• Tidak ada hasil yang ditemukan

Optimasi konsentrasi Polyvinyl Pyrrolidone K30 (PVP K30) sebagai Polimer Hydrocolloid Matrix Diabetic Wound Healing dengan bahan aktif Ibuprofen

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Optimasi konsentrasi Polyvinyl Pyrrolidone K30 (PVP K30) sebagai Polimer Hydrocolloid Matrix Diabetic Wound Healing dengan bahan aktif Ibuprofen"

Copied!
143
0
0

Teks penuh

(1)

OPTIMASI KONSENTRASI POLYVINYL PYRROLIDONE K30 (PVP K30)

SEBAGAI POLIMER HYDROCOLLOID MATRIX DIABETIC WOUND

HEALING DENGAN BAHAN AKTIF IBUPROFEN

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Diajukan oleh:

Michael Ryanda Estianto Hadi NIM: 138114073

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

i

OPTIMASI KONSENTRASI POLYVINYL PYRROLIDONE K30 (PVP K30)

SEBAGAI POLIMER HYDROCOLLOID MATRIX DIABETIC WOUND

HEALING DENGAN BAHAN AKTIF IBUPROFEN

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Diajukan oleh:

Michael Ryanda Estianto Hadi NIM: 138114073

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

kupersembahkan untuk semua orang yang melakukan segalanya

Demi Kemuliaan Tuhan Yang Lebih Besar

terutama untuk Papa yang bahagia disurga sana, Mama, Kak Nanda,

dan Dik Lia

juga teruntuk kamu sang pembentuk pribadiku

semua hal dilakukan untuk menjadi pribadi yang

(6)
(7)
(8)

vii

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan keselamatan melimpah yang telah diberikan, sehingga penulis dapat menyempurnakan skripsi yang berjudul “Optimasi Konsentrasi Polyvinyl Pyrrolidone K30 (PVP K30) Sebagai Polimer Hydrocolloid Matrix Diabetic Wound HealingDengan Bahan Aktif Ibuprofen” hingga terselesaikan. Skripsi ini sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.), Program Studi Farmasi.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak terlepas dari campur tangan berbagai pihak. Melalui kesempatan ini, penulis ingin mengungkapkan rasa terima kasih kepada :

1. Ibu Aris Widayati, M.Si., Ph.D., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma

2. Ibu Dr. Sri Hartati Yuliani, Apt. selaku Ketua Program Studi Farmasi dan pembimbing yang selalu menuntun dan memberikan saran selama penelitian dan penyusunan skripsi

3. Ibu Dr. Dewi Setyaningsih, M.Sc., Apt., selaku Kepala Laboratorium Fakultas Farmasi yang telah memberikan ijin dalam penggunaan fasilitas laboratorium untuk kepentingan penelitian, sekaligus sebagai dosen penguji yang bersedia memberikan saran bagi penelitian ini

4. Ibu Beti Pudyastuti, M.Sc., Apt., selaku dosen penguji yang bersedia memberikan saran bagi penelitian ini

5. Bapak Enade Istyastono, Ph.D., Apt., atas segala saran membangun yang sangat bermanfaat bagi penelitian ini

6. Bapak Florentinus Dika Octa Riswanto, M.Sc., selaku DPA yang selalu menyertai dan membimbing saya selama berkuliah di Universitas Sanata Dharma

(9)
(10)

ix

OPTIMASI KONSENTRASI POLYVINYL PYRROLIDONE K30 (PVP K30)

SEBAGAI POLIMER HYDROCOLLOID MATRIX DIABETIC WOUND

HEALING DENGAN BAHAN AKTIF IBUPROFEN Michael Ryanda Estianto Hadi

Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Kampus III Paingan, Maguwoharjo, Depok, Sleman, Yogyakarta, 55282, Indonesia

Telp. (0274) 883037, Fax. (0274) 886529 michael.ryanda@gmail.com

ABSTRAK

Hydrocolloid matrix dengan zat aktif ibuprofen memiliki karakteristik yang sesuai untuk penggunaannya sebagai diabetic wound healing. Penelitian ini bertujuan untuk mengoptimasikan konsentrasi PVP K30 pada formula hydrocolloid matrix diabetic wound healing ibuprofen. Ditetapkan 3 variasi konsentrasi PVP K30 pada formula hydrocolloid matrix, yaitu 1,5%, 2%, dan 2,5%. Penentuan formula optimal dilakukan melalui pengujian organoleptis, sterilitas, uji sifat fisik yang meliputi keseragaman bobot, ketebalan, persentase moisture content dan moisture absorption, uji pH larutan sediaan, serta folding endurance, uji sifat kimia yang meliputi keseragaman kandungan dan pelepasan obat selama 6 jam, uji iritabilitas, serta uji stabilitas. Formula optimal terpilih diuji aktivitas serta histopatologinya. Hasil penelitian menunjukan adanya pengaruh konsentrasi PVP K30 terhadap uji sifat fisika dan kimia. Formula optimal dengan PVP K30 konsentrasi 2%, menghasilkan hydrocolloid matrix yang lentur, dengan nilai moisture content 5,90% dan moisture absorption 6,30%. Bobot dan kadar dalam formula seragam, dengan nilai CV berturut-turut 4,50% dan 4,82%. Nilai DE360 sebesar 92,60%, dengan 108,50% ibuprofen terlepas dari formula selama 6 jam. Hydrocolloid matrix optimal menunjukan aktivitas penyembuhan luka selama 14 hari dan berbeda signifikan terhadap kontrol.

(11)

x

OPTIMIZATION OF POLYVINYL PYRROLIDONE K30 (PVP K30) CONCENTRATION AS POLYMER OF HYDROCOLLOID MATRIX DIABETIC WOUND HEALING WITH IBUPROF EN AS ACTIVE

INGREDIENT

Michael Ryanda Estianto Hadi

Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Kampus III Paingan, Maguwoharjo, Depok, Sleman, Yogyakarta, 55282, Indonesia

Telp. (0274) 883037, Fax. (0274) 886529 michael.ryanda@gmail.com

ABSTRACT

Hydrocolloid matrix ibuprofen has characteristics that compatible with diabetic wound healing. The purpose of this study was optimizing concentration of PVP K30 in hydrocolloid matrix ibuprofen as a diabetic wound healing. Three variations concentration PVP K30 (1,5%, 2%, and 2,5%) were formulated into hydrocolloid matrix. Optimizing concentration through several assay, including physical assay such as organoleptic, sterility test, weight uniformity, thickness test, percentage of moisture content and moisture absorption, pH solution of matrix and folding endurance, chemical assay such as uniformity of drug content and drug release for 6 hours, irritability, and stability. The activity and histopathology of selected optimum formula, was then tested. The results showed that concentration of PVP K30 affect the physical and chemical properties of matrix. The optimum formula with 2% of PVP K30 producing flexible hydrocolloid matrix with percentage of moisture content 5,90% and moisture absorption 6,30%. The optimum formula also has a good uniformity in weight and drug content, with percentages of CV, respectively are 4,50% and 4,82%. The dissolution efficiency was 92,60%, which is, 108,50% ibuprofen was released during 6 hours. Hydrocolloid matrix optimum shows the velocity of diabetic wound healing activity for 14 days and was significantly different to the control.

(12)

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vi

PRAKATA ... vii

ABSTRAK ... ix

ABSTRACT ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

PENDAHULUAN ... 1

METODE PENELITIAN ... 2

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 5

KESIMPULAN ... 13

UCAPAN TERIMA KASIH ... 14

DAFTAR PUSTAKA ... 14

LAMPIRAN ... 16

(13)

xii

DAFTAR TABEL

Tabel I. Formula modifikasi hydrocolloid matrix ... 2

Tabel II. Hasil evaluasi uji fisik, iritabilitas, dan stabilitas sediaan ... 8

Tabel III. Hasil evaluasi uji kimia sediaan ... 9

(14)

xiii

DAFTAR GAMBAR

(15)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Proposal penelitian ... 16

Lampiran 2. Ethical clearance tikus penelitian ... 39

Lampiran 3. Ethical clearance kelinci penelitian ... 40

Lampiran 4. Certificate of Analysis working standart ibuprofen ... 41

Lampiran 5. Certificate of Analysis ibuprofen farmasetis ... 44

Lampiran 6. Certificate of Analysis PVP ... 47

Lampiran 7. Data hasil pembuatan formula hydrocolloid matrix ibuprofen ... 50

Lampiran 8. Data hasil uji sterilitas... 52

Lampiran 9. Data hasil uji sifat fisik sediaan ... 53

Lampiran 10. Data hasil uji sifat kimia sediaan ... 57

Lampiran 11. Data hasil validasi metode analisis ibuprofen... 59

Lampiran 12. Data hasil uji pelepasan obat secara in-vitro ... 62

Lampiran 13. Data hasil uji iritabilitas sediaan ... 63

Lampiran 14. Data hasil uji stabilitas sediaan ... 65

Lampiran 15. Data hasil uji aktivitas sediaan... 77

Lampiran 16. Data hasil uji statistik hydrocolloid matrix ibuprofen ... 79

(16)

1

Diabetes termasuk penyakit dengan angka kejadian tinggi di dunia. Menurut International Diabetes Federation (2015), Indonesia menempati posisi 7 penderita diabetes terbanyak di dunia, dengan jumlah 10,0 juta orang terdiri dari 30,4% terdiagnosa dan 69,6% tidak terdiagnosa (Kementrian Kesehatan RI, 2014). Penderita diabetes berisiko mengalami fase penyembuhan luka yang terhambat, hal itu bisa terjadi karena induksi enzim matrix metalloproteinase 9 (MMP-9) berlebih (Hamed et al., 2014), sehingga perlu pengobatan yang sesuai untuk penanganannya.

Dari sekian banyak jenis formulasi untuk pengobatan luka, hydrocolloid matrix merupakan salah satu teknik formulasi yang cukup potensial, karena kemampuannya menjaga kondisi lembab dan menyerap eksudat (Kataria et al., 2014). Dalam hydrocolloid matrix, ibuprofen diformulasikan sebagai zat aktif karena kemampuannya menurunkan MMP-9 berlebih melalui penurunan jumlah prostaglandin E2 (PGE2), dengan menghambat cyclooxygenase-2 (COX-2) (Yen et al., 2016). Hydrocolloid matrix juga membutuhkan polimer sebagai pembentukan gel dan mengatur pelepasan obat (Sinko, 2006).

Polyvinyl pyrrolidone K30 (PVP K30) mampu meningkatkan pelepasan obat dengan pembentukan formasi pori dan meningkatkan kelarutan obat dengan mengubah bentuk kristal obat menjadi amorf (Bharkatiya et al., 2010). Selain itu, PVP K30 memiliki karakteristik hidrofilik yang baik (Kadajji and Betageri, 2011), sehingga sesuai dengan karakteristik yang dibutuhkan hydrocolloid matrix untuk membentuk formasi hidrofilik gel saat menyerap eksudat (Thu et al., 2012). Hydroxypropyl Methylcellulose (HPMC) merupakan polimer yang larut air dan memiliki kemampuan membentuk gel yang dapat memperpanjang pelepasan obat (Kadajji and Betageri, 2011). HPMC juga berperan baik dalam menjaga partikel tetap terdispersi (Rowe et al., 2009), dan berperan besar menjaga viskositas matriks dengan rantai-rantai yang dibentuknya (Pudyastuti et al., 2014).

(17)

2

Alat dan bahan

Alat yang digunakan yaitu spektrofotometer UV-Vis double beam (Shimadzu), franz difussion cell, microLab-200 (Merck), mikroskop cahaya (Olympus Corp., Jepang), Optilab v.2.1 (Micronos, Indonesia), sentrifugator, sonifikator, kabinet Laminar Air Flow (LAF), autoklaf, oven, timbangan analitik (Ohaus), vortex (Wilten), hotplate magnetic stirrer, stirrer, biopsy punch, mikropipet (Socorex) serta tip, jangka sorong, tabung reaksi, spuit injeksi, jarum suntik, jarum ose, pinset, gelas beker, tube eppendorf, gelas ukur, cawan petri, kaca preparat, kaca penutup preparat, plastic warp, alumunium foil, serta bantuan software R for statistic ver. 3.2.3 dan software Image J.

Bahan yang digunakan yaitu ibuprofen (Kalbe Farma), baku ibuprofen (Kalbe Farma), PVP K-30 (BASF), HPMC E6 viskositas 6 mPa.S (Shin-Etsu Chemical), propilen glikol, etanol (Aldrich), gliserol (Aldrich), akuades, metanol (Aldrich), PBS pH 6,4 (NaCl, KH2PO4, Na2HPO4), krim depilatori (Reckitt Bensckiser), kapas Medisoft Cotton Ball, aloksan (Sigma), ketamin, Nutrient Agar (Oxoid), formalin 10% (Aldrich), reagen glucose GOD FS (Diasys, Germany), NaCl, larutan Harris Hematoxylin, larutan acid alkohol, larutan ammonium, larutan stok Eosin alkohol 1%, dan larutan working Eosin.

Subjek uji penelitian 6 ekor tikus putih jantan galur Wistar berusia 2-3 bulan dari Laboratorium Imono Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, berbobot 150-180 g, serta 3 ekor kelinci albino jantan berusia 8-9 bulan berasal dari Peternakan Kelinci Rabbit Food SHR dengan kisaran bobot 1,8-2,2 kg, kondisi semua hewan uji sehat.

Formulasi hydrocolloid matrix ibuprofen

Tabel I. Formula modifikasi hydrocolloid matrix

(18)

3

homogen. Campuran disterilkan dengan autoklaf selama 10 menit dengan suhu 115 C dan tekanan 1kgf/cm2. Larutan kemudian dituang ke cawan petri, ditutup, lalu dikeringkan dalam oven 45OC selama 3 hari sampai didapat matriks kering. Matriks kering kemudian dicetak berukuran diameter 1cm dan disimpan pada wadah ber-silica gel.

Uji sterilitas

Uji sterilitas dilakukan dengan meletakkan 3 replikasi basis dan formula hydrocolloid matrix di permukaan nutrient agar padat, pada cawan petri bertutup dengan keadaan steril, diinkubasi terbalik pada LAF selama 24 jam.

Evaluasi sifat fisik

Uji organoleptis hydrocolloid matrix berdiameter 1cm secara visual diamati penampilan warna, kejernihan, serta kehalusannya.

Uji keseragaman bobot 10 hydrocolloid matrix dari setiap formula satu-persatu ditimbang dan ditetapkan bobot tiap sediaannya.

Uji ketebalan sediaan 1 hydrocolloid matrix dari setiap formula diukur ketebalannya pada 5 titik yang berbeda menggunakan jangka sorong.

Uji pH larutan sediaan hydrocolloid matrix berdiameter 1cm direndam dalam 20ml akuades bersuhu 36,5oC - 37,5oC selama 24 jam. pH diukur mengunakan pH meter.

Uji moisture content hydrocolloid matrix berdiameter 1cm dikondisikan dalam sebuah desikator berisi silika selama 24 jam. Masing-masing hydrocolloid matrix ditimbang sampai didapatkan bobot matriks tetap.

Persentase moisture content :

% � = w − r r x % (Toshkhani et al., 2016)

Uji moisture absorptionhydrocolloid matrix setelah diuji moisture content diletakkan dalam climatic chamber dengan 80-90 RH dan bersuhu 28OC selama 24 jam. Masing-masing hydrocolloid matrix ditimbang sampai didapatkan bobot matriks tetap setelah penyerapan.

Persentase moisture absorption:

(19)

4

Uji keseragaman kandungan obat dalam sediaan setiap formula hydrocolloid matrix dilarutkan dalam metanol p.a., dan ditambahkan PBS pH 6,4 dalam labu takar hingga 50ml. Sonifikasi selama 10 menit, kemudian diukur menggunakan spektrofotometer UV-Vis (Shirsand et al., 2012).

Penetapan kurva baku ibuprofen

Seri standar ibuprofen dibuat pada rentang konsentrasi 0,2µg/ml – 20µg/ml, dengan mengambil 0,1; 0,2; 0.3; 0,4; 0,5; 0,6; 0,7; 0,8 0,9; 1; 2; 3; 4; 5; 6; 7; 8; 9ml dari larutan intermediet ibuprofen (konsentrasi 20 µg/ml) diencerkan ke labu takar 10ml. Pelarut menggunakan metanol p.a dan PBS pH 6,4. Panjang gelombang maksimum ditentukan diawal dengan seri konsentrasi 20µg/ml menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada rentang 200-400nm. Pengukuran seri pada panjang gelombang maksimum 224 nm.

Uji pelepasan obat secara in-vitro

Prosedur pengujian pelepasan obat secara in-vitro merupakan modifikasi prosedur pada penelitian Pudyastuti, et al. (2014). Setiap formula diuji menggunakan franz diffusion cell pada suhu 37±1oC dengan medium PBS pH 6,4 memenuhi bagian reseptor chamber. Membran milipore yang digunakan berukuran 3 µm (di rendam di medium selama 1 jam). Larutan aseptor disampling sebanyak 3ml pada tiap 15, 30, 45, 60, 90, 120, 180, 240, 300, dan 360 menit. Larutan uji dibaca dengan spektrofotometer UV-Vis.

Persamaan nilai dissolution efficiency (DE) uji pelepasan obat: DEt= �

DEt : Disolusi Efisiensi pada saat t

ydt : Luas dibawah kurva zat aktif terlarut pada saat t

y100 t : Luas segi empat 100% zat aktif larut dalam medium untuk waktu t (Fudholi, 2013)

Uji iritabilitas

Basis hydrocolloid matrix dan etil asetat sebagai pembanding iritasi diaplikasikan pada punggung kelinci yang tercukur rambutnya selama 4 jam. Setelah dilepas, munculnya eritema dan edema diamati selama 72 jam (El-Gendy et al., 2009, Shirsand et al., 2012).

Uji stabilitas

(20)

5

menggunakan uji keseragaman kandungan setiap minggunya.

Uji aktivitas

Enam tikus subjek uji, dibagi dua kelompok. 3 tikus pertama (kelompok diabetes) memiliki kadar gula darah >250 mg/dL dengan menginjeksikan aloksan secara i.p. pada dosis 120mg/kgBB, 3 tikus lainnya (kelompok non diabetes) tidak diinjeksi aloksan. Rambut dihilangkan kemudian punggung tikus dibersihkan dengan etanol 70%, dibuat 5 luka eksisi (kontrol, 2 basis, dan 2 formula) menggunakan biopsy punch diameter 5mm. Basis dan formula dilekatkan pada luka, setiap 24 jam selalu digantibaru hingga luka menutup. Setiap penggantian, luka dibersihkan dengan alkohol dan diteteskan NaCl, area luka dihitung. Tikus dieuthanasia dengan injeksi ketamin dosis 100 mg/kgBB setelah semua luka menutup, kulit punggung bekas luka diambil sesuai ukuran luka dan disimpan dalam pot formalin 10%.

Persamaan kecepatan penyembuhan luka pada tikus:

Wound closure % = r r r − − r r − r − x %

(Thu et al., 2012)

Uji histopatologi

Sampel jaringan kulit tikus diberi pewarnaan Hematoxyli-Eosin. Hasil pengecatan diamati secara mikroskopis, dengan bantuan kamera Optilab. Pengecatan Hematoxyli-Eosin jaringan kulit dilakukan bagian Patologi Anatomi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Pengamatan uji histopatologi memaparkan perbandingan antara struktur jaringan kulit normal tikus dan struktur kulit yang mengalami penyembuhan luka.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Formulasi hydrocolloid matrix ibuprofen

(21)

6

Uji sterilitas

Penelitian Rutala et al. (2010) menunjukan penggunaan UV pada ruangan mampu menurunkan pertumbuhan bakteri. Hasil uji sterilitas Basis, PVP 1, PVP 2, dan PVP 3 menunjukan tidak terdapat pertumbuhan mikroba pada media (Gambar 1).

Untuk itu, semua basis dan formula hydrocolloid matrix dikategorikan steril dengan metode sterilisasi akhir dan dengan metode UV untuk sterilisasi ruangnya.

Evaluasi sifat fisik (Seluruh hasil uji tersaji pada tabel II)

Uji organoleptis

Hydrocolloid matrix dengan organoleptis yang baik pada penelitian ini yaitu memiliki warna putih transparan, jernih, halus, dan tidak lengket. Warna dan kejernihan seluruh basis dan formula sama. Pada uji kehalusan, basis 3 dan PVP 3 dikategorikan kasar dan lengket. Basis 3 dan PVP 3 diformulasi dengan konsentrasi PVP yang tinggi (2.5%). Menurut Rowe et al. (2009), PVP memiliki karakteristik sangat higroskopis. Hal tersebut menyebabkan konsentrasi tinggi PVP K30 pada PVP3 mudah menarik lembab udara, sehingga matriks tidak kompak, membentuk gelling, memiliki tekstur lengket dan kasar. Uji keseragaman bobot

Hasil uji keseragaman bobot basis, PVP1, PVP2, dan PVP3 memenuhi persyaratan yang ditetapkan British Pharmacopoeia,dengan nilai %CV kurang dari 10%. Dapat

(22)

7

signifikan, dengan nilai p-value basis:1,79x10 dan p-value formula: 5,65x10 . Uji ketebalan sediaan

Hasil uji ketebalan seluruh basis maupun formula hydrocolloid matrix dibawah ketebalan yang diinginkan, yaitu 0,5mm. Hal ini disebabkan pengeringan dilakukan pada suhu tinggi 45OC, sehingga menyebabkan banyak pelarut ikut menguap yang juga dapat mengurangi ketebalan sediaan. Hal lain yang mempengaruhi yaitu luas permukaan wadah yang besar akan membuat matriks menjadi semakin tipis.

Uji moisture content (%MC)

Pada penelitian ini, hydrocolloid matrix optimum merupakan matriks dengan %MC rendah. Pada saat matriks memiliki kandungan lembab sedikit, diharapkan mampu menyerap lembab lebih baik. Penelitian Pudyastuti et al., (2014), menunjukan peningkatan %MC berhubungan dengan peningkatan viskositas matriks. Hasil %MC tidak sesuai dengan teori, dikarenakan tidak dikendalikannya RH pada desikator, sehingga kandungan lembab yang terserap matriks tidak terkendali. Penggunaan desikator baiknya menggunakan silica gel yang dikeringkan, sehingga RH pada silica gel terkontrol sebelum digunakan.

Uji moisture absorption (%MA)

Hydrocolloid matrix optimum menghasilkan %MA dan kecepatan penyerapan yang tinggi, menandakan matriks dapat menyerap kelembaban atau eksudat dengan baik, sehingga akan meningkatkan efektivitas terapi diabetic wound healing. PVP 2 memiliki persentase penyerapan dan kecepatan penyerapan tiap jam tertinggi dibanding formula lainnya.

Uji pH larutan sediaan

Seluruh basis dan formula hydrocolloid matrix memiliki pH larutan sediaan yang masuk dalam range pH kulit manusia yaitu pH 4-7.

Uji ketahanan pelipatan

(23)

8

Keterangan : a = dalam suhu 37oC; b = dalam suhu 45 oC; * = hasil statisik uji stabilitas berbeda (p-value < 0,05); ** = hasil statistik uji stabilitas tidak berbeda (p-value >

0,05)

Warna Kejernihan Kehalusan Keterangan

lain ̅ ± �

transparan Jernih Halus

Sedikit

lengket 6,89 8,42 % 0,16 5,31±0,064 7,87±0,010 8,7x10

-5 23 Negatif

Basis 2 0 Putih

transparan Jernih Halus

Sedikit

transparan Jernih Halus

Sedikit

transparan Jernih Halus

Kering

rapuh 6,80 20,87%** 0,15 4,58±0,021** 3,05±0,012** - 26 -

PVP 2

0 Putih

transparan Jernih Halus

(24)

9

Evaluasi sifat kimia (Seluruh hasil uji tersaji pada tabel III)

Penetapan kurva baku ibuprofen

Penetapan kurva baku ibuprofen didapatkan panjang gelombang maksimum 224 nm. Persamaan kurva baku yang didapat yaitu, y = 0,0404x - 0,0053 (r = 0,9996). Plot kenaikan kadar dengan absorbansi yang didapat sudah linear (proporsional), dikarenakan nilai r mendekati 1. Persamaan kurva menghasilkan nilai LOD 0,1875ppmdan LOQ 0,5683ppm. Uji keseragaman kandungan

Uji menggunakan metanol p.a untuk melarutkan ibuprofen pada matriks dan larutan buffer PBS pH 6,4 agar tercipta kondisi yang menyerupai tubuh manusia, serta membantu kelarutan komponen matriks yang tidak larut metanol. PVP 2 memiliki nilai %CV terkecil, yang menunjukan kandungan obat dalam matriks lebih seragam dibanding formula lain. Semua formula memiliki kandungan obat yang melebihi dosis ibuprofen teoritis (PVP1: 727,61µg; PVP2: 742,38µg; dan PVP3: 742,38µg). Hal tersebut dipengaruhi oleh penguapan pelarut dan penyusutan matriks yang mengakibatkan ibuprofen terkonsentrasi pada satu sisi matriks, sehingga pada matriks untuk pengujian terdapat bagian yang memiliki ibuprofen lebih banyak dibanding jumlah dosisnya secara teoritis. Hydrocolloid matrix PVP 3 mengalami penyusutan, sehingga ibuprofen pada PVP 3 lebih banyak terkonsentrasi sehingga kadar ibuprofen menjadi tidak seragam.

(�̅µg ± SD) % CV (�̅ %DE360 ± SD) % Release

Kurva % Pelepasan Obat vs Waktu

PVP 1

PVP 2

PVP 3

(25)

10

Nilai DE dan persen pelepasan obat yang tinggi menggambarkan pelepasan obat baik. Hasil DE360 pada PVP 3 memiliki nilai tertinggi dibanding pada formula lainnya (Tabel III). PVP K30 mampu meningkatkan pelepasan obat dengan pembentukan formasi pori (Bharkatiya et al., 2010). Dengan kata lain, PVP K30 dalam jumlah besar akan semakin membentuk formasi pori yang akan meningkatkan kelarutan obat, sehingga sesuai dengan formula PVP 3 yang mengandung PVP K30 dengan konsentrasi tinggi (2,5%). Persen pelepasan obat setiap formula ada yang berada diatas 100%, ini dipengaruhi oleh hal yang sama seperti keseragaman kandungan yaitu pengeringan yang menyebabkan obat terkonsentrasi satu sisi matriks. DE360 PVP 2 lebih rendah dari formula lain, namun secara statistik nilai DE360 ketiga formula tidak berbeda secara statistik, dan PVP 2 lebih dipilih pada penelitian ini dikarenakan memiliki kadar yang lebih seragam dari formula lain

Uji iritabilitas

Pada penelitian ini, hydrocolloid matrix yang baik tidak mengiritasi kulit. Penggunaan basis pada uji iritabilitas sesuai dengan penelitian Shirsand et al. (2012). Hasil positif ditunjukan pada pengaplikasian etil asetat (skor 2-3). Pengaplikasian Basis 1, Basis 2, maupun Basis 3 tidak menunjukan tanda-tanda iritasi, sehingga hasilnya negatif atau tidak mengiritasi kulit. Menurut PerKBPOM No.07 tahun 2014, skor 2 mengindikasikan eritema jelas terlihat, skor 3 mengindikasikan eritema sedang hingga parah.

Uji stabilitas

Hasil statistik yang tidak berbeda signifikan pada parameter pengujian menandakan sediaan stabil setelah penyimpanan 4 minggu pada suhu 37oC dan 45oC. Pada penelitian ini, kestabilan kandungan obat menjadi parameter terpenting untuk menunjukan kestabilan sediaan. Organoleptis semua matriks pada suhu 45OC, mulai minggu ke-3 semakin kering,

sehingga matriks menjadi lengket dan rapuh. pH larutan tidak mengalami perubahan yang signifikan tiap minggunya. Keseragaman bobot semua matriks hanya tidak stabil pada suhu 37OC. Persen moisture content dan moisture absorption semua formula stabil pada kedua

suhu. Ketahanan pelipatan semua formula mengalami penurunan tiap minggu, namun PVP2 tetap memiliki ketahanan pelipatantertinggi. Kandungan obat PVP 1 hanya tidak stabil pada suhu 45OC, PVP 2 dan PVP 3 stabil di kedua suhu.

Uji aktivitas sediaan hydrocolloid matrix ibuprofen

(26)

11

obat yang seragam CV 4,82%, serta memiliki tekstur dengan ketahan pelipatan yang paling baik (159 kali) diantara formula lainnya.

Tikus kondisi normal dan diabetes diberi perlakuan luka kontrol (tanpa sediaan), basis 2, dan PVP2. Kecepatan penyembuhan luka antara kondisi normal dan diabetes, juga antara perlakuan kontrol dan PVP 2 dibandingkan secara statistika. Kecepatan penyembuhan luka antara tikus kondisi normal dan diabetes tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Oleh karena itu, kecepatan penyembuhan luka diabetes yang seharusnya lebih lama dari luka normal, menjadi lebih cepat dan menyamai kecepatan penyembuhan luka normal. Kecepatan penyembuhan luka antara kontrol dan PVP 2 luka diabetes menunjukan hasil yang berbeda signifikan (p-value 0,0378), sehingga menunjukan adanya pengaruh penggunaan PVP 2 pada kecepatan penyembuhan luka diabetes.

Uji Histopatologi

Tabel IV. Interpretasi uji perlakuan tikus

P

diabetes Tikus normal Tikus diabetes

Ku

Seluruh bagian struktur kulit lengkap (tidak terlihat adanya jaringan granuliasi) dikarenakan tidak mengalami proses pembentukan luka.

1

3

4

(27)

12

Jaringan granulasi mendominasi, terdapat pembuluh darah, serat kolagen belum tersusun sempurna, jaringan ikat belum terbentuk, hal ini menandakan kulit mencapai fase proliferasi awal penyembuhan luka.

Jaringan granulasi mendominasi, belum terdapat jaringan ikat dan pembuluh darah, serat kolagen belum tersusun sempurna, hal ini menandakan kulit mencapai fase proliferasi awal penyembuhan luka.

B

asi

s

2

14±1,00 15±0,58

Serat kolagen mulai mendominasi, jaringan granulasi lebih sedikit, juga terdapat jaringan ikat dan pembuluh darah, hal ini menandakan kulit mencapai fase proliferasi akhir penyembuhan luka

Jaringan granulasi mendominasi, serat kolagen belum tersusun sempurna, terdapat pembuluh darah, jaringan ikat belum terbentuk, hal ini menandakan kulit mencapai fase proliferasi akhir penyembuhan luka.

PVP 2

13±1,73 14±0,00

Serat kolagen seimbang dengan jaringan granulasi, terdapat jaringan ikat yang tersusun dan pembuluh darah, kulit mencapai fase remodeling awal penyembuhan luka.

Jaringan kolagen sudah rapat dan mendominasi, terdapat pula jaringan ikat serta pembuluh darah, kulit mencapai fase remodeling penyembuhan luka.

(28)

13

menghasilkan kulit fase proliferasi awal, ditandai dengan jaringan granulasi masih mendominasi. Luka dibiarkan tanpa diobati menghasilkan eksudat berlebih, serta luka akan kontak langsung dengan udara, sehingga memudahkan kotoran atau organisme asing masuk dan memungkinkan luka menjadi tambah parah, dan tidak kunjung sembuh.

Basis 2 kulit kondisi normal maupun diabetes menghasilkan fase proliferasi akhir. Fase proliferasi akhir ditandai dengan jumlah jaringan granulasi berkurang dan serat kolagen mulai tersusun sempurna. Hydrocolloid matrix mampu menciptakan kondisi lembab (Kataria et al., 2014), yang akan memfasilitasi pertumbuhan sel dan proliferasi dari kolagen (Okan et al., 2007). Dengan kemampuan tersebut, basis 2 hydrocolloid matrix mampu mendukung proses proliferasi luka, sehingga dapat mencapai fase proliferasi akhir.

Aktivitas ibuprofen dalam PVP 2 berperan dalam proses penyembuhan luka normal maupun diabetes. Penghambatan COX-2 oleh ibuprofen juga akan menghambat PGE2 (Rainsford, 2009), yang pada akhirnya menurunkan regulasi dari MMP-9 (Yen et al., 2016). Ibuprofen dalam PVP 2 yang diaplikasian pada luka normal menghasilkan remodeling tahap awal. Hal tersebut dikarenakan MMP-9 yang jumlahnya terkontrol pada luka normal (Li et al., 2007) dihambat, sedangkan MMP-9 dalam jumlah cukup juga dibutuhkan dalam penyembuhan luka (Hamed et al., 2014). Oleh karena itu, penyembuhan luka menjadi kurang maksimal dengan jumlah MMP-9 yang berkurang.

MMP-9 pada kondisi diabetes justru meningkat dan menyebabkan fase proliferasi terhambat (McLennan et al., 2008). Ibuprofen dalam PVP 2 yang diaplikasikan pada luka diabetes, akan menghambat regulasi MMP-9 yang berlebih, sehingga jumlah MMP-9 dapat kembali terkontrol. Hal tersebut yang menyebabkan proliferasi menjadi tidak terhambat, sehingga penyembuhan luka dapat mencapai fase remodeling yang mendekati kulit normal.

KESIMPULAN

(29)

14

dengan adanya perbedaan signifikan secara statistik dengan p-value 0,0378.

Penelitian selanjutnya disarankan untuk mengoptimasikan homogenitas campuran matriks saat pembuatan, optimasi metode pengujian persen moisture content dan moisture absorption, pengujian iritabilitas menggunakan hydrocolloid matrix ibuprofen, dan optimasi formulasi hydrocolloid matrix menggunakan polimer yang berbeda.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terimakasih ditujukan kepada DP2M Dikti yang telah mendanai sebagian dari penelitian ini, dan industri farmasi PT. Erela serta PT. Sanbe Farma yang telah membantu berjalannya penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Bharkatiya, M., Nema, R. K., and Bhatnagar, M., 2010, Development and Characterization of Transdermal Patches of Metoprolol Tartrate. Asian Journal of Pharmaceutical and Clinical Research, 3(2), 130-134.

British Pharmacopoeia, 1993, British Pharmacopoeia Addendum, Her Majesty’s Stationery Office, London, 1943-1944.

El-gendy, N.A., Abdelbary, G.A., El-komy, M.H., and Saafan, A.E., 2009. Design and Evaluation of a Bioadhesive Patch for Topical Delivery of Gen- tamicin Sulphate. Current Drug Delivery, 6, 50–57.

Fudholi, A., 2013. Disolusi & Pelepasan Obat In Vitro. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Hamed, S., Bennett, C.L., Demiot, C., Ullmann, Y., Teot, L., and Desmoulière, A., 2014. Erythropoietin, a novel repurposed drug: An innovative treatment for wound healing in patients with diabetes mellitus. Wound Repair and Regeneration, 22 (1), 23–33. International Diabetes Federation (I.D.F), 2015, IDF Atlas 2015, 7th Ed., 13-15, 17.

Kadajji, V.G. and Betageri, G. V., 2011. Water soluble polymers for pharmaceutical applications. Polymers, 3 (4), 1972–2009.

Kataria, K., Gupta, A., Rath, G., Mathur, R.B., and Dhakate, S.R., 2014. In vivo wound healing performance of drug loaded electrospun composite nanofibers transdermal patch. International Journal of Pharmaceutics, 469 (1), 102–110.

Kementrian Kesehatan RI, 2014. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI 2014. McLennan, S., Min, D., and Yue, D., 2008. Matrix metalloproteinases and their roles in poor

wound healing in diabetes. Wound Practice & Research, 16 (3), 116–121.

Okan, D., Student, M., Woo, K., Clinic, W.H., Ayello, E.A., Advisor, S., Editor, C.A., Care, W., Sibbald, R.G., and Sciences, P.H., 2007. Wound Healing, (January), 39–53. Pudyastuti, B., Nugroho, A.K., and Martono, S., 2014. Formulasi Matriks Transdermal

Pentagamavunon-0 dengan Kombinasi Polimer PVP K30 dan Hidroksipropil Metilselulosa. Jurnal Farmasi Sains dan Komunitas, 11 (2), 44–49.

Rainsford, K.D., 2009. Ibuprofen: Pharmacology, efficacy and safety. Inflammopharmacology, 17 (6), 275–342.

Rowe, R.C., Sheskey, P.J., and Quinn, M.E., 2009. Handbook of pharmaceutical excipients. 6th ed. Handbook of pharmaceutical excipients, Sixth edition.

Rutala, W. A., Gergen, M. F., and Weber, D. J., 2010, Room Decontamination with UV Radiation. Infection Control and Hospital Epidemiology, 31(10), 1025-1029

(30)

15

pharmaceutical sciences : physical chemical and biopharmaceutical principles in the

pharmaceutical sciences, 647.

Thu, H.E., Zulfakar, M.H., and Ng, S.F., 2012. Alginate based bilayer hydrocolloid films as potential slow-release modern wound dressing. International Journal of Pharmaceutics, 434 (1-2), 375–383.

Toshkhani, S., Shilakari, G., and Asthana, A., 2016. Advancements in Wound Healing Biodegradable Dermal Patch Formulation Designing. Inventi Rapid: Pharm Tech, 2013 (3), 1-11.

Yen, J., Khayrullina, T., and Ganea, D., 2016. Pge2 mmp9 dc, (March).

(31)

16

LAMPIRAN

Lampiran 1. Proposal penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Diabetes melitus (DM) termasuk penyakit yang memiliki angka kejadian yang tinggi di dunia. Menurut International Diabetes Federation (IDF), pada tahun 2015 sekitar 415 juta orang di dunia menderita diabetes, dan sebanyak 5 juta orang dewasa meninggal karena penyakit ini. Pada peringkat dunia, Indonesia menempati posisi 7 teratas penderita diabetes kalangan dewasa, dengan jumlah 10,0 juta orang (IDF, 2015). Sebanyak 6,9% dari 176 juta penduduk Indonesia usia di atas 15 tahun menderita diabetes, terdiri dari 30,4% yang terdiagnosa dan 69,6%-nya tidak terdiagnosa (Kementrian Kesehatan RI, 2014).

Pada orang normal, proses penyembuhan luka terdiri dari empat fase. Coagulation phase, awal terjadi luka, inflammatory phase, munculnya agen penyebab inflamasi pada luka, proliferative phase, mulai terjadi epitalisasi oleh peran fibroblas, dan remodelling phase, pembentukan kembali jaringan (Hamed et al., 2014). Penderita diabetes yang parah, berisiko mengalami proses penyembuhan luka yang tidak kunjung sembuh, umumnya terjadi pada kaki atau Diabetic Foot Ulcer (DFU). Faktor terjadinya DFU disebabkan karena adanya penghambatan fibroblas dan keratinosit saat proses epitalisasi yang disebabkan oleh induksi berlebih enzim matrix metalloproteinase 9 (Hamed et al., 2014). Enzim MMP-9 merupakan salah satu enzim MMP yang teregulasi hanya pada luka diabetes. Saat jumlahnya berlebih, MMP-9 menghambat penyembuhan luka, untuk itu penghambatan MMP-9 diharapkan dapat mempercepat proses penyembuhan luka pada pasien diabetes (Gao et al., 2015).

(32)

17

Khayrullina, and Ganea (2016), PGE2 berperan dalam pengaturan ekspresi MMP-9 dengan meningkatkan ekspresinya. Oleh karena itu, ibuprofen berpotensi untuk mempercepat penyembuhan luka penderita diabetes melalui mekanisme penghambatan enzim MMP-9.

Hydrocolloid dressing atau sediaan hydrocolloid sudah banyak digunakan dalam penanganan DFU. Hydrocolloid umumnya digunakan pada luka kategori 2, namun beberapa ada yang menggunakannya pada kategori 3 dan 4 (Fletcher et al., 2011). Pada penelitian ini, ibuprofen diformulasikan dalam hydrocolloid matrix sebagai diabetic wound healing.Hydrocolloid matrix termasuk sediaan lokal yang memenuhi kriteria sebagai sediaan wound healing, yaitu kemampuan mengembang untuk menyerap eksudat, mampu ditembus oksigen, serta mampu menjaga kelembaban lingkungan luka (Kataria et al., 2014).

Polimer merupakan komponen utama dalam hydrocolloid matrix. Pada hydrocolloid matrix, polimer yang digunakan bersifat hidrofilik dan memiliki rantai polimer yang panjang. Sifat tersebut menjadikan polimer pada hydrocolloid matrix memiliki banyak fungsi diantaranya pelarut, pengatur pelepasan obat, dan yang paling penting yaitu sebagai pembentuk gel (Sinko, 2006). Kombinasi Polyvinyl pyrrolidone (PVP) dengan Hydroxypropyl Methylcellulose (HPMC) akan digunakan dalam sediaan hydrocolloid matrix. PVP sebagai polimer, tentunya juga berfungsi sebagai pembentuk gel dalam matriks. Berdasarkan teori tersebut, muncul asumsi bahwa perubahan konsentrasi polimer PVP sebagai pembentuk gel akan mempengaruhi karakteristik sediaan hydrocolloid matrix, untuk itu PVP dipilih sebagai polimer yang akan dibedakan variabel konsentrasinya antar formula. Asumsi tersebut kemudian akan dibuktikan dengan dilakukannya penelitian ini.

1.2. Rumusan Masalah

1.2.1. Berapa konsentrasi polimer PVP yang optimal pada formulasi hydrocolloid matrixdiabetic wound healing ibuprofen?

(33)

18

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Mengetahui konsentrasi polimer PVP yang memberikan efek optimal pada formulasi hydrocolloid matrixdiabetic wound healing ibuprofen.

1.3.2. Mengetahui pengaruh pengingkatan konsentrasi polimer PVP terhadap sifat dan stabilitas fisika kimia hydrocolloid matrix diabetic woun healing ibuprofen

1.4. Urgensi Penelitian

Penelitian ini berguna untuk mengembangkan hydrocolloidmatrix diabetic wound healing yang mampu mempercepat penyembuhan luka terbuka pada pasien diabetes, sehingga angka kejadian amputasi yang diakibatkan oleh DFU dapat dikurangi.

1.5. Kontribusi Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi besar dalam pengembangan penelitian dunia kesehatan, khususnya pengembangan terkait hydrocolloidmatrix diabetic wound healing ibuprofen bagi pasien diabetes disertai DFU.

1.6. Luaran yang Diharapkan

Luaran yang diharapkan yaitu diperoleh konsentrasi polimer PVP yang memberikan efek optimal serta diketahui pengaruhnya terhadap sifat dan stabilitas fisika kimia hydrocolloidmatrix ibuprofen diabetic wound healing.

1.7. Manfaat Penelitian

1.7.1. Manfaat Teoritis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan

manfaat besar bagi perkembangan ilmu kesehatan khususnya dalam bidang kefarmasian yang memiliki kaitan dengan hydrocolloidmatrix diabetic wound healing dalam mempercepat penyembuhan luka pada pasien diabetes. Oleh karena itu, penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya.

1.7.2. Manfaat Praktis. Penelitian ini diharapkan dapat membuktikan secara

(34)

19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Luka

Luka merupakan kondisi terputusnya susunan kontinu sel dan molekuler pada tubuh, sehingga muncul gangguan anatomi pada sel yang terluka (Nilani et al., 2011). Luka yang terjadi pada kulit mengakibatkan penurunan hingga ketidakmampuan kulit untuk menjalankan fungsi ketahanannya (Kondo and Ishida, 2010). Luka pada kulit akan mengalami proses penyembuhan pada jaringan dermal dan epidersmal melalui proses regenerasi (Kataria et al., 2014).

Proses penyembuhan luka pada orang normal terbagi menjadi empat fase. Coagulation phase, merupakan fase pertama. Setelah terjadi luka, agregat platelet akan membentuk gumpalan fibrin, kemudian menyekresi mediator spesifik yaitu platelet-derived growth factor (PDGF) dan transforming growth factor (TGF)-β1. Fase selanjutnya inflammatory phase, makrofag mulai berjalan menuju luka untuk fagositosis jaringan tidak berguna dan mikroorganisme asing pada luka. Makrofag yang aktif menyebabkan sel yang terinflamasi menyekresi sitokin proinflamasi dan growth factors (GF) (Hamed et al., 2014).

Fase selanjutnya proliferative phase. GF teraktivasi dan memicu fibroblas yang mensintesis kolagen bergerak memenuhi luka, serta memicu pertumbuhan dan migrasi endhothelial progenitor cells (EPC) untuk membentuk kembali formasi jaringan granulasi dan pembuluh darah disekitar luka. Formasi yang terbentuk menyebabkan epitalisasi dan penutupan luka. Pembentukan formasi didukung oleh ketersediaan molekul pemberi sinyal (nitric oxide atau NO), yang juga dipicu oleh adanya enzim matrix metalloproteinases (MMPs). Ketersediaan NO yang cukup membutuhkan NO synthase (NOS) dalam regulasinya. Fase terakhir yaitu remodeling phase. Penghentian proses inflamasi terjadi dan bekas luka mulai terbentuk, kemudian diakhiri penutupan luka. Restorasi dan reorganisasi pada jaringan matriks kolagen juga terjadi didaerah terjadinya luka (Hamed et al., 2014).

2.2 Diabetic Foot Ulcer (DFU)

(35)

20

penyakit atau kerusakan saat komponen penyebab penyakit ikut terbawa. Luka pada diabetes memicu terjadi mekanisme kompleks level jaringan molekuler, sehingga mengakibatkan penghambatan pada proses penyembuhan luka. Peningkatan kemositokin juga terjadi (salah satunya MMPs) yang akan melemahkan respon sistem imun, sehingga sel yang berperan dalam inflamasi tidak teraktivasi menuju tempat luka (Leung, 2007).

Kerusakan pada saraf (neuropathy) dapat mengakibatkan terjadinya DFU tidak kunjung sembuh. Saraf yang rusak mengakibatkan penurunan kemampuan sensor saraf dalam pengaturan titik tekanan pada bagian bawah sekitar kaki dan pergelangan kaki. Tekanan terlalu besar yang diberikan pada kaki yang mengalami kerusakan jaringan akibat luka akan memperburuk kerusakan jaringan, sehingga memperlambat proses penyembuhan dan DFU tidak akan kunjung tertutup (Leung, 2007).

2.3 Enzim MMP-9

Enzim MMP masih satu keluarga dengan enzim zinc-dependent endopeptidases. Enzim MMP mampu memberikan efek negatif dengan menganggu GF, reseptornya, dan formasi baru ECM yang berperan dalam penyembuhan luka. Enzim MMP-9 merupakan enzim MMP yang teregulasi hanya pada luka diabetes, sedangkan enzim MMP lainnya (MMP-8) teregulasi pada luka normal dan luka diabetes (Gao et al., 2015). Enzim MMP berjumlah sedikit pada jaringan normal dan aktivitasnya dikontrol oleh adanya jaringan inhibitor dari metalloproteinase (TIMP) (Li et al., 2007). TIMP memiliki 4 tipe, masing-masing tipe memiliki kemampuan berbeda untuk mengikat dan menghambat aktivitas MMP (McLennan et al., 2008).

(36)

21

fase proliferasi (epitelisasi) terhambat, secara langsung proses tertutupnya luka juga akan terhambat (McLennan et al., 2008).

2.4 Ibuprofen

Gambar 3. Struktur Kimia Ibuprofen (Bushra and Aslam, 2010)

Ibuprofen atau (2RS)-1[4-(2-methyl propyl) phenyl] merupakan obat analgesik, antipiretik, dan anti-inflamasi golongan NSAID turunan asam propionat (Bushra and Aslam, 2010). Ibuprofen memiliki bobot molekul 206,3 g/mol, tingkat kelarutannya rendah dalam air yaitu 21mg/L (Yalkowsky and Dannenfelser, 1992), sedangkan pada etanol kelarutannya lebih tinggi yaitu 25mg/mL (Anonim, 2016). Nilai pKa yang dimiliki ibuprofen sebesar 5.3 (Bushra and Aslam, 2010), dan nilai Log-P ibuprofen sebesar 3.9. Lethal Dose (LD) ibuprofen sebesar 171mg/kg secara oral pada manusia dewasa, sedangkan pada dosis umumnya yaitu 200-400mg, effective concentration (EC50) ibuprofen yaitu 6-10µg/mL (Anonim, 2016).

Ibuprofen memiliki mekanisme ihibisi non-selektif pada COX-1 yang bertanggung jawab akan produksi prostanoid (PGs) yang mengontrol berbagai aktivitas fisiologis (vaskuler, aliran darah, lambung, dan ginjal), serta inhibisi COX-2 yang memproduksi PGE2 dalam proses inflamasi dan rasa nyeri (Rainsford, 2009). Sitokin proinflamasi TNF-α berperan pada ekspresi PGE2 yang kemudian akan menginduksi enzim MMP-9, sehingga PGE2 mampu mempengaruhi ekspresi dari enzim MMP-9. Pengaruh PGE2 terhadap ekspresi enzim MMP-9 berupa peningkatan regulasi enzim MMP-9 (Yen et al., 2016).

2.5 Sediaan Penyembuh Luka

(37)

22

proliferasi dari kolagen hingga terbentuk matriks nonseluler yang sehat (Okan et al., 2007). Sediaan penyembuh luka memiliki kemampuan ditembus oleh oksigen yang dibutuhkan oleh kulit guna respirasi dan kemampuan menyerap eksudat yang dikeluarkan oleh luka (Kataria et al., 2014).

Sediaan penyembuh luka untuk luka pada kaki (Foot Ulcers) harus memiliki kemampuan menyerap eksudat dengan absorpsi untuk menjaga kandungan kelembaban pada luka. Kemampuannya untuk menyerap eksudat dan menjaga kandungan lembab dilanjutkan dengan kemampuan untuk menjaga hidrasi jaringan tanpa membuat luka mengering. Jumlah Eksudat harus dijaga untuk mencegah pengotoran lingkungan daerah luka akibat maserasi dari jaringan (Ovington, 2007).

2.6 Hydrocolloid

Hydrocolloid merupakan salah satu sediaan untuk mengatasi luka, terdiri dari komponen koloidal (agen pembentuk gel) yang dikombinasikan dengan komponen lain dengan kegunaannya masing-masing. Penampakan dari sediaan ini bisa berupa lapisan film tipis (berbentuk lembaran) atau dalam bentuk kombinasi dengan komponen lain seperti alginat (Boateng et al., 2008). Hydrocolloid termasuk sediaan lokal yang memenuhi kriteria sebagai sediaan wound healing, yaitu kemampuan mengembang untuk menyerap eksudat, mampu ditembus oksigen, serta mampu menjaga kelembaban lingkungan luka (Kataria et al., 2014). Hydrocolloid umumnya digunakan pada luka kategori 2, namun beberapa ada yang menggunakannya pada luka kategori 3 dan 4 (Fletcher et al., 2011). Hydrocolloid dapat digunakan pada luka dengan tingkatan eksudat rendah hingga menengah, dan dapat digunakan dalam terapi luka pada kaki yang mengalami penundaan dalam proses penyembuhannya (Boateng et al., 2008).

(38)

23

bagian luka yang terbuka, sehingga apabila hydrocolloid dilepaskan tidak akan terjadi kerusakan kembali pada luka karena gel akan tetap melindungi luka terbuka (Shai and Maibach, 2005).

Hydrocolloid matrix dapat digunakan selama 3-5 hari saat diaplikasikan pada luka, selama waktu tersebut hydrocolloid kurang lebih sudah menyerap eksudat sebanyak 70%. Permukaan kulit sebelum diaplikasian sediaan harus dalam kondisi bersih dan kering (Edwards et al., 2013). Berikut merupakan kelebihan dan kekurangan dari hydrocolloid matrix:

Tabel 5. Kelebihan & Kekurangan Hydrocolloid Matrix (Edwards et al., 2013)

Kelebihan Kekurangan

Bersifat waterproof dan dapat digunakan saat mandi.

Dalam penggunaannya harus

diperhatikan khusus, karena mampu mendorong pertumbuhan bakteri Mampu menyerap eksudat Penggunaanya hati-hati karena

langsung pada luka terbuka Gel yang terbentuk saat menyentuh

luka akan menjaga kelembaban daerah luka, yang akan mendukung pembentukan formasi jaringan baru

Penyimpanannya sukar untuk menjaga kestabilan sediaan

Mampu mengurangi rasa nyeri Terkadang menimbulkan bau yang kurang nyaman.

2.7 Polimer (Polivinyl pyrrolidone)

Polimer merupakan suatu kesatuan bentuk dari molekul kecil (monomer) yang menyatu dengan molekul kecil lainnya (molekul yang sama ataupun berbeda). Monomer tertentu akan mengalami proses polimerisasi untuk kemudian menyatu, sehingga dihasilkan bentuk molekul yang lebih besar berupa polimer. Polimer dapat membentuk cross-linked dengan polimer lain ataupun dengan polimer sendiri (monomer berbeda), yang menyebabkan gerak polimer yang terbatas, rigid, dan dapat mengembang dengan baik. Kemampuan pengembangan polimer dapat dikendalikan dengan adanya pelarut yang masuk diantara monomer untuk mengurangi cross-linked dengan monomer tetangga (Sinko, 2006).

(39)

24

memiliki banyak fungsi (pelarut, stabilizer, dan mengatur pelepasan obat), salah satunya yang paling penting yaitu sebagai pembentuk gel (Sinko, 2006). Semua komposisi termasuk polimer pada bentuk hydrocolloid matrix merupakan komponen larut air (Olorunsola and Adedokun, 2014).

Polyvinyl pyrrolidone (PVP) atau Povidone memiliki struktur kimia sebagai berikut:

Gambar 2. Struktur Kimia Polyvinyl Pyrrolidone (Kadajji and Betageri, 2011)

PVP termasuk eksipien (polimer) memiliki kelarutan yang baik dalam air serta memiliki rentang bobot molekul 40.000 hingga 360.000 (Kadajji and Betageri, 2011). Salah satu contoh pembentukan crosslinking PVP yang mudah terjadi, yaitu pada medium larutan air dengan bantuan sinar UV (Zhang et al., 2013). Berikut bentuk crosslinking yang terjadi:

Pada umumnya, PVP dapat mampu membawa obat dengan baik pada rentang konsentrasi 10-25% (Rowe et al., 2009). Dipilihnya PVP dikarenakan dalam penggunaanya sebagai polimer hidrofilik, PVP akan menciptakan suatu koloidal dalam bentuk suspensi, yang mana merupakan kondisi tiap partikel solid terpisah (terdispersi) pada medium hidrofilik, dan tentunya PVP mencegah partikel menyatu agar homogenitas tetap terjaga (Kadajji and Betageri, 2011). Selain itu, PVP juga termasuk polimer yang bersifat non-toksik dan memiliki

(40)

25

kompatibilitas yang baik, sehingga PVP sesuai untuk penggunaan sediaan wound healing (Zheng et al., 2014).

2.8 Landasan Teori

Zat aktif ibuprofen merupakan obat anti inflamasi golongan NSAID. Ibuprofen memiliki mekanisme aksi penghambatan enzim COX-2, sedangkan enzim COX-2 tersebut memiliki kemampuan pengaturan regulasi MMP-9, melalui induksi PGE2. Oleh karena itu, pengaplikasian ibuprofen akan menghambat enzim MMP-9 yang berlebih pada pasien diabetes yang kemudian kerusakan jaringan pembentuk luka akan berhenti, sehingga penyembuhan luka berjalan normal kembali.

Ibuprofen diformulasikan dalam hydrocolloid matrix diabetic wound healing. Hydrocolloid matrix memiliki kriteria yang sesuai dengan kriteria suatu sediaan sebagai diabetic wound healing, yaitu mampu menyerap eksudat serta mampu menjaga lingkungan luka tetap lembab. Hydrocolloid dalam wujud lembarannya akan berubah menjadi bentuk gel setelah berinteraksi dengan adanya eksudat. Pembentukan gel tersebut memiliki peran penting dalam penyerapan eksudat pada luka serta menjaga kondisi lembab pada lingkungan luka. Penggunaan hydrocolloid pada luka diabetes dirasa tepat karena dapat meminimalisir rasa nyeri dan kerusakan kembali pada luka, frekuensi pemakaian dapat dikurangi, serta dalam penggunaannya cukup mudah dan dapat dilakukan sendiri.

Polimer merupakan kesatuan monomer yang menyatu secara linear, dan beberapa disertai dengan adanya cross-linked diantara molekul pada polimer berbeda atau polimer yang sama (beda monomer). Dalam sediaan hydrocolloid, polimer yang digunakan memiliki fungsi penting yaitu sebagai pembentuk gel. PVP sebagai polimer terpilih tentunya juga akan berperan sebagai pembentuk gel dengan menciptakan sistem koloidal dengan partikel padat yang terdispersi homogen. Selain itu, PVP juga memiliki sifat hidrofilik yang baik sehingga sesuai untuk digunakan sebagai polimer dalam hydrocolloid matrix.

2.9 Hipotesis

(41)

26

(42)

27

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian dengan judul “Optimasi Konsentrasi Polyvinyl Pyrrolidone (PVP) sebagai Polimer Hydrocolloid Matrix Diabetic Wound Healing dengan Bahan Aktif Ibuprofen” merupakan penelitian eksperimental murni.

3.2 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 3.1.1. Variabel Penelitian

1. Variabel Bebas: konsentrasi Polyvinyl Pyrrolidone (PVP) sebagai polimer hydrocolloid matrix diabetic wound healing.

2. Variabel Tergantung: Sifat fisika kimia serta stabilitas dari hydrocolloid matrix diabetic wound healing.

3. Variabel Pengacau:

1. Variabel Pengacau Terkendali: produsen obat dan seluruh bahan kimia untuk formula hydrocolloid matrix, produsen bahan kimia aloksan dan ketamin, prosedur pembuatan dan pengujian sediaan, kondisi penyimpanan sediaan, serta wadah penyimpanan sediaan.

2. Variabel Pengacau Tak Terkendali: kondisi ruangan saat proses pembuatan, dan kondisi patofisiologis hewan uji (tikus).

3.1.2. Definisi Operasional

a. Hydrocolloid matrix ibuprofen: sediaan yang mengandung polimer PVP, HPMC, etanol, propilen glikol, dan akuades sebagai basis yang kemudian ditambahkan zat aktif ibuprofen dibentuk dalam hydrocolloid matrix. b. Polyvinyl pyrrolidone (PVP): merupakan bahan pembantuk polimer yang

digunakan pada hydrocolloid matrix ibuprofen dengan tiga konsentrasi berbeda yaitu 1,5%; 2% dan 2,5%.

(43)

28

d. Sifat kimia hydrocolloid matrix: parameter kualitas kimia sediaan yang meliputi pH dan keseragaman kandungan obat dalam sediaan

e. Stabilitas fisika kimia hydrocolloid matrix: parameter kestabilan hydrocolloid matrix meliputi, perubahan sifat fisik dan kimia sediaan setelah diberi perlakuan suhu yang berbeda selama penyimpanan.

f. Sterilitas matrix: uji mikrobiologi yang menunjukkan bahwa sediaan hydrocolloid matrix yang telah dibuat steril.

g. Organoleptis: uji penampakan fisik hydrocolloid matrix terkait warna, kejernihan dan kehalusan dengan warna yang seragam, keruh, dan halus. h. Keseragaman bobot matrix: uji keseragaman variasi bobot yang dimiliki

hydrocolloid matrix. Hasil bobot yang seragam dilihat dari nilai koefisien variasi (CV) tidak lebih dari 10% rata-rata bobot masing-masing sediaan. i. Ketebalan matrix: uji terkait variasi ketebalan hydrocolloid matrix yang menunjukkan hasil homogen, dengan nilai ketebalan matrix yang ideal 0,7mm.

j. pH larutan matrix : uji terkait pH larutan matrix yang berada pada range pH 4-7.

k. Persentase moisture content matrix: uji untuk mengetahui kandungan kelembaban yang dimiliki oleh hydrocolloid matrix, ditunjukan dengan nilai persentase moisture content.

l. Persentase moisture absorption matrix: uji terkait kemampuan penyerapan kelembaban hydrocolloid matrix setelah dikondisikan pada RH 80-90%. Kemampuan penyerapan ditentukan saat sediaan tidak mengalami perubahan bobot dikarenakan sediaan sudah tidak mampu menyerap lembab atau mencapai titik jenuhnya.

m.Folding endurance sediaan: uji untuk mengetahui fleksibilitas hydrocolloid matrix, ditunjukkan dengan jumlah kemampuan ketahanan pelipatan ideal hingga 300 kali pelipatan.

(44)

29

o. Kurva baku ibuprofen: merupakan penetapan kurva baku ibuprofen yang digunakan dalam validasi metode serta untuk penetapan kadar dari absorbansi yang didapat dari setiap uji.

p. Pelepasan obat dari hydrocolloid matrix: uji untuk mengetahui pelepasan obat dari hydrocolloid matrix secara in-vitro, ditunjukkan dengan plot nilai pelepasan obat terhadap waktu. Formula optimal dipilih berdasarkan nilai pelepasan obat mendekati 100%, DE, serta slope dari plot.

q. Kemampuan Iritabilitas hydrocolloid matrix: uji untuk mengetahui kemampuan iritabilitas dari sediaan, ditandai dengan tidak terdapatnya eritema/edema pada kulit untuk sediaan yang tidak mengiritasi.

r. Formula hydrocolloid matrix optimum: formula yang memenuhi kriteria dari setiap uji sifat maupun stabilitas fisika kimia hydrocolloid matrix. s. Tikus putih galur Wistar jantan terinduksi aloksan: merupakan tikus putih

jantan galur Wistar dengan kondisi diabetes (kadar glukosa darah >250 mg/dL) akibat induksi menggunakan aloksan dosis 120 mg/kgBB. t. Uji aktivitas hydrocolloid matrix ibuprofen: uji untuk menunjukkan

aktivitas diabetic wound healing pada hydrocolloid matrix, dilihat dari kecepatan penyembuhan luka dengan nilai wound closure 100%. Lama waktu penyembuhan luka eksisi tikus, setelah diaplikasikan sediaan hydrocolloid matrix ditetapkan. Setiap luka pada tikus diabetes yang terinduksi aloksan dibandingkan dengan tiap luka pada tikus normal yang tidak diinduksi aloksan.

u. Uji histopatologi: pengamatan kondisi kulit tikus yang diabetes karena penginduksian aloksan dibandingkan dengan kulit tikus normal yang tidak diinduksi aloksan secara mikroskopik menggunakan mikroskop cahaya dengan pewarnaan Hematoxylin-Eosin.

3.3 Bahan Penelitian

3.3.1. Subjek Penelitian

(45)

30

2. Sampel: 6 ekor tikus putih galur Wistar jantan, terdiri dari 3 tikus diinduksi aloksan dan 3 tikus tidak diinduksi aloksan (normal) yang memiliki berat badan 150-180 g. 3 ekor kelinci albino jantan yang berusia 8-9 bulan dengan berat badan 1,8-2,2 kg.

3.3.2. Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan yaitu ibuprofen (Kalbe Farma), baku standart ibuprofen (), PVP (Erela), propilen glikol, etanol, gliserol (Aldrich), akuades, metanol (Aldrich), PBS pH 6,4 (NaCl, KH2PO4, Na2HPO4), krim Veet®, kapas Medisoft Cotton Ball, aloksan (Sigma), ketamin, Nutrient Agar (Oxoid), formalin 10% (Aldrich), reagen Glucose GOD FS (Diasys, Germany), larutan Harris Hematoxylin, larutan acid alkohol, larutan ammonium, larutan stok Eosin alkohol 1%, larutan working Eosin

3.4 Alat Penelitian

(46)

31 Skema Kerja Penelitian

3.5 Tata Cara Penelitian 3.3.3. Sterilisasi

Kabinet LAF dibersihkan dengan menggunakan etanol 70%, kemudian lampu UV dinyalakan selama 24 jam sebelum proses pembuatan hydrocolloid matrix. Sterilisasi alat-alat gelas dilakukan dengan sterilisasi panas kering menggunakan oven pada suhu 180oC selama 1 jam. Sterilisasi campuran larutan sediaan dan cawan petri menggunakan autoklaf selama 10 menit dengan suhu 115 OC dan tekanan 1kgf/cm2.

3.3.4. Pembuatan Hydrocolloid Matrix Ibuprofen

Ibuprofen diformulasikan dalam bentuk hydrocolloid matrix ibuprofen diabetic wound healing dengan adanya variasi konsentrasi Polyvinyl Pyrrolidone (PVP) sebagai polimer. Formula yang dibuat merupakan modifikasi dari formula pada penelitian Pudyastuti, et al., 2014.

Formulasi pada penelitian Pudyastuti et al., 2014 sebagai berikut:

Tabel 2. Formula acuan matriks transdermal pentagamavunon-0

Formula Hydrocolloid Matrix

Pentagamavunon-0 7,32 mg

(47)

32 Modifikasi formula yang digunakan:

Tabel 3. Modifikasi formula yang digunakan

Formula IBU 1 IBU 2 IBU 3

Formula dan prosedur pembuatan matrix mengacu penelitian Pudyastuti, et al., 2014. Larutan stok ibuprofen (konsentrasi 1.25%) dibuat dengan melarutkan ibuprofen sejumlah 5% dari sediaan hydrocolloid matrix 25 mg ke dalam 7,14 mL etanol 96%. PVP (1,5 %, 2 %, atau 2.5 %) dilarutkan dalam larutan stok ibuprofen diaduk selama ±3 menit. Propilen glikol 10% dicampurkan dalam campuran diaduk hingga homogen. Larutan HPMC dalam pelarut etanol 96 % : akuades (1:1) ditambahkan kedalam campuran sedikit demi sedikit hingga homogen. Campuran kemudian disterilkan dengan autoklaf selama 20 menit dengan suhu 121 OC. Kemudian dituang ke cawan petri bertutup lalu dikeringkan dalam oven ± 30OC selama 3 hari sampai didapat ketebalan yang diinginkan. Matriks kering kemudian dicetak berukuran diameter 1cm dan disimpan pada wadah bersilica gel

3.3.5. Uji Sterilitas

(48)

33

pada media yang sudah memadat sebanyak 3 replikasi, lalu diinkubasi terbalik dalam LAF selama 24 jam.

3.3.6. Uji Penampilan Fisik (Organoleptis)

Uji penampilan fisik atau organoleptis dilakukan dengan mengamati dan meneliti warna, kejernihan dan kehalusan hydrocolloid matrix yang telah dibuat (Shirsand et al., 2012).

3.3.7. Uji pH Larutan Sediaan

Setiap formula hydrocolloid matrix berdiameter 1 cm direndam dalam 20ml akuades pada suhu 36,5 oC - 37,5 oC selama 24 jam. pH larutan selanjutnya diukur dengan pH meter. Hasil pH yang diharapkan masuk pada skala pH kulit manusia normal yaitu 4-7 (British Pharmacopoeia, 1993).

3.3.8. Uji Keseragaman Bobot Sediaan

Sebanyak 10 hydrocolloid matrix dari masing-masing formula satu persatu ditimbang dan dihitung rata-rata bobot sediaan (British Pharmacopoeia, 1993).

3.3.9. Uji Ketebalan Sediaan

Ketebalan hydrocolloid matrix diukur pada 5 titik berbeda (pada keempat sudut dan bagian tengah) dengan jangka sorong, kemudian dihitung rata-rata ketebalan sediaan (El-gendy et al., 2009).

3.3.10. Uji Persentase Moisture Content

Setiap hydrocolloid matrix berdiameter 1 cm dikondisikan dalam sebuah desikator berisi silika selama 24 jam. Setelah itu masing-masing hydrocolloid matrix ditimbang untuk didapatkan bobot matriks tetap.

3.3.11. Uji Persentase Moisture Absorption

Setiap hydrocolloid matrix berdiameter 1 cm yang sudah diuji moisture content diletakkan dalam climatic chamber dengan 80-90 RH dan bersuhu 28 oC selama 24 jam. Setelah itu masing-masing hydrocolloid matrix ditimbang untuk didapatkan bobot matriks setelah penyerapan.

3.3.12. Uji Ketahanan Pelipatan (F olding Endurance)

(49)

34

ditentukan dengan melipat sediaan matrix secara berulang pada posisi yang sama hingga rusak. Jumlah pelipatan matrix yang dapat dilakukan tanpa merusak matrix merupakan nilai dari ketahanan pelipatan (Shirsand et al., 2012).

3.3.13. Uji Keseragaman Kandungan Obat dalam Sediaan

Sebanyak 5 hydrocolloid matrix dari masing-masing formula digunakan dalam uji ini. Masing-masing matrix dilarutkan dalam 15 mL Metanol dan 35 mL PBS pH 6,4, kemudian diukur serapannya pada panjang gelombang maksimal menggunakan spektrofotometer UV. Prosedur pengujian merupakan modifikasi dari penelitian Shirsand et al., (2012).

3.3.14. Pembuatan Kurva Baku Ibuprofen

Seri standar ibuprofen dibuat pada rentang konsentrasi 0,2 µg/ml – 20 µg/ml, dengan mengambil 0,1; 0,2; 0.3; 0,4; 0,5; 0,6; 0,7; 0,8 0,9; 1; 2; 3; 4; 5; 6; 7; 8; 9 ml dari larutan intermediet ibuprofen (konsentrasi 20 µg/ml) diencerkan ke dalam labu takar 10 ml. Pelarut yang digunakan yaitu metanol p.a dan PBS pH 6,4. Panjang gelombang maksimum ditentukan diawal menggunakan seri konsentrasi 20µg/ml, dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis double beam pada rentang 200-400nm. Pengukuran seri dilakukan pada panjang gelombang maksimum yang sudah ditentukan.

3.3.15. Uji Pelepasan Obat Secara In-Vitro

Prosedur pengujian pelepasan obat secara in-vitro merupakan modifikasi dari prosedur pada penelitian Pudyastuti, et al. (2014). Setiap formula hydrocolloid matrix diuji menggunakan franz diffusion cell pada suhu 37 ± 1oC dengan medium PBS pH 6,4 memenuhi chamber uji. Membran milipore 3 µm yang digunakan harus jenuh (di rendam dalam medium selama 1 jam). Larutan aseptor disampling sebanyak 3 ml pada tiap 15, 30, 45, 60, 90, 120, 180, 240, 300, dan 360 menit. Sampling larutan dibaca dengan spektrofotometer UV-Vis.

3.3.16. Uji Iritabilitas Sediaan

(50)

35

pengiritasi, basis hydrocolloid matrix yang tidak mengandung ibuprofen diuji kemampuan iritabilitasnya pada kulit. Larutan formalin etil asetat diaplikasikan pada permukaan dorsal kiri pada kelinci, dan matrix yang akan diuji diletakkan di permukaan kanan dorsal. Matrix dilepas setelah 4 jam pengaplikasian. Setelah matrix dilepaskan kondisi kulit diamati munculnya eritema/edema selama 72 jam (Shirsand et al., 2012).

3.3.17. Uji Stabilitas Hydrocolloid Matrix

Semua hydrocolloid matrix diletakkan dalam oven dengan 2 suhu yang berbeda yaitu 37°C dan 45°C. Matrix diobservasi dalam suhu tersebut selama 4 minggu. Dilakukan analisis fisik (keseragaman bobot, organoleptis, pH sediaan, folding endurance, ketebalan sediaan, dan persentase moisture content serta persentase moisture absorption) juga analisis kandungan obat matrix setiap minggunya. (Amjad et al., 2012).

3.3.18. Uji Aktivitas Hydrocolloid Matrix

(51)

36

dieutanasia dengan formalin dosis letal 100mg/kgBB, kemudian kulit punggung tiap luka diambil dengan ukuran 2x2 cm dan disimpan dalam pot berisi formalin 10%.

Gambar 4. Skema gambar penempatan luka eksisi

Tabel 4. Keterangan penomoran luka eksisi

Keterangan Tikus 1 Tikus 2 Tikus 3

A Kontrol Formula optimum

matrix HPMC D Formula optimum

matrix PVP

Basis matrix

HPMC Basis matrix PVP E Formula optimum

matrix HPMC

Formula optimum matrix PVP

Basis matrix HPMC

3.3.19. Uji Histopatologi – pengecatan Hematoxylin-Eosin (HE)

a. Trimming. Pemotongan tipis jaringan dengan skalpel.

b. Dehidrasi. Dilakukan untuk mengeluarkan air yang terkandung dalam jaringan dengan menggunakan reagen pembersih, lalu dilakukan impregnasi (penetrasi parafin ke dalam jaringan).

c. Embedding dan cutting. Jaringan yang sudah didehidrasi diletakkan di atas sebuah balok kayu (embedding) sebagai alas pemotongan jaringan dengan pisau mikrotom (cutting).

C B A D

(52)

37

d. Staining. Rangkaian pewarnaannya adalah sebagai berikut: xylol I (5 menit); xylol II (5 menit); xylol III (5 menit); alkohol absolut I (5 menit); alkohol absolut II (5 menit); akuades (1 menit); Harris Hematoxylin (20 menit); akuades (1 menit); acid alkohol (2-3 celupan); akuades (1 menit); akuades (15 menit); eosin (2 menit); alkohol 96% I (3 menit); alkohol 96% II (3 menit); alkohol absolut III (3 menit); alkohol absolut IV (3 menit); xylol IV (5 menit); dan xylol V (5 menit).

e. Mounting. Menutup kaca objek dengan kaca penutup.

f. Pembacaan slide dengan mikroskop. Pengamatan histopatologi dilakukan dengan menggunakan mikroskop cahaya (Olympus tipe BH-2, Olympus Corp., Jepang).

3.6 Tata Cara Analisis Hasil

a. Persentase kandungan kelembaban (moisture content) : % � = bobot awal − bobot akhirbobot akhir x %

b. Persentase penyerapan kelembaban (moisture absorption):

% � � = bobot akhir − bobot awal

bobot awal x %

c. Pengukuran kecepatan penyembuhan luka pada tikus dihitung dengan persamaan:

Wound closure % = area luka pada hari ke − − area luka pada hari ke − narea luka pada hari ke − x %

d. Nilai dissolution efficiency (DE) pada uji pelepasan obat dihitung dengan persamaan :

= ��

perhitungan AUC menggunakan rumus trapezium disetiap titik kurva. e. Data hasil tiap uji pengukuran diuji statistik menggunakan software R

for statistic ver. 3.2.3 dengan penggunaan uji tertentu, yaitu:

(53)

38

Pearson test, sedangkan uji homogenitas data tidak dilakukan karena data hanya 1 variasi.

e.2. Uji T-Independen dilakukan pada taraf kepercayaan 95%, untuk membandingkan data uji aktivitas sediaan. Uji normalitas data diakukan dengan menggunakan Pearson test, sedangkan uji homogenitas dengan var.test.

(54)

39

(55)

40

(56)

41

(57)
(58)
(59)

44

(60)
(61)
(62)

47

(63)
(64)
(65)

50

Lampiran 7. Data hasil pembuatan formula hydrocolloid matrix ibuprofen

Pengeringan optimal pada suhu 45 oC selama 2-3 hari, ditandai dengan matriks yang sudah mengering sempurna (dapat dilepas dari wadah pengeringan).

 Data optimasi bobot sediaan kering

Wadah + isi

 Perhitungan jumlah zat aktif

x bobot kering tetap  x , g = , g 0,09 g jumlah pelarut etanol yang dibutuhkan :

, 9  Perhitungan dosis ibuprofen tiap sediaan

Luas lingkaran wadah cawan petri : d = 9,5 cm

= 9, = ,

Luas lingkaran sediaan : d = 1 cm

= ( )

Gambar

Tabel IV. Interpretasi uji perlakuan tikus ............................................................
Gambar 2. Kurva uji pelepasan obat hydrocolloid matrix.....................................
Tabel I. Formula modifikasi hydrocolloid matrix Basis 1 Basis 2 Basis 3 PVP 1 PVP 2
Gambar 1.Uji sterilitas  Hasil uji sterilitas; Basis (a); PVP 1 (b); PVP 2 (c); PVP 3 (d)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Islam… adalah menciptakan manusia yang baik, yakni berada dalam pengertian yang komprehensif .” Ms 201, Falsafah dan amalan Pendidikan Islam, 20053. Aims and Objectives

Petani menyadari bahwa sebagian jenis ayam sesuai untuk menghasilkan telur sedangkan lainnya sesuai sebagai penghasil daging sehingga ayam dipelihara dengan single purpose ,

Dalam kaitannya dengan penelitian ini maka akan dicari kondisi, hubungan yang sedang tumbuh, proses yang sedang berlangsung, dan kecenderungan maupun akibat yang

Dari pelaksanaan kegiatan Praktik Pengalaman Lapangan, dapat disimpulkan bahwa PPL merupakan wahana yang dapat membantu mahasiswa dalam mempersiapkan diri untuk

[r]

ludd,?eD!trakFtan x*adaran

Bentuk desain yang telah ditentukan pada tahap perancangan kemudian di gambar sketsa/pola pada balok kayu pinus yang akan digunakan untuk membuat blade.. Kayu Pinus dipilih

[r]