• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tidung, Kerajaan yang hilang.pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Tidung, Kerajaan yang hilang.pdf"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

Diakses dari: http://ci.nii.ac.jp/els/contentscinii_20170819153553.pdf?id=ART0007410355 Diterjemahkan oleh : Raga C.

Latar Belakang Etnis Tidung: Penyelidikan terhadap

kerajaan-kerajaan kuno di pesisir Kalimantan timur laut

Mika Okushima1

Sejarah Kalimantan Timur Laut, dari pantai timur Sabah (Malaysia) sampai Tanjung Mangkaliat di Kalimantan Timur (Indonesia) (lihat Peta 1), menyisakan ketidakjelasan karena berbagai penguasa menggunakan nama yang berbeda atas seluruh wilayah tersebut (Irwin 1955: 153, n. 460). Dengan tidak adanya pemerintahan lokal yang terpusat, kesultanan di sekitarnya menganggap daerah perbatasan ini sebagai wilayah mereka, antara lain Brunei, Sulu, dan Banjarmasin, mereka telah mengklaim Kedaulatan atas daerah tersebut pada satu masa tertentu atau di satu masa yang lain (Okushima 2002: 149).

Sekitar akhir abad ke-17, Kesultanan Brunei (Brunei) menyerahkan daerah itu kepada Kesultanan Sulu (Sulu), yang menamainya "Tirun" sebelum menyerahkan daerah tersebut kepada Inggris di akhir abad 18. Pada periode yang sama, Banjarmasin, yang menyebut daerah itu dengan sebutan "Berau" dan menganggapnya sebagai perluasan wilayah kekuasaan Kutai di utara (lihat Peta 2), menyerahkannya kepada pemerintah kolonial Belanda. Tambah lagi, kesultanan-kesultanan lokal baru bermunculan di pesisir timur laut Kalimantan. Pertama, Kesultanan Bulungan (Bulungan), di bagian utaranya, mendeklarasikan kemerdekaan dari kesultanan tetangga pada akhir abad 18. Kemudian, orang-orang dari kesultanan yang jauh lebih tua, Berau, pecah menjadi Gunung Tabur dan Sambaliung pada abad ke-19 (lihat Dalrymple 1793; Leyden 1814; Hunt 1837; TNI 1849; Hageman 1855; Dewall 1855; Arsip National RI 1973, dll).

Kebingungan terminologis juga menghambat studi terhadap suku-suku etnis lokal di Kalimantan Timur Laut. Sebenarnya, pemerintahan-pemerintahan kecil di daerah ini didirikan oleh suku-suku lokal dan kemudian tumbuh berkembang. Khususnya Orang-orang tidung (Tidung), yang bersama dengan tetangga Bajau mereka dikatakan telah berperan sebagai kekuatan maritim bagi Brunei (Sama / Samal) (Catatan 1). Pasukan ini mulai menyerang pulau Sulu dan Mindanao pada abad ke-17. Tanah air mereka dikenal sebagai Tirun karena Sulu dan orang Spanyol memanggil mereka Camuçones (Catatan 2), atau Tirun, yang secara khusus "Tidung"

(2)

dalam dialek Sulu (Tausug). Di sisi lain, tetangga di selatan Tidung, termasuk Banjarmasin dan Kutai, menamai tanah air mereka berdasarkan nama salah satu kerajaan tertua mereka "Berayu (-k)," yang kemudian menjadi "Berau."

Tidung pada awalnya adalah berbagai macam orang lokal yang pindah ke daerah pesisir dan telah memainkan peran sentral dalam perdagangan maritim, mungkin di bawah kekuasaan Brunei, sebagaimana disebutkan data historis di atas. Namun, setelah Brunei menyerahkan Kalimantan Timur Laut kepada Sulu, Sulu balas menyerang Tidung untuk menunjukkan supremasi mereka dan untuk mengumpulkan upeti. Menjelang akhir abad ke-18, Tidung berangsur-angsur kehilangan jaringan perdagangan mereka dan telah didorong kembali ke tanah air mereka sebagai petani lokal dan pengumpul hasil hutan (lihat Majul 1973; Tarling 1978; Warren 1985; Nicholl 1991; Loyré 1997). Hal ini tampaknya telah menyebabkan mereka ramai ramai pindah agama dari animisme ke Islam antara akhir abad 18 dan pertengahan abad 19 (bandingkan Forrest 1792, Hageman 1855: 76 dan

(3)

Dewall 1855: 441). Menyikapi perubahaan keadaan ini, sebagian pemerintah Tidung memindahkan pusat pemerintahan mereka lebih jauh ke pedalaman dan memonopoli sumber-sumber hasil hutan yang bernilai seperti sarang burung (Aernout 1885; Hageman 1855; Okushima 2002). Yang paling sukses dari pemerintahan-pemerintahan ini adalah Bulungan, yang bersekutu dengan pribumi, terutama orang orang kayan pemburu kepala yang tangguh, dan mengganti identitas etnik mereka dari Tidung menjadi "Bulungan" (Okushima 2003). Sebaliknya, Tidung yang lain terus melawan, sehingga mereka ditindas karena dianggap "orang-orang kafir" atau ditindas karena dianggap "bajak laut" (Forrest 1792; Dewall 1855; St. John 1986), tidak hanya oleh orang Belanda dan Inggris, tapi juga oleh saudara islam mereka seperti Bulungan.

(4)

Dalam literatur yang ada tentang Tidung, masalah penamaan ini disertai beberapa hal kontroversial. Misalnya, apakah benar atau tidak bahwa Tidung berasal (setidaknya sebagian) dari suku-suku berbahasa Kayan (lihat Beech 1908; Akbarsyah 1997; G. Appell 1983 dll); Dan apakah benar atau tidak bahwa nama "Tidung" berasal dari istilah tideng / tidong ("Gunung" / "bukit") (lihat Beech 1908: 85; G. Appell 1983: 43; Appell-Warren 1986: 148; Sather 1972: 167; Sellato 2001: 21).

(5)

Makalah ini mengulas latar belakang etnis Tidung melalui data dasar tentang bahasa mereka, organisasi sosial, identitas kesukuan, dan wilayah politik masa lalu yang disebut Tirun atau Berau, tepatnya Tanah Tidung atau Berayu menurut pengucapan mereka sendiri, dalam rangka menjelaskan rincian sejarah kesukuan Kalimantan Timur Laut. Data primer, baik sejarah lisan maupun beberapa sumber tertulis (dokumen lokal, batu nisan, dll.), telah dikumpulkan selama penelitian lapangan saya di Kalimantan Timur (dua setengah tahun antara 1996 sampai dengan 1998), dan selama beberapa kunjungan singkat ke Sabah dan Timur Kalimantan (antara 2002 sampai dengan 2003).

1) Orang-orang Tidung

1-1: Distribusi dan hubungan antar etnis

Saat ini, Tidung terutama tinggal di wilayah utara Kalimantan Timur (Dari kabupaten Bulungan sampai Nunukan) dan di sepanjang pesisir timur Sabah (dari Sandakan sampai Tawau (lihat Peta 3). Secara keseluruhan Populasi Tidung diperkirakan 70.000 sampai 80.000 (lihat Tabel 1 untuk data Pemukiman dan populasi Tidung). Beberapa migran Tidung, yang sebagian besar tidak menggunakan bahasa leluhur mereka, tinggal di pesisir dan di pulau-pulau di Berau, di Kutai (Kutai Lama, Sangkulilang, Sangata, Pulau Anggana, dll); di kepulauan seribu Jakarta (dua pulau, Pulau Tidung Besar dan Kecil); Atau di pulau-pulau selatan Sulu (Sibutu, Simunul, Bangao, Sanga-Sanga, dll.). Ada sebuah suku-suku kecil Murut dari Kuala Penyu di sebelah barat Sabah, yang disebut Tenggara' atau tengara', yang dianggap oleh sekitar mereka sebagai keturunan Tidung yang belum terislamkan. Faktanya, Bahasa mereka tampaknya dekat dengan tidung dari Tarakan (Cense dan Uhlenbeck 1958: 30); Tidung Tarakan ingat bahwa pulau tarakan ini memang juga disebut Tenggara, atau 'Kampung Raja Tara (-k),' yang dinamai berdasarkan nama pendiri Kerajaan tersebut (Amir Hamzah 1998). Akhirnya, populasi Tidung melebihi 100.000 jika kita memasukkan Bulungan, yang tidak lagi menganggap dirinya sendiri Tidung , yang telah bercampur dengan sejumlah orang Kayan serta orang Melayu (lihat Bagian 2 di bawah).

Menurut sejarah lisan dari masa yang amat lampau, nenek moyang Tidung menetap terutama di sekitar sungai Kinabatangan dan sebagian lagi di Sipitang (Sabah Barat), Talisayan (Mindanao), dan Morotai (Halmahera). Meskipun saya sendiri belum menguatkan hal ini, kemungkinan besar hal itu telah terjadi pada masa-masa awal ketika Tidung masih memainkan peran sentral dalam perdagangan maritim Brunei dengan kerajaan-kerajaan di pulau Sulu, Sulawesi, dan Maluku. Brunei pernah mengorganisir orang-orang pesisir Kalimantan barat laut, Bisaya, untuk dijadikan sebagai

(6)

kekuatan maritim mereka dalam rangka melindungi wilayah-wilayahnya sampai sejauh kepulauan Filipina bagian barat (Nicholl 1980). Dengan cara yang sama, mereka tampaknya telah mengerahkan tentara Tidung ke daerah pedalaman timur. Tidung masih menguasai jalur perairan yang luas ke Sulu, Balambangan, dan Labuan pada akhir abad ke-18, bahkan setelah melemahnya hegemoni Tidung di pesisir Kalimantan Timur Laut (Forrest 1792: 374).

Walaupun saat ini Tidung sudah memeluk Islam, namun mereka masih bisa berkomunikasi lancar dengan tetangga non-Muslim mereka di Dataran tinggi, yaitu berbagai suku-suku Murut seperti Tenggalan (juga, Tegala:n, Tengalan, dll.), Tagal (Tagel, Tagol), dan Bulusu '(Belusu', Berusu) Kalimantan Timur. Mereka tetap fasih berbicara dengan beberapa suku terkait, seperti Idahan dan Sungai (Tembanua, Tombonuwo) dari Sabah. Mereka juga berkomunikasi lancar dengan sekutu lama mereka, seperti orang Bajau, Basap (Lebu), dan orang-orang kayan, yang pernah membantu Tidung untuk mengendalikan perdagangan produk lokal. Tidung bercampur dengan semua suku-suku tersebut untuk membangun pemerintahan pesisir bersama. Hari ini, bagaimanapun, mereka lebih memilih untuk menikahi tetangga Muslim, seperti Sulu, Bugis, Brunei, dan Arab, serta orang Melayu lokal lainnya.

1-2: mata pencaharian

Secara umum, Tidung dikenal sebagai nelayan. Namun, Perbedaan krusial antara mereka dan suku-suku pesisir lainnya, seperti Bajau, Sulu, dan Brunei, adalah bahwa Tidung cenderung memilih kehidupan di darat daripada di kampung terapung atau rumah perahu. Beberapa Pemerintahan Tidung, di puncak supremasi maritimnya, mungkin hidup hanya di atas air seperti tetangga pesisir mereka, meskipun saya tidak pernah mendengar apapun dalam sejarah lisan yang akan membuktikan ini, bahkan untuk pemerintahan paling kuat seperti Tarakan dan Nunukan.

Sebaliknya, kebanyakan Tidung menggabungkan pertanian,

memancing, dan berburu, seperti suku-suku di kalimantan lainnya. Mereka mengolah lahan kering dan sawah, terutama untuk tanaman pangan pokok seperti padi, jagung, dan umbi, serta pisang, kelapa, pepaya dan pohon buah lainnya. Dibandingkan dengan suku-suku pedalaman, mereka menanam lebih sedikit sayuran seperti terong dan sayuran hijau dan sejumlah kecil sereal seperti jawawut dan jali-jali. Hanya sejumlah kecil komunitas yang mengkhususkan diri dalam memancing, mengumpulkan mutiara, dan sebagainya, seperti yang bisa kita lihat di Sandakan dan di pulau-pulau pesisir seperti Sebatik. Beberapa komunitas lain saat ini berkonsentrasi pada tanaman komersial seperti kelapa sawit, terutama di malaysia. Dengan

(7)

demikian, Tidung menganggap hidup mereka melingkupi laut, sungai, dan darat (hidup pertengahan), karena mereka bisa memancing, bertani, dan berburu.

(8)

Faktanya, Tidung biasa menetap di daerah pesisir mungkin bukan karena mereka berspesialisasi dalam memancing, melainkan karena Tidung biasa lebih mementingkan perdagangan daripada bercocok tanam atau berburu. Mereka dulu mengumpulkan dan menjual setiap produk lokal, termasuk sagu, rotan, damar, gaharu, sarang burung, emas, mutiara, teripang, dan sebagainya, sementara juga menjual hasil panennya dan hasil bisnisnya. Memiliki spesialisasi dalam kehidupan maritim, Sebagian subsuku Tidung lebih memilih untuk tetap berada di tepi lautan dan berperan sebagai bajak laut atau tentara bayaran bagi sultan sultan lokal. Tidung juga diketahui ahli dalam pekerjaan pekerjaan berbahaya, seperti berburu lebah dan buaya, suku-suku tetangga akan meminta mereka untuk menanganinya. Di masa penjajahan, mereka bergegas keluar untuk mendapatkan pekerjaan, yaitu di Pertambangan (batubara, minyak, emas, dll) atau di perkebunan (tembakau, rami, dll), terutama di pihak Inggris. Hari ini Tidung terkenal relatif sederhana dan pekerja yang sabar; mereka bekerja di pabrik, di perkebunan, atau menetap di RESPEN, rancangan, dan FELDA (Catatan 3). Sebagai perbandingan, orang Bugis dan Sulu dilaporkan gemar bertengkar, sedangkan orang Bajau pemalas, dan orang murut keras kepala dan cenderung menolak tinggal di pesisir. Meskipun informasi yang saya dengar di Sabah ini hanya pendapat subyektif belaka, namun ini menggambarkan karakteristik Tidung yang amat berbeda dengan tetangga mereka. Di sisi lain, tidung agak Individualistik, atau acuh tak acuh terhadap aktivitas perusahaan yang tidak selalu melibatkan organisasi sosial lebih besar dari kerabat, termasuk asosiasi etnis (persatuan, lembaga) hari ini.

1-3: Budaya dan identitas

Cara hidup multi-skill orang Tidung menghasilkan aneka ragam budaya. Misalnya, mereka yang telah menetap di pulau-pulau pesisir yang ahli di lautan, tidak hanya memancing tapi juga berdagang dan membajak. Karena mereka sudah lama melakukan pelayaran ke pulau lain, mereka bersekutu dan bercampur dengan suku Sulu, Bajau, dan orang-orang laut lainnya. Keturunan mereka, termasuk orang-orang Tarakan dan Bulungan, mengadakan upacara pelayaran tahunan kapal kerajaan (pindaw pepadaw dalam dialek Tarakan Tidung, atau turunkan biduk bebandung tujuh dulun dalam bahasa Melayu Bulungan), sebagaimana khasnya subsuku-subsuku pesisir (lihat Foto 1). Perahu kerajaan ini, sebanyak tujuh diikat satu sama lain, dilengkapi dengan mahlijay (mahaligai) yang dihiasi atau 'istana', bendera (panji), dan ornamen lumba-lumba (lunghay).

(9)

Di sisi lain, Tidung lainnya, termasuk mereka dari sekitar sungai Sembakung dan Sebuku yang telah makmur dari perdagangan produk-produk darat seperti sarang burung, pergi bolak-balik antar pusat perdagangan di utara Kalimantan Timur Laut, lebih suka melalui daerah pedalaman antara Sebuku, Kinabatangan, dan sekitar sungai-sekitar sungai Labuk, daripada melalui laut. Subsuku-subsuku ini masih mengingat kehidupan lama mereka, sebagaimana dibuktikan oleh simbol etnik mereka saat ini. Ini termasuk dua jenis dayung, yang dikenal sebagai "pria" dan "betina" atau laut dan hulu: Yang terakhir memiliki bentuk yang lebih

(10)

ramping dengan tepi yang runcing, yang mungkin berguna di sungai sempit dan jeram daerah hulu (Foto 2). Tetangga Bajau dan Sulu, yang menggunakan dayung laut saja, menyebut jenis dayung khas mereka “besay Tidung” (besay = dayung). Diketahui bahwa dayung "wanita" membuat suara tertentu saat dikayuh di sungai, seolah-olah "dia bersiul, atau bernyanyi" menurut Tidung.

(11)

Secara umum, Tidung memiliki beberapa corak khas yang luar biasa dibandingkan dengan suku-suku tetangga. Misalnya, Tidung telah mengadopsi warna kuning (silow) sebagai warna etnik mereka, dengan menganggapnya paling cemerlang dan paling mulia. Mereka sering memakai warna kuning dalam acara rakyat; Terutama, busana formal para bangsawan Bulungan dan Tarakan sepenuhnya berwarna kuning. Juga, salah satu ritual Tidung adalah membedaki pengantin wanita dengan warna kuning dari kepala sampai kaki sebelum pernikahan mereka (adat bebadek) (Foto 3 dan 4). Sebagian subsuku Tidung menghiasi seluruh tempat pernikahan dengan kain kuning. Para bangsawan dan pemimpin Tidung juga memiliki hak istimewa untuk menunjukkan status mereka dengan memasang bendera kuning di sekitar rumah, kapal, dan kuburan mereka.

2) Subkelompok bahasa

Ahli bahasa menunjukkan bahwa Tidung paling dekat hubungannya dengan suku-suku Murut, walaupun klasifikasinya sedikit berbeda satu sama lain (bandingkan Hudson 1978: 15; Wurm dan Hattori 1981: @; Regis 1989: 446-448 dll.). Tidung menganggap diri mereka orang murut yang terislamkan (kadang termasuk juga Lun Dayeh dan Idahan), seperti yang mereka katakan dalam sejarah lisan mereka. Jika kita mempertimbangkan variasi yang kaya dalam dialek Tidung, bahkan di dalam subsuku-subsuku yang sama, kita dapat mengatakan bahwa Tidung lebih mungkin terdiri dari berbagai suku-suku bahasa berbeda daripada satu suku-suku bahasa yang homogen. Beberapa komunitas Murut dikatakan berbicara menggunakan bahasa Tidung hari ini, seperti orang murut dari Serudong, Kalabakan, dan sekitar sungai Sembakung, di mana mereka telah mempertahankan aliansi dan asosiasi yang telah dibangun lama dengan Tidung (lihat Wurm dan Hattori 1981; SIL International 2002).

Literatur yang ada tidak mencakup semua dialek Tidung, dan khususnya kurang dalam dialek yang berasal dari Sebuku (lihat di bawah). Sebenarnya, cukup sulit untuk mensurvei subsuku-subsuku, karena semuanya hari ini bercampur satu sama lain hampir di mana-mana di Kalimantan Timur Laut. Menyebarnya sebagian subsuku Tidung dimulai setidaknya dua abad yang lalu, sebagai akibat karena mereka diserang berkali-kali oleh Sulu dan juga oleh kesultanan-kesultanan setempat (lihat Warren 1985; Okushima 2002). Juga, setelah dimulainya era penjajahan Inggris, banyak orang tidung pindah ke pesisir timur Sabah (Okushima 2003). Faktor lainnya adalah subsuku-subsuku yang lebih kuat, seperti Tarakan dan Bulungan, memperluas pengaruhnya dengan mengirimkan utusan-utusan untuk mengendalikan perdagangan lokal.

(12)
(13)
(14)

Meskipun saya sendiri bukan ahli linguistik, saya telah mencoba untuk menjelaskan subsuku-subsuku Tidung (lihat Tabel 2). Semua subsuku menunjukkan beberapa kesamaan dengan tetangga Murut mereka; Misalnya, penggunaan huruf -g dan -d masuk Posisi terakhir (timug 'water' / liog, léag 'neck' / muid, lemuid 'liedown' / Alad, aad 'wing'); Vokal yang dapat dipertukarkan antar subsuku (Kaywon, keywon, kéwon kiwon, 'malam'); dan prefiks y- / i- / e- ditambahkan ke Nama pribadi ('Berayu': I-Berayu di Tarakan) (Catatan 4). Beberapa istilah yang bervariasi di antara subsuku, seperti 'burung' dan 'ikan', juga dibagi dengan, atau dipinjam dari, Tanggalan dan Murut lainnya (bandingkan Tabel 2 Dengan Genderen-Stort 1916: 91-92). Berdasarkan ciri linguistik mereka dan Latar belakang sejarah, subsuku-subsuku tersebut sesuai dengan tiga kategori, sebagai Berikut.

[1] Suku-suku Sesayap [Ikhtisar]

Menurut sejarah lisan, subsuku-subsuku ini berasal dari hilir sesayap. Dialek-dialeknya menunjukkan homogenitas yang tinggi, dan kata-kata dasarnya cukup umum juga untuk Bulusu', tetangga pedalamannya (bandingkan Appell-Warren 1986 dengan A. Appell 1986). Ada kemungkinan subsuku-subsuku Tidung tersebut berasal dari daerah-daerah di Sabah, tempat lahir suku-suku Murut, seperti keluarga mereka di kategori II di bawah. Namun, mereka sepertinya tidak mengingat sebelum zaman Sesayap ini. Sejarah lisan baik dari Tidung Tarakan ataupun Tidung Malinau menunjukkan bahwa mereka adalah keturunan Berayu (atau Berayuk, Benayuk, dll), salah satu kerajaan Tidung tertua (lihat Bagian 4 di bawah). Kemudian, mereka bergerak ke beberapa arah dan mendirikan pemerintahan yang kuat di pulau-pulau pesisir, seperti Mandul, Tarakan, Nunukan, dan Bunyu (Peta 3). Sebenarnya, pemerintahan-pemerintahan yang dominan di Kalimantan Timur Laut pada masa-masa awal adalah berbasis di pulau-pulau pesisir, sehingga dapat mengendalikan secara tidak langsung produk-produk lokal dari daerah pedalaman (lihat juga kasus Berau, Muhammad Noor 1996).

[Tarakan]

Secara umum, Tidung menganggap pemerintahan di Tarakan sebagai salah satu dari Pusat politik dan budaya mereka, karena hegemoninya yang lama terhadap pemerintahan-pemerintahan tidung yang lain. Nenek moyang mereka bermigrasi dari Sesayap ke Tarakan karena sebuah epidemi (wabah). Mereka menamai pulau "Tarakan" di masa raja pertama Tara '(atau, I-Tarak), yang merupakan cicit raja Berayu yang disebutkan di atas. Tidung

(15)

telah berada di sana, kabarnya selama 26 generasi. Tarakan dulu Mengirim ekspedisi dan utusan ke daerah tetangga, seperti Sesayap, Kayan, Sembakung, Nunukan (Beech 1908: 10; Sellato 2001: 21), dan bahkan Berau, Sulu, dan Sulawesi (Amir Hamzah 1998). Salah satu utusannya mendirikan sebuah koloni di mulut lembah Kayan melalui perkawinan silang dengan orang kayan, dan kemudian suku-suku yang baru dibentuk ini membentuk Kesultanan Bulungan (lihat kategori III). Perompak Tidung yang dikenal oleh Sulu dan Mindanao pasti berasal dari Tarakan dan kerabat-kearbat mereka dari beberapa pulau lainnya.

Namun, setelah Sulu dan Magindanao mulai melakukan serangan balasan di abad ke-18, pemerintahan-pemerintahan Tidung itu dikalahkan dan kehilangan supremasi angkatan laut mereka. Di Tarakan, penduduk jatuh ke dalam krisis ekonomi yang serius setelah kehilangan perdagangan maritim sebagai mata pencaharian utama mereka; Mereka tidak memiliki lahan yang banyak dan berkualitas yang diperlukan untuk bercocok tanam. Pada periode yang sama, Bulungan mendeklarasikan kemerdekaan dari Tarakan, dan mulai berintegrasi dengan daerah-daerah sekitarnya. Bulungan berhasil mengusir Sulu dan Pedagang Melayu lainnya dan memonopoli seluruh hasil hutan yang dikumpulkan dari daerah pedalaman yang luas. Dengan demikian, sejumlah besar Tidung Tarakan mau tidak mau bermukim kembali di Sembakung, Bulungan, Sebatik, dan daerah lainnya pada Abad ke 19 dan 20 (Hageman 1855: 75; Dewall 1855: 424, 443-442; Okushima 2002: 155, 161 dll.).

Saat ini, dialek Tarakan masih menjadi bahasa kedua diantara subsuku Tidung. Namun, ada beberapa fitur lama yang dimiliki oleh subsuku-subsuku lain, misalnya pemberhentian glottal dan perbedaan antara r dan l; Hal ini tampaknya merupakan hasil berhubungan lama dengan orang Melayu, terutama Sulu dan Bajau. Beberapa karakteristik leksikal dapat berfungsi sebagai penanda etnik suku-suku ini: tendulu atau 'tangan' (engan / engon pada yang lain), dan kemagot, 'kanan (side)' (beget), misalnya. Dibandingkan dengan kamus Beech yang sangat bagus (1908), sampel kata saya yang dikumpulkan dari Tarakan tampaknya juga mengandung beberapa perubahan terbaru, seperti manuk atau 'burung', yang mana disebut pempulu (') di dialek Tidung Tarakan di Sebatik dan Kalabakan.

[Malinau]

Dialek Malinau secara leksikal hampir sama dengan Tarakan. Namun, latar belakang sejarah Malinau sangat berbeda dari Tarakan: Nenek moyang tidung malinau juga merupakan penghuni Kerajaan Berayu, tapi rajanya adalah keturunan bangsawan Kutai. Tidung Malinau kemudian pindah ke Bunyu dan Nunukan sebelum akhirnya kembali ke hilir Sesayap. Para

(16)

pemimpin terus mempromosikan perkawinan silang dengan Tarakan, dan juga dengan subsuku-subsuku Tidung lain yang muncul kemudian di Sesayap, seperti Bengawong (lihat kategori II) (Amir Hamzah 1998; Sellato 2001: 19-27; Okushima 2002: 151, 154, Silsilah 1 & 2). Pemerintahan Malinau lebih kecil dari pada Tarakan dan mungkin tunduk pada tarakan. Tapi perbedaan penting antara keduanya adalah malinau tetap eksis di masa Pemerintahan Bulungan, dengan memindahkan pusat politik mereka lebih jauh ke pedalaman dan bersekutu dengan suku-suku lokal sehingga bisa melindungi sumber-sumber sarang burung (Kaskija 1992, 1995; Sellato 2001: 24-29).

[Betayau dan lain-lain]

Saya tidak tahu banyak tentang asal-usul Tidung Betayau. Mereka diketahui menggunakan pengucapan tertentu. Meskipun begitu, kosa kata mereka hampir sama seperti di Tarakan dan Malinau. Adapun tidung Bunyu dikatakan sebagai cabang Tarakan, tapi kemungkinan besar mereka juga bercampur dengan subsuku-subsuku yang lain.

[II] Suku-suku Sembakung-Sebuku (Bengawong, Sumbol, Dengusan, dll)

[Ikhtisar]

Berbeda dengan kategori I di atas, subsuku-subsuku ini bisa disebut Tidung hulu atau Tidung daratan, seperti yang akan kita lihat dari simbol etnik mereka (Bagian 4). Tepatnya, mereka berasal bukan dari sungai Sembakung dan Sebuku, melainkan dari utara, yaitu Kinabatangan, Tawau, dan daerah-daerah Labuk. Mereka menyatakan bahwa mereka datang untuk menetap di Sembakung dan sekitar sungai Sebuku untuk mencari hasil hutan, terutama sarang burung. Sebenarnya, kedua sekitar sungai ini telah dikenal sebagai pusat perdagangan lokal pada akhir abad ke-18 (Lihat Dalrymple 1793: 529; Hunt 1837: 29).

Pada puncak kemakmuran di sekitar sungai ini, sejarah lisan menyatakan, pemimpin-pemimpin Tidung mereka sedikit banyaknya adalah keturunan campuran dengan para bangsawan Sulu; Ini mungkin hasil dari perluasan Sulu di pesisir timur laut Kalimantan pada paruh kedua abad ke-18 (lihat Warren 1985). Namun, segera Bulungan melancarkan serangan bertubi-tubi ke sekitarnya, termasuk ke Sembakung dan Sebuku. Akibatnya, pesisir Kalimantan Timur Laut Mengalami depopulasi drastis pada abad ke-19. Tidung dari Sembakung dan Sebuku menyelamatkan diri ke Tarakan, Nunukan, Tawau, Kinabatangan, Labuk, Kutai, dan bahkan ke kepulauan Sulu (lihat di bawah).

(17)

Saat ini sebagian besar sub suku-suku II tinggal di daerah selain Sembakung dan Sebuku. Beberapa kata dasar mereka dibagikan dengan, atau dipinjam dari, tetangga Murut mereka (Tanggalan, lihat Genderen-Stort 1916), dan juga Sungai, Idahan, dan Kadazan dari Sabah bagian timur (lihat Tabel 2). Pengucapan mereka pada umumnya lebih lembut dan lebih kabur dari pada subsuku-subsuku I, dan vokalnya sangat bervariasi bahkan di dalam subsuku-subsukunya. Hilangnya beberapa konsonan, terutama l, terlihat; seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2, daan atau 'jalan' (dalan, jalan di subsuku-subsuku lainnya) dan uun, 'orang' (ulun) adalah contohnya.

[Bengawong]

Tidung Sembakung disebut "Bengawong" (juga, Bengaweng, Bengawang). Sejarah lisan mereka menunjukkan bahwa mereka pernah tinggal di beberapa daerah antara Tawau dan Teluk Davel (teluk lahad datu), seperti Kalumpang dan Pegagau. Namun, setelah Sulu semakin maju, mereka pindah ke hilir Sembakung, sekitar desa Atap saat ini (Peta 3). Sebagian dari mereka bermigrasi lebih jauh ke hilir Sesayap, seperti desa Tidung Pala. Bagian yang menetap di Sembawang, anak sungai Sesayap yang lain, pernah dikenal sebagai pemerintahan terkuat selain Tarakan, namun aksi perompakan mereka yang berlebihan menyebabkan pemusnahan mereka oleh Bulungan dan pasukan sekutunya. Orang-orang yang selamat bertebaran ke Tarakan, Tawau (Apas-Balung dan Kalumpang), Sandakan (Beluran, Labuk, dll.), Dan Kutai (Kutai Lama, Sangkulilang, Sangata, Pulau Anggana, dll), dan bercampur dengan Bajau dan Melayu lainnya (Lihat Dewall 1855: 443; Darmansyah et al 1980: 18). Ada juga Bengawong yang terus-menerus tinggal di Sembakung dan bercampur dengan imigran Tidung lainnya dari Tarakan dan Sebuku (Dewall 1855: 442; Okushima 2002: 152-153, 161). Sejumlah pendatang Bengawong di Tarakan dan Kutai kemudian pindah ke Sabah di era penjajahan Inggris, bergabung kembali dengan keluarga yang telah menetap di sana. Misalnya, Aji Pati (Pengeran Adipati), Penghulu Tidung yang terkenal di Labuk di era kolonial (lihat Cook 1924, dan lain-lain), adalah pimpinan Bengawong yang bermigrasi dari Tarakan sekitar tahun 1894 (Koepping per comm.). Di sisi lain, pada tahun 1879 bengawong lainnya telah kembali dari Tawau ke Sembakung, di mana mereka ditempatkan di bawah kendali langsung Bulungan (Koloniaal Verslag 1880: 16).

Saat ini, Bengawong tinggal terutama di Sembakung, Tarakan, Apas, Indrasabah, Beluran-Labuk, Sandakan, dan Segama, sementara yang lain tinggal di pesisir Berau dan Kutai. Rupanya karena persaingan mereka dengan Bulungan seperti yang disebutkan di atas, Bengawong memiliki hubungan dekat dengan musuh-musuh Bulungan, seperti Sulu dan Tarakan. Bengawong memiliki beberapa perbedaan leksikal dari yang lain:

(18)

angkan atau 'makan' (ngakan di subsuku-subsuku lainnya), engtangi, 'menangis' (tumangi), dan anggay, inggay, 'memberi' (ngitak, enggitak, dll. ). Daftar kata Aernout (1885) cocok sekali dengan bahasa Bengawong, kecuali istilah 'menangis'.

[Sumbol, Dengusan, Kulamis]

Tidung Sebuku kurang dikenal Karena populasi mereka yang relatif kecil. Hanya sejumlah kecil dari Istilah mereka yang dicatat dan diklasifikasikan sebagai milik subsuku-subsuku "Nonukan (= Nunukan) "(lihat Beech 1908; Wurm dan Hattori 1981). Ini karena sejumlah Tidung Sebuku yang bermigrasi ke Pulau Nunukan, tepat di depan mulut Sebuku.

Tidung Sebuku dibagi menjadi tiga subsuku, diberinama sesuai nama anak sungai yang dulu pernah mereka diami: Sumbol (juga, Sumbel, Sembol, dll.), Dengusan (Dangusan), dan Kulamis. Seperti yang saya jelaskan di artikel lain (Okushima 2002), subsuku-subsuku ini diserang oleh Bulungan dan bertebaran ke Tarakan, Sembakung, dan Labuk pada akhir abad ke-18 Atau awal abad ke-19. Kulamis dikatakan telah melarikan diri ke Sembakung (ibid.). Sebagian Sumbol dan Dengusan bermigrasi ke Labuk dan bercampur dengan Bengawong. Sumbol lain yang lari ke Tarakan Kembali ke Sebuku setelah semua kembali damai di bawah pemerintahan Bulungan. Yang lain bermigrasi ke Nunukan dan barat Tawau. Setelah Perang Dunia II, sebagian Tidung Labuk yang disebutkan di atas (Sumbol, Dengusan, dan Bengawong) bermigrasi sampai ke Segama. Meledaknya pembalakan hutan di akhir tahun 1960an membawa jauh lebih banyak populasi dari Labuk ke pusat-pusat kota seperti Beluran dan Sandakan.

Kini subsuku-subsuku Sebuku ada di Sembakung, Sebuku, Nunukan, Kalabakan, Merotai, Batu Tinagad, Segama, Beluran-Labuk, Sandakan, dan tempat lain. Para pemimpin Tidung Sebuku dikatakan kurang lebih berasal dari bangsawan Sulu sebelum penaklukan Bulungan, seperti halnya kasus Bengawong di atas. Namun, setelah itu, Tidung Sebuku (kecuali Labuk) berada di bawah kendali sultan Bulungan pada masa penjajahan Belanda.

Dulu, pastilah ada perbedaan fonetik atau leksikal antara subsuku Sumbol, Dengusan, dan Kulamis. Tapi hari ini mereka benar-benar berasimilasi satu sama lain. Sampel saya tentang Sumbol Labuk dikatakan telah bercampur dengan Dengusan. Istilah seperti wencey atau 'baik' (bais di subsuku-subsuku lainnya), kesoy, kesey, 'suami' (delaki, idaaki), Pasig, 'pasir' (agis), dan buduk, 'talas' (malaw, maaw, dll) adalah asing bagi Subsuku-subsuku ini. Mereka juga menggunakan konsonan frikatif, c [tʃ] dan j [dʒ], untuk ganti s dan d (lihat Okushima 2002: 157); Misalnya, encaduy atau 'berenang' (Insaduy, ansadu, dll), enyuncud, 'menggosok' (enyunsud, insusud), lajum, ‘Tajam' (ladom), dan ijun, 'kamu' (adun, dudu). Namun,

(19)

Sumbol Labuk (dan Dengusan) pada Tabel 2 kehilangan konsonan ini, jika dibandingkan dengan sampel Kalabakan (wencey / wensey, ijun / idun); Sumbol Labuk mungkin dipengaruhi oleh tetangga Tidung lainnya, antara lain Bengawong.

[III] suku-suku Bulungan [Ikhtisar]

Seperti yang saya sebutkan di atas, ada misteri, apakah benar atau tidak bahwa Tidung berasal dari suku-suku berbahasa Kayan (lihat Beech 1908: 9-10; Akbarsyah 1997: 8-10; G. Appell 1983: 43; Appell-Warren 1986: 149). Bukti sejarah lisan dan bukti linguistik menunjukkan bahwa Bulungan (disebut juga Melayu Bulungan) adalah keturunan dari orang-orang Tidung dan Kayan, serta dari berbagai suku-suku lainnya seperti Bulusu', Tenggalan, Bajau, Sulu, Berau, dan Melayu lainnya. Meski begitu, Bulungan lebih memandang asal Kayan mereka, yang bermigrasi ke pesisir Kalimantan Timur Laut setelah Tidung. Suku suku pedalaman ini sangat hierarkis dan terorganisasi dengan baik di bawah sistem stratifikasi sosial dan kepemimpinan yang tangguh. Mereka menyebarkan terror ke seluruh daerah melalui perang dan pengayauan. Mereka juga menduduki sumber-sumber hasil hutan yang berharga seperti sarang burung. Setelah mendapatkan para pendukung terkuat ini, utusan Tidung Tarakan mengontrol langsung koloni Bulungan mereka, di sekitar sungai yang mana kemudian berganti nama menjadi sungai 'Kayan' sesuai nama pendatang baru tersebut (Okushima 1999: 76-86; lihat Juga Dewall 1855; Belcher 1848; Warren 1985, dll).

Setelah aliansi perkawinan silang dengan orang-orang Kayan dimulai, raja-raja Tarakan mengirim kerabat dekat mereka ke Bulungan sebagai laksamana (wira) pasukan maritim untuk melindungi wilayah tersebut (lihat silsilah mereka di Okushima 2002, 2003). Pada masa pemerintahan Wira Amir dan putranya (Sultan Alimudin), bangsawan Bulungan, yang bercampur dengan orang Kayan, mengklaim tahta sebagai kesultanan dan mendeklarasikan kemerdekaannya dari Tidung Tarakan. Mereka juga menyerap sejumlah pengungsi yang melarikan diri dari meningkatnya pertempuran di Kesultanan Berau. Akhirnya, Bulungan memilih secara strategis silsilah bangsawan dan identitas etnis mereka yang baru, tidak lagi sebagai Tidung tapi sebagai "Bulungan", keturunan dari bangsawan Kayan (lihat Hageman 1855: 77, 81-86; Gallois 1856: 250; Beech 1908: 9-10; Akbarsyah 1997: 8-14; Amir Hamzah 1998; Sellato 2001: 17-19; Okushima 2003: 6-8). Menekankan identitas baru ini, mereka harus membedakan diri dari bangsawan Tarakan sebagai bekas penguasa mereka.

Menurut sejarah lisan, ada beberapa faksi politik di dalam Kesultanan Bulungan, yang bertengkar satu sama lain memperebutkan hegemoni.

(20)

Tentara Kayan bermarkas di beberapa benteng di hilir Kayan (Baratan Dll, lihat juga Dewall 1855: 447), sedangkan pemukim Sulu di bawah seorang pemimpin Arab menduduki pesisir utara (Salim Batu, lihat Okushima 2003: 9); Bangsawan Melayu lain juga membuat desa-desa di mulut sungai kayan (Tanjug Palas, dll.). Namun, sejak Sultan Kaharudin, cucu Wira Amir, disahkan sebagai penguasa daerah oleh pemerintah kolonial Belanda pada Pertengahan abad ke-19, istananya di Tanjung Palas otomatis diakui sebagai ibu kota (lihat Hageman 1855: 75-78). Penghuni Tanjung Palas sebagian besar merupakan bangsawan Berau yang merupakan kerabat atau orang yang mengabdi kepada Ibunya Sultan Kaharudin. Hal ini nampaknya menjadi alasan lain kenapa Bulungan lebih menyukai asal usul Kayannya, karena Kaharudin dikatakan telah mencapai penaklukan atas wilayah-wilayah tetangga dari Sajau sampai Tawau dengan menggunakan tentara Kayan yang sangat besar. Tentara ini telah dikumpulkan oleh Keturunan Kaharudin baik yang dari Berau maupun Bulungan (Amir Hamzah 1998). Dan ekspedisi-ekspedisi Bulungan tersebut menyebabkan depopulasi yang serius pada abad ke 19 tidak hanya terhadap subsuku-subsuku Tidung di, tapi juga terhadap Inggris dan Belanda di zaman penjajahan (lihat Warren 1985), yang kemudian dikenal sebagai "pengayauan dari Segai (=Orang Kayan)".

Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa bukan Tidung melainkan Melayu Bulungan lah yang berasal, setidaknya sebagian, dari orang-orang kayan, dan bahwa Bulungan menekankan asal usul mereka sebagai suku-suku pedalaman ini, seperti yang terlihat pada Beech's (1908) dan Akbarsyah's (1997) di atas, untuk membedakan diri mereka dari saingannya, yaitu Tidung Tarakan, dan penguasa-penguasa lainnya seperti Sulu, Brunei, dan sebagainya.

[Ciri khas Kayan]

Sebagai hasil jalannya sejarah itu, dialek Bulungan Berisi banyak istilah Melayu dan Kayan, walaupun secara leksikal dan gramatikal tetap merupakan variasi bahasa Tidung. Namun, Sampel dapat bervariasi dalam beberapa derajat, tergantung pada tempat dan sumber Informasinya (misalnya, mereka menggunakan baik istilah-istilah Tidung ataupun Kayan untuk 'Perut,' tinay dan butit, seperti di Beech 1908: 63). Sampel saya di Bulungan pada Tabel 3 tampaknya mengandung lebih banyak kata bahasa Melayu daripada yang ditemukan dalam karya Beech (Bunuh, hujan, dll). Jenis simpang susun fonetis ditemukan di Tabel 3i termasuk h /: (vokal panjang) / s (doh / du: / (men-) dus, 'mandi'), b / v / W (babuy / bavuy, 'babi hutan, babi hutan'; beba: / mawa: ', 'mulut'), dan d / r (pedas / Perah, 'sakit, sakit') tidak hanya terlihat di antara kata-kata Tidung-Bulungan-Kayan, tapi juga di dalam sub suku-suku Kayan.

(21)

Bahasa Kayan dari Bulungan di Tabel 3 adalah mirip, atau sama seperti, Bahau dan Ga'ay serta sub suku-suku Bahau di Berau, Bulungan, dan hulu Sesayap (sekitar sungai Malinau); Subsuku ini termasuk Hopan (Uma 'Apan), Ngorèk, Pua', Merap, Ga'ay Gung Kiya: n (Seloy), Ga'ay Long Baun, dan sub suku Ga'ay lainnya di sekitar sungai Segah dan Kelai. Memang orang-orang ini adalah pemukim lebih dulu di lembah Kayan daripada Sub suku Kayan lainnya yang bermigrasi ke Kutai (lihat Guerreiro 1985, 1996; Sellato 1995; Okushima 1999). Makanya mereka banyak berhubungan dengan penduduk lama di hilir kayan, seperti Tidung, Belusu', Tenggalan, Brunei, dan Sulu. Suku-suku pesisir, yang oleh masyarakat Kayan disebut "Betanéng/Memancing" karena mereka tinggal di dua delta Petaning, nampaknya sesuai dengan Tidung kuno dari Tarakan dan beberapa daerah lainnya.

Juga, beberapa pemimpin terkenal dalam silsilah bangsawan Bulungan, seperti "Lemlisuri" dan "Lahai Bara" (Akbarsyah 1997: 9), adalah bangsawan Kayan yang dinamai dengan nama nenek moyang legendaris orang Hopan, Ngorèk, dan seterusnya (Uréy Lemléy, lemléy = sejenis pohon; Lahay Bara:, bara: = 'Berbicara, melemparkan mantra sihir'). Belalinejep, dewa petir di mitos mengenai asal-usulnya (Hageman 1855: 81), juga muncul dalam mitos asal-usul orang Merap (Belaléy ' Laye: Tegkoue, belaléy '= guntur).

Saat ini, Melayu Bulungan ada di bulungan dan sekitarnya, terutama di daerah Kayan, Malinau, Tarakan, Kalabakan, dan Tawau. Mereka adalah keturunan utusan-utusan Bulungan, yang sultan kirim ke wilayah ini pada

(22)

paruh akhir abad ke-19 untuk mengendalikan imigran Tidung yang disebutkan di atas.

Tidung juga ada di pesisir Bulungan, seperti di Antal dan Salim Batu. Tidung Bulungan berbicara dengan bahasa yang hampir sama dengan Tarakan dan Malinau, meski beberapa kosakatanya dipengaruhi oleh Melayu Bulungan (misalnya, bekincé 'atau' memasak, 'insubon, entanuk, dll di Tidung lainnya).

Selain kategori subsuku I, II, dan III, ada sejumlah Tidung di Sekatak, Teluk Jakarta, dan tempat lain. Juga, setidaknya beberapa orang Melayu Berau keturunan Tidung (lihat Bagian 4 di bawah). Di sisi lain, Dialek mereka dikatakan dekat dengan Brunei sebagai hasil perkawinan silang. Melayu Berau tampaknya kurang lebih berkaitan dengan tiga sub suku Tidung yang disebutkan di atas, tapi saya belum menelitinya. Kita perlu melakukan penelitian lebih jauh mengenai hal itu.

Hari ini, Orang Tidung hidup di rumah-rumah terpisah untuk keluarga inti atau kerabat. Identitas suku di kampung tidak begitu erat, karena setiap rumah tangga dengan bebas mencari lokasi yang baik untuk penghidupan mereka. Kita sering melihat satu atau beberapa rumah terpisah dari penduduk kampung lainnya. Secara tradisional, rumah-rumah dibangun di atas tiang di pinggir sungai, dengan dinding daun kering atau dinding papan kayu.

Seperti disebutkan di atas, Tidung memeluk Islam sekitar akhir abad 18 sampai abad ke-19. Karena perubahan yang relatif belum lama ini, mereka masih ingat tentang masa sebelum mereka menjadi Muslim. Misalnya, beberapa dari mereka terbiasa tinggal di hunian rumah panjang, perumahan khas orang-orang pedalaman kalimantan seperti tetangga Murut mereka. kisah terkenal "Aki Betawel" (juga, Aki Bentawel, Ujang Betawol, Si Bitawel, dll.), yang dikenal sebagai nenek moyang orang Tidung Sebuku, mengemukakan bahwa ia tinggal di salah satu dari tujuh rumah panjang yang terletak di Tulid, anak sungai di hulu Sebuku. Namun, setelah bermigrasi ke hilir, Tidung beralih ke rumah keluarga tunggal seperti yang terlihat saat ini, karena kurangnya bahan padat seperti kayu ulin (ulin) mencegah pembangunan struktur yang lebih besar. Kisah serupa terdengar di antara beberapa tetangga lainnya, seperti Putuk di hilir Malinau (sub suku-suku Lun Dayeh di Kalimantan Timur). Juga, Tidung yang telah terislamkan terutama harus meninggalkan rumah panjang dan pengayauan; Keduanya dipandang sebagai simbol "primitif" dalam perspektif umat Islam.

Namun, bahkan setelah islamisasi, sejumlah Tidung masih menunjukkan Preferensi yang cukup kuat untuk kehidupan suku-suku dan juga endogami (misalnya, Lihat Dewall 1855: 441). Hal ini nampaknya

(23)

berkaitan dengan perlindungan diri terhadap musuh-musuh lama, seperti Sulu, Bugis, dan sebagainya. Pada awal abad 20, Tidung dari beberapa daerah pedalaman seperti Kalabakan membangun rumah-rumah baru yang bergempetan dengan rumah orang tua mereka atau keluarga dekat lainnya. Misal, salah satu anak menikah dan membangun ruang tambahan di rumah orang tuanya; jika anak-anak lain juga ingin tetap bersama setelah pernikahan mereka, mereka juga akan membangun ruang tambahan di rumah tersebut, tidak dalam bentuk memanjang seperti rumah panjang tapi dalam bentuk sesuai kebutuhan saja. Jadi, satu keluarga besar bisa membentuk sekumpulan rumah, yang kemudian membentuk suatu dusun kecil.

3-2: Organisasi sosial politik

Kepemimpinan di antara Tidung didasarkan terutama pada kemampuan pribadi dan reputasi. Usia bisa menjadi faktor lain. Istilah orang tua (ulun tuwo, dll) atau 'Orang tua, orang tua' mengacu pada orang yang bertanggung jawab atas rumah, keluarga, atau suatu kampung. Saat ini, setiap desa administratif memiliki kepala, yang disebut kepala desa (Indonesia) atau ketua kampung (Malaysia), bersama beberapa pejabat lainnya seperti kepala adat (yang bertanggung jawab secara informal atas agama dan adat istiadat, Indonesia) dan JKKK (singkatan dari Jawatankuasa Keselamatan dan Kemajuan Kampung, atau 'Komite Keamanan dan Pengembangan Desa' Malaysia). Namun, jika penduduk desa merupakan keturunan bangsawan atau kepala suku, orang Tidung biasanya menyerahkan posisi kepala desa tersebut kepada keturunan mereka.

Secara umum, Tidung menganggap diri mereka sebagai masyarakat non-stratifikasi (tanpa perbedaan kelas atau golongan), seperti tetangga Bajau mereka. Orang Melayu Bulungan dan sekutu Kayan mereka juga menyatakan, dengan kesan merendahkan, bahwa Tidung bukanlah suku-suku hierarkis atau suku-suku-suku-suku yang terorganisir dengan baik dengan seorang pemimpin berdarah biru, dan oleh karena itu mereka sering dikalahkan oleh suku-suku lain yang lebih terstratifikasi di masa lalu. Namun, seperti yang ditunjukkan oleh G. Appell dalam contoh Rungus (1972: 152), sebagian Tidung pernah mendapatkan gelar dari orang-orang islam dan mulai membentuk semacam lapisan bangsawan, meskipun tidak secara ketat mengikuti sistem turun-temurun. Dengan demikian, sebagian subsuku saat ini, seperti Tarakan dan Bulungan, menggunakan istilah bebangsa untuk para bangsawan, sebuah kata yang dipinjam dari kata “bangsawan”. Demikian juga dengan kesultanan-kesultanan setempat, Bulungan dan Berau, yang dikenal sebagai pusat pasar budak di era kolonial. Tidung memiliki beberapa istilah untuk "budak", seperti lipon (Tarakan) dan ulun

(24)

(Apas). Meskipun perkawinan antar-golongan tidak dilarang, para bangsawan pasti lebih memilih lapisan yang segolongan dengannya.

Silsilah Tidung biasanya dimulai dari nama nenek moyang tidung, seperti Aki Yanduk (aki = kakek dan nenek moyang yang lebih tua), tanpa gelar apapun. Kemudian, beberapa generasi kemudian, keturunan dengan gelar-gelar Melayu mulai muncul. Misalnya dengan nama Aji Surya atau Pengeran Tempaud, kita dapat berspekulasi bahwa orang Melayu memberi mereka gelar-gelar ini melalui kontak perdagangan, aliansi perang, atau perkawinan silang. Akhirnya, nama dan gelar berbahasa arab mulai muncul, seperti Ibrahim dan Sultan Kaharudin. Seiring dengan nama Arab ini, nama Tidung dan Melayu tetap digunakan oleh masyarakat tidung; walaupun begitu, hanya bahasa Arab saja yang dianggap sebagai yang paling istimewa. Penjajahan orang barat di kalimantan Timur Laut pada akhir abad ke-19 memicu antipati yang kuat di kalangan masyarakat setempat terhadap para penjajah, sehingga terjadi konversi yang cepat ke Islam. Oleh karena itu, jumlah orang yang memiliki gelar haji (diberikan kepada mereka yang Telah menyelesaikan ziarah ke Mekkah) tiba-tiba meningkat di nama-nama orang Tidung dari periode ini, bersanding dengan gelar Melayu seperti raja dan Pengeran (untuk rinciannya, lihat Okushima 2003: 10-11). Pada periode yang sama, semua Bangsawan Bulungan mulai menggunakan gelar Sulu seperti “dato / datuk”, yang juga dikatakan sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajahan Barat.

Seiring dengan penetrasi Islam ke wilayah ini, pentingnya imam kampung (pemimpin agama atau imam Muslim) meningkat. Imigran Muslim ke Kalimantan Utara Inggris, yaitu Tidung, Bugis, dan Sulu, umumnya disambut dan diizinkan untuk membangun kampung baru, dengan syarat bahwa masing-masing kampung memiliki setidaknya satu imam, bidan, dan tukang obat / dukun ). Namun, karena kurangnya imam yang berpendidikan Islam atau yang berpengetahuan luas, kepala suku (orang tua, atau O. T.) atau bangsawan sering diwajibkan untuk berperan sebagai imam secara bersamaan. Misalnya, Pengeran Salleh, seorang kepala suku Tidung di Kalabakan pada awal abad 20, dikenal sebagai "Imam Salleh," meskipun dia bukan seorang imam tapi hanya seorang bangsawan (Okushima 2003: 11). Jadi, pada abad ke-20, di setiap kampung Tidung Bulungan sudah memiliki seorang imam dan sebuah masjid kecil (Beech 1908: 13).

3-3: Istilah kekerabatan dan silsilah keturunan

Istilah kekerabatan Tidung dari sampel tersebut sangat bertepatan satu sama lainnya, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4. Hanya Sumbol Labuk yang tidak memiliki perbedaan antara saudara dan saudari dalam keluarga. Sistem istilah kekerabatan Tidung sangat mirip dengan Rungus, Idahan, dan

(25)

Bisaya (lihat G. Appell 1972: 151; Prentice 1972: 157; Peranio 1972: 165). Terutama, Tidung dan Bisaya yang membedakan paman tertua dari yang lainnya (misalnya, yaya atau ‘paman tertua' lihat Tabel 4). Istilah khusus semacam itu menandakan, sebagaimana yang Blust tunjukkan (1980: 216), bahwa yang tertua bertanggungjawab setidaknya sampai batas tertentu, dalam pengambilan keputusan di antara saudara kandungnya dan dalam keluarganya.

Awalan pada istilah kekerabatan di atas tidak disebutkan. Misalnya, istilah yama menjadi ama, dan keminan menjadi minan. Mereka yang memiliki anak, atau bahkan keponakan, mulai dipanggil menurut hubungan ini: orang tua Kamarudin disebut "Man Marudin" dan "Nan Marudin" (pria = aman atau 'ayah dari', nan = inan atau 'ibu'), sementara paman dan bibinya menjadi "Jang Marudin" dan "Minan Marudin" (Jang = ujang). Menurut Amir Hamzah (1998), kakek-neneknya diperlakukan sama; "Yaki-ni-hap," atau 'Kakek Hafsah' (Hap adalah a singkatan dari Hafsah). Orang yang sudah menikah sering disebutkan namanya menurut nama pasangannya Misalnya, "Aisyah Ahmad" berarti 'Aisyah, istri Ahmad.' Nama Ahmad seharusnya tidak disalahpahami sebagai milik ayahnya; Jika ayahnya Ahmad, dia akan dipanggil "Aisyah bin Ahmad" (ibid.).

(26)

Beberapa istilah kekerabatan bahkan diterapkan juga pada orang-orang yang bukan kerabat. Ujang dan minan dapat berfungsi sebagai sebutan untuk setiap orang tua; Istilah untuk saudara ipar, iras dan angu, bisa merujuk juga ke teman dan kenalan.

Berbeda dengan istilah di atas, nenek moyang yang lebih tua dari kakek diseubut dengan berbagai cara bahkan di dalam subsuku-subsuku Tidung. Tidung secara umum memiliki kategori keturunan kognitif, seperti yang kita lihat pada Tabel 5 dan 6. Sebagian, istilah genealogis Tarakan tampaknya telah berkembang secara khusus untuk membedakan antara delapan generasi dan delapan generasi ke atas (Tabel 5). Sistem ini mengkategorikan sepupu pertama sampai ketiga kedalam “gaka ampir” atau 'keluarga dekat', dan yang keempat sampai ketujuh menjadi “gaka tawey” atau 'keluarga jarak jauh.' Perkembangan khusus semacam itu mungkin terkait dengan hegemoni Tidung Tarakan yang cukup lama sebagaimana disebutkan di atas. Namun, sebagian subsuku-subsuku memiliki sistem yang lebih sederhana yang berlaku tidak lebih dari empat generasi (lihat Tabel 6). Sampel Bengawong dari Apas menunjukkan hubungan dekat mereka dengan Sulu (sama-sama menggunakan istilah datu). Beberapa istilah, seperti muyang, buyut, dan intailing (juga iling), diterapkan pada tetangga Murut dan Melayu, namun hanya jika mengacu pada leluhur yang sangat jauh.

Garis silsilah Tidung cenderung paternal sampai tingkat tertentu, karena pengaruh Islam. Beberapa tetangga seperti sub suku-suku Lun Dayeh (Lun Bawang, Putuk, dll.), Memiliki silsilah patrilineal eksklusif. Jika seseorang tidak memiliki putra, misalnya, maka garis silsilahnya harus dialihkan kepada putra dari saudara laki-lakinya atau putra dari sepupunya. Tapi, silsilah Tidung tidak terbatas pada garis keturunan laki-laki.

4) Nama dan identitas politik "Tanah Tidung" atau "Berayu"

Akhirnya, kita membahas pertanyaan tentang nama Tidung dan identitas politiknya, baik bernama “Tirun” atau “Berau” di masa kolonial, atau lebih tepatnya "Tanah Tidung" atau "Berayu" dalam istilah mereka.

Tidung menganggap nama "Tidung" berarti 'gunung atau populernya bukit' (lihat Beech 1908: 85, 103; Sather 1972: 167; Sellato 2001: 21). Sebagian Tidung menunjukkan keberatan tentang penjelasan ini, karena istilah untuk 'gunung' atau 'bukit' diucapkan sebagai "tideng / tidong" daripada "tidung" di Sebagian subsuku (lihat G. Appell 1983: 43; Appell-Warren 1986: 148). Namun, vokal "e/o/u" dipertukarkan di antara subsuku Tidung seperti tetangga Murut lainnya, sebagaimana yang kita saksikan di atas. Lainnya, ada versi minor tentang arti 'Tidung’. Satu pendapat menyebutkan bahwa istilah “Tidung” berasal dari nama nenek moyang Tidung, Aki Tidung. Di sisi lain, nama Tidung / Tedung itu sering diberikan

(27)

kepada anak lelaki dalam suku-suku Murut (awalnya, sejenis ular). Namun, hampir tidak ada yang diketahui mengenai detail tentang keturunan nenek moyang ini.

Bagi saya, penjelasan yang paling menarik adalah yang saya dapatkan dari Tidung malinau. Dikatakan bahwa nenek moyang mereka pernah bersekutu dengan tetangga dataran tinggi mereka, sebuah subsuku-subsuku Lun Dayeh yang pemimpin hebatnya bernama Ufay Semaring. Tetangga tersebut dulu tinggal di anak sungai Mentarang (Hulu Sesayap) disebut Pa’ Tideng menurut lidah mereka, yang berarti 'gunung'. Makanya, Tidung

(28)

kemudian disebut juga "Tidung" berdasarkan nama sekutu=sekutu ini. Ufay Semaring (juga, Yufay, Upay, dll) adalah kepala legendaris yang dikenal luas Antara Lun Dayeh, Tidung, dan bahkan Brunei (lihat Sellato 1995). Meskipun Pahlawan ini mungkin bukan nenek moyang yang sebenarnya, cerita ini bisa menjembatani jurang pemisah antara pengucapan dan pemahaman etnik Tidung.

Bagaimanapun, "Tidung" menjadi nama suku bagi masyarakat, dan meluas menjadi identitas politik mereka. Menurut sejarah lisan mereka, Tidung pernah berkembang di seluruh pesisir Kalimantan Timur Laut, bahkan di daerah dimana mereka tidak ditemukan hari ini. Ini termasuk sekitar sungai Paitan, Sugut, Silam, Madai, Kinabatangan, dan Pegagau, dan juga Pulau Timbun Mata. Tidung biasa menyebut semua wilayah ini " Tidung Pagun" (pagun = kampung, tanah, negara), atau "Tanah Tidung" sebagaimana terjemahan dalam bahasa Melayu. Pada abad 17 dan 18, saat Sulu masih menderita oleh pembajakan Tidung, mereka sepertinya menyebut Kalimantan Timur Laut tanah air Tirun, yang berarti "Tidung" dalam dialek Sulu, seperti yang kita saksikan di atas.

Namun, karena Sulu dan sekutu mereka memperluas wilayah mereka sejak abad ke-18, ranah politik Tidung mulai terkikis. Catatan orang barat dari akhir abad 18 sampai awal abad 19 menunjukkan bahwa daerah Sandakan dan Kinabatangan telah berada di bawah pengaruh Sulu pada saat itu, sedangkan sisanya, dari Tawau sampai Kaniungan (Berau) adalah masih disebut Tirun (lihat Dalrymple 1793: 527-530; Leyden 1814: 13-15; Hunt 1837: 54-57 dll). Tapi, detailnya agak bervariasi tergantung dari sumber

(29)

informasi penulis. Gubernur Inggris awal juga menggunakan istilah Tirun untuk Kalimantan Timur Laut, karena Inggris diberi tanah oleh Sultan Sulu orang yang telah dibebaskan Dalrymple dari sekapan Spanyol (lihat Hageman 1855: 101).

Di sisi lain, pemerintah kolonial Belanda mengenal Kalimantan Timur Laut dengan nama "Berau" (Berouw, Berou, Barroe, Barong, dll.), mengikuti sebutan yang digunakan oleh kesultanan selatan seperti Banjarmasin dan Kutai. Seperti yang terlihat di atas, istilah ini juga berasal dari salah satu kerajaan Tidung tertua, "Berayu (k)" (lihat di bawah). Meskipun Belanda pernah telah dikucilkan dari Banjarmasin pada tahun 1787, namun mereka tidak tahu apa-apa tentang daerah ini sampai pertengahan abad ke-19. Dalam Perjanjian tahun 1834, Belanda mengakui adanya tiga kesultanan lokal di Berau, yaitu Gunung Tabur, Sambaliung, dan Bulungan (Arsip Nasional Republik Indonesia 1973: 166). Kemudian, mereka mulai memahami lebih banyak rincian historis di wilayah tersebut setelah ekspedisi pertama di tahun 1848-49, bersaing dengan pemerintah Inggris, yang timnya telah maju ke Sarawak. Istilah Berau pada awalnya menunjukkan sebuah kerajaan tua di sekitar sungai Berau (sungai Kelai dan Segah di Kabupaten Berau saat ini); Kerajaan ini pernah memerintah seluruh Kalimantan Timur Laut; Di sisi lain, pemerintahan wilayah Berau kemudian dipecah menjadi Gunung Tabur dan Sambaliung. Di wilayah utara, Bulungan juga mendeklarasikan kemerdekaan dan mencaplok wilayah Tanah Tidung atau 'Tanah Tidung', tempat dimana Tidung adalah suku-suku lokal yang dominan (Hageman 1855: 72-73; Dewall 1855: 423-424).

Dengan demikian, istilah Tanah Tidung dan Berau akhirnya menjadi dua nama Distrik yang berbeda pada masa penjajahan Belanda, meskipun keduanya awalnya disebut, cukup samar-samar, untuk satu distrik yang sama, melingkupi daerah yang lebih luas di pesisir timur laut Kalimantan. Sebaliknya, istilah Tirun lenyap dari Kalimantan Utaranya Inggris, karena Pemerintah kolonial telah menggantinya dengan nama distrik baru, "Tawau". Tidak diragukan lagi bahwa kesultanan Berau sedikit banyak terkait dengan Tidung. Forrest melaporkan (1792: 129, 335) bahwa penduduk sekitar sungai Berau adalah orang Tidung (Oran Tedong) yang telah diserang oleh Sulu di akhir Abad ke 18. Tidung Tarakan, yang berasal dari Berayu (lihat Bagian 2), menganggap pendiri pertama kerajaan Berau, Baddit Dipatung atau Aji Surya, adalah keturunan bangsawan Tarakan (Amir Hamzah 1998). Sejarah lisan Melayu Berau juga menunjukkan bahwa nama lama kerajaan mereka adalah "Berayu" dan bukan "Berau," seperti sebutannya pada hari ini (Muhammad Noor 1991, 1996). Dan karena kerajaan Berayu pernah bersekutu dengan Kutai, seperti yang terjadi pada

(30)

Malinau Tidung di atas (Bagian 2), maka Kutai dan Banjarmasin secara alami menamainya Berayu atau Berau, bukan Tanah Tidung atau Tirun.

Namun, beberapa misteri masih tersisa. Misalnya, jika kerajaan Berayu Pertama kali didirikan di hilir Sesayap, sebagaimana dinyatakan dalam sejarah lisan Tidung asal sesayap, keturunan-keturunannya pasti telah bermigrasi ke sekitar sungai Berau dan mendirikan sebuah kesultanan baru; Atau, penghuni sekitar sungai Berau lah yang telah berimigrasi ke utara. Pertanyaan lain adalah mengapa Suku-suku Sesayap tidak berani menggunakan nama Berayu untuk pemerintahan baru mereka. Sejarah Lisan Tidung dan Melayu Berau tidak menyentuh titik-titik ini sama sekali. Penjelasan alternatifnya adalah bahwa Melayu Berau memilih untuk menghilangkan secara strategis kenangan lama mereka sebagai Tidung dari silsilah dan asal mula yang mulia, sebagiamana yang dilakukan oleh Melayu Bulungan (lihat III di Bagian 2).

5) Penutup

Dalam makalah ini, saya menggambarkan keragaman linguistik, budaya, dan sejarah Tidung. Mereka pernah memiliki hegemoni di pesisir Kalimantan Timur Laut, dan karenanya identitas politik mereka dikenal dengan nama "Tidung / Tirun," atau dengan nama kerajaan tertua mereka, "Berayu / Berau." Namun, setelah diserang oleh Sulu dan musuh lainnya, wilayah kekuasan Tanah Tidung atau Berayu sangat berkurang. Sebagian dari mereka masuk Islam dan mengubah identitas etnis mereka dari Tidung menjadi identitas Melayu yang baru, seperti Bulungan. Kebingungan historis dan pemutusan hubungan mengaburkan latar belakang etnis Tidung, akhirnya memicu kontroversi tentang bahasa, etnonim, dan asal usul mereka.

Seperti yang saya sebutkan di Bagian 2, pemerintahan Tanah Tidung kuno sebagian besar bertempat di pulau-pulau pesisir sebagai pusat ekonomi dan politik, seperti Berau dan Tarakan. Namun, karena serangan balasan dan invasi oleh orang luar Melayu, pemerintahan ini kehilangan jaringan perdagangan mereka dan lalu menurun kekuasaannya. Di sisi lain,

pemerintahan Tanah Tidung lainnya memindahkan pusat-pusat

pemerintahan mereka ke daerah pedalaman dan bersekutu dengan suku-suku lokal, sehingga bisa mengendalikan hasil hutan secara langsung. Dalam beberapa kasus, pemerintahan ini bahkan mengubah Identitas etnis mereka, seperti dalam kasus Bulungan. Kita akan membahas tentang kehancuran ini dan reorganisasi Tanah Tidung di makalah lain.

(31)

Saya ingin mengucapkan terima kasih atas bantuan dan saran mereka berikut ini: Ir. Amir Hamzah bin Badarudin (BAPPEDA, Samarinda), Dr. B. Sellato (Institut de Recherche sur le Sud-Est Asiatique), Dr. C. Sather (Univ of Helsinki), Dr. E. Koepping (Univ. Of Edinburgh), K. Nagatsu (Pusat untuk Asia Tenggara Studi, Universitas Kyoto), rekan penelitian saya Prof. Simon G. Devung dari Universitas Mulawarman, dan semua orang yang memberikan informasi di Kalimantan Timur dan Sabah.

Catatan

1) Di sini, saya menggunakan istilah "Sulu" dan "Bajau" pada prinsipnya mengacu pada Suku-suku bahasa Tausug dan Sama / Samal, menurut sejarah lisan setempat (untuk suku-suku ini, lihat Kiefer 1975; Geoghegan 1975; Sather 1975 Dll). Tak pelak lagi, beberapa subkelompok linguistik atau etnis lain bisa jadi temasuk ke dalam dua kategori ini. Apalagi, Bajau juga disebut Bajak Laut (bajak = bajak laut atau bandit Melayu) di Bulungan. Istilah ini bukan berarti hanya bagi Bajau tapi juga bagi pengembara laut lainnya dan perompak. Beberapa subsuku Tidung memanggil Sama Bajau “Pe'lau”, atau 'penghuni perahu Bajau'.

2) Istilah Camuçones tidak hanya mengacu pada Tidung tetapi juga kepada orang Bajau, keduanya sering menyerang koloni Spanyol. Tepatnya, Istilah ini bermakna "perantau laut yang hidup di pesisir pantai dan pulau-pulau yang mengabdi pada Raja Brunei "(Tarling 1978: 7, 11-13).

3) Respen = singkatan untuk daerah pemukiman kembali untuk pribumi yang terisolasi berdasarkan kebijakan Indonesia; Desa resettlement di desa Kebijakan Malaysia; FELDA = singkatan dari Federal Land Development Authority, Malaysia.

4) Huruf ganda yang dilipat diucapkan tanpa pemberhentian glottal, seperti dalam bahasa Melayu Istilah "maaf" (tidak seperti istilah Kayan). Saya mengikuti notasi Guerreiro (1996), terutama dalam penulisan kata-kata Kayan.

Contoh: / e /: / ә /, / é /: [e], / è /: [є], / û /: [ũ] (nasalis vokal), /: /: Panjang vokal preseden,

(32)
(33)
(34)
(35)
(36)

Refrensi

BRB = Kalimantan Research Bulletin.

TBG = Tijdschrift voor Indische Taal-, Land en Volkenkunde.

TNAG = Tijdschrift van het Koninklijk Nederlandsch Aardrijkskundig Genootschap.

TNI = Tijdschrift voor Nederlandsch Indië.

VBG = Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap.

Aernout, W. 1885. Een woordenlijstje der Tidoengsche taal. De Indische Gids. 7-1: 536-550.

Akbarsyah. 1997. Birau di Tanjung Selor, Kemasan Atraksi Seni-budaya Daerah Tingkat II Bulungan dalam Era BIMP-EAGA. Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Bulungan, Sekretariat Wilayah Daerah.

Amir Hamzah bin Badarudin. 1998. Sekilas mengenal Tanah Tidung. Samarinda: Manuscript.

Appell, Amity C. P. 1986 The Bulusu’ language of East Kalimantan: Ethnographic profile and basic word list. BRB 18-2: 166-175.

Appell, G. N. 1972. Rungus Dusun. IN: LeBar, F. M. (Ed.). Ethnic Groups of Insular Southeast Asia (Vol. 1): Indonesia, Andaman Islands, and Madagascar: 150-153.

―――― 1983. Ethnic groups in the Northeast Region of Indonesian Kalimantan and their social organization. BRB 15-1: 38-45.

Appell-Warren, Laura P. 1986. The Tarakan dialect of the Tidung language of East Kalimantan: Distribution and basic vocabulary. BRB 18-2: 148-167. Arsip Nasional Republik Indonesia (Ed.) 1973. Ikhtisar Keadaan Politik Hindia-Belanda Tahun 1839-1849. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia.

Belcher, Sir E. 1848. Narrative of the Voyage of H. M. S. Samarang, during the Years 1843-46 (Vol. 1 & 2). London: Reeve, Benham and Reeve, King Wiliam Street Strand.

(37)

Beech, Mervyn W. H. 1908. Tidong Dialects of Kalimantan, Oxford: The Clarendon Press.

Black, I. 1985. The ‘Lastposten’: Eastern Kalimantan and the Dutch in the nineteenth and early twentieth centuries. Journal of the Southeast Asian Studies 16-2: 281-291.

Blust, R. A. 1980. Early Austronesian social organization: The evidence of language. Current Anthropology 21-2: 205-247.

Cense, A. A. and E. M. Uhlenbeck. 1958. Critical Survey of Studies on the Languages of Kalimantan. ‘S-Gravenhage, Martinus Nijhoff.

Cook, Oscar. 1924. Kalimantan: The Stealer of Hearts. London: Hurst & Blackett, Ltd.

Dalrymple, A. 1793. Oriental Repertory (Vol. 1 & 2). London: George Bigg. Darmansyah, M. A. et. al. 1980. Struktur Bahasa Tidung. Banjarmasin:

Departmen Penelitian dan Kebudayaan, Pusat Pembinaan dan

Pengembangan Bahasa.

Dewall, H. van. 1855. Aanteekeningen omtrent de Noordoostkust van Kalimantan. TBG 4-1: 423-458.

Forrest, T. 1792 (reprinted in 1996). A Voyage to New Guinea and the Moluccas 1774-1776. Oxford University Press.

Gallois, J. G. A. 1856. Korte aanteekeningen, gehouden gedurende eene reis langs de oostkust van Kalimantan. BKI 4: 221-263.

Genderen-Stort, P. van. 1916. Nederlandsch-Tidoengsch-Tinggalan

Dajaksche woordenlijst. VBG 61: 1-100.

Guerreiro, A. J. 1985. An ethnological survey of the Kelai River Area, Kabupaten Berau, East Kalimantan. BRB 17: 106-120.

―――― 1996. Homophony, sound changes and dialectal variations in some central Bornean languages. Mon-Khmer Studies 25: 205-226.

Hageman, J. 1855. Aanteekeningen omtrent een Gedeelte der Oostkust van Kalimantan. TBG 4-1: 71-106.

Hudson, A. B. 1978. Linguistic relations among Bornean peoples with special reference to Sarawak: An interim report. IN: Studies in Third World Societies (Ed.). Sarawak: Linguistics and Development Problems: 1-33.

(38)

Hunt, J. 1837. Sketch of Kalimantan or Pulo Kalimantan. In: Moor, J. H. (Ed.). Notices of the Indian Archipelago and Adjacent Countries. Singapore.

Irwin, G. 1955. Nineteenth-Century Kalimantan: A Study in Diplomatic Rivalry. University of Malaya.

Kaskija, L. 1992. Sejarah Suku Merap. Yogyakarta (Typed manuscript). ―――― 1995. Punan Malinau: The Persistance of an Unstable Culture. Uppsala: Unpublished Filosofie Licentiate Thesis in Cultural Anthropology, Uppsala University.

Kiefer, T. M. 1975. Tausug. IN: LeBar, F. M. (Ed.). Ethnic Groups of Insular Southeast Asia (Vol. 2): Philippines and Formosa: 2-5.

Leyden, Dr. 1814. Sketch of Kalimantan. VBG 7: 1-64.

Loyré, G. 1997. Living and working conditions in Philippine pirate communities, 1750-1850. IN: Starkey, D. J., E. S. van Eyck van Heslinga & J. A. de Moor (Eds.). Pirates and Privateers: New Perspectives on the War on T ade in the Eighteenth and Nineteenth Centuries. UK: University of Exeter Press.

Majul, Cesar Adib 1973. Muslims in the Philippines. Quezon City: The University pf the Philippines Press.

Muhammad Noor, H. 1991. Beberapa usaha menemukan hari jadi Kota Tanjung Redeb. IN: PEMDA (Ed.). Makalah: Seminar hari jadi Kota Tanjung Redeb. Berau: PEMDA Tingkat II Berau.

―――― 1996. Sejarah Pemerintahan Kabupaten Berau. Samarinda.

Nicholl, Robert. 1980. Brunei rediscovered: A survey of early times. Brunei Museum Journal 4-4: 219-237.

―――― 1991 Raja Bongsu of Sulu: A Brunei Hero in His Time. JMBRAS. Okushima, M. 1999. Wet rice and the Kayanic peoples of East Kalimantan: Some possible factors explaining their preference to dry rice cultivation. BRB 30: 74-104.

―――― 2002. Commentary on the Sebuku Document: Local history from the perspective of a minor polity of coastal Northeast Kalimantan. Sophia Asian Studies (Tokyo; Sophia University) 20: 149-172.

―――― 2003. Bulungan no Arab-jin imin (The Arab settlers of Bulungan Sultanate: A short history of Islamization in coastal Northeast Kalimantan from oral and written sources). JAMS News (Japan Association of Malaysian Studies, Tokyo) 27: 6-14.

(39)

Peranio, Roger D. 1972. Bisaya. IN: LeBar, F. M. (Ed.). Ethnic Groups of Insular Southeast Asia (Vol. 1): Indonesia, Andaman Islands, and Madagascar: 163-166.

Prentice, D. J. 1972. Idahan Murut. IN: LeBar, F. M. (Ed.). Ethnic Groups of Insular Southeast Asia (Vol. 1): Indonesia, Andaman Islands, and Madagascar: 154-158.

Radermacher, J. C. M. 1780. Beschryving van het eiland Kalimantan, voor zo verre het zelve, tot nu toe, bekend is. VBG 2: 107-148.

Regis, P. 1989. Demography. IN: Kitingan, J. and M. J. Ongkili (Eds.). Sabah 25 Years Later, 1963-1988. Kota Kinabalu: Institute for Development Studies. Sather, C. 1972. Tidong. IN: LeBar, F. M. (Ed.). Ethnic Groups of Insular Southeast Asia (Vol. 1): Indonesia, Andaman Islands, and Madagascar: 167-168.

―――― 1975. Bajau Laut. In: LeBar, F. M. (Ed.). Ethnic Groups of Insular Southeast Asia (Vol. 2): Philippines and Formosa: 9-12.

Sellato, B. 1995. The Ngorek: A survey of Lithic and megalithic traditions in the Bahau area. IN: Culture and Conservation in East Kalimantan 3, Recording the Past: Historical and Anthropological Studies. Jakarta: WWF/IP. ―――― 2001. Forest, Resources and People in Bulungan: Elements for a History of Settlement, T ade, and Social Dynamics in Kalimantan, 1880-2000. Jakarta: Center of International Forestry Research.

SIL International. 2002. Ethnologue: Malaysia, Sabah (Kalabakan Murut,

Kuijau Dusun Serudong Murut, Sembakung Murut etc.).

http://www.ethnologue.com/show_country.asp?name=Malaysia%20(Sabah) St. John, Spenser. 1986 (reprinted). Life in the Forests of the Far East: T avels in Sabah and Sarawak in the 1860s. Singapore: Oxford University Press. Tarling, N. 1978. Sulu and Sabah: A Study of British Policy towards the Philippines and North Kalimantan from the late eighteen century. Kuala Lumpur: Oxford University Press.

Warren, J. F. 1985. The Sulu Zone 1768-1898: The Dynamics of External T ade, Slavery, and Ethnicity in the T ansformation of a Southeast Asian Maritime State, Quezon City: New Day Publishers. Wurm, A and S.

Referensi

Dokumen terkait

Namun adanya batasan seperti ruangan yang cukup terbatas dan kehadiran server- server yang akan terus online membuat rancangan sistem pengkabelan untuk data center harus

Tuaian menurut Yesaya 5:1-10 dilakukan dengan: strategi tuaian harus tepat guna (ay. 2 e -8) dan kuantitas tuaian harus yang terbanyak (ay.. Teologi Tuaian semestinya tidak

2) Penduduk yang mempunyai pekerjaan tetap tetapi sementara tidak bekerja (setengah menganggur). 3) Penduduk yang tidak mempunyai pekerjaan sama sekali dan mencari

Dalam perbincangan mengenai gelagat pengguna Islam, Siddiqi (1979) telah merumuskan beberapa perkara penting yang perlu diambil perhatian dalam sistem ekonomi

Masalah yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah apakah melalui permainan roda jenius dapat meningkatkan hasil belajar matematika materi sifat-sifat bangun

NEW Surabaya College Surabaya mengalami permasalahan pada penurunan jumlah siswa antara lain sebesar> tahun 2005–2006 turun sebesar - 19,72% dan periode tahun 2006–2007

Berdasarkan uraian yang telah disampaikan, maka dilakukan pengujian kembali penelitian tersebut dengan judul: “ Pengaruh Efektivitas Penerapan SIA, Pemanfaatan SIA,

hasil identifikasi bakteri asam laktat dari isolat D adalah metode yang digunakan. Pada penelitian terdahulu yang menggunakan Manual