ISLAM DARI KALI CODE
KALI Code adalah simbol komunitas sosial yang sarat pertaruhan. Secara ekonomi lemah. Secara budaya dianggap marginal, terpinggirkan. Secara politik tak bertuan. Di masa Orde Baru, masyarakat di sepanjang pinggiran sungai yang membelah kota Yogyakarta itu, cenderung menjadi simbol keberadaan Wong Cilik
(masyarakat kelas bawah) yang tak tersapa pembangunan. Bahkan, menjadi korban pembangunan yang cenderung memihak golongan masyarakat kelas atas. Dari Kali Code yang mewakili masyarakat wong cilik itulah, lahir sosok pastor Mangunwijaya. Seorang tokoh Katholik yang populis, yang menjadi “bapak” masyarakat Kali Code. Romo Mangun, begitu pastor yang juga budayawan itu dipanggil, bahkan identik dengan Kali Code. Itu logis, karena di mata publik terlihat kegigihan Mangunwijaya dalam melayani dan membela masyarakat setempat dengan sepenuh hati dan pengabdian.
Ironisnya, persis di atas pinggir Kali Code di sudut Kota Baru, berdiri masjid tua yang terkenal, Masjid Syuhada. Sebuah Masjid yang menjadi kebanggaan masyarakat muslim kota Gudeg, selain Masjid Besar Kauman. Masjid yang aktivitas keagamaan dan kajian intektualnya sangat terkenal. Asumsinya, tokoh-tokoh dan aktivis muslim yang menjadi komunitas Masjid Syuhada itu, tentu peduli dan kemudian melakukan gerakan da’wah yang partisipatif bagi masyarakat Kali Code.
Kita tak tahu persis, bagaimana sumbangan komunitas muslim Masjid Syuhada terhadap saudara-saudaranya di sepanjang pinggiran Kali Code itu. Beberapa tahun silam, sempat seorang mubaligh Muhammadiyah yang cukup kenamaan dan juga dikenal aktivis Masjid Syuhada, sempat menjamah Kali Code. Dia adalah Drs. Asnawi Harahap, yang juga Pimpinan Muhammadiyah Daerah. Seorang pendatang dari tanah Seberang (Tapanuli Selatan, Sumatera Utara), tetapi sangat populis dan akrab dengan masyarakat setempat. Sayang, Allah menghendaki lain, dan Pak Asnawi meninggalkan kita dengan rintisan da’wah di Kali Code yang belum begitu lama dijalaninya.
Boleh jadi, masih banyak masyarakat lokal senasib dan setipe dengan komunitas Kali Code di seluruh penjuru Tanah Air. Mereka mewakili kaum dhu‘afa dan
rnustadh‘afin, dan mungkin mu’allaf dalam keberagamaan. Tapi, mereka muslim. Selebihnya, masyarakat wong cilik ini juga memerlukan gapaian da’wah yang membebaskan. Da’wah yang mencerahkan, yang membawa mereka dan lorong gelap kehidupan akibat korban ketimpangan sistem menuju cahaya baru yang membuat mereka hidup lebih baik.
membebaskan dan membawa perubahan dalam hidup mereka. Bahkan, siapa tahu komunitas seperti mereka dianggap “bukan Islam” oleh arus besar kaum muslimin yang tergolong santri, lebih-lebih ketika disekat oleh ideologi politik.
Tetapi ada yang menarik dan Kali Code saat ini. Hampir setiap blok dan utara sepanjang Gondolayu hingga ke selatan sampai ke Karangkajen, banyak masjid asri yang juga tampak ada kehidupan di dalamnya. Masjid-masjid itu tentu lahir dari dinamika keagamaan dan masyarakat setempat. Suatu panorama yang tentu saja menggembirakan. Di luar itu, kini malah tumbuh ambisi tertentu untuk menjadikan Kali Code sebagai wilayah bersih di Yogyakarta. Tentunya bukan sekadar fisik, tetapi kehidupan masyarakatnya secara lebih luas. Kali Code sedang bergerak ke masa depan.
Namun terbersit pertanyaan bernada gugatan. Seberapa jauh organisasi-organisasi da’wah seperti Muhammadiyah peduli dan menjadi bagian dari gerak ke depan masyarakat Kali Code itu? Akankah sekadar menjadi penonton, apalagi menonton dari kejauhan. Atau mencoba mengambil peran baru sebagai pelaku untuk
menemani dan menyantuni masyarakat Kali Code meraih masa depannya yang cerah.
Gerakan da’wah tak boleh asing dan denyut kehidupan masyarakat dhu‘afa dan
mustadh‘afin. Apalagi menganggap mereka sebagai orang lain, orang asing. Adakah kini gerakan da’wah memulai untuk masuk ke dunia masyarakat seperti di Kali Code? Di mana sebenarnya tempat mereka dalam peta sosiologi da’wah gerakan-gerakan Islam seperti Muhammadiyah? Adakah Muhammadiyah sendiri akrab dengan komunitas yang mewakili Wong Cilik semacam itu? Banyak tanya yang memerlukan jawaban. Bukan sekadar jawaban bi-lisan. Tetapi, dengan da’wah bil-hal. Sebutlah da’wah kultural! (Abu Nuha)
---Sumber: