• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

9 BAB 2

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1. Sistemik Lupus Eritematosus 2.1.1. Definisi.

Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah penyakit autoimun yang kompleks ditandai oleh adanya autoantibodi terhadap inti sel dan melibatkan banyak system organ tubuh. (Suarjana, 2015). Lupus adalah penyakit inflamasi kronik sistemik yang disebabkan oleh system kekebalan yang keliru sehingga mulai menyerang jaringan dan organ tubuh sendiri. (Kemenkes, 2017). Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan produksi antibodi atas komponen inti sel tubuh sendiri yang berkaitan dengan manifestasi klinik yang sangat luas. (Harsono, 2016).

Dapat disimpulkan Lupus Eritematosus Sistemik adalah penyakit autoimun dimana system kekebalan tubuh menyerang jaringan dan tubuh organ sendiri dengan manifestasi klinik yang luas.

2.1.2. Etiologi.

Sehingga kini penyebab pasti SLE belum diketahui. Ada kemungkinan faktor genetik, kuman, virus. sinar ultraviolet, dan obat-obatan tertentu memainkan peranan. Penyakit SLE ini lebih kerap ditemui di kalangan kaum wanita. Beberapa faktor resiko SLE : (Suarjana, 2016)

(2)

11 2.1.2.1. Faktor genetik.

Kejadian SLE yang lebih tinggi pada kembar monozigotik (25%) dibandingkan dizigotik (3%), peningkatan frekuensi SLE pada keluarga penderita SLE dibandingkan dengan kontrol sehat dan peningkatan prevalensi SLE pada kelompok etnik tertentu, menguatkan dugaan bahwa faktor genetik berperan dalam pathogenesis SLE.

2.1.2.2. Hormonal.

Pada penderita SLE wanita lebih dominan bila dibanding pria. Serangan pertama kali SLE jarang terjadi pada usia prapubertas dan setelah menopause.

2.1.2.3. Disfungsi Imun.

Gangguan imunologis utama pada penderita SLE adalah produksi autoantibodi. Antibody antinuclear (ANA) adalah antibody yang paling banyak ditemukan pada penderita SLE (95%). Anti ds DNA dan antibody-Sm antibody merupakan antibody yang spesifik untuk SLE. 2.1.2.4. Faktor lingkungan.

Faktor fisik/kimia, faktor makanan, agen infeksi, hormone estrogen 2.1.3. Klasifikasi.

Penyakit ini dikelompokkan dalam tiga jenis (kelompok), yaitu : 2.1.3.1. Sistemik Lupus Eritematosus.

Pada sekitar 10% pasien lupus diskoid, penyakitnya berkembang menjadi lupus sistemik yang memengaruhi organ internal tubuh seperti sendi, paru-paru, ginjal, darah, dan jantung. Lupus jenis ini sering

(3)

12

ditandai dengan periode suar (ketika penyakit ini aktif) dan periode remisi (ketika penyakit ini tidak aktif).

2.1.3.2. Lupus Eritematosus Kutaneus.

Cutaneus Lupus atau sering disebut dengan discoid, adalah penyakit lupus yang terbatas pada kulit. Klien dengan lupus diskoid memiliki versi penyakit yang terbatas pada kulit, ditandai dengan ruam yang muncul pada wajah, leher, dan kulit kepala, tetapi tidak memengaruhi organ internal. Penyakit ini biasanya lebih ringan biasanya sekitar 10%-15% yang berkembang menjadi lupus sistemik.

2.1.3.3. Drug Induced Lupus (DIL)

DIL atau dikenal dengan nama Lupus karena pengaruh obat. Jenis lupus ini disebabkan oleh reaksi terhadap obat resep tertentu dan menyebabkan gejala sangat mirip lupus sistemik. Obat yang paling sering menimbulkan reaksi lupus adalah obat hipertensi hydralazine dan obat aritmia jantung procainamide, obat TBC Isoniazid, obat jerawat Minocycline dan sekitar 400-an obat lain. Gejala penyakit lupus mereda setelah pasien berhenti mengkonsumsi obat pemicunya.

Sindroma Overlap, Undifferentiated Connective Tissue Disease (UCTD), dan Mixed Connective Tissue Disease (MCTD).

PUSDATIN (2017)

Kriteria klasifikasi SLE menurut SLICC (Systemic Lupus Internationla Collaborating Clinics) tahun 2012 : Batasan : ≥ 4 kriteria (setidaknya 1 kriteria

(4)

13

klinik dan 1 kriteria laboratory) atau hasil biopsi Lupus Nephritis dengan ANA atau Anti DNA

Tabel 2.1

Kriteria klasifikasi SLE menurut SLICC

Kriteria Klinik Bercak Malar / Malar Rash (Butterfly rash) = Adanya eritema berbatas tegas, datar, atau berelevasi pada wilayah pipi sekitarhidung (wilayah malar)

Bercak diskoid (Ruam pada kulit) local atau generalisata

Ulcer di mulut atau nasal Non scarring alopecia Arthritis

Serositis (Pleuritis atau pericarditis)

Kelainan Ginjal : Proteinuria > 0,5 g / 24 jam, sel darah merah dalam urin

Kelainan saraf : Seizures, psikosis, mononeuritis multiplex, myelitis, peripheral orcranial neuropathy, kejang akut Anemi Hemolitik Leukopeni (<4000/mm³) or Lymphopenia (<1000/mm³) Thrombocytopenia (<100.000 /mm³) Kriteria Immunologik

Tes ANA diatas titer normal

Tes Anti ds DNA Anti dsDNA diatas titer normal Anti Sm (Smith) diatas titer normal

Antiphospolipid antibody positif Komplemen (C3, C4, atau CH50) Coombs Direk tes positif

2.1.4. Manifestasi klinis

Menurut Suntoko (2015), gejala pada setiap penderita berlainan, serta ditandai oleh masa bebas gejala (remisi) dan masa kekambuhan (eksaserbasi). Pada awal penyakit, lupus hanya menyerang satu organ, tetapi di kemudian hari akan melibatkan organ lainnya.

(5)

14 2.1.4.1. Manifestasi umum.

Cepat lelah, nafsu makan menurun, demam dan menurunnya berat badan

2.1.4.2. Sistem integumen.

Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi, dan ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.

2.1.4.3. Sistem musculoskeletal.

Artralgia, Artritis, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, dan rasa kaku pada pagi hari.

2.1.4.4. Sistem perkemihan.

Glomerulus renal yang biasanya terkena. 2.1.4.5. Sistem gastrointestinal.

Kelainan pada esophagus, vaskulitis mesentrika, radang pada usus, pankreatitis, hepatitis dan peritonitis.

2.1.4.6. Sistem hematologi

Anemi, trombositopeni, limfofenia, leukopeni. 2.1.4.7. Sistem pernafasan.

Pleuritis atau efusi pleura. 2.1.4.8. Sistem kardiovaskuler.

Perikarditis dan gangguan miocardium. 2.1.4.9. Sistem vaskuler.

(6)

15

Vaskulitis merupakan peradangan pembuluh daarah,suatu kondisi dimana jaringan rusak oleh sel darah memasuki jaringan.

2.1.4.10. Sistem neuropsikiatrik.

Spektrum gangguan sistem saraf pusat sangat luas dan mencakup seluruh bentuk penyakit neurologik, sering terjadi depresi dan psikosis. 2.1.5. Patofisiologi

Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan autoimun yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan.

Patofiologi penyakit SLE dihipotesiskan sebagai berikut : adanya satu atau beberapa faktor pemicu yang tepat pada individu yang mempunyai predisposisi genetik akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap sel TCD 4+, mengakibatkan hilangnya toleransi sel T terhadap sel-antigen. Sebagai akibatnya munculah sel T autoreaktif yang akan menyebabkan induksi serta ekspansi sel B, baik yangmemproduksi autoantibodi maupun yang berupa sel memori. Ujud pemicu ini masih belum jelas. Sebagian dari yang diduga termasuk didalamnya ialah hormon seks, sinar ultraviolet dan berbagai macam infeksi.

(7)

16

Pada SLE, autoantibodi yang terbentuk ditujukan terhadap antigen yang terutama terletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein histon dan non histon.Kebanyakan diantaranya dalam keadaan alamiah terdapat dalam bentuk agregat protein dan atau kompleks protein RNA yang disebut partikel ribonukleoprotein (RNA). Ciri khas autoantigen ini ialah bahwa mereka tidak tissue-spesific dan merupakan komponen integral semua jenis sel.Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA (anti-nuclear antibody). Dengan antigennya yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi. Telah ditunjukkan bahwa penanganan kompleks imun pada SLE terganggu. Dapat berupa gangguan klirens kompleks imun besar yang larut, gangguan pemprosesan kompleks imun dalam hati, dan penurun Uptake kompleks imun pada limpa. Gangguan-gangguan ini memungkinkan terbentuknya deposit kompleks imun di luar sistem fagosit mononuklear. Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai macam organ dengan akibat terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan substansi penyebab timbulnya reaksi radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan/ gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit dan sebagainya. Bagian yang penting dalam patofisiologi ini ialah terganggunya mekanisme regulasi yang dalam keadaan normal mencegah autoimunitas patologis pada individu yang resisten. Suarjana, (2015)

2.1.6. Pemeriksaan Penunjang. 2.1.6.1. Tes Anti ds-DNA.

(8)

17

Batas normal: 70 – 200 IU/mL (Negatif : < 70 IU/mL, Positif : > 200 IU/mL).

Antibodi ini ditemukan pada 65% – 80% penderita dengan SLE aktif dan jarang pada penderita dengan penyakit lain. Jumlah yang tinggi merupakan spesifik untuk SLE sedangkan kadar rendah sampai sedang dapat ditemukan pada penderita dengan penyakit reumatik yang lain, hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan sirosis bilier.

2.1.6.2. Tes Antinuclear antibodies (ANA).

Nilai normal : nol. ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimun yang lain. ANA adalah sekelompok antibodi protein yang bereaksi menyerang inti dari suatu sel. ANA cukup sensitif untuk mendeteksi adanya SLE, hasil yang positif terjadi pada 95% penderita SLE.

2.1.6.3. Tes Laboratorium lain.

Tes laboratorium lainnya yang digunakan untuk menunjang diagnosa serta untuk monitoring terapi pada penyakit SLE antara lain adalah antirribosomal P, antikardiolipin, lupus antikoagulan, Coombs test, anti-histon, marker reaksi inflamasi (Erythrocyte Sedimentation Rate/ESR atau C-Reactive Protein/CRP), kadar komplemen (C3 dan C4), Complete Blood Count (CBC), urinalisis, serum kreatinin, tes fungsi hepar, kreatinin kinase.

2.1.6.4. Rontgen dada. 2.1.6.5. Analisa air kemih.

(9)

18

Menunjukkan adanya darah atau protein lebih dari 0,5 mg/hari atau +++.

2.1.6.6. Hitung jenis darah

Menunjukkan adanya penurunan beberapa jenis sel darah. 2.1.6.7. Biopsi ginjal.

2.1.6.8. Biopsy kulit. 2.1.6.9. Pemeriksaan saraf. 2.1.7. Penatalaksanaan.

Menurut Kasjmir dkk (2015), pengelolaan SLE bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien SLE melalui pengenalan dini dan pengobatan yang paipurna.

2.1.7.1. Edukasi/Konseling.

Pada dasarnya pasien SLE memerlukan informasi yang benar dan dukungan dari sekitarnya dengan maksud agar dapat hidup mandiri. Perlu dijelaskan akan perjalanan penyakit dan kompleksitasnya. Pasien memerlukan pengetahuan akan masalah aktivitas fisik, mengurangi atau mencegah kekambuhan.

2.1.7.2. Program rehabilitasi.

Terdapat berbagai modalitas yang dapat diberikan pada pasein SLE tergantung maksud dan tujuan program ini. Berbagai latihan diperlukan untuk mempertahankan kestabilan sendi. Secara garis besar, maka tujuan, indikasi dan teknis pelaksanaan program rehabilitasi yang melibatkan istirahat, terapi fisik, terapi modalitas, ortotik, dan lain-lain.

(10)

19 2.1.7.3. Terapi Medikamentosa.

Terapi farmakologi untuk SLE ditujukan untuk menekan sistem imun dan mengatasi inflamasi. Umumnya pengobatan SLE tergantung dari tingkat keparahan dan lamanya pasien menderita SLE serta manifestasi yang timbul pada setiap pasien.

2.1.7.4. NSAID.

Merupakan terapi utama untuk manifestasi SLE yang ringan termasuk salisilat dan NSAID yang lain. Efek samping penggunaan NSAID adalah perdarahan saluran cerna, ulser, nefrotoksik, kulit kemerahan, dan alergi lainnya.

2.1.7.5. Antimalaria.

Antimalaria efektif digunakan untuk manifestasi ringan atau sedang (demam, atralgia, lemas atau serositis) yang tidak menyebabkan kerusakan organ-organ penting.

2.1.7.6. Kortikosteroid.

Kortikosteroid (KS) digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien SLE. Meski dihubungkan dengan munculnya banyak laporan efek samping, KS tetap merupakan obat yang banyak dipakai sebagai antiinflamasi dan imunosupresi.

Dosis KS yang digunakan juga bervariasi. Untuk meminimalkan masalah interpretasi dari pembagian ini maka dilakukanlah standarisasi berdasarkan patofisiologi dan farmakokinetiknya. Jenis kortikosteroid berdasarkan farmakodinamik kerja pendek (kortison, kortisol), kerja

(11)

20

menengah (metilprednisolon, prednisolone, prednisone, triamcinolone), dan kerja panjang (deksametason, betametason)

Pembagian dosis KS membantu dalam penatalaksanaan kasus rematik. Dosis rendah sampai sedang digunakan pada SLE yang relative tenang. Dosis tinggi beguna untuk SLE yang aktif. Dosis sangat tinggi dan terapi pulse diberikan untuk krisis akut yang berat seperti vaskulitis luas, nefritis lupus dan lupus serebral.

Tabel 2.2 Dosis Kortikosteroid

Dosis rendah ≤ 7,5 mg prednisone atau setara sehari

Dosis sedang > 7,5 mg, tetapi ≤ 30 mg prednisone atau setara perhari

Dosis tinggi > 30 mg, tetapi ≤ 100 mg prednisone atau setara sehari

Dosis sangat tinggi

> 100 mg prednisone atau setara per hari Dosis pulse ≥ 250 mg prednisone atau setara perhari

untuk 1 hari atau beberapa hari

Efek samping

Efek amping kortikosteroid tergantung kepada dosis dan waktu, dengan meminimalkan jumlah KS, akan meminimalkan juga risiko efek samping.

Tabel 2.3

Efek samping Kortikosteroid

System Efek Samping

Skeletal Osteoporosis, osteonecrosis, miopati

Gastrointestinal Ulkus peptikum, pankreatitis, perlemakan hati Immunologi Predisposisi infeksi, menekan hipersensitivitas tipe

lambat

Kardiovaskuler Retensi cairan, hipertensi, meningkatkan aterosklerosis, aritmia

(12)

21

Kutaneous Atrofi kulit, striae, ekimosis, penyembuhan luka terganggu, jerawat, buffalo hump, hirsutism

Endokrin Penampilan cushingoid, DM, perubahan metabolism lipid, perubahan nafsu makan dan meningkatnya BB, gangguan elektrolit, supresi HPA aksis, supresi hormone gonad

Tingkah laku Insomnia, psikosis, instabilitas emosional, efek kognitif

Cara Pemberian Kortikosteroid

Pulse terapi KS digunakan untuk penyakit rematik yang mengancam nyawa, induksi atau pada kekambuhan. Dosis tinggi ini biasanya diberikan intravena dengan dosis 0,5-1 gram metilprednisolon. Diberikan selama 3 hari berturut-turut.

Karena berpotensial mempunyai efek samping, maka dosis KS mulai dikurangi segera setelah penyakitnya terkontrol. Tapering harus dilakukan secara hati-hati untuk menghindari kembalinya aktivitas penyakit, dan difesiensi kortisol yang muncul akibat penekanan aksis HPA (hipotalamus pituitary adrenal) kronis. Tapering secara bertahap memberikan pemulihan terhadap fungsi adrenal. Tapering tergantungdari penyakit dan aktivitas penyakit, dosis dan lama terapi, serta respon klinis.

Sebagai panduan, untuk tapering dosis prednisone lebih dari 40 mg sehari maka dapat dilakukan penurunan 5-10 mg setiap 1-2 minggu. Diikuti dengan penurunan 5 mg setiap 1-2 minggu pada dosis antara 40-20 mg/hari. Selanjutnya diturunkan 1-2,5 mg/hari setiap 2-3 minggu bila dosis prednisone < 20 mg/hari.

(13)

22 2.1.7.7. Siklofosfamid.

Digunakan untuk pengobatan penyakit yang berat dan merupakan obat sitotoksik bahan pengalkilasi. Obat ini bekerja dengan mengganggu proliferasi sel, aktivitas mitotik, diferensiasi dan fungsi sel. Terapi dosis tinggi dapat berfungsi sebagai imunosupresan yang meningkatkan resiko terjadinya neutropenia dan infeksi.

2.1.7.8. Antiinfeksi /Antijamur /Antivirus.

Pemberian imunosupresan dapat menurunkan sistem imun sehingga dapat menyebabkan tubuh mudah terserang infeksi.

2.2. Kepatuhan 2.2.1. Definisi.

Kepatuhan (adherence) adalah suatu bentuk perilaku yang timbul akibat adanya interaksi antara petugas kesehatan dan pasien sehingga pasien mengerti rencana dengan segala konsekwensinya dan menyetujui rencana tersebut serta melaksanakannya. (Kemenkes R.I., 2011)

Kepatuhan adalah perilaku individu (misalnya: minum obat, mematuhi diet, atau melakukan perubahan gaya hidup) sesuai anjuran terapi dan kesehatan. Tingkat kepatuhan dapat dimulai dari tindak mengindahkan setiap aspek anjuran hingga mematuhi rencana. (Kozier, 2010)

2.2.2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan

Menurut Green (1999) dalam Notoatmodjo (2012), faktor yang mempengaruhi perilaku kepatuhan terbagi menjadi :

(14)

23

Faktor ini mencakup : kepercayaan atau agama yang dianut, faktor geografis, sikap, pengetahuan, motivasi.

2.2.2.2. Faktor reinforcing (faktor penguat).

Antara lain dukungan petugas kesehatan dan dukungan keluarga. 2.2.2.3. Faktor enabling (faktor pemungkin).

Faktor-faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat seperti, puskesmas, rumah sakit, poliklinik, posyandu, polindes, pos obat desa, dokter atau bidan praktek swasta. Fasilitas ini pada hakikatnya mendukung atau memungkinkan terwujudnya perilaku kesehatan.

2.2.3. Pengukuran Kepatuhan

Morisky Medication Adherence Scale (MMAS-8) adalah instrumen yang digunakan untuk menilai kepatuhan terapi. Kuesioner dengan 8 pertanyaan ini dapat mengukur ketidakpatuhan yang disengaja maupun yang tidak disengaja antara lain lupa, kecerobohan, menghentikan pengobatan karena merasa kondisi memburuk.

Morisky Medication Adherence Scale merupakan kuesioner yang memiliki reliabilitas dan validitas yang tinggi. Tingkat kepatuhan penggunaan obat berdasarkan self report pasien yang dinilai dengan kuesioner MMAS-8 lebih bisa menangkap hambatan yang berhubungan dengan kebiasaan kepatuhan penggunaan obat. Kuesioner ini tersusun atas 8 pertanyaan dan kategori respon terdiri dari jawaban ya atau tidak. Nilai kepatuhan penggunaan obat MMAS-8 adalah 8 skala untuk mengukur kebiasaan penggunaan obat dengan 5 rentang 0

(15)

24

sampai 8 dan dikategorikan menjadi 3 tingkatan kepatuhan yaitu kepatuhan tinggi kepatuhan sedang dan kepatuhan rendah (Morisky dkk., 2008)

2.3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan Minum Obat Kortikosteroid Pada Pasien Sistemik Lupus Eritematosus

Berdasarkan teori Green diatas, maka peneliti mengambil faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan minum obat kortikosteroid pada pasien SLE yang akan diteliti sebagai berikut :

2.3.1. Pengetahuan.

Pengetahuan merupakan suatu hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Sebagian besar pengetahuan diperoleh melalui indera mata dan indera telinga. Tingkatan pengetahuan dalam domain kognitif memiliki beberapa tingkatan meliputi : 2.3.1.1. Tahu (know).

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Pada tingkatan ini adalah recall (mengingat kembali) terhadap suatu yang spesifik dan seluruh badan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.

2.3.1.2. Memahami (coprehension).

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui dan dapat menginterpretasi materi tersebut secara benar.

(16)

25

Aplikasi diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks dan situasi yang lain.

2.3.1.4. Analisis (analysis).

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan suatu materi atau suatu obyek ke dalam komponen – komponen tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain. 2.3.1.5. Sintesis (syntesis).

Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

2.3.1.6. Evaluasi (evaluation).

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi penelitian terhadap suatu materi atau obyek.

(Notoatmodjo, 2012)

Cara pengukuran pengetahuan dalam penelitian bisa menggunakan angket dan biasanya dituliskan dalam prosentase. Baik = 76-100%; Cukup = 56-75%; Kurang = 55% (Nursalam, 2003)

2.3.2. Motivasi.

Motivasi adalah dorongan dari dalam diri seseorang yang menyebabkan seseorang tersebut melakukan kegiatan-kegiatan tertentu guna mencapai suatu

(17)

26

tujuan. Yang dapat diamati adalah kegiatan atau mungkin alasan-alasan tindakan tersebut (Noto Atmodjo, 2010)

2.3.2.1. Jenis – Jenis Motivasi.

Motivasi seseorang dapat timbul dan tumbuh berkembang melalui dirinya sendiri, intrinsik dan dari lingkungan, ekstrinsik. Motivasi intrinsik bermakna sebagai keinginan dari diri-sendiri untuk bertindak tanpa adanya ransangan dari luar. Motivasi ekstrinsik dijabarkan sebagai motivasi yang datang dari luar individu yang tidak dapat dikendalikan oleh individu tersebut

2.3.2.2. Klasifikasi Motivasi.

Motivasi diklasifikasikan menjadi tiga yaitu motivasi kuat, motivasi sedang dan motivasi lemah. Motivasi dikatakan kuat apabila dalam diri seseorang dalam kegiatan-kegiatan sehari-hari memiliki harapan yang positif, mempunyai harapan yang tinggi, dan memiliki keyakinan yang tinggi bahwa penderita akan menyelesaikan pengobatannya tepat pada waktu yang telah ditentukan.

Motivasi dilakukan sedang apabila dalam diri manusia memiliki keinginan yang positif, mempunyai harapan yang tinggi, namun memiliki keyakinan yang rendah bahwa dirinya dapat bersosialisasi dan mampu menyelesaikan persoalan yang dihadapi.

Motivasi dikatakan lemah apabila di dalam diri manusia memiliki harapan dan keyakinan yang rendah, bahwa dirinya dapat berprestasi. 2.3.2.3. Pengukuran motivasi.

(18)

27

Motivasi tidak dapat diobservasi secara langsung namun harus diukur. Pada umumnya, yang banyak diukur adalah motivasi sosial dan motivasi biologis. (Notoadmodjo, 2010).

Salah satu cara untuk mengukur motivasi melalui kuesioner adalah dengan meminta klien untuk mengisi kuesioner yang berisi pertanyaan-pertanyaan yang dapat memancing motivasi klien.

Pengukuran motivasi menggunakan kuesioner dengan skala Likert yang berisi pernyataan-pernyataan terpilih dan telah diuji validitas dan realibilitas. Pernyataan positif (favorable) : Sangat setuju (SS) jika responden sangat setuju dengan pernyataan kuesioner yang diberikan melalui jawaban kuesioner diskor 4. Setuju (S) jika responden setuju dengan pernyataan kuesioner yang diberikan melalui jawaban kuesioner diskor 3. Tidak setuju (TS) jika responden tidak setuju dengan pernyataan kuesioner yang diberikan melalui jawaban kuesioner diskor 2. Sangat tidak setuju (STS) jika responden sangat tidak setuju dengan pernyataan kuesioner yang diberikan melalui jawaban kuesioner diskor 1. Pernyataan negatif (unfavorable): Sangat setuju (SS) jika responden sangat setuju dengan pernyataan kuesioner yang diberikan melalui jawaban kuesioner diskor 1. Setuju (S) jika responden setuju dengan pernyataan kuesioner yang diberikan melalui jawaban kuesioner diskor 2. Tidak setuju (TS) jika responden tidak setuju dengan pernyataan kuesioner yang diberikan melalui jawaban kuesioner diskor 3. Sangat

(19)

28

tidak setuju (STS) jika responden sangat tidak setuju dengan pernyataan kuesioner yang diberikan melalui jawaban kuesioner diskor 4.

Kriteria motivasi dikategorikan menjadi : Motivasi Kuat : 67 – 100% Motivasi Sedang : 34 – 66% Motivasi Lemah : 0 – 33%) 2.3.3. Dukungan fasilitas dan petugas kesehatan.

Menurut Notoatmodjo (2007), sarana pelayanan kesehatan bagi masyarakat terdiri dari rumah sakit, puskesmas, pustu, poliklinik, posyandu, polindes, praktek dokter/bidan swasta, dan sebagainya. Untuk berperilaku sehat, masyarakat memerlukan sarana dan prasarana pendukung. Odapus yang mau berobat tidak hanya karena ia tahu dan sadar manfaat pengobatan, namun Odapus dengan mudah dapat memperoleh tempat pengobatan.

Dukungan dari tenaga kesehatan profesional merupakan faktor lain yang dapat mempengaruhi perilaku kepatuhan. Pelayanan yang baik dari petugas dapat menyebabkan berperilaku positif. (Novian, 2013).

2.3.4. Dukungan keluarga

Dukungan keluarga adalah proses yang terjadi sepanjang hidup, dimana sumber dan jenis dukungan keluarga berpengaruh terhadap tahap lingkaran kehidupan keluarga. Menurut Stuart dan Sundeen (1995), ada tiga dimensi interaksi dalam dukungan keluarga yaitu timbal balik (kebiasaan dan frekuensi hubungan timbal balik), nasihat/umpan balik, dan keterlibatan emosional (meningkatkan intimasi dan kepercayaan) di dalam hubungan sosial.

(20)

29

Cara untuk meningkatkan efektivitas keberadaan atau sumber potensial terdapatnya dukungan dari keluarga yang menjadi prioritas penelitian. Komponen-komponen dukungan keluarga terdiri dari :

2.3.4.1. Dukungan pengharapan.

Dukungan pengharapan meliputi pertolongan pada individu untuk memahami kejadian depresi dengan baik dan juga sumber depresi dan strategi koping yang dapat digunakan dalam menghadapi stressor. 2.3.4.2. Dukungan nyata.

Dukungan ini meliputi penyediaan dukungan jasmaniah seperti pelayanan, bantuan finansial dan material berupa bantuan nyata (instrumental support material support), suatu kondisi dimana benda atau jasa akan membantu memecahkan masalah praktis, termasuk di dalamnya bantuan langsung, seperti saat seseorang memberi atau meminjamkan uang, membantu pekerjaan sehari-hari, menyampaikan pesan, menyediakan transportasi, menjaga dan merawat saat sakit ataupun mengalami depresi yang dapat membantu memecahkan masalah.

2.3.4.3. Dukungan informasi.

Keluarga dapat menyediakan informasi dengan menyarankan tentang dokter, terapi yang baik bagi dirinya, dan tindakan spesifik bagi individu untuk melawan stressor. Individu yang mengalami depresi dapat keluar dari masalahnya dan memecahkan masalahnya dengan

(21)

30

dukungan dari keluarga dengan menyediakan feed back (Sheiley, 1995).

2.3.4.4. Dukungan emosional.

Selama depresi berlangsung, individu sering menderita secara emosional, sedih, cemas, dan kehilangan harga diri. Jika depresi mengurangi perasaan seseorang akan hal dimiliki dan dicintai. Dukungan emosional memberikan individu perasaan nyaman, merasa dicintai saat mengalami depresi, bantuan dalam bentuk semangat, empati, rasa percaya, perhatian sehingga individu yang menerimanya merasa berharga.

2.4. Kerangka Teori

Skema 2.1. Kerangka Teori

Kerangka Teori : Lawrence Green (1980) dalam Notoatmodjo (2012) Kepatuhan Minum Obat Faktor-faktor yang mempengaruhi Kepatuhan :  Pengetahuan Motivasi Fasilitas kesehatan dan dukungan petugas kesehatan Dukungan keluarga SLE

Pengobatan Medikamentosa Utama : Kortikosteroid

Gambar

Tabel 2.2  Dosis Kortikosteroid

Referensi

Dokumen terkait

Renstra Dinas Lingkungan Hidup Dan Kebersihan Kota Denpasar 2016-2021 V-17 Menguatn ya keseimba ngan pembangu nan pada berbagai dimensi dan skalanya berdasark an

1) Orang asing pemegang Izin Tinggal kunjungan yang berasal dari Visa kunjungan saat kedatangan, Visa kunjungan satu kali perjalanan, Visa kunjungan beberapa kali perjalanan,

Lebih jauh lagi penyusunan Renstra Biro Humas dan Protokol Setda Provinsi Nusa Tenggara Barat sebagai dasar penyusunan kebijakan, program, kegiatan, dan tolok ukur

Pelunasan Pokok Obligasi dan pembayaran Bunga Obligasi akan dilakukan oleh KSEI selaku Agen Pembayaran atas nama Perseroan kepada Pemegang Obligasi yang menyerahkan

Hal ini dikarenakan biaya langsung (direct cost) yang harus dibayarkan oleh setiap jamaah haji di Malaysia pada tahun 2010 sebesar 9.980 ringgit Malaysia, atau bila di

Dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara teman sebaya (peer group) (X) dengan prestasi belajar sosiologi siswa (Y) kelas XII IPS SMAN

Selain itu, perhitungan harga pokok produksinya pun masih belum tepat karena biaya bahan baku langsung belum dihitung berdasarkan standar yang spesifik dan

Tulang belakang yang mengalami gangguan trauma dapat menyebabkan kerusakan pada medulla spinalis, tetapi lesi traumatic pada medulla spinalis tidak selalu terjadi