• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor Risiko Kekambuhan Pasien TB Paru di Kota Denpasar.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Faktor Risiko Kekambuhan Pasien TB Paru di Kota Denpasar."

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

ii

TESIS

FAKTOR RISIKO KEKAMBUHAN PASIEN TB PARU

DI KOTA DENPASAR

NI LUH PUTU KARMINIASIH

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

(2)

iii

TESIS

FAKTOR RISIKO KEKAMBUHAN PASIEN TB PARU

DI KOTA DENPASAR

NI LUH PUTU KARMINIASIH

NIM 1492161048

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(3)

ii

FAKTOR RISIKO KEKAMBUHAN PASIEN TB PARU

DI KOTA DENPASAR

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister

pada Program Magister, Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat,

Program Pascasarjana Universitas Udayana

NI LUH PUTU KARMINIASIH NIM 1492161048

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(4)

iii

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI

TANGGAL 13 JULI 2016

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr.dr.Dyah Pradnyaparamita Duarsa, M.Si dr. I Wayan Gede Artawan Eka Putra, M.Epid NIP. 195807041987032001 NIP. 198104042006041005

Mengetahui

Ketua Program Studi

Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Program Pascasarjana

Universitas Udayana,

Prof.dr. Dewa Nyoman Wirawan, MPH NIP. 194810101977021001

Direktur Program Pascasarjana

Universitas Udayana,

(5)

iv

PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS

Tesis Ini Telah Diujikan pada Tanggal : 13 Juli 2016

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana No: 3121/UN14.4/HK/2016

Tanggal: 11 Juli 2016

Ketua : Dr. dr. Dyah Pradnyaparamita Duarsa, M.Si Anggota :

(6)

v

SURAT KETERANGAN BEBAS PLAGIAT

NAMA : NI LUH PUTU KARMINIASIH

NIM : 1492161048

PROGRAM STUDI : Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat

JUDUL : FAKTOR RISIKO KEKAMBUHAN PASIEN TB

PARU DI KOTA DENPASAR

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat. Apabila di kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sangsi sesuai peraturan Mendiknas RI No. 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

Denpasar, 13 Juli 2016

Yang membuat pernyataan

(7)

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Faktor Risiko Kekambuhan Pasien TB Paru di Kota Denpasar” ini tepat pada waktunya.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Dr.dr.Dyah Pradnyaparamita Duarsa, M.Si selaku pembimbing I yang telah penuh perhatian telah memberikan dorongan, bimbingan, dan saran selama penulis mengikuti program magister dan khususnya dalam penyelesaian tesis ini. Terima kasih sebesar-besarnya pula penulis sampaikan kepada Bapak dr. I Wayan Gede Artawan Eka Putra, M.Epid selaku pembimbing II yang telah dengan penuh perhatian dan kesabaran memberikan bimbingan, semangat, dan saran kepada penulis.

(8)

vii

MIKM UNUD, Kordinator Peminatan Epidemiologi Lapangan PS MIKM UNUD, dan semua para dosen dan staf PS MIKM UNUD.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu dr. Luh Putu Sri Armini, M.Kes selaku Kepala Dinas Kesehtan Kota Denpasar, Bapak Ida Bagus Gede Ekaputra selaku Kepala Bidang P2P, dan Ibu Luh Lastini selaku pemegang Program TB yang senantiasa memberikan arahan. Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh Kepala Puskesmas beserta seluruh pemegang Program TB yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu yang telah memberikan ijin untuk mencari data penelitian.

Akhirnya penulis ucapkan terima kasih kepada orang tua beserta keluarga penulis yang telah memberikan dukungan moral dan material kepada penulis untuk menyelesaikan tesis ini.

Denpasar,

(9)

viii ABSTRAK

FAKTOR RISIKO KEKAMBUHAN PASIEN TB PARU DI KOTA DENPASAR

Kekambuhan pasien TB paru adalah salah satu masalah dalam program TB. Kejadian kekambuhan pada pasien TB paru di Kota Denpasar tahun 2014 masih relatif tinggi yaitu sebesar 7,7% atau 38 dari 490 pasien TB paru. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor risiko yang memengaruhi kekambuhan pasien TB paru di Kota Denpasar.

Desain penelitian adalah kasus kontrol. Kasus adalah 46 penderita tuberkulosis paru yang pernah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap dan didiagnosis TB berdasarkan pemeriksaan bakteriologis yang sudah dikonfirmasi laboratorium, berumur diatas 15 tahun dan tercatat di register TB 03 di 11 puskesmas Kota Denpasar tahun 2012-2015. Kontrol adalah 92 penderita tuberkulosis paru yang sudah sembuh setelah pengobatan dan tidak kambuh minimal 1 tahun yang diupayakan memiliki karakteristik umur dan jenis kelamin yang sama dengan kasus dan tercatat di register TB 03 di 11 puskesmas Kota Denpasar tahun 2012-2015. Data dikumpulkan dengan penelusuran dokumen, observasi, pengukuran dan wawancara terstruktur dengan menggunakan kuesioner. Data dianalisis secara bivariat, multivariat dengan Stata SE 12.1.

Karakteristik kelompok kasus dan kelompok kontrol sudah komparabel dalam variabel jenis kelamin, umur, status perkawinan, alamat, tingkat pendidikan, dan status pekerjaan, tetapi tidak komparabel dalam hal variabel penghasilan keluarga. Faktor risiko yang secara murni berpengaruh terhadap kekambuhan tuberkulosis paru adalah adanya penyakit penyerta DM dengan Adjusted Odds Ratio (AOR) = 9,6 (95%CI: 2,17-43,08), ketidakpatuhan minum

Penelitian ini menunjukan pentingnya program kolaborasi TB-DM dan integrasi program TB dengan klinik berhenti merokok untuk mencegah pajanan asap rokok selama pengobatan dan seterusnya. Mengintensifkan layanan konseling di Puskesmas dan penyuluhan kesehatan tentang rumah sehat, kepatuhan minum obat dan asupan gizi. Selain itu perlu digiatkan program investigasi kontak serumah untuk menemukan dan mengobati sumber penularan TB di masyarakat.

(10)

ix ABSTRACT

RISK FACTORS OF RECURRENCE OF PULMONARY TB PATIENTS IN DENPASAR

Recurrence of pulmonary TB patients is one of the problems in the TB program. The incidence of recurrence in patients with pulmonary tuberculosis in Denpasar in 2014 remained relatively high at 7.7% or 38 out of 490 patients with pulmonary tuberculosis. This study aimed to identify factors that affect the risk of recurrence of pulmonary TB patients in the City of Denpasar.

The study design was a case-control. Cases were 46 patients with pulmonary tuberculosis who once declared cured or having full treatment and diagnosed with TB by bacteriological examination that has been confirmed by laboratory, aged over 15 years and recorded in the registers 03 TB in 11 Public Health Centers in Denpasar during 2012-2015. Controls were 92 pulmonary tuberculosis patients who had recovered after treatment and did not relapse at least 1 year who sought to have the characteristics of age and gender that were similar to the case and recorded in the registers 03 TB in 11 Public Health Centers in Denpasar during 2012-2015. Data were collected by a search of documents, observation, measurement and structured interviews by using questionnaires. Data were analyzed using bivariate, multivariate by Stata SE 12.1.

Characteristics of the case group and the control group were already comparable in the variables of gender, age, marital status, address, education level and employment status, but not comparable in terms of family income variables. The risk factor purely effected on the recurrence of pulmonary tuberculosis was the presence of comorbidities of DM with Adjusted Odds Ratio (AOR) = 9.6 (95% CI: 2.17 to 43.08), dropout of medication with AOR = 7.6 ( 95% CI: 2.85 to 20.17), exposure to cigarette smoke during treatment with AOR = 3.6 (95% CI: 1.41 to 9.16), their contacts with pulmonary tuberculosis patients who live at the same house with AOR = 3, 1 (95% CI: 1.31 to 7.46), malnutrition status with AOR = 2.8 (95% CI: 1.02 to 7.72), ventilation <10% out of the room size with AOR = 3, 4 (95% CI: 1.27 to 9.47).

The study showed the importance of collaborative program of TB-DM and the integration of TB programs with cessation clinic to prevent smoke exposure during treatment and beyond. Intensifying counseling services in the public health centers and home health education about healthy, medication adherence and nutritional intake. Also it needs to be intensified the contact investigation program at home to find and treat the source of transmission of TB in the community.

(11)

x

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

2.1 Aspek Epidemiologi Penyakit Tuberkulosis ... 8

2.2 Klasifikasi penyakit tuberkulosis paru ... 9

2.3 Diagnosa tuberkulosis (TB) ... 9

(12)

xi

2.5 Kekambuhan Tuberkulosis ... 11

2.6 Faktor Risiko Kekambuhan Tuberkulosis ... 11

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN ... 20

4.3 Penentuan Sumber Data Penelitian ... 26

4.3.1 Definisi dan sumber kasus ... 26

4.3.2 Definisi dan sumber kontrol ... 26

4.4 Identifikasi Variabel ... 26

4.5 Populasi Penelitian ... 27

4.5.1 Populasi kasus ... 27

4.5.2 Populasi kontrol ... 27

4.6 Sampel Penelitian ... 27

4.6.1 Besar sampel... 27

4.6.2 Tehnik pemilihan sampel kasus dan kontrol ... 28

4.7 Proses Matching ... 30

4.8 Definisi Operasional Variabel ... 31

4.9 Metode dan Instrumen Untuk Mengukur Faktor Risiko ... 35

4.9.1 Metode Pengumpulan Data ... 35

4.9.2 Penelusuran dokumen ... 35

4.9.3 Wawancara ... 36

4.9.4 Observasi ... 36

4.9.5 Instrumen Pengumpulan Data ... 36

4.10 Pengolahan dan Analisis Data ... 37

4.10.1 Pengolahan data ... 37

(13)

xii

BAB V HASIL PENELITIAN ... 40

5.1 Komparasi Karakteristik Kasus dan Kontrol ... 40

5.2 Penentuan Faktor Risiko Kekambuhan pada Pasien Tuberkulosis Paru ... 41

5.3 Faktor Risiko Kekambuhan Pasien TB Paru ... 43

BAB VI PEMBAHASAN ... 46

6.1 Faktor Risiko Kekambuhan Pasien Tuberkulosis Paru ... 46

6.2 Keterbatasan Penelitian ... 56

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ... 57

7.1 Simpulan ... 57

7.2 Saran ... 57

DAFTAR PUSTAKA ... 59

(14)

xiii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 4.1 Definisi Operasional Variabel ... 31 Tabel 5.1 Komparasi Karakteristik Responden Kasus dan Kontrol ... 40 Tabel 5.2 Crude OR Faktor Risiko Kekambuhan Pasien TB Paru di Kota

Denpasar ... 42 Tabel 5.3 Adjusted OR Faktor Risiko Kekambuhan Pasien TB Paru di

(15)

xiv

DAFTAR GAMBAR

(16)

xv

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

(AOR) : Adjusted Odds Ratio

(ARTI) : Annual Risk of Tuberculosis Infection CDC : Centers for Disease Control and Preventive

CI : Confidence Interval Dinkes : Dinas Kesehatan

DOTS : Directly Observed Treatment Short course Chemotherapy HIV : Human Immunodeficiency Virus

Kemenkes : Kementerian Kesehatan MDR : Multi Drug Resistance OAT : Obat Anti Tuberkulosis OR : Odds Ratio

PMO : Pengawas Minum Obat

PRM : Puskesmas Rujukan Mikroskopis

PPTI : Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia RI : Republik Indonesia

SDM : Sumber Daya Manusia SDG’s : Sustainable Development Goals SITT : Sistem Informasi TB Terpadu TB : Tuberkulosis

(17)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Jadwal Kegiatan Penelitian ... 68

Lampiran 2 Formulir Persetujuan Partisipasi Dalam Penelitian ... 69

Lampiran 3 Lembar Persetujuan Menjadi Responden ... 71

Lampiran 4 Kuesioner Penelitian ... 72

Lampiran 5 Output Stata ... 78

(18)
(19)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis masih menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia dan masih menjadi ancaman bagi kesehatan masyarakat hingga saat ini. Beban TB semakin meningkat seiring semakin bertambahnya kasus co-infeksi TB-HIV. Selain masalah HIV-AIDS, meningkatnya kasus TB disebabkan oleh kemiskinan yang meningkat, resistensi obat terhadap kuman penyebab tuberkulosis, kepadatan penduduk hingga masalah perumahan. Berdasarkan laporan WHO (2014) pada tahun 2013 diperkirakan sekitar 9 juta orang terinfeksi TB dan 1,5 juta orang meninggal akibat TB (360.000 kematian pada penderita TB dengan HIV positif). Indonesia memiliki angka prevalensi kasus TBC yang cukup tinggi. Diperkirakan angka prevalensi TB di Indonesia pada tahun 2014 sebesar 272 per 100.000 penduduk dan angka insiden sebesar 183 per 100.000 penduduk serta angka kematian akibat TB (tanpa TB dengan HIV positif) yang diperkirakan mencapai 25 per 100.000 penduduk (WHO, 2015).

Laporan World Health Organization (WHO) dalam Global Tuberculosis Report 2014 menyatakan bahwa 5,4 juta merupakan kasus baru BTA positif dan

(20)

2

kambuh di dunia. Berdasarkan Rencana Strategis Kementrian Kesehatan tahun 2015-2019 dimana target prevalensi tuberkulosis pada tahun 2019 yaitu 245 per 100.000 penduduk dan apabila jumlah kasus TB kambuh yang terjadi di masyarakat semakin banyak tentu hal ini akan berdampak pada tidak tercapainya target prevalensi TB yang diharapkan pada tahun 2019.

Penanganan penyakit TB dilakukan secara komprehensif dari penemuan kasus hingga pengobatan pada pasien TB. Tanpa pengobatan maka angka kematian akibat TB menjadi tinggi. Selain untuk menyembuhkan pasien dan mencegah kematian, tujuan pengobatan TB lainnya yaitu mencegah kekambuhan dan memutuskan rantai penularan. Salah satu upaya untuk menekan timbulnya kasus TB serta kematian akibat TB maka dibentuk strategi pengobatan TB secara global. Sekitar 37 juta orang berhasil diselamatkan melalui diagnosa dan pengobatan TB pada periode 2000-2013 (WHO, 2014).

Penyakit TB paru merupakan penyakit re emerging masih terus ditemukan di Provinsi Bali. TB termasuk dalam sepuluh besar penyakit yang ditemukan di Puskesmas Sentinel, Puskesmas, dan Rumah Sakit di Provinsi Bali pada tahun 2012 dengan angka prevalensi TB paru mencapai 50 per 100.000 penduduk (Dinkes Provinsi Bali, 2013). Berdasarkan laporan TB Dinas Kesehatan Provinsi Bali Tahun 2014, suspek TB Multi Drug Resistance (TB-MDR) pada tahun 2014 yaitu 103 orang dimana 50 orang (48,5%) merupakan kasus kambuh. Kota Denpasar memiliki proporsi suspek TB-MDR terbanyak diantara kabupaten atau kota Provinsi Bali pada tahun 2014 yaitu mencapai 42,7% (44 kasus).

(21)

3

Kesehatan Kota Denpasar Tahun 2013 dan 2014, dari semua kasus yang diobati didapatkan data pada tahun 2013 jumlah pasien TB BTA positif sebanyak 539 orang, penderita kasus kambuh 47 (8,7%) dan tahun 2014 jumlah BTA positif sebanyak 490 orang, 38 diantaranya (7,7%) merupakan pasien kambuh. Berdasarkan data Sistem Informasi TB Terpadu (SITT) Dinas Kesehatan Kota Denpasar, angka konversi pada tahun 2011 (67,2%) dan 2012 (67%) tidak mencapai target minimal yaitu sebesar 80%. Ketidakteraturan minum obat dapat menurunkan capaian angka konversi sehingga kondisi tersebut cenderung mengakibatkan pasien akan mudah menderita penyakit TB kembali atau kambuh dan juga dapat meningkatkan risiko penularan TB di Kota Denpasar. Berdasarkan wawancara dengan petugas TB di puskesmas, kebanyakan pasien TB merupakan penduduk pendatang dengan tingkat mobilisasi yang cukup tinggi dan kondisi perumahan yang padat. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di Georgia oleh Vashakidze, et al (2007) membuktikan bahwa penderita TB paru yang tinggal di wilayah dengan kepadatan penduduk yang tinggi memiliki risiko 1,42 kali mengalami kejadian resistensi. Selain itu keadaan fisik rumah, kontak serumah dengan penderita TB paru lain dan ketersediaan tempat membuang dahak juga berhubungan dengan risiko kejadian TB paru (Rusnoto, et al. 2005).

(22)

4

Berdasarkan hasil systematic review 32 artikel yang telah dilakukan oleh Panjabi, et al (2007) dilaporkan beberapa faktor risiko yang berhubungan maupun yang tidak berhubungan dengan kekambuhan tuberkulosis paru. Faktor risiko kekambuhan tuberkulosis paru yaitu sosiodemografi dan klinis. Faktor risiko sosiodemografi yang berhubungan dengan kekambuhan tuberkulosis paru yaitu merokok (Gopi, et al. 2005). Faktor sosiodemografi yang tidak meningkatkan risiko kekambuhan tuberkulosis paru yaitu umur (Driver, et al. 2001; Aber, et al. 1987; Pulido, et al. 1997). Faktor risiko sosiodemografi yang tidak berhubungan dengan kekambuhan tuberkulosis paru yaitu umur (Sonnenberg, et al. 2001; Gopi, et al.2005; Tuberculosis Research Centre, 1997; Tam, et al. 2002; Pulido, et al.

1997; Vernon, et al. 1999). Faktor risiko klinis yaitu kavitasi residual merupakan faktor risiko yang berhubungan dengan kekambuhan tuberkulosis paru (Sonnenberg, et al. 2001; Mallory, et al. 2000). Luasnya lesi bakteriologis TB paru juga ditemukan terkait dengan kekambuhan tuberkulosis paru (Tam, et al. 2002; Mallory, et al. 2000; The Tuberculosis Trials Consortium, 2002). Kultur dahak positif setelah 2 bulan pengobatan merupakan prediktor signifikan dari kekambuhan tuberkulosis paru (Aber, Nunn. 1978; The Tuberculosis Trials Consortium, 2002). Namun penelitian yang dilakukan oleh Tam, et al (2002) menemukan bahwa kultur dahak positif setelah 2 bulan pengobatan tidak berhubungan dengan kekambuhan tuberkulosis paru. Infeksi HIV secara independen meningkatkan risiko untuk kekambuhan tuberkulosis paru

(23)

5

meningkatkan risiko 8 sanpai 11 kali untuk mengalami kekambuhan tuberkulosis paru dibandingkan pasien yang menerima pengobatan 37 minggu atau lebih (Driver, et al. 2001; Pulido, et al. 1997).

Penelitian tentang kekambuhan pasien tuberkulosis paru masih jarang dilakukan di Indonesia. Penelitian yang dilakukan di Surakarta oleh Triman (2003) menemukan bahwa faktor yang mempengaruhi kekambuhan penderita tuberkulosis paru di Surakarta yaitu status gizi kurang, riwayat minum obat tidak teratur, kebiasaan merokok, ventilasi tidak memenuhi syarat. Hasil penelitian tersebut menemukan hasil yang berbeda-beda, dan sesuai pengkajian penulis bahwa perbedaan hasil penelitian tersebut dapat disebabkan oleh karena adanya perbedaan daerah, karakteristik sampel penelitian yang berbeda, perbedaan jumlah sampel serta adanya perbedaan kriteria inklusi dan ekslusi.

Penelitian yang dilakukan di Puskesmas II Denpasar Barat dengan rancangan penelitian cross sectional menemukan bahwa kepatuhan minum obat anti tuberkulosis berdasarkan frekuensi minum obat berhubungan dengan kekambuhan pasien TB (Igo, et al. 2012). Penelitian di Puskesmas II Denpasar Barat hanya meneliti hubungan faktor pengobatan yaitu kepatuhan pasien tuberkulosis paru dalam minum obat anti tuberkulosis terhadap kekambuhan dan belum meneliti faktor lainnya seperti faktor lingkungan dan faktor host terhadap kekambuhan pasien tuberkulosis paru.

(24)

6

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut.

1. Apakah faktor lingkungan fisik rumah (ventilasi, pencahayaan) merupakan faktor risiko kekambuhan pasien TB paru di Kota Denpasar?

2. Apakah faktor lingkungan sosial (kepadatan hunian, kontak serumah, pajanan asap rokok, kepatuhan minum obat) merupakan faktor risiko kekambuhan pasien TB paru di Kota Denpasar?

3. Apakah faktor host (penyakit penyerta DM, status gizi) merupakan faktor risiko kekambuhan pasien TB paru di Kota Denpasar?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum

Mengetahui faktor risiko yang memengaruhi kekambuhan pasien TB paru di Kota Denpasar.

1.3.2 Tujuan khusus

Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk membuktikan hal seperti diuraikan di bawah ini.

1. Faktor lingkungan fisik rumah (ventilasi, pencahayaan) sebagai faktor risiko kekambuhan pasien TB paru di Kota Denpasar.

2. Faktor lingkungan sosial (kepadatan hunian, kontak serumah, pajanan asap rokok, kepatuhan minum obat) sebagai faktor risiko kekambuhan pasien TB paru di Kota Denpasar.

(25)

7

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat praktis

1. Sebagai bahan masukan terhadap petugas kesehatan terutamanya tenaga kesehatan program TB untuk mengoptimalkan program pengobatan pasien TB dan mengendalikan munculnya kasus TB kambuh.

2. Memberikan informasi kepada pasien TB mengenai faktor-faktor yang berpotensi menyebabkan kekambuhan.

1.4.2 Manfaat teoritis

1. Memberikan kontribusi terhadap pengembangan ilmu pengetahuan terkait faktor yang berhubungan dengan kekambuhan TB.

(26)

8 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Aspek Epidemiologi Penyakit Tuberkulosis

Penularan TB tergantung dari lamanya kuman TB berada dalam suatu ruangan, konsentrasi kuman TB di udara serta lamanya menghirup udara, kondisi ruangan tempat udara terkontaminasi kuman TB dan derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak penderita. Menurut WHO dan Centers for Disease Control and Preventive (CDC, 2014) penularan TB dapat melalui udara yang

terkontaminasi kuman TB oleh penderita TB dengan cara bersin, batuk, berbicara dan tidak mmenular melalui bersalaman, berbagi makanan atau minuman, berbagi sikat gigi dan berciuman. Gejala utama adalah batuk selama 2 minggu atau lebih (Riskesdas, 2013).

Berdasarkan hasil survei prevalensi yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan, proporsi penderita TB paru tertinggi terjadi pada laki-laki (Riskesdas, 2013). Angka kejadian tuberkulosis (semua kasus/100.000 penduduk/tahun) di Indonesia sudah mengalami penurunan selama empat tahun terakhir yaitu 187/100.000 penduduk (2011), 185/100.000 penduduk (2012), 185/100.000 penduduk (2013) dan 183/100.000 penduduk (2014) (Laporan TB, Global Report WHO, 2013). Meskipun demikian, berbagai tantangan baru yang masih perlu

(27)

9

2.2 Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis Paru

Klasifikasi pasien tuberkulosis paru berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya menurut Depkes RI (2008), dibagi dalam 2 bagian yaitu 1) kasus baru; 2) kasus yang pernah diobati (kambuh, putus obat, gagal, pindahan).

2.3 Diagnosa Penyakit Tuberkulosis

Diagnosa penyakit TB yang digunakan di Indonesia dilakukan berdasarkan Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis yang dibedakan sesuai dengan letak penyakit TB. Beberapa kriteria diagnosa penyakit TB yaitu 1) diagnosa TB paru dengan pengambilan spesimen dahak selama dua hari kunjungan berurutan dengan waktu pengambilan Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS); 2) diagnosa TB ekstra paru; 3) diagnosa TB pada orang dengan HIV-AIDS.

2.4 Pengobatan TB

Tujuan pengobatan tuberkulosis antara lain penyembuhan pasien serta mengembalikan produktifitas dan kualitas hidup, pemutusan rantai penularan, pencegahan kekambuhan, pencegahan timbulnya resistensi kuman terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dan penularannya serta pencegahan kematian (Kemenkes RI, 2011; TB Fact.org, 2014). Panduan pengobatan TB yang berlaku di dunia dan Indonesia saat ini yaitu pengobatan dengan sistem DOTS (Directly Observed Treatment Short course chemotherapy). Pengobatan TB dilakukan

(28)

10

Gambar 2.1

(29)

11

2.5 Kekambuhan Tuberkulosis

Kuman TB sangat mudah resisten terhadap obat sehingga dalam pengobatan TB selalu digunakan beberapa macam obat bersamaan untuk mencegah resistensi terhadap satu jenis obat dan beberapa populasi kuman TB juga dapat menjadi dorman (tidak aktif). Kuman dalam fase demikian tidak dapat dibunuh oleh obat anti TB. Dalam keadaan tertentu antara lain daya tahan tubuh menurun, kuman tersebut dapat aktif kembali. Faktor risiko medis yang diketahui berperan pada TB relaps dan gagal pengobatan antara lain infeksi HIV, Diabetes Mellitus (DM), berat badan kurang, kavitas pada foto thorak, beban bakteri yang tinggi, durasi pengobatan yang singkat, resistensi OAT, dan hasil kultur positif setelah 2 bulan pengobatan. Faktor sosiodemografi yang berhubungan dengan TB relaps dan gagal pengobatan yaitu pengangguran, penyalahgunaan obat, alkohol, merokok dan rendahnya tingkat kepatuhan terhadap pengobatan (Kelly, et al. 2011). Adanya penderita kambuh ini dapat meningkatkan sumber penularan TB di lingkungan masyarakat dan dapat menghambat tercapainya tujuan pengobatan dan pengendalian TB.

2.6 Faktor Risiko Kekambuhan Tuberkulosis

Teori roda terdiri atas manusia dengan substansi genetik dan host pada bagian intinya dan komponen lingkungan biologi, sosial, fisik mengelilingi

(30)

12

1. Umur

Umur mempunyai hubungan dengan besarnya risiko terhadap penyakit TB paru dan sifat resistensi pada berbagai kelompok umur tertentu. Berdasarkan hasil penelitian Triman (2002), umur penderita yang mengalami kekambuhan berkisar 25-50 tahun 71,4%, sedangkan umur > 50 tahun 28,6%. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ubon (2010) 64,7% penderita yang mengalami kekambuhan TB paru adalah pada usia 25-44 tahun.

2. Jenis Kelamin

Insiden berbagai penyakit diantara jenis kelamin dapat berbeda. Hal ini dapat disebabkan karena pajanan terhadap agent bagi setiap jenis kelamin berbeda. Kebiasaan laki-laki merokok, minum alkohol dan keluar malam hari dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh hal ini menyebabkan laki-laki lebih rentan mengalami kekambuhan TB (Dhewi 2011). Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Aulia (2009) menyatakan bahwa perempuan memiliki risiko lebih tinggi untuk kambuh dibanding laki-laki.

3. Status sosial ekonomi

Sosial ekonomi yang rendah berpengaruh pada kekambuhan TB paru. Hasil penelitian Triman (2002) menyatakan bahwa sosial ekonominya rendah berpengaruh terhadap kekambuhan TB paru.

4. Pengetahuan penderita

(31)

13

5. Sikap penderita

Sikap merupakan salah satu komponen perilaku, dimana perilaku yang

mempengaruhi status kesehatan anggota masyarakat. Penelitian yang dilakukan

oleh Ruslantri (2013) menemukan bahwa sikap berhubungan dengan kekambuhan TB paru.

6. Kepatuhan minum obat

(32)

14

fase intensif sebanyak 36,4% puskesmas tetap memberikan obat fase sisipan tanpa menunggu hasil dahak, 27,3% memberikan obat fase lanjutan tanpa menunggu hasil dahak, 27,3% tidak memberikan obat hingga hasil dahak diketahui, dan 9,1% puskesmas menyatakan tidak pernah mengalami keterlambatan tersebut. Sedangkan untuk pemberian obat apabila terjadi keterlambatan hasil pemeriksaan dahak pada akhir fase sisipan dan bulan kelima, semua puskesmas telah menerapkan cara yang sama yaitu dengan tetap memberikan obat fase lanjutan. OAT harus diminum teratur sesuai jadwal, terutama pada fase pengobatan intensif untuk menghindari terjadinya kegagalan pengobatan serta terjadinya kekambuhan (Supriyono, et al. 2007).

Hasil penelitian di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Surakarta ada hubungan antara riwayat minum obat dengan kejadian tuberkulosis relaps. Pada tingkat kepercayaan 95% diketahui odds ratio sebesar 2,27 hal ini berarti penderita TB paru berisiko kambuh karena riwayat minum obat tidak teratur sebesar 2,27 kali dibandingkan dengan penderita yang teratur meminum obat. Penelitian yang dilakukan di India Selatan menemukan bahwa riwayat minum obat tidak teratur merupakan faktor risiko kekambuhan (Gopi, 2001).

(33)

15

7. Status konversi

Luasnya lesi bakteriologis TB paru juga ditemukan terkait dengan kemungkinan kekambuhan. Tidak terjadinya konversi sputum pada akhir fase

intensif dapat mengindikasikan rendahnya tingkat kepatuhan pasien dalam

pengobatan, rendahnya kualitas OAT, penggunaan OAT dengan dosis yang tidak

sesuai dengan yang diresepkan, lambatnya penyembuhan akibat luasnya kavitas

dan tingginya beban bakteri TB sejak awal pengobatan, terdapatnya

Mycobacterium tuberculosis yang resisten OAT dan tidak merespon terhadap

pengobatan lini pertama. Kegagalan konversi dahak setelah dua bulan pengobatan

TB menyebabkan penderita TB bersifat infeksius pada waktu yang lebih lama dibandingkan penderita yang mengalami konversi. Pasien yang tidak mengalami konversi sputum pada tahap pengobatan intensif, kemudian tidak juga mengalami

konversi pada tahap lanjutan semakin meningkatkan risiko untuk mengalami

kekambuhan dan menjadi suspekTB MDR (Babalik, et al. 2012).

(34)

16

8. Status gizi

Kekurangan gizi dapat disebabkan karena asupan gizi yang tidak seimbang. Sebuah penelitian yang dilakukan di Semarang menunjukkan bahwa

ada hubungan antara status gizi dengan kekambuhan TB paru (Ruslantri, 2013).

Umumnya orang yang berpengahasilan rendah tidak dapat memenuhi kebutuhan gizinya dengan baik. Padahal orang yang tidak dapat memenuhi gizinya dengan baik dapat mengalami penurunan daya tahan tubuh. Kondisi demikian kalau dibiarkan dan tidak mendapatkan perhatian yang serius dapat menyebabkan kondisi penderita dari hari ke hari makin lemah, sehingga lebih rentan terinfeksi

Mycobacterium tuberculosis kembali. Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengetahui faktor risiko status gizi terhadap kekambuhan pasien tuberkulosis paru di Kota Denpasar.

9. Penyakit penyerta DM

(35)

17

10. Kebiasaan merokok

Kebiasaan merokok dapat mengganggu kesehatan, tidak dapat dipungkiri lagi banyak penyakit yang terjadi akibat dari kebiasaan merokok. Hasil penelitian Joanna et al. (2008) menyebutkan bahwa merokok berhubungan dengan kekambuhan TB paru (OR=2,53, 95% CI 1,23-5,21, p=0,016). Penelitian yang dilakukan oleh Sianturi (2013) menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan kekambuhan TB paru di BKPM Semarang (p=1,000). Banyak fakta yang menyatakan bahwa perilaku merokok merupakan penyebab utama penyakit paru, termasuk tuberkulosis. Pajanan terhadap tembakau, baik secara aktif maupun pasif, meningkatkan risiko timbulnya kekambuhan tuberkulosis paru. Oleh karena itu menarik untuk dilihat lebih lanjut faktor risiko pajanan asap rokok terhadap kekambuhan pasien tuberkulosis paru di Kota Denpasar.

11. Faktor resistensi Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT

TB resisten bisa terjadi akibat pengobatan TB yang tidak tepat atau tidak standar. Penelitian yang dilakukan di Vietnam oleh Quy (2000) menemukan bahwa resistensi obat primer merupakan faktor risiko untuk gagal dan kekambuhan tuberkulosis. Penelitian yang dilakukan di India Selatan oleh Gopi (2001) menemukan bahwa pasien yang resistensi obat awal terhadap isoniazid dan rifampisin memiliki risiko 4 kali untuk mengalami kekambuhan tuberkulosis

(36)

18

12. Kontak serumah

Khuram (2009) menyatakan bahwa orang yang pernah kontak dengan penderita TB paru berisiko 3,74 kali untuk menderita TB paru dibandingkan dengan orang yang tidak pernah kontak dengan penderita TB paru. Hasil penelitian Ruslantri (2013) bahwa tidak ada hubungan kontak serumah dengan kekambuhan TB paru (p=0,248). Berdasarkan wawancara dengan petugas TB di puskesmas, kebanyakan pasien TB merupakan penduduk pendatang dengan tingkat mobilisasi yang cukup tinggi dan kondisi perumahan yang padat. Oleh karena itu menarik untuk dilihat lebih lanjut faktor risiko kontak serumah terhadap kekambuhan pasien tuberkulosis paru di Kota Denpasar.

13. Pencahayaan

Masuknya cahaya matahari ke dalam rumah diharapkan dapat membunuh kuman TB yang dikeluarkan oleh penderita pada saat batuk, sehingga jumlah kuman dalam rumah dapat dikurangi dan penularan juga berkurang. Persyaratan pencahayaan rumah sehat menurut Kemenkes No. 829/Menkes/SK/VII/1999 adalah pencahayaan dengan intensitas penerangan minimal 60 lux dan tidak menyilaukan mata. Hasil penelitian Triman (2002) menyebutkan bahwa tidak ada hubungan antara pencahayaan dengan kekambuhan TB paru (p=1,000).

14. Ventilasi

(37)

19

ventilasi tidak memenuhi syarat mempunyai kemungkinan 3 kali untuk kambuh dibanding penderita yang tinggal dengan ventilasi yang memenuhi syarat OR=2,9 (95%CI: 1,25-6,98). Ventilasi kamar yang memenuhi syarat memungkinkan adanya pergantian udara dalam kamar, sehingga dapat mengurangi kemungkinan penularan pada orang lain seiring dengan menurunnya konsentrasi kuman.

Hasil penelitian tersebut di atas menunjukkan masih adanya perbedaan. Oleh karena itu menarik untuk dilihat lebih lanjut faktor risiko ventilasi terhadap kekambuhan pasien tuberkulosis paru di Kota Denpasar.

15. Kepadatan hunian rumah

Gambar

Gambar 2.1 Alur Diagnosa TB Paru (Kemenkes, 2014)

Referensi

Dokumen terkait

[r]

[r]

Calon Penyedia Barang/Jasa yang telah mendaftar untuk mengikuti paket Pelelangan Sederhana ini sebanyak 91 (sembilan puluh satu) peserta;1. Sampai dengan batas waktu

Catatan : Agar membawa berkas asli sesuai Dokumen Kualifikasi dan

Kelompok Kerja Unit Layanan Pengadaan Daerah Kementerian Keuangan Provinsi Jawa Barat melaksanakan Pelelangan Paket Pengadaan Pekerjaan Pengawasan Renovasi Rumah

Kata baku yang tepat untuk melengkapi bagian yang rumpang dalam paragraf tersebut adalah ..... dipikirkan, zaman, menafsirkan,

Pada hari ini Jumat tanggal WIB melalui website LPSE Kementerian penjelasan Dokumen Lelang Pekerj Diklat Keuangan Balikpapan 002/ULPD.KALTIM/BDK/2016 tangga berikut:. A.

Lunar eclipse occurs when part or all parts of the moon surface are covered by the shadow of the earth.. There are two types of shadow, penumbra