ABSTRAK
Skripsi ini berjudul RELEVANSI SEMANGAT KEDINAAN SANTO FRANSISKUS ASSISI DALAM TUGAS PELAYANAN PARA SUSTER FRANSISKUS DINA (SFD) PADA MASA KINI BAGI KAUM DIFABEL. Penulis memilih judul ini bertolak dari kesan pribadi akan para suster SFD yang berkarya melayani Anak-anak Berkebutuhan Khusus (difabel) yang tampak begitu setia menghidupi semangat kongregasi seturut teladan Santo Fransiskus Assisi dan para pendiri. Karya tersebut merupakan salah satu usaha untuk menghidupi semangat kongregasi seturut semangat kedinaan Santo Fransiskus Assisi. Mereka yang menyandang nama sebagai seorang SFD harus sungguh-sungguh tampil dan hadir dalam karya perutusan dengan membawa nama tersebut.
Para suster SFD bercermin dari hidup Santo Fransiskus Assisi dan semangat kedinaan yang menjadi pilihan utama dalam hidupnya. Hal ini pulalah yang menjadi warisan agung bagi para pengikutnya terutama kongregasi SFD.
Bertitik tolak dari alasan di atas, skripsi ini dimaksudkan untuk menyadarkan kembali semangat hidup kedinaan para suster SFD dalam karya pelayanan terhadap kaum difabel. Juga untuk memperkaya serta mengonkritkan relevansi semangat kedinaan tersebut. Selain itu juga untuk membantu menghayati semangat kedinaan sebagai SFD yang menyandang nama sebagai orang ‘Dina’ dalam pengabdian terhadap kaum difabel, maka dalam skripsi ini akan dibahas siapakah kaum difabel itu dan apa arti kedinaan berhadapan dengan kaum difabel dengan menggunakan kajian pustaka metode deskriptif, dan untuk memperkaya relevansi semangat kedinaan tersebut, penulis akan melengkapi dengan life story. Penulis mempelajari dan mendalami buku-buku spiritualitas kongregasi dan buku-buku sumber lain yang relevan guna memperkaya dan mendalami gagasan refleksi rohani.
ABSTRACT
This undergraduate thesis entitled THE RELEVANCE OF THE SPIRIT OF POVERTY OF SAINT FRANCIS ASSISI FOR THE SERVICE OF THE SISTERS OF MINOR FRANCIS (SFD) AT PRESENT FOR DISABLED PEOPLE. The author started from the personal impression of the work of the sisters of SFD to serve children with special needs (disabilities) who seemed so faithful to live the spirit of the congregation according to the example of Saint Francis of Assisi and the founders. This work is an effort to enlive the spirit of minority according to the spirit of St. Francis of Assisi. Those who bear the name of SFD should earnestly perform and present in the work of the mission to carry its name.
The sisters of SFD reflect the life of St. Francis of Assisi and the spirit of minority which is the main choice in their lives. This is precisely the great legacy for his followers, mainly the congregation of SFD.
Based on the above reasons, this undergraduate thesis is intended to revive the spirit of minority of the Sisters of SFD to serve the disabled, and to enrich and to realize the relevance of the minority spirit. In addition, to help the spirit of minority as SFD which bears the name as 'Minority' in loyalty to the disabled, this paper will discuss who the disabled was and what it meant by minority dealing with disabled people using literature review descriptive methods, and to ensure the relevance of the spirit of minority, the author will equip life story. The author studies and explores the spirituality of the congregation books and books from other relevant sources in order to enrich and to deepen the idea of spiritual reflection.
RELEVANSI SEMANGAT KEDINAAN SANTO FRANSISKUS ASSISI DALAM TUGAS PELAYANAN PARA SUSTER FRANSISKUS DINA
(SFD) PADA MASA KINI BAGI KAUM DIFABEL
S K R I P S I
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Agama Katolik
Oleh:
Susiati
NIM: 111124042
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA 2016
iv
PERSEMBAHAN
Skripsi ini kupersembahkan kepada:
Santo Fransiskus Assisi, Muder Constansia van Der Linden dan Persaudaraan
Kongregasi Suster Fransiskus Dina dan siapa saja yang telah
mendukung saya dengan cara dan bentuknya masing-masing
v MOTTO
“Deus est Fidelitas, Allah adalah Setia”.
Benarlah perkataan ini: "Jika kita mati dengan Dia, kita pun akan hidup dengan
Dia; jika kita bertekun, kita pun akan ikut memerintah dengan Dia; jika kita
menyangkal Dia, Dia pun akan menyangkal kita; jika kita tidak setia, Dia tetap
setia, karena Dia tidak dapat menyangkal diri-Nya.
viii ABSTRAK
Skripsi ini berjudul RELEVANSI SEMANGAT KEDINAAN SANTO FRANSISKUS ASSISI DALAM TUGAS PELAYANAN PARA SUSTER FRANSISKUS DINA (SFD) PADA MASA KINI BAGI KAUM DIFABEL. Penulis memilih judul ini bertolak dari kesan pribadi akan para suster SFD yang berkarya melayani Anak-anak Berkebutuhan Khusus (difabel) yang tampak begitu setia menghidupi semangat kongregasi seturut teladan Santo Fransiskus Assisi dan para pendiri. Karya tersebut merupakan salah satu usaha untuk menghidupi semangat kongregasi seturut semangat kedinaan Santo Fransiskus Assisi. Mereka yang menyandang nama sebagai seorang SFD harus sungguh-sungguh tampil dan hadir dalam karya perutusan dengan membawa nama tersebut.
Para suster SFD bercermin dari hidup Santo Fransiskus Assisi dan semangat kedinaan yang menjadi pilihan utama dalam hidupnya. Hal ini pulalah yang menjadi warisan agung bagi para pengikutnya terutama kongregasi SFD.
Bertitik tolak dari alasan di atas, skripsi ini dimaksudkan untuk menyadarkan kembali semangat hidup kedinaan para suster SFD dalam karya pelayanan terhadap kaum difabel. Juga untuk memperkaya serta mengonkritkan relevansi semangat kedinaan tersebut. Selain itu juga untuk membantu menghayati semangat kedinaan sebagai SFD yang menyandang nama sebagai orang ‘Dina’ dalam pengabdian terhadap kaum difabel, maka dalam skripsi ini akan dibahas siapakah kaum difabel itu dan apa arti kedinaan berhadapan dengan kaum difabel dengan menggunakan kajian pustaka metode deskriptif, dan untuk memperkaya relevansi semangat kedinaan tersebut, penulis akan melengkapi dengan life story. Penulis mempelajari dan mendalami buku-buku spiritualitas kongregasi dan buku-buku sumber lain yang relevan guna memperkaya dan mendalami gagasan refleksi rohani.
ix ABSTRACT
This undergraduate thesis entitled THE RELEVANCE OF THE SPIRIT OF POVERTY OF SAINT FRANCIS ASSISI FOR THE SERVICE OF THE SISTERS OF MINOR FRANCIS (SFD) AT PRESENT FOR DISABLED PEOPLE. The author started from the personal impression of the work of the sisters of SFD to serve children with special needs (disabilities) who seemed so faithful to live the spirit of the congregation according to the example of Saint Francis of Assisi and the founders. This work is an effort to enlive the spirit of minority according to the spirit of St. Francis of Assisi. Those who bear the name of SFD should earnestly perform and present in the work of the mission to carry its name.
The sisters of SFD reflect the life of St. Francis of Assisi and the spirit of minority which is the main choice in their lives. This is precisely the great legacy for his followers, mainly the congregation of SFD.
Based on the above reasons, this undergraduate thesis is intended to revive the spirit of minority of the Sisters of SFD to serve the disabled, and to enrich and to realize the relevance of the minority spirit. In addition, to help the spirit of minority as SFD which bears the name as 'Minority' in loyalty to the disabled, this paper will discuss who the disabled was and what it meant by minority dealing with disabled people using literature review descriptive methods, and to ensure the relevance of the spirit of minority, the author will equip life story. The author studies and explores the spirituality of the congregation books and books from other relevant sources in order to enrich and to deepen the idea of spiritual reflection.
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kasih dan setia, karena segala
rahmat dan kasih setia-Nya penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul
RELEVANSI SEMANGAT KEDINAAN SANTO FRANSISKUS ASSISI DALAM TUGAS PELAYANAN PARA SUSTER FRANSISKUS DINA (SFD) PADA MASA KINI BAGI KAUM DIFABEL.
Skripsi ini merupakan karya ilmiah dan sumbangan terhadap para pembaca,
secara khusus para suster Kongregasi Suster Fransiskus Dina (SFD) dan sekaligus
untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana Pendidikan di
FKIP-JIP-Prodi PAK Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Proses penulisan skripsi ini berjalan dengan baik dan lancar karena
dukungan dan kebaikan dari banyak orang sehingga memampukan penulis untuk
tetap semangat meskipun menghadapi banyak tantangan dan kesulitan. Penulis
sangat berterimakasih kepada berbagai pihak yang telah menyumbangkan ide dan
gagasannya, kemudahan dan kesempatan sehingga skripsi ini dapat selesai pada
waktu yang tepat. Secara khusus terima kasih penulis sampaikan kepada:
1. Drs. F.X. Heryatno Wono Wulung, S.J., M.Ed., selaku Kaprodi PAK
Universitas Sanata Dharma, yang telah berkenan membimbing dan mendukung
penulis selama kuliah di kampus PAK-USD.
Dr. B. Agus Rukiyanto, S.J., sebagai pembimbing utama dalam skripsi ini yang
xi
mendampingi, dan membimbing penulis selama penyusunan skripsi ini dari
awal hingga selesai.
3. Drs. M. Sumarno Ds. S.J, M.A., sebagai dosen penguji II sekaligus dosen
pembimbing akademik yang memberi semangat, keramahan, masukan dan
dukungan serta kelancaran baik selama kuliah berlangsung dan secara khusus
dalam penyusunan skripsi ini.
4. Drs. L. Bambang Hendarto Y. M. Hum., sebagai dosen penguji III yang
bersedia meluangkan waktu dan memberikan masukan serta dukungan
kepada penulis.
5. Para dosen dan staf karyawan Prodi PAK, yang telah membimbing dan
memberi dukungan selama penulis kuliah di kampus PAK Sanata Dharma
Yogyakarta.
6. Ministra Umum Kongregasi Suster Fransiskus Dina (SFD) Sr. Imelda
Tampubolon, SFD, staf dewan ministra dan seluruh anggota Suster
Fransiskus Dina di mana pun berada yang telah memberikan kepercayaan dan
kesempatan bagi penulis untuk menjalani studi di PAK Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta.
7. Ministra Komunitas Fonte Colombo Jl. Rajawali 3A, Sr. Patrisia Bangun,
SFD dan para saudari sekomunitas serta semua suster yang pernah tinggal
bersama dengan penulis selama menjalani studi di PAK Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta.
8. Teman-teman seperjuangan selama kuliah, angkatan 2011/2012 yang telah
xiii DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
MOTTO ... v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii
ABSTRAK ... viii
ABSTRACT ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xiii
DAFTAR SINGKATAN ... xviii
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A.Latar Belakang ... 1
B.Rumusan Masalah ... 6
C.Tujuan Penulisan ... 7
D.Manfaat Penulisan ... 7
E. Metode Penulisan ... 8
F. Sistematika Penulisan ... 8
BAB II. HIDUP SANTO FRANSISKUS ASSISI DAN SEMANGAT KEDINAANNYA………... ... 10
A.Hidup Fransiskus Assisi ... 10
1. Kelahiran Fransiskus dan Masa Muda Fransiskus ... 10
2. Situasi Masyarakat dan Gereja di Jaman Fransiskus ... 12
a. Situasi Politik... 12
b. Situasi Ekonomi... 14
c. Situasi Gereja... 14
3. Panggilan Fransiskus……… .... 15
xiv
a. Pengertian Kedinaan………… ... 17
b. Latar Belakang Pemilihan Nama Ordo………. .... 19
c. Dasar Biblis sebagai Pilihan Kedinaan………... 20
B.Pengalaman Kedinaan Santo Fransiskus.. ... 23
1. Perjumpaan dengan Orang Kusta ... 25
2. Peristiwa Kapel San Damiano ... 25
3. Perjumpaan dengan Allah di Jalan Assisi dan dalam Doa ... 26
C.Kerendahan Hati Santo Fransiskus Assisi dan Injil Sumber Hidup Fransiskus ... 26
1. Kerendahan Hati Santo Fransiskus Assisi……….. ... 26
2. Injil Sumber Hidup Santo Fransiskus Assisi……… ... 27
D.Kedinaan Santo Fransiskus dan Saudaranya, serta Allah Yang Dina dalam Semangat Fransiskan ... 28
1. Kedinaan Santo Fransiskus dan Para Saudaranya……… ... 28
a. Kedinaan Santo Fransiskus………... 29
b. Kedinaan Para Saudaranya ... 31
2. Allah Yang Dina dalam Semangat Fransiskan……… ... 33
a. Penciptaan………... 33
b. Penjelmaan………. ... 33
c. Yesus dikandung dalam Rahim Maria………... ... 34
d. Kelahiran Yesus dari Perawan Maria………. ... 34
e. Pengungsian Keluarga Kudus ke Mesir……….. ... 34
f. Penderitaan dan Wafat Yesus di Salib………... 35
g. Kerendahan Allah dalam Ekaristi………. ... 36
BAB III. KARYA PELAYANAN DALAM KONGREGASI SUSTER FRANSISKUS DINA SETURUT TELADAN SANTO FRANSISKUS ASSISI ... 37
A. Sekilas tentang Kongregasi Suster Fransiskus Dina ... 37
1. Sejarah Kongregasi SFD ... 37
2. Sejarah Lahirnya SFD Indonesia ... 39
xv
a. Semangat Cinta Kasih………. ... 41
b. Kesederhanaan Kristiani yang Sejati……….. ... 42
c. Semangat Rajin dan Giat……… ... 43
d. Sikap Lepas Bebas………. ... 45
e. Semangat Doa………. ... 46
4. Visi dan Misi Kongregasi SFD ... 48
B.Karya Pelayanan dan Nilai-nilai Rohani dalam Karya Kongregasi SFD ... 51
1. Pengertian Pelayanan ... 51
2. Pelayanan dalam Gereja ... 52
3. Pelayanan sebagai Fransiskan ... 54
4. Corak Hidup Kongregasi SFD………. ... 56
5. Macam-macam Karya Pelayanan SFD di Masa Sekarang….. ... 57
a. Karya Pelayanan di Bidang Pendidikan………. ... 58
b. Karya Pelayanan di Bidang Kesehatan………... 59
c. Karya Pelayanan di Bidang Sosial……….. ... 60
d. Karya Pelayanan di Bidang Pastoral……… .... 62
6. Nilai-nilai Rohani dalam Karya Kongregasi SFD………... 63
a. Huruf S, adalah Semangat……… .... 65
b. Huruf F, adalah Fraternitas……….. ... 66
c. Huruf D, adalah Dina……….. ... 67
C.Kaum Difabel pada Masa Kini dalam Karya Pelayanan SFD…… ... 68
1. Definisi ... 68
2. Klasifikasi Difabel………... 69
a. Tunanetra………. ... 69
b. Tunarungu………... 69
c. Tunagrahita……….. ... 70
3. Sejarah Karya Pelayanan bagi Kaum Difabel dalam Kongregasi SFD………. ... 71
4. Visi dan Misi Karya SFD bagi Kaum Difabel……… .. 72
xvi
BAB IV. RELEVANSI SEMANGAT KEDINAAN SANTO
FRANSISKUS ASSISI DALAM PELAYANAN
KONGREGASI SUSTER FRANSISKUS DINA
BAGI KAUM DIFABEL……….. 75
A. Difabilitas sebagai Medan Pelayanan Kongregasi SFD ... 76
B. Semangat Kedinaan sebagai Sumber Insprasi dalam Pelayanan .... 80
1. Semangat Kedinaan sebagai Sumber Inspirasi dalam Pelayanan………. ... 80
2. Semangat Kedinaan sebagai Dasar Pelayanan bagi Kaum Difabel……… 84
C. Semangat Kedinaan sebagai Tujuan dan Model Pelayanan bagi Kaum Difabel ... 86
1. Suara Salib San Damiano adalah Suara orang Difabel Pada Masa Ini……….. 87
2. Difabel sebagai Saudara yang Dina………. 89
D. Buah-buah Penghayatan Kedinaan dalam Karya Pelayanan SFD bagi Kaum Difabel ... 90
E. Usaha Meningkatkan Pelayanan dalam Tugas Perutusan………. 91
F. Life Story Suster SFD yang Melayani Kaum Difabel……… 92
G. Usulan Program Rekoleksi……… 98
1. Latar Belakang Program………. 98
2. Alasan Pemilihan Program………. 99
3. Tujuan Program………... 100
4. Rumusan Tema dan Tujuan………. 101
5. Matriks Program Rekoleksi Bagi Para SFD……… 103
6. Persiapan Rekoleksi………. 106
BAB V. PENUTUP………... 119
A. Kesimpilan……… 119
B. Saran ... 121
DAFTAR PUSTAKA ... 122
xvii
Lampiran 1: Life Story 1 Suster SFD ... (1)
Lampran 2: Life Story 2 Suster SFD... (3)
Lampran 3: Life Story 3 Suster SFD... (4)
Lampran 4: Lirik Lagu……… (6)
xviii
DAFTAR SINGKATAN
A. Singkatan Kitab Suci
Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Kitab Suci
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang diselenggarakan oleh Lembaga Alkitab
Indonesia ditambah dengan Kitab-kitab Deuterokanonika yang diselenggarakan
oleh Lembaga Biblika Indonesia, 2009.
Flp : Filipi
Gal : Galatia
Kej : Kejadian
Kis : Kisah Para Rasul
1 Kor : 1 Korintus
2 Kor : 2 Korintus
Luk : Lukas
Mat : Matius
Mrk : Markus
Mzm : Mazmur
Rm : Roma
Yoh : Yohanes
xix B. Singkatan Dokumen Resmi Gereja
Deus Caritas Est : Allah adalah Kasih, Ensiklik Paus Benediktus XVI, 25
Desember 2005
GS : Gaudium et Spes, Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II
tentang Gereja di Dunia Dewasa ini, 7 Desember 1965.
LG : Lumen Gentium, Konsili Dogmatik Konsili Vatikan II tentang
Gereja, 21 November 1964.
C. Singkatan Dokumen St. Fransiskus AD : Anggaran Dasar
AD III : Anggaran Dasar Ordo ketiga
AngBul : Anggaran Dasar yang diteguhkan dengan Bulla
AngTBul : Anggaran Dasar Tanpa Bulla
Cel : Celano (Thomas dari Celano)
Fsl : Fasal
IbSeng : Ibadat Sengsara
K3S : Kisah Tiga Sahabat
LM : Legenda Mayor
OFM : Ordo Fratrum Minorum (Ordo Saudara Dina)
Pth : Petuah Santo Fransiskus
SalKeut : Salam Kepada Keutamaan
xx SurOr : Surat Kepada Seluruh Ordo
Was : Wasiat Santo Fransiskus
D. Singkatan Lain:
ABK : Anak Berkebutuhan Khusus
ADHD : Attention Deficit and Hyperactivity Disorder
Art : Artikel
BKIA : Balai Kesehatan Ibu dan Anak
Depkes RI : Departemen Kesehatan Republik Indonesia
Jl : Jalan
Kap : Kapitel
Konst : Konstitusi
KBBI : Kamus Besar Bahasa Indonesia
KLMTD : Kecil, Lemah, Miskin, Tertindas, dan Difabel
KWI : Konferensi Waligereja Indonesia
LPJ. DPU : Laporan Pertanggung Jawaban Dewan Pimpinan Umum
MTB : Maria Tak Bernoda
MYY : Muder Yohana Yesus
P : Pastor
PAK : Pendidikan Agama Katolik
PK : Pedoman Karya
Pusdatin : Pusat Data dan Informasi
xxi SLB-C : Sekolah Luar Biasa Kategori C
SPP : Sejarah Para Pendahulu
Sr : Suster
St : Santo/a
Thn : Tahun
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penulisan
Salah satu karya perutusan yang khas dari para Suster Fransiskus Dina (SFD) di Indonesia adalah pelayanan dan pendidikan bagi Anak Berkebutuhan
Khusus (ABK) atau kaum difabel. Wujud karya tersebut berupa Sekolah Luar
Biasa Kategori C (SLB-C) yang secara khusus mendidik anak-anak cacat mental.
SLB-C Karya Tulus yang sekaligus berasrama di Namopecawir, Medan, yang
telah berdiri sejak tanggal 17 Juli 1987 menjadi salah satu contoh kesetiaan para
suster SFD menghidupi spiritualitas kongregasi seturut semangat kedinaan Santo
Fransiskus Assisi. Dalam Anggaran Dasar Ordo Ketiga (AD III) Santo Fransiskus
Assisi mengamanatkan agar dalam Persekutuan Dina cinta kasih diwujudkan
dengan menjadi yang paling dina dalam hidup dengan sesama sehingga ada
tempat bagi orang sakit, orang cacat dan orang berdosa (AD III, No.19).
Karya pelayanan bagi penderita keterbelakangan mental seperti SLB-C
Karya Tulus tersebut mengusung visi, “Komunitas kasih persaudaraan yang
melayani orang kecil dan lemah seturut teladan Bapa yang mencintai dan
meninggikan setiap orang yang dicintai-Nya” (LPJ. DPU, 2015, No.93). Visi
tersebut dikonkritkan dalam misi; 1) Siap sedia melayani mereka yang mengalami
keterbelakangan mental, yang dijiwai dengan semangat perayaan Ekaristi, doa
bersama, pribadi dan semangat berkorban yang tinggi; 2) Menciptakan komunitas
Membangun sikap tanggung jawab dalam tugas pelayanan untuk nama baik karya
dan komunitas.
Sekalipun usia karya pelayanan bagi kaum difabel tersebut telah begitu
lama dan visi-misi karyanya tersusun rapi namun pelaksanaan pelayanan oleh para
anggota SFD tidak dapat dikatakan berjalan mulus apalagi mudah. Selain hal
material dan manajerial, salah satu tantangan bahkan hambatan yang menghadang
gerak laju karya pelayanan ini adalah tantangan spiritual atau motivasi, keyakinan
atau semangat cinta kasih dari para pelayannya khususnya para anggota SFD yang
berkarya di bidang tersebut. Selain kemampuan, keahlian dan keterampilan
menghadapi anak dengan keterbelakangan mental, para suster SFD pun dituntut
memiliki penghayatan spiritualitas kedinaan Fransiskus yang kuat dan selalu
diperbarui dengan berbagai kegiatan rohani dan akademis. Dengan kata lain, bagi
seorang suster SFD yang terpanggil untuk berkarya bagi kaum difabel, terdapat
pergulatan batin atau mental yang istimewa (khusus) untuk dapat benar-benar
menjiwai, berdaya tahan dan mengembangkan karya pelayanan tersebut sesuai
amanat perutusan Gereja melalui kongregasinya.
Tak mudahnya pergulatan spiritual para suster SFD tersebut semakin dapat
dibayangkan jika melihat situasi dan mentalitas masyarakat dunia zaman ini yang
begitu mengagungkan kemudahan, kenginan “instan” alias mendapatkan hasil
sebanyak dan secepat mungkin tanpa usaha, kenikmatan, keindahan dan
kesempurnaan fisik serta hasrat kekuasaan, kekayaan dan ketenaran dibandingkan
nilai-nilai rohani-keagamaan, kesederhanaan, asketisme, keugaharian dan
teknologi mutakhir di satu sisi memang memberi suatu sumbangan yang sangat
positif, di mana orang dapat melakukan segala sesuatunya dengan lebih mudah
dan cepat. Tetapi di sisi lain juga terdapat dampak negatifnya; di mana manusia
jatuh pada keinginan serba instan dan kecenderungan untuk melakukan sesuatu
yang menguntungkan atau menyenangkan bagi dirinya, tanpa peduli pada orang
lain.
Singkatnya, zaman ini ditandai dengan keinginan untuk menjadi lebih
unggul dari yang lain dan untuk mendapatkannya ditempuh dengan menghalalkan
segala cara. Dunia saat ini menawarkan serba kemudahan dalam hidup hingga tak
jarang disertai dengan cara-cara untuk menyingkirkan sesama tanpa adanya belas
kasihan. Manusia yang rakus akan harta dan kuasa. Maka pada zaman ini kita
sering dan mudah melihat sikap tak terpuji di mana orang menuntut banyak hal
demi kesenangannya tetapi tidak mau menerima suatu tugas tertentu yang
mungkin sulit dan berat baginya. Ketulusan memberi, keiklasan berkorban, rela
dan bertanggung jawab tanpa pamrih dalam karya menjadi pemandangan yang
semakin langka. Begitu pula dengan semangat melayani sesama yang menderita
dan penuh dengan persoalan hidup. Cinta kasih, rasa simpati dan empati atau
sikap bela rasa menjadi semakin mengering dari manusia zaman ini.
Kecenderungan mentalitas masyarakat modern sebagaimana tergambar di
atas tentu berdampak sangat kuat bagi kaum difabel. Menurut Diono (2014: 20),
hingga saat ini, sejumlah hal yang berkaitan dengan mental masyarakat bahkan
termasuk keluarga penyandang disabilitas masih menjadi permasalahan eksternal
kehidupan. Contoh permasalahan eksternal tersebut antara lain rendahnya
pemahaman masyarakat tentang disabilitas, dan stigma bahwa disabilitas adalah
bagian dari kutukan atau nasib yang membuat keluarga cenderung
menyembunyikan kondisi anggotanya yang difabel dan masyarakat tidak
memberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.
Secara konkrit, dengan mengelola data dari Pusat Data dan Informasi
(Pusdatin) Kementerian Sosial Tahun 2012, Adi Prasetyo (2014:34-35)
menyimpulkan bahwa di Indonesia, akses kaum difabel pada dunia pendidikan
yang berkualitas masih sangat rendah di mana dari sejumlah 1.389.519 orang
dengan disabilitas, terdapat 838.343 orang tidak sekolah, dan semakin tinggi
jenjang sekolah, semakin rendah pula partisipasi kaum difabel. Akibatnya,
partisipasi kaum difabel pada pekerjaan yang layak pun masih sangat rendah.
Kaum difabel pun semakin terjerat dalam kemiskinan dan terkucil dari kehidupan.
Kondisi dan mentalitas masyarakat masa kini yang belum ramah pada kaum
difabel tersebut menjadi kondisi dan pengalaman yang dihadapi para suster SFD
yang berkarya bagi kaum difabel dalam lembaga-lembaga karya SFD. Pergulatan
batin untuk mengasah spiritulitas para SFD tersebut kian perlu direfleksikan jika
mengingat pesan, ajaran dan teladan Yesus Kristus yang memanggil Santo
Fransiskus Assisi dan para suster SFD untuk menjadi pelayan-Nya melalui
karya-karya cinta kasih (LPJ. DPU, 2015, No. 94). Alkitab dengan jelas
menggambarkan apa yang dilakukan Yesus, bahwa Kristus Yesus walau dalam
rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang
seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dalam keadaan sebagai
manusia, Ia merendahkan diri-Nya, taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu
salib (Flp 2:5-8).
Dalam Petuah Santo Fransiskus Assisi (Pth), kelahiran Kristus di dalam
palungan merupakan ungkapan tertinggi dari pengosongan diri Sang Putra Allah.
“Lihatlah, setiap hari Ia merendahkan diri, seperti tatkala Ia turun dari tahta
kerajaan ke dalam Rahim Perawan, setiap hari Ia turun dari pangkuan Bapa ke
atas Altar di dalam tangan imam” (Pth, 1:16-17). Pengalaman Santo Fransiskus
Assisi akan Allah yang Maha kuasa, Maha tinggi, Maha mulia, Maha tahu itu sudi
turun dari tahta Kerajaan-Nya dengan menempuh jalan perendahan diri Yesus
Kristus, inilah yang membuat Santo Fransiskus Assisi semakin menyadari akan
panggilan hidupnya untuk bersatu dalam perendahan diri yang nyata bagi dunia.
Sementara itu, dalam Wasiat Santo Fransiskus (Was), Ia mengalami dan
memberi kesaksian tentang penghampaan diri dengan memilih orang-orang kecil,
hina dan papa, memeluk orang kusta dan terbuang. Bagi Santo Fransiskus Assisi
menjadi gambar yang mengagumkan tentang pertemuan dengan Yesus Kristus
yang tersalib. Tetapi untuk menjalankan itu semua tidaklah mudah untuknya. Ia
berkata, “ketika aku dalam dosa, aku merasa amat muak melihat orang kusta,
tetapi Tuhan menghantar aku ke tengah mereka dan aku merawat mereka dengan
penuh kasih” (Was 1-2). Santo Fransiskus Assisi memasuki jalan perendahan hati
dengan pertemuan yang mesra ini. Dia mengalahkan dirinya sendiri sedemikian
rupa sehingga para pengikutnya, mampu memahami pernyataannya: “Apa yang
(Was 3). Rendah atau dina di hadapan Allah bukan berarti “lembek”. Orang-orang
lembek ini adalah mereka yang mengakui ketergantungan mereka pada Allah dan
tidak memperlakukan orang lain secara angkuh sombong. Mereka adalah
pribadi-pribadi yang memiliki disposisi batin “kedinaan” atau “kerendahan hati” di
hadapan Allah. Seseorang yang sungguh rendah hati (dina) mengakui kenyataan
bahwa dia menerima segalanya yang baik dari Allah dan membagikannya kepada
sesama.
Dengan teladan Yesus dengan dan melalui hidup, karya dan ajaran-Nya
untuk mengasihi sesama yang diterjemahkan Santo Fransiskus Assisi dalam
semangat Kedinaan itulah yang menjadi spiritualitas hidup dan karya para suster
SFD termasuk dalam karya pelayanan bagi kaum difabel. Namun dalam konteks
kondisi sosial dan mentalitas masyarakat masa kini pada umumnya dan mentalitas
serta cara pandang terhadap kaum difabel khususnya juga dialami dan dihadapi
oleh para SFD yang berkarya melayani kaum difabel. Untuk itu, tampak jelas
bahwa diperlukan refleksi yang mendalam dan sistematis untuk terus-menerus
mengaktualisasikan semangat Kedinaan Santo Fransiskus Assisi dalam hidup dan
karya pelayanan para SFD bagi kaum difabel pada masa kini. Karena itu,
didorong oleh realitas dan pemikiran sebagaimana terurai di atas, penulis memilih
topik Relevansi Semangat Kedinaan Santo Fransiskus Assisi dalam Tugas
Pelayanan para Suster Fransiskus Dina (SFD) pada Masa Kini bagi Kaum
Difabel. Menurut hemat penulis, pendalaman topik ini dapat menjawab kebutuhan
mengaktualisasikan semangat kedinaan, menginspirasi dan menguatkan panggilan
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, sehubungan dengan semangat kedinaan
dalam pelayanan kongregasi SFD di masa sekarang ini, maka permasalahan
dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana semangat kedinaan Santo Fransiskus Assisi dipahami, dimengerti
dan dihayati oleh para Suster Fransiskus Dina (SFD) dalam menjalani
panggilan mereka?
2. Sejauh mana semangat kedinaan Santo Fransiskus Assisi menjadi inspirasi dan
motivasi bagi para suster Fransiskus Dina (SFD dalam karya pelayanan masa
kini khususnya bagi kaum difabel?
3. Hal-hal mana yang perlu diperhatikan oleh para suster Fransiskus Dina (SFD)
dalam mengaktualisasikan semangat kedinaan Santo Fransiskus Assisi bagi
karya pelayanan masa kini khususnya bagi kaum difabel?
C. Tujuan Penulisan
1. Menggali, mengetahui dan menggambarkan semangat kedinaan yang
diteladankan oleh Santo Fransiskus Assisi sebagaimana dipahami dan dihayati
para suster SFD dalam menjalani panggilan mereka.
2. Menggali, memahami dan menggambarkan spiritualitas para suster SFD yang
bersumber pada teladan semangat kedinaan Santo Fransikus Assisi dalam
3. Merefleksikan dan memberikan sumbangan pemikiran akademis tentang
relevansi semangat kedinaan Santo Fransiskus Assisi dalam karya pelayanan
masa kini para SFD bagi kaum difabel.
D. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui secara mendalam dan memahami semangat kedinaan Santo
Fransiskus Assisi sebagaimana yang dihayati dan dihidupi para suster SFD
dalam karya pelayanan.
2. Memberikan sebuah perspektif baru pada cakrawala spiritualitas semangat
kedinaan Santo Fransiskus Assisi dalam pelayanan kongregasi SFD khususnya
karya pelayanan SFD bagi kaum difabel.
3. Mendapatkan inspirasi, mengobarkan dan meneguhkan semangat penulis dan
segenap anggota kongregasi SFD yang memiliki karya pelayanan bagi kaum
difabel serta semua orang berkehendak baik lainnya yang melakukan karya
sosial membantu kaum difabel.
E. Metode Penulisan
Metode utama penulisan skripsi ini adalah metode deskriptif analitis yang
menggambarkan data-data yang diperoleh melalui studi pustaka. Penulis juga
menggunakan metode reflektif untuk merefleksikan gagasan-gagasan tentang
semangat kedinaan yang diperoleh dari studi pustaka untuk memperoleh gagasan
memperkaya dan mengonkritkan relevansi semangat kedinaan tersebut, penulis
juga akan melengkapi dengan metode life story berupa wawancara beberapa suster
SFD yang sedang dan pernah bekerja pada karya SFD bagi kaum difabel.
F. Sistematika Penulisan
Judul skripsi yang dipilih oleh penulis adalah: Relevansi Semangat Kedinaan Santo Fransiskus Assisi dalam Tugas Pelayanan para Suster Fransiskus Dina (SFD) pada Masa Kini bagi Kaum Difabel.
Secara garis besar, skripsi ini dibagi ke dalam lima bab yang secara garis
besar diuraikan sebagai berikut:
Bab I adalah pendahuluan; terdiri dari latar belakang penulisan, rumusan
masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan, dan sistematika
penulisan.
Bab II menguraikan tentang Semangat kedinaan menurut Santo Fransiskus
Assisi. Pembahasan dimulai dari riwayat hidup Santo Fransiskus Assisi dan
situasi sosial yang memengaruhinya, Dasar Biblis Kedinaan, Pengalaman
kedinaan, Kerendahan Hati Fransiskus, Allah Sumber hidup Fransiskus,
Kedinaan Fransiskus dan Para Saudaranya, serta Allah Yang Dina dalam
Spiritualitas Fransiskan.
Bab III membahas spiritualitas kongregasi SFD yang bersumber pada
semangat kedinaan Santo Fransiskus Assisi. Uraian bab ini mencakup sejarah
Kongregasi, semangat dan visi-misi Kongregasi, karya pelayanan SFD dan
dalam karya dengan menampilkan hasil wawancara dari beberapa suster yang
pernah dan yang sedang bekerja bagi kaum difabel dengan metode life story.
Bab IV merupakan sebuah refleksi semangat kedinaan Santo Fransiskus
Assisi dalam karya pelayanan para SFD di zaman sekarang khususnya karya
pelayanan bagi kaum difabel. Di dalamnya akan dimuat tentang difabilitas sebagai
bagian dari medan pelayanan kongregasi SFD, semangat kedinaan sebagai sumber
inspirasi dan dasar pelayanan bagi kaum difabel, semangat kedinaan sebagai
tujuan dan model pelayanan bagi kaum difabel, buah-buah penghayatan kedinaan,
dan usaha untuk meningkatkan pelayanan dalam tugas perutusan.
Bab V merupakan penutup: dalam bab ini penulis ingin menegaskan
kembali isi pokok atau kesimpulan dan beberapa saran guna membantu para SFD
BAB II
HIDUP SANTO FRANSISKUS ASSISI DAN SEMANGAT KEDINAANNYA
Pada bab sebelumnya penulis telah berbicara tentang latar belakang
penulisan skripsi yang menjadi acuan dari bab berikutnya. Pada bab II ini, penulis
akan menguraikan hidup Santo Fransiskus dari Assisi dan semangat kedinaannya.
Pembahasan dimulai dengan situasi masyarakat dan Gereja yang memengaruhinya
sampai Fransiskus dari Assisi mengambil jalan kedinaan sebagai bagian inti dari
semangat hidup para pengikutnya.
A. Hidup Fransiskus Assisi
1. Kelahiran Fransiskus dan Masa Muda Fransiskus
Sesudah dua tahun wafat, penulis riwayat hidup Fransiskus yang bernama
Thomas dari Celano menulis di sebuah kertas kulit pernyataan berikut: “Di kota
Assisi hidup seorang yang bernama Fransiskus yang semenjak kecilnya dididik
orangtuanya dalam kemewahan sia-sia”. Daerah Assisi yang dimaksud, tepatnya
di lembah Spoleto (Italia) pada akhir tahun 1181 atau permulaan tahun 1182
lahirlah Fransiskus Asisi. Ayahnya bernama Pietro Bernardone, seorang pedagang
kain wol dan cukup kaya. Ibunya Donna Pica, berasal dari keluarga Perancis dan
terkemuka (Groenen, 1970: 149). Mula-mula oleh ibunya ia diberi nama Yohanes.
Sebagaimana lazimnya pada zaman itu, Fransiskus bersekolah pada seorang
imam yang bekerja di Gereja Santo Georgio di Assisi. Di sana Fransiskus belajar
membaca, menulis, menghitung dan sedikit belajar bahasa Latin. Pada usia
dewasa ayahnya meminta Fransiskus untuk ikut berdagang kain wol ke Perancis.
Selama bersama dengan ayahnya, Fransiskus tidak mempunyai bakat sebagai
pedagang. Apalagi watak Fransiskus sangat berbeda dengan ayahnya. Fransiskus
jauh lebih riang dan murah hati, gemar bersenda gurau dan suka bernyanyi.
Dalam Kisah Tiga Sahabat (K3S) diceritakan bahwa sebagai orang kaya,
Fransiskus bersama dengan kelompok sebayanya, siang dan malam hidup
berfoya-foya. Ia begitu gemar mengeluarkan uang sehingga segala apa yang
mungkin ia miliki atau peroleh sebagai laba dihabiskan dengan makan minum. Ia
adalah seorang pemboros namun murah hati pada sesamanya. Dalam berpakaian
ia sangat berlebih-lebihan (Groenen, 2000: 27-28).
Waktu berumur 20 (dua puluh) tahun Fransiskus secara aktif mengambil
bagian dalam perang yang pecah antara warga kota terutama antara para pedagang
dengan kaum bangsawan yang diam di kota Assisi. Golongan masyarakat yang
kecil atau buruh, dan termasuk kaum pedagang yang disebut “minores”
mengalahkan kaum bangsawan yang disebut “mayores” dan mengusir mereka.
Kaum bangsawan melarikan diri ke kota Perugia yang letaknya dekat Assisi dan
di sanalah mereka menyusun strategi untuk melawan. Hal itu menyebabkan
hubungan antara Assisi dan Perugia selalu bermusuhan.
Maka pecahlah perang antara kota Assisi dan Perugia tahun 1202. Kota
memihak kepada Kaisar Frederik Barbarosa II di Jerman. Fransiskus ikut dalam
serangan itu, tetapi gagal dan bersama dengan beberapa orang lain Fransiskus
masuk tawanan (Groenen, 1970: 150). Dalam tahanan yang cukup keras itu,
Fransiskus tetap mempertahankan semangat gembira dan tetap berusaha
menghibur teman-temannya. Dan dalam tahun berikutnya, ayahnya berhasil
menebusnya. Fransiskus pulang ke rumah, dan dalam beberapa hari kemudian
Fransiskus sakit keras (Groenen, 2000: 11).
Thomas dari Celano, menuliskan bahwa penyakit itu ternyata menjadi
sentuhan pertama rahmat Tuhan. Pengalaman sakit membawa pertobatan bagi
Fransiskus. Pemandangan yang indah di sekitar kota Assisi tidak lagi menarik
untuk Fransiskus. Ia merasa bahwa segalanya tidak lagi berarti apa-apa.
Orang-orang yang selama ini mengaguminya dianggapnya sebagai sebuah kebodohan.
Fransiskus mulai merenungkan arti dan tujuan hidupnya (Celano, 1984: 3).
2. Situasi Masyarakat dan Gereja di Jaman Fransiskus
Situasi masyarakat dan Gereja pada zaman Fransiskus disampaikan di sini
untuk dapat membantu memahami pertobatan Fransiskus dengan lebih baik.
a. Situasi Politik
Bruder Bram Homel, MTB (Maria Tak Bernoda) dalam catatannya pada
kursus Fransiskan bagi para novis kongregasi SFD dan MTB pada tanggal 5-12
Januari 2001 di Pati, mengatakan bahwa organisasi politik masyarakat Eropa pada
abad XI sampai abab ke XII seluruh kehidupan masyarakat terikat dalam sistem
kesetiaan kepadanya dan tuan-tuan tanah yang lebih kecil menjanjikan lagi
ketaatan kepada raja-raja itu. Antara tuan tanah dan bawahan ada ikatan perjanjian
yang mengatur semua hak timbal balik umpamanya: Bawahan wajib membayar
upeti dan atasan wajib menjamin keamanan mereka.
Setiap bangsawan memiliki sejumlah hamba yang terikat pada tuannya
seumur hidup. Biasanya mereka itulah yang menggarap tanah, mengurus rumah
dan harta serta melayani segala kebutuhan tuannya. Karena setiap tuan tanah
biasanya mencukupi kebutuhannya sendiri dari tanah yang dimilikinya.
Selain para hamba, ada juga para pegawai yang bertugas mengawasi
pekerjaan atau melayani kebutuhan atasan setempat. Dalam kelompok ini
termasuk para ksatria atau tentara bangsawan yang bertugas untuk membela dan
melindungi setiap kesatuan hidup kelompok tadi.
Selain kelompok ini dalam masyarakat masih terdapat para rohaniwan,
pedagang dan seniman. Mereka adalah orang-orang bebas yang tidak takluk
kepada tuan-tuan tanah. Mereka tidak termasuk kelompok atasan atau kelompok
hamba, tetapi dalam relasi sosial mereka lebih dekat dengan kaum atasan.
Dengan gambaran ringkas ini tampak bahwa hak dan kewajiban setiap
anggota masyarakat diatur secara ketat berdasarkan fungsi dalam relasi atasan dan
bawahan; atasan adalah penguasa dan pemilik, sedangkan bawahan adalah hamba
dan pekerja. Walaupun antara kelompok-kelompok ini ada pembagian status yang
jelas namun dalam kehidupan sehari-hari mereka saling mengisi (Homel, 2001:
Stratifikasi sosial di atas secara umum berlaku dalam wilayah kekaisaran
Roma dan Gereja. Walaupun tetap ada kerajaan-kerajaan kecil yang berusaha
mempertahankan wilayah dan kekuasaan sendiri. Persaingan antara kelompok
tuan tanah dan kelompok lain pun sering memicu permusuhan dan peperangan
antara kelompok atau daerah yang satu dengan kelompok atau daerah yang lain.
Karena persaingan itu masing-masing kelompok berusaha berasosiasi dengan
daerah atau kelompok lain untuk menguatkan posisinya. Untuk mencapai tujuan
tertentu suatu daerah atau kota dapat menarik kembali dukungannya dan
mendukung pihak lain. Maka dapat terjadi bahwa Assisi yang semula mendukung
Kaisar Jerman sebagai penguasa tertinggi, setelah berontak terhadap penguasa
lokal menempatkan diri di bawah perlindungan pihak kepausan (Groenen, 1970:
150).
b. Situasi Ekonomi
Pertumbuhan jumlah para pedagang dan tukang-tukang yang profesional
cenderung membentuk pusat-pusat di kota-kota dan memotori suatu
pembaharuan. Mereka menuntut hak-hak tertentu dari penguasa lokal, seperti hak
untuk melindungi kota mereka dengan tembok benteng dan memprotes pungutan
pajak (upeti) yang terlalu tinggi. Di Italia Utara dan Tengah yang padat
penduduknya dan perdagangan maju, perkembangan ini menghasilkan
konflik-konflik antara penduduk kota dan penguasa atau bangsawan setempat.
Kota menjadi pusat perdagangan, ilmu pengetahuan, dan kesenian serta
perdagangan maka uang pun menjadi makin penting. Sistem barter makin beralih
ke ekonomi uang. Dengan demikian tanah sebagai milik utama dalam masyarakat
feodal agraris mulai diganti dengan uang walaupun tanah masih tetap menjadi
milik utama (Homel, 2001: 5).
c. Situasi Gereja
Pada zaman Fransiskus Assisi, Gereja menjadi bagian tak terpisahkan dari
situasi masyarakat. Para uskup dan pemimpin biara (Abas) seringkali berperan
sebagai tuan tanah yang wajib menjanjikan kesetiaan kepada seorang raja.
Peran ganda sebagai pemimpin rohani dan pemimpin politik berakibat pada
Gereja dalam konflik. Sedangkan kehidupan beragama orang banyak dikaburkan
oleh beberapa aliran bidaah yang mengkritik pola hidup para pejabat Gereja, dan
menyebarkan ajaran sesat. Mereka ini disebut sebagai kelompok Kathar.
Pengampunan dosa berat seringkali hanya dapat diperoleh dengan
mengadakan ziarah ke makam-makam suci (Yerusalem, Roma, Compostella dan
lain-lain). Para peziarah dan pentobat atau peniten, serta para pedagang dan
trubador (penyanyi keliling) ikut menyebarluaskan berita dan ajaran baru itu.
Pelayanan tradisional di sekitar biara-biara pedesaan kurang mampu
menjangkau dan membina orang kota yang lebih berpengalaman dan terpelajar.
Dalam hidup beragama devosi kepada para santo dan santa mendapat peranan
penting. Mereka yang dekat dengan Allah pemilik dan penguasa atau raja alam
semesta dianggap sakti dan mampu untuk melindungi berbagai usaha dan
uskup pertama Assisi dan Vitorino uskup Assisi yang kedua. Relikwi
diperlakukan sebagai jimat yang memiliki kekuatan luar biasa dan hari peringatan
perlindungan dirayakan sebagai pesta rakyat dengan berbagai acara dan atraksi
(Homel, 2001: 5).
3. Panggilan Fransiskus
Kira-kira usia 20 (dua puluh) tahun, tepatnya pada tahun 1201, Fransiskus
memulai perjalanan ke Apulia, dan dalam perjalanan ia jatuh sakit dan beristirahat
sejenak di Spoleto. Dalam istirahatnya, ia bermimpi dikunjungi oleh Tuhan. Dia
mendengar ada suara yang bertanya tentang maksud perjalanannya. Fransiskus
mengutarakan maksud dan tujuan dari rencananya untuk menjadi seorang ksatria.
Suara itu pun bertanya lagi, “Siapa yang dapat memberi lebih banyak, tuan atau
hamba?” Fransiskus menjawab, “Tentu saja tuan”. Kalau begitu mengapa engkau
meninggalkan tuan dan menggantinya dengan hamba? Sekarang pulanglah ke
tempatmu, di sana akan disampaikan kepadamu apa yang harus kau buat” jawab
suara itu (Groenen, 2000: 36-37). Panggilan ini mengajak Fransiskus untuk
semakin meniti hatinya dan bermawas diri dalam hidup.
Penglihatan itu membuatnya berbalik pulang dan kebingungan. Fransiskus
terus merenungkan arti dari penglihatan itu. Selama masa penyembuhan,
Fransiskus mulai kehilangan selera akan dunia bisnis, sehingga membuat ayahnya
khawatir, ia menjadi semakin haus akan hal-hal rohani (Talbot, 2007: 256).
Fransiskus semakin percaya bahwa Allah merencanakan sesuatu untuk
Damiano dan berdoa mohon petunjuk atas apa yang ia alami belakangan ini. Dan
dari atas salib Fransiskus mendengar suara Yesus: “Fransiskus, pergilah dan
perbaikilah rumah-Ku seperti yang kamu lihat telah rusak”. Fransiskus
melaksanakan perintah ini secara harafiah, memperbaiki gedung gereja yang mau
roboh (Marpaung, 2009: 26). Fransiskus membuang semuanya lalu mulai
mengemis untuk membeli batu dan membangun kembali gereja tersebut dan dua
gereja lainnya hingga menyadari maksud dari Yesus (Talbot, 2007: 256).
Fransiskus berubah, ia selalu mencari waktu untuk berdoa, hingga
menemukan suatu kedamaian di dalam lubuk hatinya (Bodo, 2002: 16). Dalam
buku 1 Celano II. 3, Ia memandang dirinya rendah dan meremehkan segala
sesuatu yang dulu dianggapnya manis. Fransiskus mulai menemukan Kristus
dalam dirinya. Semua harta ia tinggalkan demi harta yang abadi. Perubahan itu
mendorong Fransiskus untuk melayani orang miskin dan orang sakit, terlebih
orang kusta (Groenen, 2000: 41). Dia semakin bermurah hati dengan orang
miskin. Bahkan ia rela memberikan apa yang dia miliki demi orang miskin dan
sakit.
Perubahan Fransiskus yang paling menarik adalah saat perjumpaannya
dengan orang kusta. Ia memeluk dan mencium orang sakit kusta: “Apa yang dulu
dirasa pahit yaitu melihat dan menjamah orang kusta, berubah menjadi manis”
(Groenen, 2000: 48).
Fransiskus mengajukan anggaran dasarnya ke Paus sebagai kelompok
Minor. Dalam kamus Latin, istilah minor artinya kecil. Kata minor bila
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia artinya adalah dina. Dalam konteks
semangat Fransiskan, minor artinya dina, rendah, hina, tidak setara dengan lain.
Fransiskus menjadikan hidupnya fratrum minorum yang artinya saudara dina.
Fransiskus dalam anggaran dasar tanpa bulla mengatakan: "Tidak seorang pun
boleh disebut ‘prior’, tetapi semuanya mesti disebut ‘saudara dina’. Dan mereka
harus saling mencuci kaki" (AngTBul 6:3). Fransiskus menyebut ordonya adalah
frater minor. Minores adalah Assisi sedangkan Mayor diidentik dengan kota
Perugia (Groenen, 2000: 35-37).
Kedinaan atau Dina adalah merupakan suatu sikap atau cara untuk berada di
hadapan Allah Yang Mahatinggi (Iriarte, 1995: 111). Dalam Anggaran Dasar
Tanpa Bulla (AngTBul) disebutkan bahwa kedinaan berarti, “Menjadi yang lebih
rendah dan tunduk kepada semua orang” (AngTBul 7:2). Selain itu dina juga bisa
diartikan sebagai kekecilan dan ketelanjangan di hadapan Allah. Ketelanjangan
sama dengan ungkapan kemiskinan yang paling luhur di hadapan Allah (Kelana,
2007: 11-13). Dan Thomas Celano menuliskan dina sama dengan rendahan, dan
tunduk pada orang lain, dengan selalu mencari tempat kerja yang dipandang hina,
dan melakukan tugas yang hina (1 Cel XV, 38), yang berarti mengarah pada suatu
bentuk atau corak pelayanan pada sesama. Jadi konsep kedinaan ini bila dikaitkan
dengan pelayanan sebagai saudara, kerendahan hati dan sifat tunduk. Pendorong
dilayani tetapi untuk melayani (Mat 20:28). Karena itu, diperlukan sikap,
“menyangkal diri” (AngTBul No. 4).
Kedinaan juga mengandung makna sikap sederhana, rendah hati, jujur, tidak
pongah atas keutamaan besar atau usaha dan upaya luhur. Terutama sekali tidak
memandang diri sendiri lebih sempurna dari orang lain. Tentang dirinya
Fransiskus berkata ‘orang yang tak layak, lemah, hina dan hamba dari semuanya’.
Dalam surat-suratnya kepada seluruh ordo (SurOr) terbaca bagaimana dia
menempatkan diri pada ‘kaki’ orang, ‘mahluk Tuhan Allah yang tak pantas’
(SurOr No. 47; dan AngTBul No. 7); ‘kami tidak terpelajar dan menjadi bawahan
orang’ (Was 19).
Dina adalah nama kelompok pertapa dari Assisi, tapi Fransiskus merasa
tidak tepat juga dengan sebutan itu bagi ordonya. Dalam hal ini Fransiskus
sungguh terinspirasi dengan bacaan dari Injil Matius tentang “gila hormat tapi,
enggan untuk melayani” (bdk. Mat 23:6-11).
Mengenai asal mula pemberian nama ini dikatakan: Sudah dari awal
Fransiskus ingin menyebut para pengikutnya sebagai saudara dina (minor)
sehingga langsung dituliskannya dalam Anggaran Dasar (AngBul 1:1). Makna
dari "kedinaan" ialah "menjadi bawahan semua orang" (Was 19). "Mereka
menjadi 'dina' dengan tunduk kepada semua orang. Mereka mencari tempat
terakhir; melakukan pekerjaan dina dan bersedia menanggung kekerasan majikan.
Ini mereka lakukan dengan tekad menempatkannya atas dasar-dasar yang mantap
kerendahan hati sejati bangunan rohani, yang menggumpal pada satu arkitektur
hubungannya dengan "kerendahan hati". Puncak dari pengalaman kerendahan hati
ini diungkapkan Fransiskus:
Sebagai superior saya mengadakan kapitel dan memberikan pengarahan dan mengutarakan pandangan. Dan pada akhirnya orang berkata: 'Engkau tak perlu lagi bersama kami, sebab engkau tidak terpelajar, tak memiliki bakat bicara, tak berbudaya, engkau dina'. Saya diusir dengan kasar, diejek di mana-mana. Saya berkata, sekiranya saya tidak sanggup menerimanya dengan tabah, dengan kegembiraan batin serta tetap bertekad mengusahakan kekudusan, saya sama sekali bukan lagi Saudara Dina (LM 6:5).
b. Latar Belakang Pemilihan Nama Ordo
Cara hidup Fransiskus menarik perhatian banyak orang dari berbagai lapisan
masyarakat dan mereka mau mengikuti Fransiskus dan hidup seperti dia, dalam
persaudaraan Injili Fransiskus.
Setiap hari bertambahlah jumlah orang yang mengikuti Fransiskus. Maka
ditulisnyalah sebuah aturan hidup yang disebut dengan Anggaran Dasar bagi
dirinya sendiri pun bagi saudara-saudara yang telah ada sekarang dan yang akan
datang secara sederhana dan singkat (1 Cel, XIII, 32).
Fransiskuslah yang pertama-tama menyebut dan memberikan nama Ordo
Saudara Dina pada persaudaraan yang selama ini ia bangun. Dalam anggaran
dasar yang ditulisnya: “Dan mereka hendaklah menjadi rendahan atau sama
dengan dina’, dan mereka sungguh-sungguh adalah dina, yang tunduk pada orang
lain, selalu mencari tempat kerja yang dipandang hina, dan melakukan tugas yang
hina dan tidak diperhitungkan oleh orang lain (1 Cel, XV, 38).
Dengan menekankan keutamaan kesederhanaan dan kerendahan hati,
Fransiskus memutuskan bahwa pengikutnya harus disebut “Ordo Saudara Dina”.
“Ordo Saudara Dina adalah kawanan kecil, yang tentang Putra Allah telah memohon kepada Bapa Surgawi dengan berkata, ‘Bapa Aku menghendaki agar Engkau sudi membentuk dan memberikanku orang-orang baru dan rendah hati pada masa terakhir ini, yang tidak akan serupa dengan pendahulu mereka dalam kerendahan hati dan kemiskinan dan hanya senang memiliki Aku saja’. Bapa berkata kepada Putra terkasih, Anakku, terjadilah seperti yang Kau minta” (Dister, 2000: 95).
Demikianlah, Fransiskus yang terberkati itu menyakini bahwa Allah
sungguh berkenan bahwa mereka harus disebut sebagai saudara-saudara dina.
Maka pada tahun 1209, Fransiskus bersama beberapa saudara berangkat ke Roma
untuk bertemu dengan Paus Innosensius III guna mendapatkan pengesahan dan
persetujuan dari tahta suci tentang cara hidup Anggaran Dasar.
Setelah menjelaskan cara dan bentuk hidup yang mau mereka hidupi,
akhirnya Paus menyetujui cara hidup dan anggaran dasar secara lisan. Maka pada
tahun 1210 lahirlah ordo Fransiskus dari Assisi dengan Anggaran Dasar yang
Tanpa Bulla dengan disingkat ‘AngTBul’. Fransiskus mengusulkan kepada
pengikutnya supaya menamakan diri Saudara-saudara Dina (Frater Minores)
(Groenen, 2000: 33-35).
c. Dasar Biblis sebagai Pilihan Kedinaan
Berkat kesaksian hidup Fransiskus, banyak orang yang mau mengikutinya.
Namun ia mulai bingung dengan saudara baru itu. Maka ia dan saudara baru pergi
ke gereja Santo Nikolaus untuk menanyakan kepada Tuhan perihal hidup mereka.
Lalu Fransiskus membuka Injil tiga kali, dan menemukan ayat-ayat berikut ini:
Kalau kamu hendak sempurna, pergilah dan juallah segala milikmu, dan
Injil lagi dan menemukan ayat dengan bunyinya: Janganlah membawa apa-apa
dalam perjalanan (Luk 9:3). Serta untuk yang ketiga kali, Fransiskus menemukan:
Siapa hendak mengikuti Aku, ia harus menyangkal dirinya dan memikul salibnya
lalu mengikut Aku, (Mat 16:24) (Marpaung, 2009: 32).
Secara biblis, Fransiskus menetapkan Injil Matius 10:7-10 sebagai pedoman
dan arah hidup guna meneruskan cita-citanya. Mewartakan Kerajaan Surga sudah
dekat. Dalam Injil ini, Yesus mengajarkan para murid-Nya bahwa mereka harus
pergi mewartakan Kerjaan Allah, namun mereka dilarang untuk membawa uang,
tongkat atau memakai sepatu (Marpaung, 2009: 30). Dalam kutipan Injil tersebut
jelas dikatakan bahwa Yesus mengutus murid-murid-Nya untuk mentahirkan
orang kusta. Ini sangat cocok dengan apa yang dicari dan dirindukan oleh
Fransiskus.
Untuk memahami dasar biblis dari kedinaan, Fransiskus memandang dan
menghadap Allah. Fransiskus sungguh menghayati keluhuran dan kemuliaan
Allah. Di hadapan Allah yang mahakuasa, dan mahatinggi Fransiskus merasa
kecil, takluk bahkan takut. Katanya: “Allah yang Mahakuasa, Mahatinggi,
Mahakudus dan Mahamulia, Tuhan, Raja surga dan alam, kami bersyukur demi
Engkau sendiri” (AD 1221, 23). Dalam pandangan Fransiskus tampak perpaduan
yang sempurna antara kebesaran dan kebaikan Allah.
Secara konkret kebaikan Allah hadir dalam Putra yang menjelma menjadi
manusia bahkan hidup di tengah-tengah manusia. Fransiskus melihat Allah
melalui Yesus Kristus, tidak membedakan di dalam Kristus itu keallahan dan
mendatangkan sikap hormat, kagum bahkan ia mencintai Kristus. Kristus yang
dimaksud Fransiskus sebagaimana tertera dalam Injil bahkan seluruh Perjanjian
Baru yakni Kristus sebagaimana Ia nyata sebagai Putera Allah yang menjadi
manusia, tetap Allah dan tetap manusia. Kristus adalah penampakan Allah
(Groenen, 1970: 47-48).
Diri Kristus itu, Kristus dari Injil, meresap seluruh jiwa dan hidup
Fransiskus, sehingga ia nampak kepada orang sezamannya sebagai Kristus yang
lahir (I Cel. 112). Diri Kristus sebagai kebaikan Allah dirangkum oleh Fransiskus
lewat Kitab Suci terutama tulisan Paulus kepada Jemaat di Filipi yang
mengatakan bahwa Kristus “yang mengosongkan diri-Nya sendiri dan
mengambil rupa seorang hamba. Ia merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati,
bahkan sampai mati di salib" (Flp 2:7-8).
Tindakan pengosongan diri bermula dari kerelaan menjadi manusia rendah
yang mengambil wujud sebagai manusia. Peristiwa pengosongan diri Kristus
menjadi dasar kedinaan yang patut dihayati dalam hidup secara konkret. Kepada
para pengikutnya, Fransiskus berkata:
Dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga. Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri dan menjadi sama dengan manusia. Dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan mati di salib (Flp 2:4-8) (2 Cel 18).
Dalam kesempurnaan-Nya, Kristus rela menghampakan diri-Nya sebagai
manusia biasa. Ia yang adalah Putra Bapa, menjadi serupa dengan manusia tanpa
manusia yang memuncak pada misteri salib (O’Collins dan Farrugia, 1996:
138-139). Misteri ini biasa disebut misteri pengosongan diri Kristus atau “Kenosis”.
Sekalipun peristiwa kenosis tidak semata berdimensi kristologis, namun
juga tidak lepas dari perananRoh Kudus. Kenosis, sehubungan dengan kodrat
manusia, berarti seruan terus menerus kepada Roh Kudus danpenyangkalan
diriterhadap hasrat dan kehendak pribadi. Berkenaan denganKristus,
pengosongan diri (kenosis) dariPutra Allahberupa suatu perendahan diri dan
pengorbanan untuk penebusan dan keselamatan semua umat manusia.Manusia
juga dapat berpartisipasi dalam karya keselamatan Allah melalui suatu proses
transformasi yang bertujuan menjadiserupa dengan Allah(theosis), yakni
menjadikudusdengan pertolongan rahmat Allah.
Oleh karena itu kenosis merupakan suatuparadoksdanmisterikarena
"mengosongkan diri" sebenarnya berarti mengisi diri seseorang dengan anugerah
ilahi dan menghasilkan baginya persatuan dengan Allah. Sebagai inti pokok dari
kehidupan berimannya, bagi Fransiskus peristiwa kenosis menjadi peristiwa yang
perlu dilakukan secara terus menerus sampai pada tindakan menyerupai Kristus.
B. Pengalaman Kedinaan Santo Fransiskus
Setelah mendengar Injil Matius 10:7-10, Fransiskus sangat bersukacita
mendengarnya bahkan dalam catatan dari Thomas Celano dijelaskan, bahwa
Fransiskus mengungkapkan kegembiraannya dalam Roh Allah dengan berkata:
“Inilah yang aku cari, dan inilah yang ingin kulakukan dengan segenap hatiku” (1
Isi teks ini adalah mengenai perutusan para Rasul yang diutus oleh Yesus
kepada domba-domba yang hilang. Tugas Fransiskus dan saudaranya adalah
mewartakan bahwa “Kerajaan surga sudah dekat”, menyembuhkan orang sakit,
membangkitkan orang mati, mentahirkan orang kusta, dan mengusir setan
(Marpaung, 2009: 31).
Percikan api cinta terhadap Tuhan telah menyulut sebuah unggun api yang
membakar habis semua rasa acuh tak acuh dan menyalakan iman yang radikal
tanpa kompromi. Hasrat Fransiskus menit demi menit adalah untuk mengikuti
semakin dekat, sebagaimana ditulis dalam doanya bagi para pengikut gerakannya:
Tuhan yang mahakuasa, abadi, adil dan pengampun, ijinkan kami dalam kesengsaraan agar kami bisa melakukan bagi Engkau semata apa yang Engkau inginkan kami lakukan, dan senantiasa rindu akan apa yang menyenangkan hati-Mu, sehingga dengan hati yang bersih dan tercerahkan serta menyala-nyala oleh kuasa Roh Kudus, kami bisa mengikut jejak Putra-Mu, Tuhan kami Yesus Kristus, sehingga membawa kami kepada-Mu (Tallbot, 2007: 7).
Dalam peristiwa hidupnya, Fransiskus mau melakukan isi Kitab Suci
seradikal mungkin. Maka ketika ia mendengar dan memahami Sabda Allah,
Fransiskus langsung mempraktekkannya dalam hidupnya sendiri. Baginya Firman
itu adalah kehidupan. Kalau orang tidak menghayati Firman, itu berarti orang
menghindarkan diri dari hidup nyata (Bodo, 2002: 91). Hal tersebut dapat di lihat
dari beberapa peristiwa yang dilakukan oleh Fransiskus untuk menunjukkan sikap
radikalnya terhadap teks Injil di atas.
Pada suatu hari ketika Fransiskus sedang khusuk berdoa kepada Tuhan, ia
mendapat jawaban ini: Hai Fransiskus, segala apa yang secara manusiawi engkau
cintai dan ingin engkau miliki, mesti engkau pandang rendah, dari apa yang
dahulu kau jijikkan akan kau tarik kemanisan besar dan kenikmatan yang tak
terukur (1 Cel, VII, 17).
Karenanya Fransiskus merasa gembira dan dikuatkan oleh Tuhan. Dalam suasana batin yang demikian itu Fransiskus naik kuda dan bertemu dengan orang kusta. Biasanya ia merasa sangat jijik terhadap orang kusta, namun kali ini sungguh luar biasa, Fransiskus merasakan suatu kemanisan dan suka cita. Ia turun dari kuda, memberi mata uang kemudian mencium tangan si sakit. Sejak saat itulah Fransiskus mulai memandang rendah dirinya. Selang beberapa hari, dengan membawa banyak uang Fransiskus pergi ke tempat penampungan orang kusta. Ia mengumpulkan mereka semua dan memberi masing-masing sedekah sambil mencium tangan orang sakit itu. Ketika meninggalkan tempat itu, apa yang dahulu pahit rasanya, yaitu melihat dan menjamah orang kusta, sudah berubah menjadi manis (K3S 11).
2. Peristiwa Kapel San Damiano
Pada suatu hari Fransiskus hendak berdoa di padang dan berjalan di dekat
gereja San Damiano, yang terancam keruntuhannya karena amat tuanya, maka ia
[image:50.595.85.515.241.614.2]merasa terdorong untuk masuk ke dalam dan untuk berdoa. Ia bersujud di depan
gambar Yang tersalib dan sementara ia berdoa, ia diliputi dengan hiburan rohani
yang berlimpah-limpah. Ketika ia dengan mata yang berlinang-linang memandang
kepada salib Tuhan, maka didengarnya, dengan telinganya sendiri suara dari salib
itu, yang sampai tiga kali berkata: “Fransiskus, pergilah dan perbaikilah
rumah-Ku, yang seperti kau lihat bobrok seluruhnya ini!” (Bonaventura, II. 1).
Fransiskus gemetar, karena ia seorang diri di dalam gereja dan terperanjat
ucapan Ilahi itu, maka ia sangat terpesona. Akhirnya ia sadar lagi dan segera
menyiapkan diri untuk menaati perintah itu (Groenen, 2000: 53).
3. Perjumpaan dengan Allah di Jalan Assisi dan dalam Doa
Setelah kembali ke kota Assisi, selang beberapa hari oleh teman-temannya
Fransiskus terpilih menjadi ketua. Maka disuruhnya menyediakan suatu pesta
besar-besaran, seperti sering dibuatnya dahulu. Setelah kenyang mereka keluar
rumah, dan teman-temannya mendahului Fransiskus berkeliling sambil bernyanyi.
Ia tidak bernyanyi tapi asyik bermenung. Tiba-tiba ia disentuh oleh Tuhan dan
hatinya dipenuhi dengan kemanisan begitu hebat, sehingga ia tidak dapat lagi
merasa atau mendengar apa-apa kecuali kemanisan itu. Ia tersentak dari rasa
badani begitu rupa, seperti dikemudian hari dikatakannya sendiri sehingga tidak
dapat bergerak dari tempat itu kalau seandainya ia dicincang-cincang sekalipun
(K3S 7). Sejak saat itu Fransiskus mulai memandang dirinya rendah dan
meremehkan segala apa yang sebelumnya ia gemari, tapi belum seluruhnya,
namun demikian ia banyak mengundurkan diri dari keramaian dunia (K3S 8).
C. Kerendahan Hati Santo Fransiskus Assisi, dan Injil Sumber Hidup Fransiskus
1. Kerendahan Hati Santo Fransiskus Assisi
Misteri Allah sebagai sumber hidup berasal dari peristiwa Sabda Allah
menjadi Daging. Penjelmaan Yesus tersebut menjadi tanda pengosongan diri
harus dihayati dan bila perlu memperagakan pengosongan itu karena bagi
Fransiskus penjelmaan Allah menjadi manusia merupakan bentuk konkret dari
Kerendahan Hati Allah yang layak dicontoh.
Untuk memahami pengosongan diri Allah, Santo Fransiskus memperagakan
peristiwa penjelmaan Allah menjadi manusia di kota kelahirannya dengan
memperagakan dan merayakan natal yang hidup.
Kesadaran bahwa Allah yang menjelma menjadi manusia yang
meninggalkan kemahakuasaanNya membuat Fransiskus rela menanggalkan
pakaian yang berasal dari Ayahnya yang bernama Pietro Bernadone di depan
Uskup Guido.
2. Injil Sumber Hidup Santo Fransiskus Assisi
Allah menjadi sumber hidup bagi Santo Fransiskus. Ia selalu menyempatkan
diri untuk merenungkan Allah yang berbicara lewat Kitab Suci teristimewa dalam
Injil. Pun Ekaristi yang menjadi tanda kehadiran Allah yang dapat dilihat oleh
kita. Injil dan Ekaristi menjadi posisi sentral bagi hidup Fransiskus. Dalam
wasiatnya (Was), Fransiskus menulis: “Sesudah Tuhan memberi aku sejumlah
saudara, tidak seorang pun yang menunjukkan kepadaku apa yang harus aku
perbuat, tetapi Yang Mahatinggi sendiri mewahyukan kepadaku, bahwa aku harus
hidup menurut pola Injil Suci” (Was 14).
Setiap kali membuka Kitab Suci, Fransiskus bersuka cita dan bersyukur
kepada Allah. Ia merasa mendapat peneguhan dari apa yang diniatkannya.
suka cita kepada semua orang terutama kepada orang miskin. Bagi Fransiskus
Injil adalah jalan menuju Allah (1 Cel, 24-25). Fransiskus pun sering mengartikan
Injil secara harafiah.
Bagi Fransiskus sabda Allah merupakan tonggak penuntun arah dalam
hidupnya dan pengikutnya. Maka dalam merenungkan ini dibutuhkan cinta kasih
dan kerendahan hati yang dalam, karena hal ini merupakan sumber pengetahuan
mengenai Allah dan diri sendiri (2 Cel, 102).
D. Kedinaan Santo Fransiskus dan para Saudaranya, serta Allah Yang Dina dalam Semangat Fransiskan
1. Kedinaan Santo Fransiskus dan Para Saudaranya
Tuhan sendiri telah menjadi hina dina, maka Fransiskus merasa bahwa dia
harus juga menjadi dina. Karena Tuhan sendiri telah merendah dan merunduk,
maka tidak ada lagi alasan bagi Fransiskus untuk tidak merendah dan merunduk
seperti Tuhan. Hidup Kristus yang dihayatinya membawa perubahan besar bagi
diri Fransiskus. Dia menjadi dina dan bebas bagi semua mahluk dan sesama. Ini
jualah yang diungkapkan dalam penghayatannya.
Kepada para pengikutnya, Fransiskus sangat tegas menekankan sikap
rendah hati ini. Ini dengan jelas dikatakan dalam Surat kepada seluruh Ordo
artikel (untuk selanjutnya disingkat dengan SurOr) 28: Saudara-saudara,
pandanglah perendahan diri Allah itu dan curahkanlah isi hatimu di hadapan-Nya;
rendahkanlah dirimu, agar kamu ditinggikan oleh-Nya (SurOr 28). Jadi, alasan
Anggaran Dasarnya ia mengatakan bahwa Tuhan sendiri telah membuat diri-Nya
menjadi miskin di dunia ini bagi kita. Melihat, menyadari, mengagumi dan
mengalami kerendahan Tuhan itu merupakan, bagi Fransiskus, suatu penemuan
harta karun yang sangat berharga. Dan setelah ditemukan, maka ia ingin
memilikinya, dan untuk itu perlu merendahkan diri dan melepaskan segalanya.
a. Kedinaan Santo Fransiskus
Santo Fransiskus telah menggali dan menemukan kerendahan dan kedinaan.
Karena itulah ia menyebut dirinya sebagai hamba yang kecil. Hamba dan
bawahan, hamba semua orang, hamba yang kecil dan ternista dalam Tuhan Allah,
orang yang hina dan rapuh, hamba yang kecil, dan makhluk Tuhan yang tak
pantas, orang yang paling kecil dari antara para hamba Allah.
Fransiskus memilih kemiskinan dan kedinaa