• Tidak ada hasil yang ditemukan

Modernisme Islam di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Modernisme Islam di Indonesia"

Copied!
3
0
0

Teks penuh

(1)

Modernisme Islam di Indonesia

Suatu Tinjauan Historis

Oleh Irfan Anshory

Latar Belakang

DALAM al-Qur'an terkandung penegasan bahwa kaum Muslimin merupakan "kelompok terbaik di antara manusia" (khaira ummatin ukhrijat li n-nas), dan agama Islam diturunkan Allah "untuk diunggulkan-Nya di atas semua agama" (liyuzh-hirahu 'ala d-dini kullih). Janji Allah di atas, menurut keyakinan umat Islam, terbukti dengan kenyataan bahwa sebagian besar halaman sejarah Islam selama 14 abad diwarnai oleh ekspansi dan kemenangan. Hanya satu abad sesudah wafatnya Nabi Muhammad saw, kekuasaan Islam membentang dari Spanyol sampai Xinjiang. Meskipun psuat kekhalifahan di Baghdad dihancurkan oleh Mongol, dengan takdir Allah laskar penakluk ini berduyun-duyun masuk Islam, lalu keturunan mereka menegakkan kesultanan Moghul di India. Ketika umat Islam terusir dari Spanyol, muncul kesultanan Turki yang menguasai daerah Balkan sampai awal abad ke-20. Bahkan ketika hegemoni politik Islam mulai redup, Islam melalui jalur perdagangan tersebar luas di Asia Tenggara dan Pantai Timur Afrika.

Pengalaman sejarah tersebut menimbulkan semacam tesis di kalangan umat Islam bahwa kemenangan dan kesuksesan itu akan terus dijamin oleh Allah selama mereka berpegang teguh kepada ajaran agama. Jika umat Islam mengalami kekalahan atau kemunduran, mereka segera ingat kepada firman suci bahwa "masa-masa kejayaan dipergilirkan di antara manusia" (tilka l-ayyamu nudawiluha baina n-nas). Ketika roda sejarah sedang berputar ke bawah, di kalangan umat Islam selalu bermunculan tokoh-tokoh yang mengumandangkan seruan "kembali kepada ajaran al-Qur'an dan Sunnah Nabi". Pada masa kelumpuhan peradaban Islam akibat serangan dahsyat bangsa Mongol, terukirlah nama Taqiyuddin ibn Taimiyyah, penuh keterbukaan, dan jauh dari perpecahan. Ibn Taimiyyah menghimbau seluruh pemikir dan ulama untuk mengintegrasikan aspek-aspek teologi (kalam), hukum (fiqh), rasionalitas (falsafah) dan kesufian

(tasawuf) menjadi suatu kebulatan ajaran yang berlandaskan al-Qur'an dan Sunnah Nabi. Tokoh semacam Ibn Taimiyyah ini dalam terminologi umat Islam disebut mujaddid (pembaharu, reformis), dan gerakan atau pemikiran yang dicanangkannya dinamakan tajdid (pembaharuan, reformasi). Istilah-istilah tersebut dijabarkan dari sebuah hadits yang memberitakan isyarat Nabi Muhammad saw bahwa akan muncul orang-orang yang memperbaharui (yujaddidu) agama Islam "pada setiap pangkal seratus tahun" ('ala kulli ra'si mi'ati sanah). Nama Ibn Taimiyyah sengaja kita sebutkan karena hampir semua tokoh pembaharu yang datang kemudian mengaku sebagai penerus gagasan Ibn Taimiyyah.

Gelombang reformasi atau tajdid yang berdampak luas ke segenap penjuru dunia Islam, dari Afrika Utara sampai Asia Tenggara, mulai berlangsung pada abad ke-18, tatkala umat Islam kehilangan kreativitas dan tenggelam dalam kebekuan pemikiran, akibat tertutupnya pintu ijtihad oleh institusi-institusi keagamaan yang sudah mapan. Maka bangkitlah para tokoh pembaharu seperti Muhammad ibn Abdul-Wahhab (1703-1792) di Semenanjung Arabia, Syah Waliyullah ad-Dahlawi (1703-1762) di India, dan Muhammad ibn Ali as-Sanusi (1791-1859) di Afrika Utara. Sebagaimana halnya Ibn Taimiyyah 5 abad sebelumnya, para pembaharu pada abad ke-18 itu memusatkan gerakan mereka untuk mencairkan "kebekuan internal", yaitu memurnikan tauhid, menentang dominasi mazhab, dan memberantas hal-hal yang dianggap bid'ah. Adapun masalah "ancaman eksternal" tidaklah menjadi fokus pemikiran, sebab sebagian besar Dunia Islam belum tersentuh oleh hegemoni kelompok non-Muslim. Meskipun sejak abad ke-17 bangsa-bangsa Eropa Barat sudah berdatangan sebagai pedagang, penyebar Injil atau prajurit (gold, gospel, glory atau

mercenary, missionary, military), kehadiran mereka sampai akhir abad ke-18 tidaklah menggoyahkan tatanan peradaban umat Islam.

Bangsa-bangsa Eropa Barat sebelum abad ke-16 tidaklah pernah memiliki peradaban yang dapat

dibanggakan dalam sejarah. Malahan sudah menjadi pengetahuan umum bahwa orang-orang Eropa Barat pada abad-abad pertengahan mempelajari ilmu pengetahuan dan filsafat pada universitas-universitas Muslim di Spanyol dan Sisilia. Berkat perkenalan dan pembelajaran dari peradaban Islam, Eropa Barat terstimulasi untuk bangkit dari suasana kebodohan yang mereka sebut Dark Ages, menuju masa

(2)

Istilah "modern" ini sangat perlu kita pahami. Berasal dari kata Latin modernus yang artinya "baru saja;

just now", pengertian modern mengacu bukan hanya kepada "zaman" (kita mengenal pembagian zaman menjadi zaman purba, zaman pertengahan, dan zaman modern), tetapi yang lebih penting mengacu kepada "cara berpikir dan bertindak". Peradaban modern ditandai oleh dua ciri utama, yaitu rasionalisasi

(cara berpikir yang rasional) dan teknikalisasi (cara bertindak yang teknikal). Tumbuhnya sains dan teknologi modern diikuti oleh berbagai inovasi di segenap bidang kehidupan. Di bidang politik muncul faham nasionalisme, sistem partai dan parlemen, serta pembagian kekuasaan dalam pemerintahan. Di bidang ekonomi lahir berbagai industri, sistem pertukaran barang, serta korporasi bisnis. Di bidang sosial budaya timbul institusi dan cara hidup yang lebih efisien, mulai dari sistem administrasi dan pendidikan sampai kepada pemeliharaan kesehatan dan cara berpakaian. Semua itu ditunjang oleh proses pertukaran ide yang efektif melalui buku cetak dan media massa serta sarana komunikasi dan transportasi yang canggih sebagai buah lezat dari ilmu pengetahuan.

Dengan segala keunggulan peradaban modern, terutama di bidang persenjataan militer, bangsa-bangsa Eropa Barat melakukan ekspansi ke seluruh penjuru bumi, termasuk Dunia Islam. Setelah selama satu alaf (millennium) umat Islam berada di "papan atas" dalam peradaban dunia dan tidak tergoyahkan oleh peradaban mana pun, tiba-tiba pada abad ke-19 arus sejarah berubah arah. Daerah-daerah Muslim, dari Maroko sampai Merauke, satu demi satu jatuh ke dalam cengkeraman imperialisme dan kolonialisme Eropa. Indonesia dikuasai Belanda, India dan Malaysia dijajah Inggris, Asia Tengah jatuh ke tangan Rusia, Austria merebut Bosnia-Herzegovina, Italia mencaplok Libia dan Ethiopia, sedangkan sebagian besar Afrika dan Timur Tengah terbagi-bagi ke dalam kekuasaan Inggris dan Prancis. Pada akhir Perang Dunia I tahun 1918, daerah-daerah Muslim yang masih merdeka hanyalah Afghanistan, Iran, Turki, dan Arabia. Untunglah bangsa-bangsa Eropa tidak tertarik kepada daerah Hijaz yang gersang, sehingga terhindarlah kota-kota suci Makkah dan Madinah dari sentuhan hegemoni Eropa.

Dominasi bangsa-bangsa Eropa Barat mengakibatkan tersebarnya peradaban modern di seluruh dunia. Ketika berkenalan dengan peradaban modern, umat Islam sudah terbelenggu dengan pemahaman agama yang merupakan konsensus dan pembakuan para ulama abad pertengahan, sehingga banyak aspek modernitas yang dianggap "haram" dan ditolak mentah-mentah. Sikap ini sangat berbeda dengan sikap kreatif para ulama pada abad-abad permulaan Islam, ketika penafsiran tentang al-Qur'an dan Sunnah Nabi belum disekat oleh rambu-rambu mazhab. Berdasarkan perintah kitab suci agar para hamba Allah "gemar menginventarisasi ide-ide, lalu mengikuti yang terbaik" (yastami'una l-qaula fa yattabi'una ahsanah), umat Islam pada masa-masa awal dengan sikap tanpa keraguan dan penuh percaya diri (sebab hegemoni politik di tangan mereka) mengambil dan menyerap nilai-nilai yang dipandang baik dari peradaban-peradaban purba di sekitar Mesopotamia dan Mediterrania, lalu menciptakan Peradaban Islam

(Islamic Civilization) selama berabad-abad yang penuh dengan inovasi intelektual, eksperimen ilmiah, monumen yang artistik, dan karya literer yang bermutu tinggi. Sikap broad-minded yang diperintahkan al-Qur'an itu tidak lagi dimiliki kaum Muslimin tatkala berhadapan dengan peradaban modern.

Maka pada akhir abad ke-19 bermunculan tokoh-tokoh pembaharu (mujaddid) di kalangan umat Islam. Di samping meneruskan seruan para pembaharu abad-abad sebelumnya agar umat Islam kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah Nabi, mereka menyeru umat agar mengambil peradaban modern yang menunjang kemajuan. Kelompok pembaharu ini berpendapat bahwa modernisasi dalam arti yang benar, yaitu yang didasari rasionalisasi dan teknikalisasi, justru diperintahkan oleh ajaran agama. Oleh karena para mujaddid ini bersikap positif terhadap modernitas, mereka dijuluki kelompok modernis dan gerakan mereka disebut gerakan modernisasi Islam.

Awal Modernisme Islam

GERAKAN modernisme Islam pada abad ke-19 dipelopori oleh Sayyid Jamaluddin al-Afghani (1839-1897). Meskipun lahir di Afghanistan, usianya dihabiskan di berbagai bagian Dunia Islam: India, Mesir, Iran, dan Turki. Dia mengembara ke Eropa, dari Saint Petersburg sampai Paris dan London. Di mana pun ia tinggal dan ke mana pun ia pergi, Jamaluddin senantiasa mengumandangkan ide-ide pembaharuan dan modernisasi Islam.

Bersama muridnya, Syaikh Muhammad Abduh (1849-1905) dari Mesir, Jamaluddin menetap di Paris beberapa tahun untuk menerbitkan majalah Al-'Urwah al-Wutsqa (Le Lien Indissoluble), yang berarti "ikatan yang teguh". Abduh menjadi pemimpin redaksi, dan Jamaluddin menjadi redaktur politik. Nomor perdana terbit pada tanggal 13 Maret 1884 (15 Jumad al-Ula 1301), memuat artikel-artikel dalam bahasa Arab, Prancis, dan Inggris. Terbit setiap hari Kamis, majalah itu penuh dengan artikel-artikel ilmiah dan mengobarkan semangat umat untuk kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah Nabi, serta menyerukan perjuangan umat Islam agar terlepas dari belenggu penjajahn Eropa. Majalah Al-'Urwah al-Wutsqa

(3)

disebabkan pemerintah kolonial Inggris melarang majalah itu masuk ke Mesir dan India, lalu pemerintah Turki Usmani (yang kuatir akan gagasan jumhuriyah atau republik yang diusulkan Jamaluddin) juga melarangnya beredar di wilayah kekuasaannya, sehingga Al-'Urwah al-Wutsqa kehilangan daerah pemasarannya. Namun dalam masa delapan bulan beredar, majalah Muslim pertama di dunia itu berhasil menanamkan benih-benih modernisasi di kalangan umat Islam.

Gagasan pembaharuan Jamaluddin dan Abduh menjadi lebih tersebar luas di seluruh Dunia Islam, tatkala seorang murid Abduh yang bernama Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935) menerbitkan majalah Al-Manar di Mesir. Nomor pertamanya terbit tanggal 17 Maret 1898 (22 Syawal 1315), dan beredar sampai tahun 1936. Majalah Al-Manar inilah yang secara konkrit menjabarkan ide-ide Jamaluddin al-Afhani dan Muhammad Abduh, serta berpengaruh langsung kepada gerakan modernisme Islam di Asia Tenggara pada awal abad ke-20.

Sumber:

Referensi

Dokumen terkait

sales promotion pada Grab jauh lebih besar atau lebih efektif jika dibandingkan dengan sales promotion yang ditawarkan oleh pihak Gojek. Sales promotion pada Grab

Bahwa benar, setelah mendapat laporan pemukulan yang dilakukan oleh kelurga Salfinus Fabumese kepada adik Terdakwa (Sdr. Andreas Samponu), Kepala Desa (Bpk. Thomas Samponu)

atau janda melakukan aktivitas seksual sebagai kebutuhan biologis dan kesenangan namun bukan bertujuan untuk memiliki anak sehingga kehamilan tidak diinginkan lebih tinggi

Mereka adalah staf Perpustakaan UGM dan perpustakaan fakultas yang telah menggunakan Sipus V3 (FE, FMIPA, FI), dengan angket ini mereka menilai kualitas informasi dan

Sila kemukakan borang lengkap ke Unit Latihan dan Kompetensi, Bahagian Pembangunan Sumber Manusia, Jabatan Pendaftar, UPNM selewat-lewatnya dua (2) minggu (dalam/

Sebagai pengetahuan bagi masyarakat mengenai multimedia interaktif yang komunikatif yang dapat membantu proses pembelajaran anak tentang pengenalan pentingnya vitamin

PEKERJA BUKAN PENERIMA UPAH DAN BUKAN PEKERJA BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL KESEHATAN. Nomor Registrasi Online

berdasarkan hasil penelitian diatas, mayoritas responden (sekitar 70 %) termasuk pengguna facebook yang aktif dan menggunakanya untuk sekedar bersenang-senang, serta