• Tidak ada hasil yang ditemukan

170 TEATER datang mendekati kerumunan orang. Pertunjukannya dimulai dengan menampilkan tari kuda lumping yang ditarikan oleh 3 penari laki-laki muda (

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "170 TEATER datang mendekati kerumunan orang. Pertunjukannya dimulai dengan menampilkan tari kuda lumping yang ditarikan oleh 3 penari laki-laki muda ("

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

5.1 Fungsi Teater

Mungkin Anda semua pernah melihat sebuah pertunjukan kesenian di jalanan, di alun-alun, di halaman pasar, dan sebangsanya, seperti misalnya tarian reyog (kuda lumping), hi-pop, ledhek (ronggeng) dan sebangsanya. Agar lebih jelas, mari kita bayangkan bahwa kita sedang menonton sebuah rombongan kesenian keliling kuda lumping, di suatu lapangan di kota Balikpapan, Kalimantan Timur.

Kesenian itu asalnya dari Pulau Jawa, tapi 12 orang seniman rombongan itu campuran, berasal dari beberapa daerah dan kelompok etnis: Banyuwangi (Jawa Timur), Sragen (Jawa Tengah), Wonosari (Yogyakarta), Cirebon (Jawa Barat), Banjar (Kalimantan Selatan), dan Kutai (Kalimantan Timur). Pertunjukannya diadakan di suatu lapangan yang cukup luas, di dekat pasar. Penontonnya melingkar mengelilingi arena pertunjukan itu, tapi tidak benar-benar bundar ataupun persegi. Sekitar 30 anak-anak, kebanyakan duduk di lingkaran paling depan, dan umumnya laki-laki, hanya 2-3 saja anak perempuan. Para penonton orang dewasa susah dihitung jumlahnya, karena sebagian hanya menengok sebentar, terus pergi lagi. Tapi yang bergerombol melingkar itu jumlahnya sekitar 60-70 orang. Selain itu, ada juga beberapa pasangan muda-mudi, yang ada di situ dengan tetap duduk di atas sepeda motornya, tidak jauh dari lingkaran luar penonton—karena itu sulit untuk disebut penonton atau bukan. Demikian pula untuk 2 orang pedagang bakso dan seorang pedagang mainan yang dipikul, yang datang dan mangkal di luar lingkaran penonton itu, bisa disebut menonton sambil berdagang, atau pedagang yang menonton, atau bisa juga disebut hanya pedagang saja karena ia

(2)

perempuan, berkain-kebaya, dengan selendang tua, dan dengan rias muka yang lucu muncul. Ia masuk arena dan lari mengelilingi panggung seolah iri pada penari akrobatis yang mendapat tepukan penonton. Ia kemudian mencoba mau jungkir, salto, dan sebagainya, yang memang ia tidak bisa melakukannya. Gerakannya diplesetkan, ia terjatuh berulang-ulang. Tampilannya bukan membuat penonton bersorak, melainkan tertawa terpingkal-pingkal. Dan musik pun berhenti.

Seorang pemimpin musik itu berdiri mendekati transvesti (laki-laki yang berpenampilan perempuan, atau sebaliknya) bodor itu, dengan marah sambil memukul kepalanya, menendang pantatnya, berkali-kali sehingga bodor itu lari masuk ke kerumunan penonton seolah-olah ia minta perlindungan penonton. Terjadilah dialog antara pimpinan pemusik yang marah, karena penampilan bodor yang “bodoh” itu telah memalukan rombongannya. “Sebelum bisa tampil, kamu harusnya belajar dahulu. Dan kamu harus tahu diri. Tubuhmu yang sudah tua, kerempeng tak karuan itu tak pantas untuk bisa berbuat seperti anak muda yang cekatan,” katanya dalam bahasa Jawa dialek Jawa Timuran (Banyuwangi). Bodor menjawab: “Tapi ya jangan gitu lho Mas. Orang itu harus banyak memafkan. Aku kan mau coba juga. Walau udah tua kaya gini, kan semangatnya masih ‘begini’,” katanya, sambil menunjukkan kepalan tangannya—ucapannya itu dalam bahasa Jawa dialek Indramayu (Jawa Barat). Penonton tertawa terus, baik yang mengerti bahasanya maupun yang tidak.

Akhirnya, setelah “bertengkar” seperti dengan penuh kemarahan tapi menggelikan penonton, mereka “rujuk” kembali, untuk meneruskan pertunjukannya. Penampilan puncaknya adalah tarian kuda lumping oleh seorang penari, hingga ia “kemasukan” dan mampu melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak normal: memakan beling, memakan arang dengan apinya yang masih membara, dan lain-lain. Dan, ternyata, yang mampu menyembuhkan atau menormalkan dia dari kesurupan itu adalah bodor yang lucu tadi, yang pernah ditendang-tendang pantatnya oleh pemimpin musik. Ia kemudian mengambil tampah bekas tempat sesaji, pedupaan, dan beling, disodorkan berkeliling pada penonton untuk mendapat sumbangan

(3)

suka-rela. Para penonton ada yang memberi ada yang tidak, ada yang besar (Rp. 5.000), ada yang kecil (Rp. 200). Demikian juga anak-anak, walau tak banyak tapi ada yang memberi. Tidak ada tawar-menawar di situ, bodor menerima berapa pun yang diberikan penonton.

Kemudian, bersamaan dengan penonton yang bubar, bodor itu pun mendatangi anak muda yang masih duduk di atas sepeda motor bersama kekasihnya. Sepasang muda-mudi itu terlihat sedang asyik makan bakso jajanan. Ketika ia memberi Rp 200, bodor itu ‘mengejek’: “Masak Mas, cuma segini. Gengsi dong, terhadap pacar yang aduuuh cantiknya...”. Si Pemuda cuma senyum dengan mulut yang masih berisi makanan. Kekasihnyalah yang kemudian memberi Rp. 500. “Tuh Mas, Neng Ayu ini aja ngasih lebih besar, masak si Mas Ganteng ini lebih kecil.” Ia mengejek sambil berlaku genit, seperti perempuan centil, dengan suara laki-lakinya. Pemuda itu pun memberi lagi Rp. 1000. “Hey hey, terima kasih ya Mas, ya Neng,” katanya sambil menyodorkan lagi tampahnya pada tukang bakso... yang kemudian memberinya Rp 200.

Para seniman sudah membereskan lagi peralatannya, siap untuk berjalan ke tempat lain. Bodor dan pemimpin musik yang tadi bertengkar di panggung itu, secara bersama-sama menghitung dan menata uang dari tampah tadi. Itung-punya itung, mereka mendapat Rp 78.400. “Cah...,” kata bodor pada yang lain, “... meh wolung puluh ewu.” (“Teman-teman... hampir delapan puluh ribu”). Tanpa ekspresi senang atau prihatin, mereka terus berjalan bersama entah daerah mana lagi yang akan mereka tuju. Dari pikulan dan jinjingan mereka, tampak di antaranya panci dan ceret untuk masak nasi dan merebus air.

(4)

Deskripsi di atas imajiner, bukan dari suatu kejadian yang sesung-guhnya. Demikian pula angka-angka uangnya. Tapi, semua itu berdasar dari beberapa pengalaman menyaksikan kejadian nyata. Jadi, bukankah yang mustahil bisa kalian saksikan juga. Tidak akan ada yang segalanya persis sama, namun bisa sangat mirip dengan itu. Tujuan dari uraian “deskriptif” di atas adalah agar kita bisa masuk pada pembicaraan berikutnya, dengan gambaran yang lebih konkret, yakni mengenai fungsi sosial kesenian yang kini kita sebut “teater”.

Dari gambaran itu, cukuplah jelas, bahwa dalam membicarakan kesenian dalam kehidupan masyarakat kita, tidaklah sederhana. Dalam suatu peristiwa pertunjukan seperti di atas, kita bisa melihat banyak aspek yang berkaitan dengan makna kesenian itu sendiri. Misalnya, dari sisi “teknis,” yang biasa disebut “teks” dalam ilmu kebudayaan, kita bisa melihat bagaimana skenario itu ada yang dirancang, dan ada yang dimainkan secara spontan; bagaimana suatu pertunjukan itu menyesuaikan dengan lingkungan atau konteksnya; hubungan peran (perilaku) seniman di panggung dan di dalam keseharian; aspek ekonomi, hiburan, komentar (kritik/sanjungan) sosial, dan spiritual dalam kesenian; dan lain sebagainya.

Agar lebih jelas, kita akan mendiskusikannya dalam bagian-bagian berikut.

5.1.1 Hiburan

Dalam konteks kehidupan bermasyarakat di Nusantara, fungsi praktis sebuah pertunjukan teater sebagai bentuk hiburan, banyak sekali ditemukan. Fungsi menghibur, dalam hal ini lebih ditekankan pada rasa menyenangkan yang didapat baik oleh penonton maupun pelaku teater itu sendiri. Fungsi ini terdapat dalam berbagai pertunjukan teater yang

Gbr. 5-02: Seorang transvesti (laki-laki berpenampilan perempuan) menari bertopeng. Transvesti yang sering dipertontonkan dalam ludruk, kuda lumping, dan lain-lain, memancing gelak tawa penonton dengan penampilan kocaknya.

(5)

bersifat ritual, tanggapan, barangan/ngamen, dan pada pertunjukan yang mengharuskan penontonnya membayar karcis seperti di tobong ataupun di gedung pertunjukan.

Dalam pertunjukan teater ritual, misalnya upacara kebo-keboan di Banyuwangi Jawa Timur, sekaten di Jogjakarta dan Surakarta, dan bau

nyale di Lombok NTB, masyarakat banyak ikut berbaur dan menikmati

pertunjukan upacaranya. Upacara-upacara ritual tersebut telah menjadi agenda rutin bersama. Adanya unsur kebersamaan, saling mendukung, dan sikap saling memiliki dalam diri setiap masyarakat, menjadikan upacara ritual tesebut selalu mendapatkan tempat di hati masyarakat dan selalu dirindukan kehadirannya. Ritual kebo-keboan di Banyuwangi Jawa Timur adalah contoh yang menarik. Ritual yang dilakukan pascapanen padi ini diadakan sebagai tanda terima kasih kepada Yang Maha Kuasa atas hasil panen yang melimpah. Ritual ini bersifat upacara sekaligus ajang tontonan yang menghibur.

Tradisi bau nyale di Suku Sasak- Lombok Tengah juga menampilkan sesuatu yang menarik. Dalam ritual ini, masyarakat di pesisir pantai berbaur bergembira dengan melakukan perburuan cacing laut (atau biasa disebut oleh masyarakat sekitar dengan nyale) di pinggiran pantai. Cacing laut ini dipercaya dapat memberikan berkah kepada yang memakannya. Tradisi ini diadakan pada setiap tanggal duapuluh bulan kesepuluh dalam penanggalan Sasak. Dalam tradisi sekaten di Keraton Jogjakarta dan Surakarta, selain bernuansa sakral, prosesi upacaranya juga kental dengan nuansa hiburan. Upacara ritual ini diadakan untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad. Masyarakat luas yang mengikuti ritual ini dimanjakan dengan alunan sepasang gamelan keramat yang ditabuh dalam salah satu prosesi upacaranya. Selain itu, atraksi perebutan beberapa pasang

gunungan (nasi yang berbentuk

kerucut sebagai simbol lingga dan

yoni) oleh masyarakat, juga menjadi

momentum hiburan yang menarik untuk diikuti. Adanya pasar malam yang mengiringi dan memeriahkan acara sekatenan juga menjadi sarana rekreasi yang menghibur. Pasar malam ini berada di alun-alun utara kedua keraton tersebut, dan berlangsung selama bulan Mulud

(Rabiul Awal). Gbr. 5-03: Pertunjukan kebo-keboan di Banyuwangi: upacara

ritual sekaligus ajang tontonan yang menghibur bagi masyarakat sekitar.

(6)

Gbr. 5-05: Cacing laut (nyale): diperebutkan masyarakat pesisir Lombok, sewaktu upacara bau nyale. Nyale dianggap sebagai penganan lezat bagi penduduk setempat, juga merupakan simbol cinta dan rezeki.

Gbr. 5-04: Momentum rebutan gunungan dalam upacara sekaten di Jogjakarta dan Surakarta (Solo): momentum sakral sekaligus menghibur.

Gbr. 5-06: Pertunjukan wayang kulit sering diadakan dalam konteks tanggapan untuk mengiringi suatu hajatan/kenduri, berfungsi untuk menghibur para tamu undangan dan masyarakat sekitar.

(7)

Dalam bentuk tanggapan, fungsi pertunjukan teater juga tampak sebagai hiburan. Teater tanggapan lazim diadakan dalam konteks mengiringi suatu hajatan/kenduri. Sasaran penontonnya adalah para tamu undangan dan masyarakat sekitar tempat hajatan. Pertunjukan wayang kulit di Jawa, lamut di masyarakat Banjar Kalimantan Selatan, dan makyong di Riau adalah sederetan pertunjukan teater tanggapan yang masih marak dan diminati penontonnya.

Fungsi hiburan juga tampak dalam pertunjukan teater ngamen/ barangan. Seperti terdapat dalam tulisan pembuka dalam bab ini, terlihat sebuah atraksi pertunjukan kuda lumping, sebagai salah satu jenis teater ngamen yang berhasil memukau dan menghibur para penontonnya. Posisi pelaku teater (pemain kuda lumping) sebagai “penghibur” penonton sangat ditonjolkan dalam pertunjukan ini. Tak jarang pelaku teater tersebut melakukan atraksi, guyonan, dan trik-trik khusus yang membuat penonton terpikat, sehingga usai pertunjukan, penonton rela merogoh kantongnya untuk menyerahkan sejumlah rupiah ke wadah/tampah yang diedarkan salah satu pelaku teaternya.

(8)

Teater memang memiliki potensi yang besar untuk memberikan hiburan. Namun teater itu bukan semata-mata hiburan. Teater adalah pencarian, perenungan, serta pengamatan manusia terhadap perkembangan kehidupan dengan masyarakat dan individu sebagai sasaran pokoknya.

Di dalam kehidupan teater Barat, secara tegas dibedakan antara komedi dan tragedi. Tetapi di wilayah teater Timur, komedi dan tragedi saling berbaur. Keduanya melengkapi satu sama lain. Humor selalu dapat ditemukan di tengah kesedihan, air mata dan darah. Fungsi melipurnya tak pernah dilupakan.

Yang menarik untuk dibahas adalah, apa ukuran untuk menetapkan teater itu dapat menghibur. Apakah karena di dalamnya banyak unsur yang menyebabkan penonton bisa tertawa. Atau sesuatu itu memberikan harapan dan akhir lakon yang menyenangkan. Atau karena teater itu selalu mengandung pesan moral, yang menjadi tips yang dibawa pulang oleh penonton sebagai tuntunan batin.

Ketawa memang mendapat perhatian yang spesial di dalam teater rakyat dan teater tradisi. Dalam wayang wong Jawa, malah ada adegan goro-goro yang menjadi kesayangan banyak orang, karena di sana orang berkesempatan tertawa. Bukan hanya itu. Dalam goro-goro orang berkesempatan untuk keluar dari pakem atau hal-hal yang baku.

Apakah kelucuan yang membuat orang jadi menyukai goro-goro, karena unsur pemberontakannya. Karena hanya dalam adegan itulah seorang Petruk (putra pelayan) bisa menjadi Ratu. Hanya dalam goro-goro seorang wanita jantan seperti Srikandi dapat ngedhan (gila-gilaan).

(9)

Dari contoh goro-goro tersebut dapat ditarik tafsir bahwa yang membuat teater memiliki potensi menghibur bukan hanya karena di dalamnya banyak kelucuan. Tetapi juga karena di dalamnya banyak terobosan. Ada pesan-pesan moral yang dapat mewakili hasrat penonton yang tidak mungkin diwujudkan di dalam hidup yang nyata (karena adanya berbagai pembatasan).

Teater melipur dan menghibur, karena dia dapat mewakili ekspresi masyarakat, di samping memang karena di dalamnya ada humor. Tetapi humor sendiri, kalau ditelaah lebih jauh, banyak mengandung hasrat pemberontakan dan penentangan yang tidak akan mungkin diekspresikan dalam kehidupan biasa, tanpa menyebabkan ada ketegangan.

Sebagaimana juga anekdot yang berserakan di dalam kehidupan, yang sebenarnya keras, namun diterima dengan akrab, teater juga adalah alat yang sangat baik dan efektif untuk menyampaikan opini. Jadi lebih jauh barangkali boleh disimpulkan bahwa daya hibur yang merupakan potensi teater itu, muncul akibat dahsyatnya potensi teater untuk menjadi penyambung rasa dan lidah masyarakat.

Dengan cara memposisikan unsur menghibur teater seperti itu, maka teater akan tetap berbeda dengan dagelan. Teater akan lain dengan seloroh dan omongan di pinggir jalan. Teater selalu memiliki sudut yang sangat serius, namun keseriusannya tetap dapat menghibur, sebab ia berhasil ikut meringankan beban batin masyarakat atau individu.

Gbr. 5-09: Gareng nyembur: sebuah adegan goro-goro dalam wayang wong yang menampilkan kejenakaan para punakawan.

(10)

sehingga dapat dinikmati dan dihayati secara spiritual oleh masyarakat pengikutnya.

Dalam konteks kehidupan adat dan agama di Nusantara, fungsi dan tujuan upacara ritual sangatlah beragam. Ada upacara ritual yang bertujuan untuk mengadakan pengobatan kepada seorang yang sakit, misalnya adalah upacara beliatn di masyarakat Dayak Benuaq di Kalimantan Timur. Ada upacara ritual sehubungan dengan peringatan tingkat-tingkat hidup seseorang, misalnya ritual ayunan dan cukuran bayi di masyarakat etnis Melayu di Tanjung Jabung Timur, Jambi dan ritual guro-guro aron yaitu ritus inisiasi muda-mudi di Karo, Sumatera Utara. Ada juga upacara ritual sebagai tanda syukur atas berkah yang dilimpahkan Yang Maha Kuasa, misalnya adalah ritual kabumi (sedekah bumi) di Jawa Tengah dan ritual aruh ganal di masyarakat Banjar Kalimantan Selatan. Contoh-contoh tersebut adalah sebagian kecil dari beragamnya motif dan tujuan diselenggarakannya sebuah upacara ritual di kehidupan masyarakat Nusantara.

Upacara-upacara ritual adat dan agama hidup dan berkembang dalam pori-pori kehidupan masyarakat Nusantara. Dalam kenyataannya, unsur budaya, sosial, dan agama saling melekat dalam hampir setiap karakter upa-cara ritualnya. Faktor ini-lah yang membuat suatu upacara ritual begitu di-hormati dan disanjung oleh masyarakatnya, bahkan di-anggap sebagai identitas k u l t u r a l y a n g b e g i t u bersahaja.

Gbr. 5-10: Upacara beliatn di masyarakat Dayak Benuaq, Kalimantan Timur, yang diadakan untuk pengobatan.

(11)

Dalam perkembangan selanjutnya, pengertian ritual tidak lagi

hanya dihubungkan dengan upacara agama. Aspek ritual dalam hal

ini lebih diartikan sebagai tahapan peristiwa yang harus dilaksanakan, sesuai dengan aturan, karena tahapan tersebut dapat memberikan efek kedalaman. Dengan mengikuti proses tertentu, teater dikembalikan sebagai sebuah upacara. Sebenarnya yang dimaksudkan dengan itu adalah, mengembalikan teater bukan hanya hiburan, tetapi perenungan kehidupan.

Teater sendiri kalau diamat-amati memang merupakan sebuah ritual. Dimulai dengan ketertarikan seseorang untuk mementaskan sebuah naskah atau ide tertentu. Kemudian pemilihan naskah. Setelah itu penjajagan naskah. Kemudian lahir konsep. Selanjutnya ada proses berlatih yang panjang. Setelah itu masa pementasan. Tetapi sampai di sana masih belum berakhir. Selanjutnya masih

ada saat sesudah pementasan. Melihat teater sebagai se-buah proses ritual, sebenarnya membuat kita sadar bahwa teater adalah sebuah proses pembelajaran pada kehidupan. Bukan hanya tem-pat berlatih untuk menyiapkan pertunjukan. Teater menjadi tempat untuk mewarisi dan mewariskan sesuatu kepada generasi berikut.

Gbr. 5-11: Ritual ayunan dan cukuran bayi pada masyarakat Melayu di Tanjung Jabung Timur, Jambi: sebuah ritual inisiasi dalam menyambut kelahiran si jabang bayi.

Gbr. 5-12: Topeng Pajegan di Bali, dipertunjukkan sebagai bagian dari ritual keagamaan di pura, tapi sekaligus merupakan kesenian yang menghibur, kocak, dan memberi pendidikan moral.

(12)

dapat memotret sejarah masyarakat pada suatu masa. Bagaimana keadaan individu berhadapan dengan massa. Sampai sejauh mana nilai-nilai berkembang dan bergulir. Serta sudah sejauh mana manusia mencapai hasrat-hasratnya.

Karena merupakan sebuah ekspresi, teater juga dapat menjadi dokumentasi jatidiri manusia pada suatu masa tertentu. Sampai di mana citranya. Bagaimana dia menanggapi lingkungan dan perubahan-perubahan. Dari teater dapat diketahui peta sosial sebuah wilayah pada suatu masa.

Karena demikian keadaannya, teater sudah semestinya menampilkan aspek-aspek yang memungkinkan dia menjadi sebuah dokumen yang penting. Untuk itu seorang yang benar-benar ingin berucap dengan teater, memang benar-benar harus memahami era saat ia hidup.

Akibatnya untuk berekspresi dengan teater, sebenarnya tidak cukup hanya dengan menggali apa yang ingin dilontarkan dengan asal-asalan. Berucap dengan teater tak cukup hanya dengan mengumbar unek-unek. Ekspresi dengan teater harus mewakili zamannya. Barulah ia akan “menghibur” serta menjadi sebuah catatan ekspresi yang penting.

Semua itu menyebabkan setiap orang yang benar-benar ingin bekerja untuk dan dengan teater, percaya, bahwa teater bukan hanya hobi, meskipun bisa menjadi hobi. Lebih dari sekedar hobi, teater adalah ucap diri. Teater adalah potret diri dan zamannya.

Hanya mereka yang benar-benar mendalami diri dan sekitarnya yang akan menjadi sebuah dokumen yang penting dengan teater. Kalau tidak, mungkin ia sempat menarik perhatian sesaat, tetapi kemudian tidak akan tercatat. Inilah yang membedakan teater sebagai sebuah peristiwa kesenian dan teater hanya sebagai “pelipur lara”.

Sebagai pelipur lara, teater memang hanya hiburan tak berbeda dengan berbagai jenis hiburan yang lain. Tetapi sebagai peristiwa kesenian, sebagai ekspresi, teater adalah bagian dari sejarah.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini menggunakan CDA untuk menguliti bias-bias maskulinitas media terhadap perempuan dalam pemberitaan. Model analisis wacana kritis yang dipakai ialah model analisis

Yang terlihat pada tabel 1 adalah sebagian besar responden (69,2%) tidak bekerja atau sebagai ibu rumah tangga dan dan setelah memperoleh pendidikan kesehatan , semua

pengembangan tanaman aren untuk menambah potensi hasil nira bagi kebutuhan energi terbarukan seperti bioetanol dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut : Seleksi

Tujuan komunikasi pada umumnya yaitu mengharapkan partisipasi dari komunikan (mad’u) atas ide-ide atau pesan-pesan yang disampikan oleh pihak komunikator (da’i)

Manajemen sumber daya manusia merupakan sarana untuk meningkatkan kualitas manusia, dengan memperbaiki sumber daya manusia, meningkatkan pula kinerja dan daya hasil

Erişim şebekesinde kullanılacak çubuk topraklayıcıların boyutları Ek:TK-1’de gösterilmektedir. Topraklama çubuğu ile topraklama iletkeninin irtibatı klemens

Pada umumnya kebanyakan pengguna laptop ingin laptopnya terlihat lebih sempurna atau sekedar agar terlihat lebih indah, dan yang pastinya juga banyak pengguna

Melihat banyaknya kasus korupsi di Indonesia terutama dilakukan oleh pegawai negeri sipil ( PNS ), korupsi diibaratkan sudah menjadi budaya yang sulit untuk diberantas.