• Tidak ada hasil yang ditemukan

Relevansi semangat kedinaan Santo Fransiskus Assisi dalam tugas pelayanan para Suster Fransiskus Dina (SFD) pada masa kini bagi kaum difabel.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Relevansi semangat kedinaan Santo Fransiskus Assisi dalam tugas pelayanan para Suster Fransiskus Dina (SFD) pada masa kini bagi kaum difabel."

Copied!
164
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul RELEVANSI SEMANGAT KEDINAAN SANTO FRANSISKUS ASSISI DALAM TUGAS PELAYANAN PARA SUSTER FRANSISKUS DINA (SFD) PADA MASA KINI BAGI KAUM DIFABEL. Penulis memilih judul ini bertolak dari kesan pribadi akan para suster SFD yang berkarya melayani Anak-anak Berkebutuhan Khusus (difabel) yang tampak begitu setia menghidupi semangat kongregasi seturut teladan Santo Fransiskus Assisi dan para pendiri. Karya tersebut merupakan salah satu usaha untuk menghidupi semangat kongregasi seturut semangat kedinaan Santo Fransiskus Assisi. Mereka yang menyandang nama sebagai seorang SFD harus sungguh-sungguh tampil dan hadir dalam karya perutusan dengan membawa nama tersebut.

Para suster SFD bercermin dari hidup Santo Fransiskus Assisi dan semangat kedinaan yang menjadi pilihan utama dalam hidupnya. Hal ini pulalah yang menjadi warisan agung bagi para pengikutnya terutama kongregasi SFD.

Bertitik tolak dari alasan di atas, skripsi ini dimaksudkan untuk menyadarkan kembali semangat hidup kedinaan para suster SFD dalam karya pelayanan terhadap kaum difabel. Juga untuk memperkaya serta mengonkritkan relevansi semangat kedinaan tersebut. Selain itu juga untuk membantu menghayati semangat kedinaan sebagai SFD yang menyandang nama sebagai orang ‘Dina’ dalam pengabdian terhadap kaum difabel, maka dalam skripsi ini akan dibahas siapakah kaum difabel itu dan apa arti kedinaan berhadapan dengan kaum difabel dengan menggunakan kajian pustaka metode deskriptif, dan untuk memperkaya relevansi semangat kedinaan tersebut, penulis akan melengkapi dengan life story. Penulis mempelajari dan mendalami buku-buku spiritualitas kongregasi dan buku-buku sumber lain yang relevan guna memperkaya dan mendalami gagasan refleksi rohani.

(2)

ABSTRACT

This undergraduate thesis entitled THE RELEVANCE OF THE SPIRIT OF POVERTY OF SAINT FRANCIS ASSISI FOR THE SERVICE OF THE SISTERS OF MINOR FRANCIS (SFD) AT PRESENT FOR DISABLED PEOPLE. The author started from the personal impression of the work of the sisters of SFD to serve children with special needs (disabilities) who seemed so faithful to live the spirit of the congregation according to the example of Saint Francis of Assisi and the founders. This work is an effort to enlive the spirit of minority according to the spirit of St. Francis of Assisi. Those who bear the name of SFD should earnestly perform and present in the work of the mission to carry its name.

The sisters of SFD reflect the life of St. Francis of Assisi and the spirit of minority which is the main choice in their lives. This is precisely the great legacy for his followers, mainly the congregation of SFD.

Based on the above reasons, this undergraduate thesis is intended to revive the spirit of minority of the Sisters of SFD to serve the disabled, and to enrich and to realize the relevance of the minority spirit. In addition, to help the spirit of minority as SFD which bears the name as 'Minority' in loyalty to the disabled, this paper will discuss who the disabled was and what it meant by minority dealing with disabled people using literature review descriptive methods, and to ensure the relevance of the spirit of minority, the author will equip life story. The author studies and explores the spirituality of the congregation books and books from other relevant sources in order to enrich and to deepen the idea of spiritual reflection.

(3)

RELEVANSI SEMANGAT KEDINAAN SANTO FRANSISKUS ASSISI DALAM TUGAS PELAYANAN PARA SUSTER FRANSISKUS DINA

(SFD) PADA MASA KINI BAGI KAUM DIFABEL

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Agama Katolik

Oleh:

Susiati

NIM: 111124042

PROGRAM STUDI

PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2016

(4)
(5)
(6)

iv

PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan kepada:

Santo Fransiskus Assisi, Muder Constansia van Der Linden dan Persaudaraan

Kongregasi Suster Fransiskus Dina dan siapa saja yang telah

mendukung saya dengan cara dan bentuknya masing-masing

(7)

v MOTTO

Deus est Fidelitas, Allah adalah Setia”.

Benarlah perkataan ini: "Jika kita mati dengan Dia, kita pun akan hidup dengan

Dia; jika kita bertekun, kita pun akan ikut memerintah dengan Dia; jika kita

menyangkal Dia, Dia pun akan menyangkal kita; jika kita tidak setia, Dia tetap

setia, karena Dia tidak dapat menyangkal diri-Nya.

(8)
(9)
(10)

viii ABSTRAK

Skripsi ini berjudul RELEVANSI SEMANGAT KEDINAAN SANTO FRANSISKUS ASSISI DALAM TUGAS PELAYANAN PARA SUSTER FRANSISKUS DINA (SFD) PADA MASA KINI BAGI KAUM DIFABEL. Penulis memilih judul ini bertolak dari kesan pribadi akan para suster SFD yang berkarya melayani Anak-anak Berkebutuhan Khusus (difabel) yang tampak begitu setia menghidupi semangat kongregasi seturut teladan Santo Fransiskus Assisi dan para pendiri. Karya tersebut merupakan salah satu usaha untuk menghidupi semangat kongregasi seturut semangat kedinaan Santo Fransiskus Assisi. Mereka yang menyandang nama sebagai seorang SFD harus sungguh-sungguh tampil dan hadir dalam karya perutusan dengan membawa nama tersebut.

Para suster SFD bercermin dari hidup Santo Fransiskus Assisi dan semangat kedinaan yang menjadi pilihan utama dalam hidupnya. Hal ini pulalah yang menjadi warisan agung bagi para pengikutnya terutama kongregasi SFD.

Bertitik tolak dari alasan di atas, skripsi ini dimaksudkan untuk menyadarkan kembali semangat hidup kedinaan para suster SFD dalam karya pelayanan terhadap kaum difabel. Juga untuk memperkaya serta mengonkritkan relevansi semangat kedinaan tersebut. Selain itu juga untuk membantu menghayati semangat kedinaan sebagai SFD yang menyandang nama sebagai orang ‘Dina’ dalam pengabdian terhadap kaum difabel, maka dalam skripsi ini akan dibahas siapakah kaum difabel itu dan apa arti kedinaan berhadapan dengan kaum difabel dengan menggunakan kajian pustaka metode deskriptif, dan untuk memperkaya relevansi semangat kedinaan tersebut, penulis akan melengkapi dengan life story. Penulis mempelajari dan mendalami buku-buku spiritualitas kongregasi dan buku-buku sumber lain yang relevan guna memperkaya dan mendalami gagasan refleksi rohani.

(11)

ix ABSTRACT

This undergraduate thesis entitled THE RELEVANCE OF THE SPIRIT OF POVERTY OF SAINT FRANCIS ASSISI FOR THE SERVICE OF THE SISTERS OF MINOR FRANCIS (SFD) AT PRESENT FOR DISABLED PEOPLE. The author started from the personal impression of the work of the sisters of SFD to serve children with special needs (disabilities) who seemed so faithful to live the spirit of the congregation according to the example of Saint Francis of Assisi and the founders. This work is an effort to enlive the spirit of minority according to the spirit of St. Francis of Assisi. Those who bear the name of SFD should earnestly perform and present in the work of the mission to carry its name.

The sisters of SFD reflect the life of St. Francis of Assisi and the spirit of minority which is the main choice in their lives. This is precisely the great legacy for his followers, mainly the congregation of SFD.

Based on the above reasons, this undergraduate thesis is intended to revive the spirit of minority of the Sisters of SFD to serve the disabled, and to enrich and to realize the relevance of the minority spirit. In addition, to help the spirit of minority as SFD which bears the name as 'Minority' in loyalty to the disabled, this paper will discuss who the disabled was and what it meant by minority dealing with disabled people using literature review descriptive methods, and to ensure the relevance of the spirit of minority, the author will equip life story. The author studies and explores the spirituality of the congregation books and books from other relevant sources in order to enrich and to deepen the idea of spiritual reflection.

(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kasih dan setia, karena segala

rahmat dan kasih setia-Nya penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul

RELEVANSI SEMANGAT KEDINAAN SANTO FRANSISKUS ASSISI DALAM TUGAS PELAYANAN PARA SUSTER FRANSISKUS DINA (SFD) PADA MASA KINI BAGI KAUM DIFABEL.

Skripsi ini merupakan karya ilmiah dan sumbangan terhadap para pembaca,

secara khusus para suster Kongregasi Suster Fransiskus Dina (SFD) dan sekaligus

untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana Pendidikan di

FKIP-JIP-Prodi PAK Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Proses penulisan skripsi ini berjalan dengan baik dan lancar karena

dukungan dan kebaikan dari banyak orang sehingga memampukan penulis untuk

tetap semangat meskipun menghadapi banyak tantangan dan kesulitan. Penulis

sangat berterimakasih kepada berbagai pihak yang telah menyumbangkan ide dan

gagasannya, kemudahan dan kesempatan sehingga skripsi ini dapat selesai pada

waktu yang tepat. Secara khusus terima kasih penulis sampaikan kepada:

1. Drs. F.X. Heryatno Wono Wulung, S.J., M.Ed., selaku Kaprodi PAK

Universitas Sanata Dharma, yang telah berkenan membimbing dan mendukung

penulis selama kuliah di kampus PAK-USD.

Dr. B. Agus Rukiyanto, S.J., sebagai pembimbing utama dalam skripsi ini yang

(13)

xi

mendampingi, dan membimbing penulis selama penyusunan skripsi ini dari

awal hingga selesai.

3. Drs. M. Sumarno Ds. S.J, M.A., sebagai dosen penguji II sekaligus dosen

pembimbing akademik yang memberi semangat, keramahan, masukan dan

dukungan serta kelancaran baik selama kuliah berlangsung dan secara khusus

dalam penyusunan skripsi ini.

4. Drs. L. Bambang Hendarto Y. M. Hum., sebagai dosen penguji III yang

bersedia meluangkan waktu dan memberikan masukan serta dukungan

kepada penulis.

5. Para dosen dan staf karyawan Prodi PAK, yang telah membimbing dan

memberi dukungan selama penulis kuliah di kampus PAK Sanata Dharma

Yogyakarta.

6. Ministra Umum Kongregasi Suster Fransiskus Dina (SFD) Sr. Imelda

Tampubolon, SFD, staf dewan ministra dan seluruh anggota Suster

Fransiskus Dina di mana pun berada yang telah memberikan kepercayaan dan

kesempatan bagi penulis untuk menjalani studi di PAK Universitas Sanata

Dharma Yogyakarta.

7. Ministra Komunitas Fonte Colombo Jl. Rajawali 3A, Sr. Patrisia Bangun,

SFD dan para saudari sekomunitas serta semua suster yang pernah tinggal

bersama dengan penulis selama menjalani studi di PAK Universitas Sanata

Dharma Yogyakarta.

8. Teman-teman seperjuangan selama kuliah, angkatan 2011/2012 yang telah

(14)
(15)

xiii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

MOTTO ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR SINGKATAN ... xviii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang ... 1

B.Rumusan Masalah ... 6

C.Tujuan Penulisan ... 7

D.Manfaat Penulisan ... 7

E. Metode Penulisan ... 8

F. Sistematika Penulisan ... 8

BAB II. HIDUP SANTO FRANSISKUS ASSISI DAN SEMANGAT KEDINAANNYA………... ... 10

A.Hidup Fransiskus Assisi ... 10

1. Kelahiran Fransiskus dan Masa Muda Fransiskus ... 10

2. Situasi Masyarakat dan Gereja di Jaman Fransiskus ... 12

a. Situasi Politik... 12

b. Situasi Ekonomi... 14

c. Situasi Gereja... 14

3. Panggilan Fransiskus……… .... 15

(16)

xiv

a. Pengertian Kedinaan………… ... 17

b. Latar Belakang Pemilihan Nama Ordo………. .... 19

c. Dasar Biblis sebagai Pilihan Kedinaan………... 20

B.Pengalaman Kedinaan Santo Fransiskus.. ... 23

1. Perjumpaan dengan Orang Kusta ... 25

2. Peristiwa Kapel San Damiano ... 25

3. Perjumpaan dengan Allah di Jalan Assisi dan dalam Doa ... 26

C.Kerendahan Hati Santo Fransiskus Assisi dan Injil Sumber Hidup Fransiskus ... 26

1. Kerendahan Hati Santo Fransiskus Assisi……….. ... 26

2. Injil Sumber Hidup Santo Fransiskus Assisi……… ... 27

D.Kedinaan Santo Fransiskus dan Saudaranya, serta Allah Yang Dina dalam Semangat Fransiskan ... 28

1. Kedinaan Santo Fransiskus dan Para Saudaranya……… ... 28

a. Kedinaan Santo Fransiskus………... 29

b. Kedinaan Para Saudaranya ... 31

2. Allah Yang Dina dalam Semangat Fransiskan……… ... 33

a. Penciptaan………... 33

b. Penjelmaan………. ... 33

c. Yesus dikandung dalam Rahim Maria………... ... 34

d. Kelahiran Yesus dari Perawan Maria………. ... 34

e. Pengungsian Keluarga Kudus ke Mesir……….. ... 34

f. Penderitaan dan Wafat Yesus di Salib………... 35

g. Kerendahan Allah dalam Ekaristi………. ... 36

BAB III. KARYA PELAYANAN DALAM KONGREGASI SUSTER FRANSISKUS DINA SETURUT TELADAN SANTO FRANSISKUS ASSISI ... 37

A. Sekilas tentang Kongregasi Suster Fransiskus Dina ... 37

1. Sejarah Kongregasi SFD ... 37

2. Sejarah Lahirnya SFD Indonesia ... 39

(17)

xv

a. Semangat Cinta Kasih………. ... 41

b. Kesederhanaan Kristiani yang Sejati……….. ... 42

c. Semangat Rajin dan Giat……… ... 43

d. Sikap Lepas Bebas………. ... 45

e. Semangat Doa………. ... 46

4. Visi dan Misi Kongregasi SFD ... 48

B.Karya Pelayanan dan Nilai-nilai Rohani dalam Karya Kongregasi SFD ... 51

1. Pengertian Pelayanan ... 51

2. Pelayanan dalam Gereja ... 52

3. Pelayanan sebagai Fransiskan ... 54

4. Corak Hidup Kongregasi SFD………. ... 56

5. Macam-macam Karya Pelayanan SFD di Masa Sekarang….. ... 57

a. Karya Pelayanan di Bidang Pendidikan………. ... 58

b. Karya Pelayanan di Bidang Kesehatan………... 59

c. Karya Pelayanan di Bidang Sosial……….. ... 60

d. Karya Pelayanan di Bidang Pastoral……… .... 62

6. Nilai-nilai Rohani dalam Karya Kongregasi SFD………... 63

a. Huruf S, adalah Semangat……… .... 65

b. Huruf F, adalah Fraternitas……….. ... 66

c. Huruf D, adalah Dina……….. ... 67

C.Kaum Difabel pada Masa Kini dalam Karya Pelayanan SFD…… ... 68

1. Definisi ... 68

2. Klasifikasi Difabel………... 69

a. Tunanetra………. ... 69

b. Tunarungu………... 69

c. Tunagrahita……….. ... 70

3. Sejarah Karya Pelayanan bagi Kaum Difabel dalam Kongregasi SFD………. ... 71

4. Visi dan Misi Karya SFD bagi Kaum Difabel……… .. 72

(18)

xvi

BAB IV. RELEVANSI SEMANGAT KEDINAAN SANTO

FRANSISKUS ASSISI DALAM PELAYANAN

KONGREGASI SUSTER FRANSISKUS DINA

BAGI KAUM DIFABEL……….. 75

A. Difabilitas sebagai Medan Pelayanan Kongregasi SFD ... 76

B. Semangat Kedinaan sebagai Sumber Insprasi dalam Pelayanan .... 80

1. Semangat Kedinaan sebagai Sumber Inspirasi dalam Pelayanan………. ... 80

2. Semangat Kedinaan sebagai Dasar Pelayanan bagi Kaum Difabel……… 84

C. Semangat Kedinaan sebagai Tujuan dan Model Pelayanan bagi Kaum Difabel ... 86

1. Suara Salib San Damiano adalah Suara orang Difabel Pada Masa Ini……….. 87

2. Difabel sebagai Saudara yang Dina………. 89

D. Buah-buah Penghayatan Kedinaan dalam Karya Pelayanan SFD bagi Kaum Difabel ... 90

E. Usaha Meningkatkan Pelayanan dalam Tugas Perutusan………. 91

F. Life Story Suster SFD yang Melayani Kaum Difabel……… 92

G. Usulan Program Rekoleksi……… 98

1. Latar Belakang Program………. 98

2. Alasan Pemilihan Program………. 99

3. Tujuan Program………... 100

4. Rumusan Tema dan Tujuan………. 101

5. Matriks Program Rekoleksi Bagi Para SFD……… 103

6. Persiapan Rekoleksi………. 106

BAB V. PENUTUP………... 119

A. Kesimpilan……… 119

B. Saran ... 121

DAFTAR PUSTAKA ... 122

(19)

xvii

Lampiran 1: Life Story 1 Suster SFD ... (1)

Lampran 2: Life Story 2 Suster SFD... (3)

Lampran 3: Life Story 3 Suster SFD... (4)

Lampran 4: Lirik Lagu……… (6)

(20)

xviii

DAFTAR SINGKATAN

A. Singkatan Kitab Suci

Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Kitab Suci

Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang diselenggarakan oleh Lembaga Alkitab

Indonesia ditambah dengan Kitab-kitab Deuterokanonika yang diselenggarakan

oleh Lembaga Biblika Indonesia, 2009.

Flp : Filipi

Gal : Galatia

Kej : Kejadian

Kis : Kisah Para Rasul

1 Kor : 1 Korintus

2 Kor : 2 Korintus

Luk : Lukas

Mat : Matius

Mrk : Markus

Mzm : Mazmur

Rm : Roma

Yoh : Yohanes

(21)

xix B. Singkatan Dokumen Resmi Gereja

Deus Caritas Est : Allah adalah Kasih, Ensiklik Paus Benediktus XVI, 25

Desember 2005

GS : Gaudium et Spes, Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II

tentang Gereja di Dunia Dewasa ini, 7 Desember 1965.

LG : Lumen Gentium, Konsili Dogmatik Konsili Vatikan II tentang

Gereja, 21 November 1964.

C. Singkatan Dokumen St. Fransiskus AD : Anggaran Dasar

AD III : Anggaran Dasar Ordo ketiga

AngBul : Anggaran Dasar yang diteguhkan dengan Bulla

AngTBul : Anggaran Dasar Tanpa Bulla

Cel : Celano (Thomas dari Celano)

Fsl : Fasal

IbSeng : Ibadat Sengsara

K3S : Kisah Tiga Sahabat

LM : Legenda Mayor

OFM : Ordo Fratrum Minorum (Ordo Saudara Dina)

Pth : Petuah Santo Fransiskus

SalKeut : Salam Kepada Keutamaan

(22)

xx SurOr : Surat Kepada Seluruh Ordo

Was : Wasiat Santo Fransiskus

D. Singkatan Lain:

ABK : Anak Berkebutuhan Khusus

ADHD : Attention Deficit and Hyperactivity Disorder

Art : Artikel

BKIA : Balai Kesehatan Ibu dan Anak

Depkes RI : Departemen Kesehatan Republik Indonesia

Jl : Jalan

Kap : Kapitel

Konst : Konstitusi

KBBI : Kamus Besar Bahasa Indonesia

KLMTD : Kecil, Lemah, Miskin, Tertindas, dan Difabel

KWI : Konferensi Waligereja Indonesia

LPJ. DPU : Laporan Pertanggung Jawaban Dewan Pimpinan Umum

MTB : Maria Tak Bernoda

MYY : Muder Yohana Yesus

P : Pastor

PAK : Pendidikan Agama Katolik

PK : Pedoman Karya

Pusdatin : Pusat Data dan Informasi

(23)

xxi SLB-C : Sekolah Luar Biasa Kategori C

SPP : Sejarah Para Pendahulu

Sr : Suster

St : Santo/a

Thn : Tahun

(24)

BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penulisan

Salah satu karya perutusan yang khas dari para Suster Fransiskus Dina (SFD) di Indonesia adalah pelayanan dan pendidikan bagi Anak Berkebutuhan

Khusus (ABK) atau kaum difabel. Wujud karya tersebut berupa Sekolah Luar

Biasa Kategori C (SLB-C) yang secara khusus mendidik anak-anak cacat mental.

SLB-C Karya Tulus yang sekaligus berasrama di Namopecawir, Medan, yang

telah berdiri sejak tanggal 17 Juli 1987 menjadi salah satu contoh kesetiaan para

suster SFD menghidupi spiritualitas kongregasi seturut semangat kedinaan Santo

Fransiskus Assisi. Dalam Anggaran Dasar Ordo Ketiga (AD III) Santo Fransiskus

Assisi mengamanatkan agar dalam Persekutuan Dina cinta kasih diwujudkan

dengan menjadi yang paling dina dalam hidup dengan sesama sehingga ada

tempat bagi orang sakit, orang cacat dan orang berdosa (AD III, No.19).

Karya pelayanan bagi penderita keterbelakangan mental seperti SLB-C

Karya Tulus tersebut mengusung visi, “Komunitas kasih persaudaraan yang

melayani orang kecil dan lemah seturut teladan Bapa yang mencintai dan

meninggikan setiap orang yang dicintai-Nya” (LPJ. DPU, 2015, No.93). Visi

tersebut dikonkritkan dalam misi; 1) Siap sedia melayani mereka yang mengalami

keterbelakangan mental, yang dijiwai dengan semangat perayaan Ekaristi, doa

bersama, pribadi dan semangat berkorban yang tinggi; 2) Menciptakan komunitas

(25)

Membangun sikap tanggung jawab dalam tugas pelayanan untuk nama baik karya

dan komunitas.

Sekalipun usia karya pelayanan bagi kaum difabel tersebut telah begitu

lama dan visi-misi karyanya tersusun rapi namun pelaksanaan pelayanan oleh para

anggota SFD tidak dapat dikatakan berjalan mulus apalagi mudah. Selain hal

material dan manajerial, salah satu tantangan bahkan hambatan yang menghadang

gerak laju karya pelayanan ini adalah tantangan spiritual atau motivasi, keyakinan

atau semangat cinta kasih dari para pelayannya khususnya para anggota SFD yang

berkarya di bidang tersebut. Selain kemampuan, keahlian dan keterampilan

menghadapi anak dengan keterbelakangan mental, para suster SFD pun dituntut

memiliki penghayatan spiritualitas kedinaan Fransiskus yang kuat dan selalu

diperbarui dengan berbagai kegiatan rohani dan akademis. Dengan kata lain, bagi

seorang suster SFD yang terpanggil untuk berkarya bagi kaum difabel, terdapat

pergulatan batin atau mental yang istimewa (khusus) untuk dapat benar-benar

menjiwai, berdaya tahan dan mengembangkan karya pelayanan tersebut sesuai

amanat perutusan Gereja melalui kongregasinya.

Tak mudahnya pergulatan spiritual para suster SFD tersebut semakin dapat

dibayangkan jika melihat situasi dan mentalitas masyarakat dunia zaman ini yang

begitu mengagungkan kemudahan, kenginan “instan” alias mendapatkan hasil

sebanyak dan secepat mungkin tanpa usaha, kenikmatan, keindahan dan

kesempurnaan fisik serta hasrat kekuasaan, kekayaan dan ketenaran dibandingkan

nilai-nilai rohani-keagamaan, kesederhanaan, asketisme, keugaharian dan

(26)

teknologi mutakhir di satu sisi memang memberi suatu sumbangan yang sangat

positif, di mana orang dapat melakukan segala sesuatunya dengan lebih mudah

dan cepat. Tetapi di sisi lain juga terdapat dampak negatifnya; di mana manusia

jatuh pada keinginan serba instan dan kecenderungan untuk melakukan sesuatu

yang menguntungkan atau menyenangkan bagi dirinya, tanpa peduli pada orang

lain.

Singkatnya, zaman ini ditandai dengan keinginan untuk menjadi lebih

unggul dari yang lain dan untuk mendapatkannya ditempuh dengan menghalalkan

segala cara. Dunia saat ini menawarkan serba kemudahan dalam hidup hingga tak

jarang disertai dengan cara-cara untuk menyingkirkan sesama tanpa adanya belas

kasihan. Manusia yang rakus akan harta dan kuasa. Maka pada zaman ini kita

sering dan mudah melihat sikap tak terpuji di mana orang menuntut banyak hal

demi kesenangannya tetapi tidak mau menerima suatu tugas tertentu yang

mungkin sulit dan berat baginya. Ketulusan memberi, keiklasan berkorban, rela

dan bertanggung jawab tanpa pamrih dalam karya menjadi pemandangan yang

semakin langka. Begitu pula dengan semangat melayani sesama yang menderita

dan penuh dengan persoalan hidup. Cinta kasih, rasa simpati dan empati atau

sikap bela rasa menjadi semakin mengering dari manusia zaman ini.

Kecenderungan mentalitas masyarakat modern sebagaimana tergambar di

atas tentu berdampak sangat kuat bagi kaum difabel. Menurut Diono (2014: 20),

hingga saat ini, sejumlah hal yang berkaitan dengan mental masyarakat bahkan

termasuk keluarga penyandang disabilitas masih menjadi permasalahan eksternal

(27)

kehidupan. Contoh permasalahan eksternal tersebut antara lain rendahnya

pemahaman masyarakat tentang disabilitas, dan stigma bahwa disabilitas adalah

bagian dari kutukan atau nasib yang membuat keluarga cenderung

menyembunyikan kondisi anggotanya yang difabel dan masyarakat tidak

memberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.

Secara konkrit, dengan mengelola data dari Pusat Data dan Informasi

(Pusdatin) Kementerian Sosial Tahun 2012, Adi Prasetyo (2014:34-35)

menyimpulkan bahwa di Indonesia, akses kaum difabel pada dunia pendidikan

yang berkualitas masih sangat rendah di mana dari sejumlah 1.389.519 orang

dengan disabilitas, terdapat 838.343 orang tidak sekolah, dan semakin tinggi

jenjang sekolah, semakin rendah pula partisipasi kaum difabel. Akibatnya,

partisipasi kaum difabel pada pekerjaan yang layak pun masih sangat rendah.

Kaum difabel pun semakin terjerat dalam kemiskinan dan terkucil dari kehidupan.

Kondisi dan mentalitas masyarakat masa kini yang belum ramah pada kaum

difabel tersebut menjadi kondisi dan pengalaman yang dihadapi para suster SFD

yang berkarya bagi kaum difabel dalam lembaga-lembaga karya SFD. Pergulatan

batin untuk mengasah spiritulitas para SFD tersebut kian perlu direfleksikan jika

mengingat pesan, ajaran dan teladan Yesus Kristus yang memanggil Santo

Fransiskus Assisi dan para suster SFD untuk menjadi pelayan-Nya melalui

karya-karya cinta kasih (LPJ. DPU, 2015, No. 94). Alkitab dengan jelas

menggambarkan apa yang dilakukan Yesus, bahwa Kristus Yesus walau dalam

rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang

(28)

seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dalam keadaan sebagai

manusia, Ia merendahkan diri-Nya, taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu

salib (Flp 2:5-8).

Dalam Petuah Santo Fransiskus Assisi (Pth), kelahiran Kristus di dalam

palungan merupakan ungkapan tertinggi dari pengosongan diri Sang Putra Allah.

“Lihatlah, setiap hari Ia merendahkan diri, seperti tatkala Ia turun dari tahta

kerajaan ke dalam Rahim Perawan, setiap hari Ia turun dari pangkuan Bapa ke

atas Altar di dalam tangan imam” (Pth, 1:16-17). Pengalaman Santo Fransiskus

Assisi akan Allah yang Maha kuasa, Maha tinggi, Maha mulia, Maha tahu itu sudi

turun dari tahta Kerajaan-Nya dengan menempuh jalan perendahan diri Yesus

Kristus, inilah yang membuat Santo Fransiskus Assisi semakin menyadari akan

panggilan hidupnya untuk bersatu dalam perendahan diri yang nyata bagi dunia.

Sementara itu, dalam Wasiat Santo Fransiskus (Was), Ia mengalami dan

memberi kesaksian tentang penghampaan diri dengan memilih orang-orang kecil,

hina dan papa, memeluk orang kusta dan terbuang. Bagi Santo Fransiskus Assisi

menjadi gambar yang mengagumkan tentang pertemuan dengan Yesus Kristus

yang tersalib. Tetapi untuk menjalankan itu semua tidaklah mudah untuknya. Ia

berkata, “ketika aku dalam dosa, aku merasa amat muak melihat orang kusta,

tetapi Tuhan menghantar aku ke tengah mereka dan aku merawat mereka dengan

penuh kasih” (Was 1-2). Santo Fransiskus Assisi memasuki jalan perendahan hati

dengan pertemuan yang mesra ini. Dia mengalahkan dirinya sendiri sedemikian

rupa sehingga para pengikutnya, mampu memahami pernyataannya: “Apa yang

(29)

(Was 3). Rendah atau dina di hadapan Allah bukan berarti “lembek”. Orang-orang

lembek ini adalah mereka yang mengakui ketergantungan mereka pada Allah dan

tidak memperlakukan orang lain secara angkuh sombong. Mereka adalah

pribadi-pribadi yang memiliki disposisi batin “kedinaan” atau “kerendahan hati” di

hadapan Allah. Seseorang yang sungguh rendah hati (dina) mengakui kenyataan

bahwa dia menerima segalanya yang baik dari Allah dan membagikannya kepada

sesama.

Dengan teladan Yesus dengan dan melalui hidup, karya dan ajaran-Nya

untuk mengasihi sesama yang diterjemahkan Santo Fransiskus Assisi dalam

semangat Kedinaan itulah yang menjadi spiritualitas hidup dan karya para suster

SFD termasuk dalam karya pelayanan bagi kaum difabel. Namun dalam konteks

kondisi sosial dan mentalitas masyarakat masa kini pada umumnya dan mentalitas

serta cara pandang terhadap kaum difabel khususnya juga dialami dan dihadapi

oleh para SFD yang berkarya melayani kaum difabel. Untuk itu, tampak jelas

bahwa diperlukan refleksi yang mendalam dan sistematis untuk terus-menerus

mengaktualisasikan semangat Kedinaan Santo Fransiskus Assisi dalam hidup dan

karya pelayanan para SFD bagi kaum difabel pada masa kini. Karena itu,

didorong oleh realitas dan pemikiran sebagaimana terurai di atas, penulis memilih

topik Relevansi Semangat Kedinaan Santo Fransiskus Assisi dalam Tugas

Pelayanan para Suster Fransiskus Dina (SFD) pada Masa Kini bagi Kaum

Difabel. Menurut hemat penulis, pendalaman topik ini dapat menjawab kebutuhan

mengaktualisasikan semangat kedinaan, menginspirasi dan menguatkan panggilan

(30)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, sehubungan dengan semangat kedinaan

dalam pelayanan kongregasi SFD di masa sekarang ini, maka permasalahan

dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana semangat kedinaan Santo Fransiskus Assisi dipahami, dimengerti

dan dihayati oleh para Suster Fransiskus Dina (SFD) dalam menjalani

panggilan mereka?

2. Sejauh mana semangat kedinaan Santo Fransiskus Assisi menjadi inspirasi dan

motivasi bagi para suster Fransiskus Dina (SFD dalam karya pelayanan masa

kini khususnya bagi kaum difabel?

3. Hal-hal mana yang perlu diperhatikan oleh para suster Fransiskus Dina (SFD)

dalam mengaktualisasikan semangat kedinaan Santo Fransiskus Assisi bagi

karya pelayanan masa kini khususnya bagi kaum difabel?

C. Tujuan Penulisan

1. Menggali, mengetahui dan menggambarkan semangat kedinaan yang

diteladankan oleh Santo Fransiskus Assisi sebagaimana dipahami dan dihayati

para suster SFD dalam menjalani panggilan mereka.

2. Menggali, memahami dan menggambarkan spiritualitas para suster SFD yang

bersumber pada teladan semangat kedinaan Santo Fransikus Assisi dalam

(31)

3. Merefleksikan dan memberikan sumbangan pemikiran akademis tentang

relevansi semangat kedinaan Santo Fransiskus Assisi dalam karya pelayanan

masa kini para SFD bagi kaum difabel.

D. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui secara mendalam dan memahami semangat kedinaan Santo

Fransiskus Assisi sebagaimana yang dihayati dan dihidupi para suster SFD

dalam karya pelayanan.

2. Memberikan sebuah perspektif baru pada cakrawala spiritualitas semangat

kedinaan Santo Fransiskus Assisi dalam pelayanan kongregasi SFD khususnya

karya pelayanan SFD bagi kaum difabel.

3. Mendapatkan inspirasi, mengobarkan dan meneguhkan semangat penulis dan

segenap anggota kongregasi SFD yang memiliki karya pelayanan bagi kaum

difabel serta semua orang berkehendak baik lainnya yang melakukan karya

sosial membantu kaum difabel.

E. Metode Penulisan

Metode utama penulisan skripsi ini adalah metode deskriptif analitis yang

menggambarkan data-data yang diperoleh melalui studi pustaka. Penulis juga

menggunakan metode reflektif untuk merefleksikan gagasan-gagasan tentang

semangat kedinaan yang diperoleh dari studi pustaka untuk memperoleh gagasan

(32)

memperkaya dan mengonkritkan relevansi semangat kedinaan tersebut, penulis

juga akan melengkapi dengan metode life story berupa wawancara beberapa suster

SFD yang sedang dan pernah bekerja pada karya SFD bagi kaum difabel.

F. Sistematika Penulisan

Judul skripsi yang dipilih oleh penulis adalah: Relevansi Semangat Kedinaan Santo Fransiskus Assisi dalam Tugas Pelayanan para Suster Fransiskus Dina (SFD) pada Masa Kini bagi Kaum Difabel.

Secara garis besar, skripsi ini dibagi ke dalam lima bab yang secara garis

besar diuraikan sebagai berikut:

Bab I adalah pendahuluan; terdiri dari latar belakang penulisan, rumusan

masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan, dan sistematika

penulisan.

Bab II menguraikan tentang Semangat kedinaan menurut Santo Fransiskus

Assisi. Pembahasan dimulai dari riwayat hidup Santo Fransiskus Assisi dan

situasi sosial yang memengaruhinya, Dasar Biblis Kedinaan, Pengalaman

kedinaan, Kerendahan Hati Fransiskus, Allah Sumber hidup Fransiskus,

Kedinaan Fransiskus dan Para Saudaranya, serta Allah Yang Dina dalam

Spiritualitas Fransiskan.

Bab III membahas spiritualitas kongregasi SFD yang bersumber pada

semangat kedinaan Santo Fransiskus Assisi. Uraian bab ini mencakup sejarah

Kongregasi, semangat dan visi-misi Kongregasi, karya pelayanan SFD dan

(33)

dalam karya dengan menampilkan hasil wawancara dari beberapa suster yang

pernah dan yang sedang bekerja bagi kaum difabel dengan metode life story.

Bab IV merupakan sebuah refleksi semangat kedinaan Santo Fransiskus

Assisi dalam karya pelayanan para SFD di zaman sekarang khususnya karya

pelayanan bagi kaum difabel. Di dalamnya akan dimuat tentang difabilitas sebagai

bagian dari medan pelayanan kongregasi SFD, semangat kedinaan sebagai sumber

inspirasi dan dasar pelayanan bagi kaum difabel, semangat kedinaan sebagai

tujuan dan model pelayanan bagi kaum difabel, buah-buah penghayatan kedinaan,

dan usaha untuk meningkatkan pelayanan dalam tugas perutusan.

Bab V merupakan penutup: dalam bab ini penulis ingin menegaskan

kembali isi pokok atau kesimpulan dan beberapa saran guna membantu para SFD

(34)

BAB II

HIDUP SANTO FRANSISKUS ASSISI DAN SEMANGAT KEDINAANNYA

Pada bab sebelumnya penulis telah berbicara tentang latar belakang

penulisan skripsi yang menjadi acuan dari bab berikutnya. Pada bab II ini, penulis

akan menguraikan hidup Santo Fransiskus dari Assisi dan semangat kedinaannya.

Pembahasan dimulai dengan situasi masyarakat dan Gereja yang memengaruhinya

sampai Fransiskus dari Assisi mengambil jalan kedinaan sebagai bagian inti dari

semangat hidup para pengikutnya.

A. Hidup Fransiskus Assisi

1. Kelahiran Fransiskus dan Masa Muda Fransiskus

Sesudah dua tahun wafat, penulis riwayat hidup Fransiskus yang bernama

Thomas dari Celano menulis di sebuah kertas kulit pernyataan berikut: “Di kota

Assisi hidup seorang yang bernama Fransiskus yang semenjak kecilnya dididik

orangtuanya dalam kemewahan sia-sia”. Daerah Assisi yang dimaksud, tepatnya

di lembah Spoleto (Italia) pada akhir tahun 1181 atau permulaan tahun 1182

lahirlah Fransiskus Asisi. Ayahnya bernama Pietro Bernardone, seorang pedagang

kain wol dan cukup kaya. Ibunya Donna Pica, berasal dari keluarga Perancis dan

terkemuka (Groenen, 1970: 149). Mula-mula oleh ibunya ia diberi nama Yohanes.

(35)

Sebagaimana lazimnya pada zaman itu, Fransiskus bersekolah pada seorang

imam yang bekerja di Gereja Santo Georgio di Assisi. Di sana Fransiskus belajar

membaca, menulis, menghitung dan sedikit belajar bahasa Latin. Pada usia

dewasa ayahnya meminta Fransiskus untuk ikut berdagang kain wol ke Perancis.

Selama bersama dengan ayahnya, Fransiskus tidak mempunyai bakat sebagai

pedagang. Apalagi watak Fransiskus sangat berbeda dengan ayahnya. Fransiskus

jauh lebih riang dan murah hati, gemar bersenda gurau dan suka bernyanyi.

Dalam Kisah Tiga Sahabat (K3S) diceritakan bahwa sebagai orang kaya,

Fransiskus bersama dengan kelompok sebayanya, siang dan malam hidup

berfoya-foya. Ia begitu gemar mengeluarkan uang sehingga segala apa yang

mungkin ia miliki atau peroleh sebagai laba dihabiskan dengan makan minum. Ia

adalah seorang pemboros namun murah hati pada sesamanya. Dalam berpakaian

ia sangat berlebih-lebihan (Groenen, 2000: 27-28).

Waktu berumur 20 (dua puluh) tahun Fransiskus secara aktif mengambil

bagian dalam perang yang pecah antara warga kota terutama antara para pedagang

dengan kaum bangsawan yang diam di kota Assisi. Golongan masyarakat yang

kecil atau buruh, dan termasuk kaum pedagang yang disebut “minores”

mengalahkan kaum bangsawan yang disebut “mayores” dan mengusir mereka.

Kaum bangsawan melarikan diri ke kota Perugia yang letaknya dekat Assisi dan

di sanalah mereka menyusun strategi untuk melawan. Hal itu menyebabkan

hubungan antara Assisi dan Perugia selalu bermusuhan.

Maka pecahlah perang antara kota Assisi dan Perugia tahun 1202. Kota

(36)

memihak kepada Kaisar Frederik Barbarosa II di Jerman. Fransiskus ikut dalam

serangan itu, tetapi gagal dan bersama dengan beberapa orang lain Fransiskus

masuk tawanan (Groenen, 1970: 150). Dalam tahanan yang cukup keras itu,

Fransiskus tetap mempertahankan semangat gembira dan tetap berusaha

menghibur teman-temannya. Dan dalam tahun berikutnya, ayahnya berhasil

menebusnya. Fransiskus pulang ke rumah, dan dalam beberapa hari kemudian

Fransiskus sakit keras (Groenen, 2000: 11).

Thomas dari Celano, menuliskan bahwa penyakit itu ternyata menjadi

sentuhan pertama rahmat Tuhan. Pengalaman sakit membawa pertobatan bagi

Fransiskus. Pemandangan yang indah di sekitar kota Assisi tidak lagi menarik

untuk Fransiskus. Ia merasa bahwa segalanya tidak lagi berarti apa-apa.

Orang-orang yang selama ini mengaguminya dianggapnya sebagai sebuah kebodohan.

Fransiskus mulai merenungkan arti dan tujuan hidupnya (Celano, 1984: 3).

2. Situasi Masyarakat dan Gereja di Jaman Fransiskus

Situasi masyarakat dan Gereja pada zaman Fransiskus disampaikan di sini

untuk dapat membantu memahami pertobatan Fransiskus dengan lebih baik.

a. Situasi Politik

Bruder Bram Homel, MTB (Maria Tak Bernoda) dalam catatannya pada

kursus Fransiskan bagi para novis kongregasi SFD dan MTB pada tanggal 5-12

Januari 2001 di Pati, mengatakan bahwa organisasi politik masyarakat Eropa pada

abad XI sampai abab ke XII seluruh kehidupan masyarakat terikat dalam sistem

(37)

kesetiaan kepadanya dan tuan-tuan tanah yang lebih kecil menjanjikan lagi

ketaatan kepada raja-raja itu. Antara tuan tanah dan bawahan ada ikatan perjanjian

yang mengatur semua hak timbal balik umpamanya: Bawahan wajib membayar

upeti dan atasan wajib menjamin keamanan mereka.

Setiap bangsawan memiliki sejumlah hamba yang terikat pada tuannya

seumur hidup. Biasanya mereka itulah yang menggarap tanah, mengurus rumah

dan harta serta melayani segala kebutuhan tuannya. Karena setiap tuan tanah

biasanya mencukupi kebutuhannya sendiri dari tanah yang dimilikinya.

Selain para hamba, ada juga para pegawai yang bertugas mengawasi

pekerjaan atau melayani kebutuhan atasan setempat. Dalam kelompok ini

termasuk para ksatria atau tentara bangsawan yang bertugas untuk membela dan

melindungi setiap kesatuan hidup kelompok tadi.

Selain kelompok ini dalam masyarakat masih terdapat para rohaniwan,

pedagang dan seniman. Mereka adalah orang-orang bebas yang tidak takluk

kepada tuan-tuan tanah. Mereka tidak termasuk kelompok atasan atau kelompok

hamba, tetapi dalam relasi sosial mereka lebih dekat dengan kaum atasan.

Dengan gambaran ringkas ini tampak bahwa hak dan kewajiban setiap

anggota masyarakat diatur secara ketat berdasarkan fungsi dalam relasi atasan dan

bawahan; atasan adalah penguasa dan pemilik, sedangkan bawahan adalah hamba

dan pekerja. Walaupun antara kelompok-kelompok ini ada pembagian status yang

jelas namun dalam kehidupan sehari-hari mereka saling mengisi (Homel, 2001:

(38)

Stratifikasi sosial di atas secara umum berlaku dalam wilayah kekaisaran

Roma dan Gereja. Walaupun tetap ada kerajaan-kerajaan kecil yang berusaha

mempertahankan wilayah dan kekuasaan sendiri. Persaingan antara kelompok

tuan tanah dan kelompok lain pun sering memicu permusuhan dan peperangan

antara kelompok atau daerah yang satu dengan kelompok atau daerah yang lain.

Karena persaingan itu masing-masing kelompok berusaha berasosiasi dengan

daerah atau kelompok lain untuk menguatkan posisinya. Untuk mencapai tujuan

tertentu suatu daerah atau kota dapat menarik kembali dukungannya dan

mendukung pihak lain. Maka dapat terjadi bahwa Assisi yang semula mendukung

Kaisar Jerman sebagai penguasa tertinggi, setelah berontak terhadap penguasa

lokal menempatkan diri di bawah perlindungan pihak kepausan (Groenen, 1970:

150).

b. Situasi Ekonomi

Pertumbuhan jumlah para pedagang dan tukang-tukang yang profesional

cenderung membentuk pusat-pusat di kota-kota dan memotori suatu

pembaharuan. Mereka menuntut hak-hak tertentu dari penguasa lokal, seperti hak

untuk melindungi kota mereka dengan tembok benteng dan memprotes pungutan

pajak (upeti) yang terlalu tinggi. Di Italia Utara dan Tengah yang padat

penduduknya dan perdagangan maju, perkembangan ini menghasilkan

konflik-konflik antara penduduk kota dan penguasa atau bangsawan setempat.

Kota menjadi pusat perdagangan, ilmu pengetahuan, dan kesenian serta

(39)

perdagangan maka uang pun menjadi makin penting. Sistem barter makin beralih

ke ekonomi uang. Dengan demikian tanah sebagai milik utama dalam masyarakat

feodal agraris mulai diganti dengan uang walaupun tanah masih tetap menjadi

milik utama (Homel, 2001: 5).

c. Situasi Gereja

Pada zaman Fransiskus Assisi, Gereja menjadi bagian tak terpisahkan dari

situasi masyarakat. Para uskup dan pemimpin biara (Abas) seringkali berperan

sebagai tuan tanah yang wajib menjanjikan kesetiaan kepada seorang raja.

Peran ganda sebagai pemimpin rohani dan pemimpin politik berakibat pada

Gereja dalam konflik. Sedangkan kehidupan beragama orang banyak dikaburkan

oleh beberapa aliran bidaah yang mengkritik pola hidup para pejabat Gereja, dan

menyebarkan ajaran sesat. Mereka ini disebut sebagai kelompok Kathar.

Pengampunan dosa berat seringkali hanya dapat diperoleh dengan

mengadakan ziarah ke makam-makam suci (Yerusalem, Roma, Compostella dan

lain-lain). Para peziarah dan pentobat atau peniten, serta para pedagang dan

trubador (penyanyi keliling) ikut menyebarluaskan berita dan ajaran baru itu.

Pelayanan tradisional di sekitar biara-biara pedesaan kurang mampu

menjangkau dan membina orang kota yang lebih berpengalaman dan terpelajar.

Dalam hidup beragama devosi kepada para santo dan santa mendapat peranan

penting. Mereka yang dekat dengan Allah pemilik dan penguasa atau raja alam

semesta dianggap sakti dan mampu untuk melindungi berbagai usaha dan

(40)

uskup pertama Assisi dan Vitorino uskup Assisi yang kedua. Relikwi

diperlakukan sebagai jimat yang memiliki kekuatan luar biasa dan hari peringatan

perlindungan dirayakan sebagai pesta rakyat dengan berbagai acara dan atraksi

(Homel, 2001: 5).

3. Panggilan Fransiskus

Kira-kira usia 20 (dua puluh) tahun, tepatnya pada tahun 1201, Fransiskus

memulai perjalanan ke Apulia, dan dalam perjalanan ia jatuh sakit dan beristirahat

sejenak di Spoleto. Dalam istirahatnya, ia bermimpi dikunjungi oleh Tuhan. Dia

mendengar ada suara yang bertanya tentang maksud perjalanannya. Fransiskus

mengutarakan maksud dan tujuan dari rencananya untuk menjadi seorang ksatria.

Suara itu pun bertanya lagi, “Siapa yang dapat memberi lebih banyak, tuan atau

hamba?” Fransiskus menjawab, “Tentu saja tuan”. Kalau begitu mengapa engkau

meninggalkan tuan dan menggantinya dengan hamba? Sekarang pulanglah ke

tempatmu, di sana akan disampaikan kepadamu apa yang harus kau buat” jawab

suara itu (Groenen, 2000: 36-37). Panggilan ini mengajak Fransiskus untuk

semakin meniti hatinya dan bermawas diri dalam hidup.

Penglihatan itu membuatnya berbalik pulang dan kebingungan. Fransiskus

terus merenungkan arti dari penglihatan itu. Selama masa penyembuhan,

Fransiskus mulai kehilangan selera akan dunia bisnis, sehingga membuat ayahnya

khawatir, ia menjadi semakin haus akan hal-hal rohani (Talbot, 2007: 256).

Fransiskus semakin percaya bahwa Allah merencanakan sesuatu untuk

(41)

Damiano dan berdoa mohon petunjuk atas apa yang ia alami belakangan ini. Dan

dari atas salib Fransiskus mendengar suara Yesus: “Fransiskus, pergilah dan

perbaikilah rumah-Ku seperti yang kamu lihat telah rusak”. Fransiskus

melaksanakan perintah ini secara harafiah, memperbaiki gedung gereja yang mau

roboh (Marpaung, 2009: 26). Fransiskus membuang semuanya lalu mulai

mengemis untuk membeli batu dan membangun kembali gereja tersebut dan dua

gereja lainnya hingga menyadari maksud dari Yesus (Talbot, 2007: 256).

Fransiskus berubah, ia selalu mencari waktu untuk berdoa, hingga

menemukan suatu kedamaian di dalam lubuk hatinya (Bodo, 2002: 16). Dalam

buku 1 Celano II. 3, Ia memandang dirinya rendah dan meremehkan segala

sesuatu yang dulu dianggapnya manis. Fransiskus mulai menemukan Kristus

dalam dirinya. Semua harta ia tinggalkan demi harta yang abadi. Perubahan itu

mendorong Fransiskus untuk melayani orang miskin dan orang sakit, terlebih

orang kusta (Groenen, 2000: 41). Dia semakin bermurah hati dengan orang

miskin. Bahkan ia rela memberikan apa yang dia miliki demi orang miskin dan

sakit.

Perubahan Fransiskus yang paling menarik adalah saat perjumpaannya

dengan orang kusta. Ia memeluk dan mencium orang sakit kusta: “Apa yang dulu

dirasa pahit yaitu melihat dan menjamah orang kusta, berubah menjadi manis”

(Groenen, 2000: 48).

(42)

Fransiskus mengajukan anggaran dasarnya ke Paus sebagai kelompok

Minor. Dalam kamus Latin, istilah minor artinya kecil. Kata minor bila

diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia artinya adalah dina. Dalam konteks

semangat Fransiskan, minor artinya dina, rendah, hina, tidak setara dengan lain.

Fransiskus menjadikan hidupnya fratrum minorum yang artinya saudara dina.

Fransiskus dalam anggaran dasar tanpa bulla mengatakan: "Tidak seorang pun

boleh disebut ‘prior’, tetapi semuanya mesti disebut ‘saudara dina’. Dan mereka

harus saling mencuci kaki" (AngTBul 6:3). Fransiskus menyebut ordonya adalah

frater minor. Minores adalah Assisi sedangkan Mayor diidentik dengan kota

Perugia (Groenen, 2000: 35-37).

Kedinaan atau Dina adalah merupakan suatu sikap atau cara untuk berada di

hadapan Allah Yang Mahatinggi (Iriarte, 1995: 111). Dalam Anggaran Dasar

Tanpa Bulla (AngTBul) disebutkan bahwa kedinaan berarti, “Menjadi yang lebih

rendah dan tunduk kepada semua orang” (AngTBul 7:2). Selain itu dina juga bisa

diartikan sebagai kekecilan dan ketelanjangan di hadapan Allah. Ketelanjangan

sama dengan ungkapan kemiskinan yang paling luhur di hadapan Allah (Kelana,

2007: 11-13). Dan Thomas Celano menuliskan dina sama dengan rendahan, dan

tunduk pada orang lain, dengan selalu mencari tempat kerja yang dipandang hina,

dan melakukan tugas yang hina (1 Cel XV, 38), yang berarti mengarah pada suatu

bentuk atau corak pelayanan pada sesama. Jadi konsep kedinaan ini bila dikaitkan

dengan pelayanan sebagai saudara, kerendahan hati dan sifat tunduk. Pendorong

(43)

dilayani tetapi untuk melayani (Mat 20:28). Karena itu, diperlukan sikap,

“menyangkal diri” (AngTBul No. 4).

Kedinaan juga mengandung makna sikap sederhana, rendah hati, jujur, tidak

pongah atas keutamaan besar atau usaha dan upaya luhur. Terutama sekali tidak

memandang diri sendiri lebih sempurna dari orang lain. Tentang dirinya

Fransiskus berkata ‘orang yang tak layak, lemah, hina dan hamba dari semuanya’.

Dalam surat-suratnya kepada seluruh ordo (SurOr) terbaca bagaimana dia

menempatkan diri pada ‘kaki’ orang, ‘mahluk Tuhan Allah yang tak pantas’

(SurOr No. 47; dan AngTBul No. 7); ‘kami tidak terpelajar dan menjadi bawahan

orang’ (Was 19).

Dina adalah nama kelompok pertapa dari Assisi, tapi Fransiskus merasa

tidak tepat juga dengan sebutan itu bagi ordonya. Dalam hal ini Fransiskus

sungguh terinspirasi dengan bacaan dari Injil Matius tentang “gila hormat tapi,

enggan untuk melayani” (bdk. Mat 23:6-11).

Mengenai asal mula pemberian nama ini dikatakan: Sudah dari awal

Fransiskus ingin menyebut para pengikutnya sebagai saudara dina (minor)

sehingga langsung dituliskannya dalam Anggaran Dasar (AngBul 1:1). Makna

dari "kedinaan" ialah "menjadi bawahan semua orang" (Was 19). "Mereka

menjadi 'dina' dengan tunduk kepada semua orang. Mereka mencari tempat

terakhir; melakukan pekerjaan dina dan bersedia menanggung kekerasan majikan.

Ini mereka lakukan dengan tekad menempatkannya atas dasar-dasar yang mantap

kerendahan hati sejati bangunan rohani, yang menggumpal pada satu arkitektur

(44)

hubungannya dengan "kerendahan hati". Puncak dari pengalaman kerendahan hati

ini diungkapkan Fransiskus:

Sebagai superior saya mengadakan kapitel dan memberikan pengarahan dan mengutarakan pandangan. Dan pada akhirnya orang berkata: 'Engkau tak perlu lagi bersama kami, sebab engkau tidak terpelajar, tak memiliki bakat bicara, tak berbudaya, engkau dina'. Saya diusir dengan kasar, diejek di mana-mana. Saya berkata, sekiranya saya tidak sanggup menerimanya dengan tabah, dengan kegembiraan batin serta tetap bertekad mengusahakan kekudusan, saya sama sekali bukan lagi Saudara Dina (LM 6:5).

b. Latar Belakang Pemilihan Nama Ordo

Cara hidup Fransiskus menarik perhatian banyak orang dari berbagai lapisan

masyarakat dan mereka mau mengikuti Fransiskus dan hidup seperti dia, dalam

persaudaraan Injili Fransiskus.

Setiap hari bertambahlah jumlah orang yang mengikuti Fransiskus. Maka

ditulisnyalah sebuah aturan hidup yang disebut dengan Anggaran Dasar bagi

dirinya sendiri pun bagi saudara-saudara yang telah ada sekarang dan yang akan

datang secara sederhana dan singkat (1 Cel, XIII, 32).

Fransiskuslah yang pertama-tama menyebut dan memberikan nama Ordo

Saudara Dina pada persaudaraan yang selama ini ia bangun. Dalam anggaran

dasar yang ditulisnya: “Dan mereka hendaklah menjadi rendahan atau sama

dengan dina’, dan mereka sungguh-sungguh adalah dina, yang tunduk pada orang

lain, selalu mencari tempat kerja yang dipandang hina, dan melakukan tugas yang

hina dan tidak diperhitungkan oleh orang lain (1 Cel, XV, 38).

Dengan menekankan keutamaan kesederhanaan dan kerendahan hati,

Fransiskus memutuskan bahwa pengikutnya harus disebut “Ordo Saudara Dina”.

(45)

“Ordo Saudara Dina adalah kawanan kecil, yang tentang Putra Allah telah memohon kepada Bapa Surgawi dengan berkata, ‘Bapa Aku menghendaki agar Engkau sudi membentuk dan memberikanku orang-orang baru dan rendah hati pada masa terakhir ini, yang tidak akan serupa dengan pendahulu mereka dalam kerendahan hati dan kemiskinan dan hanya senang memiliki Aku saja’. Bapa berkata kepada Putra terkasih, Anakku, terjadilah seperti yang Kau minta” (Dister, 2000: 95).

Demikianlah, Fransiskus yang terberkati itu menyakini bahwa Allah

sungguh berkenan bahwa mereka harus disebut sebagai saudara-saudara dina.

Maka pada tahun 1209, Fransiskus bersama beberapa saudara berangkat ke Roma

untuk bertemu dengan Paus Innosensius III guna mendapatkan pengesahan dan

persetujuan dari tahta suci tentang cara hidup Anggaran Dasar.

Setelah menjelaskan cara dan bentuk hidup yang mau mereka hidupi,

akhirnya Paus menyetujui cara hidup dan anggaran dasar secara lisan. Maka pada

tahun 1210 lahirlah ordo Fransiskus dari Assisi dengan Anggaran Dasar yang

Tanpa Bulla dengan disingkat ‘AngTBul’. Fransiskus mengusulkan kepada

pengikutnya supaya menamakan diri Saudara-saudara Dina (Frater Minores)

(Groenen, 2000: 33-35).

c. Dasar Biblis sebagai Pilihan Kedinaan

Berkat kesaksian hidup Fransiskus, banyak orang yang mau mengikutinya.

Namun ia mulai bingung dengan saudara baru itu. Maka ia dan saudara baru pergi

ke gereja Santo Nikolaus untuk menanyakan kepada Tuhan perihal hidup mereka.

Lalu Fransiskus membuka Injil tiga kali, dan menemukan ayat-ayat berikut ini:

Kalau kamu hendak sempurna, pergilah dan juallah segala milikmu, dan

(46)

Injil lagi dan menemukan ayat dengan bunyinya: Janganlah membawa apa-apa

dalam perjalanan (Luk 9:3). Serta untuk yang ketiga kali, Fransiskus menemukan:

Siapa hendak mengikuti Aku, ia harus menyangkal dirinya dan memikul salibnya

lalu mengikut Aku, (Mat 16:24) (Marpaung, 2009: 32).

Secara biblis, Fransiskus menetapkan Injil Matius 10:7-10 sebagai pedoman

dan arah hidup guna meneruskan cita-citanya. Mewartakan Kerajaan Surga sudah

dekat. Dalam Injil ini, Yesus mengajarkan para murid-Nya bahwa mereka harus

pergi mewartakan Kerjaan Allah, namun mereka dilarang untuk membawa uang,

tongkat atau memakai sepatu (Marpaung, 2009: 30). Dalam kutipan Injil tersebut

jelas dikatakan bahwa Yesus mengutus murid-murid-Nya untuk mentahirkan

orang kusta. Ini sangat cocok dengan apa yang dicari dan dirindukan oleh

Fransiskus.

Untuk memahami dasar biblis dari kedinaan, Fransiskus memandang dan

menghadap Allah. Fransiskus sungguh menghayati keluhuran dan kemuliaan

Allah. Di hadapan Allah yang mahakuasa, dan mahatinggi Fransiskus merasa

kecil, takluk bahkan takut. Katanya: “Allah yang Mahakuasa, Mahatinggi,

Mahakudus dan Mahamulia, Tuhan, Raja surga dan alam, kami bersyukur demi

Engkau sendiri” (AD 1221, 23). Dalam pandangan Fransiskus tampak perpaduan

yang sempurna antara kebesaran dan kebaikan Allah.

Secara konkret kebaikan Allah hadir dalam Putra yang menjelma menjadi

manusia bahkan hidup di tengah-tengah manusia. Fransiskus melihat Allah

melalui Yesus Kristus, tidak membedakan di dalam Kristus itu keallahan dan

(47)

mendatangkan sikap hormat, kagum bahkan ia mencintai Kristus. Kristus yang

dimaksud Fransiskus sebagaimana tertera dalam Injil bahkan seluruh Perjanjian

Baru yakni Kristus sebagaimana Ia nyata sebagai Putera Allah yang menjadi

manusia, tetap Allah dan tetap manusia. Kristus adalah penampakan Allah

(Groenen, 1970: 47-48).

Diri Kristus itu, Kristus dari Injil, meresap seluruh jiwa dan hidup

Fransiskus, sehingga ia nampak kepada orang sezamannya sebagai Kristus yang

lahir (I Cel. 112). Diri Kristus sebagai kebaikan Allah dirangkum oleh Fransiskus

lewat Kitab Suci terutama tulisan Paulus kepada Jemaat di Filipi yang

mengatakan bahwa Kristus “yang mengosongkan diri-Nya sendiri dan

mengambil rupa seorang hamba. Ia merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati,

bahkan sampai mati di salib" (Flp 2:7-8).

Tindakan pengosongan diri bermula dari kerelaan menjadi manusia rendah

yang mengambil wujud sebagai manusia. Peristiwa pengosongan diri Kristus

menjadi dasar kedinaan yang patut dihayati dalam hidup secara konkret. Kepada

para pengikutnya, Fransiskus berkata:

Dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga. Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri dan menjadi sama dengan manusia. Dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan mati di salib (Flp 2:4-8) (2 Cel 18).

Dalam kesempurnaan-Nya, Kristus rela menghampakan diri-Nya sebagai

manusia biasa. Ia yang adalah Putra Bapa, menjadi serupa dengan manusia tanpa

(48)

manusia yang memuncak pada misteri salib (O’Collins dan Farrugia, 1996:

138-139). Misteri ini biasa disebut misteri pengosongan diri Kristus atau “Kenosis”.

Sekalipun peristiwa kenosis tidak semata berdimensi kristologis, namun

juga tidak lepas dari perananRoh Kudus. Kenosis, sehubungan dengan kodrat

manusia, berarti seruan terus menerus kepada Roh Kudus danpenyangkalan

diriterhadap hasrat dan kehendak pribadi. Berkenaan denganKristus,

pengosongan diri (kenosis) dariPutra Allahberupa suatu perendahan diri dan

pengorbanan untuk penebusan dan keselamatan semua umat manusia.Manusia

juga dapat berpartisipasi dalam karya keselamatan Allah melalui suatu proses

transformasi yang bertujuan menjadiserupa dengan Allah(theosis), yakni

menjadikudusdengan pertolongan rahmat Allah.

Oleh karena itu kenosis merupakan suatuparadoksdanmisterikarena

"mengosongkan diri" sebenarnya berarti mengisi diri seseorang dengan anugerah

ilahi dan menghasilkan baginya persatuan dengan Allah. Sebagai inti pokok dari

kehidupan berimannya, bagi Fransiskus peristiwa kenosis menjadi peristiwa yang

perlu dilakukan secara terus menerus sampai pada tindakan menyerupai Kristus.

B. Pengalaman Kedinaan Santo Fransiskus

Setelah mendengar Injil Matius 10:7-10, Fransiskus sangat bersukacita

mendengarnya bahkan dalam catatan dari Thomas Celano dijelaskan, bahwa

Fransiskus mengungkapkan kegembiraannya dalam Roh Allah dengan berkata:

“Inilah yang aku cari, dan inilah yang ingin kulakukan dengan segenap hatiku” (1

(49)

Isi teks ini adalah mengenai perutusan para Rasul yang diutus oleh Yesus

kepada domba-domba yang hilang. Tugas Fransiskus dan saudaranya adalah

mewartakan bahwa “Kerajaan surga sudah dekat”, menyembuhkan orang sakit,

membangkitkan orang mati, mentahirkan orang kusta, dan mengusir setan

(Marpaung, 2009: 31).

Percikan api cinta terhadap Tuhan telah menyulut sebuah unggun api yang

membakar habis semua rasa acuh tak acuh dan menyalakan iman yang radikal

tanpa kompromi. Hasrat Fransiskus menit demi menit adalah untuk mengikuti

semakin dekat, sebagaimana ditulis dalam doanya bagi para pengikut gerakannya:

Tuhan yang mahakuasa, abadi, adil dan pengampun, ijinkan kami dalam kesengsaraan agar kami bisa melakukan bagi Engkau semata apa yang Engkau inginkan kami lakukan, dan senantiasa rindu akan apa yang menyenangkan hati-Mu, sehingga dengan hati yang bersih dan tercerahkan serta menyala-nyala oleh kuasa Roh Kudus, kami bisa mengikut jejak Putra-Mu, Tuhan kami Yesus Kristus, sehingga membawa kami kepada-Mu (Tallbot, 2007: 7).

Dalam peristiwa hidupnya, Fransiskus mau melakukan isi Kitab Suci

seradikal mungkin. Maka ketika ia mendengar dan memahami Sabda Allah,

Fransiskus langsung mempraktekkannya dalam hidupnya sendiri. Baginya Firman

itu adalah kehidupan. Kalau orang tidak menghayati Firman, itu berarti orang

menghindarkan diri dari hidup nyata (Bodo, 2002: 91). Hal tersebut dapat di lihat

dari beberapa peristiwa yang dilakukan oleh Fransiskus untuk menunjukkan sikap

radikalnya terhadap teks Injil di atas.

(50)

Pada suatu hari ketika Fransiskus sedang khusuk berdoa kepada Tuhan, ia

mendapat jawaban ini: Hai Fransiskus, segala apa yang secara manusiawi engkau

cintai dan ingin engkau miliki, mesti engkau pandang rendah, dari apa yang

dahulu kau jijikkan akan kau tarik kemanisan besar dan kenikmatan yang tak

terukur (1 Cel, VII, 17).

Karenanya Fransiskus merasa gembira dan dikuatkan oleh Tuhan. Dalam suasana batin yang demikian itu Fransiskus naik kuda dan bertemu dengan orang kusta. Biasanya ia merasa sangat jijik terhadap orang kusta, namun kali ini sungguh luar biasa, Fransiskus merasakan suatu kemanisan dan suka cita. Ia turun dari kuda, memberi mata uang kemudian mencium tangan si sakit. Sejak saat itulah Fransiskus mulai memandang rendah dirinya. Selang beberapa hari, dengan membawa banyak uang Fransiskus pergi ke tempat penampungan orang kusta. Ia mengumpulkan mereka semua dan memberi masing-masing sedekah sambil mencium tangan orang sakit itu. Ketika meninggalkan tempat itu, apa yang dahulu pahit rasanya, yaitu melihat dan menjamah orang kusta, sudah berubah menjadi manis (K3S 11).

2. Peristiwa Kapel San Damiano

Pada suatu hari Fransiskus hendak berdoa di padang dan berjalan di dekat

gereja San Damiano, yang terancam keruntuhannya karena amat tuanya, maka ia

[image:50.595.85.515.241.614.2]

merasa terdorong untuk masuk ke dalam dan untuk berdoa. Ia bersujud di depan

gambar Yang tersalib dan sementara ia berdoa, ia diliputi dengan hiburan rohani

yang berlimpah-limpah. Ketika ia dengan mata yang berlinang-linang memandang

kepada salib Tuhan, maka didengarnya, dengan telinganya sendiri suara dari salib

itu, yang sampai tiga kali berkata: “Fransiskus, pergilah dan perbaikilah

rumah-Ku, yang seperti kau lihat bobrok seluruhnya ini!” (Bonaventura, II. 1).

Fransiskus gemetar, karena ia seorang diri di dalam gereja dan terperanjat

(51)

ucapan Ilahi itu, maka ia sangat terpesona. Akhirnya ia sadar lagi dan segera

menyiapkan diri untuk menaati perintah itu (Groenen, 2000: 53).

3. Perjumpaan dengan Allah di Jalan Assisi dan dalam Doa

Setelah kembali ke kota Assisi, selang beberapa hari oleh teman-temannya

Fransiskus terpilih menjadi ketua. Maka disuruhnya menyediakan suatu pesta

besar-besaran, seperti sering dibuatnya dahulu. Setelah kenyang mereka keluar

rumah, dan teman-temannya mendahului Fransiskus berkeliling sambil bernyanyi.

Ia tidak bernyanyi tapi asyik bermenung. Tiba-tiba ia disentuh oleh Tuhan dan

hatinya dipenuhi dengan kemanisan begitu hebat, sehingga ia tidak dapat lagi

merasa atau mendengar apa-apa kecuali kemanisan itu. Ia tersentak dari rasa

badani begitu rupa, seperti dikemudian hari dikatakannya sendiri sehingga tidak

dapat bergerak dari tempat itu kalau seandainya ia dicincang-cincang sekalipun

(K3S 7). Sejak saat itu Fransiskus mulai memandang dirinya rendah dan

meremehkan segala apa yang sebelumnya ia gemari, tapi belum seluruhnya,

namun demikian ia banyak mengundurkan diri dari keramaian dunia (K3S 8).

C. Kerendahan Hati Santo Fransiskus Assisi, dan Injil Sumber Hidup Fransiskus

1. Kerendahan Hati Santo Fransiskus Assisi

Misteri Allah sebagai sumber hidup berasal dari peristiwa Sabda Allah

menjadi Daging. Penjelmaan Yesus tersebut menjadi tanda pengosongan diri

(52)

harus dihayati dan bila perlu memperagakan pengosongan itu karena bagi

Fransiskus penjelmaan Allah menjadi manusia merupakan bentuk konkret dari

Kerendahan Hati Allah yang layak dicontoh.

Untuk memahami pengosongan diri Allah, Santo Fransiskus memperagakan

peristiwa penjelmaan Allah menjadi manusia di kota kelahirannya dengan

memperagakan dan merayakan natal yang hidup.

Kesadaran bahwa Allah yang menjelma menjadi manusia yang

meninggalkan kemahakuasaanNya membuat Fransiskus rela menanggalkan

pakaian yang berasal dari Ayahnya yang bernama Pietro Bernadone di depan

Uskup Guido.

2. Injil Sumber Hidup Santo Fransiskus Assisi

Allah menjadi sumber hidup bagi Santo Fransiskus. Ia selalu menyempatkan

diri untuk merenungkan Allah yang berbicara lewat Kitab Suci teristimewa dalam

Injil. Pun Ekaristi yang menjadi tanda kehadiran Allah yang dapat dilihat oleh

kita. Injil dan Ekaristi menjadi posisi sentral bagi hidup Fransiskus. Dalam

wasiatnya (Was), Fransiskus menulis: “Sesudah Tuhan memberi aku sejumlah

saudara, tidak seorang pun yang menunjukkan kepadaku apa yang harus aku

perbuat, tetapi Yang Mahatinggi sendiri mewahyukan kepadaku, bahwa aku harus

hidup menurut pola Injil Suci” (Was 14).

Setiap kali membuka Kitab Suci, Fransiskus bersuka cita dan bersyukur

kepada Allah. Ia merasa mendapat peneguhan dari apa yang diniatkannya.

(53)

suka cita kepada semua orang terutama kepada orang miskin. Bagi Fransiskus

Injil adalah jalan menuju Allah (1 Cel, 24-25). Fransiskus pun sering mengartikan

Injil secara harafiah.

Bagi Fransiskus sabda Allah merupakan tonggak penuntun arah dalam

hidupnya dan pengikutnya. Maka dalam merenungkan ini dibutuhkan cinta kasih

dan kerendahan hati yang dalam, karena hal ini merupakan sumber pengetahuan

mengenai Allah dan diri sendiri (2 Cel, 102).

D. Kedinaan Santo Fransiskus dan para Saudaranya, serta Allah Yang Dina dalam Semangat Fransiskan

1. Kedinaan Santo Fransiskus dan Para Saudaranya

Tuhan sendiri telah menjadi hina dina, maka Fransiskus merasa bahwa dia

harus juga menjadi dina. Karena Tuhan sendiri telah merendah dan merunduk,

maka tidak ada lagi alasan bagi Fransiskus untuk tidak merendah dan merunduk

seperti Tuhan. Hidup Kristus yang dihayatinya membawa perubahan besar bagi

diri Fransiskus. Dia menjadi dina dan bebas bagi semua mahluk dan sesama. Ini

jualah yang diungkapkan dalam penghayatannya.

Kepada para pengikutnya, Fransiskus sangat tegas menekankan sikap

rendah hati ini. Ini dengan jelas dikatakan dalam Surat kepada seluruh Ordo

artikel (untuk selanjutnya disingkat dengan SurOr) 28: Saudara-saudara,

pandanglah perendahan diri Allah itu dan curahkanlah isi hatimu di hadapan-Nya;

rendahkanlah dirimu, agar kamu ditinggikan oleh-Nya (SurOr 28). Jadi, alasan

(54)

Anggaran Dasarnya ia mengatakan bahwa Tuhan sendiri telah membuat diri-Nya

menjadi miskin di dunia ini bagi kita. Melihat, menyadari, mengagumi dan

mengalami kerendahan Tuhan itu merupakan, bagi Fransiskus, suatu penemuan

harta karun yang sangat berharga. Dan setelah ditemukan, maka ia ingin

memilikinya, dan untuk itu perlu merendahkan diri dan melepaskan segalanya.

a. Kedinaan Santo Fransiskus

Santo Fransiskus telah menggali dan menemukan kerendahan dan kedinaan.

Karena itulah ia menyebut dirinya sebagai hamba yang kecil. Hamba dan

bawahan, hamba semua orang, hamba yang kecil dan ternista dalam Tuhan Allah,

orang yang hina dan rapuh, hamba yang kecil, dan makhluk Tuhan yang tak

pantas, orang yang paling kecil dari antara para hamba Allah.

Fransiskus memilih kemiskinan dan kedinaa

Gambar

gambar Yang tersalib dan sementara ia berdoa, ia diliputi dengan hiburan rohani

Referensi

Dokumen terkait