• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kerangka Konsep Tahapan Pembangunan Agribisnis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kerangka Konsep Tahapan Pembangunan Agribisnis"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Tahapan Pembangunan Agribisnis

Dr. Harianto

Pendahuluan

Pembangunan konsep agribisnis di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pemikiran-pemikiran yang disampaikan oleh Bungaran Saragih. Pemikiran-pemikiran tersebut disampaikan melalui berbagai media. Sebagai pembicara di berbagai pertemuan ilmiah ataupun pertemuan perumusan kebijakan publik, konsep agribisnis senantiasa menjadi topik yang dibawakannya. Demikian juga, berbagai tulisannya di media masa tidak dapat dilepaskan dari isu dan masalah agribisnis.

Pemikiran yang konsisten dan secara terus-menerus disampaikan, pada akhirnya menampakkan hasil. Agribisnis telah memperoleh perhatian yang besar di tatanan pembuat kebijakan publik. Lebih jauh dari itu, agribisnis telah menjadi obyek studi di banyak perguruan tinggi di Indonesia. Perguruan tinggi-perguruan tinggi yang memiliki fakultas pertanian, umumnya memiliki jurusan, departemen, atau pun program studi agribisnis.

Saat menjabat Menteri Pertanian, Bungaran Saragih secara konsisten berusaha menerapkan konsep agribisnis dalam strategi pembangunan pertanian. Keterkaitan subsistem agribisnis on farm dengan subsistem hulu, subsistem hilir, maupun subsistem penunjangnya senantiasa menjadi perhatian. Berdasarkan pemikiran konsep agribisnis, pembangunan pertanian sulit berhasil mencapai tujuannya apabila tidak ada sinergi di antara subsistem yang ada dalam sistem agribisnis. Departemen Pertanian pada masa itu menetapkan pembangunan sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan, dan terdesentralisasi sebagai strategi pokok pembangunan pertanian Indonesia. Untuk mewujudkan sistem dan usaha agribisnis yang demikian dilakukan berbagai program dan kegiatan secara bertahap yang diharapkan dapat mendorong perkembangan agribisnis dimulai dari tahap perkembangan sistem dan usaha agribisnis yang ada di setiap daerah.

Pembangunan sistem dan usaha agribisnis dengan demikan perlu disesuaikan dengan kondisi agribisnis yang ada di masing-masing daerah.

(2)

Yang menjadi pertanyaan waktu itu adalah bagaimana mengelompokkan dan mengidentifikasi perkembangan agribisnis agar diperoleh gambaran yang bermanfaat bagi perumusan kebijakan pembangunan agribisnis? Kondisi agribisnis perlu dikelompokkan ke dalam beberapa tahap, sebagaimana tahapan-tahapan pembangunan (development stages) di dalam teori ekonomi pembangunan. Pusat Studi Pembangunan (PSP)-Institut Pertanian Bogor pada tahun 2001 berusaha untuk memformulasikan dan mengidentifikasi tahapan perkembangan sistem dan usaha agribisnis tersebut.

Hipotesa tahap-tahap perkembangan sistem dan usaha agribisnis yang terjadi adalah sebagai berikut. Tahap pertama, sistem dan usaha agribisnis yang digerakkan oleh kelimpahan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia belum terampil (natural resources and unskill human resources based) atau disebut juga tahap factor-driven dalam merespons permintaan pasar. Tahap kedua, sistem dan usaha agribisnis yang digerakan oleh penggunaan barang-barang modal dan SDM lebih terampil (capital and semi-skill human resources based) atau capital-driven dalam merespons permintaan pasar. Dan tahap ketiga adalah sistem dan usaha agribisnis yang digerakan oleh ilmu pengetahuan-teknologi dan SDM terampil (knowledge and skill human resources based) atau innovation-driven. Diharapkan dalam merespon permintaan pasar perkembangan sistem dan usaha agribisnis bergeser dari factor-driven, kepada capital-driven dan akhirnya pada tahap innovation-driven.

Realitas dari sistem dan usaha agribisnis di Indonesia adalah beragam, baik antar komoditas, antar daerah maupun tahap perkembangannya. Karena itu untuk membangun dan menggerakkan sistem dan usaha agribisnis yang ada diperlukan penanganan yang berbeda-beda, sesuai dengan tahap perkembangannya. Berkaitan dengan hal tersebut terdapat dua tantangan pokok berkaitan dengan usaha mendorong perkembangan agribisnis yaitu: bagaimana aktualisasi tahapan perkembangan pada masing-masing sistem agribisnis yang beragam dan bagaimana melakukan identifikasi tingkat perkembangan itu sendiri. Disamping itu, hipotesis di atas pun sebenarnya membutuhkan pembuktian berdasarkan kajian yang komprehensif dan “rigourous”.

Sumber Pertumbuhan dan Tahapan Pembangunan

Konsep pertumbuhan mengacu pada perubahan output, input, dan atau produktivitas menurut dimensi waktu (dinamis). Pertumbuhan ekonomi suatu negara dicerminkan oleh pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB),

(3)

yakni pertumbuhan nilai tambah (value added) sektor ekonomi, sehingga pertumbuhan dapat diartikan sebagai: (1) perubahan PDB menurut dimensi waktu, dan (2) pertumbuhuan PDB per kapita menurut dimensi waktu.

Secara makro pertumbuhan dipengaruhi oleh dua hal, yaitu pergeseran dari sudut agregat permintaan (aggregate demand) dan agregat penawaran (aggregate supply). Dari sisi permintaan, sumber-sumber pertumbuhan berasal dari pasar (market) yaitu konsumsi masyarakat, investasi swasta, pengeluaran pemerintah (government expenditure) dan net ekspor (ekspor dikurangi impor). Namun demikian dari sudut ekonomi, pertumbuhan ekonomi yang riil lebih cenderung melihat dari sudut penawaran. Demikian pula pertumbuhan atau perkembangan sektor pertanian atau secara khusus sistem agribisnis sangat terkait kepada perkembangan (growth) sub-sub sektor pertanian lainnya. Terdapat dua faktor yang menggerakan pertumbuhan suatu sektor ekonomi, yaitu peningkatan penawaran faktor-faktor produksi dan peningkatan produktifitas faktor produksi itu sendiri (output per unit dari faktor produksi). Penelitian-penelitian menunjukkan bahwa sumber-sumber pertumbuhan atau peningkatan output sangat ditentukan oleh empat komponen (Lipsey et al. 1993):

1. Pertumbuhan tenaga kerja (labour force growth). Ketersediaan tenaga kerja secara berkesinambungan ditambah dengan tingkat partisipasi yang tinggi akan meningkatkan output suatu sektor ekonomi. Namun seperti yang telah disebutkan di atas selain jumlah, produktifitas mempengaruhi dan memiliki kontribusi yang cukup kuat. Maka dalam konteks ini, proporsi tenaga kerja terlatih (skilled labour) dan tenaga kerja tidak terlatih (unskilled labour) perlu mendapat perhatian, khususnya dalam pembangunan pertanian mengingat sebagian besar tenaga kerja di sektor pertanian merupakan tenaga kerja tidak terlatih. Ada aspek lain yang perlu diperhatikan yaitu bahwa peningkatan jumlah tenaga kerja tidak selalu proporsional dengan peningkatan output. Pada suatu fase dalam proses produksi akan terjadi kenaikan produksi tidak sebanding dengan penambahan tenaga kerja (the law of diminishing returns).

2. Investasi pada sumberdaya manusia (investment in human capital). Terdapat tiga aspek dalam human capital ini. Pertama, peningkatan kesehatan dan longevity of the population. Kedua, pelatihan sumberdaya manusia sehingga menjadi tenaga kerja yang terlatih. Pelatihan atau edukasi sangat tergantung kepada status teknologi. Kehandalan teknologi tidak hanya menciptakan kapital fisik yang lebih produktif juga akan

(4)

menghasilkan sumberdaya manusia (human capital) yang lebih efektif. Ketiga adalah peranan human capital dalam menciptakan suatu inovasi baru.

3. Investasi pada kapital fisik berupa pabrik, peralatan produksi, transportasi dan fasilitas telekomunikasi.

4. Perubahan teknologi (technological change). Perubahan teknologi ini merupakan dampak dari inovasi yang dihasilkan oleh human capital. Inovasi menciptakan produk-produk baru, cara menghasilkan produksi dan pola pengorganisasian sumberdaya atau bentuk-bentuk organisasi bisnis.

Komponen tiga pertama merupakan sumber-sumber menurut model pertumbuhan neo-klasik. Sementara itu, Solow (1962) berpendapat bahwa ketersediaan tenaga kerja dan kapital tidak selalu mendukung pertumbuhan yang lebih kompetitif. Inovasi pengetahuan yang baru dan penemuan-penemuan proses teknologi yang baru (inventions) dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap peningkatan produksi. Bahkan tanpa adanya akumulasi kapital, perkembangan proses produksi akan tetap berlangsung. Banyak perusahaan yang gagal bersaing dengan pesaing lainnya karena ketidakmampuan menciptakan inovasi atau memanfaatkan perkembangan teknologi. Inovasi merupakan suatu proses yang berkesinambungan sesuai dengan perkembangan teknologi dan perubahan preferensi konsumen. Diakuinya proses inovasi adalah bukan tanpa biaya dan tanpa resiko. Namun demikian, marjinal manfaat yang akan diperoleh akan jauh lebih besar dari tambahan biaya.

Sejalan dengan pemikiran Solow, dimana teknologi dalam hal ini inovasi merupakan prasyarat mutlak dalam pembangunan, Rostow (1960) melihat bahwa proses industrialisasi dan pemakaian teknologi modern merupakan ciri tahap lepas landas. Dalam tahap ini Rostow menyatakan bahwa investasi dan peningkatan teknologi pada level yang cukup tinggi akan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang terus berkesinambungan. Tinjauan dari sudut perkembangan ekonomi dikaitkan dengan produktifitas tenaga kerja, tahap-tahap awal perkembangan ekonomi, baik ekonomi yang berbasiskan industri maupun informasi, perkembangan industri pengolahan menjadi tolok ukur utama. Pada tahapan terakhir atau tahap matang (maturity phase), ekonomi lebih dicirikan oleh kontribusi sektor jasa yang semakin besar. Ekonomi yang berbasiskan pertanian tradisional secara bertahap harus berkurang proporsinya dan mulai melakukan restrukturisasi aplikasi teknologi.

(5)

Rostow, yang juga seorang ahli ekonomi neoklasik mengemukakan adanya 5 tahapan yang harus dilalui oleh suatu negara menuju kematangan pertumbuhan ekonomi. Tahapan yang pertama adalah ekonomi tradisional, selanjutnya memasuki tahap pre condition, tahapan tinggal landas (take-off), tahapan menuju kematangan (drive to maturity), dan tahap kelima adalah kematangan ekonomi (maturity). Menurut Rostow apabila suatu negara telah mencapai minimal tahapan ketiga, maka negara tersebut dapat melalui tahapan-tahapan selanjutnya hingga ke tahapan kelima. Namun hingga pada tahapan kedua, maka proses untuk kembali pada tahapan awal masih dimungkinkan terjadi.

Pertanian dan Tahap Perkembangan Ekonomi

Tingkat perkembangan pertanian tidak dapat dipisahkan dari perkembangan ekonomi secara keseluruhan (yang juga berimplikasi pada perkembangan sosial, politik, dan faktor lainnya). Pertanian dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi dan sebaliknya ekonomi dipengaruhi oleh perkembangan pertanian. Hal ini telah dirumuskan sejak awal, antara lain melalui model yang dikembangkan oleh Lewis (1954) yang menyederhanakan perekonomian menjadi dua sektor saja, yaitu sektor pertanian (dan perdesaan) dan sektor industri. Perkembangan dari Model Lewis, dan juga pemikiran Harrod-Domar, Solow, dan Kaldor; menyatakan bahwa perkembangan ekonomi secara sederhana dapat dilihat dari kontribusi dan produktivitas sumberdaya alam dibandingkan dengan kapital. Jika peran sumberdaya alam masih dominan maka perekonomian dapat dipandang masih cenderung pada pertanian dan perdesaan, sebaliknya jika kapital lebih dominan maka perkembangan perekonomian telah berada pada tahapan industri. Sedangkan untuk tenaga kerja, maka yang diperbandingkan adalah produktvitas marjinal tenaga kerja diantara kedua sektor tersebut. Sektor dengan produktivitas marjinal yang lebih tinggi akan memiliki tingkat perkembangan yang lebih tinggi pula.

Pendekatan lain dalam melihat keterkaitan tahap perkembangan ekonomi adalah dengan mencermati proses transformasi struktural perekonomian. Hal ini secara sederhana dapat dilihat dari pangsa output (PDB atau PDRB) dari masing-masing sektor, maupun dengan melihat pangsa sektor terhadap tenaga kerja. Dengan pendekatan ini perekonomian dapat dilihat apakah masih bercorak pertanian atau sudah bercorak industri. Pendekatan transformasi struktural ini kemudian menghasilkan tesis besar bahwa kemajuan perekonomian terjadi jika ekonomi bertransformasi dari

(6)

berbasis pertanian menjadi berbasis industri dan kemudian menjadi berbasis jasa. Tesis transformasi struktural tersebut kemudian sejalan dengan konsep tahapan perkembangan ekonomi yang diajukan Model Rostow, yang telah mempopulerkan konsep “tinggal landas” sebagai tahapan perkembangan ekonomi dimana ekonomi dapat bertumbuh dengan pesat.

Analisis lebih lanjut terhadap perkembangan ekonomi dikaitkan dengan pangsa tenaga kerja sebagai pendekatan terhadap tingkat produktivitas tenaga kerja yang berarti juga proksi terhadap produktivitas kegiatan ekonomi dimana tenaga kerja tersebut bekerja, diajukan antara lain oleh Crawford (Gambar 1).

Model Crawford tersebut menegaskan bahwa perekonomian berkembang dari ekonomi pra-industri menuju perekonomian berbasis informasi secara bertahap. Bungaran Saragih (1995) menggunakan model Crawford tersebut untuk menyatakan bahwa ekonomi Indonesia masih berada pada tahap perkembangan dari tahap awal ke tahap berkembang dalam ekonomi industri.

Sumber : Diadopsi dari Crawford, 1991

Gambar 1. Tahapan Perkembangan Ekonomi dalam Hubungannya dengan Pangsa Tenaga Kerja di Berbagai Sektor.

(7)

Pendekatan yang diajukan di atas pada akhirnya bermuara pada analisa dari ‘factor share’ (perbandingan antara ‘natural resource’ dan ‘capital resource’) dan analisa terhadap karakter tenaga kerja (didekati dengan produktivitas). Namun pendekatan yang lazim dilakukan masih melihat perekonomian dalam konteks perbandingan antar sektor dalam konteks paradigma dualisme ekonomi (pertanian dan industri). Hal tersebut dalam perkembangannya, terutama dalam konteks paradigma sistem agribisnis, perlu dikoreksi karena melalui sistem agribisnis dipahami bahwa terhadap kegiatan industri dan jasa yang sangat erat kaitannya dengan pertanian (on-farm). Dengan demikian, jika agribisnis dapat dimaknai sebagai “sistem pertanian dalam arti luas”; maka dapat pula ditelaah perkembangan dari satu sektor, dengan melihat kontribusi ‘natural resource’ dan ‘capital resource’ dalam sektor itu, serta kondisi perkembangan tenaga kerjanya (‘unskilled labour’, ‘skiled labour’, dan ‘knowledge-based human capital’).

Tahapan Perkembangan Agribisnis

PSP-IPB, berdasarkan pemikiran Crawford di atas, merumuskan tahapan yang dapat diikuti dalam pembangunan sistem agribisnis. Untuk membangun keunggulan bersaing bidang agribisnis, melalui pendayagunaaan keunggulan komparatif, perlu dilakukan secara bertahap dan visioner. Akumulasi pengalaman pembangunan pada tahap sebelumnya seharusnya dapat menyumbang pada pembangunan sistem agribisnis pada tahap berikutnya. Tahap-tahap pembangunan sistem agribisnis Indonesia dari pembangunan yang mengandalkan keunggulan komparatif kepada pembangunan yang mengandalkan keunggulan kompetitif secara ringkas disajikan pada Gambar 2.

Tahap pertama pengembangan agribisnis adalah bertumpu pada keunggulan komparatif berupa ketersediaan lahan yang cukup luas, jumlah tenaga kerja di sektor pertanian yang masih besar dan didukung oleh agroklimat yang sesuai. Atau dengan kata lain, input yang berupa sumberdaya alam (natural resource inputs) memiliki kontribusi yang cukup besar dalam proses produksi di sektor pertanian (pangan, perkebunan, perikanan, dan peternakan). Output yang dihasilkan pada tahap pertama tidak dapat berkesinambungan ditinjau dari sudut pasar mengingat lemahnya kemampuan untuk bersaing dengan produk-produk lain. Di samping itu, secara ekonomi produk-produk yang dihasilkan pada tahap pertama tidak memberikan tambahan manfaat atau value added dari potensi pengembangan produk itu sendiri.

(8)

Gambar 2. Tahapan Pembangunan Sistem Agribisnis dari Berkeunggulan Komparatif Kepada Keunggulan Kompetitif

Secara umum pada saat ini agribisnis Indonesia masih berada pada tahap awal yakni tahap pembangunan agribisnis yang digerakkan oleh kelimpahan faktor produksi (factor driven) yakni sumberdaya alam (natural resources) dan tenaga kerja yang tidak terdidik (unskilled labor). Hal ini dapat dilihat baik dari segi teknologi maupun dari segi struktur produksinya. Dari segi teknologi produksi, peningkatan nilai produksi agregat sistem agribisnis Indonesia masih bersumber dari peningkatan jumlah penggunaan sumberdaya alam dan tenaga kerja tidak terdidik seperti ekstensifikasi produksi agribisnis. Sedangkan dari segi struktur produksi akhir, sistem agribisnis Indonesia pada umumnya masih menghasilkan produk yang didominasi oleh komoditas primer. Sehingga pada tahap ini, pembangunan sistem agribisnis Indonesia masih identik dengan pembangunan pertanian. Dan perekonomian Indonesia secara umum masih digolongkan pada perekonomian yang berbasis pada pertanian (agricultural-based economy).

Perekonomian yang mengandalkan kelimpahan sumberdaya alam dan tenaga kerja yang tidak terdidik (keunggulan komparatif) tidak dapat diandalkan terus-menerus. Sebab selain tidak akan mampu memenuhi kebutuhan yang berkembang terus, juga tidak mampu diandalkan dalam perekonomian dunia yang penuh kompetisi. Hal ini dapat diamati pada

(9)

berbagai komoditas agribisnis Indonesia seperti minyak sawit, karet alam, minyak kelapa, dan lain-lain, dimana Indonesia termasuk produsen terbesar di dunia, namun tidak memiliki keunggulan bersaing di pasar internasional. Selain tidak mampu bersaing, manfaat ekonomi yang dihasilkannya dan yang dapat dinikmati Indonesia masih relatif kecil dibandingkan potensi manfaat yang dapat diciptakan. Oleh sebab itu, sistem agribisnis yang saat ini mengandalkan kelimpahan faktor produksi harus sesegera mungkin dimodernisasi yakni memasuki tahap kedua.

Pada tahap kedua, pembangunan sistem agribisnis Indonesia akan digerakkan oleh kekuatan investasi (investment-driven) melalui percepatan pembangunan dan pendalaman industri pengolahan (agroindustri) serta industri hulu, (agrokimia, agrootomotif, perbenihan/pembibitan) pada setiap kelompok agribisnis (agribusiness cluster). Selain pembangunan industri tersebut, perlu disertai dengan pengembangan aspek-aspek pembangunan sistem agribisnis khususnya peningkatan kemampuan sumberdaya manusia.

Fungsi kapital pada tahap kedua akan menggerakkan sistem agribisnis menjadi lebih produktif. Tambahan kenaikan output karena tambahan kapital lebih besar dibandingkan dengan tambahan input sumberdaya alam. Dalam tahap kedua ini, kekuatan investasi yang berupa peningkatan subsistem hilir (agroindustri) dan subsistem hulu (agrokimia, agrootomotif, dan pengadaan input produksi lainnya) menjadi pendorong utama pertumbuhan sistem agribisnis. Dampak yang dihasilkan pada tahap kedua ini adalah: pertama, akan terjadi akumulasi kapital/capital accumulation) pada sistem produksi. Capital-labour ratio atau perbandingan kapital terhadap tenaga kerja akan lebih besar. Jumlah kapital yang terakumulasi akan meng-induce sistem produksi menjadi lebih produktif. Kedua, pada tahap ini akan diperoleh produk-produk yang lebih padat modal (capital intensive) dan padat tenaga kerja terlatih (skilled labour). Ketiga, produk yang memiliki nilai tambah dan lebih kompetitif menggeser produk-produk yang hanya berbasiskan sumberdaya alam, dan yang lebih penting produk akan lebih fleksibel terhadap perubahan-perubahan permintaan. Bila Indonesia berhasil pada tahap kedua ini, maka perekonomian Indonesia akan bergeser dari perekonomian berbasis pertanian kepada perekonomian yang berbasis pada agribisnis (agroindustry-based economy).

Tahap pembangunan sistem agribisnis berikutnya adalah tahap pembangunan sistem agribisnis yang didorong oleh inovasi (innovation-driven) melalui peningkatan kemajuan teknologi pada setiap subsistem dari

(10)

agribisnis untuk setiap kelompok agribisnis serta disertai dengan peningkatan kemampuan sumberdaya manusia lebih lanjut sehingga tetap sinkron dengan perkembangan teknologi yang ada. Pada tahap ini dicirikan oleh produktivitas yang tinggi dari lembaga-lembaga penelitian dan pengembangan pada setiap subsistem agribisnis sehingga teknologi baru tetap dihasilkan sesuai dengan perubahan pasar. Pada tahap inovasi ini kemajuan bioteknologi, khususnya pada industri pembibitan/perbenihan, teknologi di bidang agrokimia, teknologi agrootomotif, dan teknologi pengolahan (processing) menjadi tulang punggung pembangunan sistem agribisnis secara keseluruhan. Pada tahap inovasi, produk agribisnis yang dihasilkan akan didominasi oleh produk-produk yang bersifat pada ilmu pengetahuan dan tenaga kerja yang terdidik (knowledge intensive and skilled labor based) sedemikian rupa sehingga makin memperbesar dan memperluas pangsa pasar internasional yang dapat dikuasai atau dimasuki Indonesia. Selain itu, nilai tambah (added value) yang dapat dinikmati Indonesia akan semakin besar.

Bila tahap ketiga ini dapat dicapai sistem agribisnis Indonesia, maka perekonomian Indonesia akan beralih dari perekonomian yang berbasis agribisnis kepada perekonomian yang berbasis teknologi (technology based economy). Masing-masing tahapan pembangunan sistem agribisnis tersebut mempunyai karakteristik serta tuntutan sendiri-sendiri. Oleh karena itu, pengelolaan pembangunan sistem agribisnis yang diperlukan pada setiap tahap juga berbeda-beda.

Aspek penting lain dalam kegiatan agribisnis, dari perspektif sosiologi, adalah organisasi. Konsep cara produksi dapat digunakan dalam hal ini. Untuk ini dapat dirujuk tiga tipe cara produksi yang tampaknya relevan dikenakan pada dunia pertanian di Indonesia:

a. Produksi Subsisten (subsistence production): Usaha pertanian oleh dan untuk rumah tangga petani.

b. Produksi Komersialis (petty commodity production): Usaha pertanian/luar pertanian skala kecil oleh rumah tangga untuk pasar.

c. Produksi Kapitalis (capitalist production): Usaha pertanian/luar pertanian skala menengah/besar oleh perusahan untuk pasar.

Dengan memadukan tiga tipe agribisnis menurut kualifikasi input (perspektif ekonomi) dan tiga tipe kegiatan ekonomi/agribisnis menurut cara produksi (perspektif sosiologi), Bayu Krisnamurti (salah satu anggota tim PSP-IPB) mengusulkan suatu matriks ber-sel sembilan, yang menunjuk pada kemungkinan sembilan pola kegiatan ekonomi pertanian sebagai berikut :

(11)

Tiga tipe ideal agribisnis menurut matriks tersebut adalah : 1). Tipe A.1 : subsisten berbasis faktor produksi 2). Tipe B.2 : komersialis berbasis modal 3). Tipe C.3 : kapitalis berbasis inovasi

Tetapi dalam realitas, khususnya di Indonesia kini, sangat mungkin ditemukan dua tipe non ideal, yang sangat mungkin juga akan berkembang menuju tipe ideal. Kalau tidak, sebaliknya justru mengalami stagnasi, yaitu : 1). Tipe B.1 : komersial berbasis faktor produksi

2). Tipe C.2 : kapitalis berbasis modal

Jika menunjuk pada matriks tersebut, maka arah perkembangan suatu kegiatan ekonomi/agribisnis tampaknya adalah dari tipe A.1 ke tipe B.1, dari tipe B.1 ke tipe B.2, dari tipe B.2 ke tipe C.2, dan akhirnya dari tipe C.2 ke tipe C.3. Tipe-tipe B.1 dan C.2 tampaknya adalah tipe-tipe transisi.

Analisis terhadap perkembangan kegiatan agribisnis dapat pula didekati dengan melakukan analisa tingkat mikro pada suatu entitas agribisnis tertentu. Beberapa faktor yang dapat dilihat adalah :

1. Orientasi usaha entitas agribisnis yang bersangkutan. Tingkat perkembangan orientasi usaha dapat diurutkan :

a. Orientasi Subsistensi b. Orientasi Pasar

c. Orientasi Keberlanjutan d. Orientasi Pengembangan.

(12)

2. Interaksi usaha dengan pasar input maupun pasar output dilihat dari share transaksi terhadap biaya dan penerimaan.

3. Lingkup, jangkauan, dan keberagaman pasar.

4. Nilai equitas-intangible, seperti ekuitas merek, posisi human capital, dll; terhadap nilai kegiatan usaha

5. “Track-record”: eksistensi bisnis dilihat dari historical-perspective perkembangan yang dialami oleh bisnis yang bersangkutan. Hal ini sebagai pendekatan terhadap “learning curve” yang telah dilewati oleh bisnis.

Tingkat perkembangan bisnis tersebut akan menjadi dasar bagi perilaku dan perkembangan kelembagaan bisnis yang dapat lebih menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan share input yang terdeskripsikan pada perkembangan ekonomi.

Eksplorasi Empiris

Untuk menguji pemikiran tentang tahapan perkembangan sistem dan usaha agribisnis tersebut, maka PSP bekerjasama dengan Departemen Pertanian melakukan kajian eksploratif terhadap beberapa komoditas agribisnis. Komoditas yang dikaji berada pada empat subsektor pertanian yang berbeda. Dalam studi Analisis Tahap Perkembangan Agribisnis di Indonesia ini meliputi empat subsektor pertanian dengan sample 2 komoditi pada setiap subsektornya. Lokasi yang dipilih merupakan sentra produksi komoditi yang bersangkutan serta diharapkan dapat mewakili karakteristik Jawa-Luar Jawa.

Tabel 1. Komoditas dan Lokasi Kajian

Sub-Sektor Komoditas Lokasi

Tanaman Pangan Padi Jagung Jabar, Kalsel Jatim, Sulsel Hortikultura Kentang Tomat Jabar, Sumut Jateng, Sumut Perkebunan Kopi Tebu Lampung, Sulsel Jatim, Lampung Peternakan Sapi Potong

Ayam Ras

Lampung, Jateng Jabar, Kalsel

(13)

Pendekatan studi yang digunakan pada dasarnya mencakup deskripsi kualitatif sistem agribisnis, pendekatan input-output dan analisa total factor productivity. Tinjauan deskriptif terhadap masing-masing sistem agribisnis, yang didukung oleh data kuantitatif yang memadai, diharapkan dapat memberi gambaran mengenai kondisi aktual agribisnis yang bersangkutan. Perhatian khusus diberikan pada kondisi sistem agribisnis (kelengkapan dan keterkaitan dalam sistem), peran dan kontribusi masing-masing basis input dalam kegiatan usaha (sumberdaya alam, kapital dan inovasi) serta motivasi usaha para pelakunya. Kontribusi sumberdaya alam dan kapital dapat didekati dengan pendekatan “konvensional” (luas dan nilai), sedangkan kontribusi inovasi didekati dengan aspek penerapan teknologi “baru” seperti penerapan bibit unggul baru atau teknik dan prosedur usaha/proses produksi yang baru. Menurut Leontief (1973) analisis input-output merupakan suatu metode yang secara sistematis mengukur hubungan timbal balik diantara sektor-sektor dalam sistim ekonomi yang kompleks. Sistem ekonomi yang dimaksud dapat diterapkan berupa sistem ekonomi antar bangsa (internasional), suatu bangsa (nasional), daerah atau juga suatu perusahaan. Tabel input output sebagai uraian statistik dalam bentuk matrik yang menyajikan informasi mengenai transaksi barang dan jasa serta keterkaitan antar sektor dalam suatu wilayah pada periode waktu tertentu. Dengan tabel ini dapat dapat dilihat bagaimana output dari suatu sektor ekonomi didistribusikan ke sektor-sektor lainnya, serta bagaimana suatu sektor memperoleh input dari sektor lainnya, yang diperlukan dalam proses produksinya.

Produktivitas merupakan indikator keragaman suatu kegiatan dalam menghasilkan barang atau jasa melalui proses (manajemen dan teknologi) tertentu dengan menggunakan sumberdaya (faktor produksi). Pengertian produktivitas yang banyak dikenal secara luas adalah produktivitas parsial, yaitu produktivitas dari satu faktor produksi, seperti tenaga kerja, kapital, lahan, dan sebagainya, sehingga produktivitas parsial ini akan cocok untuk proses produksi satu output dan satu input. Untuk proses produksi yang kompleks (misal satu output dan multi input) akan lebih tepat apabila digunakan konsep total factor productivity (TFP). Dimana dengan pendekatan TFP ini akan diketahui sumber-sumber pertumbuhan produksi, daya saing dan keberlanjutan usaha.

Data yang akan digunakan didalam kegiatan studi ini terdiri dari data sekunder dan data primer. Data sekunder yang penting diantaranya adalah Tabel Input-Output Indonesia Klasifikasi 172 sektor yang diterbitkan BPS,

(14)

data produksi beberapa komoditi pertanian, data regional, dan lain sebagainya. Sedangkan kebutuhan data primer diperoleh dari petani dan peternak yang melakukan budidaya komoditas yang dikaji. Metode pemilihan sample sebagai sumber data primer dilakukan dengan metode pilihan sengaja (purposive). Selain itu, untuk memperkuat dan mempertajam analisis akan dilakukan pula wawancara pada beberapa informan kunci (key informan) yang terkait dalam pengusahaan komoditas tersebut seperti pihak yang terkait dalam penyediaan sarana produksi, pemasaran, industri pengolah, lembaga penunjang, penyebar informasi teknologi baru dan lainnya.

Pendekatan yang diajukan untuk mendeskripsikan tingkat perkembangan agribisnis yaitu melalui: (1) kontribusi relatif faktor produksi sumberdaya alam, modal/kapital dan inovasi teknologi serta (2) sumber pertumbuhan utama pada masing-masing subsektor telah dapat membedakan kondisi suatu subsektor dan sistem agribisnis suatu kondisi dibandingkan dengan yang lain. Namun penggunaan data kondisi sekunder untuk analisis itu membutuhkan dukungan analisa data primer untuk mendapatkan gambaran konkrit mengenai tingkat perkembangan yang dimaksud.

Setiap subsektor atau sistem agribisnis memiliki tingkat perkembangan yang berbeda pada kombinasi kapital-SDA–inovasi yang sama, misalnya untuk kentang, tomat atau kopi. Usaha agribisnis yang maju ditandai tingkat inovasi yang tinggi (asupan teknologi intensif) pada input dan pengolahan tetapi minimum inovasi pada budidaya karena peningkatan permintaan akan produk alami atau “natural product”. Sebaliknya, pada jagung dan ayam ras, kemajuan banyak ditentukan oleh inovasi pada tingkat “on-farm”. Dengan demikian, interpretasi kemajuan atas identifikasi kombinasi SDA-kapital-inovasi tidak dapat diseragamkan dan harus disesuaikan dengan karakteristik agribisnis yang bersangkutan.

Tahap dan perkembangan dari beberapa komoditas yang menjadi sampel dalam penelitian ini menunjukkan keragaman yang terlihat dari perbedaan dalam komposisi input maupun perkembangannya dari tahun ke tahun. Secara alami terdapat kecenderungan bahwa aktivitas usaha agribisnis akan mencari tahap perkembangan keseimbangan optimalnya sendiri. Perkembangan tersebut dapat berbeda karena adanya intervensi eksternal termasuk dari pemerintah. Padi yang banyak mendapat campur tangan dari pemerintah cenderung terbatas tingkat perkembangan inovasinya kecuali inovasi yang dilakukan pemerintah. Sebaliknya jagung yang menghadapi lebih sedikit intervensi dapat lebih mengembangkan inovasi terutama dengan

(15)

memanfaatkan sumberdaya inovasi (hasil riset, dan lain-lain) dari dunia internasional.

Pangsa natural resources pada tanaman pangan dari tahun ke tahun menunjukkan kecenderungan makin membesar. Implikasi dari fenomena ini adalah di subsektor tanaman pangan terdapat masalah terobosan teknologi yang cukup serius, dimana penggunaan teknologi baru dampaknya akan dirasakan pada saat teknologi tersebut digunakan. Namun bilamana pada periode selanjutnya teknologi yang digunakan sama, maka incremental atas penggunaan teknologi baru itu sudah tidak ada lagi. Dan bila tidak ada tambahan teknologi baru maka share input teknologi akan terus mengecil sementara natural resources-nya yang akan membesar. Ini sekali lagi menunjukkan bahwa di dalam tanaman pangan ada masalah dalam terobosan teknologi.

Struktur factor share pada tanaman hortikultura secara umum tidak terjadi perubahan yang menonjol pada penggunaan masing-masing input sejak tahun 70-an hinga 98-an. Sub sektor ini secara umum juga ditandai dengan dominasinya input kapital dalam penggunaan input secara keseluruhan. Ada kecenderungan mulai tahun 95-an peran services yaitu jasa perdagangan semakin meningkat. Dengan karakteristik yang ada pada komoditas hortikultura maka peran jasa perdagangan sangat menentukan, dan hal ini terlihat pada kontribusi yang cukup besar dalam factor share-nya dibandingkan dengan faktor lainnya.

Pada perkebunan, input tenaga kerja cukup signifikan meskipun penggunaan input kapital masih mendominasi baik secara umum maupun dalam setiap tahapan perkembangan. Terdapat kecenderungan penggunaan kapital dan tenaga kerja yang meningkat dari tahun ke tahun. Demikian pula dengan teknologi juga mengalami kecenderungan meningkat.

Sejak awal kegiatan peternakan sudah berciri sangat didominasi oleh kapital. Peranan input seperti lahan relatif kecil. Peran teknologi dari tahun ke tahun menunjukkan kecenderungan meningkat. Hal ini terwujud misalnya dalam teknologi IB, pemberian pakan, sistem penetasan, pencegahan penyakit dan pengobatannya. Sedangkan peran kapital cenderung mengalami penurunan meskipun pangsanya masih dominan.

Hasil studi PSP-IPB memperlihatkan bahwa pelaku on farm di masing-masing komoditas di berbagai wilayah, memiliki keragaman berdasarkan kemampuannya di permodalan, adopsi teknologi, manajemen, pemasaran,

(16)

dan sebagainya. Bila dilihat berdasarkan tingkatannya, pelaku on farm ini juga memiliki keragaman. Petani yang hanya memiliki sumberdaya tenaga kerja tentunya akan sangat berbeda dengan petani yang telah memiliki lahan ratusan hektar, meskipun mengusahakan komoditi yang sama. Dengan melihat kondisi demikian, maka saran yang dapat diberikan untuk mengembangkan kegiatan agribisnis ternyata tidak saja berdasarkan perbedaan komoditi, meskipun homogenitas di satu komoditi tentunya lebih kuat dibandingkan antar komoditi yang berbeda tetapi juga harus memperhatikan adanya heterogenitas pelaku pada komoditi yang sama. Namun demikian, secara umum pada tingkat nasional terjadi kesamaan antar subsektor. Misalnya tahapan yang terjadi di subsektor hortikultura dan peternakan. Dari pengamatan tersebut dapat dibandingkan bahwa tahapan agribisnis yang ada di peternakan, dan hortikultura relatif lebih maju daripada yang terjadi di tanaman pangan. Komoditas tanaman pangan yang merupakan komoditas paling banyak mengalami “intervensi kebijakan” nampaknya dinamika tahapannya tidak besar.

Implikasi Kebijakan

Berdasarkan eksplorasi empiris terhadap tahapan pembangunan sistem dan usaha agribisnis tersebut di atas PSP-IPB merumuskan saran kebijakannya. Saran yang diberikan PSP-IPB terkait dengan pengembangan kegiatan agribisnis ke depan dan peningkatan pelaku usaha di agribisnis adalah sebagaimana disampaikan pada bagian di bawah ini.

a. Upaya Pelengkapan dan Pengembangan dalam Sistem Agribisnis

Kekurang-lengkapan subsistem dalam sistem agribisnis seperti pada komoditas tomat membutuhkan penambahan kegiatan baru pada wilayah tertentu di sentra pengembangan komoditas yang bersangkutan. Ketiadaan fasilitas di hilir yang memadai mengakibatkan terjadinya susut dan kerusakan yang besar pada komoditas ini setelah dipanen. Padahal seharusnya dapat diminimalkan seandainya tersedia fasilitas transportasi yang memadai.

Upaya pelengkapan dan pengembangan dalam sistem juga harus dilakukan pada pengembangan bibit dan benih. Pada komoditas hortikultura dan florikultur permasalahan ini sudah sangat mendesak. Sebagian besar kebutuhan benih dan bibit kelompok komoditas tersebut masih mengandalkan dari impor. Tidak sedikit petani yang mengatasinya dengan beberapa kali menggunakan benih dan bibit hasil panen sebelumnya. Pada akhirnya tingkat produktivitasnya cenderung rendah. Kendala harga memang

(17)

berpengaruh sangat kuat dalam menentukan perilaku petani. Harga benih/ bibit yang mahal tersebut disebabkan industri bibit dalam negeri masih kurang berkembang sehingga kelangkaan tersebut menyebabkan tingginya harga. Hal yang sama juga terjadi pada komoditas sapi potong. Sebagai akibat permintaan kebutuhan daging dalam negeri yang terus meningkat, disisi lain suplai daging sapi meningkat tidak secepat peningkatan permintaan, maka cenderung terjadi pengurasan betina produktif yang berpotensi menghasilkan bakalan. Hal di atas menunjukkan bahwa pengembangan usaha kegiatan hulu dalam sistem agribisnis beberapa komoditas masih perlu difokuskan pada pengembangan industri bibit dan benih.

Upaya pelengkapan dan pengembangan sistem tidak hanya terbatas pada pengembangan kegiatan hulu, tetapi juga pada kegiatan hilir. Pada komoditas kopi dan tebu misalnya, lemahnya kegiatan hilir mengakibatkan lemahnya sistem agribisnis tebu dan kopi secara keseluruhan. Pada komoditas tebu sudah harus dilakukan reorganisasi, restrukturisasi dan peremajaan industri gula nasional. Identifikasi terhadap rendahnya pendapatan petani tebu serta rendahnya produktivitas gula ternyata bermuara kepada rendahnya produktivitas dan efisiensi pabrik gula.

b. Perlindungan Petani Kecil yang Terintegrasi dengan Program

Penurunan Kemiskinan

Permasalahan kemiskinan di Indonesia sangat kental dengan permasalahan struktural. Jika dilihat proporsi jumlah penduduk miskin di Indonesia, sebagian besar diantaranya tinggal di perdesaan yang berkecimpung dalam kegiatan usahatani, terutama pangan, dan diantara para petani tersebut, sebagian besar diantaranya adalah para petani yang masih tergolong “peasant”. Petani jenis ini memiliki ciri dengan kelangkaan sumberdaya utama dalam kegiatan usahatani, yaitu lahan. Oleh karena itu, peningkatan akses mereka kepada sumberdaya lahan akan sangat membantu didalam upaya peningkatan kualitas hidupnya, peningkatan tahapan kehidupannya, dan pada sasaran lebih jauh dengan terjadinya peningkatan pendapatannya, upaya penurunan kemiskinan juga dapat diraih secara bersama-sama. Upaya tersebut terkait dengan banyak aspek oleh karenanya pemerintah harus mengupayakan usaha pengentasan kemiskinan didalam kerangka kebijakan antar departemen.

Alternatif yang dapat dilakukan antara lain adalah melalui program dukungan (support) kepada petani. Program ini dalam kerangka liberalisasi perdagangan pertanian dunia mengambil tempat pada pilar domestic support, oleh karenanya pemerintah harus bijak menempatkan posisi kebijakan

(18)

pembangunan pertanian (perlindungan kepada petani) ini dalam upaya penurunan jumlah penduduk miskin yang telah menjadi kesepakatan dunia. Berbagai program yang perlu dilakukan oleh pemerintah dalam upaya pemberdayaan peasant antara lain adalah :

1. Kontinuitas program pemberdayaan petani kecil dengan sistem “targeted subsidy”. Pemilihan komoditi sebagai media peningkatan tahapan kehidupan peasant ini hendaknya merupakan komoditi yang bersifat quick yielding. Komoditas ternak (ayam dan kambing), sebaiknya dipilih disamping komoditas lainnya. Pemilihan komoditas ternak juga sebagai salah satu jalan keluar dari ketiadaan lahan dalam kumpulan asset yang mereka miliki.

2. Kontinuitas pemberian subsidi input untuk petani miskin, terutama pupuk jenis KCl yang secara keseluruhan masih kita impor.

3. Peningkatan pelayanan dan jangkauan keuangan mikro. 4. Land tenure arrangement yang lebih adil (reforma agrarian).

5. Program-program tersebut diharapkan mampu meningkatkan produktivitas petani dan sekaligus juga memperbaiki posisi petani dalam mengakses pasar input.

c. Peningkatan Produktivitas dan Pertumbuhan Pertanian

Ketiga jenis sumberdaya utama yang menentukan produksi pertanian yaitu lahan, tenaga kerja, dan modal. Upaya peningkatan produksi dan produktivitas di pertanian tidak terlepas dari peningkatan ketiga faktor produksi tersebut. Identifikasi terhadap ketiga jenis faktor produksi, menunjukkan bahwa upaya peningkatan masing-masing faktor produksi tersebut memiliki kendala. Faktor produksi penting yang memungkinkan petani untuk melakukan adopsi teknologi adalah modal. Peningkatan kualitas pada faktor produksi tenaga kerja dan lahan sangat terkait dengan seberapa jauh petani dapat mengakses permodalan, dengan demikian kebijakan-kebijakan yang memungkinkan petani memperoleh modal yang dibutuhkan dengan mudah dan cepat harus segera difasilitasi oleh pemerintah. Namun demikian peningkatan lahan diidentifikasi akan memberikan dampak yang nyata terhadap pertumbuhan produksi pertanian.

Seiring dengan upaya peningkatan pertumbuhan di sektor pertanian ini, perbaikan aksesibilitas petani perlu terus diupayakan. Petani perlu memperoleh akses yang baik terhadap pasar output maupun pasar input.

(19)

Perbaikan infrastruktur ke arah pedesaan serta dikuranginya berbagai hambatan dan pungutan terhadap pergerakan barang dari dan ke pedesaan perlu memperoleh prioritas.

Salah satu faktor penting dalam adopsi teknologi adalah peranan informasi. Penyaluran informasi kepada petani perlu terus diperbaiki. Artinya, peranan penyuluh pertanian dan lembaga kajian serta penerapan teknologi pertanian perlu ditingkatkan. Selama ini peranan lembaga penyuluhan dan pengkajian teknologi pertanian semakin mengecil, sehingga perlu ada kebijakan-kebijakan yang memungkinkan lembaga ini dapat mengikuti perkembangan teknologi dan menyesuaikannya dengan kondisi lokal.

Penutup

Tulisan ini berusaha untuk menyajikan bagaimana pemikiran konsep agribisnis Bungaran Saragih telah mewarnai, tidak saja perumusan kebijakan publik yang terkait dengan pembangunan pertanian dan ekonomi, tetapi juga mewarnai arah kajian-kajian atau pun penelitian di bidang pembangunan pertanian dalam arti luas. Jika agribisnis dipandang sebagai suatu sektor perekonomian, maka kontribusinya sebenarnya jauh lebih besar daripada yang dipersepsikan saat ini. Berbagai upaya yang ditujukan untuk mengatasi masalah pengangguran, kemiskinan, dan pemerataan pendapatan akan sulit mencapai tujuannya apabila sektor pertanian terpisahkan dari sektor hulu, hilir, dan penunjangnya.

Konsep agribisnis telah meletakkan pembangunan sektor pertanian dalam kerangka yang lebih lengkap, yaitu sektor yang seharusnya memiliki keterkaitan dan sinergi dengan sektor-sektor lainnya. Pembangunan pertanian tidak hanya tergantung pada perkembangan di tingkat usahatani, tetapi juga tergantung pada sektor lain yang terletak di hulu dan hilirnya. Pembangunan pertanian juga sangat tergantung pada sektor lain yang dapat berperan sebagai penunjang, seperti sektor jasa perbankan (keuangan), pendidikan, kesehatan, penelitian, serta informasi.

(20)

Gambar

Gambar 1. Tahapan Perkembangan Ekonomi dalam Hubungannya dengan  Pangsa Tenaga Kerja di Berbagai Sektor.
Gambar  2.  Tahapan  Pembangunan  Sistem  Agribisnis  dari  Berkeunggulan  Komparatif Kepada Keunggulan Kompetitif
Tabel 1. Komoditas dan Lokasi Kajian

Referensi

Dokumen terkait

Kedua kejadian ruptur perineum spontan pada ibu bersalin di Puskesmas Mlati II Sleman tahun 2008-2009 adalah 230 sampel (86,47%), dan yang tidak mengalami ruptur perineum

Hal tersebut terjadi karena ditetapkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang mana di dalamnya diatur bahwa urusan mengenai energi sumber daya

Dalihan na tolu artinya tungku yang tiga. Penggambaran tungku yang tiga didasarkan pada kebiasaan nenek moyang masyarakat Batak dahulu kala dalam masak-memasak

Skema pengisian borang manajemen risiko yang diterapkan oleh Direktorat Kemahasiswaan Institut Pertanian Bogor merupakan alat yang penting untuk meminimalisir risiko dan dampak

Adanya perbedaan hasil dari beberapa penelitian tersebut maka penelitian lebih lanjut untuk melihat perbedaan kepekaan pengecapan antara laki-laki dengan perempuan perlu

Perkebunan rakyat meliputi kawasan perkebunan yang tersebar di wilayah Kabupaten Barito Kuala, Banjar, Tapin, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Utara, Tabalong,

(2005), dampak musim kemarau dan kekeringan terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman kelapa sawit mulai terjadi bila defisit air mencapai 200 mm, namun

Untuk mempersiapkan dampak dari Globalisasi pasar dunia di asia tenggara yang popular disebut Masyarakat ekonomi ASEAN, diharapkan peran serta komunitas dan