• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perzinaan Dalam Perspektif Fikih Jinayah Dan Hukum Positif

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perzinaan Dalam Perspektif Fikih Jinayah Dan Hukum Positif"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)

PERZINAAN DALAM PERSPEKTIF FIKIH

JINAYAH DAN HUKUM POSITIF

M. Nurul Irfan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jl. Ir. H. Juanda Ciputat Jakarta Email: mnurulirfan@yahoo.com

Abstrak: Sebuah penyakit masyarakat yang paling tua dan disinyalir terus akan ada di dunia ini adalah perzinaan. Tindak pidana zina bukan hanya akan merugikan pelaku dan keluarganya saja, tetapi bahkan memiliki dampak buruk terhadap kehidupan masyarakat secara luas baik dampak negatif dalam masalah perkawinan, dalam masalah iddah, dalam masalah penentuan mahram maupun dalam hal pemanfaatan uang hasil perbuatan tercela ini. Bahkan dampak psikologis bagi anak yang lahir akibat tindak pidana yang satu ini akan terus membekas pada diri anak tersebut bahkan dimungkinkan akan berakibat pada berbagai pengaruh negatif lain di kemudian hari. Dalam bidang perkawinan, bagaimana hukum menikahi wanita yang sedang hamil akibat zina baik dinikahi oleh lelaki pasangan zinanya maupun oleh laki-laki lain. Dalam masalah kewajiban iddah, haruskah wanita yang hamil akibat zina melaksanakan iddah, dalam hal hubungan mahram, adakah pihak-pihak yang haram untuk dinikahi dan dianggap sebagai mahram akibat adanya perzinaan dan dalam hal memanfaatkan uang hasil perbuatan zina, bolehkah uang itu disedekahkan dan dipergunakan untuk keperluan ibadah? Berbagai jawaban atas masalah-masalah ini akan dikemukakan dalam tulisan ini.

(5)

pregnant due to adultery either married to men as well as couples by another man. In the witing period should women who are pregnant due to adultery implement this witing period, in the mahram relationship, are there any parties forbidden to marry and considered a mahram result of adultery, and in terms of utilizing the proceeds of fornication, may where withal and the money was used to purposes of worship? Various answers to these problems will be presented in this paper.

Key Words: Zina, rajam, dera, anak zina, kawin hamil iddah dan mahram

PENDAHULUAN

Dalam Kajian Hukum Islam terdapat teori Maqâsid al-Syarî ah, atau tujuan-tujuan mendasar diberlakukannya hukum Islam yang di antaranya adalah dalam rangka menjaga nasab atau keturunan yang sah. Dalam rangka menjaga nasab ini agama Islam melarang segala bentuk perzinaan dan prostitusi serta sangat menganjurkan nikah untuk melangsungkan keturunan umat manusia agar tidak punah dan mempunyai hubungan kekerabatan yang sah dan jelas. Dalam hal ini, pelaku zina baik muhsan, maupun ghairu muhsan harus dikenai sanksi hukum rajam atau dera seratus kali. Dalam tulisan ini akan penulis kemukakan tentang perzinaan dan akibat buruknya dalam perspektif fikih jinayah dan hukum positif, baik KUHP maupun paraturan perundangundangan dalam bentuk lain secara komparatif analisis. A. Pengertian Zina

Kata zina secara etimologi adalah bentuk masdar dari kata kerja - َنَز

ِنْزَ ي yang sama artinya dengan رهع dan رجف yakni lacur dan jahat.1 Sedangkan secara terminologi zina berarti hubungan seksual antara seorang laki-laki dan seorang perempuan melalui vagina bukan dalam akad pernikahan atau yang menyerupai akad ini. Zina juga bisa didefinisikan sebagai hubungan seksual antara laki-laki dan seorang wanita yang tidak atau belum diikat oleh suatu perkawinan tanpa disertai unsur keraguan

(6)

dalam hubungan seksual tersebut dan tidak ada hubungan pemilikan, seperti tuan dan hamba sahaya wanita.2

Dalam hal ini Ahmad Muhammad Assaf, mengatakan bahwa semua jenis hubungan seksual yang dilakukan bukan atas dasar syariat Islam bisa disebut sebagai zina yang hukumnya telah ditentukan secara jelas, karena merupakan salah satu tindak pidana yang diancam dengan hukuman tertentu.3 Definisi zina seperti ini belum ada batasan tertentu secara jelas. Sementara itu, Zainuddin al-Malibari mengatakan bahwa hubungan badan bisa dikatakan zina apabila dilakukan dengan cara memasukkan hasyafah (kepala zakar) atau seukurannya bagi orang yang tidak mempunyai hasyafah di dalam kemaluan seseorang yang hidup, baik kubul maupun dubur wanita atau pria dan pelaku mengetahui bahwa hal ini diharamkan.4

Wahbah az-Zuhaili mengemukakan batasan tegas mengenai zina yang bisa dijatuhi hukuman had, yaitu hubungan badan yang diharamkan melalui vagina wanita yang masih hidup disertai nafsu, dalam keadaan sadar, dilakukan di negara yang memberlakukan hukum Islam secara adil, bukan dalam akad nikah atau akad kepemilikan, tidak ada unsur syubhat kepemilikan dan tidak adanya unsur syubhat nikah.5 Abdul Qadir Audah mengemukakan bahwa menurut mazhab Maliki zina adalah hubungan badan yang dilakukan oleh seseorang yang sudah dewasa pada kemaluan manusia yang bukan memiliknya dalam keadaan sadar. Mazhab Hanafi mendefinisikannya sebagai hubungan seksual antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan miliknya, dan bukan syubhat. Sedangkan mazhab Syafi i mengemukakan definisi bahwa zina adalah memasukkan zakar ke dalam kemaluan mahramnya tanpa adanya unsur syubhat dan disertai adanya nafsu, sementara mazhab Hanbali mengartikan zina sebagai

2 Wahbah, Al-Zuḥaylī, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh, (Damaskus Dār al-Fikr, 1989),

cet. Ke-3, jilid 6, h. 109.

3Assāf, Ahmad Muhammad. Al-A kām al-Fiqhiyyah fī Madzāhib al-Islāmiyyah al-Arba ah,

Beirut Dār Iḥyā i al-Ulūm, , cet. ke-3, jilid 2, h. 498.

4 Muḥammad Syatā , Al-Dimyaṭī, I ānah a- ālibīn, (Semarang : Toha Putera, tth), jilid 4,

h. 142-143.

(7)

perbuatan keji yang dilakukan oleh seseorang pada vagina atau anus.6 Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa kontak seksual itu bisa disebut sebagai perzinaan, apabila telah memenuhi dua rukun yaitu hubungan seksual itu diharamkan dan dilakukan secara sengaja serta dalam keadaan sadar.

B. Larangan Perzinaan

Dasar hukum keharaman zina di dalam Alquran antara lain terdapat dalam surat an-Nur ayat 2 yang artinya Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. (QS. an-Nur : 2).

Dalam sabda Rasulullah SAW. disebutkan bahwa zina termasuk salah satu perbuatan dosa besar sebagaimana hadis yang artinya Dari Abdullah Ibn Mas ud berkata ada seorang bertanya kepada Rasulullah SAW. Wahai Rasulullah, dosa apakah yang paling besar di sisi Allah ? beliau menjawab, kamu menjadikan sekutu bagi Allah, padahal Dialah yang menciptakan kamu, lalu dia bertanya lagi, kemudian apa lagi ? kamu membunuh anakmu karena takut tidak bisa memberinya makan, dia pun bertanya lagi, kemudian apalagi? Beliau menjawab, kamu berzina dengan istri tetanggamu, kemudian Allah menurunkan ayat sebagai penegasan jawaban Rasulullah di atas, dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan lain beserta Allah, dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan demikian itu niscaya dia mendapatkan (pembalasan) dosanya sanksi hukumnya dilipatgandakan. (HR. Bukhari) 7.

Karena zina merupakan perbuatan yang dilarang dalam Islam maka bagi siapapun muslim yang melanggar harus dikenai sanksi hukuman had.

6 Abdul Qādir, Awdah,al-Tasyrī al-Jinā`ī al-Islāmī Muqāranan bi al-Qānūn al-Waḍ'ī,

(Beirut : Muassasah al-Risālah, ), jilid 2, cet. ke-9, jilid 2, h. 349.

7 Al-Bukhārī , Abū Abdullāh Muḥammad bin Ismā īl. Ṣa ī al-Bukhārī,Indonesia : tt :

(8)

Bisa berupa hukuman rajam dan bisa berupa hukuman dera, cambuk atau jilid seratus kali, tergantung apakah pelaku masuk dalam kategori zina muhsan atau zina ghairu muhsan.

C. Sanksi Perzinaan

Jika perzinaan dilakukan oleh mereka yang belum pernah menikah secara sah, artinya status mereka masih perjaka atau gadis, maka tindak pidana ini disebut dengan zina gairu muhsan. Sedangkan bila perzinaan dilakukan oleh mereka yang sudah pernah menikah atau pernah melakukan hubungan badan secara halal, baik status mereka masih punya pasangan secara halal maupun sudah menduda atau menjanda, maka tindak pidana yang mereka lakukan disebut dengan zina muhsan.

a. Hukuman Dera dan Pengasingan

Pelaku tindak pidana zina gairu muhsan, sanksi hukuman hadnya berupa dera dan pengasingan.8 Dasarnya adalah firman Allah di atas da hadis yang artiya Dari Zaid Ibn Khalid al-Juhani, berkata, aku mendengar Rasulullah SAW. Memerintahkan terhadap orang yang berbuat zina gairu muhsan supaya didera 100 kali dan dihukum pengasingan satu tahun. HR. Bukhari)9.

Dari ayat Alquran dan hadis di atas bisa diketahui bahwa sanksi pelaku hukuman bagi pelaku zina ghairu muhsan adalah berupa dera 100 kali dan pengasingan. Dari uraian di atas bisa disimpulkan bahwa berdasarkan konsensus pendapat jumhur ulama pelaku tindak pidana zina ghairu muhsan, harus dikenai hukuman dera 100 kali dan hukuman pengasingan selama satu tahun. Menurut imam Abu Hanifah, hukuman pengasingan sebagai tambahan dari ketentuan ayat 2 surat an-Nur bukan sebagai hukuman had, melainkan hukuman takzir yang didasarkan atas kebijakan hakim sebagai penguasa setempat.10

b. Hukuman Rajam.

Mengenai hukuman rajam tidak terdapat ketentuan satu ayatpun dalam Alquran, melainkan terdapat dalam beberapa hadis Nabi SAW. yang kesahihannya tidak diragukan, antara lain hadis yang artinya Dari Abu Hurairah dan Zaid Ibn Khalid keduanya berkata : kami bersama Nabi SAW. tiba-tiba

8Abdul Qādir Awdah, jilid , h. .

9 Muslim, a (Semarang : Toha Putera) Tth, Jilid 2 h. 48.

10Abdul Qādir Awdah, jilid h. -381, lihat juga An-Nawāīî, Syara a ī Muslim,

(9)

ada seseorang yang berdiri dan berkata ; aku akan bersumpah kepada Allah di hadapan engkau kecuali engkau beri putusan kepada kami dengan dasar kitab Allah. Kemudian ada orang yang lebih pandai membantah berkata; berikan keputusan kepada kami dengan dasar kitab Allah dan izinkanlah aku, kemudian menyuruh orang tersebut untuk melapor, maka dia berkata ; anak laki-lakiku adalah seorang buruh pada seseorang, dia berzina dengan majikan wanitanya, aku akan menebus perbuatan itu dengan seratus ekor kambing dan seorang budak, kemudian aku tanyakan kepada orang-orang pandai, maka menurut mereka bahwa anak laki-laki saya itu harus didera seratus kali, dan diasingkan selama satu tahun, serta istri majikan itu harus dihukum rajam, maka Nabi SAW. Bersabda ; demi Zat yang jiwaku berada ditangan-Nya, sungguh aku akan putuskan permasalahan kalian, dan anak laki-lakimu harus dihukum dera seratus kali dan diasingkan selama satu tahun, dan kamu wahai Unais, telitilah wanita itu, jika ia mengaku, maka rajamlah dan kemudian Unais menelitinya dan ternyata wanita tersebut mengaku, maka wanita itu dirajam. (HR. Bukhari)11.

Atas dasar hadis di atas jumhur ulama telah sepakat bahwa sekalipun di dalam Alquran tidak disebutkan tentang hukuman rajam, namun hukuman ini tetap diakui eksisitensinya. Dalam hal ini Ibnu Rusyd mengatakan ada sekelompok kecil orang yang menolak konsep hukuman rajam ini, dia menyebutkan kelompok ini sebagai firqatan min ahl al ahwa di mana menurut mereka hukuman bagi pelaku tindak pidana zina apapun jenisnya adalah dera.12

D. Akibat Perbuatan Zina

Selain akibat yuridis berupa hukuman yang dikenakan kepada pelaku tindak pidana perzinaan, para ulama juga mengemukakan beberapa persoalan yang timbul akibat perzinaan tersebut yaitu :13

1. Dalam masalah perkawinan

Imam Ahmad Ibnu Hanbal mengatakan bahwa orang mukmin tidak

boleh mengawini orang yang telah melakukan perzinaan. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT. dalam suara An-Nur ayat 3 yang artinya Laki-laki

11 Al-Bukhārī, jilid 4, , h. 2727-2728.

12 Muhammad Alî as-Sâyis, Tafsīr āyāt al-Akām, Beirut Dār al-Fikr, tth), jilid 3,h.

106-107.

(10)

yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik, dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oerang-orang yang mukmin . QS. An-Nur/24 : 3)

Atas dasar ayat di atas, Ibnu Mas ud berpendapat bahwa seorang laki-laki yang berzina dengan seorang wanita kemudian menikahinya, maka keduanya selamanya dianggap berzina. Sebab ayat di atas sebagai penegasan diharamkan menikahi wanita pezina.14 Tetapi jumhur ulama berpendapat bahwa kandungan ayat ini tidak sampai mengharamkan perkawinan antara orang mukmin dan orang yang telah melakukan perzinaan. Alasan mereka adalah bahwa ayat di atas telah dinasakh dengan ayat 32 surat yang sama.15 Dalam hal ini imam Abu Hanifah berpendapat bahwa seseorang yang berzina dengan seorang wanita, dia boleh menikahinya dan orang lain juga boleh menikahinya. Bahkan ulama yang lain berpendapat bahwa nikah dengan wanita pezina tetap sah dan kalau ada seorang istri berzina, maka akad nikahnya tidak batal demikian juga jika suaminya berzina.16 Tetapi Hasan Basri berpendapat bahwa perzinaan bisa membatalkan akad nikah.

Selain ayat di atas jumhur ulama juga beralasan dengan sebuah hadis riwayat An-Nasa i yang artinya Dari Ubaidillah Ibnu Ubaid Ibnu Umair, dari Ibnu Abbas, keduanya berkata : ada seseorang yang datang kepada Rasulullah SAW. Seraya berkata, aku mempunyai istri yang sangat aku cintai, tetapi dia tidak bisa menolak setiap tangan penjamah, maka Rasulullah bersabda ceraikan dia , orang tersebut menjawab aku tidak bisa sabar tanpa dia, sehingga Rasulullah bersabda bersenang-senanglah dengannya . HR. An-Nasa i .17

Lebih lanjut ulama kalangan mazhab Hanafi berpendapat apabila dalam keadaan hamil, maka yang diperbolehkan hanya akad nikahnya bukan hubungan badan, ketika menikah dengan selain lelaki pasangan yang

14 asy-Syaukânî, Fath Qadîr al-jâmi Baina Fanni ar-Riwâyah wa ad_dirâyyah Min ilm

at-Tafsîr, Beirut : Dâr al-Fikr, tth, jilid 4, h. 5

15 Al-Qurṭubī, al-Jami li ahkam al-Qur an, Beirut Dar al-Fikr: 2009), Jilid 2, h. 169 16 Al-Zuḥailī, at-Tafsīr al-Munīr fi al-Aqīdah wa as Syarī ah wa al-Manhaj, Beirut Dār al

-fikr, 1991) ce. Ke-1, jilid 18, h 139

17 an-Nasā ī, Sunan an-Nasā ī, Beirut Dār al-Ma;rifah, 1991), cet. ke-1, jilid 5, h. 375,

(11)

menghamilinya, tetapi apabila kedua pasangan zina itu menikah, maka boleh melakukan hubungan badan karena telah menjadi suami istri.18

Jadi wanita pezina yang menikah dengan laki-laki lain, bukan pasangannya, baru diperbolehkan hubungan badan setelah anak yang dikandungnya lahir, alasannya adalah sebuah .hadis yang artinya barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya jangan menumpahkan air maninya pada anak orang lain. (HR. Tirmizi)19.

Sementara ulama dari kalangan mazhab Maliki berpendapat bahwa diperbolehkannya menikahi wanita pezina harus dengan syarat telah dilakukan istibrâ yakni upaya untuk bertobat dan memperbaiki serta membersihkan diri dari profesi kejinya dan ia telah benar-benar berhenti dari pekerjaannya yang tidak patut itu dengan tetap menunggu selama tiga kali menstruasi.

2. Dalam masalah iddah

Ulama mazhab Hanafi, Syafi i dan Hanbali berpendapat bahwa wanita yang melakukan perzinaaan tidak berhak dan tidak layak melakukan iddah, karena iddah merupakan syariat yang ditetapkan bagi wanita yang dikawini secara sah, bukan karena hamil di luar nikah yang masuk dalam ranah kemungkaran. Akan tetapi mazhab Maliki tetap memberikan cacatan bahwa jika iddah tetap dilakukan oleh wanita yang melakukan perzinaan, hal itu hanya agar bibit anak tidak bercampur dengan sperma orang lain, khususnya jika yang mengawini itu bukan lelaki yang menzinainya.20

3. Dalam penentuan mahram.

Ulama mazhab Maliki, Syafi i, dan Hanbali berpendapat bahwa hubungan seksual di luar nikah tidak pernah akan mengakibatkan hubungan mahram di antara kedua belah pihak. Wanita yang berzina itu boleh kawin dengan keluarga laki-laki yang menzinainya.21 Akan tetapi, ulama mazhab Hanafi, Abdurrahman al-Auza i, dan Sufyan al-Tsauri berpendapat bahwa apa yang diharamkan dalam perkawinan yang sah, haram pula dalam

18 Al-Zuḥaylī, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh, jilid 7, h. 149.

19 At-Timiżī, Sunan at- Timiżī, (Ttp: Dahlan: Tth) jilid 3, h. 428. 20 Al-Zuḥaylī, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh, jilid 7, h.634.

21 Al-Zuḥaylī,at-Tafsīr al-Munīr fi al-Aqīdah wa as Syarī ah wa al-Manhaj, h. 135, lihat

(12)

hubungan seksual di luar nikah. Oleh karena itu hubungan mahram berlaku bagi pasangan tersebut sebagimana berlaku dalam perkawinan yang sah. 4. Dalam masalah pemanfaatan uang hasil perzinaan

Menurut ulama fikih, profesi zina merupakan pekerjaan yang paling keji dan terkutuk. Dalam hadis disebutkan bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW. melarang memanfaatkan harga anjing, upah pelacur, dan upah tukang tenung. (HR. muslim)22. Atas dasar hadis ini para ulama fikih sepakat, hasil dari menjual diri, hukumnya haram dimanfaatkan oleh wanita penghibur tersebut, dan tidak boleh pula dikembalikan kepada lelaki yang dihiburnya, namun dalam hal ini Ibn Qayyim al-Jauziah mengambil sikap bahwa uang hasil menjual diri itu boleh disedekahkan untuk kepentingan umum dengan syarat bukan untuk dikonsumsi.

Dari uraian di atas, bisa penulis simpulkan bahwa perzinaan mempunyai akibat-akibat yang bukan hanya berkaitan dengan persoalan-persoalan fikih, tetapi juga erat kaitannya dengan kesehatan masyarakat, baik kesehatan mental maupun fisik, bahkan kesehatan reproduksi sehingga inilah di antara hikmah ajaran Islam melarang perbuatan keji perzinaan dan sangat menganjurkan agar melaksanakan pernikahan dalam rangka menjaga kemurnian nasab.

E. Faktor Penyebab Maraknya Perzinaan di Indonesia

Terakait faktor penyebab maraknya perzinaan di Indonesia, bisa dilihat dari dua faktor, baik faktor intern maupun faktor ekstern. Maksud dari faktor intern adalah terkait keimanan dan keberagamaan seseorang sedangkan faktor ekstern meliputi dua hal yaitu pertama terkait informasi dan teknologi yang sangat cepat dan sangat terbuka serta mudah di akses oleh siapapun di era interknet saat ini. Kedua terkait aturan perundang-undangan di Negara Republik Indonesia.

a. Faktor ntern terkait keimanan dan ekonomi seseorang

Harus ditegaskan bahwa jika seseorang benar-benar beriman dan memilki semangat dan pemahaman yang baik dalam bidang agama maka sangat kecil kemungkinan ia akan melakukanperzinaan. Sebab dalam sebuah hadis disebutkan bahwa seseorang yang berzina tidak mungkin akan berzina jika memang ia benar-benar beriman, ia juga tidak mungkin akan mencuri jika memang beriman dengan sungguh-sungguh, ia juga tidak akan

22At-Timiżī, jilid 2, h. 300, lihat juga Muslim, jilid 1, h. 784.

(13)

korupsi kalau memang ia masuk dalam kelompok orang keimanannya kuat dan baik.

Di sisi lain bila ditelusuri dan diikuti berbagai berita terkait bisnis mesum ini, maka Pekerja Seks Komersial (PSK) dan para lelaki hidung belang sebagai dua pihak yang saling berkaitan. PSK sebagai penjual diri dan lelaki hidung belang sebagai pembeli harga diri. Penjual diri adalah sebagai pihak yang membutuhkan uang, sedangkan pembeli harga diri adalah sebagi pihak yang bisa jadi memang berkelebihan uang. Namun memang tetap perlu dikemukan di sini bahwa jika penulis telaah dari berbagai sumber baik sumber dalam berita mapun dari hasil beberapa penelitian, para PSK atau para wanita yang bertugas sebagai terapis atau pelayan pijat tradisional atau pijat plus-plus di tempat-tempat tertentu, maka faktor ekonomi menjadi penyebab utama mereka terjun ke dunia hitam ini.

b. Faktor ekstern berupa Peratuan Perundang-undangan Negara RI

Kalau faktor intern terakait keimanan dan ekonomi, maka fakot ektern menurut penulis ada kaitannya dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara ini. Dalam hal ini penulis bisa mengemukakan setidaknya ada keterkaitan erat antara substansi rumusan pasal tentang perzinaan, overspel atau gendak yang ada pada pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pasal 42 UU no 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan bisa jadi juga Putusan Mahkamah Konstistusi RI pada tanggal 17 Februari 2012 terkait permohonan uji materi UU Perkawinan oleh Machicha Mochtar, mantan istri siri alm. Moerdiono. Secara berurutan ketiga peraturan-undangan tersebut akan penulis kemukakan di bawah ini. 1) Pasal 284 KUHP

(14)

maka pelaku tidak bisa dituntut karena tidak diadukan oleh pihak yang merasa dirugikan. Jadi kalau pelaku zina itu suka sama suka dan tidak sedang terikat ikatan perkawinan, maka oleh KUHP tidak dianggap sebagai tindak pidana yang bisa dihukum.

Dalam hal ini Abduh Malik mengemukakan bahwa apabila seorang lali-laki yang mempunyai istri melakukan hubungan seksual (bersetubuh) dengan perempuan lain sedangkan si istri tidak keberatan suaminya berselingkuh tersebut, maka KUHP tidak akan diberlakukan kepada suami. Begitu pula apabila seorang perempuan yang mempunyai suami bersetubuh dengan laki-laki lain sedangkan si suami tidak keberatan, maka si istri yang melakukan perbuatan zina juga tidak akan dikenai hukuman oleh KUHP. Dengan demikian perbuatan zina yang dilakukan seorang suami atau seorang istri akan dapat berjalan terus. Jadi berarti Pasal 284 KUHP ini tidak akan berfungsi untuk mencegah terjadinya perbuatan zina dalam masyarakat dan bahkan memberi peluang maraknya perzinaan dalam masyarakat.23 2) Pasal 42 UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan pasal 99 Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Rumusan pasal UUP berbunyi Anak yang sah adalah anak yang

dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Pasal ini diadopsi secara utuh dangan tambahan huruf b dalam pasal 99 Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai berikut : Anak yang sah adalah : a. anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah; b. hasil perbuatan suami isteri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut .

Menurut penulis, rumusan pasal 42 UUP dan pasal 99 KHI huruf a jelas bertentangan dengan kandungan hadis shahih riwayat al-Bukhari dan Muslim al-waladu lilfirasy yang menegaskan bahwa anak yang sah adalah anak yang lahir akibat pernikahan yang sah bukan sekedar lahir dalam perkawinan yang sah.

Sebab kalau dengan menggunakan kata dalam , berarti yang penting pada saat anak itu lahir, orang tuannya sebagai pasangan zina itu telah terikat dalam sebuah pernikahan. Bahkan seandainya pada saat menjelang kelahiran bayi malang itu proses pernikahan mereka baru berlangsung, kemudian dalam waktu beberapa menit berikutnya sang jabang

23Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina, Pandangan Hukum Islam dan KUHP, (Jakarta :

(15)

bayi lahir, maka atas dasar rumusan pasal 42 UU Perkawinan dan pasal 99 KHI huruf a di atas tetap dinyatakan sebagai anak sah walaupun pembuahan embrio bayi itu telah terjadi pada saat mereka belum menikah. Pada saat penulis bertindak sebagai saksi ahli di MK terkait uji materi UU perkawinan ini, penulis mengemukakan bahwa sekalipun pasal 42 UU No 1 Tahun 1974 ini tidak bertentangan dengan UUD 1945, namun akan sangat baik jika kata-kata dalam yang terdapat pada rumusan pasal ini untuk ditinjau ulang atau bila perlu dihilangkan. Sebab dengan adanya kata dalam , maka implikasi dan pengaruh besarnya akan terjadi pada legalisasi perzinaan. Hal ini bisa terjadi karena dengan rumusan pasal ini, negara secara otomatis berarti ,mengakui atau mengizinkan dan melegalisasi proses hubungan badan sebelum nikah. Hal ini jelas bertentangan dengan prinsip mendasar dalam Hukum Islam, tentang pemeliharaan nasab.24

3) Putusan MK tentang Anak Luar Nikah dalam Uji Materi UU Perkawinan Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya , bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya. Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan, Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya , tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya .

24Imām al-Nawawī, Syar a Muslim, Riyāḍ, Bait al-Afkār al-Dauliyyah, Tth), hlm

(16)

Terhadap putusan MK ini Ketua MUI, KH. Dr. Ma ruf Amin mengatakan bahwa putusan ini menjadi controversial karena membuka peluang untuk dipahami adanya hubungan perdata antara anak yang dilahirkan dari hasil zina dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya. Hubungan perdata dimaksud dalam Islam adalah terkait dengan nasab, waris, nafkah dan wali, sehingga putusan MK tersebut dipahami dapat menjadi pintu dilegalkannya zina,25 Oleh sebab itu, MUI kemudian menanggapi putusan ini dengan menetapkan fatwa Status Anak Zina dan Perlakukan terhadapnya.

Sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh ketua MUI di atas, penulis juga berpendapat bahwa putusan MK ini memang bisa difahami sebagaimana yang dikemukakan oleh ketua MUI. Namun penulis berpendapat bahwa putusan MK merupakan sebuah putusan spektakuler yang bertujuan untuk memberi perlindungan hukum kepada kaum wanita yang biasanya terzalimi oleh kaum lelaki tertentu dan anak yang bisa jadi terlantar akibat kezaliman seorang lelaki yang tidak betanggungjawab atas perbuatannya.26

Oleh sebab itu menurut penulis, mengingat putusan MK ini bersifat final and binding, maka sangat perlu segera dibuat UU atau setidaknya Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Mahkamah Agung (Perma) sebagai penjelasan dari putusan MK dengan tetap harus memperhatikan berbagai rumusan fatwa MUI terlebih putusan-putusan hukumnya yang meliputi beberapa hal penting berikut: Anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah, waris, dan nafaqah dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya. Anak hasil zina hanya mempunyai hubungan nasab, waris, dan nafaqah dengan ibunya dan keluarga ibunya. Anak hasil zina tidak menanggung dosa perzinaan yang dilakukan oleh orang yang mengakibatkan kelahirannya. Pezina dikenakan hukuman hadd oleh pihak yang berwenang, untuk kepentingan menjaga keturunan yang sah (hifzh al-nasl). Pemerintah berwenang menjatuhkan hukuman ta zir lelaki pezina yang mengakibatkan lahirnya anak dengan mewajibkannya untuk : mencukupi kebutuhan hidup

25 M. Nurul Irfan, Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta: Amzah, 2012) Cet

pertama, hlm vi

26M. Nurul Irfan, Ijtihad Spektakuler MK dalam Opini Republika, Selasa,

(17)

anak tersebut; memberikan harta setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah.27 Hukuman sebagaimana dimaksud nomor 5 bertujuan melindungi anak, bukan untuk mensahkan hubungan nasab antara anak tersebut dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya.

PENUTUP

Tindak pidana zina merupakan sebuah jenis penyakit masyarakat yang sudah ada sejak adanya manusia bahkan dimungkinkan selama masih terdapat kehidupan manusia perzinaan tidak pernah akan hilang dari muka bumi ini. Begitu besar dampak yang ditimbulkan akibat tindak pidana ini. Yakni dalam masalah perkawinan, dalam masalah iddah, dalam masalah penentuan mahram maupun dalam hal pemanfaatan uang hasil perbuatan zina yang keji ini. Bahkan dampak psikologis bagi anak yang lahir akibat tindak pidana ini bisa jadi memiliki andil tersendiri dalam perkembangan kualitas sumber daya manusia di masa-masa yang akan datang. Seorang wanita pelaku zina tetap halal dinikahi oleh lelaki pezinanya dalam kondisi hamil, tetapi jika dinikahi oleh laki-laki lain yang bukan pasangan zinanya, sebaiknya ia menahan diri agar tidak melakukan hubungan badan dalam kondisi ia masih hamil dari laki-laki lain itu. Dalam masalah Iddah, sorang pezina tidak perlu melakukan iddah, sebab firman Allah tentang kewajiban iddah bagi wanita hamil itu hanya khusus bagi wanita yang hamil akibat pernikahan sah dengan suami lama bukan hamil akibat perzinaan. Perzinaan juga tidak akan berpengaruh pada masalah hukum haram untuk menikahi ibu kandung wanita pasangan zinanya atau anak kandung pasangan zinanya. Kemudian segala macam hak atau rizki yang dihasilkan akibat perbuatan zina tidak halal untuk dikonsumsi dan digunakan untuk sarana ibadah. Bahkan jika uang hasil berbuat zina tetap akan dikonsumsi oleh keluarga, bisa jadi anak cucu sebagai generasi barunya akan merasakan efek negative dari perbuatan keji ini. Faktor penyebab maraknya perzinaan di Indonesia meliputi faktor intern,berupa keimanan pelakunya dan faktor ektern berupa peraturan perundang-undangan yang meliputi pasal 284 KUHP, pasal 42 UUP atau pasal 99 KHI termasuk juga Putusan MK tentang status anak luar kawin.

27 M. Nurul Irfan, Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta: Amzah, 2012) Cet

Referensi

Dokumen terkait

PERNYATAAN Sebelum mulai pembelajaran, guru agama Katolik mengadakan tanya jawab tentang pelajaran yang sudah dipelajari Guru dapat menjawab pertanyaan peserta didik berkaitan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan didapatkan bahwa model kandang yang dapat digunakan di UPTPT dan HMT Kota Batu adalah tipe kandang terbuka

Untuk penilaian pengetahuan Ananda sudah melakukan dengan cara mengisi lembar kerja yaitu LK.2.1 dalam aktivitas 3 yang dilakukan dalam pembelajaran. Sebagai acuan

Yang mungkin unik--- atau paling tidak sangat khas-- dari buku teks ini adalah pembagian bahasannya sesuai dengan hadis Jibril: Islam, Iman dan Ihsan. iii

Nilai heterosis positif yang tinggi untuk karakter persentase gabah isi adalah kombinasi persilangan antara Kencana Bali dengan Ketan Raket putek (21,4%), untuk karakter jumlah gabah

Secara keseluruhan isolat Si33 merupakan isolat terbaik sebagai pemacu pertumbuhan tanaman padi dan menunjukkan perbedaan yang nyata untuk semua parameter dibandingkan

Pengaruh Customer Satisfaction Terhadap Brand Trust serta Dampaknya Pada Brand Loyalty Produk Susu Cair Frisian Flag Di Giant Margorejo Surabaya ”..

Padahal seharusnya dengan melihat kondisi di industri, internal perusahaan harus adaptif dan fleksibel sehingga segala proses internal dapat lebih cepat tanggap dan tepat