• Tidak ada hasil yang ditemukan

Determinan Pertumbuhan Faktor Produktivitas Total (TFP) Industri Gula di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Determinan Pertumbuhan Faktor Produktivitas Total (TFP) Industri Gula di Indonesia"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Determinan Pertumbuhan Faktor Produktivitas Total (TFP)

Industri Gula di Indonesia 1993-2011

Putty Junia Mirzasari Hermawan Ayudha Dharma Prayoga

Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jl. Dr. Sumitro Djojohadikusumo, Depok, Jawa Barat 16424, Indonesia

E-mail: puttyjn@gmail.com adp000@gmail.com

Abstrak

Dicanangkannya target swasembada gula untuk tahun 2014 mengharuskan industri gula di Indonesia untuk meningkatkan produksinya. Namun, kondisi industri gula selama beberapa dekade terakhir ini terlihat mengalami penurunan produktivitas. Hal ini merupakan ancaman bagi tercapainya target dari swasembada gula tersebut. Penelitian ini merupakan analisis mengenai produktivitas dengan menggunakan pendekatan total factor productivity (TFP) dan untuk mengetahui determinan yang mempengaruhi pertumbuhan TFP dalam industri gula di Indonesia. Dari hasil analisis ditemukan bahwa keadaan industri gula di Indonesia pada periode 1993-2011 mengalami penurunan produktivitas akibat dari macetnya adopsi teknologi. Sesuai dengan sifat industri gula di Indonesia yang bersifat

capital intensive, variabel yang signifikan mempengaruhi terjadinya perubahan teknologi yaitu; investasi mesin dan pemakaian energi (listrik).

Kata Kunci: Industri Gula, Total Faktor Produktivitas, Growth Accouting, Data Panel, Capital Intensive.

Abstract

The establishment of sugar self-sufficiency target for 2014 requires sugar industry in Indonesia to boost its production. However, for the last few decades sugar industry in Indonesia is experiencing decreased in productivity that pose a threat to the achievement of self-sufficiency target. This paper analyzes productivity in sugar industry by using the approach of total factor productivity (TFP) in order to find determinant factors that affect TFP growth in the industry. It was found that during 1993-2011, sugar industry in Indonesia experiencing a decreased in productivity as a results from lack of technology adoption. The nature of sugar industry in Indonesia which is capital intensive shows that there are two variables that significantly affect the changes of technology; i.e. investment of machinery and the use of energy (electricity).

Keywords: Sugar Industry, Total Factor Productivity, Growth Accounting, Panel Data, Capital Intensive.

Pendahuluan

Gula merupakan salah satu dari sembilan bahan pokok yang juga merupakan salah satu komoditas pangan strategis, yang keberadaannya sangat penting bagi masyarakat Indonesia. Semenjak zaman penjajahan Belanda, Indonesia telah memproduksi gula dengan menggunakan bahan baku dari tebu. Secara historis, industri gula merupakan salah satu industri yang keberadaanya tergolong tua di Indonesia, hal ini terlihat dari

(2)

sejarah keberadaan industri gula di Indonesia yang diperkirakan sudah ada semenjak abad ke-16 (Zaini, 2008). Sejarah menunjukkan bahwa selama keberadaannya, industri gula di Indonesia pernah mencapai masa kejayaannya pada tahun 1930-an dimana jumlah pabrik gula yang beroperasi berjumlah 179 pabrik gula, tingkat produktivitas pada masa itu mencapai 14,8% dan nilai rendemen yang berada di kisaran 11-12,8%. Dengan puncak produksi yang mencapai 2,9 juta ton, ekspor gula pada masa itu mampu mencapai 2,4 juta ton sehingga mengantarkan Indonesia ke posisi negara pengekspor gula kedua terbesar di dunia setelah Kuba (Sulastri, 2011). Berbagai keberhasilan tersebut didukung oleh berbagai hal seperti kemudahan dalam memperoleh lahan yang subur, tenaga kerja yang murah, prioritas irigasi, dan disiplin dalam penerapan teknologi (Susila dan Sinaga, 2005). Namun, selama beberapa dekade terakhir ini, industri gula di Indonesia dihadapkan pada masalah adanya kecenderungan dari tingkat produktivitas yang semakin menurun. Hal ini merupakan akibat dari kurangnya penerapan teknologi baik di sisi on-farm maupun off-farm yang menimbulkan permasalahan seperti rendahnya kualitas tebu yang dihasilkan dan rendahnya efisiensi dari pabrik gula di Indonesia. Tingkat produktivitas itu sendiri tercermin dari nilai rendemen yang merupakan salah satu indikator dari produktivitas industri gula di Indonesia.

Nilai rendemen merupakan kadar kandungan gula di dalam tebu yang dinyatakan dalam persen. Jadi apabila nilai rendemen 10%, berarti bahwa setiap 100kg tebu yang digiling di pabrik gula akan menghasilkan gula sebanyak 10kg. Nilai rendemen yang semakin tinggi akan mengindikasikan bahwa teknologi pertanian dan produksi yang diterapkan baik di sisi on-farm maupun off-farm memiliki kualitas yang semakin baik. Gambar (1.1) memperlihatkan perkembangan nilai rendemen dari tahun 1930-2011, dimana pada periode 1993-2011 yang merupakan periode penelitian menunjukkan adanya kecenderungan yang menurun dengan nilai rendemen di tahun 2011 hanya mencapai 7,35%. Apabila dibandingkan dengan nilai rendemen di periode 1930-1940 yang merupakan benchmark dari penelitian ini, nilai rendemen di periode tersebut mampu mencapai nilai 11-12,8%, jauh berbeda dengan nilai rendemen pada beberapa tahun terakhir yang hanya berkisar 6-7%.

(3)

Gambar 1. Perkembangan Nilai Rendemen 1930-2011

Sumber: Dewan Gula Indonesia

Padahal seharusnya teknologi pertanian dan produksi yang digunakan di tahun 2011 lebih maju dibandingkan dengan teknologi yang digunakan pada tahun 1930. Namun pada kenyataannya, menghasilkan nilai rendemen yang jauh lebih rendah. Hal ini mengindikasikan bahwa memang terdapat permasalahan dalam perubahan teknologi yang terjadi pada industri gula di Indonesia. Perkembangan nilai rendemen yang memiliki kecenderungan menurun ini berimplikasi pada menurunnya tingkat produksi yang dihasilkan oleh industri gula di Indonesia. Salah satu dampak yang signifikan dari adanya penurunan produksi ini adalah berubahnya posisi Indonesia yang pada awalnya merupakan negara pengekspor gula kedua terbesar di dunia setelah Kuba menjadi negara pengimpor gula kedua terbesar di dunia setelah Rusia (Sulastri, 2011). Kecenderungan produksi yang menurun dengan laju -3,03% per tahun ini tidak sejalan dengan meningkatnya konsumsi dengan laju pertumbuhan sebesar 2,47% per tahun. Kesenjangan antara produksi dan konsumsi ini pada akhirnya mendorong volume impor yang memiliki kecenderungan yang meningkat setiap tahunnya (Susila dan Sinaga, 2005).

Kemunduran industri gula di Indonesia yang disebabkan oleh penurunan produkvititas tersebut ditangani dengan dua alasan. Pertama, dicanangkannya target swasembada gula yang tercantum dalam Rencana dan Strategi yang disusun oleh Kementrian Pertanian untuk tahun 2014 yang mengharuskan industri gula di Indonesia untuk meningkatkan produksinya yang dapat dicapai dengan adanya peningkatan dari produktivitas. Kedua, untuk menghindari terjadinya penurunan daya saing terhadap gula impor yang apabila terjadi dapat menjadi salah satu ancaman terhadap kemandirian pangan. Peningkatan produktivitas dari industri gula di Indonesia dalam

(4)

hal ini menjadi determinan yang penting untuk masa depan dari industri itu sendiri. Peningkatan produktivitas industri gula di Indonesia ini dapat dicapai dengan adanya peningkatan dari adopsi teknologi yang diimplementasikan baik dalam teknologi pertanian maupun teknologi dalam berproduksi yang lebih efisien. Penelitian ini membahas produktivitas industri gula di Indonesia melalui pengaplikasian metode pengukuran total factor productivity (TFP). Hal ini didasari oleh pemikiran bahwa metode perhitungan TFP merupakan ukuran terluas dari produktivitas dan penggunaan sumber daya serta merupakan pendekatan yang paling berguna dalam memahami efek dari adanya perubahan teknologi sehingga bisa diketahui faktor-faktor apa saja yang membuat suatu proses produksi menjadi lebih produktif (Peykani

et al., 2010). Fokus dalam penelitian ini yaitu melihat pengaruh dari penggunaan faktor produksi yang digunakan dalam industri gula di Indonesia (modal, tenaga kerja, dan input bahan baku), mengetahui rata-rata pertumbuhan dari total factor productivity (TFP), dan mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pertumbuhan dari total factor productivity (TFP) dari industri gula di Indonesia. Penelitian ini dilakukan dalam kurun waktu tahun 1993 sampai dengan 2011.

Tinjauan Pustaka

TFP, productivity of all purchased inputs, merupakan ukuran terluas dari produktivitas dan efisiensi penggunaan sumber daya serta merupakan pendekatan yang paling berguna dalam memahami efek dari adanya perubahan teknologi (Norsworthy dan Jang: 1992). Lipsey dan Carlaw (2004) dalam jurnal yang berjudul

“Total Factor Productivity and the Measurement of Technological Change”

merangkum beberapa pendapat yang berbeda-beda dalam menjelaskan pengertian dari TFP. Pendapat pertama dikemukakan oleh Barro (1999) menyatakan bahwa TFP dapat digunakan untuk mengukur besarnya perubahan teknologiyang terjadi. Dengan menggunakan metode growth accounting, sumber pertumbuhan ekonomi berasal dari perubahan dalam penggunaan faktor input serta residual yang mencerminkan adanya kemajuan teknologi dalam suatu proses produksi, dan residual inilah yang disebut dengan TFP. Dalam literatur lain, Comin (2006) berpendapat bahwa TFP merupakan bagian dari input yang tidak dapat dijelaskan oleh jumlah input yang digunakan dalam proses produksi sehingga TFP merupakan sesuatu yang menentukan seberapa efisien dan seberapa intens suatu input dimanfaatkan dalam suatu proses produksi. Variabel

(5)

kemajuan teknogi merupakan komponen yang utama dalam perhitungan total factor productivity (TFP). Dengan adanya kemajuan teknologi, suatu proses produksi dapat menghasilkan output yang lebih banyak dengan jumlah input yang konstan atau malah lebih sedikit. Pengukuran dari TFP ini biasanya dilakukan oleh para peneliti dengan menggunakan pemakaian fungsi produksi Cobb-Douglas (Syverson, 2011). Secara matematis, fungsi produksi Cobb-Douglas dituliskan sebagai berikut:

Q = A KαLβ

Dimana Q adalah jumlah produksi (output) A adalah kemajuan teknologi (TFP)

K adalah jumlah modal ; L adalah jumlah tenaga kerja

α dan β adalah nilai elastisitas dari modal dan tenaga kerja dalam mempengaruhi jumlah produksi

Variabel kemajuan teknologi (A) dianggap sebagai variabel lain yang berperan dalam mempengaruhi output selain akumulasi dari pertumbuhan input-inputnya secara fisik. Menurut Chauldhuri (1989), kemajuan teknologi mencakup segala hal yang dapat membuat suatu pekerjaan dilakukan dengan lebih baik atau suatu teknik baru yang digunakan untuk membuat penggunaan sumber daya menjadi lebih produktif. Dalam teori neoklasik, terdapat beberapa pandangan mengenai definisi dari kemajuan teknologi tersebut. Jorgensen (1996) mengatakan bahwa kemajuan teknologi adalah suatu faktor yang melekat pada salah satu inputnya, yaitu tenaga kerja (embodied technological progress), dengan menggunakan tenaga kerja yang semakin sedikit jumlahnya dapat dihasilkan output yang sama. Pandangan lain mengatakan bahwa kemajuan teknologi merupakan autonomous variable yang dapat menyebabkan pergeseran dalam fungsi produksi secara keseluruhan. Kemajuan teknologi dalam fungsi produksi dipandang tidak melekat pada variabel apapun, namun dapat menyebabkan pergeseran kemajuan teknologi dalam fungsi produksi. Pergeseran fungsi produksi yang dimaksud disini adalah jumlah output dapat meningkat walaupun jumlah input yang digunakan tetap. Inilah yang kemudian disebut sebagai

total factor productivity (TFP).

Salah satu metode yang paling sering digunakan dalam penelitian untuk mengukur TFP adalah growth accounting. Kannan (2011) mengatakan bahwa metode growth accounting biasa digunakan untuk mengukur TFP karena kemudahannya untuk

(6)

diimplementasikan tanpa perlu menggunakan estimasi ekonometrika. Solow (1975) adalah tokoh yang pertama kali memperkenalkan growth accounting framework, dimana pertumbuhan pada TFP merupakan pertumbuhan pada output yang tidak bisa dijelaskan oleh pertumbuhan pada faktor-faktor input seperti tanah, modal, dan tenaga kerja. Awalnya, metode growth accounting merupakan metode yang digunakan untuk mengukur kontribusi dari berbagai faktor terhadap pertumbuhan ekonomi, kemudian metode ini juga digunakan untuk mengukur tingkat dari kemajuan teknologi. Pengukuran TFP dengan menggunakan metode ini memungkinkan kita untuk melakukan dekomposisi sumber pertumbuhan output yaitu kedalam pertumbuhan inputnya (modal dan tenaga kerja) dan juga perubahan dalam TFP. Menurut Barro (1999), growth accounting memberikan rincian dari pertumbuhan yang sedang diamati kedalam komponen-komponen yang terkait dengan perubahan pada faktor input dan residual yang mencerminkan kemajuan teknologi.

Metode Penelitian

Untuk mendapatkan nilai TFP maka sebelumnya harus dilakukan estimasi melalui pengaplikasian fungsi produksi Cobb-Douglas. Fungsi produksi Cobb-Douglas yang digunakan adalah sebagai berikut:

Q = A Kα Lβ Iγ

Dimana Q adalah hasil produksi yang dilakukan oleh perusahaan A adalah total factor productivity (TFP)

K adalah jumlah dari modal perusahaan yang terdiri dari modal tanah, gedung, mesin, kendaraan, dan modal lainnya

L adalah jumlah tenaga kerja yang berpartisipasi dalam proses produksi yang terdiri dari tenaga kerja produksi dan tenaga kerja nonproduksi

I adalah nilai input bahan baku yang merupakan nilai dari seluruh bahan baku dan biaya lainnya yang dikeluarkan dalam proses produksi

α adalah elastisitas output terhadap perubahan modal β adalah elastisitas output terhadap perubahan tenaga kerja γ adalah elastisitas output terhadap perubahan input

Untuk mendapatkan nilai dari koefisien elastisitas output terhadap modal, tenaga kerja dan input maka persamaan diatas harus diubah ke dalam bentuk sebagai berikut:

(7)

LnQit = lnA + α lnKit + β lnLit + γlnIit + εit

Penggunaan variabel-variabel dari modal, tenaga kerja, dan input bahan baku yang diindikasikan mempengaruhi pertumbuhan output didasari oleh alasan sebagai berikut:

• Modal (K)

Modal sangat menentukan kemampuan suatu industri untuk berproduksi. Data modal yang digunakan disini merupakan penjumlahan dari seluruh modal yang digunakan dalam industri gula di Indonesia yang terdiri dari modal tanah, gedung, mesin, kendaraan, dan modal lainnya. Maka, semakin besar modal yang dimiliki maka akan meningkatkan kemampuan industri untuk berproduksi sehingga pertumbuhan output yang dihasilkan akan semakin besar

• Tenaga Kerja (L)

Selain modal, tenaga kerja juga mempengaruhi pertumbuhan output yang terjadi. Data tenaga kerja yang digunakan disini merupakan penjumlahan dari tenaga kerja produksi dan tenaga kerja non produksi. Maka, semakin banyak tenaga kerja yang digunakan akan membuat pertumbuhan output yang tercipta akan semakin besar

• Input Bahan Baku (I)

Industri gula merupakan industri yang tidak bisa terpisahkan dengan sektor pertaniannya yaitu dimana input bahan baku (tebu) dibudidayakan. Maka, semakin banyak input bahan baku yang digunakan akan membuat pertumbuhan output yang tercipta semakin besar

Selain ketiga variabel diatas (modal, tenaga kerja, dan input bahan baku), TFP (A) diasumsikan turut mempengaruhi pertumbuhan output, namun karena data mengenai TFP tidak dapat diobservasi secara langsung maka data TFP akan baru diperoleh setelah dilakukan estimasi regresi untuk mendapatkan nilai dari koefisien-koefisien elastisitas output terhadap masing-masing input. Koefisien-koefisien tersebut kemudian digunakan dalam perhitungan dengan metode growth accounting sehingga didapatkan nilai dari pertumbuhan TFP. Pengukuran pertumbuhan TFP tersebut sesungguhnya lebih tepat dilakukan dibandingkan dengan hanya mengukur besarnya nilai dari TFP. Hal ini disebabkan pertumbuhan dari TFP lebih dapat menunjukkan

(8)

perubahan dalam output dari waktu ke waktu yang tidak bisa dijelaskan oleh perubahan kombinasi input (modal, tenaga kerja, dan input bahan baku) yang digunakan dalam proses produksi (Khan, 2006). Sehingga persamaan yang digunakan untuk estimasi nilai pertumbuhan TFP adalah sebagai berikut:

TFPGit = lnQit - α lnKit - β lnLit - γlnIit

Setelah mendapatkan nilai dari pertumbuhan TFP, langkah selanjutnya diarahkan untuk mengetahui hubungan antara pertumbuhan TFP dengan variabel-variabel yang diindikasikan dapat mempengaruhi perubahan teknologi dari industri gula di Indonesia. Hal tersebut tercermin dari persamaan sebagai berikut:

TFPGit = β1 + β2pirrigit + β3 imachit + β4exprndit + β5 kwhoutputit + εit

Variabel-variabel yang diindikasikan mempengaruhi pertumbuhan dari TFP yaitu sebagai berikut:

• Proporsi luas lahan sawah irigasi terhadap total luas lahan (Pirrig)

Proporsi luas lahan sawah irigasi terhadap luas lahan total diindikasikan mempengaruhi perubahan teknologi karena penanaman tebu yang dilakukan di lahan sawah irigasi akan menghasilkan kualitas tebu yang lebih baik dengan penanaman tebu yang dilakukan di lahan kering. Hal ini merupakan akibat dari implementasi teknologi irigasi yang diterapkan di lahan sawah. Selain itu, variabel ini merupakan representasi teknologi produksi di sektor pertanian. Sehingga, variabel ini diindikasikan akan mempengaruhi pertumbuhan TFP yang positif

• Investasi mesin (Imach)

Investasi mesin diindikasikan mempengaruhi perubahan teknologi karena dengan adanya investasi mesin maka akan terdapat penggantian mesin-mesin yang lebih baru dibandingkan dengan mesin-mesin sebelumnya. Variabel ini diperkirakan akan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan TFP

• Pengeluaran research and development (Exprd)

Research and development akan mempengaruhi perubahan teknologi karena biaya research and development yang terdiri dari biaya penelitian dan biaya pelatihan tenaga kerja akan mendorong terjadinya inovasi baik dalam

(9)

teknologi pertanian maupun teknologi produksi. Variabel ini diperkirakan mempengaruhi pertumbuhan TFP secara positif

• Penggunaan energi listrik (Kwhoutput)

Penggunaan teknologi yang semakin tinggi biasanya dicerminkan dengan penggunaan energi yang semakin efisien. Energi listrik digunakan disini karena proses produksi industri gula di Indonesia sebagian besar menggunakan penggunaan listrik yang penggunaannya dihitung dalam satuan kilowatthour (kwh). Sehingga adanya penggunaan energi listrik yang semakin besar yang disebabkan oleh pemakaian teknologi yang tidak efisien, yang tercermin dari tingkat kwh/output yang semakin besar diperkirakan akan mempengaruhi pertumbuhan TFP secara negatif.

Dimana TFPG adalah total factor productivity growth

Pirrig adalah proporsi luas lahan irigasi terhadap total luas lahan Imach adalah investasi mesin

Exprnd adalah pengeluaran research and development

Kwhoutput adalah penggunaan energi (listrik)

Periode penelitian ini adalah dari tahun 1993 sampai dengan 2011, dengan pengecualian tahun 1996. Tahun 1996 tidak termasuk kedalam periode penelitian dikarenakan kualitas data yang sangat buruk yang disebabkan oleh tidak tersedianya data modal di tahun tersebut sehingga tidak memungkinkan untuk dimasukan kedalam periode penelitian karena akan mengacaukan hasil estimasi dari pertumbuhan TFP. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang sebagian besar berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS). Dari data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini, terdapat kelemahan studi yang mungkin timbul akibat dari adanya agregasi data provinsi untuk data proporsi luas lahan sawah terhadap luas lahan total. Namun, melihat karateristik dari industri gula yang dimana lahan penanaman tebu selalu berlokasi dekat dengan pabriknya, maka kelemahan studi yang ditimbulkan oleh agregasi, dianggap tidak menjadi masalah bagi penelitian ini. Karena ruang lingkup dari penelitian ini adalah observasi dari 48 perusahaan untuk periode waktu 1993-2011, maka digunakan metode pengolahan data panel.

Dalam pengolahan data panel terlebih dahulu dilakukan pemilihan model regresi data panel yang terdiri dari tiga jenis yaitu Pooled Least Square (PLS), Fixed Effect Model

(10)

(FEM), dan Random Effect Model (REM). Untuk penelitian ini, setelah dilakukan uji pemilihan model, maka model yang digunakan untuk estimasi pertama yaitu estimasi fungsi produksi Cobb-Douglas adalah fixed effect model (FEM) dan untuk estimasi kedua yaitu estimasi determinan pertumbuhan TFP adalah random effect model

(REM).

Hasil dan Pembahasan

Dari hasil regresi yang pertama yaitu regresi fungsi produksi Cobb-Douglas (Gambar 2), didapatkan hasil bahwa koefisien elastisitas output terhadap tenaga kerja menunjukkan nilai yang cukup rendah yaitu sebesar 0.00485 yang artinya setiap kenaikan satu persen penggunaan tenaga kerja mampu mendorong terjadinya peningkatan output sebesar 0.00485%. Sedangkan, koefisien elastisitas output terhadap modal sebesar 0.03083 yang artinya setiap kenaikan satu persen penggunaan modal mampu mendorong terjadinya peningkatan output sebesar 0.03083%. Dari hasil regresi juga didapatkan hasil bahwa koefisien elastisitas output terhadap input bahan baku memiliki nilai yang tinggi yaitu sebesar 0.73937 yang artinya setiap kenaikan satu persen penggunaan input bahan baku mampu mendorong terjadinya peningkatan output sebesar 0.73937%. Hasil regresi ini sesuai dengan hipotesis yang awal yaitu hubungan dari variabel tenaga kerja, modal, dan input bahan baku akan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan output.

Terdapat dua hal penting yang dapat disimpulkan dari hasil regresi tersebut yaitu pertama, dari hasil koefisien elastisitas output terhadap input bahan baku menunjukkan nilai yang tinggi mengindikasikan bahwa industri gula sangat bergantung kepada input bahan bakunya yaitu tebu yang secara langsung akan meningkatkan jumlah output dari industrinya. Kedua, dari hasil koefisien elastisitas output terhadap tenaga kerja dan modal mengindikasikan bahwa industri gula di Indonesia cenderung capital intensive, bukan labor intensive. Hal ini terlihat dari hasil regresi dimana koefisien elastisitas output terhadap modal nilainya lebih tinggi dibandingkan dengan koefisien elastisitas output terhadap tenaga kerja. Selain itu, nilai dari koefisien elastisitas output terhadap tenaga kerja yang rendah, mengindikasikan bahwa tenaga kerja yang digunakan dalam proses produksi industri

(11)

gula di Indonesia, merupakan tenaga kerja yang unskilled, yang kemungkinan hanya bekerja untuk mengoperasikan mesin yang digunakan di dalam proses produksi.

Gambar 2. Estimasi Fungsi Produksi Cobb-Douglas

F test that all u_i=0: F(44, 435) = 1.50 Prob > F = 0.0248 rho .1645864 (fraction of variance due to u_i)

sigma_e .55860067 sigma_u .24794061 _cons 4.94291 .7426094 6.66 0.000 3.483361 6.402459 ln_i .7393789 .0240092 30.80 0.000 .6921905 .7865673 ln_l .0048513 .0675382 0.07 0.943 -.1278904 .137593 ln_k .0308343 .0165565 1.86 0.063 -.0017064 .063375 ln_q Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] corr(u_i, Xb) = 0.1762 Prob > F = 0.0000 F(3,435) = 329.06 overall = 0.7639 max = 18 between = 0.9038 avg = 10.7 R-sq: within = 0.6941 Obs per group: min = 2 Group variable: psid Number of groups = 45 Fixed-effects (within) regression Number of obs = 483 . xtreg ln_q ln_k ln_l ln_i , fe

Selanjutnya, dari hasil estimasi didapatkan hasil bahwa pertumbuhan TFP industri gula di Indonesia mempunyai kecenderungan yang negatif setiap tahunnya dengan rata-rata pertumbuhan sebesar - 0.75% per tahun (Gambar 3).

(12)

Hasil estimasi dari tingkat pertumbuhan TFP ini sesuai dengan kondisi industri gula di Indonesia yang selama ini ramai diberitakan bahwa industri gula mengalami penurunan produktivitas. Tingkat rata-rata pertumbuhan TFP yang rendah ini menggambarkan bahwa industri gula di Indonesia memang mengalami penurunan penerapan dari teknologi yang akibatnya produktivitas industri gula di Indonesia mengalami kecenderungan yang menurun. Kondisi penurunan pertumbuhan TFP yang terendah mencapai -6.9% diindikasikan merupakan pengaruh dari harga gula dunia yang mengalami penurunan semenjak tahun 2002. Sehingga, menyebabkan banyaknya gula impor yang masuk dan berimplikasi pada harga gula di tingkat petani dalam negeri tertekan dan gula domestik menjadi tidak kompetitif dibandingkan dengan gula impor (Nainggolan, 2010). Namun, yang menarik disini adalah adanya periode tertentu yang mengalami perbaikan kondisi dari tahun-tahun sebelumnya yaitu yang terjadi di tahun 1997, 1999, dan 2010. Penjelasan mengenai kondisi yang anomali ini dihubungkan dengan pergerakan dari variabel-variabel yang diindikasikan mempengaruhi pertumbuhan dari TFP seperti variabel research and development dan investasi mesin.

Di tahun 1997, pertumbuhan TFP yang positif sebesar 0.09% naik dibandingkan tahun sebelumnya yang mengalami pertumbuhan TFP yang negatif sebesar -0.06%. Pertumbuhan TFP yang positif ini berhubungan dengan adanya peningkatan pengeluaran industri untuk research and development. Adanya lonjakan pengeluaran untuk research and development di tahun 1997 sebesar 1.2 miliar (gambar 4) dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya yang hanya mencapai puluhan juta rupiah ternyata membawa pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan TFP di tahun 1997 sehingga mengalami pertumbuhan yang positif. Sama halnya dengan tahun 1999, pertumbuhan TFP yang positif juga merupakan dampak dari adanya pengeluaran research and development yang meningkat, bahkan di tahun 1999 pengeluaran untuk research and development ini meningkat tajam dan menjadi nilai pengeluaran yang tertinggi sepanjang tahun 1993-2011 yaitu sebesar 7.4 miliar. Sehingga pada akhirnya hal ini mempengaruhi pertumbuhan TFP yang positif pada industri gula di Indonesia.

Sedangkan, pertumbuhan TFP yang positif di tahun 2010 diindikasikan merupakan akibat dari munculnya kebijakan revitalisasi mesin yang dicanangkan oleh

(13)

Kementrian Perindustrian. Hal ini terlihat di data investasi mesin industri gula di Indonesia (Gambar 5). Kebijakan tersebut merupakan salah satu upaya pemerintah dalam meningkatkan efisiensi dari industri gula di Indonesia dengan cara mendorong permesinan dalam negeri. Dari data investasi mesin industri gula di Indonesia, terlihat di tahun 2010 terdapat lonjakan yang signifikan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya yaitu sebesar 24 miliar dan merupakan nilai investasi mesin yang tertinggi sepanjang periode 1993-2011. Sehingga hal ini berakibat pada positifnya pertumbuhan TFP di tahun 2010.  

 

Gambar 4. Research and Development

   

Gambar 5. Investasi Mesin

   Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS)

Dari hasil regresi yang kedua yaitu regresi model determinan pertumbuhan TFP (Gambar 6), dapat diketahui bahwa terdapat dua variabel yang signifikan mempengaruhi pertumbuhan TFP industri gula di Indonesia yaitu variabel investasi mesin dan penggunaan energi (listrik). Kedua variabel yang signifikan ini sesuai dengan karateristik dari industri gula yang bersifat capital intensive. Variabel pertama yang signifikan yaitu variabel investasi mesin. Variabel ini signifikan mempengaruhi

(14)

pertumbuhan TFP, namun dari hasil regresi didapatkan bahwa hubungan dari variabel ini negatif terhadap pertumbuhan dari TFP. Hal ini berbeda dengan hipotesis awal yang menyatakan bahwa variabel investasi mesin akan mengakibatkan pertumbuhan TFP yang positif. Hal ini merupakan akibat dari kebijakan revitalisasi gula yang belum optimal yang tercermin dari dua hal. Pertama, belum optimalnya kebijakan ini terlihat dari pencapaian program yang memiliki anggaran sebesar 4,9 triliun namun hingga saat ini ternyata baru terserap 1,3 triliun. Kedua, kebijakan revitalisasi mesin yang dijalankan belum termasuk mengganti mesin-mesin utama yang digunakan dalam proses produksi, melainkan hanya penggantian sparepart atau mesin-mesin kecil. Kedua hal ini sehingga malah memperburuk keadaan mesin di pabrik-pabrik gula di Indonesia yang sebagian besar sudah berumur tua, yang pada akhirnya berpengaruh terhadap pertumbuhan TFP yang negatif.

Gambar 6. Hasil Regresi Determinan TFPG

rho .00118669 (fraction of variance due to u_i)

sigma_e 10.29895 sigma_u .35499305

_cons 2.270139 3.044776 0.75 0.456 -3.697512 8.23779 kwhoutput -1.29e-07 1.17e-08 -11.01 0.000 -1.52e-07 -1.06e-07 imach -6.78e-12 9.92e-13 -6.84 0.000 -8.73e-12 -4.84e-12 rnd 5.64e-11 4.08e-11 1.38 0.167 -2.36e-11 1.36e-10 pirrig -4.469355 5.924862 -0.75 0.451 -16.08187 7.143162 tfpg Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] corr(u_i, X) = 0 (assumed) Prob > chi2 = 0.0000 Random effects u_i ~ Gaussian Wald chi2(4) = 169.87 overall = 0.1742 max = 18 between = 0.1506 avg = 18.0 R-sq: within = 0.1756 Obs per group: min = 18 Group variable: psid Number of groups = 45 Random-effects GLS regression Number of obs = 810

Variabel kedua yang signfikan yaitu variabel penggunaan energi listrik yang dihitung dengan jumlah pemakaian kwh per output. Dari hasil regresi, variabel ini signifikan dan memiliki hubungan yang negatif terhadap pertumbuhan TFP sesuai dengan hipotesis awal. Hal ini mengindikasikan bahwa teknologi yang digunakan memang belum efisien, terlihat dari semakin meningkatnya pemakaian kwh per output. Padahal, hal ini tidak boleh terjadi dalam setiap industri karena semakin naiknya jumlah pemakaian kwh per output menandakan kondisi diseconomies of scale.

(15)

Seharusnya, dalam kondisi industri yang memiliki teknologi yang efisien, penambahan output akan menurunkan pemakaian dari kwh karena adanya kemajuan teknologi yang menyebabkan pemakaian kwh yang lebih hemat dari sebelumnya.

Selanjutnya, kedua variabel lainnya yang tidak signifikan yaitu proporsi luas lahan sawah irigasi terhadap luas lahan total dan pengeluaran research and development. Pertama, tidak signfikannya variabel proporsi luas sawah irigasi terhadap luas lahan total dilatarbelakangi oleh biaya yang dibutuhkan untuk melakukan penanaman di lahan sawah irigasi lebih tinggi dibandingkan dengan penanaman yang dilakukan di lahan kering. Sehingga, dengan keadaan industri gula di Indonesia pada saat ini yang sedang terpuruk, biaya penanaman yang tinggi tidak menjadi pilihan bagi para pelaku industri. Hal ini menyebabkan penanamanan tebu pada saat ini dilakukan di lahan kering. Selain itu, adanya kebebasan bagi petani untuk memilih komoditas yang diusahakan semakin menggeser luas areal sawah. Hal ini disebabkan oleh adanya persaingan yang semakin tinggi, khususnya dengan komoditas yang lebih menguntungkan seperti padi dan kedelai (Bustanul Arifin, 2008).

Terakhir, dari hasil regresi didapatkan bahwa variabel research and development

tidak signifikan mempengaruhi pertumbuhan TFP. Hal ini diindikasikan merupakan akibat dari rendahnya proporsi pengeluaran industri untuk research and development

terhadap total pengeluaran (Gambar 8). Bahkan dalam lima tahun terakhir, proporsi tersebut mengalami penurunan. Selain itu, minimnya penelitian yang dilakukan dalam industri gula di Indonesia mengakibatkan variabel tersebut menjadi kurang signfikan terhadap proses perubahan teknologi. Keterbatasan kegiatan ini telah diakui oleh Kementrian Perindustrian sebagai salah satu kelemahan yang dimiliki oleh industri gula di Indonesia sehingga diperlukan adanya usaha untuk meningkatkan kegiatan tersebut (Roadmap Industri Gula, 2009).

Kesimpulan dan Saran

Industri gula di Indonesia selama beberapa dekade terakhir ini mengalami permasalahan adanya kecenderungan dari tingkat produktivitas yang semakin menurun. Hal ini merupakan akibat dari kurangnya penerapan teknologi baik di sisi

(16)

rendahnya kualitas tebu yang dihasilkan dan rendahnya efisiensi dari pabrik gula. Kondisi ini berimplikasi pada menurunnya tingkat produksi yang dihasilkan oleh industri gula, dan juga mendorong volume impor yang terus meningkat setiap tahunnya. Dicanangkanya target swasembada gula untuk tahun 2014, mengharuskan industri gula di Indonesia untuk perlahan meningkatkan produksinya yang dapat tercapai salah satunya dengan meningkatkan produktivitas yang dihasilkan. Upaya untuk meningkatkan produktivitas ini bisa dilakukan dengan adanya peningkatan dari adopsi teknologi yang mendorong proses produksi menjadi lebih efisien. Pengaplikasian metode pengukuran total factor productivity (TFP) menunjukkan bahwa industri gula bersifat capital intensive dan hasil tersebut sesuai dengan karateristik dari industri gula yang sebagian besar proses produksinya melibatkan penggunaan mesin. Selain itu, dari hasil regresi juga menunjukkan bahwa industri gula sangat bergantung kepada inputnya yaitu bahan baku tebu.

Hasil estimasi untuk pertumbuhan TFP menunjukkan bahwa pertumbuhan TFP industri gula di Indonesia memiliki rata-rata pertumbuhan negatif setiap tahunnya. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat penurunan dari penerapan teknologi yang berakibat pada turunnya produktivitas. Namun, dari tahun periode penelitian yang menghasilkan pertumbuhan TFP negatif. Terdapat 3 tahun yang mengalami kondisi perbaikan tercermin dari nilai pertumbuhan TFP positif dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini mengindikasikan bahwa industri gula di Indonesia memiliki kesempatan untuk meningkatkan produktivitasnya melalui adanya gebrakan teknologi yang lebih maju untuk diterapkan di sisi on-farm dan off-farm. Variabel-variabel yang signifikan mempengaruhi pertumbuhan TFP tersebut adalah investasi mesin dan pemakaian energi (listrik). Signifikannya kedua variabel ini sesuai dengan karakteristik industri gula yang bersifat capital intensive.

Adapun saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian ini adalah perlunya penerapan kebijakan revitalisasi industri gula di Indonesia secara optimal. Dari hasil regresi yang telah disebutkan diatas, diketahui bahwa variabel investasi mesin signfikan mempengaruhi pertumbuhan produktivitas dari industri. Namun, variabel berpengaruh negatif karena belum optimalnya kebijakan tersebut. Maka dari itu, apabila kebijakan revitalisasi mesin industri gula di Indonesia diterapkan secara optimal akan membawa dampak yang sangat baik bagi pertumbuhan produktivitas

(17)

industri gula di Indonesia yang bersifat capital intensive. Selain itu, untuk penelitian selanjutnya dengan topik yang sejenis, penulis menyarankan untuk menambah variabel independent yang dipergunakan terutama variabel yang merepresentasikan teknologi pertanian dari sisi on-farm.

Daftar Referensi

Arifin, Bustanul. (2008). Indonesian Sugar Self-Sufficiency. Economic Review, 211. Barro, R.J. (1999). Notes on Growth Accounting. Journal of Economic Growth, 4, 119-137.

Chauldhuri, Pramit. (1989). The Economic Theory of Growth. Harvester Wheatseat. Jorgensen, D.W. (1996). International of Economic Growth (1st ed.). London: The MIT Press.

Khan, S.V. (2006). Macro Determinants of Total Factor Productivity in Pakistan. SBP Buletin, 2, 2.

Kannan, Elumalai. (2011). Total Factor Productivity Growth and Its Determinants in Karnataka Agriculture. Institute for Social and Economic Change (ISEC) Working Paper Series, 265.

Kementrian Perindustrian. (2009). Roadmap Industri Gula. 24 Oktober 2013.

http://agro.kemenperin.go.id/e-klaster/file/roadmap/KIGJA TIM_1.pdf

Lipsey, G.R., Carlaw, I.K. (2004). Total Factor Productivity and the Measurement of Technological Change. Canadian Journal of Economics, 37, 4.

Nainggolan, Kaman. (2010). Kebijakan Gula Nasional dan Persaingan Global. 23 Juni 2014.

http://agrimedia.mb.ipb.ac.id/uploads/pdf/2010-07-08_desember2005- kebijakan_gula_nasional_dan_persaingan_global.pdf

Norsworthy, J.R., Jang, S.L. (1992). Empirical Measurement and Analysis of Productivity and Technological Change: Applications in High Technology and Service Industries. Amsterdam: Elsevier Science Publishers.

Peykani, R.G., Kelashemi, K.M., Shahbazi, H., Akrami, H.A. (2010). A Determinatiom of Suitable Sugar Cane Utilization System Using Total Factor Productivity. J. Agr. Sci. Tech, 12, 511-521.

Susila, W., Sinaga, B. (2005). Pengembangan Industri Gula di Indonesia yang Kompetitif pada Situasi Persaingan yang Adil. Jurnal Litbang Pertanian, 24, 1.

(18)

Surono, Sulastri. (2011). Akankah Berhasil Swasembada Gula tahun 2014?. Jurnal Manajemen, 40, 4.

Syverson, Chad. (2011). What Determines Productivity?. Journal of Economic Literature, 49, 2, 326-365.

Zaini, Achmad. (2008). Pengaruh Harga Gula Impor, Harga Gula Domestik dan Produksi Gula Domestik terhadap Permintaan Gula Impor di Indonesia. EPP, 5, 2, 1-9.

Gambar

Gambar 1. Perkembangan Nilai Rendemen 1930-2011
Gambar 3. Rata-rata Pertumbuhan TFP (%)
Gambar 4. Research and Development
Gambar 6. Hasil Regresi Determinan TFPG

Referensi

Dokumen terkait

Alasan peneliti menerapkan permainan hula hoop dalam proses pembelajaran tersebut didasarkan dari hasil pengamatan dan analisis gerak, ternyata karakteristik gerakan

Abstrak: Kedisiplinan pengurus dengan kedisiplinan belajar santri pondok pesantren Darul Hikmah sangatlah berhubungan yang erat dan mempunyai keterkaitan dalam belajar

Setelah mengikuti perkuliahan ini, mahasiswa diharapkan mempunyai kompetensi dalam Memahami konsep dasa, metode analisis dan fungsi- fungsi manajemen keuangan

dipasang pada jarak yang cukup jauh dari instalasi penangkal petir tersebut.  Jika tidak dapat dipenuhi instalasi listrik disemua titik yang berdekatan denhan instalasi

seefisien mungkin agar memudahkan karyawan dan konsumen. Koperasi An-nur Kita disarankan untuk menciptakan Atmosfer Toko yang baik dan sesuai selera konsumen dapat berpengaruh

Pada penelitian induksi kalus, ketiga jenis eksplan (daun muda, hipokotil, dan ujung akar) dari ketiga kultivar cabai yang diuji (Gelora, Sudra, Chili 109) yang ditumbuhkan

ebaliknya perusahaan besar harus mengembangkan struktur bir'krasi yang k'mpleks sehingga penyusunan anggaran yang e&ekti& lebih sulit karena p'tensi

Dengan mengaplikasikan perhitungan berulang kali untuk rentang energi hambur, yang di dalam parameter DWUCK-4 diakomodasi oleh harga QV berhasil diperoleh