungsi makrofag masih kurang. Pembentukan antibodi spesifik terhadap antigen tertentu masih kurang. Jadi dengan sendirinya, vaksinasi pada neonatus akan memberikan hasil yang kurang dibandingkan pada anak. Maka, apabila imunisasi diberikan sebelum bayi berumur 2 bulan, jangan lupa memberikan imunisasi ulangan. Status imun mempengaruhi pula hasil imunisasi. Individu yang mendapat obat imunosupresan, menderita defisiensi imun kongenital, atau menderita penyakit yang

(6)

menimbulkan defisiensi imun sekunder seperti pada penyakit keganasan juga akan mempengaruhi keberhasilan vaksinasi. Bahkan adanya defisiensi imun merupakan kontraindikasi pemberian vaksin hidup karena dapat menimbulkan penyakit pada individu tersebut. Demikian pula vaksinasi pada individu yang menderita penyakit infeksi sistemik seperti campak, tuberkulosis milier akan mempengaruhi pula keberhasilan vaksinasi.

Keadaan gizi yang buruk akan menurunkan fungsi sel sistem imun seperti makrofag dan limfosit. Imunitas selular menurun dan imunitas humoral spesifisitasnya rendah. Meskipun kadar globulin normal atau bahkan meninggi, imunoglobulin yang terbentuk tidak dapat mengikat antigen dengan baik karena terdapat kekurangan asam amino yang dibutuhkan untuk sintesis antibodi. Kadar komplemen juga berkurang dan mobilisasi makrofag berkurang, akibatnya respons terhadap vaksin atau toksoid berkurang.

Faktor genetik pejamu

Interaksi antara sel-sel sistem imun dipengaruhi oleh variabilitas genetik. Secara genetik respons imun manusia dapat dibagi atas responder baik, cukup, dan rendah terhadap antigen tertentu. Ia dapat memberikan respons rendah terhadap antigen tertentu, tetapi terhadap antigen lain dapat lebih tinggi. Karena itu tidak heran bila kita menemukan keberhasilan vaksinasi yang tidak 100%.

Kualitas dan kuantitas vaksin

Vaksin adalah mikroorganisme atau toksoid yang diubah sedemikian rupa sehingga patogenisitas atau toksisitasnya hilang tetapi masih tetap mengandung sifat antigenisitas. Beberapa faktor kualitas dan kuantitas vaksin dapat menentukan keberhasilan vaksinasi, seperti cara pemberian, dosis, frekuensi pemberian ajuvan yang dipergunakan, dan jenis vaksin.

 Cara pemberian vaksin akan mempengaruhi respons imun yang timbul. Misalnya vaksin polio oral akan menimbulkan imunitas lokal disamping sistemik, sedangkan vaksin polio parenteral akan memberikan imunitas sistemik saja.

 Dosis vaksin terlalu tinggi atau terlalu rendah juga mempengaruhi respons imun yang terjadi. Dosis terlalu tinggi akan menghambat respons imun yang diharapkan. Sedang dosis terlalu rendah tidak merangsang sel-sel

(7)

imunokompeten.Dosis yang tepat dapat diketahui dari hasil uji klinis, karena itu dosis vaksin harus sesuai dengan dosis yang direkomendasikan.

 Frekuensi pemberian juga mempengaruhi respons imun yang terjadi. Disamping frekuensi, jarak pemberianpun akan mempengaruhi respons imun yang terjadi. Bila pemberian vaksin berikutnya diberikan pada saat kadar antibodi spesifik masih tinggi, maka antigen yang masuk segera dinetralkan oleh antibodi spesifik yang masih tinggi tersebut sehingga tidak sempat merangsang sel imunkompaten. Bahkan dapat terjadi apa yang dinamakan reaksi arthus, yaitu bengkak kemerahan di daerah suntikan antigen akibat pembentukan kompleks antigen antibodi lokal sehingga terjadi peradangan lokal. Karena itu pemberian ulang ( booster ) sebaiknya mengikuti apa yang dianjurkan sesuai dengan hasil uji klinis.

 Ajuvan adalah zat yang secara nonspesifik dapat meningkatkan respons imun terhadap antigen. Ajuvan akan meningkatkan respons imun dengan mempertahankan antigen pada atau dekat dengan tempat suntikan, dan mengaktivasi APC ( antigen presenting cells ) untuk memproses antigen secara efektif dan memproduksi interleukin yang akan mengaktifkan sel imunokompeten lainnya.

 Jenis Vaksin, vaksin hidup akan menimbulkan respons imun lebih baik dibanding vaksin mati atau yang diinaktivasi ( killed atau inactivated ) atau bagian ( komponen ) dari mikroorganisme. Vaksin hidup diperoleh dengan cara atenuasi. Tujuan atenuasi adalah untuk menghasilkan organisme yang hanya dapat menimbulkan penyakit yang sangat ringan. Atenuasi diperoleh dengan memodifikasi kondisi tempat tubuh mikroorganisme, misalnya suhu yang tinggi atau rendah, kondisi anerob, atau menambah empedu pada media kultur seperti pada pembuatan vaksin BCG yang sudah ditanam selama 13 tahun. Dapat pula dipakai mikroorganisme yang virulen untuk spesies lain tetapi untuk manusia avirulen, misalnya virus cacar sapi.

Persyaratan vaksin

1. Mengaktivasi APC untuk mempresentasikan antigen dan memproduksi interleukin.

(8)

3. Mengaktivasi sel T dan sel Tc terhadap beberapa epitop, untuk mengatasi variasi respons imun yang ada dalam populasi karena adanya polimorfisme MHC.

4. Memberi antigen yang persisten, mungkin dalam sel folikular dendrit jaringan limfoid tempat sel B memori direkrut sehingga dapat merangsang sel B sewaktu-waktu menjadi sel plasma yang membentuk antibodi terus-menerus sehingga kadarnya tetap tinggi.

Vaksin yang dapat memenuhi ke empat persyaratan tersebut adalah vaksin virus hidup.

Jenis Vaksin

Pada dasarnya, vaksin dibagi menjadi 2 jenis, yaitu :

 Live attenuated ( bakteri atau virus hidup yang dilemahkan )  Inactivate ( bakteri, virus atau komponenmnya dibuat tidak aktif ) Vaksin hidup attenuated

Diproduksi di laboratorium dengan cara melakukan modifikasi virus atau bakteri penyebab penyakit. Vaksin mikroorganisme yang dihasilkan masih memiliki kemampuan untuk tumbuh menjadi banyak ( replikasi) dan menimbulkan kekebalan tetapi tidak menyebabkan penyakit.

Vaksin hidup dibuat dari virus atau bakteri liar ( wild ) penyebab penyakit. Virus atau bakteri liar ini dilemahkan ( attinuated ) dilaboratorium, biasanya dengan cara pembiakan berulang-ulang. Misalnya vaksin campak yang dipakai sampai sekarang, diisolasi untuk mengubah virus liar campak menjadi virus vaksin dibutuhkan 10 tahun dengan cara melakukan penanaman pada jaringan media pembiakan secara serial dari seorang anak yang menderita penyakit campak pada tahun 1954.

o Supaya dapat menimbulkan respons imun, vaksin hidup atteuated harus berkembang biak ( mengadakan replikasi ) di dalam tubuh resipien.

o Apapun yang merusak organisme hidup dalam botol ( misalnya panas atau cahaya ) atau pengaruh luar terhadap replikasi organisme dalam tubuh ( antibodi yang beredar ) dapat menyebabkan vaksin tersebut tidak efektif. o Respons imun terhadap vaksin hidup attenuated pada umumnya sama dengan

(9)

antara suatu infeksi dengan virus vaksin yang dilemahkan dan infeksi dengan virus liar.

o Vaksin virus hidup attenuated secara teoritis dapat berubah menjadi bentuk patogenik seperti semula. Hal ini hanya terjadi pada vaksin polio hidup.

o Antibodi dari sumber apapun ( misalnya transplasental, transfusi ) dapat mempengaruhi perkembangan vaksin mikroorganisme dan menyebabkan tidak adanya respons ( non response ). Vaksin campak merupakan mikroorganisme yang paling sensitif terhadap antibodi yang beredar dalam tubuh. Virus vaksin polio dan rotavirus paling sedikit terkena pengaruh.

o Vaksin hidup attenuated bersifat labil dan dapat mengalami kerusakan bila kena panas dan sinar, maka harus dilakukan pengelolaan dan penyimpanan dengan baik dan hati-hati.

Vaksin hidup attenuated yang tersedia

 Berasal dari vrius hidup : Vaksin campak, gondongan ( parotitis ), rubela, polio, rotavirus, demam kuning ( yellow fever ).

 Berasal dari bakteri : Vaksin BCG dan demam tifoid oral.

Vaksin Inactivated

o Vaksin inactivated dihasilkan dengan cara mambiakkan bakteri atau virus dalam media pembiakan ( persemaian ), kemudian dibuat tidak aktif dengan penambahan bahan kimia ( biasanya formalin ).

o Vaksin inactivated tidak hidup dan tidak dapat tumbuh, maka seluruh dosis antigen dimasukkan dalam suntikan. Vaksin ini tidak menyebabkan penyakit ( walaupun pada orang dengan defisiensi imun ) dan tidak dapat mengalami mutasi menjadi bentuk patogenik. Antigen inactivated tidak dipengaruhi oleh antibodi yang beredar. Vaksin inactivated dapat diberikan saat antibodi berada di dalam sirkulasi darah.

o Vaksin inactivated selalu memerlukan dosis ganda. Pada umumnya pada dosis pertama tidak menghasilkan imunitas protektif, tetapi hanya memacu atau menyiapkan sistem imun. Respons imun protektif baru timbul setelah dosis kedua atau ketiga. Hal ini berbeda dengan vaksin hidup, yang mempunyai respons imun yang mirip atau sama dengan infeksi alami, respons imun

(10)

terhadap vaksin inactivated sebagian besar humoral, hanya sedikit atau tak menimbulkan imunitas selular. Titer antibodi terhadap antigen inactivated menurun setelah beberapa waktu.

o Pada beberapa keadaan suatu antigen untuk melindungi terhadap penyakit masih memerlukan vaksin seluruh sel ( whole cell ), namun vaksin bakterial seluruh sel bersifat paling reaktogenik dan menyebabkan paling banyak reaksi ikutan atau efek samping. Ini disebabkan respons terhadap komponen-komponen sel yang sebenarnya tidak diperlukan untuk perlindungan ( contoh antigen pertusis dalam vaksin DPT ).

Vaksin Inactivated yang tersedia saat ini berasal dari :

 Seluruh sel virus yang inactivated, contoh influenza, polio, rabies, hepatitis A.  Seluruh bakteri yang inactivated, contoh pertusis, tifoid, kolera, lepra.

 Vaksin fraksional yang masuk sub-unit, contoh hepatitis B, influenza, pertusis a-seluler, tifoid Vi, lyme disease.

 Toksoid, contoh difteria, tetanus, botulinum.

 Polisakarida murni, contoh pneumokokus, meningokokus, dan haemophilus influenzae tipe b.

(11)

BAB II

Tata cara pemberian imunisasi

Sebelum melakukan vaksinasi, dianjurkan mengikuti tata cara sebagai berikut :  Memberitahukan secara rinci tentang risiko imunisasi dan risiko apabila tidak

divaksinasi.

 Periksa kembali persiapan untuk melakukan pelayanan secepatnya bila terjadi reaksi ikutan yang tidak diharapkan.

 Baca dengan teliti informasi tentang produk ( vaksin ) yang akan diberikan dan jangan lupa mendapat persetujuan orang tua. Melakukan tanya jawab dengan orang tua atau pengasuhnya sebelum melakukan imunisasi.

 Tinjau kembali apakah ada kontraindikasi terhadap vaksin yang diberikan.  Periksa identitas penerima vaksin dan berikan antipiretik bila diperlukan.  Periksa jenis vaksin dan yakin bahwa vaksin tersebut telah disimpan dengan

baik.

 Periksa vaksin yang akan diberikan apakah tampak tanda-tanda perubahan. Periksa tanggal kadarluwarsa dan catat hal-hal istimewa, misalnya adanya perubahan warna yang menunjukkan adanya kerusakan.

 Yakin bahwa vaksin yang akan diberikan sesuai jadwal dan ditawarkan pula vaksin lain untuk mengejar imunisasi yang tertinggal ( catch up vaccination ) bila diperlukan.

 Berikan vaksin dengan teknik yang benar. Lihat uraian mengenai pemilihan jarum suntik, sudut arah jarum suntik, lokasi suntikan, dan posisi bayi/anak penerima vaksin.

(12)

 Setelah pemberian vaksin, kerjakan hal-hal sebagai berikut :

• Berilah petunjuk ( sebaiknya tertulis ) kepada orang tua atau pengasuh apa yang harus dikerjakan dalam kejadian reaksi yang biasa atau reaksi ikutan yang lebih berat.

• Catat imuniasi dalam rekam medis pribadi dan dalam catatan klinis.

• Catatan imunisasi secar rinci harus disampaikan kepada Dinas Kesehatan bidang Pemberantasan Penyakit Menular.

• Periksa status imunisasi anggota keluarga lainnya dan tawarkan vaksinasi untuk mengejar ketinggalan, bila diperlukan.

Penyimpanan

Aturan umum untuk sebagian besar vaksin, Bahwa vaksin harus didinginkan pada temperatur 2-8°C dan tidak membeku. Sejumlah vaksin ( DPT, Hib, hepatitis B, dan hepatitis A ) menjadi tidak aktif bila beku

Arah Sudut Jarum pada Suntikan Intramuskular

Jarum suntik harus disuntikan dengan sudut 450-600 ke dalam otot vastus

lateralis atau otot deltoid. Untuk suntikan otot vastus lateralis, jarum diarahkan ke arah lutut sedangkan untuk suntikan pada deltoid jarum diarahkan ke pundak. Kerusakan saraf dan pembuluh vaskular dapat terjadi apabila suntikan diarahkan pada sudut 900.

Tempat Suntikan yang Dianjurkan

Paha anterolateral adalah bagian tubuh yang dianjurkan untuk vaksinasi pada bayi dan anak umur di bawah 12 bulan. . Vaksin harus disuntikkan ke dalam batas antara sepertiga otot bagian tengah yang merupakan bagian yang paling tebal dan padat. Regio deltoid adalah alternatif untuk vaksinasi pada anak yang lebih besar ( mereka yang telah dapat berjalan ) dan orang dewasa.

Alasan memilih otot vastus lateralis pada bayi dan anak umur dibawah 12 bulan adalah :

 Menghindari risiko kerusakan saraf iskiadika pada suntikan daerah gluteal.  Daerah deltoid pada bayi dianggap tidak cukup tebal untuk menyerap suntikan

(13)

 Imunogenitas vaksin hepatitis B dan rabies akan berkurang apabila disuntikkan di daerah gluteal

 Menghindari risiko reaksi lokal dan terbentuknya nodulus di tempat suntikan yang menahun.

 Menghindari lapisan lemak subkutan yang tebal pada paha bagian anterior.

Keadaan Bayi atau Anak sebelum Imunisasi

Orangtua atau pengantar bayi/anak dianjurkan mengingat dan memberitahukan secara lisan atau melalui dafatr isian tentang hal-hal yang berkaitan dengan indikasi kontra atau risiko kejadian ikutan pasca imunisasi tersebut di bawah ini :

 Pernah mengalami kejadian ikutan pasca imunisasi yang berat ( memerlukan pengobatan khusus atau perlu perawatan di rumah sakit ).

 Alergi terhadap bahan yang juga terdapat di dalam vaksin ( misalnya neomisin ).

 Sedang mendapat pengobatan Steroid jangka panjang, radioterapi, atau kemoterapi.

 Tinggal serumah dengan orang lain yang imunitasnya menurun ( leukimia, kanker, HIV/AIDS ).

 Tinggal serumah dengan orang lain dalam pengobatan yang menurunkan imunitas ( radioterapi, kemoterapi, atau terapi steroid ).

 Pada bulan lalu mendapat imunisasi yang berisi vaksin virus hidup ( vaksin campak, poliomielitis, rubela ).

 Pada 3 bulan yang lalu mendapat imunoglobulin atau tranfusi darah.  Menderita penyakit susunan syaraf pusat

(14)

Pencatatan Imunisasi dan Kartu Imunisasi

Setiap bayi/anak sebaiknya mempunyai dokumentasi imunisasi seperti kartu imunisasi yang dipegang oleh orangtua atau pengasuhnya. Setiap dokter atau tenaga paramedis yang memberikan imunisasi harus mencatat semua data-data yang relevan pada kartu imunisasi tersebut. Orangtua/pengasuh yang membawa anak ke tenaga medis atau paramedis untuk imunisasi diharapkan senantiasa membawa kartu imunisasi tersebut.

Data yang harus dicatat pada kartu imunisasi adalah sebagai berikut : o Jenis vaksin yang diberikan, termasuk nomor batch dan nama dagang o Tanggal melakukan vaksinasi

o Efek samping bila ada

o Tanggal vaksinasi berikutnya

o Nama tenaga medis/paramedis yang memberikan vaksin

Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi

Kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI=adverse events associated with vaccines,adverse events following immunization) didefinisikan sebagai semua kejadian sakit dan kematian yang terjadi dalam masa 1 bulan setelah imunisasi. Pada umumnya reaksi terhadap obat dan vaksin dapat merupakan reaksi simpang (adverse effects), atau kejadian lain yang bukan terjadi akibat efek langsung vaksin. Reaksi simpang vaksin antara lain dapat berupa efek farmakologis, efek samping (side effects), interaksi obat, intoleransi, reaksi idiosinkrasi, dan reaksi alergi yang umumnya secara klinis sulit dibedakan. Reaksi alergi dapat terjadi terhadap protein telur (vaksin campak, gondong, influenza, dan demam kuning), antibiotik, bahan preservatif (neomisin, merkuri), atau unsur lain yang terkandung dalam vaksin.

Faktor penyebab

Pokja KIPI Depkes RI membagi penyebab kejadian ikutan pasca imunisasi menjadi 4 kelompok, yaitu karena kesalahan program/teknik pelaksanaan imunisasi, induksi vaksin, faktor kebetulan, dan penyebab tidak atau belum diketahui.

(15)

Klasifikasi Lapangan

Sesuai dengan manfaatnya di lapangan maka KN PP KIPI memakai kriteria WHO Western Pasific untuk memilah KIPI dalam lima kelompok penyebab, yaitu :

1. Kesalahan program 2. Reaksi suntikan 3. Reaksi vaksin 4. Koinsiden, dan 5. Sebab tidak diketahui

Kesalahan program/teknik pelaksanaan imunisasi (programmatic errors)

Sebagian besar kasus KIPI berhubungan dengan masalah program dan teknik pelaksanaan imunisasi yang meliputi kesalahan program penyimpanan, pengelolaan, dan tata laksana pemberian vaksin. Kesalahan tersebut misalnya dapat terjadi pada :

 dosis antigen (terlalu banyak)  lokasi dan cara menyuntik

 sterilisasi semprit dan jarum suntik  jarum bekas pakai

 tindakan a dan antiseptik

 kontaminasi vaksin dan peralatan suntik  penyimpanan vaksin

 pemakaian sisa vaksin

 jenis dan jumlah pelarut vaksin

 tidak memperhatikan petunjuk prosedur (petunjuk pemakaian, indikasi kontra)

Induksi Vaksin (vaccine induced)

Gejala KIPI yang disebabkan induksi vaksin umumnya sudah dapat diprediksi terlebih dahulu karena merupakan reaksi simpang vaksin, dan secara klinis biasanya ringan.Walaupun demikian dapat saja terjadi gejala klinis hebat seperti reaksi anafilaksis sistemik dengan risiko kematian. Reaksi simpang ini sudah teridentifikasi dengna baik dan tercantum dalam petunjuk pemakaian tertulis oleh produsen sebagai indikasi kontra, indikasi khusus, perhatian khusus,atau berbagai tindakan dan perhatian lainya termasuk kemungkinan interaksi dengan obat atau vaksin lain. Petunjuk ini harus diperhatikan dan ditanggapi dengan baik oleh pelaksana imunisasi.

(16)

Sbagai acuan dan perbandingan dapat dipakai rekomendasi dari Advisory Committee on Immunization Practices dan Committee on Infectious Disease of the American Academy of Pediatrics.

Faktor kebetulan (coincidental)

Seperti telah disebutkan di atas, maka kejadian yang timbul ini terjadi secra kebetulan saja setelah imunisasi. Indikator kebetulan ini ditandai dengan ditemukannya kejadian yang sama pada kelompok populasi setempat dengan karakteristik serupa yangtidak mendapat imunisasi pada saat bersamaan.

Penyebab tidak diketahui

Bila kejadian atau masalah yang dilaporkan belum dapat dikelompokan ke dalam salah satu penyebab lain maka untuk sementara dimasukkan ke dalam kelompok ini. Tetapi biasannya dengan kelengkapan informasi lebih lanjut maka akan dapat ditentukan masih dalam kelompok mana yang sesuai.

Pemberian Parasetamol sebelum dan sesudah imunisasi

Kepada orangtua atau pengantar diberitahukan bahwa 30 menit sebelum imunisasi DPT/DT. MMR, Hib, hepatitis B dianjurkan memberikan parasetamol 15 mg/kgbb kepada bayi/anak untuk mengurangi ketidaknyamanan pasca vaksinasi. Kemudian dilanjutkan setiap 3-4 jam sesuai kebutuhan, maksimal 6 kali dalam 24 jam. Jika keluhan masih berlanjut, diminta segera kembali kepada dokter.

Reaksi KIPI

Orangtua atau pengantar perlu diberitahu bahwa setelah imunisasi dapat timbul reaksi lokal di tempat penyuntikan atau reaksi umum berupa keluhan dan gejala tertentu, tergantung pada jenis vaksinnya. Reaksi tersebut umumnya ringan, mudah diatasi oleh orangtua atau pengasuh, dan akan hilang dalam 1-2 hari. Di tempat suntikan kadang- kadang timbul kemerahan, pembengkakan, gatal, nyeri selama 1-2 hari. Kompres hangat dapat mengurangi kedaan tersebut. Kadang-kadang teraba benjolan kecil yang agak keras selama beberapa minggu atau lebih, tetapi umumnya tidak perlu dilakukan tindakan apapun.

BCG

(17)

ulserasi dalam waktu 2-4 bulan, kemudian menyembuh perlahan dengan menimbulkan jaringan parut tanpa pengobatan khusus. Bila ulkus mengeluarkan cairan orangtua dapat mengompres dengan cairan antiseptik. Bila cairan bertambah banyak atau koreng semakin membesar orangtua harus membawanya ke dokter. Hepatitis B

Kejadian ikutan pasca imunisasi hepatitis B jarang terjadi. Segera setelah imunisasi dapat timbul demam yang tidak tinggi, pada tempat penyuntikan timbul kemerahan, pembengkakan, nyeri, rasa mual dan nyeri sendi. Orangtua atau pengasuh dianjurkan untuk memberi minum lebih banyak ( ASI atau air buah ), jika demam pakailah pakaian yang tipis, bekas suntikan yang nyeri dapat dikompres air dingin. Jika demam berikan parasetamol 15 mg/kgbb setiap 3-4 jam bila diperlukan, boleh mandi atau cukup diseka dengan air hangat. Jika reaksi tersebut menjadi berat dan menetap, atau jika orangtua merasa khawatir, bawalah bayi/anak ke dokter.

DPT

Reaksi yang dapat terjadi segera setelah vaksinasi DPT antara lain demam tinggi, rewel, di tempat suntikan timbul kemerahan, nyeri dan pembengkakan, yang akan terjadi dalamn 2 hari.

DT

Reaksi yang dapat terjadi pasca vaksinasi DT antara lain kemerahan, pembengkakan dan nyeri pada bekas suntikan. Bekas suntikan yang nyeri dapat dikompres dengan air dingin. Biasanya tidak perlu tindakan khusus.

Polio Oral

Sangat jarang terjadi reaksi sesudah imunisasi polio, oleh karena itu orangtua/pengasuh tidak perlu melakukan tindakan apapun.

Campak dan MMR

Reaksi yang dapat terjadi pasca vaksinasi campak dan MMR berupa rasa tidak nyaman di bekas penyuntikan vaksin. Selain itu dapat terjadi gejala-gejala lain yang timbul 5-12 hari setelah penyuntikan selama kurang dari 48 jam yaitu demam tidak tinggi, erupsi kulit kemerahan halus/tipis yang tidak menular, pilek. Pembengkakan kelenjar getah bening kepala dapat terjadi sekitar 3 minggu pasca imunisasi MMR. Klasifikasi

Tuntutan keamanan vaksin dan faktor risiko yang tetap ada dapat menimbulkan keengganan yang potensial dapat mengancam kegagalan program

(18)

imunisasi. Karena ini perlu suatu usaha perlindungan, antara lain dengan berbagai upaya peningkatan keamanan pembuatan, penyediaan, dan distribui vaksin, serta peningkatan kualitas program dari teknik pelaksanaan imunisasi. Beberapa produsen vaksin misalnya telah melakukan perbaikan antigenisitas dan purifikasi vaksin meminimalkar, benda asing dalam vaksin untuk mengurangi kemungkinan reaksi simpang. Dari pengalaman di ISA terlihat bahwa walaupun vaksin yang beredar terbukti aman dan efektif ternyata tetap saja dapat timbul reaksi simpang yang menimbulkan reaksi masyarakat serta tuntutan ganti rugi. Reaksi simpang tersebut dapat berupa gejala minimal yang tidak memerlukan tindakan sampai dengan kelainan berat yang bahkan dapat menyebabkan kematian.

Pada umumnya dapat dikatakan bahwa vaksin hidup lebih potensial menimbulkan efek berbahaya dibandingkan dengan bukan vaksin hidup. Risiko berbahaya tersebut terutama dapat terjadi pada individui dengan defisiensi imun atau bayi dalam kandungan,dan bahkan dapat terjadi pada orang sehat. Selain karena organismenya sendiri, vaksin hidup dapat mengandung kontaminan yang sulit terdeteksi.

Deteksi dan Pelaporan KIPI

Kejadian ikutan pasca imunisasi adalah insiden medik yang terjadi setelah imunisasi dan dianggap disebabkan oleh imunisasi. KIPI menetapkan semua kejadian penyakit atau kematian dalam kurun waktu 1 bulan setelah imunisasi. Meskipun masyarakat seringkali beranggapan bahwa insiden medik setelah imunisasi selalu disebabkan oleh imunisasi, insiden umumnya terjadi secara kebetulan. Sebagian yang beranggapan bahwa vaksin sebagai penyebab KIPI juga keliru. Penyebab sebenarnya adalah kesalahan program yang sebetulnya dapat dicegah. Untuk menemukan penyebab KIPI kejadian tersebut harus dideteksi dan dilaporkan.

KIPI yang harus dilaporkan

Semua kejadian yang berhubungan dengan imunisasi seperti, 1. Abses pada tempat suntikan

2. Semua kasus limfadenitis BCG

3. Semua kematian yang diduga oleh petugas kesehatan atau masyarakat berhubungan dengan imunisasi.

(19)

4. Semua kasus rawat inap, yang diduga oleh petugas kesehatan atau masyarakat berhubungan dengan imunisasi.

5. Insiden medik berat atau tidak lazim yang diduga oleh petugas kesehatan atau masyarakat berhubungan dengan imunisasi.

Lima kategori KIPI di atas kadang disebut sebagai pencetus kejadian oleh karena adanya reaksi tersebut merangsang atau mencetuskan respons.

Data yang harus dilaporkan 1. Data pasien

 Riwayat perjalanan penyakit  Riwayat penyakit sebelumnya  Riwayat imunisasi

 Pemeriksaan penunjang yang berhubungan 2. Data pemberian vaksin

 Nomor lot  Masa kadaluarsa  Pabrik pembuat vaksin

 Kapan dan dari mana vaksin dikirim

 Pemeriksaan penunjang tentang vaksin, apabila ada atau berhubungan 3. Data yang berhubungan dengan program

 Perlakuan umum petugas kesehatan terhadap rantai dingin vaksin seperti:

• Penyimpanan vaksin, apakah memebeku atau kadarluwarsa?

• Perlakuan terhadap vaksin, apakah dikocok lebih dahulu?

• Perlakuan setelah vaksinasi, misalnya apakah vaksin dibuang setelah selesai pelaksanan imunisasi?

 Perlakuan mencampur serta melakukan imunisasi

• Apakah pelarut yang dipakai sudah benar?

• Apakah pelarut steril?

• Apakah dosis sudah benar?

• Apakah vaksin diberikan dengan cara dan tempat yang benar?  Ketersediaan jarum dan semprit

(20)

• Perlakuan sterilasi peralatan apakah telah dilakukan? 4. Data sasaran lain

 Jumlah pasien yang menerima imunisasi dengan vaksin nomor lot sama atau pada masa yang sama atau keduanya, dan berapa pasien yang sakit serta gejalanya.

 Jumlah sasaran yang diimunisasi dengan lot lain atau masyarakat yang tidak diimunisasi tetapi penyakit dengan gejala yang sama.

BAB III

IMUNISASI PADA KELOMPOK BERISIKO

Pada anak yang mempunyai risiko tinggi untuk mendapat infeksi, harus di imunisasi berdasarkan prioritas. Misalnya bayi prematur, anak dengan penyakit keganasan, anak yang mendapatkan pengobataan imunosupresi, radioterapi, anak dengan infeksi HIV, transplantasi sumsum tulang/ organ dan spelenektomi.

Pada anak yang pernah menderita reaksi efek samping yang serius setelah imunisasi, harus diberikan imunisasi berikutnya di rumah sakit dengan pengawasan dokter.

Penekanan respons imun dapat terjadi pada penyakit defisiensi imun kongenital dan defisiensi imun didapat seperti pada leukimia, limfoma, pasien dengan pengobatan alkilating agents, antimetabolik, radioterapi, kortikosteroid sistemik dosis tinggi dan lama.

Pasien dengan sistim imun tertekan

1. Mendapat pengobatan kortikosteroid dosis tinggi sama atau lebih dari 20 mg sehari atau 2 mg/kg bb/ hari dengan lama pengobatan > 7 hari atau dosis 1 mg/ kg bb/ hari lama pengobatan > 1 bulan.

2. Pengobatan dengan alkylating agents, antimetabolik dan radioterapi untuk penyakit keganasan seperti leukemia dan limfoma.

(21)

Pada pasien dengan sistem imun yang tertekan, tidak boleh diberikan imunisasi vaksin hidup karena akan berakibat fatal disebabkan vaksin akan bereplikasi dengan hebat karena tubuh tidak dapat mengontrolnya. Vaksin hidup misalnya vaksin polio oral, MMR, BCG. Vaksinasi dengan mikroorganisme hidup dapat diberikan setelah penghentian pengobatan minimal 3 bulan.

Vaksinasi dengan mikroorganisme mati atau yang dilemahkan dapat diberikan seperti hepatitis B, hepatitis A, DPT ,influenza dan Hib, dosis sama dengan anak sehat. Respons imun yang timbul tidak sama dengan anak sehat, sehingga bila kontak dengan pasien campak harus diberikan imunisasi pasif yaitu normal immunoglobulin human dengan dosis 0,2 ml/kg bb/ intramuskular. Untuk profilaksis varisela dosis lebih besar 0,4-1,0 ml/kg bb, bila mungkin sebaiknya diberikan imunisasi spesifik dengan varicella-zoster imunoglobulin namun pada saat ini belum ada di Indonesia. Pasien dalam pengobatan kortikosteroid

 Pada pasien dengan pengobatan kortikosteroid topikal atau injeksi lokal misalnya erosol untuk asma, rinitis alergi, salep kulit, mata, intra artikular, kortikosteroid dosis rendah yang diberikan setiap hari atau selang sehari, dapat diberikan imunisasi dengan vaksin hidup.

 Sedangkan pada pasien yang mendapat kortikosteroid sistemik dosis tinggi setiap hari atau selang sehari dan lama pemberian kurang dari 14 hari, dapat diberikan imunisasi dengan vaksin hidup segera setelah penghentian pengobataan, namun ada yang menganjurkan setelah penghentian 14 hari.  Pada pasien yang mendapat kortikosteroid sistemik dosis tinggi setiap hari

atau selang sehari selama >14 hari, dapat diberikan imunisasi vaksin hidup setelah penghentian pengobatan 1 bulan. Imunisasi dengan vaksin hidup dapat diberikan pada pasien yang telah menghentikan pengobatan imunosupresif selama 3 sampai 6 bulan dengan pertimbangan bahwa status imun sudah mulai membaik dan penyakit primernya sudah dalam remisi atau sudah dapat dikontrol.

 Keluarga pasien imunokompromais yang kontak lansung dianjurkan untuk mendapatkan imunisasi polio inaktif, varisela, dan MMR. Vaksin varisela sangat dianjurkan untuk keluarga imunokompromais, oleh karena walaupun dapat terjadi penularan transmisi virus varisela pada pasien tetapi gejala lebih ringan dari pada infeksi alamiah yang akan berakibat lebih buruk dan dapat fatal.

(22)

 Pengecualian unutk penderita leukemia limfosik akut dalam keadaan remisi lebih dari 1 tahun, dapat diberikan imunisasi dengan virus hidup varisela, oleh karena bila mendapat infeksi alamiah dengan varisela dapat fatal.

 Pasien defisiensi imun kongenital ataupun yang didapat, imunisasi tidak akan memberikan respons maksimal seperti yang diinginkan, sehingga dianjurkan memeriksa titer anitbodi serum setelah imunisasi sebagai data untuk pemberian imunisasi berikutnya.

Pasien infeksi human immunodeficiency virus (HIV)

Pasien HIV mempunyai risiko lebih besar untuk mendapatkan infeksi sehingga diperlukan imunisasi, walaupun responsnya terhadap imunisasi tidak optimal atau kurang. Kapan pasien HIV harus diberi imunisasi? Apabila diberikan terlambat mungkin tidak akan berguna karena penyakit sudah lanjut dan efek imunisasi tidak ada atau kurang, namun apabila diberikan dini, vaksin hidup akan mengaktifkan sistim imun yang dapat meningkatkan replikasi virus HIV sehingga memperberat penyakit HIV. Pasien HIV dapat diimunisasi dengan mikroorganisme yang dilemahkan atau yang mati.

Pasien transplantasi sumsum tulang (TST)

Resipien transplantasi sumsum tulang alogenik akan menjadi defisiensi imun disebabkan 4 komponen:

1. Pengobatan imunsupresi terhadap penyakit primer 2. Kemoterapi dan radioterapi yang diberikan pada pejamu 3. Reaktivitas imunologi antara graft dan pejamu serta,

4. Pengobatan imunsupresi yang diberikan setelah transplantasi dilakukan

Sebaiknya sebelum transplantasi dilakukan, pada resipien diberikan imunisasi terlebih dahulu. Karena terbukti setelah transplantasi imunitas terhadap virus polio, tetanus, dan difteria hampir tidak ada, maka sebaiknya pejamu diberikan imunisasi DPT dan polio sebelum transplantasi dilakukan. Penelitian klinis menunjukan bahwa bila donor diberikan imunisasi difteria dan tetanus sebelum transplantasi dilakukan kemudian segera setelah itu diberikan imunisasi pada resipien dengan antigen yang sama akan memberikan respons yang baik. Hal yang sama dapat dilakukan dengan vaksin inaktif

(23)

Bayi prematur

Bayi prematur dapat diimunisasi sesuai dengan umur kronologisnya dengan dosis dan jadwal yang sama dengan bayi cukup bulan. Vaksin DPwT atau DtaP, Hib, dan OPV diberikan pada usia 2 bulan. Bila bayi masih dirawat pada usia 2 bulan sebaiknya diberikan IPV, bila akan diberikan OPV pemberian ditunda sampai saat bayi akan dipulangkan dari rumah sakit unutk menghindari penyebaran virus polio kepada bayi lain yang sedang dirawat. Pada bayi prematur, respons imun kurang bila dibandingkan bayi cukup bulan terhadap imunisasi hepatitis B, sehingga pemberian vaksin hepatitis dapat dilakukan 2 cara:

 prematur dengan ibu HbsAg positif harus diberikan hep B bersamaan dengan HBIG pada 2 tmepat yang berlainan dalam waku 12 jam. Dosis ke 2 diberikan 1 bulan kemudian, dosis ke 3 dan ke 4 diberikan usia 6 dan 12 bulan.

 Permatur dengan ibu HbsAg negatif pemberian imunisasi dapat dengan : o Dosis pertama saat lahir, ke II umur 2 bulan, ke II dan ke IV umur 6

dan 12 bulan. Titer diperiksa setelah imunisasi ke IV.

o Dosis pertama diberikan saat bayi sudah mencapai berat badan 2000 gr atau sekitar 2 bulan. Vaksinasi hepatitis B peratama dapat diberikan bersama sama DPT, OPV (IPV) dan Hib. Dosis hepatitis B ke II diberikan 1 bulan kemudian dan ke II usia 8 bulan. Titer antibodi diperiksa setelah imuniasi ke III

 Saat ini telah beredar vaksin kombinasi hepatitis B dengan DPT (Tritanrix, Glaxo, smith Klein). Untuk bayi berumur <6 minggu tidak dianjurkan jadi tidak dapat diberikan sebagai imuniasai pertama pada bayi baru lahir.

 Bila status ibu tidak diketahui sebaiknya diberikan sesuai imunisasi pada bayi dengan ibu HbsAg positif.

Air Susu Ibu dan Imunisasi

Tidak terdapat kontra indikasi pada bayi yang sendan menyusui bila ibunya diberikan imunisasi baik dengan bakteri/virus hidup dan kuman yang dilemahkan. Sebaliknya, air susu ibu tidak akan menghalangi seorang bayi untuk mendapakan imunisasi.

(24)

BAB IV

Jadwal imunisasi adalah informasi mengenai kapan suatu jenis vaksinasi atau imunisasi harus diberikan kepada anak. Jadwal imunisasi suatu negara dapat saja berbeda dengan negara lain tergantung kepada lembaga kesehatan yang berwewenang mengeluarkannya.

Jadwal imunisasi di Indonesia

Berikut ini adalah jadwal imunisasi anak rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Periode 2004 (revisi September 2003):

Vaksin

Umur pemberian imunisasi

Bulan Tahun

Lahir 1 2 3 4 5 6 9 12 15 10

(25)

BCG Hepatitis B 1 2 3 Polio 0 1 2 3 DTP 1 2 3 Campak 1

Program Pengembangan Imunisasi Non PPI (non PPI, dianjurkan)

Hib 1 2 3 4 MMR 1 Tifoid Ulangan, tiap 3 tahun Hepatitis diberikan

(26)

A 2x, interval 6-12 bulan

Varisela

Keterangan jadwal imunisasi rekomendasi IDAI, periode 2004:

Umur Va ksi n Keterangan Saat lahir Hepati tis B-1

• HB-1 harus diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir, dilanjutkan pada umur 1 dan 6 bulan. Apabila status HbsAg-B ibu positif, dalam waktu 12 jam setelah lahir diberikan HBlg 0,5 ml bersamaan dengan vaksin HB-1. Apabila semula status HbsAg ibu tidak diketahui dan ternyata dalam perjalanan selanjutnya diketahui bahwa ibu HbsAg positif maka masih dapat diberikan HBlg 0,5 ml sebelum bayi berumur 7 hari.

Polio-0 • Polio-0 diberikan saat kunjungan pertama. Untuk bayi yang lahir di RB/RS polio oral diberikan saat bayi dipulangkan (untuk menghindari transmisi virus vaksin kepada bayi lain)

1 bulan He pati tis B-2

• Hb-2 diberikan pada umur 1 bulan, interval HB-1 dan HB-2 adalah 1 bulan.

0-2 bulan

BC

G •

BCG dapat diberikan sejak lahir. Apabila BCG akan diberikan pada umur > 3 bulan sebaiknya dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu dan BCG diberikan apabila uji tuberkulin negatif.

(27)

2

bulan DTP-1 • DTP-1 diberikan pada umur lebih dari 6 minggu, dapat dipergunakan DTwp atau DTap. DTP-1 diberikan secara kombinasi dengan Hib-1 (PRP-T)

Hib-1 • Hib-1 diberikan mulai umur 2 bulan dengan interval 2 bulan. Hib-1 dapat diberikan secara terpisah atau dikombinasikan dengan DTP-1.

Polio-1 • Polio-1 dapat diberikan bersamaan dengan DTP-1

4 bulan

DT

P-2 •

DTP-2 (DTwp atau DTap) dapat diberikan secara terpisah atau dikombinasikan dengan Hib-2 (PRP-T).

Hib-2 • Hib-2 dapat diberikan terpisah atau dikombinasikan dengan DTP-2

Polio-2 • Polio-2 diberikan bersamaan dengan DTP-2

6 bulan

DT

P-3 •

DTP-3 dapat diberikan terpisah atau dikombinasikan dengan Hib-3 (PRP-T).

Hib-3 • Apabila mempergunakan Hib-OMP, Hib-3 pada umur 6 bulan tidak perlu diberikan.

Polio-3 • Polio-3 diberikan bersamaan dengan DTP-3

Hepatitis

B-3 •

HB-3 diberikan umur 6 bulan. Untuk mendapatkan respons imun optimal, interval HB-2 dan HB-3 minimal 2 bulan, terbaik 5 bulan.

9

bulan Camp ak-1

• Campak-1 diberikan pada umur 9 bulan, campak-2 merupakan program BIAS pada SD kelas 1, umur 6 tahun. Apabila telah mendapatkan MMR pada umur 15 bulan, campak-2 tidak perlu diberikan.

(28)

15-18

bulan MMR • Apabila sampai umur 12 bulan belum mendapatkan imunisasi campak, MMR dapat diberikan pada umur 12 bulan.

Hib-4 • Hib-4 diberikan pada 15 bulan (T atau PRP-OMP).

18 bulan

DT

P-4 •

DTP-4 (DTwp atau DTap) diberikan 1 tahun setelah DTP-3.

Polio-4 • Polio-4 diberikan bersamaan dengan DTP-4.

2 tahun He pati tis A

• Vaksin HepA direkomendasikan pada umur > 2 tahun, diberikan dua kali dengan interval 6-12 bulan.

2-3

tahun Tifoid • Vaksin tifoid polisakarida injeksi direkomendasikan untuk umur > 2 tahun. Imunisasi tifoid polisakarida injeksi perlu diulang setiap 3 tahun.

5 tahun

DT

P-5 • DTP-5 diberikan pada umur 5 tahun (DTwp/DTap)

Polio-5 • Polio-5 diberikan bersamaan dengan DTP-5.

6 tahun.

M

MR •

Diberikan untuk catch-up immunization pada anak yang belum mendapatkan MMR-1.

10 tahun

dT/

TT •

Menjelang pubertas, vaksin tetanus ke-5 (dT atau TT) diberikan untuk mendapatkan imunitas selama 25 tahun.

(29)

Kontra Indikasi BCG

• Reaksi uji tuberkulin > 5 mm

• Sedang menderita infeksi HIV atau dengan risiko tinggi infeksi HIV. Imunokompromais akibat pengobatan kortikosteroid, obat imunosupresif, mendapat pengobatan radiasi, penyakit keganasan yang mengenai sumsum tulang atau sistem limfe.

• Anak menderita gizi buruk

• Sedang menderita panas tinggi

• Menderita infeksi kulit yang luas

• Pernah sakit tuberkulosis

• Kehamilan

Vaksin Kombinasi

Vaksin kombinasi merupakan gabungan beberapa antigen tunggal menjadi satu jenis produk antigen untuk mencegah penyakit yang berbeda atau antigen dari galur multipel dari organisme penyebab penyakit yang sama. Alasan utama pembuatan vaksin kombinasi adalah:

1. vaksin kombinasi lebih praktis daripada vaksin terpisah, sehingga dapat meningkatkan cakupan imunisasi.

2. mengurangi biaya

3. mengurangi biaya pengobatan

4. memudahkan penambahan vaksin baru ke dalam program imunisasi yang telah ada.

5. untuk mengejar imunisasi yang terlambat

6. walaupun harga vaksin kombinasi kadang kadang lebih mahal bila dibandingkan dengan vaksin terpisah, apabila dihitung pengeluaraan total termasuk biaya berobat, transportasi, kecemasan anak dan orang tua, biaya pengadaan dan penyimpanan, maka secara ekonomis menjadi lebih murah.

Di samping keuntungannya, vaksin kombinasi mempunyai beberapa kekurangan, yaitu:

1. terjadinya ketidakserasian kimiawi/fisis, sebagai akibat percampuran beberapa antigen beserta ajuvan-nya.

(30)

2. sulit dihindari adanya perubahan respons imun sebagai akibat interaksi antara antigen dengan antigen lain atau antara antigen dengan ajuvan yang berbeda. 3. pemakainan vaksin kombinasi dapat membingungkan para dokter dalam

menyusun jadwal imunisasi, apalagi bila dipergunakan vaksin dari pabrik yang berbeda.

PENYIMPANAN DAN TRANPORTASI VAKSIN

• Penyimpanan vaksin membutuhkan suatu perhatian khusus karena vaksin merupakan sediaan viologis yang rentan terhadap perubahan temperatur lingkungan.

• Vaksin akan rusak apabila temperatur terlalu tinggi atau terkena sinar matahari langsung seperti pada vaksin polio tetes dan vaksin campak. Kerusakan juga dapat terjadi apabila terlalu dingin atau beku seperti pada toksoid difteria, toksoid tetanus, vaksin pertusis (DPT,DT), Hib conjugate, hepatitis B dan vaksin influenza.

• Pada beberapa vaksin apabila rusak akan terlihat perubahan fisik. Pada vaksin DPT misalnya akan terlihat gumpalan antigen yang tidak bisa larut lagi walaupun sudah dikocok sekuat kuatnya. Sedangkan vaksin lain tidak akan berubah penampilan fisik walaupun potensinya sudah hilang/berkurang.

• Vaksin yang sudah dilarutkan lebih cepat rusak. Dengan demikian kita harus yakin betul bahwa cara penyimpanan yang kita lakukan sudah benar dan menjamin potensi vaksin tidak akan berubah.

Lemari Pendingin untuk Penyimpanan Vaksin yang aman

• Termometer ruangan di bagian tengah lemari pendingin harus ada, temperatur dicek dan dicatat secara teratur setiap hari.

• Lemari pendingin harus ditutup rapat, tidak boleh ada kebocoran pada sekat pintu

• Lemari pendingin tidak boleh dipakai untuk menyimpan makanan atau minuman.

(31)

• Botol plasti berisi es atau air garam diletakan di baigan bawah lemari pendingin untuk mempertahankan keseimbangan temperatur dalam ruang lemari pendingin, terutama apabila sedang tidak ada arus listrik.

• Lemari pendingin boleh dibuka seminimal mungkin

• Defrosting harus dilakukan secara teratur pada lemari pendingin yang tidak frost free untuk mencegah terbentuknya gumpalan es di ruang pembeku.

• Letakan vaksin di rak bagian atas atau tengah, jangan di rak bagian bawah atau di daun pintu karena perubahan temperatur terlalu besar apabila pintu dibuka-tutup terlalu sering

• Jangan memenuhi lemari pendingin dengan vaksin secara berlebihan karena akan menggangu sirkulasi udara dingin dalam lemari pendingin.

• Selama dilakukan defrosting atau pembersihan lemari pendingin, maka vaksin harus dipindahkan ke lemari pendingin lainnya atau disimpan dalam kotak berisolasi yang berisi es atau ice pack.

Prosedur yang harus diperhatikan waktu menggunakan vaksin:

• Vaksin yang sudah kadaluarsa harus segera dikeluarkan dari lemari pendingin untuk mencegah terjadinnya kecelakaan.

• Vaksin harus selalu ada di dalam lemari pendingin sampai saatnya dibutuhkan, semua vaksin yang sudah tidak digunakan lagi harus dikembalikan ke dalam lemari pendingin.

• Di lemari pendingin vaksin yang sudah terbuka atau sedang dipakai diletakan dalam satu wadah/tempat khusus sehingga segera dapat dikenali.

• Vaksin BCG yang sudah keluar masuk lemari pendingin selama pemeriksaan klinik harus dibuang pada saat akhir klinik.

• Vaksin polio oral dapat cepat dicairkan dan cepat pula dibekukan kembali sampa 10 kali tanpa kehilangan potensi vaksin. Vaksin polio oral dapat dipakai beberapa kali pemeriksaan poliklinik asalkan memenuhi syarat-syarat belum kadaluarsa dan vaksin disimpan dalam lemari pendingin penyimpan vaksin yang memadai.

• Untuk vial vaksin multidosis yang mengandung bakteriostatik misalnya DPT, vial yang terpakai dibuang bila sudah kadaluarsa atau terkontaminasi.

(32)

• Vaksin yang tidak mengandung bakteriostatik segera dibuang dalam waktu 24 jam apabila sudah terpakai.

• Vaksin campak dan MMR yang sudah dilarutkan agar dibuang setelah 8 jam.

• Vaksin Hib yang sudah dilarutkan harus dibuang setelah 24 jam.

BAB V

KESIMPULAN

(33)

Pada saat seorang bayi dilahirkan ke dunia, ia sudah harus menghadapi berbagai 'musuh' yang mengancam jiwa. Virus, bakteri, dan berbagai bibit penyakit sudah siap menerjang masuk ke tubuh yang masih tampak lemah itu.

Lemah? Tidak juga. Ternyata sang bayi mungil pun sudah siap untuk menghadapi kerasnya dunia. Berbekal antibodi yang diberikan ibunya, ia siap menyambut tantangan. Inilah contoh dari apa yang kita sebut sebagai daya imunitas (kekebalan) tubuh.

Penggolongan sistem kekebalan

Kekebalan tubuh dapat kita kelompokkan menjadi dua golongan: 1. Kekebalan pasif

2. Kekebalan aktif

Kekebalan pasif terjadi bila seseorang mendapatkan daya imunitas dari luar dirinya. Jadi, tubuhnya sendiri tidak membentuk sistim kekebalan tersebut. Kekebalan jenis ini bisa didapat langsung dari luar, atau secara alamiah (bawaan).

Keunggulan dari kekebalan pasif adalah langsung dapat dipergunakan tanpa menunggu tubuh penderita membentuknya. Kelemahannya adalah tidak berlangsung lama. Kekebalan jenis ini memang biasanya hanya bertahan beberapa minggu sampai bulan saja.

Kekebalan aktif terjadi bila seseorang membentuk sistem imunitas dalam tubuhnya. Kekebalan bisa terbentuk saat seseorang terinfeksi secara alamiah oleh bibit penyakit, atau 'terinfeksi' secara buatan saat diberi vaksinasi.

Kelemahan dari kekebalan aktif ini adalah memerlukan waktu sebelum si penderita mampu membentuk antibodi yang tangguh untuk melawan agen yang menyerang. Keuntungannya, daya imunitas biasanya bertahan lama, bahkan bisa seumur hidup.

Imunitas pasif alamiah

Pada saat seorang bayi lahir ke dunia, ia dibekali dengan sistem kekebalan tubuh bawaan dari ibunya. Inilah yang kita sebut sebagai kekebalan pasif alamiah. Kekebalan jenis ini sangat tergantung pada kekebalan yang dipunyai oleh si ibu. Misalnya, bila ibu mendapat imunisasi tetanus pada saat yang tepat di masa kehamilan, maka anak mempunyai kemungkinan sangat besar untuk terlindung dari

(34)

infeksi tetanus di saat kelahirannya. Bila si ibu sendiri tidak mempunyai daya imunitas terhadap tetanus, maka apa yang bisa dibekalkan untuk anaknya?

Imunitas bawaan yang dibekalkan pada si buah hati antara lain imunitas terhadap difteri dan campak.

Imunitas pasif didapat

Pada keadaan ini, daya imunitas diperoleh dari luar, misalnya pemberian serum antitetanus. Kelebihannya dapat langsung dipergunakan tubuh untuk melawan bibit penyakit, tapi sayangnya kekebalan jenis ini biasanya mempunyai waktu efektif yang pendek.

Contoh imunitas pasif didapat:  Serum antitetanus  Serum antirabies  Serum antibisa ular

Imunitas aktif alamiah

Pada saat tubuh kita dimasuki oleh bibit penyakit, terjadi suatu mekanisme pembentukan sistem pertahanan tubuh yang spesifik terhadap bibit penyakit yang menyerang. Dengan demikian, bila bibit penyakit tersebut mencoba kembali masuk ke tubuh kita, tubuh sudah siap dengan pertahanannya.

Imunitas aktif didapat

Sesungguhnya prinsip dari imunitas aktif didapat ini diambil dari imunitas aktif alamiah. Bedanya, kita 'menyajikan' bibit penyakit atau bagian daripadanya, agar tubuh dapat membentuk sistem imunitas spesifik sebelum bibit penyakit tersebut benar-benar datang. Inilah yang dikenal sebagai vaksinasi.

Keuntungan dari pemberian vaksinasi adalah kita dapat mengontrol agar masuknya bibit penyakit (agen) tidak sampai menimbulkan penyakit yang parah pada diri si penerima. Walau mungkin tidak bergejala, dalam keadaan normal kekebalan tetap terbentuk.

Vaksin akan merangsang sistem kekebalan tubuh untuk bereaksi terhadap agen yang kita masukkan. Mungkin akan timbul sedikit keluhan pada penerima

(35)

terbentuk dan agen (dalam vaksin) yang kita masukkan. Tapi setelah itu, akan terbentuk antibodi yang selalu siap untuk mengingat musuh-musuhnya. Jadi bila di belakang hari agen yang sama berusaha masuk, tubuh dengan cepat dapat melipatgandakan antibodi spesifiknya untuk membunuh agen tersebut.

Vaksin mengandung substansi atau antigen yang relatif tidak berbahaya bagi tubuh penerima (resipien). Substansi atau antigen yang dipergunakan biasanya didapat dari mikroorganisme penyebab penyakit itu sendiri.

Komponen yang diberikan bisa berupa:  Virus yang dilemahkan

 Bakteri yang sudah dimatikan  Toksin kuman

 Toksoid

Pemberian imunisasi aktif dan pasif bisa diberikan secara sendiri-sendiri ataupun bersama-sama. Contoh pemberian bersama-sama adalah pada kasus infeksi tetanus. Pemberian serum antitetanus diperlukan agar tubuh dapat segera melawan bibit penyakit, tapi vaksin antitetanus juga harus diberikan agar tubuh dapat membentuk sendiri sistem pertahanan tubuh terhadap tetanus. Pada saat daya kerja serum antitetanus telah habis, sistem kekebalan tubuh penderita telah siap menggantikannya. Jenis-jenis imunisasi

Ada berbagai ragam jenis imunisasi yang dapat diberikan. Tidak semua orang memerlukan pemberian imunisasi tersebut. Faktor epidemiologi harus dipertimbangkan untuk menentukan imunisasi apa yang harus diberikan pada seseorang.

Jenis-jenis imunisasi itu antara lain: 1. BCG 2. DPT 3. Polio 4. Campak 5. Hepatitis B 6. DT 7. Tetanus

(36)

8. Hemophylus influensa B 9. MMR

10. Tifoid Komplikasi

Tergantung dari jenis imunisasi yang diberikan

Mendapatkan imunisasi bukan jaminan terhindar dari penyakit. Walau demikian, biasanya penyakit yang diderita menjadi lebih ringan dan cepat membaik. Yang paling penting, ancaman terhadap jiwa jauh berkurang.

Kebanyakan orangtua merasa khawatir terhadap berbagai gejala klinis yang muncul, misalnya demam, setelah anak mendapat vaksinasi. Kekhawatiran ini membuat sebagian dari mereka memutuskan untuk tidak memberikan imunisasi kepada si buah hati tercinta. Bila Anda kebetulan berpikir demikian, ingatlah bahwa keputusan tersebut bisa menghadapkan anak pada bahaya yang jauh lebih besar di kemudian hari.

Bila ingin memberikan imunisasi kepada si buah hati, jangan lupa mengingat waktu pemberian yang tepat. Bila Anda rajin memeriksakan si buah hati, dokter biasanya akan mengingatkan waktu pemberian imunisasi yang akan datang.

(37)

1. IGN Ranuh, Hariyono Suyitno, SRI Rezeki S Hadinegoro, Cissy B Kartasasmita. Pedoman imunisasi di Indonesia. Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Edisi kedua, Tahun 2005.

2. Lawrence M Tierney Jr MD, Stephen J McPhee MD, Maxine A Papadakis MD. Current Medical Diagnosis and Treatment 2002. Page 1313-1319.

3. Eric AF Simoes MD DCH and Jessie R Groothius MD. Immunization. Page 235-258. 4. http://www.naila rad.net.id/detail. 5. http://www.bayisehat.com/category/uncategorized. 6. http://www.sahabatnestle.co.id/HOMEV2/main/TKSK/TKSK_ndnp. 7. http://id.wikipedia.org/wiki/jadwal_imunisasi. 8. http://www.infeksi.com/hiv/mobile/articles,php. 9. http://www.tempointeractive.com. 10.http://www.indomedia.com. 11.http://www.ismnsurizan.com. 12.http://www.indosiar.com 13.http://www.jakarta.go.id. 14.http://www.bayi.us/imunisasi.php. 15.http://www.puterakembara.org/rm/alergi.shtml. 16.http://www.groups.google.co.id. 17.http://www.sehatgroup.teb.id. 18.http://www.pikiran-rakyat.com. 19.http://www.tabloid-nakita.com. 20.http://www.yahoo.com

Referensi

Dokumen terkait

optimum mungkin bervariasi sesuai dengan karakteristik dan seluruh komposisi kimiawi di dalam air baku, tetapi biasanya dalam hal ini fluktuasi tidak besar, hanya pada saat-saat

Hasil analisis regresi adalah dewan direksi berpengaruh terhadap profitabilitas, sedangkan dewan komisaris, dewan komisaris independen, komite audit,

Pada bagian terakhir dari alur cerita dalam karya komposisi musik ini terdapat pada birama 41 sampai 50.. Bagian ini menceritakan sebuah harapan

Pecahnya Korea diawali dengan Perang Korea antara Korea Utara dan Korea Selatan yang terjadi sejak 25 Juni 1950 - 27 Juli 1953. Perang ini juga disebut perang yang dimandatkan atau

Insya Allah, tidak hanya anak-anak Waqf-e-Nau yang harus menjadi orang-orang yang mencapai kedekatan Allah dan menapaki di jalan taqwa bahkan perbuatan orang yang mereka sayang

Hasil inventarisasi jenis serangga penyerbuk yang hadir pada tangkai tandan berbunga tanaman jarak pagar, dari bahan tanam yang berasal dari Kediri dan NTB, menunjukkan

Pada tabel ini juga menunjukkan bahwa petani utama Kabupaten Grobogan terbesar berada di kelompok usia 45-54 tahun yakni sebesar 76.894 rumah tangga (29,11 persen) atau dengan