• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

100 96,67 70 80 0 3,33 30 20 0 20 40 60 80 100 120

Pemungut Pengumpul Peracik Penjual

Jenis kelamin P rosent ase (% ) Laki-laki Perempuan Hasil Karakteristik Responden

Dari 105 orang responden yang berhasil diwawancarai sebagian besar berjenis kelamin laki-laki (87,62%). Responden yang berjenis kelamin perempuan tidak menyebar merata pada keempat kategori. Persentase sebaran responden berdasarkan jenis kelamin disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Persentase responden berdasarkan jenis kelamin.

Sebagian besar perempuan bekerja sebagai peracik (30%) dan penjual (20%), hanya satu orang yang bekerja sebagai pengumpul dan tidak satupun perempuan yang bekerja sebagai pemungut (Lampiran 1).

Dari empat kategori yang menjadi obyek penelitian umur responden berkisar antara 21–70 tahun. Distribusi jumlah responden berdasarkan umur disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Sebaran responden berdasarkan umur

Umur Kategori

No. responden Pemungut Pengumpul Peracik Penjual Total % (tahun) Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah %

1 21-30 5 16,67 1 3,33 2 6,67 1 6,67 9 8,57 2 31-40 12 40,00 8 26,67 7 23,33 3 20,00 30 28,57 3 41-50 7 23,33 8 26,67 14 46,67 5 33,33 34 32,38 4 51-60 4 13,33 8 26,67 6 20,00 5 33,33 23 21,90 5 >60 2 6,67 5 16,67 1 3,33 1 6,67 9 8,57 Total 30 100,00 30 100,00 30 100,00 15 100,00 105 100,00

(2)

33,33 59,05 6,67 0,95 1-3 4-6 7-9 >9

Gambar 4 Persentase sebaran responden berdasarkan jumlah anggota keluarga 5,71 14,29 45,71 13,33 17,14 3,81 Tidak sekolah Tidak Tamat SD SD SMP SMU Perguruan Tinggi

Tingkat pendidikan responden umumnya masih rendah karena jumlah responden yang tidak sekolah, tidak tamat SD dan responden yang menamatkan sekolah di bangku SD sebesar 65,71%. Pada kategori pemungut tingkat pendidikan responden tertinggi adalah SMP. Sebaran responden berdasarkan tingkat pendidikan formal yang ditamatkannya dapat dilihat pada Gambar 3.

Jumlah anggota rumah tangga responden berkisar antara 1-10 orang dengan rata-rata jumlah anggota keluarga sejumlah 4 orang Sebagian besar responden mempunyai anggota keluarga antara 4-6 orang (59,05%) dan responden yang memiliki anggota keluarga lebih dari 9 orang hanya 0,95%. Persentase sebaran jumlah anggota keluarga dapat dilihat pada Gambar 4.

Pekerjaan sebagai pemungut, pengumpul, peracik dan penjual satwa liar biasanya merupakan pekerjaan yang turun menurun. Sebagian responden yang diwawancarai menyatakan bahwa pekerjaan yang ditekuninya sekarang adalah melanjutkan pekerjaan dan usaha orangtuanya dahulu. Sebaran lamanya responden bekerja sebagai pemanfaat satwa liar adalah seperti yang terdapat pada Gambar 5.

(3)

19,05 15,24

65,71

< 5 tahun 5-10 tahun >10 tahun

Gambar 5 Persentase sebaran responden berdasarkan lama bekerja Lamanya responden bekerja sebagai pemanfaat satwa liar bervariasi, sebagian besar responden telah menekuni pekerjaannya lebih dari sepuluh tahun 65,71% (Gambar 5). Rata-rata lamanya bekerja pemungut adalah 17 tahun, pengumpul 17 tahun, peracik 13 tahun dan penjual 19 tahun. Rata-rata lamanya bekerja peracik menunjukkan angka yang paling kecil karena usaha peracikan satwa untuk obat secara komersial belum begitu lama dibanding dengan pekerjaan pemungutan, pengumpulan dan penjualannya. Beberapa peracik satwa obat mengatakan bahwa pekerjaan semula sebelum menjadi peracik adalah sebagai pemungut atau pengumpul.

Pemanfaatan Satwa Liar sebagai Obat oleh Masyarakat

Jenis satwa liar yang digunakan sebagai obat

Dari hasil pengisian kuesioner dan wawancara dengan pemanfaat satwa liar untuk obat, masyarakat yang ada di sekitar hutan dan masyarakat yang dipercaya mempunyai pengetahuan tentang penggunaan satwa untuk obat diperoleh sebanyak 54 jenis satwa yang digunakan untuk pengobatan tradisional (Tabel 5). Dari 54 jenis terdiri dari 42 jenis satwa liar yang bertulang belakang (Vertebrata), 10 jenis satwa yang tidak bertulang belakang (Avertebrata) dan 2 jenis satwa ternak. 42 jenis satwa liar vertebrata tersebut terbagi dalam 5 kelas yaitu amphibia, reptilia, mamalia, aves, pisces dan terdiri dari 30 familia.

(4)

Tabel 5 Jenis satwa yang digunakan sebagai obat di Jawa Tengah

No. Nama lokal Nama Indonesia Nama ilmiah Familia VERTEBRATA

AMPHIBIA

1 Kodok ijo Katak sawah Fejervarya cancrivora Ranaidae 2 Kodok saklon Katak saklon Limnonectes macrodon Ranaidae 3 Kodok brungkul Kodok brungkul Bufo sp. Bufonidae AVES

4 Pelatuk bawang Caladi ulam Dendrocopos macei Picidae

5 Sikatan Burung Sikatan Cyornis sp. Muscicapidae

6 Walet Walet Collocalia sp. Apodidae

MAMALIA

7 Bajing Bajing Callosciurus sp. Sciuridae

8 Tupai Tupai Tupaia sp. Tupaiidae

9 Codot Codot Cynopterus sp. Pteropodidae

10 Garangan Garangan Herpestes semitorquatus Herpestidae

11 Kalong/lowo Kalong Pteropus vampyrus Pteropodidae

12 Kethek Monyet ekor panjang Macaca fascicularis Cercopithecidae

13 Landak Landak Hystrix brachyura Hystricidae

14 Luwak Musang Paradoxurus hermaphroditus Viverridae

15 Rase Rase Viverricula indica Viverridae

16 Menjangan Rusa Cervus sp. Cervidae

17 Trenggiling Trenggiling Manis javanica Manidae

PISCES

18 Welut Belut Synbranus macrotema Synbracidae

19 Hiu botol Hiu botol Centrophorus squamosus Squamidae

20 Kutuk Ikan gabus Channa striata Channidae

21 Kuda laut Kuda laut Hyppocampus hystrix Syngnathidae REPTILIA

22 Seliro/menyawak Biawak Varanus salvator Varanidae

23 Boyo Buaya muara Crocodylus porosus Crocodylidae

24 Bulus/labi-labi Kura-kura Amyda cartilaginea Trionychidae 25 Celeret gombel Celeret gombel Draco sp. Scincidae

26 Cecak Cicak Hemydactylus frenatus Scincidae

27 Kadal Kadal Eutropis sp. Scincidae

28 Bunglon Bunglon Bronchocela sp. Scincidae

29 King kobra King kobra Ophiophagus hannah Elapidae

30 Penyu Penyu hijau Chelonia mydas Cheloniidae

31 Tekek Tokek Gekko gecko Gekkonidae

32 Ulo dumung Ular kobra Naja sputatrix Elapidae

33 Ulo koros Ular koros Ptyas korros Colubridae

34 Ulo sowo Ular sanca Python reticulatus Pythonidae

35 Ulo jali Ular jali Ptyas mucosus Colubridae

(5)

3 3 11 4 21 0 5 10 15 20 25 Jum lah j eni s satwa ( jen is)

Amphibia Aves Mamalia Pisces Reptilia

Kelas

No. Nama lokal Nama Indonesia Nama ilmiah Familia

37 Ulo welang Ular welang Bungarus fasciatus Elapidae 38 Ulo weling Ular weling Bungarus candidus Elapidae 39 Ulo taliwangsa Ular cincin emas Boiga dendrophila Elapidae 40 Ulo karung Ular karung Acrochordus javanicus Acrochordidae 41 Ulo pelangi Ular pelangi Xenopeltis unicolor Xenopeltidae 42 Ulo kadut Ular rawa air tawar Homalopsis buccata Colubridae

AVERTEBRATA

43 Kalajengking Kalajengking Diplocentrus whitei Diplocentridae 44 Kerang mutiara Kerang mutiara Pictata maxima

45 Kelabang Kelabang Scolopendra sp Scolopendidae

46 Cacing Cacing tanah Lumbricus rubellus Lumbricidae 47 Lintah sawah Lintah sawah Hirudo medicinalis Arhynchobdellidae 48 Landak laut Landak laut Diadema saxatile Diadematidae

49 Bekicot Bekicot Achatina fulica Achatinidae

50 Teripang mas Teripang Sticophus sp.

51 Undur-undur Undur-undur Myrmeleon sp Myrmeleonidae

52 Tawon Lebah Apis sp. Apidae

TERNAK

53 Marmut Marmut Cavia sp. Cavidae

54 Kerbau Kerbau Bubalus bubalis Bovidae

Jumlah jenis dari masing-masing kelas yang termasuk dalam 42 jenis satwa liar vertebrata yang digunakan sebagai obat ditampilkan pada Gambar 6.

Gambar 6 Jumlah jenis satwa liar yang digunakan sebagai obat pada masing- masing kelas.

(6)

Gambar 6 memperlihatkan bahwa reptilia merupakan kelas yang memiliki jumlah jenis satwa yang paling banyak digunakan sebagai obat yaitu 21 jenis dan sebagian besar adalah jenis ular. Berdasarkan informasi dan pengetahuan masyarakat tentang jenis-jenis satwa liar yang digunakan sebagai obat, ular kobra (Naja sputatrix) (Gambar 7) merupakan jenis satwa yang paling banyak dipercaya mempunyai khasiat obat (25,31%). Lima jenis satwa yang paling banyak dipercaya mempunyai khasiat untuk pengobatan disajikan dalam Tabel 6.

Tabel 6 Lima jenis satwa yang paling banyak dipercaya berkhasiat obat

Selain satwa yang diyakini bisa digunakan untuk mengobati penyakit secara umum, ternyata terdapat beberapa jenis satwa yang sering digunakan untuk tujuan magic yaitu burung gagak (Corvus sp.) dan kukang (Nycticebus coucang) seperti yang diungkapkan oleh responden.

Status Konservasi Satwa Liar Obat

Berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, Daftar Apendiks CITES (Convention on International Trade of Endangered Species of Wild Fauna and Flora) dan IUCN (Internatinal Union for Conservation of Nature and Natural Resources) Red List of Threatened Species (IUCN 2007); tercatat 5 jenis satwa yang digunakan sebagai obat adalah satwa dilindungi undang-undang, 15 jenis masuk dalam daftar apendiks CITES dan 18 jenis tercatat dalam Red List of Threatened Species IUCN (Tabel 7).

No Nama jenis Jumlah responden %

1 Ular kobra 61 25,31

2 Biawak 28 11,62

3 Tokek 26 10,79

4 Kalong 20 8,30

(7)
(8)

Status Konservasi

No. Nama jenis Nama ilmiah UU 5 TH 90 &

PP 7 TH 99 CITES IUCN

AMPHIBIA

1 Katak sawah Fejervarya cancrivora Resiko Rendah ver 3,1(2001)

2 Katak saklon Limnonectes macrodon Rentan ver 3,1 (2001)

3 kodok brungkul Bufo sp.

AVES

4 Caladi ulam Dendrocopos macei Resiko Rendah ver 3,1(2001)

5 Burung Sikatan Cyornis sp.

6 Walet Collocalia sp. Apendiks II

MAMALIA

7 Bajing Callosciurus sp. Resiko Rendah ver 3,1(2001)

8 Tupai Tupaia sp. Apendiks II Resiko Rendah ver 3,1(2001)

9 Codot Cynopterus sp. Resiko Rendah ver 3,1(2001)

10 Garangan Herpestes semitorquatus Resiko Rendah ver 3,1(2001)

11 Kalong Pteropus vampyrus Apendiks II Resiko Rendah ver 2,3 (1994)

12 Monyet ekor panjang Macaca fascicularis Apendiks II Resiko Rendah ver 2,3 (1994)

13 Landak Hystrix brachyura Dilindungi Rentan ver 2,3 (1994)

14 Musang Paradoxurus hermaphroditus Apendiks III Resiko Rendah ver 2,3 (1994)

15 Rase Viverricula indica Apendiks III Resiko Rendah ver 2,3 (1994)

16 Rusa Cervus sp. Dilindungi Resiko Rendah ver 2,3 (1994)

17 Trenggiling Manis javanica Dilindungi Resiko Rendah ver 2,3 (1994)

PISCES

18 Belut Synbranus macrotema

19 Hiu botol Centrophorus squamosus Rentan ver 3,1 (2001)

20 Ikan gabus Channa striata

(9)

Status Konservasi

No. Nama jenis Nama ilmiah UU 5 TH 90 &

PP 7 TH 99 CITES IUCN

REPTILIA

22 Biawak Varanus salvator Apendiks II

23 Buaya muara Crocodylus porosus Dilindungi Apendiks II Resiko Rendah ver 2,3 (1994)

24 Kura-kura Amyda cartilaginea Apendiks II Rentan ver 3,1 (2001)

25 Celeret gombel Draco sp.

26 Cecak Hemydactylus frenatus

27 Kadal Eutropis sp.

28 Bunglon Bronchocela sp.

29 King kobra Ophiophagus hannah Apendiks II

30 Penyu hijau Chelonia mydas Dilindungi Apendiks I Genting ver 3,1 (2001)

31 Tokek Gekko gecko

32 Ular kobra Naja sputatrix Apendiks II

33 Ular koros Ptyas korros

34 Ular sanca Python reticulatus Apendiks II

35 Ular jali Ptyas mucosus Apendiks II

36 Ular lanang sapi Elaphe radiata

37 Ulang welang bergaris Bungarus fasciatus

38 Ular welang Bungarus candidus

39 Ular cincin emas Boiga dendrophila

40 Ular karung Acrochordus javanicus

41 Ular pelangi Xenopeltis unicolor

(10)

Gambar 7 Ular kobra (Naja sputatrix), salah satu jenis satwa yang paling banyak dipercaya mempunyai khasiat obat.

Penangkapan Satwa

Semua pemungut menyatakan bahwa satwa yang mereka jual berasal dari penangkapan pada habitatnya di alam. Lokasi penangkapan (habitat satwa) dan cara penangkapan masing-masing jenis satwa bervariasi seperti terdapat pada Tabel 8.

Tabel 8 Habitat dan cara penangkapan satwa

Jenis Lokasi Penangkapan

(Habitat satwa)

Alat yang digunakan dalam penangkapan

Belut sawah tangan

Biawak sungai, sawah tangan

Bulus waduk, sungai dipancing, disetrum

Bunglon pohon tangan

Cicak rumah, kebun tangan

Codot pohon buah jaring

Kalong pohon buah jaring

Ikan gabus sungai dipancing, disetrum

Katak sawah, kolam tangan, jerat

Monyet ekor panjang hutan lindung dikejar

Landak di goa di tebing hutan jebakan

Tokek pohon-pohon besar, kebun tangan

Trenggiling hutan jati, daerah dekat hutan tangan

Tupai pohon, rumpun bambu ditembak

Ular sanca hutan, dekat sungai besar di dekat hutan tangan

Ular jali sawah, tegalan, kebun tangan

Ular kadut sungai, kolam tangan

Ular kobra daratan, sempadan sungai, lubang tanggul sawah

tangan, jerat

Ular lanang sapi daratan tangan

Ular taliwangsa daratan, rumpun bambu, pohon-pohon tangan

Ular welang di lubang dekat tanggul tangan

Ular weling di lubang dekat tanggul tangan

Kuda laut laut jaring

(11)

Tangan Alat jerat Lainnya 56,00 24,00 20,00 0 10 20 30 40 50 60 P ersen tase (% ) Cara penangkapan

Gambar 8 Persentase cara penangkapan satwa dari alam.

Lokasi penangkapan satwa oleh pemungut adalah habitat satwa yang berada di sekitar tempat tinggal mereka, tetapi bila jumlah tangkapan di daerahnya sedikit pemungut sering menangkap satwa di kabupaten lain yang merupakan habitat jenis-jenis satwa yang mereka cari. Bahkan pemungut yang bertempat tinggal di perbatasan propinsi kadang menangkap satwa di propinsi lain. Seperti terjadi pada pemungut yang bertempat tinggal di Rembang, yang merupakan perbatasan antara Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur, pemungut di Rembang kadang menangkap satwa sampai ke Tuban (Jawa Timur).

Satwa yang dikumpulkan oleh pengumpul berasal dari pemungut maupun pengumpul di daerah dia tinggal, tetapi dapat juga berasal dari kabupaten lain bahkan propinsi lain. Seorang pengumpul di Sragen sering membeli satwa (reptilia) dari para pengumpul kecil di Ngawi (Jawa Timur). Jenis satwa obat yang beredar di Jawa Tengah yang berasal dari propinsi lain diantaranya adalah buaya (Papua), kalong (Madura) dan bulus (Kalimantan Selatan).

Penangkapan satwa dilakukan sepanjang tahun, baik musim penghujan maupun musim kemarau. Namun menurut informasi dari para pemungut, pada musim kemarau satwa susah dicari sehingga biasanya pada musim kemarau hasil yang diperolehnya lebih sedikit daripada musim penghujan. Frekuensi penangkapan satwa oleh pemungut dalam sebulan rata-rata adalah 22 kali. Penangkapan biasanya dilakukan pada malam hari, untuk jenis-jenis tertentu seperti landak, tupai, dan monyet penangkapan dilakukan pada siang hari. Para

(12)

pemungut memulai pekerjaannya mulai jam 20.00 sampai 02.00 WIB. Para pemungut biasanya libur untuk mencari satwa pada malam terang bulan purnama dan malam Jumat. Malam mendekati terang bulan purnama biasanya satwa tidak keluar dari sarangnya sehingga jarang mereka bisa menjumpai satwa di lapangan, sedangkan malam jumat dipercaya sebagai malam yang sakral sehingga sebagian besar pemungut menganggap tabu dan tidak baik mencari satwa pada malam Jumat.

Dari pemungut dan pengumpul yang diwawancarai, 78,33% menyatakan bahwa mereka mengambil satwa dengan kriteria tertentu, dan 21,67% yang tidak menggunakan kriteria apapun, satwa yang masih terlalu kecil tidak diambil karena tidak laku dipasaran. Kriteria yang biasa digunakan adalah berat tubuh atau panjang tubuh. Misalnya untuk ular kobra ukuran yang diterima di pasaran adalah yang berukuran minimal 95 cm; sanca minimal 2,7 meter; taliwangsa minimal 1 meter dan ular kadut minimal 60 cm. Bila ukuran satwa kurang dari kriteria yang sudah ditentukan maka harga akan anjlok, seperti untuk jenis ular kobra yang panjangnya > 95 cm harganya Rp.10.000, tetapi bila ukurannya kurang dari itu maka harganya cuma Rp.2000. Beberapa jenis satwa sengaja ditangkap ketika satwa masih kecil sesuai dengan permintaan konsumen, jenis monyet dan kijang biasanya ditangkap saat masih kecil karena dijual untuk pet. Walaupun menurut responden mereka mengetahui kriteria satwa yang laku di pasaran tetapi kadang ada beberapa responden yang tidak memperhatikan kriteria tersebut.

Satwa hasil tangkapan yang mereka kumpulkan biasanya langsung dijual ataupun diracik. Bila satwa tersebut tidak langsung dijual jarang ada pemeliharaan khusus terhadap satwa, satwa biasanya ditaruh waring (karung strimin) atau ditaruh di kandang tanpa diberi makan, hanya kadang-kadang disiram dengan air sampai waktunya untuk dijual. Tidak ada responden yang sudah berhasil menangkarkan satwa liar tersebut walaupun ada beberapa orang responden mengaku pernah mencobanya.

Berdasarkan perhitungan, dugaan jumlah masing-masing jenis satwa yang ditangkap untuk dimanfaatkan sebagai racikan obat tersaji dalam Tabel 9. Penghitungan didasarkan pada pengamatan jumlah satwa yang dijual oleh responden dikalikan frekuensi penjualannya per bulan.

(13)

Tabel 9 Jumlah satwa liar yang diduga dimanfaatkan sebagai obat di Jawa Tengah.

Jumlah

No. Jenis satwa

Unit/bulan Unit/tahun Unit

1 Tokek 81.240 974.880 ekor

2 Ular koros 14.234 170.808 ekor 3 Ular kobra 10.908 130.896 ekor

4 Cicak 8.800 105.600 ekor

5 Katak 8.525 102.300 kg

6 Ular kadut 5.629 67.548 ekor

7 Kadal 2.608 31.296 ekor

8 Ular jali 2.029 24.348 ekor 9 Ular lanang sapi 1.966 23.592 ekor 10 Ular taliwangsa 1.623 19.476 ekor 11 Biawak 1.085 13.020 ekor 12 Ular pelangi 850 10.200 ekor 13 Ikan kutuk 474 5.688 kg 14 Tupai 335 4.020 ekor 15 Bunglon 180 2.160 ekor 16 Ular sanca 167 2.004 ekor 17 Bulus 161 1.932 ekor 18 Kuda laut 150 1.800 ekor 19 Codot 140 1.680 ekor 20 Ular welang 108 1.296 ekor

21 Hiu 106 1.272 ekor 22 Penyu 101 1.212 ekor 23 Kalong 98 1.176 ekor 24 Bajing 80 960 ekor 25 Landak 54 648 ekor 26 Buaya 50 600 ekor 27 Luwak 14 168 ekor 28 Garangan 10 120 ekor 29 Monyet ekor panjang 6 72 ekor 30 Celeret gombel 4 48 ekor 31 Rase 4 48 ekor 32 Burung Pelatuk bawang 1 12 ekor 33 Burung Sikatan 1 12 ekor 34 Trenggiling 1 12 ekor

(14)

Satwa liar yang diketahui jumlah pemanfaatannya adalah satwa liar yang sudah banyak digunakan dan diperjualbelikan oleh masyarakat, sedangkan satwa liar yang tidak banyak digunakan dan masih jarang diperjualbelikan tidak bisa diduga jumlah pemanfaatannya. Satwa yang masih jarang digunakan sebagai obat diantaranya adalah kodok brungkul, rusa dan bunglon.

Bagian Satwa, Kegunaan dan Cara Penggunaannya Sebagai Obat

Bagian yang Digunakan Sebagai Obat

Dalam pemanfaatan satwa sebagai obat, bukan hanya jenis satwa yang beranekaragam melainkan bagian tubuh satwa yang digunakan juga beranekaragam. Satwa liar mempunyai bagian tertentu yang dipercaya paling berkhasiat dalam penyembuhan suatu penyakit dan masing-masing bagian tubuh satwa dipercaya mempunyai khasiat yang berbeda-beda, sehingga satu jenis satwa liar bisa digunakan untuk menyembuhkan beberapa macam penyakit.

Ditinjau dari bagian satwa yang digunakan untuk bahan ramuan obat tradisional terdapat 23 macam bagian satwa yaitu: bisa, cangkang/karapas, daging, darah, duri, ekor, empedu, hati, kulit, cairan/lendir, lidah, minyak, otak, paruh, sarang, sisik, sumsum, tanduk, tangkur, telur, tulang, madu dan semua bagian satwa. Pemakaian masing-masing bagian tubuh satwa dapat dilihat pada Gambar 9. Berdasarkan jumlah bagian satwa yang digunakan sebagai bahan obat, lima bagian satwa yang paling sering digunakan adalah seperti terdapat pada Tabel 10.

Tabel 10 Bagian satwa yang paling sering digunakan sebagai bahan obat

No. Bagian satwa Jumlah jenis satwa Persentase (%)

1 Daging 25 24,04

2 Empedu 15 14,42

3 Semua bagian 11 10,58

4 Hati 9 8,65

(15)

Gambar 9 Jumlah jenis satwa berdasarkan bagian-bagiannya yang digunakan sebagai obat.

Tabel 10 menunjukkan bahwa dari 23 bagian satwa yang digunakan sebagai obat, daging merupakan bagian yang paling banyak digunakan yaitu 24,04% (25 jenis). Empedu menempati urutan kedua dalam pemakaiannya sebagai bahan obat (14,42%) dan urutan ketiga adalah pemakaian semua bagian satwa (10,58%).

Masing-masing bagian satwa kadang mempunyai fungsi yang berbeda-beda sehingga pemakaian masing bagian sangat bervariasi. Terkadang masing-masing bagian digunakan secara tunggal untuk menyembuhkan suatu penyakit tetapi kadang beberapa bagian satwa (2 bagian atau lebih) digunakan secara bersama-sama, bahkan beberapa satwa digunakan secara keseluruhan dalam sebuah ramuan jamu/obat tradisional.

Kegunaan satwa obat

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari hasil wawancara dengan responden, jenis-jenis satwa tersebut dipercaya bisa menyembuhkan sekitar 50 penyakit diantaranya untuk mengobati penyakit diabetes, batuk, penyakit kulit,

0 5 10 15 20 25 30

Bagian satwa yang digunakan sebagai obat

Ju m lah j eni s satwa (j e n is) bisa cangkang/karapas daging darah duri ekor empedu hati kulit cairan/lendir lidah minyak otak paruh sarang sisik sumsum tanduk tangkur telur tulang madu semua bagian

(16)

0 5 10 15 20 25 Kelompok penyakit J u ml ah j en is sat w a yan g d ip akai

Sakit kepala, demam, masuk angin dan penurun panas Penyakit saluran pencernaan

Penyakit saluran pernafasan Penyakit pendengaran Pengobatan luka

Penyakit otot persendian dan tulang Kanker,tumor

Kholesterol,darah tinggi dan stroke Penyakit mata

Diabetes Tonikum/Stamina

Penyakit saluran kencing/ginjal Penyakit gigi

Jantung Penyakit dalam Hepatitis, liver,limfa Penyakit kulit

Perawatan rambut, muka dan kulit Penawar racun

Obat kuat lelaki, lemah syahwat Lainnya (lepra,beri-beri, saraf dsb).

penyakit dalam, kanker dan sebagainya (Lampiran 4). Beberapa jenis satwa berkhasiat untuk perawatan kulit, perawatan rambut dan menambah stamina. Berdasarkan jenis penyakit yang disembuhkan, kegunaan jenis satwa liar tersebut dikelompokkan menjadi 21 macam kelompok penyakit (Gambar 10).

Gambar 10 Jumlah jenis satwa obat berdasarkan kelompok penyakit yang disembuhkan

Dari 21 kelompok penyakit tersebut, kelompok penyakit yang dianggap paling banyak dapat disembuhkan seperti terdapat dalam Tabel 11.

Tabel 11 Kelompok penyakit yang dianggap paling banyak dapat disembuhkan dengan pengunaan obat tradisional dari satwa liar

Kelompok penyakit Jumlah jenis satwa Persentase (%)

Penyakit saluran pernafasan 20 14,49

Penyakit kulit 18 13,04

Tonikum/Stamina 14 10,14

Diabetes 10 7,25

Obat kuat lelaki, lemah syahwat 9 6,52

Perawatan rambut, muka dan kulit 8 5,80

Pengobatan luka 7 5,07

Penyakit otot persendian dan tulang 7 5,07

Hepatitis, liver,limfa 6 4,35

(17)

38,02 33,88 11,57 13,22 0,83 0,83 1,65 0 5 10 15 20 25 30 35 40

dimakan diminum dioles ditelan ditempel dibasuh pipa

Cara penggunaan

P

e

rsentase (%

)

Dari Tabel 11 dapat dilihat bahwa sebagian besar satwa digunakan untuk mengobati kelompok penyakit saluran pernafasan (asthma, TBC, batuk, step/ kejang akibat demam, paru-paru) yaitu sebesar 14,49% (20 jenis), diikuti oleh penyakit kulit 13,04% (18 jenis) dan penambah stamina dan nafsu makan 10,14% (14 jenis). Satwa yang digunakan untuk mengobati penyakit kulit diantaranya adalah segala jenis ular, biawak, tokek, cicak dan kadal; sedangkan satwa yang digunakan sebagai penambah stamina adalah ular, garangan, landak dan luwak.

Selain 21 kelompok penyakit tersebut terdapat jenis satwa yang digunakan untuk penyembuhan semua penyakit secara magic. Satwa yang digunakan sebagai sarana pengobatan secara magic diantaranya adalah burung pelatuk bawang dan burung sikatan. Ada juga satwa yang digunakan untuk mengobati penyakit karena roh halus (santet) yaitu burung gagak dan ukang juga digunakan untuk menjaga

Cara Penggunaan

Berdasarkan cara penggunaan satwa sebagai obat oleh masyarakat dibedakan menjadi 7 macam yaitu: dimakan, diminum, dioles, ditelan, ditempel, dibasuh dan dipakai sebagai pipa rokok. Jumlah jenis satwa menurut cara penggunaannya disajikan pada Gambar 11.

Penggunaan dengan cara dimakan merupakan cara yang paling sering digunakan oleh masyarakat (38,02%), demikian juga dengan penggunaan dengan cara diminum (33,88%). Agak sedikit satwa yang cara penggunaannya dengan cara dioles dan ditelan serta sangat jarang yang penggunaannya dengan cara dibasuh atau dipakai sebagai pipa.

(18)

Penggunaan satwa obat dengan cara dimakan mempunyai persentase yang paling besar berkaitan dengan banyaknya bagian satwa yang paling banyak digunakan yaitu daging. Daging biasanya dimasak terlebih dahulu dicampur dengan bumbu dan rempah-rempah dibuat menjadi masakan yang khas seperti rica-rica, sate, swike dan sebagainya. Pada anak-anak untuk mempermudah pemberiannya maka daging diolah menjadi abon.

Penggunaan satwa dengan cara diminum juga merupakan cara yang sering dilakukan. Bagian satwa yang diminum biasanya berbentuk darah atau cairan tertentu, tetapi bagian lain juga sering digunakan dengan cara diminum dengan terlebih dahulu mengolah bagian satwa (daging, empedu, tulang atau seluruh bagian satwa) menjadi bubuk halus. Daging dan seluruh bagian satwa biasanya dipanggang/dibakar dahulu hingga kering/menjadi abu, baru kemudian ditumbuk halus. Setelah bagian satwa ini berbentuk serbuk maka bahan akan lebih mudah dikonsumsi, sebagian orang meminumnya sebagai kopi dan sebagian memasukkannya ke dalam kapsul.

Penggunaan satwa obat dengan cara ditelan biasanya dipakai bila bagian satwa tersebut dikonsumsi dalam bentuk mentah. Empedu, sumsum dan hati biasanya dikonsumsi dengan cara ditelan, sedangkan lemak/minyak digunakan dengan cara dioles pada bagian yang diinginkan.

Dosis ataupun ukuran yang pasti tentang jumlah (takaran) dan berapa lama bahan tersebut harus dikonsumsi tidak diketahui dengan pasti. Dosis yang digunakan tergantung dari jenis penyakit, kondisi penyakit dan kondisi konsumen pemakai. Selain itu dosis penggunaan juga tergantung dari aturan tabib (pengobat) yang menangani. Untuk ramuan darah ular kobra, semua bagian (darah, empedu, sumsum) dari satu ekor ular kobra dikonsumsi secara bersamaan, untuk penyakit yang kronis kadang ramuan dari 2 atau 3 ular kobra diminum sekaligus.

Dari survey yang dilakukan, sebagian besar (93,33%) peracik menambahkan bahan tambahan ke dalam ramuan satwa obat baik yang berupa bumbu ataupun bahan-bahan lain seperti madu, kratingdaeng, anggur dan jeruk nipis. Madu, kratingdaeng, anggur dan jeruk nipis sering ditambahkan pada ramuan-ramuan yang harus diminum atau ditelan seperti darah, empedu dan sebagainya untuk menghilangkan bau amis. Untuk ramuan obat yang berbentuk masakan biasanya

(19)

hanya ditambah dengan bumbu dan rempah-rempah. Selain bahan tersebut ada beberapa peracik yang menambahkan ramuan tradisional dari tumbuh-tumbuhan untuk menambah khasiat ramuan obat dari satwa.

Lamanya pengobatan dengan ramuan tersebut tergantung dari jenis penyakit dan beratnya penyakit. Pada awal pengobatan, konsumsi ramuan satwa obat dilakukan dengan frekuensi yang lebih sering dibandingkan bila sakit sudah agak reda. Frekuensi konsumsi ramuan satwa obat semakin lama semakin dikurangi seiring dengan meredanya penyakit.

Jalur Pemasaran dan Nilai Ekonomi Jalur Pemasaran

Satwa obat yang dimanfaatkan oleh masyarakat 100% berasal dari alam, tidak ada satwa yang merupakan hasil budidaya. Para pemungut menjual satwa tersebut kepada para pengumpul atau peracik satwa obat dan pengumpul kecil tersebut menjual satwa tersebut ke pengumpul yang lebih besar, peracik, penjual maupun eksportir. Peracik menjual produknya kepada konsumen maupun kepada penjual racikan satwa obat. Sedangkan penjual menjual satwa/racikan obatnya langsung kepada konsumen.

Satwa yang dijual ada yang berbentuk hidup maupun mati. Dari pemungut ke pengumpul biasanya satwa dijual dalam bentuk hidup, namun dari pengumpul kecil ke pengumpul yang lebih besar, ke peracik dan ke eksportir satwa sering dijual dalam bentuk daging, satwa kering maupun berbentuk simplisianya. Penyaluran satwa kepada pembeli khususnya pada pengumpul bisa diantar sendiri dan sering menggunakan jasa kurir (paket). Tujuan penjualan pada masing-masing kategori disajikan pada Gambar 12.

Komponen pendukung sistem pemasaran satwa obat dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu produsen dan konsumen. Produsen adalah masyarakat yang bertugas sebagai penyedia satwa maupun bahan racikan obat yaitu pemungut, pengumpul, peracik dan penjual. Pemungut adalah orang yang memungut satwa liar obat tersebut dari alam, pengumpul adalah orang yang mengumpulkan satwa dari para pemungut atau pengumpul kecil, peracik adalah orang yang telah melakukan pengolahan sepenuhnya sebagai komoditi yang

(20)

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100% Persent a se m a sing-m a sing tujuan penjualan

Pemungut Pengumpul Peracik Penjual

Kategori

Pengumpul Peracik Konsumen Eksportir Importir

diperdagangkan berupa ramuan obat maupun masakan, serta penjual adalah orang yang menjual satwa atau bagian-bagiannya maupun racikan obat langsung kepada konsumen.

Gambar 12 Persentase tujuan penjualan pada masing-masing kategori pemanfaat satwa.

Dari hasil survey yang dilakukan diketahui bahwa pemungut berada hampir di semua kabupaten di Jawa Tengah, demikian juga dengan pengumpul kecil. Sedangkan pengumpul besar hanya terdapat di beberapa kota. Kategori peracik diketahui tersebar pada 13 kabupaten dan kota, dengan jumlah yang terbanyak di Kabupaten Cilacap dan Kota Solo masing-masing sejumlah 6 dan 4 peracik. Keberadaan penjual satwa obat yang sudah dalam bentuk racikan masih sangat jarang, penjual yang banyak ditemui pada saat survey adalah penjual satwa obat (hidup) di pasar burung.

Konsumen satwa obat tersebar hampir di seluruh kota/kabupaten di Jawa Tengah, bahkan ada konsumen dari luar Jawa Tengah yang biasa memesan satwa obat dalam bentuk simplisia kering. Kebanyakan konsumen adalah orang-orang yang menderita penyakit yang sulit disembuhkan dan orang-orang yang membutuhkan stamina yang tinggi dalam pekerjaannya seperti para sopir dan pekerja berat. Pengobatan dengan ramuan dari satwa obat sering dianggap sebagai pengobatan alternatif yang ditempuh oleh para penderita bila penyembuhan penyakitnya secara medis mengalami kegagalan.

(21)

16,67 20,00 60,00 3,33 0 10 20 30 40 50 60 Persentase (%) kios rumah warung/kakilima klinik T e m p at pe njualan r acikan sa twa obat

Pada kategori pemungut semua responden bekerja atas inisiatif sendiri, tiap hari mereka rutin melakukan pemungutan kecuali pada hari-hari tertentu mereka libur. Sebagian besar pengumpul (96,67%) mengumpulkan satwa atas inisiatif sendiri. Kategori peracik 60% responden membuat racikan atas inisiatif sendiri, tiap hari mereka meracik satwa untuk obat dan biasanya racikan berupa masakan khas dari satwa liar obat. Sedangkan 40% lainnya meracik satwa obat bila ada pesanan dari pembeli, sehingga mereka hanya menyediakan satwa dalam keadaan hidup ataupun bahan mentah, baru setelah ada pesanan dari pembeli mereka baru meraciknya.

Dari survey yang dilakukan, pemasaran satwa obat pada kategori peracik dilakukan pada beberapa macam lokasi baik itu di rumah, warung, kios, kaki lima maupun di klinik (Gambar 13).

Gambar 13 Persentase banyaknya lokasi penjualan racikan satwa obat. Pada Gambar 13 terlihat bahwa lokasi yang paling banyak digunakan untuk menjual racikan satwa obat adalah di warung/kaki lima yaitu sebesar 60%, hal ini menunjukkan bahwa peracikan satwa obat sudah dilakukan secara profesional. Peracik yang menjual racikannya di warung/kakilima biasanya merupakan peracik yang lumayan besar omzetnya, sedangkan peracik yang menjual racikannya di rumah biasanya mereka merupakan peracik dengan omzet yang kecil. Terdapat satu orang peracik yang menjual racikannya di klinik karena dia adalah seorang tabib yang menggunakan bubuk kalong sebagai salah satu bahan pokok obat untuk penyakit asthma. Jalur pemasaran satwa obat dari pemungut sampai kepada konsumen dapat dilihat pada Gambar 14.

(22)

Selain memenuhi kebutuhan masyarakat lokal, satwa obat juga ditangkap untuk memenuhi kebutuhan di luar negeri (ekspor). Dari data realisasi ekspor non migas di Dinas Perdagangan Propinsi Jawa Tengah tercatat beberapa jenis satwa dan bagian satwa yang diekspor dengan negara tujuan ekspor tertentu (Tabel 12).

Gambar 14 Jalur pemasaran satwa obat di Jawa Tengah Semua kabupaten Semua kabupaten - Sragen - Semarang - Cilacap - Rumah makan - Kaki lima - Pengobatan tradisional - Jawa Timur - Jakarta - Bali Keterangan :

(23)

Tabel 12 Realisasi eksport satwa obat dan bagiannya Propinsi Jawa Tengah bulan Mei s/d September 2006

Sumber : Disperindag Jateng 2006

Dari Tabel 12 dapat diketahui bahwa tujuan eksport jenis reptil seperti tokek kering, daging ular, ular kering dan darah ular adalah Hongkong, sedangkan untuk sarang burung walet tujuan eksport adalah Kanada. Selain itu cangkang beberapa binatang dieksport ke Korea, China dan Philipina.

Nilai Ekonomi Satwa Liar yang Digunakan Sebagai Obat

Satwa liar merupakan sumberdaya yang mudah dan cepat didapatkan secara langsung untuk menghasilkan keuntungan sehingga masyarakat banyak memanfaatkan satwa liar, bukan sekedar untuk memenuhi kebutuhan pengobatan lagi tetapi sebagai matapencaharian mereka untuk menghidupi kebutuhannya sehari-hari. Pemanfaatan satwa liar obat tidak hanya oleh masyarakat yang tinggal di sekitar hutan tetapi sudah meluas sampai dengan kota-kota besar. Sebagian masyarakat bekerja sebagai pemungut, pengumpul, peracik dan penjual satwa liar. Bahkan ada beberapa responden yang termasuk dalam dua kategori sekaligus yaitu sebagai pemungut dan pengumpul (2 orang) atau sebagai pengumpul dan peracik (4 orang). Persentase responden yang menjadikan pemanfaatan satwa liar obat sebagai pekerjaan pokok ataupun sampingan disajikan dalam Gambar 15.

Nilai ekonomi satwa liar obat pada penelitian ini dihitung berdasarkan nilai pasar karena jenis-jenis tersebut telah diperjualbelikan oleh masyarakat. Satwa kadang dijual dalam bentuk hidup maupun sudah berbentuk simplisia hewani. Dari pengolahan data yang dilakukan, harga rata-rata masing-masing jenis satwa yang digunakan sebagai obat disajikan pada Tabel 13.

No. Jenis Berat Harga (US $) Negara tujuan

1 Sarang burung walet 601 687.280 Kanada 2 Tokek kering 47.942 264.010 Hongkong 3 Daging ular 12.332 122.280 Hongkong 4 Ular kering 4.275 32.625 Hongkong 5 Kulit keong 1.438 7.168 Korea 6 Kulit kepiting 16.238 13.088 Cina 7 Kulit binatang lunak 23.000 5.000 Philipina 8 Darah ular 3.885 823 Hongkong 9 Sirip ikan hiu 3.760 4.888 Jepang

(24)

76,67 76,67 70 6,67 93,33 23,33 23,33 30 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Pemungut Pengumpul Peracik Penjual

Pekerjaan

P

ersen

tase (%)

Pokok Sampingan

Gambar 15 Persentase responden yang menjadikan pekerjaan sebagai pemanfaat satwa liar obat sebagai pekerjaan pokok atau sampingan

Tabel 13 Harga rata-rata tiap jenis satwa liar obat

No. Jenis satwa Harga (Rp/unit) Unit Keterangan

1 Bajing 16.563 ekor hidup

2 Biawak 30.000 ekor hidup

8.863 kg daging

3 Kura-kura 82.500 ekor hidup

24.000 kg daging

4 Bunglon 1.500 ekor hidup

5 Burung sikatan 50.000 ekor hidup

6 Cicak 144 ekor hidup

27.000 kg hidup

135.000 kg kering

7 Codot 4.500 ekor hidup

20.000 kg hidup

8 Celeret gombel 7.500 ekor hidup

9 Garangan 10.000 ekor hidup

10 Kadal 2.630 ekor hidup

11 Kalong 79.319 ekor hidup

12 Katak 9.110 kg Hidup

22.604 kg kulitan (besar)

11.500 kg kulitan (kecil)

13 Kera 90.000 ekor hidup

14 Kuda laut 6.000 ekor Kering

15 Ikan kutuk 16.667 kg hidup

16 Landak 6.000 kg hidup

25.000 ekor hidup

17 Luwak 70.000 ekor hidup

18 Burung pelatuk bawang 100.000 ekor Hidup

19 Penyu 46.667 ekor Ukuran 30 -50 cm

10.0000 ekor Ukuran > 50 cm

(25)

Harga-harga tersebut adalah harga rata-rata yang diambil dari keempat kategori pemanfaat. Satwa-satwa yang tercatat harganya adalah satwa-satwa yang banyak diperdagangkan oleh masyarakat. Satwa yang mempunyai harga tertinggi adalah trenggiling dengan harga rata-rata Rp. 152.500 per kg hidup/mati. Satu ekor trenggiling beratnya ± 5-8 kg, sehingga satu ekor trenggiling bisa terjual antara Rp. 762.500 – 1.220.000. Karena harganya yang sangat menggiurkan itulah walaupun trenggiling dilindungi undang-undang masih ada masyarakat yang memperdagangkannya secara illegal. Satwa lain yang cukup tinggi harganya adalah ular sanca dan ular king kobra dengan harga rata-rata Rp. 200.000 per ekornya. Harga terendah adalah satwa liar obat yang ukurannya paling kecil yaitu cicak dengan harga Rp.144 per ekornya.

Selain menjual satwa hidup para pemanfaat terutama peracik dan penjual sering menjual satwa obat dalam bentuk simplisia. Rata-rata harga simplisia hewani satwa obat adalah seperti tersaji dalam Tabel 14.

No. Jenis satwa Harga (Rp/unit) Unit Keterangan

21 Tokek 896 ekor Hidup

1959 ekor Kering

22 Trenggiling 152.500 kg hidup

23 Tupai 14.750 ekor hidup

24 Ular cincin emas 4.000 ekor hidup

25 Ular cincin perak 3.750 ekor hidup

26 Ular jali 16.133 ekor hidup

27 Ular kadut No.1 15.173 ekor panjang > 83 cm

Ular kadut No.2 7.444 ekor panjang 80-83 cm

Ular kadut No.3 3.278 ekor panjang 75-80 cm

Ular kadut No.4 1.000 ekor panjang < 75 cm

28 Ular kobra 13.351 ekor hidup

29 Ular koros 3.344 ekor hidup

9.625 kg daging

30 Ular king kobra 200.000 ekor hidup

31 Ular lanang sapi 4.616 ekor hidup

15.000 kg daging

60.500 kg kering

32 Ular pelangi 11.500 kg daging

3.000 ekor hidup

33 Ular sanca 200.000 ekor hidup

74.000 meter hidup

34 Ular taliwangsa 3.611 ekor hidup

35 Ular weling 5.000 ekor hidup

(26)

Tabel 14 Harga rata-rata simplisia satwa obat di pasaran

No. Simplisia Harga (Rp) Satuan (per) Keterangan

1 Hati ikan hiu 15.000 kg basah

2 Tangkur buaya 10.000 buah kering

3 Minyak bulus/penyu 181.250 liter

4 Minyak hiu 75.000 liter

5 Tulang ikan hiu 18.750 Buah Panjang 20 cm 6 Duri landak laut 1.000 buah

7 Minyak kutuk 800 cc

8 Empedu ular kobra 8.000 buah Kering

9 Minyak ular kobra 400 cc

10 Bubuk kalong/codot 225.000 kg Kering

11 Empedu biawak 6000 buah Kering

12 Tangkur ular kobra 500 buah Kering

Simplisia satwa obat jarang dijual secara khusus dan biasanya dijual di tempat yang sama dengan tempat para peracik menjual dagangannya, baik di rumah, di kedai, warung makan maupun di kios. Selain hasil pokok dari penjualan satwa sisa pemanfaatan peracikan satwa juga memberikan pemasukan tambahan. Bagi pemungut, pengumpul dan penjual satwa obat biasanya satwa dijual dalam bentuk satwa hidup sehingga tak ada pemanfaatan sisa, pada kategori peraciklah biasanya terdapat pemanfaatan sisa satwa. Hasil survey menemukan hanya sebagian kecil peracik yang tidak memanfaatkan satwa sisa (15,15%), peracik lainnya memanfaatkan satwa sisa (kulit, daging, duri) untuk dijual, bahkan ada beberapa peracik yang membuat kerajinan tangan dari sisa satwa tersebut. Kulit ular dan biawak dapat dibuat menjadi dompet, tas, jaket atau ikat pinggang; karapas penyu sering diawetkan menjadi ofsetan dan duri landak dapat dibuat menjadi tempat tisu ataupun tusuk konde.

Satwa obat ternyata telah memberikan nilai ekonomi yang cukup tinggi bagi masyarakat. Rata-rata penghasilan responden pada masing-masing kategori berturut-turut adalah sebagai berikut: (a) pemungut = Rp.580.150/bulan, (b) pengumpul = Rp.1.540.089/bulan, (c) peracik = Rp.1.582.517/bulan dan (d) penjual = Rp.492.900/bulan.

Kontribusi pemanfaatan satwa obat dari kategori pemungut, pengumpul, peracik dan penjual menunjukkan angka yang bervariasi (Gambar 16) dengan rata-rata kontribusi penghasilan dari memanfatkan satwa liar untuk obat terhadap penghasilan total keluarga adalah sebesar 63,34%.

(27)

77,33 74,00 71,98 32,44 0 10 20 30 40 50 60 70 80 Persent a se kont ribusi pem a nfaatan satwa obat (% )

Pemungut Pengumpul Peracik Penjual

Kategori

Gambar 16 Persentase kontribusi pemanfaatan satwa liar untuk obat terhadap penghasilan total keluarga.

Total penghasilan dari semua responden pada keempat kategori dalam satu bulan disajikan dalam Tabel 15.

Tabel 15 Total penghasilan masing-masing kategori setiap bulan No Kategori Junlah responden (orang) Besarnya penghasilan

(Rp/bulan) 1 Pemungut 30 17.404.500 2 Pengumpul 30 46.202.667 3 Peracik 30 47.475.500 4 Penjual 15 7.393.500 Total 105 118.476.167

Penghasilan yang diperoleh setiap bulannya adalah sebesar Rp. 118.476.167, yang berarti bahwa satwa liar sebagai sumber daya alam hayati telah menyumbangkan Rp. 118.476.167 bagi 105 keluarga dan telah menghidupi 435 orang untuk kehidupannya sehari-hari. Bila dikonversikan ke dalam tahun maka besarnya penghasilan dari pemanfaatan satwa liar adalah sebesar Rp.1.421.714.004/tahun.

Pembahasan

Karakteristik Responden

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat yang menekuni pekerjaan ini ada laki-laki dalam usia produktif, yang umumnya merupakan kepala keluarga. Hal ini dipengaruhi oleh waktu dan tantangan selama bekerja. Pemungutan satwa liar biasanya dilakukan malam hari di lokasi yang jauh dari pemukiman dan harus berhadapan dengan satwa liar yang terkadang

(28)

membahayakan keselamatan manusia. Menurut pengakuan para pemungut pencarian satwa kadang sampai keluar kabupaten dimana ia bertempat tinggal untuk mendapatkan satwa yang lebih banyak.

Perempuan sebagian besar bekerja sebagai peracik karena meracik bahan baku menjadi suatu masakan adalah keahlian perempuan dan mereka menerima bahan baku sudah berbentuk daging yang siap untuk dimasak. Perempuan juga bekerja sebagai penjual satwa di pasar burung karena satwa yang dijual di pasar burung biasanya bukan merupakan satwa yang berbisa dan membahayakan seperti codot, kalong, bajing, tupai dan jenis burung.

Penggunaan satwa untuk mengobati suatu penyakit sudah dikenal sejak jaman nenek moyang kita. Pengetahuan tentang penggunaan satwa sebagai obat telah digunakan secara turun menurun terutama di Propinsi Jawa Tengah yang sangat terkenal dengan jamu dan obat tradisionalnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan satwa sebagai obat telah menjadi suatu matapencaharian yang dijadikan sumber penghasilan mereka. Rendahnya pendidikan responden dan pengakuan bahwa pekerjaan ini merupakan turun temurun menunjukkan bahwa kebanyakan responden tidak memiliki keahlian lain sehingga alternatif pekerjaan lain tidak ada.

Keterkaitan hubungan yang erat antara masyarakat desa hutan dengan lingkungan sumberdaya hutan dalam perkembangannya mengalami pergeseran. Sumberdaya alam tidak semata-mata dianggap sebagai aspek keseimbangan kosmos tetapi sebagai aspek pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat. Kebutuhan ekonomi masyarakat desa meliputi aspek pendidikan, kesehatan, perumahan, pakaian, makanan dan hiburan yang semuanya hanya dapat dipenuhi melalui transaksi modern menggunakan media uang. Hal ini menyebabkan masyarakat berupaya memperoleh uang melalui cara yang cenderung berbeda dan bahkan bertentangan dengan pola interaksi dengan lingkungannya yang sudah terjalin selama ini, masyarakat telah merubah praktek pemanfaatan sumberdaya alam ke arah praktek yang eksploitatif (Nugraha & Murtijo 2005).

Pemanfaatan sumberdaya alam yang eksploitatif menyebabkan tekanan yang besar terhadap kelestarian satwa liar obat. Oleh karena itu perlu dilakukan kegiatan yang lebih dapat memberdayakan masyarakat sehingga masyarakat

(29)

mempunyai alternatif lain untuk menghidupi kebutuhannya sehari-hari. Menurut Sudarmadji (2002a) jika upaya pemberdayaan masyarakat tersebut telah berhasil, maka masyarakat akan memiliki kesadaran dan kepedulian terhadap lingkungannya. Strategi yang efektif dalam pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan melalui suatu kegiatan kerjasama antara pihak pengelola kawasan konservasi, Perguruan tinggi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Diharapkan dari upaya ini masyarakat dapat lebih berperan aktif dalam kegiatan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, sehingga pada akhirnya kesejahteraan masyarakat dapat meningkat pula (Sudarmadji 2002b).

Berdasarkan hasil survey yang dilakukan dapat diketahui secara umum masyarakat pemanfaat sudah tahu tentang adanya undang-undang yang mengatur tentang perlindungan satwa walaupun mereka tidak tahu persis undang-undang apa yang mengaturnya. Tetapi pada kategori pemungut sebagian besar responden (63,33%) belum tahu adanya undang-undang ataupun peraturan yang mengatur tentang perlindungan satwa (Lampiran 2). Sebagian besar masyarakat (75,24%) juga sudah tahu beberapa jenis satwa yang dilindungi undang-undang.

Pengetahuan masyarakat tentang konservasi diduga ada hubungannya dengan tingkat pendidikan formal yang berhasil diselesaikan oleh responden. Diduga semakin tinggi tingkat pendidikan akan semakin tinggi juga pengetahuan tentang konservasi. Dari uji statistika dengan chi-square terhadap pengetahuan masyarakat tentang adanya peraturan pemerintah tentang perlindungan satwa menunjukkan X2hitung = 17,125 dan X2tabel (0,05; df = 4) = 9,49, sehingga X2hitung

>X2tabel , yang artinya pengetahuan konservasi tiap kelompok pendidikan berbeda

nyata pada taraf uji 0,05 (Pvalue= 0,02). Setelah diadakan uji lanjutan terhadap

persentase banyaknya responden yang mengetahui tentang adanya peraturan pemerintah itu maka semakin tinggi tingkat pendidikan semakin tinggi pula persentase responden yang mengetahui peraturan pemerintah tentang perlindungan satwa seperti terlihat pada Gambar 17.

Sebagian dari masyarakat belum pernah mendapatkan penyuluhan tentang perlindungan satwa, yang dimaksud penyuluhan disini adalah segala informasi yang terkait dengan perlindungan satwa yang disampaikan kepada masyarakat baik secara langsung maupun lewat media elektronik oleh pihak-pihak yang

(30)

0 20 40 60 80 100 120 Tidak tamat SD SD SMP SMA PT Tingkat pendidikan p e rsen tase (% ) Tahu Tidah tahu 10 53,33 53,33 73,33 90 26,67 46,67 46,67 0 20 40 60 80 100

Pemungut Pengumpul Peracik Penjual

Kategori P e rsentase re sponden (% )

Pernah mendapatkan penyuluhan Tidak pernah mendapatkan penyuluhan

terkait. Pada kategori pengumpul, peracik dan penjual persentase jumlah responden yang pernah mendapatkan penyuluhan lebih banyak daripada responden yang tidak pernah mendapatkan penyuluhan (Gambar 18).

Gambar 17 Persentase banyaknya responden yang tahu dan tidak tahu tentang jenis-jenis satwa yang dilindungi undang-undang.

Gambar 18 Perbandingan persentase jumlah responden yang pernah dan tidak pernah mendapatkan penyuluhan.

Persentase jumlah responden yang pernah mendapatkan penyuluhan pada kategori penjual mempunyai nilai yang paling besar (73,33%) karena para penjual biasanya berkumpul di suatu lokasi seperti pasar burung ataupun suatu komplek sehingga pemberian penyuluhan lebih mudah dilakukan. Kegiatan penyuluhan tentang perlindungan satwa yang dilakukan oleh Balai KSDA Jawa Tengah sebagian besar dilakukan kepada penjual di pasar burung. Untuk kategori pengumpul dan peracik mempunyai nilai yang sama dalam persentase responden pernah mendapatkan penyuluhan yaitu 53,33%, sedangkan untuk pemungut hanya

(31)

10% saja responden yang pernah mendapatkan penyuluhan. Hal ini disebabkan karena daftar tentang pemungut satwa liar belum tercatat pada instansi terkait dan kebanyakan pemungut bertempat tinggal di pelosok desa yang sulit untuk dijangkau sehingga penyuluhan pada para pemungut belum dilakukan secara khusus.

Meskipun lebih dari separo jumlah responden (56,19%) yang tidak pernah mendapatkan penyuluhan tentang perlindungan satwa namun semua responden (100%) menyatakan bahwa pelestarian satwa itu perlu, dengan alasan agar satwa liar untuk obat tetap ada dan matapencaharian mereka tetap tersedia untuk bisa menghidupi kebutuhan keluarga mereka. Walaupun mereka menyatakan bahwa perlu dilakukan pelestarian satwa namun dalam pelaksanaannya kadang mengabaikan asas kelestarian dan peraturan yang ada. Mereka masih memperdagangkan satwa liar yang dilindungi undang-undang walaupun mereka tahu itu dilarang.

Sebagian masyarakat beranggapan bahwa satwa itu telah sejak lama mereka manfaatkan dan sampai sekarang masih tetap ada jadi menurut mereka satwa akan terus ada dan tidak akan menjadi langka. Untuk jenis penyu, beberapa peracik mengharapkan agar jenis itu boleh ditangkap. Persepsi masyarakat perlu menjadi pertimbangan dalam melakukan upaya pelestarian satwa. Disinilah peranan kesadaran konservasi, ternyata pengetahuan konservasi saja tidak cukup untuk mencegah pemanfaatan satwa liar obat dengan tidak lestari.

Pemanfaatan Satwa Liar sebagai Obat oleh Masyarakat Jenis satwa yang digunakan dan status konservasinya

Dari hasil wawancara dengan pemanfaat satwa liar obat diperoleh sebanyak 54 jenis satwa yang digunakan sebagai obat dan 42 jenis satwa liar diantaranya adalah vertebrata. Pemanfaatan satwa liar sebagai obat bukan hanya ditemukan di Indonesia. Pada penelitian di Sungai Cuba, Malaysia ditemukan 16 spesies satwa obat (Mohamed et.al 2002), di 17 negara di Afrika Timur dan Afrika Selatan terdapat 100 jenis satwa untuk pengobatan tradisional ( Marshall 1999) dan 97 spesies tercatat dari penelitian pada 5 kota di Brazilia (Alves &Rosa 2007a), 1500 jenis satwa digunakan dalam pengobatan tradisional Cina (Alves & Rosa 2005),

(32)

100 97 15 15 1500 54 180 100 0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 Lokasi Jum lah j e ni s sat w a obat (j en is )

Afrika Timur dan Selatan Brazilia

TN Ranthambore India Rajasthan India

China Jawa Tengah

Bahia, Brazilia Maranhao &Paraiba, Brazilia

15 jenis ditemukan di Taman Nasional Ranthambore India (Mahawar et al. 2006) dan 15 jenis ditemukan di Rajasthan India (Mahawar et al. 2007). Pada penelitian di Bahia, Brazilia tercatat lebih dari 180 satwa obat dan 100 spesies satwa tercatat digunakan dalam pengobatan di Paraiba, Brazilia (Alves & Rosa 2006) (Gambar 19).

Gambar 19 Jumlah jenis satwa yang digunakan untuk pengobatan pada berbagai lokasi di beberapa negara.

Dari Gambar 19 terlihat bahwa China mempunyai jumlah jenis satwa yang paling banyak digunakan untuk bahan pengobatan. Pengobatan tradisional di China sudah diakui oleh World Health Organisazion (WHO) (CITES 1997) dan diterima oleh seperempat penduduk dunia (Alves & Rosa 2005).

Dari 42 jenis satwa yang ditemukan, reptilia mempunyai jenis yang paling banyak diyakini dapat menyembuhkan penyakit yaitu 21 jenis terutama jenis ular, terbanyak kedua adalah mamalia (11 jenis) dan pisces (4 jenis). Berbeda dengan penelitian di Brazilia (Alves & Rosa 2007a) yang menemukan mamalia sebagai jenis yang paling banyak digunakan (27 jenis), walaupun jumlah jenis reptilia pun cukup banyak yaitu 24 jenis (peringkat ke-2) dan pisces pada tempat ketiga (16 jenis) mewakili bagian terbesar dari jenis yang digunakan sebagai obat. Penelitian serupa di Chakeshang-Nagaland juga menemukan mamalia sebagai jenis yang paling banyak digunakan untuk pengobatan (12 jenis), baru kemudian amphibia (2 jenis), burung serta reptilia masing-masing 1 jenis.

Selain satwa yang diyakini bisa digunakan untuk mengobati penyakit secara umum, dari informasi masyarakat terdapat beberapa jenis satwa yang sering

(33)

digunakan untuk tujuan magic seperti burung gagak (Corvus sp.) dan kukang (Nycticebus coucang). Pemakaian satwa liar untuk magic walaupun tidak sebesar jumlah satwa yang digunakan untuk pengobatan namun menjadi satu hal yang harus diwaspadai.

Lima jenis satwa masuk dalam daftar dilindungi undang-undang adalah: trenggiling, rusa, penyu hijau, landak dan buaya muara. Satwa liar masuk dalam kategori dilindungi undang-undang bila memenuhi beberapa kriteria yaitu mempunyai populasi yang kecil, adanya penurunan yang tajam pada populasi di alam dan daerah penyebaran yang terbatas (endemik), sehingga wajib dilakukan upaya konservasinya. Satwa tersebut dilarang untuk ditangkap, dilukai, dibunuh, disimpan, dipelihara ataupun diperdagangkan baik dalam keadaan hidup maupun mati. Dari kelima jenis tersebut yang ditangkap dari wilayah Propinsi Jawa Tengah hanya empat jenis yaitu trenggiling, rusa, penyu hijau dan landak, sedangkan buaya dikirim dari Papua dalam bentuk simplisia (tangkur).

Trenggiling diperdagangkan secara illegal dan tersembunyi. Informasi dari beberapa responden diduga trenggiling dijual ke pengumpul di Cirebon dan Jakarta. Menurut Marshall (1999) trenggiling digunakan dalam pengobatan tradisional di Afrika untuk diambil sisik dan darahnya dan dipercaya dapat menyembuhkan penyakit jantung. Landak (Gambar 20) dijual dalam bentuk racikan yang berupa masakan khas seperti rica-rica, sate, dan daging landak goreng, bahkan tempat penjualannya sudah menetap berupa sebuah rumah makan di Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar dan di Getasan, Kabupaten Semarang.

Gambar 20 Landak (Hystrix brachyura), salah satu satwa yang dilindungi undang- undang yang dipercaya mempunyai khasiat obat.

(34)

Penyu banyak ditangkap karena hampir semua bagian tubuh penyu dapat dijual, lemak diolah menjadi minyak penyu, daging dijual untuk makanan khas dan kulitnya sebagai bahan baku kerajinan, semuanya itu memberikan nilai tambah dalam pemanfaatan penyu (Supriadi 1992). Obat tradisional dari penyu banyak dijual di Taman Hiburan Rakyat Teluk Penyu Cilacap. Penyu hijau juga merupakan sumber pengobatan yang penting di Brazilia (Alves & Rosa 2006). Di Kenya minyak penyu hijau dipercaya dapat mengobati kurang lebih 40 jenis penyakit dari scabies sampai TBC. Spesies ini merupakan salah satu spesies yang menjadi prioritas untuk dikonservasi di Eritrea, Kenya and Tanzania (Marshall 1999).

Para peracik dan penjual produk yang berbahan baku penyu sudah banyak yang mengetahui kalau penyu itu dilindungi undang-undang dan tidak boleh diperjualbelikan serta sangsi yang berat jika mereka melanggarnya, sehingga mereka tidak menjualnya lagi secara terang-terangan. Menurut mereka produk-produk yang ada sekarang hanyalah sisa produk-produk yang belum laku dijual, namun hal ini tidak bisa sepenuhnya dipercayai karena jumlah produk yang mereka jual masih cukup banyak.

Selain lima jenis yang dilindungi undang-undang terdapat 15 jenis masuk dalam apendiks CITES, 1 jenis apendiks I, 12 jenis apendiks II dan 2 jenis masuk dalam apendiks III. Suatu jenis masuk apendiks I apabila populasinya di alam sudah terancam punah, perdagangan jenis ini harus melalui peraturan khusus yang ketat dalam rangka tidak menambah keterancaan dari kelangsungan hidupnya dan hanya diijinkan dalam keadaan yang eksepsional. Jenis yang masuk apendiks II adalah jenis yang populasinya di alam saat ini belum terancam kepunahan namun dapat menjadi terancam punah bila perdagangannya tidak dikendalikan. Sedangkan apendiks III berarti bahwa jenis yang oleh suatu negara tertentu diinginkan untuk dikontrol secara internasional melalui mekanisme CITES (Direktorat KKH 2006; Biro H&O 2003). Satwa yang terdaftar dalam apendiks II dan III CITES perdagangannya diatur dengan kuota dan harus disertai dokumen yang diterbitkan oleh pemerintah.

Penyu hijau tercatat dalam kategori “genting” dalam Red List of Threatened Species IUCN , yaitu mengalami penurunan jumlah populasi yang tajam lebih dari

(35)

50% selama 10 tahun atau 3 generasi. Kura-kura, katak saklon, landak dan hiu botol masuk kategori “rentan” yang berarti telah mengalami penurunan tajam (>30%) selama 10 tahun atau 3 generasi. 12 jenis satwa lain tercatat dengan kategori “beresiko rendah”, yaitu telah dilakukan evaluasi namun tidak memenuhi kriteria dalam kategori kritis, terancam punah, rentan atau nyaris terancam (IUCN 2001).

Dalam pemanfaatan satwa liar untuk obat, masih banyak masyarakat yang menyimpang dari aturan-aturan yang sudah ditentukan, mereka masih menangkap dan memperdagangkan satwa yang dilindungi undang-undang dan melakukan perdagangan satwa liar yang masuk daftar apendiks CITES tanpa dokumen yang sah.

Penangkapan Satwa

Semua pemungut menyatakan bahwa satwa berasal dari penangkapan di habitat aslinya di alam. Cara penangkapan satwa sebagian besar masih dengan cara alami (ditangkap tangan), penangkapan dinilai masih aman dan tidak begitu membahayakan kelangsungan regenerasi satwa liar tersebut.

Adanya kriteria satwa yang dijual di pasaran secara tidak langsung telah menyeleksi ukuran satwa yang boleh ditangkap dari alam, kriteria yang biasa dipakai adalah panjang satwa. Namun dalam kenyataannya masih terdapat pemungut yang tidak menggunakan kriteria tersebut dalam penangkapan satwa, karena satwa yang tidak masuk dalam kriteria masih laku dijual walaupun dengan harga yang sangat rendah. Penangkapan satwa-satwa yang masih kecil akan mengganggu proses regenerasi satwa dan merupakan ancaman terhadap kelestarian satwa.

Dari Tabel 9 dapat diketahui bahwa satwa liar yang paling banyak ditangkap adalah tokek dengan volume 974.880 ekor/tahun. Bila dilihat dari kuota wilayah Propinsi Jawa Tengah tahun 2006, kuota untuk jenis ini hanya 7000 ekor, berarti pengambilan di alam adalah 139 kali lebih banyak dari kuota yang ditetapkan. Demikian juga dengan ular koros dan ular kobra kuota wilayah untuk Propinsi Jawa Tengah adalah 500 (kering) dan 1500 (hidup) dan ular kobra adalah 65.000 (kulit) dan 100 (hidup), tetapi dalam satu tahun pengambilannya di alam sekitar

(36)

974.880 7.000 170.808 2.000 130.896 65.100105.60027.500 0 100.000 200.000 300.000 400.000 500.000 600.000 700.000 800.000 900.000 1.000.000 Jum lah (ekor)

Tokek Ular koros Ular kobra Cicak

Jenis satwa

Jumlah penangkapan/tahun Kuota jateng Th 2006

130.896 ekor, 2 kali lipat kuota (Gambar 21). Jumlah satwa yang ditangkap sebagian besar jauh melebihi kuota yang ditentukan.

Gambar 21 Perbandingan jumlah jenis satwa ditangkap setiap tahun dengan kuota tangkap Jawa Tengah tahun 2006.

Menentukan tingkat pemanenan satwa secara lestari diperlukan untuk kepentingan manusia dan kelestarian satwa. Penentuan kuota sering tidak berdasarkan data yang akurat tentang potensi tiap jenis satwa pada masing-masing wilayah beserta informasi biologi dan ekologinya. Tetapi penentuan tersebut masih sulit dilakukan karena kurangnya survey populasi dan penelitian dinamika populasi suatu spesise di suatu daerah tertentu. Untuk menentukan kuota panen satwa liar yang bisa ditangkap diperlukan berbagai penelitian untuk memperoleh jumlah panenan yang lestari dalam setiap tahunnya. Menurut Webb dan Vardon (1998) pemanenan yang kurang dari batas maksimum (Maximum Sustainable Yield, MSY) secara teoritis merupakan pemanenan yang lestari, sedangkan penangkapan pada dekat MSY bersifat riskan.

Kerusakan habitat dan penangkapan satwa liar yang mengesampingkan asas konservasi akan mempercepat laju penurunan jumlah populasi, dan bila hal ini dilakukan dalam jangka panjang maka kemungkinan kepunahan suatu spesies akan semakin besar (Webb & Vardon 1998). Saat ini sangat sedikit sekali informasi dasar mengenai biologi populasi dari jenis-jenis yang dipanen, jenis kelamin dan ukurannya (Iskandar 1998; Boeadi 1998), sehingga menyulitkan dalam menduga dampak pemanenan terhadap populasi satwa. Penangkapan

(37)

sepanjang tahun diduga akan mengganggu proses perkembangbiakan satwa baik proses kawin, bertelur, menetas, mengerami ataupun mengasuh anak.

Walaupun demikian ada beberapa jenis satwa liar yang tampaknya mampu bertahan ditengah tekanan pemanenan. Dalam satu seri penelitian mengenai pemanenan ular piton dan biawak di Indonesia pada tahun 1990an terlihat bahwa populasi dari jenis-jenis tersebut mampu bertahan dari tekanan pemanenan secara terus menerus karena sifat hidup mereka yang memiliki pertumbuhan cepat, mampu kawin (dewasa) dalam usia muda, jumlah anakan yang tinggi dan kemampuan mereka beradaptasi untuk hidup di lingkungan sekitar manusia (Shine et al. 1996,1998a; Boeadi et al. 1998). Menurut Shine et al. (1998b) dari penelitian yang dilakukan di Sumatera Utara dan Palembang dapat diketahui bahwa proses reproduksi biawak berlangsung selama satu tahun dengan intensitas yang menurun pada bulan kemarau (Maret-Juni), hewan betina mampu menghasilkan banyak sarang dengan 6 hingga 17 telur per tahun. Jenis hewan yang dimangsa biawak diantaranya adalah kucing, tikus, ayam, serangga dan kepiting. Biawak mempunyai perbedaan morfologi dan ekologi yang relatif kecil di seluruh wilayah Sumatra, hal ini akan mempermudah dalam proses penyusunan sistem manajemen yang tepat untuk pemanfaatannya secara komersial.

Dari beberapa hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa informasi biologi satwa sangatlah penting untuk penentuan pemanfaatan yang lestari, namun data tentang biologi satwa yang dipanen oleh para pemungut belum banyak diketahui sehingga jumlah pemanenan satwa dan dampaknya belum dapat diketahui secara pasti. Maka dari itu masih banyak dibutuhkan penelitian tentang satwa liar terutama satwa liar obat yang menyangkut informasi ilmiah dan teknis lain tentang populasi dan habitat, data dasar tentang bioreproduksi dan pola reproduksi satwa.

Bagian Satwa, Kegunaan dan Cara Penggunaannya Sebagai Obat

Terdapat 23 bagian satwa yang digunakan untuk bahan ramuan obat tradisional. Daging merupakan bagian yang paling banyak digunakan (24,04%), empedu (14,42%), semua bagian (10,58%), hati (8,65%) dan minyak (8,65%). Berdasarkan informasi dari masyarakat, 42 jenis satwa liar tersebut dipercaya bisa

(38)

menyembuhkan sekitar 50 macam penyakit yang tergolong dalam 21 kelompok penyakit. Sekitar 14,49% (20 jenis) satwa dipercaya dapat mengobati kelompok penyakit saluran pernafasan (asthma, TBC, batuk, step, paru-paru), 13,04% (18 jenis) untuk penyakit kulit dan 10,14% (14 jenis) untuk penambah stamina dan nafsu makan.

Tidak jauh berbeda dari hasil penelitian ini, 97 spesies satwa yang ditemukan pada penelitian di Brazilia digunakan untuk mengobati 82 macam penyakit dan penyakit yang paling banyak adalah penyakit yang terkait dengan pernafasan (58 jenis), sistim osteomuscular dan jaringan/tisu konjunktif (46 jenis), dan sistem peredaran (34 jenis) (Alves & Rosa 2007a). Di Rajasthan India, dari 15 jenis satwa digunakan untuk menyembuhkan 19 macam penyakit diantaranya adalah batuk, asthma, TBC, paralysis (kelumpuhan), sakit telinga, herpes, kurang tenaga, sakit otot dan sebagainya. Sementara itu, catatan farmakologi tradisional yang telah disusun di Vietnam oleh Weitzell (Adisoemarto 1998), menunjukkan bahwa hampir semua bagian tubuh binatang dapat dimanfaatkan dalam pengobatan, dan masing-masing mempunyai kegunaan yang khas.

Bagian satwa yang digunakan dalam pengobatan tradisional tersebut hampir semuanya didapat dengan membunuh satwa, hanya ada beberapa bagian yang bisa didapat tanpa membunuh seperti: bisa, sarang, madu dan tanduk (ranggah). Pemanfaatan bagian-bagian satwa yang tidak harus membunuh satwa lebih menjamin kelestarian satwa daripada pemanfaatan bagian tubuh satwa yang hanya bisa didapat dengan membunuh.

Sebagian besar bagian tubuh satwa dikonsumsi dengan cara dimakan. Ada beberapa bagian satwa yang dikonsumsi dalam bentuk mentah seperti darah, empedu, sumsum, hati dan sebagainya. Bila ditinjau dari segi kesehatan pemanfaatan bagian satwa yang masih mentah sangat mengkhawatirkan. Banyak penyakit yang dapat ditularkan oleh satwa kepada manusia (zoonoses). Sekitar 94% reptil mengandung Salmonella spp. yang merupakan agen utama penyakit pada reptil, Salmonella juga dapat menyerang dan mematikan manusia (Chiodini 1982; Chiodini & Sunberg 1981). Beberapa organ dan jaringan termasuk tulang dan empedu dapat menjadi sumber dari Salmonella yang dapat menyebabkan diare kronis dan endotoxic shock. Kemungkinan penularan dan meluasnya

(39)

zoonoses seperti TBC atau rabies harus dipertimbangkan saat menggunakan jaringan tubuh satwa dalam pengobatan (Schnurrenberger & Hubbert 1981; Still 2003). Kemungkinan keracunan atau alergi terhadap produk-produk dari satwa juga harus diperhatikan (Alves & Rosa 2007b).

Pemanfaatan satwa liar obat yang dilakukan oleh masyarakat Jawa Tengah sebagian besar masih bersifat tradisional. Mereka menggunakan satwa untuk obat karena pengetahuan turun menurun yang mereka dapat dari orang tua maupun lingkungannya, belum ada yang bisa membuktikan secara ilmiah apakah benar satwa itu mengandung suatu zat yang dapat menyembuhkan suatu penyakit, atau hanya sugesti saja sehingga orang itu sembuh dari sakit yang dideritanya Pemakaian satwa tersebut disebut dengan jamu, yaitu penggunaan obat bahan alam yang disediakan secara tradisional, misalnya dalam bentuk serbuk seduhan, pil, dan cairan yang berisi seluruh bahan tanaman/hewan yang menjadi penyusun jamu tersebut dan digunakan secara tradisional. Bentuk jamu tidak memerlukan pembuktian ilmiah sampai dengan klinis, tetapi cukup dengan bukti empiris saja.

Selain penggunaan sebagai jamu, bahan obat dari satwa ternyata sudah ada yang mengalami sedikit perkembangan, sebagai contoh adalah ikan kutuk (gabus). Zat yang terkandung dalam ikan kutuk telah diteliti oleh seorang ahli gizi di Indonesia dan sudah menjalani beberapa uji klinis. Ikan kutuk banyak mengandung albumin yang bisa dijadikan suplemen makanan yang berfungsi menjaga metabolisme tubuh, menaikkan kadar albumin, dan mempercepat pemulihan kesehatan. Ikan gabus diracik sedemikian rupa, dibuat serbuk, kemudian dimasukkan dalam kapsul. Hampir semua pasien berkadar albumin rendah yang diberi suplemen dari ikan gabus ini, kadar albuminnya naik lebih cepat dibandingkan pemberian albumin lewat infus. Bahkan, pasien berkadar albumin rendah yang diikuti komplikasi penyakit lain seperti TBC, diabetes, patah tulang, stroke, hingga HIV/AIDS, kondisinya bisa lebih baik dengan pemberian kapsul ikan kutuk (Taslim 2007). Berdasarkan penelusuran peneliti, sari ikan kutuk (gabus) sudah menjadi produk yang dijual di apotik dan sebuah café diet sebuah rumah sakit swasta di Surakarta.

Ikan hiu botol juga sudah diteliti kandungan zat aktifnya oleh Dr. Mistumaru Tsujimoto pada tahun 1906 dan diketahui mengandung squalene. Pada tahun 1931

(40)

Prof. Calour dari Universitas Zurich menemukan bahwa squalene merupakan lipoprotein, hidrokarbon tidak jenuh dengan struktur kimia C3OH5O. Squalene mempunyai manfaat untuk menjaga kesehatan dan kebugaran tubuh, tetapi dapat dipakai juga untuk pengobatan berbagai jenis penyakit seperti liver, diabetes, penyembuh luka, letih lesu, pegal linu, meningkatkan ketahanan tubuh dan menyembuhkan kanker (Smith 1995; Budiarso 2007). Namun berdasarkan penelitian Asnis et al. (1993) telah ditemukan fungsi liver yang tidak normal pada pasien yang mengkonsumsi squalene selama satu tahun. Orang-orang yang bergerak di bidang kesehatan sebaiknya berhati-hati dalam penyebarluasan penggunaan squalene pada masyarakat karena penggunaan squalene memungkinkan terjadinya pneumonia dan kemungkinan keracunan pada liver.

Selain ikan kutuk dan hiu botol, katak juga sudah pernah diteliti kandungan zat aktifnya. Prof. Vittorio Erspamer (Universitas Remo, Italia) dan Dr. Robert Endean (Universitas Queensland) menemukan zat yang bernama Caerulein pada katak dan sekarang sudah dibuat sintesisnya (Ceruletid, Takus, Ceosunin, cerulex dan Tymtran). Zat ini berguna untuk menurunkan tekanan darah, mengendurkan usus karena pengaruh operasi perut, mengerutkan kandungan empedu untuk membuat lebih jelas nampak pada sinar X (Cholescystography) dan menstimulir zat asam mengalir ke dalam perut (Bertaccini et al. 1968; Depkes 1986; Tyler 2007). Caerulein juga ditemukan pada kelenjar dalam kulit beberapa katak

(Montecucchi 1977; Rajchard 2005), zat ini aktif pada otot-otot halus dan

berfungsi sebagai penahan rasa sakit (Rajchard 2005) Selain itu caerulein juga dapat meringankan penderitaan schizophrenia kronis (Moroji et al. 1982; Watanabe et al. 1984).

Dengan ilmu dan teknologi maka dapat dilakukan pencarian secara sistematik terhadap suatu senyawa (biokimia) yang dapat bernilai komersial (bioprospecting), diantaranya adalah sebagai bahan pengobatan. Di Indonesia walaupun pemanfaatan satwa untuk pengobatan secara tradisional telah dilakukan sejak beberapa abad yang lalu, namun catatan resmi jarang atau bahkan tidak ditemukan. Pemanfaatan jenis dan bagian tubuh serta cara dan untuk apa (tujuan pemanfaatan) satwa dimanfaatkan dalam pengobatan masih diketahui masyarakat

Gambar

Gambar 2  Persentase  responden berdasarkan jenis kelamin.
Gambar 4  Persentase sebaran responden berdasarkan jumlah anggota  keluarga   5,71 14,2945,7113,3317,143,81 Tidak sekolah Tidak Tamat SDSDSMPSMU Perguruan Tinggi
Tabel 5  Jenis satwa yang digunakan sebagai obat di Jawa Tengah
Gambar 6  Jumlah jenis satwa liar yang digunakan sebagai obat pada masing-  masing kelas
+7

Referensi

Dokumen terkait

Model kuantitatif yang digunakan untuk memperkirakan potensi kerugian maksimum pada portofolio bank dalam risiko pasar disebut:.. Credit

Walaupun bagian jangka panjang MPS dapat diubah berdasarkan perubahan kondisi pasar, rencana produksi harus tetap untuk beberapa minggu ke depan agar dapat

Program ini berisi perintah untuk melakukan simulasi random number serta memanggil beberapa subroutine yang berfungsi untuk dan menjalankan proses evolusi meneruskan evolusi hingga

Menurut Carter dan Usry (2006:58) “Biaya tetap adalah sebagai biaya yang secara total tidak berubah saat aktivitas bisnis meningkat atau menurun”. Jika dalam semua aktivitas

Peran filologi sangat penting dalam usaha penanganan naskah, yang meliputi perbaikan huruf dan bacaan, ejaan, bahasa, tata tulisnya, kemudian menyunting dan

mempertimbangkan kondisi ketidakpastian (seperti intensitas kompetisi pasar) untuk mendesain dan mengimplementasikan suatu sistem akuntansi managemen yang menyediakan informasi

perusahaan selama empat tahun menun- jukkan bahwa modal kerja bersih perusa- haan masih belum efektif dari tahun 2009 sampai 2012 mengalami penurunan modal kerja bersih

Analisa aliran daya dalam sistem tenaga listrik digunakan untuk menentukan parameter-parameter sistem tenaga listrik. Proses perhitungannya sendiri terkait dengan masalah