• Tidak ada hasil yang ditemukan

VALIDITAS SKOR TARDIVO UNTUK MEMPREDIKSI TERJADINYA AMPUTASI PADA KAKI DIABETES DI RSUP SANGLAH.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "VALIDITAS SKOR TARDIVO UNTUK MEMPREDIKSI TERJADINYA AMPUTASI PADA KAKI DIABETES DI RSUP SANGLAH."

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

VALIDITAS SKOR TARDIVO UNTUK MEMPREDIKSI

TERJADINYA AMPUTASI PADA KAKI DIABETES DI

RSUP SANGLAH

D. P. OKA PERTAMA

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

(2)

TESIS

VALIDITAS SKOR TARDIVO UNTUK MEMPREDIKSI

TERJADINYA AMPUTASI PADA KAKI DIABETES DI

RSUP SANGLAH

D. P. OKA PERTAMA NIM 1014028208

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(3)

VALIDITAS SKOR TARDIVO UNTUK

MEMPREDIKSI TERJADINYA AMPUTASI PADA

KAKI DIABETES DI RSUP SANGLAH

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik

Program Pascasarjana Universitas Udayana

D. P. OKA PERTAMA NIM 1014028208

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(4)

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 28 APRIL 2016

Mengetahui Pembimbing I,

Dr. dr. Ketut Putu Yasa, Sp.BTKV NIP 19601115 198702 1 002

Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana

Universitas Udayana,

Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, Sp.GK NIP19580521 198503 1 002

Direktur

Program Pascasarjana Universitas Udayana,

Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp.S (K) NIP 19590215 198510 2 001

Pembimbing II,

(5)

Tesis Ini Telah Diuji Pada Tanggal 28 April 2016

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, No 1898/UN14.4/HK/2016

Tanggal 25 April 2016

Penguji :

1. Dr. dr. Ketut Putu Yasa, Sp.BTKV 2. Prof. dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH, Ph.D 3. Dr. dr. Nyoman Golden, Sp.BS (K)

(6)

ABSTRAK

VALIDITAS SKOR TARDIVO UNTUK MEMPREDIKSI TERJADINYA AMPUTASI PADA KAKI DIABETES DI RSUP SANGLAH

Penyakit kaki diabetes merupakan komplikasi yang sering timbul pada penyakit diabetes. Ulkus kronis yang timbul pada penyakit kaki diabetes, dapat ditangani dengan perawatan luka sederhana, modern dressing, debridement, dan amputasi. Skor Tardivo adalah suatu algoritma, untuk memprediksi amputasi pasien dengan ulkus kaki diabetes. Perhitungan skor Tardivo berdasarkan pada tiga variabel yaitu klasifikasi Wagner, tanda tanda Peripheral Artery Disease (PAD) yang dinilai berdasarkan Peripheral Artery Disease Classification dan lokasi dari ulkus.

Penelitian ini adalah uji diagnostik pada pasien kaki diabetes yang memenuhi kriteria inklusi. Dilakukan observasi selama 3 bulan sejak pertama kali terdiagnosis kaki diabetes dan dilakukan penghitungan skor tardivo pada awal observasi, setelah 3 bulan dilakukan evaluasi apakah dilakukan amputasi pada ekstremitas bawah. Analisa menggunakan tabel 2x2 untuk menentukan sensitivitas dan spesifisitas, analisa kurva ROC untuk menentukan cut off dengan sensitifitas dan spesifisitas terbaik.

Sebanyak 26 pasien memenuhi kriteria inklusi dengan rata-rata umur 54 tahun (42-70), 17 (65,38%) diantaranya adalah laki-laki. Sebagian besar pasien kaki diabetes Wagner 4 (65,38%), Wagner 3 (30,77%), Wagner 2 (3,85%). Sebanyak 14 pasien (53,9%) mengalami amputasi, sebagian besar pada kaki diabetes Wagner 4 (n=13, 76%). Gejala PAD ditemukan pada 10 (38,46%) pasien dan seluruhnyas mengalami amputasi. Analisa kurva ROC menunjukkan cut off point 16 memiliki sensitifitas dan spesifisitas terbaik yaitu 85,71% dan 91,67%.

Pasien kaki diabetes dengan skor Tardivo > 16 sebaiknya dilakukan amputasi, sedangkan skor <16 masih memiliki kesempatan untuk sembuh tanpa perlu dilakukan amputasi.

(7)

ABSTRACT

THE VALIDITY OF TARDIVO SCORE TO PREDICT AMPUTATION ON DIABETIC FOOT IN SANGLAH PUBLIC GENERAL HOSPITAL

Diabetic foot is one of the common complication of diabetes. Chronic ulcer on diabetic foot usually treated with simple dressing, debridement, and last option is amputation. Tardivo score is an algorithm that could predict amputation on diabetic foot patient. Calculation of the score is based on three main factors: Wagner classification, signs of peripheral arterial disease (PAD), which is evaluated by using Peripheral Arterial Disease Classification, and the location of ulcers.

This diagnostic study observed patients with diabetic foot within 3 month. The Tardivo score was calculated during the first day of observation, and the outcome was observed at the end of observation. Data then analyzed using 2x2 table, the best sensitivity and specificity was evaluated using ROC curve.

Twenty six patients meet the criteria of inclusion with an average age of 54 years (42-69), 17 (65,38%) were male. Most of the diabetic foot patient were wagner 4 (65,38%), Wagner 3 (30,77%), Wagner 2 (3.85%). Fourteen patients (53,9%) had amputation at the end of observation, and most were Wagner 4 (n = 13, 76%). Clinical symptoms of PAD found on 10 (38,46%) patients and all patients with symptoms of PAD suffered amputation. The ROC curve analysis shows the cut off point 16 have the best sensitivity and specificity was 85.71% and 91,67% (CI=95%).

Diabetic foot patients with a Tardivo score ≥16 preferably performed an

amputation, while the score < 16still has an opportunity to recover without the need for amputation.

(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

Pertama-tama penulis ingin memaanjatkan puji syukur kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena atas asung kertha wara nugrahanyha penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Validitas Skor Tardivo Untuk Memprediksi Terjadinya Amputasi Pada Kaki Diabetes Di Rsup Sanglah".

Tesis ini adalah salah satu persyaratan dalam menempuh Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Bedah Umum di Departemen/SMF Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar. Terima kasih yang tidak terhingga dan penghargaan yang setinggi–tingginya saya haturkan kepada: Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD, selaku rektor Universitas Udayana yang telah memberikan kesempatan belajar di universitas yang beliau pimpin.

Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K), selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana atas kesempatan yang diberikan untuk menjadi mahasiswa Program Combined Degree Program Studi Ilmu Biomedik pada Program Pascasarjana Universitas Udayana.

(9)

telah memberikan inspirasi, bimbingan, dan nasehat sehingga mempermudah saya dalam menyelesaikan tesis ini.

Prof. dr. N.Tigeh Suryadhi, MPH, Ph.D selaku pembimbing kedua dalam penelitian ini yang telah memberikan bimbingan dan masukan untuk memperlancar penyelesaian tesis ini.

Prof. Dr. dr. Sri Maliawan, Sp.BS (K) selaku Kepala Departemen/SMF Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis di program studi Bedah Umum.

dr. Ketut Wiargitha, Sp.B (K) Trauma selaku Ketua Program Studi Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar dan dr. Putu Anda Tusta Adiputra, Sp.B (K) Onk. Sebagai Sekretaris Program Studi Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar yang memberikan dukungan dan semangat dalam menyelesaikan pendidikan.

dr. Anak Ayu Sri Saraswati, M. Kes selaku Direktur Utama RSUP Sanglah Denpasar yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk belajar di lingkungan rumah sakit yang beliau pimpin.

Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT (K) selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang telah memberikan saya kesempatan untuk mengikuti pendidikan spesialis Bedah Umum di fakultas yang beliau pimpin.

(10)

dengan penuh dedikasi dan kesabaran telah banyak memberikan bimbingan dan dukungan kepada saya selama mengikuti pendidikan Bedah Umum dan dalam menyelesaikan tesis ini.

Orang tua saya, dr I Putu Kertiyasa, Sp.B (alm), Ni Made Sartini, Istri saya dr. Luh Yuni Wiandari, Putra Saya D. P. Jayendra Putra Wiatama. Atas cinta kasih, motivasi, dan dukungan yang tiada henti selama saya menjalani pendidikan dokter spesialis dan penyusunan tesis ini

Seluruh staf dan paramedis di Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah, Ruangan perawatan Bedah, poliklinik Bedah, Instalasi Rawat Darurat Bedah, seluruh staf sekretariat Bedah, RSUP Sanglah Denpasar serta Rekan-rekan Residen yang selama pendidikan saling bahu-membahu dan saling bekerjasama selama pendidikan sehingga tesis ini dapat terlaksana.

Akhir kata, semoga tesis ini dapat bermanfaat, dan mohon maaf atas segala kekurangan.

Denpasar, 28 April 2016

(11)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

PRASYARAT GELAR ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... iv

SURAT KETERANGAN BEBAS PLAGIAT ... v

UCAPAN TERIMA KASIH ... vi

DAFTAR SINGKATAN DAN TANDA ... xvii

(12)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1 Diabetes Melitus ... 8

2.1.1 Klasifikasi Diabetes Melitus ... 9

2.1.2 Diagnosis Diabetes Melitus ... 11

2.2 Kaki Diabetik ... 12

2.2.3 Klasifikasi Penyakit Kaki Diabetes ... 22

2.2.4 Gambaran Klinis Kaki Diabetik ... 24

2.2.5 Pemeriksaan Kaki Diabetik ... 25

2.2.5.1 Pemeriksaan Fisik ... 26

2.2.5.2 Pemeriksaan Penunjang ... 27

2.2.6 Penanganan Kaki Diabetes ... 27

2.2.6.1 Debridement ... 29

2.2.6.2 Amputasi pada Kaki Diabetik ... 30

2.3 Penyakit Oklusi Arteri Perifer/ Peripheral Arterial Disease (PAD) ... 32

2.3.1 Definisi ... 32

2.4 Skoring Sistem Tardivo Pada Penyakit Kaki Diabetes ... 33

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KERANGKA KONSEP ... 37

(13)

3.2 Konsep Penelitian ... 39

3.3 Hipotesis Penelitian ... 40

BAB IV METODE PENELITIAN ... 41

4.3.5 Kriteria Pemilihan Sampel ... 43

4.3.5.1 Kriteria Inklusi ... 43

4.3.5.2 Kriteria Eksklusi ... 43

4.4 Definisi Operasional Variabel ... 44

4.5 Prosedur Penelitian ... 45

4.6 Alur Penelitian ... 46

4.7 Analisis Data ... 47

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 49

5.1 Hasil Penelitian ... 49

5.1.1 Analisis Statistik Deskriptif ... 49

5.1.2 Analisis Kurva ROC ... 50

5.2 Pembahasan ... 52

5.2.1 Pembahasan Data Deskriptif ... 52

5.2.2 Analisa Area Under ROC Curve ... 55

(14)

5.2.4 Spesifisitas ... 58

5.2.5 Nilai Prediksi Positif dan Nilai Prediksi Negatif ... 60

5.2.6 Rasio Kemungkinan Positif dan Rasio Kemungkinan Negatif ... 60

5.2.7 Odd Ratio ... 61

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 62

6.1 Simpulan ... 62

6.2 Saran ... 62

DAFTAR PUSTAKA ... 64

(15)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Sistem klasifikasi kaki diabetes menurut Wagner ... 23 Tabel 2.2 Klasifikasi University of Texas... 24 Tabel 2.3 Skor Tardivo berdasarkan klasifikasi Wagner, gejala klinis

PAD dan lokasi ulkus ... 36 Tabel 5.1 Gambaran karakteristik variabel penelitian ... 49

Tabel 5.3 Hasil uji diagnostik tabel 2x2 Skor Tardivo dalam memprediksi amputasi pada kaki diabetes. ... 51

(16)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Pengaruh peningkatan gula darah terhadap aliran darah dan perfusi jaringan... 18 Gambar 2.2 Klasifikasi penyakit kaki diabetes berdasarkan klasifikasi

Wagner ... 35

Gambar 2.3 Lokasi ulkus. FF, Fore foot; MF, midfoot; HF, hindfoot. Lokasi dari ulkus sangat penting dalam menghitung skor Tardivo ... 36

Gambar 3.1 Skema konsep penelitian ... 39 Gambar 4.1 Skema alur penelitian ... 43

Gambar 5.1 Kurva ROC kemampuan skor Tardivo dalam memprediksi amputasi pada pasien kaki diabetes ... 50

(17)

DAFTAR SINGKATAN DAN TANDA

ABI : Ankle Brachial Index

ADA : American Diabetes Asociation

AGEs : Advanced Glycosylated End Prodruct

AUC : Area Under Curve

CI : Confidence Interval

DM : Diabetes Melitus

DUSS :Diabetic ulcer severity score

NPP : Nilai Prediksi Positif NPN : Nilai Prediksi Negatif

PAD : Peripheral Arterial Disease

RKP : Rasio Kemungkinan Positif RKN : Rasio Kemungkinan Negatif ROC : Receiver Operating Characteristic

SD : Standard Deviasi

WHO : World Health Organization ≥ : Lebih Dari Sama Dengan < : Kurang Dari

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Keterangan Laik Etik ... 69

Lampiran 2. Surat Ijin Penelitian ... 70

Lampiran 3. Lembar Pengumpulan Data ... 71

Lampiran 4. Data Sampel Penelitian ... 77

Lampiran 5. Analisis Data STATA 12 ... 78

(19)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit diabetes melitus (DM) adalah masalah kesehatan utama di dunia yang timbul karena kelainan metabolisme yang disebabkan oleh tidak bekerjanya hormon insulin atau gangguan produksi insulin. Gangguan kerja insulin berujung pada peningkatan kadar glukosa dalam darah dan mempengaruhi metabolisme tubuh secara keseluruhan. Berbagai macam komplikasi sistemik timbul karena penyakit diabetes melitus, salah satu komplikasi yang sering terjadi adalah penyakit kaki diabetes. Penyakit kaki diabetes timbul karena adanya vaskulopati dan neuropati pada jaringan perifer. Ulkus kronis yang timbul pada penyakit kaki diabetes, dapat ditangani dengan perawatan luka sederhana, modern dressing, debridement, dan pada luka yang berat mungkin memerlukan amputasi. Amputasi pada penyakit kaki diabetes merupakan tindakan amputasi non trauma yang paling sering dilakukan dan memiliki dampak yang besar terhadap fisik dan psikis pasien.

(20)

2

prevalensi nasional penyakit DM adalah 1,1% (Anonim, 2009). Indonesia kini telah menduduki rangking keempat jumlah penyandang DM terbanyak setelah Amerika Serikat, China dan India. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penyadang diabetes pada tahun 2003 sebanyak 13,7 juta orang dan berdasarkan pola pertambahan penduduk diperkirakan pada 2030 akan ada 20,1 juta penyandang DM dengan tingkat prevalensi 14,7 persen untuk daerah urban dan 7,2 persen di rural. Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organisation, WHO) memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030 (Anonim, 2015).

Pasien dengan DM merupakan masalah kesehatan yang sangat serius, dimana dapat mengenai organ lain seperti mata, ginjal, kaki, kulit, dan jantung (Singh, 2013). Komplikasi serius dari penyakit diabetes salah satunya adalah penyakit kaki diabetes /

(21)

3

Pasien diabetes 15 sampai 20 kali lebih mungkin memerlukan amputasi daripada mereka yang tidak menderita DM. Hampir 14% -24% pasien dengan ulkus diabetes memerlukan amputasi, yang berarti bahwa setiap 30 detik ekstremitas bawah seseorang hilang karena diabetes. The Global Lower Extremity Amputation Study Group memperkirakan bahwa 25% - 90% dari semua amputasi dikaitkan dengan diabetes. (Yekta, et al. 2011). American Diabetes Association memperkirakan bahwa amputasi kaki karena ulkus diabetes akan terus meningkat. Lima belas persen orang dengan DM akan mengalami ulkus selama hidup mereka, dan 24% orang dengan ulkus kaki akan memerlukan amputasi (Yekta, et al. 2011).

(22)

4

penampakan luar dari luka bukanlah suatu faktor yang berhubungan dengan amputasi (Tardivo, et a., 2015).

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menghasilkan suatu sistem atau alat yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi faktor risiko dan kemungkinan penyembuhan luka kaki diabetes. Penelitian yang dilakukan oleh Beckert dan rekan pada tahun 2006 menghasilkan sistem penilaian yang dikenal sebagai DUSS (

Diabetic Ulcer Severity Score). Dimana masing masing parameter memiliki nilai 0 atau 1 dan penjumlahannya bervariasi anatara 0 sampai 4. Semakin tinggi nilainya maka prognosisnya akan semakin buruk (Beckert, et al. 2006). Kelemahan sistem penilaian ini adalah dimana pasien dengan nilai yang sama dapat dimasukkan ke dalam kelompok yang berbeda dan memiliki prognosis yang berbeda, yang dapat menimbulkan kebingungan pada dokter yang merawat (Tardivo, et al. 2015). Lipsky dan kawan-kawan melakukan penelitaian terhadap 3000 pasien diabetes yang dirawat dengan kaki diabetes terinfeksi dan berhasil mengembangkan dan memvalidasi sistem skoring risiko amputasi. Faktor - faktor yang paling berpengaruh terhadap kejadian amputasi antara lain infeksi luka operasi (ILO), vaskulopati, riwayat amputasi sebelumnya dan kadar leukosit > 11.000/mm3(Lipsky, 2011). Skor lipsky merupakan penilaian lima lapis untuk memprediksi risiko amputasi dangan rentangan 0 - 21 namun tidak menjelaskan secara rinci cara menggunakan sistem skor ini (Tardivo, et al. 2015).

(23)

5

Perhitungan skor Tardivo berdasarkan pada tiga variabel yaitu klasifikasi Wagner, tanda tanda Peripheral Artery Disease (PAD) yang dinilai berdasarkan Peripheral Artery Disease Classification dan lokasi dari ulkus. Nilai total didapatkan dengan mengalikan skor dari masing-masing variabel tersebut dan menghasilkan rentang nilai 1 - 32. Pada penelitian yang dilakukan oleh Tradivo dkk, didapatkan bahwa skor > 12 secara signifikan memiliki probabilitas lebih tinggi mengalami amputasi (Tardivo, et al. 2105).

(24)

6

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut:

1. Apakah sensitifitas skor algoritma Tardivo dalam memprediksi terjadinya amputasi pada pasien kaki diabetes lebih dari 80%?

2. Apakah spesifisitas skor algoritma Tardivo dalam memprediksi terjadinya amputasi pada pasien kaki diabetes lebih dari 85%?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui validitas skor algoritma Tardivo dalam memprediksi terjadinya amputasi pada pasien kaki diabetes.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui sensitifitas skor algoritma Tardivo dalam memprediksi terjadinya amputasi pada pasien kaki diabetes lebih dari 80%

2. Mengetahui spesifisitas skor algoritma Tardivo dalam memprediksi terjadinya amputasi pada pasien kaki diabetes lebih dari 85%

(25)

7

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis

Data dari penelitian ini dapat menjadi data sub bagian Bedah Thorak Kardiovaskular dan dapat digunakan sebagai bahan acuan untuk penelitian selanjutnya.

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Penelitian ini bermanfaat untuk mengetahui validitas skor algoritma Tardivo dalam memprediksi terjadinya amputasi pada pasien kaki diabetes, sehingga dapat digunakan sebagai pedoman dalam penatalaksanaanya.

2. Mengetahui cut off point dengan sensitivitas dan spesifisitas terbaik skor Tardivo

(26)

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes melitus

Diabetes Melitus (DM) adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya (Anonim, 2011). Diabetes Melitus ditandai dengan hiperglikemia karena glukosa beredar dalam sirkulasi darah dan tidak seluruhnya masuk ke dalam sel karena insulin yang membantu masuknya glukosa ke dalam sel terganggu sekresinya, glukosa diperlukan dalam metabolisme seluler dalam proses pembentukan energi. Secara garis besar diabetes melitus terkait dengan supply dan demand insulin berdasarkan kualitas dan kuantitas dari insulin itu sendiri (Soegondo, 2005).

(27)

9

yang cukup atau ketidakmampuan tubuh untuk menggunakan insulin yang diproduksi secara efektif (Suyono, 2005).

Diabetes Melitus merupakan masalah kesehatan utama di dunia dan mencapai proporsi epidemik. WHO memprediksi adanya peningkatan jumlah penyandang diabetes yang cukup besar pada tahun-tahun mendatang. WHO memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Senada dengan WHO, International Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2009, memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM dari 7,0 juta pada tahun 2009 menjadi 12,0 juta pada tahun 2030. Meskipun terdapat perbedaan angka prevalensi, laporan keduanya menunjukan adanya peningkatan jumlah peyandang DM sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2030 (Anonim, 2011). Menurut laporan terakhir, jumlah penderita DM di dunia telah meningkat secara mengkhawatirkan dan biaya pengelolaannya pun menjadi 3 kali lipat termasuk biaya pemeriksaan laboratorium yang merupakan bagian penting dalam penanggulangan mortalitas dan morbiditas DM. Pemeriksaan laboratorium ini dapat dilakukan untuk uji saring, diagnosis, pemantauan perjalanan penyakit maupun deteksi dini adanya komplikasi DM (Anonim, 2011; Anonim, 2015 ).

2.1.1 Klasifikasi Diabetes Mellitus

(28)

10

mellitus tipe 1, diabetes mellitus tipe 2, diabetes mellitus tipe lain, dan diabetes mellitus gestasional (Anonim, 2011). Diabetes mellitus tipe 1 disebabkan karena terjadinya destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolute seperti autoimun (melalui proses imunologik) dan idiopatik (Anonim, 2011). Diabetes mellitus tipe 2 bervariasi mulai dari yang dominan resistensi insulin disertai defesiensi insulin relative, sampai yang terutama defek sekresi insulin disertai resistensi insulin (Anonim, 2011). Diabetes mellitus tipe lain yang dikarenakan defek genetik fungsi sel beta karena gangguan pada kromosom seperti kromosom 12, HNF - 1α, kromosom 7, glukokinase, kromosom 20, HNF - 4α, kromosom 13, Insulin promoter factor, kromosom 17, HNF - 1β, kromosom 2, Neuro D1, DNA Mitochondria. Defek genetik kerja insulin mengakibatkan resistensi insulin tipe A,

Leprechaunism, Sindrom Rabson Mandenhall, diabetes liproatrofik, lainnya. Penyakit Eksokrin Pankreas seperti pankreatitis, pankreatektomi, neoplasma, fibrosis kistik, hemokromatosis, pankreatopati fibro kalkulus lainnya. Endokrinopati seperti

acromegaly, cushing syndrome, feocromocytoma, hyperthyroidism, somatostatinoma, aldosteronoma. Karena obat / zat kimia yang mempengaruhi kerja insulin seperti vacor, pentamidin, asam nikotinat, glukokortikoid, hormone tiroid, diazoxid, agonis β adrenergic, tiazid, dilantin, interferon alfa, lainnya. Infeksi akibat rubella congenital, cmv, lainnya. Gangguan imunologi seperti sindrom “stiff-man”, insulin antibody – antireseptor, dan lainnya. Sindrom genetik lain seperti Sindrom Down, Sindrom

Klinefelter, Sindrom Turner, Sindrom Wolfram’s, Ataksia Friedreich’s, Chorea

(29)

11

2011). Diabetes kehamilan ialah diabetes yang terjadi pada saat kehamilan yang menyebabkan gangguan hormonal sehingga mengakibatkan peningkatan kadar gula darah (Anonim, 2011).

2.1.2 Diagnosis Diabetes Melitus.

Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti keluhan klasik DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya, keluhan lain dapat berupa lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita (Anonim, 2011). Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah Jika terdapat gejala khas dan pemeriksaan Glukosa Darah Sewaktu

(GDS) ≥ 200 mg/dl diagnosis DM sudah dapat ditegakkan. Hasil pemeriksaan

Glukosa Darah Puasa (GDP) ≥ 126 mg/dl juga dapat digunakan untuk pedoman

(30)

12

kriteria diagnosis diabetes mellitus meliputi satu dari beberapa tes laboratorium berikut (Anonim, 2013):

 Glukosa plasma puasa ≥ 7,0 mmol/L (≥ 126 mg/dL)

 Gejala klinis diabetes disertai dengan kadar glukosa darah acak ≥ 11,1 mmol/L (≥ 200 mg/dL)

 2 jam setelah pemberian glukosa 75 g oral, kadar glukosa plasma ≥ 11,1 mmol/L (≥ 200 mg/dL)

 HbA1C ≥ 6,5 %

2.2 Kaki Diabetes

2.2.1 Definisi

Kaki diabetes merupakan salah satu komplikasi diabetes yang paling memberatkan penderita diabetes. Ulkus yang tidak kunjung sembuh disebabkan oleh adanya neuropati dan vaskulopati di jaringan perifer. Berdasarkan WHO dan

(31)

13

perifer yang timbul karena gula darah yang tidak terkontrol (Katsilambros, et al. 2010).

Di Amerika Serikat, prevalensi kaki diabetes pada penderita diabetes diperkirakan sebesar 4% (Anonim, 2005). Diperkirakan sebesar 5% psien dengan diabetes pernah menderita kaki diabetes, dengan lifetime risk sebesar 15% (CDC, 2015). Sebagian besar (60-80%) dari ulkus yang timbul dapat sembuh, sedangkan sebesar 10-15% tidak sembuh dan sisanya sebesar 5-24% berakhir pada amputasi dalam kurun waktu 6-18 bulan (Katsilambros, et al. 2010).

Terdapat 3 macam bentuk ulkus diabetes yaitu ulkus neuropati, ulkus iskemia dan ulkus neuroiskemia (campuran). Karakteristik ulkus neuropati adalah bulat, dikelilingi oleh kalus, tidak nyeri dan berlokasi di atas tulang-tulang yang menenjol pada jari-jari kaki atau di daerah plantar. Ulkus iskemia biasanya pucat, nekrosis, sangat sakit, tidak terbentuk kalus dan lokasinya sering pada jari-jari kaki, tepi-tepi kaki dan tumit (Pinzur, et al. 2009). Luka yang disebabkan oleh neuropati akan lebih mudah sembuh dibandingkan luka karena neuroiiskemia. Diperkirakan bahwa sekitar 40-70% amputasi non-trauma dikerjakan pada pasien dengan diabetes (Moxey, et al. 2011).

2.2.2 Patogenesis

(32)

14

sekitar 90% penderita kaki diabetes menderita neuropati. Kerusakan saraf pada diabetes mengenai saraf motoris, sensoris dan otonom. Neuropati motoris menyebabkan kelemahan otot, atropi dan paresis. Neuropati sensoris menyebabkan hilangnya sensasi protektif terhadap nyeri, tekanan dan panas. Disfungsi sistem saraf otonom menyebabkan terjadinya vasodilatasi dan produksi keringat berlebih yang melembabkan, merusak integritas kulit sehingga membuat penderita rentan terhadap infeksi. Penyakit arteri perifer (PAD) lebih sering terjadi 2-8 kali pada pasien dengan diabetes. Biasanya PAD terjadi pada segmen antara lutut dengan pergelangan kaki (TASC, 2000). Cidera pada kaki terutama bila disertai infeksi akan meningkatkan kebutuhan darah, pada pasien diabetes dengan PAD, akan terjadi gangguan suplai darah yang menghambat penyembuhan ulkus dan mempermudah terjadinya infeksi yang dapat berujung pada amputasi (Alexiadou, et al. 2011). Pada pasien dengan neuropati diabetes, hilangnya sensasi dapat menimbulkan cidera minor yang berulang ytang tidak dirasakan oleh pasien dan seiring waktu terjadilah ulkus pada kaki yang sering kali disertai infeksi (Alexiadou, et al. 2011).

2.2.2.1 Neuropati Diabetik

Neuropati menyebabkan lebih dari 60% dari ulkus kaki diabetes dan dapat mengenai pada pasien dengan DM tipe 1 dan tipe 2. Hiperglikemia menyebabkan peningkatan produksi enzim seperti aldose reductase dan sorbitol dehydrogenase,

(33)

15

Hiperglikemia juga menimbulkan mikroangiopati yang mengakibatkan kelainan metabolik, kerusakan sistem imun dan iskemik dari saraf autonom, motorik, dan sensorik (Singh, et al. 2013).

Peningkatan kadar sorbitol intraseluler, menyebabkan pembengkakan saraf dan gangguan fungsi saraf. Penurunan kadar insulin sejalan dengan perubahan kadar peptida neurotropik, perubahan metabolisme lemak, stres oksidatif, perubahan kadar bahan vasoaktif seperti nitrit oxide mempengaruhi fungsi dan regenerasi saraf. Kadar glukosa yang tidak teregulasi meningkatkan kadar advancedglycosylated end product

(AGE) yang terlihat pada molekul kolagen yang mengeraskan ruangan-ruangan yang sempit pada ekstremitas superior dan inferior (carpal, cubital, dan tarsal tunnel). Kombinasi antara pembengkakan saraf yang disebabkan berbagai mekanisme dan penyempitan kompartemen karena glikosilasi kolagen menyebabkan double crush syndrome dimana dapat menimbulkan kelainan fungsi saraf motorik, sensorik dan autonomik .Hal ini yang menyebabkan penurunan sensasi perifer dan kerusakan saraf yang menginervasi otot pada kaki dan vasomotor pada sistem sirkulasi. Penurunan sensasi menyebabkan pasien rentan terhadap timbulnya cidera yang disebabkan oleh hal-hal kecil seperti kalus, deformitas kuku, gesekan dengan sepatu dan lain sebagainya. Cidera-cidera minor ini biasanya tidak disadari oleh pasien sampai terjadi infeksi dan timbul ulkus. Resiko terjadinya ulkus kaki diabetes pada pasien dengan gangguan sensoris meningkat hingga 7 kali lipat, dibandingkan dengan pasien DM tanpa kelainan neuropati (Singh, et al. 2013)

(34)

16

anhidrosis dan hiperkeratosis. Kulit yang terbuka akan mengakibatkan masuknya bakteri dan menimbulkan infeksi. Berkurangnya sensibilitas kulit pada penonjolan tulang dan sela-sela jari sering menghambat deteksi dari luka-luka kecil pada kaki. Perubahan ini pada akhirnya berakibat terjadinya perkembangan ulkus, gangrene, dan resiko kehilangan anggota tubuh (Singh, et al. 2013; Robolledo, et al. 2011).

2.2.2.2 Vaskulopati Diabetik

Penderita diabetes, seperti orang tanpa diabetes, kemungkinan akan menderita penyakit atherosklerosis pada arteri besar dan sedang, misalnya pada aortailiaca, dan femoropoplitea. Alasan dugaan bentuk penyakit arteri ini pada penderita diabetes adalah hasil beberapa macam kelainan metabolik, meliputi kadar Low Density Lipoprotein (LDL), Very Low Density Lipoprotein (VLDL), peningkatan kadar faktor von Willbrand plasma, inhibisi sintesis prostasiklin, peningkatan kadar fibrinogen plasma, dan peningkatan adhesifitas platelet. Secara keseluruhan, penderita diabetes mempunyai kemungkinan besar menderita atherosklerosis, terjadi penebalan membran basalis kapiler, hialinosis arteriolar, dan proliferasi endotel (Stillman, et al. 2002).

(35)

17

darah merah bertanggungjawab pada kekakuan dan peningkatan aggregasi yang telah terjadi. Akibat yang terjadi dari dua hal tersebut adalah peningkatan viskositas darah. Mekanisme glikosilasi hampir sama seperti yang terlihat dengan hemoglobin dan berbanding lurus dengan kadar glukosa darah. Penurunan aliran darah sebagai akibat perubahan viskositas memacu meningkatkan kompensasinya dalam tekanan perfusi sehingga akan meningkatkan transudasi melalui kapiler dan selanjutnya akan meningkatkan viskositas darah. Iskemia perifer yang terjadi lebih lanjut disebabkan peningkatan afinitas hemoglobin terglikolasi terhadap molekul oksigen. Efek merugikan yang ditimbulkan oleh hiperglikemia terhadap aliran darah dan perfusi jaringan sangatlah signifikan (Mathes,2006).

Gambar 2.1

(36)

18

Keadaan Hiperglikemia menyebabkan disfungsi sel endotel dan kelainan sel otot polos pada arteri perifer. Sel endotel mensintesis nitric oxide yang menyebabkan vasodilatasi dan melindungi pembuluh darah dari cedera endogen. Oleh karena itu, pada hiperglikemia terjadi gangguan sifat fisiologis dari nitric oxide yang biasanya mengatur homeostasis endothelial, antikoagulan, adhesi leukosit, proliferasi sel otot polos, dan kapasitas antioksidan. Penurunan vasodilator endotelium dan nitric oxide

menyebabkan penyempitan pembuluh darah dan kecendrungan untuk terjadinya aterosklerosis, dan pada akhirnya menyebabkan iskemia. Sistem mikrosirkulasi juga terganggu yang disebabkan karena arteriol venular shunting, dimana mengurangi sirkulasi darah ke tempat yang membutuhkan. Hiperglikemia pada DM juga berhubungan dengan peningkatan thromboxane A2 menyebabkan hiperkoagulabilitas plasma. Secara klinis pasien memiliki gejala-gejala dari kelainan pembuluh darah seperti: klaudikasio, nyeri pada saat istirahat (rest pain), tidak teraba pulsasi, penipisan kulit, hilangnya rambut pada kaki, dan lain-lain (Singh, et al. 2013).

2.2.2.3 Imunopati Diabetik

(37)

19

Peningkatan kadar glukosa darah pada pasien diabetes menyebabkan gagalnya fungsi neutrofil dan sistem imunologi. Selama fagositosis terjadi peningkatan terhadap pemakaian glukosa, konsumsi O2 dan produksi laktat. Tetapi energi yang disimpan

PMN relatif sedikit dan memerlukan glukosa eksogen untuk mempertahankan aktivitasnya, dengan perkiraan kemotaksis PMN dalam keadaan normal berlangsung selama 4 jam tanpa memerlukan tambahan glukosa. Insulin melekat erat pada sel PMN dan dapat secara terus-menerus menyumbangkan energi yang besar melalui jalur Embden-Meyerhof yang diperlukan sel pada proses kemotaksis. Pemakaian glukosa, produksi laktat, dan sintesis glikogen menurun pada PMN pasien diabetes yang kehilangan insulin selama 36 sampai 72 jam. Pemakaian glukosa, produksi laktat, dan sintesis glikogen akan meningkat bila PMN diinkubasi kembali dengan insulin (Sapico, et al. 2000).

(38)

20

Selain itu tingginya kadar gula dalam darah merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri. Organisme yang paling dominan pada infeksi kaki diabetes adalah kuman aerob gram positif seperti Staphylococcus aureus dan

Streptococcus β hemoliticus.Jaringan lunak pada kaki seperti plantar aponeurosis, tendon, otot, dan fasia tidak bisa menahan infeksi. Selain itu, beberapa kompartemen di kaki saling berhubungan dan tidak bisa membatasi penyebaran infeksi dari yang satu ke yang lain. Infeksi pada jaringan lunak ini dengan cepat dapat menyebar ke tulang menyebabkan osteoitis. Jadi ulkus sederhana pada kaki dapat dengan mudah mengakibatkan komplikasi seperti osteitis atau osteomyelitis dan gangren tanpa perawatan yang tepat (Singh, et al. 2013)

2.2.2.4 Perubahan Struktur Tulang dan Sendi

Perubahan struktural pada anatomi kaki dan persendian menyebabkan kelemahan dan musclewasting pada otot-otot intrinsik kecil. Hal ini menyebabkan hilangnya keseimbangan pada saat berjalan, clawing of toes, dan plantar fleksi

metatarsal head (charcot foot). Musculus interosseous dan otot-otot intrinsic berfungsi sebagai penyeimbang dan menahan phalang agar ekstensi (Rebolledo, et al. 2010).

(39)

21

cenderung lurus dan kaku. Deformitas equinus dapat terjadi akibat pemendekan tendon Achilles dan kolaps fascia plantaris, memfasilitasi abduksi dan adduksi kaki depan. Hal ini menyebabkan terjadinya hammer toes dan tekanan beban tubuh terpusat pada permukaan anterior jari-jari kaki (Rebolledo, et al. 2010).

Charcot foot merupakan deformitas ulkus diabetes akibat neuropati yang klasik dengan empat tahap perkembangan. Pada tahap pertama biasanya disertai riwayat trauma ringan disertai kaki yang panas, merah, dan bengkak. Keadaan ini harus dibedakan dari selulitis. Tahap kedua terjadi fragmentasi dan fraktur pada persendian tarsometatarsal. Selanjutnya pada tahap ketiga terjadi fraktur dan kolaps persendian. Bila pasien tetap berjalan dengan posisi kaki yang tidak tepat maka akan terjadi tahap keempat yaitu ulserasi plantar (Andrew, et al. 2004).

(40)

22

dapat menyebabkan pengelepuhan dan ulserasi. Faktor ini ditambahaliran darah yang buruk meningkatkan resiko kehilangan anggota gerak pada penderita diabetes (Frykberg, et al. 2002; Amstrong, et al. 2008).

2.2.3 Klasifikasi Penyakit Kaki Diabetes

(41)

23

Tabel 2.1

Sistem klasifikasi kaki diabetes menurut Wagner

Kategori Derajat Lesi

Ringan 0 1 2

Kulit utuh, ada kelainan bentuk kaki akibat neuropati Ulkus superfisial terlokalisir

Ulkus lebih dalam, mengenai tendon, ligament, otot, sendi, belum mengenai tulang, tanpa selulitis atau abses

Berat

3 4 5

Abses yang dalam dengan atau tanpa osteomyelitis Gangren jari atau kaki bagian distal

Gangren seluruh kaki

University of Texas membagi ulkus berdasarkan dalamnya ulkus dan membaginya lagi berdasarkan adanya infeksi atau iskemi. Adapun sistem Texas ini meliputi (Tabel 2.2) (Doupis, et al. 2008).

1 Luka superfisial mencapai dermis atau epidermisatau keduanya tetapi belum menembus tendon, kapsul sendi atau tulang.

2 Luka menembus tulang atau sendi tetapi belum mencapai tulang atau sendi

(42)

24

Setiap tingkatan dibagi menjadi 4 stadium, meliputi: 1. A : luka bersih

2. B : luka iskemik

3. C : luka terinfeksi non iskemik 4. D : luka terinfeksi dan iskemik

2.2.4 Gambaran Klinis Kaki Diabetes

Teradapat 3 macam bentuk ulkus diabetes yaitu ulkus neuropati, ulkus iskemia dan ulkus neuroiskemia (campuran). Karakteristik ulkus neuropati adalah bula, dikelilingi oleh kalus, tidak nyeri dan berlokasi di atas tulang–tulang yang menonjol pada jari–jari kaki atau di plantar pedis. Ulkus iskemia biasanya pucat, nekrosis, sangat sakit, tidak berbentuk kalus dan lokasinya sering pada jari–jari kaki, tepi–tepi kaki dan tumit (Payne, et al. 2002).

Pertimbangan yang diperlukan dalam mengevaluasi krepitasi pada luka yaitu membedakan penyebabnya, nonbakteri atau bakteri. Krepitasi nonbakteri dapat berkaitan dengan fisik atau kimia. Krepitasi yang berkaitan dengan fisik disebabkan penetrasi dan perforasi udara, sedang yang berkaitan dengan kimia disebabkan kontak antara tubuh dengan gas, termasuk hidrogen peroksida, benzine, dan kompleks magnesium tertentu.Krepitasi oleh karena bakteri dapat disebabkan oleh Clostridia

(43)

25

Peptostreptococcus danBacteroides. Membedakan kedua macam infeksi ini penting karena penanganan kedua keadaan ini sangat berbeda (Sapico, et al. 2000; Hendromartono, et al. 2003).

2.2.5 Pemeriksaan Kaki Diabetes

Pada anamnesa informasi yang penting adalah pasien telah mengidap DM sejak lama. Gejala neuropati diabetes yang sering ditemukan adalah kesemutan, rasa panas di telapak kaki, kram, badan sakit semua terutama malam hari. Gejala neuropati menyebabkan hilang atau menurunnya rasa nyeri pada kaki. Manifestasi gangguan pembuluh darah berupa nyeri tungkai sesudah berjalan pada jarak tertentu akibat aliran darah ke tungkai yang berkurang (klaudikasio intermiten). Manifestasi lain berupa ujung jari terasa dingin, nyeri kaki diwaktu malam, denyut arteri hilang dan kaki menjadi pucat bila dinaikkan (Frykberg, et al. 2009).

2.2.5.1 Pemeriksaan Fisik

(44)

26

dirasakan pasien (Supartondo, 1998). Tergantung dari derajatnya saat kita temukan, ulkus yang terlihat mungkin hanya suatu ulkus superfisial yang hanya terbatas pada kulit dengan dibatasi kalus yang secara klinis tidak menunjukkan tanda–tanda infeksi (Payne, et al. 2002).

Pada palpasi dinilai ada atau tidaknya denyut atau pulsasi arteri perifer, tidak terabanya pulsasi dan kaki teraba dingin dapat diasumsikan bahwa terjadi oklusi arteri. Palpasi dilakukan pada a. femoralis, a. poplitea, a. dorsalis pedis dan a. tibialis posterior, dibandingkan kanan dan kiri. Kulit yang kering serta pecah-pecah mudah dibedakan dengan kulit yang sehat. Kalus disekeliling ulkus akan teraba sebagai daerah yang tebal dan keras. Deskripsi ulkus harus jelas karena sangat mempengaruhi prognosis serta tindakan yang akan dilakukan. Apabila pus tidak tampak maka penekanan pada daerah sekitar ulkus sangat penting untuk mengetahui ada tidaknya pus. Ulkus harus dibuka lebar untuk melihat luasnya kavitas serta jaringan bawah kulit, otot, tendo serta tulang yang terlibat (Yasa, 2003).

(45)

27

Arteriografi perlu dilakukan untuk memastikan terjadinya oklusi arteri (Pinzur, et al. 2006).

2.2.5.2 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan radiologi akan dapat mengetahui apakah didapat gas subkutan, benda asing serta adanya osteomielitis (Levin, et al. 2006). Untuk mengetahui adanya oklusi pada pembuluh darah maka dilakukan pemeriksaan penujang radiologi seperti ultrasonografi doppler/duplex, angiografi, MR angiografi, dan CT angiografi. Ultrasonografi doppler yang merupakan prosedur pemeriksaan yang paling sederhana dan non invasif. Pemeriksaan dengan ultasonografi doppler cukup sensitif untuk mendiagnosis adanya penyakit arteri perifer oklusif tungkai bawah. Angioografi merupakan baku emas pemeriksaan vaskular karena akan memberikan informasi mengenai ada tidaknya sumbatan, luas sumbatan, serta kolateral. Kelemahan angiografi adalah bersifat invasif, memerlukan waktu dan mahal serta menggunakan kontras yang nefrotoksik, maka arteriografi jarang dipakai (Payne, et al. 2002; Singh, 2013). Untuk menentukan adanya osteomilitis dapat dikerjakan pemeriksaan seperti CT Scan, MRI, Gallium Scintigrahy yang semua ini memiliki resolusi yang sangat baik untuk melihat tulang dan jaringan (Gerhard, et al. 2005).

2.2.6 Penanganan Kaki Diabetes

(46)

28

berupa perawatan luka, debridement secara bedah maupun biologi, sampai amputasi ekstremitas. Pemilihan metoda penanganan kaki diabetes sangat bergantung dari derajat penyakit kaki dibetes, ada tidaknya infeksi dan ada tidaknya penyakit arteri perifer yang menyertai (Stillman, et al. 2008). Selain perawatan di bidang bedah, sangat diperlukan kerjasama team dalam penatalaksanaan diabetes seabagai penyakit primer dan komplikasi lain yang menyertai. Regulasi glukosa darah perlu dilakukan, meskipun belum ada bukti adanya hubungan langsung antara regulasi glukosa darah dengan penyembuhan luka. Hal itu disebabkan fungsi leukosit terganggu pada pasien dengan hiperglikemia kronik. Perawatan meliputi beberapa faktor sistemik yang berkiatan yaitu hipertensi, hiperlipidemia, penyakit jantung koroner, obesitas, dan insufisiensi ginjal (Schwart, et al. 1999; Boulton, et al. 2004).

Perawatan ulkus pada kaki diabetes sangat komplek. Perawatan luka terus menerus dan kontinyu, menghindari area luka dari beban (off-loading), debridement berulang, penanganan infeksi dan penanganan iskemia merupakan prodesur yang harus dilakukan pada pasien dengan kaki diabetes. Lamanya penyembuhan penyakit kaki diabetes sangat bervariasi dengan rentangan waktu beberapa minggu hingga beberapa bulan bahkan menahun. Penyembuhan ulkus kaki diabetes, dipengaruhi oleh penyebab dasar dari ulkus tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Yotsu, et al

(47)

29

ulkus iskemia. Sedangkan rerata kesembuhan secara kumulatif dalam 1 bulan adalah 32% untuk ulkus neuropati, 0% untuk ulkus neuro-iskemia dan 11% untuk ulkus iskemia. Sedangkan dalam 3 bulan rerata kesembuhan secara kumulatif adalah 58%, 42% dan 16% (Yotsu, et al. 2014). Penelitian yang dilakukan oleh Sheehan, et al

(2003) menyimpulkan bahwa penyembuhan luka kaki diabetes pada minggu keempat dapat memprediksi kesembuhan luka pada minggu ke dua belas (Sheehan, et al.

2003).

2.2.6.1 Debridement

Bedridement adalah tindakan pembedahan yang bertujuan untuk membuang jaringan mati (nekrosis), nanah, jaringan fibrotik, dan kalus. Jaringan mati yang dibuang sekitar 2-3 mm dari tepi luka ke jaringan sehat. Debridement meningkatkan pengeluaran faktor pertumbuhan yang membantu proses penyembuhan luka. Metode debridement yang sering dilakukan yaitu surgical (sharp), autolitik, enzimatik, kimia, mekanis dan biologis. Metode surgical, autolitik dan kimia hanya membuang jaringan nekrosis (debridement selektif), sedangkan metode mekanis membuang jaringan nekrosis dan jaringan hidup (debridement non selektif) (Jones, 2007; Bloomgarden, 2008).

(48)

30

infeksi dan penutupan luka selanjutnya. Debridement enzimatis menggunakan agen topikal yang akan merusak jaringan nekrotik dengan enzim proteolitik seperti papain, colagenase, fibrinolisin-Dnase, papainurea, streptokinase, streptodornase dan tripsin. Agen topikal diberikan pada luka sehari sekali, kemudian dibungkus dengan balutan tertutup. Penggunaan agen topikal tersebut tidak memberikan keuntungan tambahan dibanding dengan perawatan terapi standar. Oleh karena itu, penggunaannya terbatas dan secara umum diindikasikan untuk memperlambat ulserasi dekubitus pada kaki dan pada luka dengan perfusi arteri terbatas (Bloomgarden, 2008).

Debridement mekanis mengurangi dan membuang jaringan nekrotik pada dasar luka. Teknik debridement mekanis yang sederhana adalah pada aplikasi kasa basah-kering (wet-to-dry saline gauze). Setelah kain kasa basah dilekatkan pada dasar luka dan dibiarkan sampai mengering, debris nekrotik menempel pada kasa dan secara mekanis akan terkelupas dari dasar luka ketika kasa dilepaskan (Bloomgarden, 2008).

2.2.6.2 Amputasi pada Kaki Diabetes

Diabetes merupakan penyebab utama terjadinya amputasi di seluruh dunia. Dan di India ulkus kaki diabetes ini menyebabkan lebih dari 80% amputasi pada ekstremitas bawah (Jain, et al. 2012).

(49)

31

penyebab utama untuk amputasi non traumatik tungkai bawah (Sage, 2006; Weledji, 2014). Selain itu terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi amputasi pada kaki diabetes antara lain seperti riwayat ulkus kaki diabetes sebelumnya, usia lanjut, tekanan darah tinggi, jenis kelamin laki-laki, peningkatan kadar glycosidic hemoglobin, proteinuria (Santos, et al. 2006).

Penyakit oklusi arteri perifer atau peripheral arterial disease (PAD) merupakan komplikasi yang paling sering pada diabetes melitus dibandingkan dengan subyek normal.Prevalensi PAD meningkat pada pasien dengan diabetes dan berhubungan dengan manifestasi klinis yang berat dan resiko tinggi untuk terjadinya

critical limb ischemia(CLI) dan amputasi ektremitas bawah. PAD pada pasien dengan diabetes berbeda dalam hal histologi, anatomi dari oklusi pembuluh darah (Graziani, et al. 2007).

Amputasi pada ekstremitas bawah pada penyakit oklusi pembuluh darah harus dipertimbangkan luas jaringan nekrosis, infeksi sekunder yang menyebabkan gangren atau osteomyelitis , dan gejala-gejala sepsis. Waktu dan prosedur tindakan tergantung dari kondisi klinis pasien. Bila terjadi kerusakan jaringan dan berhubungan dengan infeksi dan sepsis, tindakan amputasi dikerjakan segera untuk menyelamatkan nyawa (Sefranek, et al. 2007).

(50)

32

Adapun tipe-tipe amputasi yang dilakukan pada ekstremitas bawah (Sage, et al. 2006; Sefranek, et al. 2007)

1. Amputasi minor: toe amputation, Ray amputation, transmetatarsal amputation, dan Syme’s amputation

2. Amputasi mayor: below knee amputation, above knee amputation.

2.3 PenyakitOklusi Arteri Perifer (PAD) 2.3.1 Definisi

Penyakit Oklusi Arteri Perifer atau Peripheral Arterial Disease (PAD) adalah penyakit karena oklusi pembuluh darah perifer bisa pada aorta, iliaka maupun arteri pada ektremitas bawah. Sementara itu PAD merupakan faktor resiko utama terjadinya amputasi pada ekstremitas bawah (Anonim, 2003). .

(51)

33

terlambat dan sudah dengan gejala rest pain, ulkus sampai gangren dan pada akhirnya berakhir dengan amputasi (Anonim, 2003).

2.4 Skoring Sistem Tardivo Pada Penyakit Kaki Diabetes

Skor algoritme Tardivo adalah suatu algoritma yang dikembangkan oleh ilmuwan Brazil Jao Paolo Tardivo, untuk memprediksi prognosis pasien dengan ulkus kaki diabetes. Perhitungan skor Tardivo berdasarkan pada tiga variabel yaitu klasifikasi Wagner, tanda tanda Peripheral Artery Disease (PAD) yang dinilai berdasarkan Peripheral Artery DIsease Classification dan lokasi dari ulkus. Nilai total didapatkan dengan mengalikan skor dari masing-masing variabel tersebut dan menghasilkan rentang nilai 1 - 32. (Tardivo, 2015).

Beberapa sistem skoring telah dikemukakan sebelumnya oleh beberapa peneliti. Penelitian yang dilakukan oleh beckert, et al (2006) mengemukakan sistem skoring yang dikenal sebagai DUSS (Diabetic ulcer severity score). Pada penilaian DUSS, masing-masing parameter memiliki nilai 1 atau 0, dan hasil penjumlahan seluruhnya bervariasi anatar 0 sampai 4. Semakin tinggi nilai yang diperoleh maka prognosis akna semakin buruk, namun pasien dengan nilai yang sama dapat dimasukkan dalam kategori yang berbeda, sehingga seringkali membingungkan pemeriksa (Beckert, et al. 2006).

(52)

34

Beberapa faktor yang berperan penting terhadap keajadian amutasi antara lain, infeksi luka operasi, vaskulopaty, riwayat amputasi sebelumnya dan leukosit > 11.000/ mm3 (Lipsky, et al. 2011). Skor dari Lipsky mampu memprediksi kemungkinan amputasi pada pasien kaki diabetes, namun sistem skoring Lipsky adalah sistem yang rumit terdiri dari lima lapis penilaian dengan rentangan nilai 0 sampai 21. Selain itu tidak terdapat panduan tentang cara penggunaan sistem skor ini (Tardivo, et al. 2015).

Skor algoritma Tardivo menghasilkan nilai prognosis terhadap kejadian amputasi. Skoring ini berdasarakan atas tiga faktor yaitu klasifikasi wagner, tanda klinis PAD, dan lokasi ulkus pada penyakit kaki diabetes (Tardivo, et al. 2015).

Klasiifikasi penyakit kaki diabetes menurut Wagner-Meggit terdiri dari 5 tingkat (grade) dari 0 sampai dengan 5. Tingkat yang digunakan adalah wagner tingkat 1 sampai tingkat 4. Wagner 0 tidak dipergunakan karena belum terbentuk ulkus, dan hanya terdapat kelainan neuropathy. Pasien dengan derajat wagner 1 sampai 4 diberi nilai 1 sampai 4 (Tardivo, et al. 2015).

Gambar 2.2.

(53)

35

Klasifikasi PAD mengacu kepada Peripheral Arterial Disease Classification

yang terdiri dari pucat (pallor) pada ekstremitas, Tidak terabanya pulsasi distal, ABI dibawah 0.7, tidak adanya perfusi distal, sianosis dan ganggrene berkepanjangan. Pasien tanpa gejala PAD mendapatkannilai 1 (PAD 1) dan pasien dengan gejala PAD mendapatkan nilai 2 (PAD 2) (Tardivo, et al. 2015).

Lokasi ulkus ditentukan berdasarkan lokasinya seperti ditunjukkan pada gambar 2.2. Forefoot 1 (FF1) merupakan region dari jari-jari kaki. Forefoot 2 (FF2)

di regio metatarsal, midfoot 3(MF3) merupakan regio yang terdiri dari cuneiform, cuboid, dan tulang naviculare dibatai oleh sendi Lisfranc dan Chopart. Dan hindfoot (HF4) merupakan area tumit meliputi kalkaneus dan talus. Masing -masing lokasi memiliki nilai 1,2,3 atau 4 tanpa melihat apakah lokasi di bagian dorsal atau plantar dan kedalaman ulkus (Tardivo, et al. 2015).

Gambar 2.3.

(54)

36

Nilai akhir dari skor Tardivo adalah perkalian total dari masing-masing nilai dari tiga variabel tersebut dengan rentangan nilai 1 sampai 32. Pada penelitian sebelumnya, Tardivo dan kawan kawan melakuakan penelitian terhadap 62 pasien kaki diabetes, didapatkan bahwa pasien dengan skor lebih dari atau sama dengan 12 memiliki kemungkinan mengalami amputasi sebesar 152 kali dibanding pasien dengan skor lebih rendah (CI 95%, 12,2 -1886,5) (Tardivo, et al. 2015).

Tabel 2.3.

Skor Tardivo berdasarkan klasifikasi Wagner, gejala klinis PAD dan lokasi ulkus Klasifikasi Wagner Gejala klinis PAD Lokasi Ulkus

Skor Skor Skor

1 1 PADS (+) 2 FF1 1 2 2 PAD (-) 1 FF2 2

3 3 MF3 3

4 4 HF4 4

5 4 Ankle/cruris 4

Gambar

Gambar 2.1
Tabel 2.1
Gambar 2.2.
Gambar 2.3.
+2

Referensi

Dokumen terkait

ragum penjepit yang sudah terpasang pada mesin, dengan posisi sesuaidengan bentuk pengerjaan, dan yakinkan bahwa benda kerja sudahterpasang dengan baik dan kuat.. 5.Memilih

Terbilang : Sembilan Puluh Delapan Juta Lima Ratus Empat Puluh Tiga Ribu Rupiah permeter persegi = diluar overhead keuntungan pemborong tanpa pengecatan diluar overhead

Teknik isolasi yang digunakan yaitu dengan memotong bagian daun pisang yang sehat dan masih segar kurang lebih 1 cm dan dicuci dengan air mengalir, kemudian di

Sedangkan menurut penulis setelah membahas bab- bab sebelumnya dan bab yang akan datang, definisi perjanjian penghindaran pajak berganda adalah perjanjian internasional di

Yang dimaksud BMN sesuai dengan pasal 1 butir 10 UU No 1 Tahun 2004 adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang

Pengembangan kawasan pulau-pulau kecil menghadapi dimensi yang cukup luas, yaitu mencakup pelaksanaan otonomi daerah secara nyata dan bertanggung jawab dengan segala

Tingkat Pendidikan masyarakat dengan Pengetahuan Mitigasi Bencana Longsorlahan. di Desa Gununglurah Kecamatan Cilongok Kabupaten

Bangka dan Singkep.” Tujuan penelitian adalah, mempelajari karakteristik dan perubahan alami sifat fisik dan kimia tanah serta vegetasi alami pada empat tingkat umur tailing