Halaman A.Strategi Reciprocal Teaching ... 19
B.Berpikir Kritis ... 24
C.Berpikir Kritis dalam Matematika ... 32
D.Disposisi Matematika ... 34
E. Hubungan antara Strategi Reciprocal Teaching dengan Kemampuan Berpikir Kritis dan Disposisi Matematis ... 37
F. Pembelajaran Konvensional ... 39
G.Penelitian yang Relevan ... 40
H.Hipotesis Penelitian ... 40
BAB III. METODE PENELITIAN A.Desain Penelitian ... 43
B.Populasi dan Sampel Penelitian ... 45
C.Instrumen Penelitian ... 47
D.Pengembangan Bahan Ajar ... 58
E.Teknik Pengumpulan data ... 59
F.Teknik Pengolahan Data ... 59
B. Pembahasan Hasil Penelitian ... 108
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ... 121 B. Saran ... 123
DAFTAR PUSTAKA ………...
LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ilmu pengetahuan, teknologi informasi dan komunikasi berkembang begitu
pesat seiring dengan perkembangan zaman. Aplikasinya sekarang sudah merambah
ke setiap relung kehidupan manusia, baik dalam kehidupan sosial, agama, rumah
tangga, maupun dalam kehidupan pribadinya. Dalam kehidupan sosial misalnya,
orang jawa bisa menyaksikan bagaimana kehidupan sosial dan adat istiadat suatu
suku di pulau lain dengan menyaksikannya di TV, atau bisa berhubungan dengan
sesama teman dimana pun dia berada melalui jejaring sosial, dan lain sebagainya.
Dalam kehidupan beragama, seseorang bisa mengunduh dari internet apa-apa yang
dibutuhkan tentang agama atau orang bisa mendengar panggilan sholat dari jarak jauh
melalui pengeras suara, dan yang lainnya. Dalam rumah tangga, dengan teknologi
ibu-ibu bisa memasak dengan cepat menggunakan kompor gas dan alat masak
modern, atau melalui internet bisa melihat atau mengunduh resep masakan yang
diinginkan, dan yang lainnya. Dalam kehidupan pribadi, seseorang bisa menggunakan
telepon seluler, smart phone, flash disk untuk menyimpan data rahasia yang bersifat
pengetahuan dan teknologi dengan kehidupan. Sangat ketinggalan jika tidak
mengenalnya.
Ilmu pengetahuan, teknologi informasi dan komunikasi dapat dipelajari. Salah
satu sarana atau wadah yang dipakai dalam pembelajaran diantaranya lembaga
pendidikan, baik melalui pendidikan formal di sekolah maupun pendidikan nonformal
atau informal di luar sekolah. Menurut Undang-Undang No. 20 th 2003 tentang
Sisdiknas pada ayat 14 tertulis: “Jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan
dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi”. Sedangkan pada pasal 26 ayat 1
tertulis: “Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang
memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah,
dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan
sepanjang hayat”. Dan pada pasal 27 ayat 1, tertulis: “Kegiatan pendidikan informal
yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara
mandiri”.
Pada Undang-Undang RI no. 20 tahun 2003 tentang “Sistem Pendidikan
Nasional” pasal 3 mengenai fungsi dan tujuan pendidikan nasional, menyatakan bahwa :
Pada pasal di atas, menyatakan bahwa fungsi dari pendidikan nasional adalah
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak yang bermuara pada
mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam hal ini memiliki jangkauan dan kajian yang
sangat luas, terutama kajian pendidikan yang menyangkut pembelajaran di
sekolah-sekolah. Dari berbagai pelajaran yang diajarkan di sekolah, matematika merupakan
salah satu mata pelajaran yang memberikan kontribusi positif bagi pencerdasan dan
pencerahan kehidupan bangsa. Matematika merupakan alat yang dapat memperjelas
dan menyederhanakan suatu keadaan atau situasi melalui abstraksi, atau generalisasi
untuk suatu studi atau pun pemecahan masalah. Matematika juga mampu
meningkatkan kemampuan untuk berpikir dengan jelas, logis, teratur, dan sistematis
(Boediono, 2002:1). Oleh karena itu matematika harus dipelajari dan dikuasai oleh
segenap warga negara sebagai sarana untuk memecahkan masalah dalam kehidupan
sehari-hari, sehingga mereka mampu bertahan dalam era globalisasi yang
berteknologi maju disaat sekarang maupun yang akan datang.
Matematika merupakan suatu ilmu yang mendasari dan mendukung
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi informasi dan komunikasi tersebut.
Seperti yang tertulis dalam lampiran Standar Isi matematika, bahwa;
“Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan
teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin dan mengembangkan daya pikir manusia. Perkembangan pesat dibidang teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini dilandasi oleh perkembangan matematika di
bidang teori bilangan, aljabar, analisis, teori peluang dan matematika diskrit”.
Untuk menguasai dan mencipta teknologi di masa depan diperlukan
matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang wajib diajarkan di setiap
jenjang pendidikan formal, dari SD sampai Perguruan Tinggi, sesuai dengan UU RI
no. 20 tentang Sisdiknas pada pasal 37, bahwa matematika merupakan salah satu ilmu
dasar.
Matematika tidak hanya diperlukan untuk mempelajari matematika lebih lanjut
dalam jenjang yang lebih tinggi, tetapi juga diperlukan untuk mempelajari ilmu-ilmu
lain seperti ilmu pengetahuan alam (IPA), ilmu teknik, kedokteran, ilmu ekonomi,
dan ilmu sosial (Yuli Darwati, 2009:1). Matematika juga digunakan secara langsung
dalam kehidupan sehari-hari.
Begitu pentingnya matematika sehingga mata pelajaran matematika mendapat
jumlah jam pelajaran yang lebih banyak dari mata pelajaran lain, selain itu di
pendidikan nonformal dan informalpun mata pelajaran matematika mendapat
perhatian yang lebih dari orang tua siswa. Banyak orang tua siswa yang memfasilitasi
anaknya untuk memperoleh tambahan jam pelajaran matematika di luar jam pelajaran
sekolah, melalui les atau bimbingan belajar pada lembaga tertentu dan orang tua di
rumah memberi perhatian lebih terhadap mata pelajaran matematika.
Salah satu tujuan pembelajaran matematika dalam KTSP adalah dapat
mengembangkan berpikir kritis siswa yang melibatkan imajinasi, intuisi, dan
penemuan dengan mengembangkan pemikiran divergen, orisinil, rasa ingin tahu,
membuat prediksi dan dugaan, serta mencoba-coba. Dengan demikian pembelajaran
berpikir kritis, logis, kreatif dan bekerja sama yang diperlukan siswa dalam
kehidupan modern.
Belajar matematika berkaitan erat dengan aktivitas dan proses berpikir
(Sabandar : 2009). Melalui aktivitas dan proses berpikir diharapkan setiap siswa
dapat menggali kemampuan yang terpendam yang dimilikinya. Kemampuan yang
harus digali dan dikembangkan diantaranya adalah kemampuan berpikir kritis, tanpa
meningkatkan dan mengandalkan pembelajaran matematika yang berkualitas yang
menuntun siswa agar mau berpikir, akan sangat sulit untuk dapat tercapai
kemampuan berpikir dengan harapan menghasilkan sebuah hasil prestasi belajar
matematika yang baik.
Dalam belajar matematika, hal ini tentu bukan suatu hal yang sederhana.
Aktivitas dan proses berpikir akan terjadi apabila seorang individu berhadapan
dengan suatu situasi atau masalah yang mendesak dan menantang serta dapat
memicunya untuk berpikir agar diperoleh kejelasan dan solusi atau jawaban terhadap
masalah yang dimunculkan dalam situasi yang dihadapinya (Sabandar : 2009).
Dengan demikian meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi perlu
diupayakan.
Upaya meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi, diantaranya
kemampuan berpikir kritis yang perlu mendapatkan perhatian. Hasil studi
internasional ke tiga dalam bidang matematika dan IPA (TIMSS) memperlihatkan
bukti bahwa soal-soal matematika tidak rutin yang memerlukan kemampuan berpikir
Indonesia yang mengikuti studi tersebut. Untuk penyelesaian soal-soal itu, prestasi
Indonesia berada jauh di bawah rata-rata (Suryadi, 2005).
Survey yang dilakukan JICA Technical Cooperation Project for Development
of Science and Mathematics Teaching for Primary and Secondary Education in
Indonesia atau IMSTEP pada tahun 1999 di kota Bandung, menemukan sejumlah
kegiatan bermatematika yang dipandang sulit oleh siswa maupun oleh guru
matematika SMP. Kegiatan tersebut diantaranya pembuktian atau justifikasi,
pemecahan masalah yang memerlukan penalaran matematik, menemukan
generalisasi/konjektur, dan menemukan hubungan antara data-data atau fakta yang
diberikan. Hasil studi internasional ketiga dalam bidang matematika dan IPA,
matematika tidak rutin yang memerlukan kemampuan berpikir tingkat tinggi pada
umumnya tidak berhasil dijawab dengan benar oleh sampel siswa Indonesia (Suryadi,
2005). Selain itu, menurut Maulana (2008) hasil studi pendahuluan yang
dilakukannya melaporkan bahwa nilai rata-rata kemampuan berpikir kritis mahasiswa
program D2 PGSD kurang dari 50% dari skor maksimal.
Dari data tersebut, dapat disimpulkan bahwa kemampuan tingkat tinggi
khususnya kemampuan berpikir kritis masih perlu ditingkatkan. Pembelajaran yang
dilakukan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis harus memberikan
kesempatan kepada siswa untuk melakukan eksplorasi, baik melalui pemberian soal
yang tidak bersifat prosedural atau pemberian materi yang tidak secara langsung
Sebagai contoh kasus, pada saat siswa mengerjakan soal multiple choice,
siswa mengerjakan dengan sungguh-sungguh ternyata jawabannya ada pada
pilihannya, dengan senang hati dan tanpa berpikir panjang siswa tersebut langsung
memilih jawaban tersebut, setelah dikoreksi lagi di rumah ternyata jawaban tersebut
salah. Dengan demikian berarti siswa tidak mempunyai kemampuan berpikir kritis.
Timbul pertanyaan, mengapa kemampuan berpikir kritis siswa rendah?
apakah karena siswa tersebut kurang suka terhadap matematika, atau kemampuan
dasar matematika yang rendah. Bagaimana dengan disposisi matematis siswa?
Menurut penelitian Erlita (2006), masih banyak siswa yang mengerjakan soal latihan
matematika dengan mencontoh hasil kerja temannya, tanpa memiliki keingintahuan
yang tinggi terhadap matemaika. Ini berarti disposisi matematis siswa rendah. Senada
dengan pernyataan tersebut, Hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh
Kusumawati (2010) pada siswa SMP peringkat tinggi, sedang dan rendah sebanyak
297 orang di kota Palembang. Hasil studi menunjukkan persentase skor rerata
disposisi matematis siswa, baru mencapai 58 persen yang diklasisifikasikan rendah.
Berdasarkan kurikulum 2006, penilaian dari disposisi matematis termuat
dalam ranah afektif yang menjadi tujuan pendidikan matematika di SMP, yaitu,
“peserta didik memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan,
yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian dan minat dalam mempelajari matematika,
serta sikap ulet dan pecaya diri dalam pemecahan masalah”.
Dari penilaian ranah afektif seperti yang dikemukakan dalam Kurikulum 2006
pembelajaran matematika. Jadi selain kemampuan berpikir kritis siswa yang harus
ditingkatkan, juga diperlukan sikap positif siswa terhadap matematika (disposisi
matematis) yang harus dimiliki oleh setiap siswa. Disposisi matematis tersebut
menurut Polking (dalam Sumarmo, 2009) diantaranya: Rasa percayadiri, fleksibel,
tekun, keingintahuan yang tinggi, cenderung memonitor diri sendiri, mengetahui
kegunaan matematika, dan menghargai matematika.
Bila ditelusuri lebih jauh, faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya hasil
belajar siswa, salah satu diantaranya, adalah strategi pembelajaran yang digunakan
guru tidak bervariasi dan guru kurang melakukan perbaikan terhadap program
pembelajaran dengan menerapkan strategi-strategi yang sesuai dengan materi
pelajaran yang dibicarakan dan karakteristik siswa (Erlita. 2006:7). Padahal menurut
Undang-Undang RI no. 20 tahun 2003 tentang “Sistem Pendidikan Nasional” pasal 1
ayat 1 menyatakan bahwa:
“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, ahlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa, dan negara”.
Cukup jelas bahwa pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana, terencana disini
maksudnya pendidikan itu harus direncanakan baik oleh pemerintah, kepala sekolah,
maupun guru agar dapat mewujudkan proses pembelajaran yang menjadikan siswa
aktif. Guru merupakan garda terdepan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
ekspositori. Satu strategi pembelajaran saja tidak akan banyak membantu siswa
(Pennen, 2001: 21). Pembelajaran menjadi monoton dan membosankan. Siswa
kurang perhatian terhadap pembelajaran yang diberikan guru, sehingga proses
pembelajaran peserta didik tidak aktif. Dengan demikian, materi pelajaran tak
mampu diserap oleh siswa dengan baik.
Seringnya guru menggunakan strategi pembelajaran klasikal mungkin faktor
lain yang menyebabkan rendahnya hasil belajar siswa. Strategi ini bersiklus sebagai
berikut: guru menjelaskan materi pelajaran, memberi contoh dan memberi latihan
secara klasikal yang dikerjakan oleh siswa secara individual. Strategi pembelajaran
seperti ini lebih terpusat pada guru. Siswa tidak berperan aktif dalam belajar. Tidak
terjadi interaksi antara siswa dengan siswa, atau antara guru dengan siswa.
Pembelajaran bersifat satu arah dari guru ke siswa. Pada saat guru memberikan
latihan soal-soal secara klasikal, hanya beberapa siswa yang mampu mengerjakan
soal. Siswa lainnya ada yang mencontoh hasil pekerjaan temannya, ada pula yang tak
mengerjakan sama sekali, dengan alasan tidak mengerti. Selain itu juga dengan tidak
adanya kerja sama/interaksi dalam pembelajaran menyebabkan siswa kesulitan
memahami materi matematika, dan selanjutnya sikap siswa terhadap pelajaran
matematika negatif. Hal ini tidak sejalan dengan tujuan pembelajaran matematika
dalam KTSP.
Pada saat ini masih banyak guru-guru yang mengajarkan matematika tidak
sesuai dengan pendidikan yang diharapkan undang-undang seperti yang tertulis pada
“text book oriented”, menginformasikan rumus-rumus matematika dan dilanjutkan
dengan meminta siswa mengahafalnya, agar nanti dapat digunakan dalam
menyelesaikan soal.
Dengan dapat menyelesaikan soal, siswa memperoleh nilai sesuai dengan
harapannya. Di satu sisi siswa memperoleh nilai yang diharapkan tapi di sisi lain ada
sesuatu yang hilang, yang justru sangat penting untuk masa depannya, yaitu proses
untuk memperoleh rumus tersebut. Dalam proses tersebut bukan hanya rumus saja
yang didapatkan sehingga siswa bisa mengingatnya lebih lama, tapi pola pikir dalam
proses pencarian rumus tersebut akan bermanfaat dalam mengambil tindakan dalam
kehidupan sehari-hari.
Mengajarkan matematika tanpa aktivitas dan proses berpikir secara langsung
akan mengurangi kesempatan bahkan meniadakan kesempatan bagi siswa untuk
berlatih berpikir dalam pembelajaran matematika (Sabandar :2009).
Sebenarnya pembelajaran yang tidak melakukan proses yang diharapkan
terhadap siswanya dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan berpikirnya,
wawasannya, ilmu pengetahuannya, atau keterampilannya maka kompetensi
lulusannya tidak akan sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini pun tidak sejalan
dengan ciri-ciri masyarakat global saat ini.
Menurut PBB (dalam Chaeruman, 2010:3), salah satu tantangan pendidikan
dewasa ini adalah membangun keterampilan abad 21, diantaranya adalah
efektif dan keterampilan berkolaborasi. Memiliki ke lima keterampilan itu merupakan
ciri masyarakat berpengetahuan (knowledge-based society).
Juga tidak sejalan dengan cita-cita luhur pendidikan bangsa Indonesia yang
tercantum dalam undang-undang atau tidak sesuai dengan Permen Diknas no. 41 thn
2007, tentang Standar Proses, yang dikeluarkan oleh BSNP. Bahwa :
“Kegiatan pembelajaran dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Kegiatan ini dilakukan
secara sistematis dan sistemik melalui proses, eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi”.
Pada kenyataan di lapangan masih banyak pembelajaran yang diselenggarakan
apa adanya atau berjalan begitu saja tanpa ada proses sesuai dengan aturan, tentunya
pendidikan seperti ini tidak sesuai dengan pendidikan yang diharapkan oleh
Undang-Undang. Pendidikan harus dilaksanakan dengan usaha sadar dan terencana untuk
meningkatkan wawasan siswa. Dengan tidak adanya usaha dan rencana yang baik
maka siswa akan bersikap acuh tak acuh terhadap matematika. Dengan demikian rasa
cinta atau menyenangi matematika kurang sekali. Siswa belajar matematika hanya
melaksanakan kewajiban saja, sehingga kemampuan disposisi matematis dan
kemampuan berpikir kritis terhadap materi pelajaran akan hilang.
Dalam upaya meningkatkan kualitas kemampuan berpikir kritis siswa dan
meningkatkan disposisi matematis siswa dalam pelajaran matematika, maka perlu
terus dilakukan usaha-usaha untuk mencari penyelesaian terbaik guna meningkatkan
kreativitas berupa pengembangan kemampuan berpikir kritis siswa dalam pelajaran
inovasi-inovasi dalam pembelajaran sehingga proses belajar-mengajar dapat lebih
bermakna bagi siswa, juga siswa merasa senang belajar matematika, dan akhirnya
matematika menjadi teman baik bagi siswa. Dengan demikian, kemampuan berpikir
kritis dan disposisi matematis siswa akan berkembang ke arah yang lebih baik.
Salah satu solusi dari permasalahan-permasalahan di atas adalah pembelajaran
matematika di sekolah dengan menggunakan strategi reciprocal teaching yang
merupakan suatu alternatif, dengan harapan dapat membuat siswa lebih aktif terlibat
dalam proses pembelajaran matematika di kelas. Keaktifan siswa tersebut dapat
terwujud dengan mengikuti setiap proses pembelajaran matematika berupa interaksi
dalam kegiatan proses pembelajaran dan mengajukan cara-cara penyelesaian dari
suatu masalah matematika yang diberikan. Melalui keterlibatan siswa secara aktif
dalam proses reciprocal teaching tersebut, maka diharapkan kemampuan berpikir
kritis dan disposisi matematis siswa akan terus terlatih dengan baik. Reciprocal
teaching diharapkan dapat memicu keaktifan siswa di dalam kelas yang sasarannya
dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan disposisi matematis siswa.
Reciprocal Teaching adalah suatu pendekatan pembelajaran yang didahului
dengan membaca bahan ajar kemudian menerapkan empat strategi, yaitu; siswa
menjelaskan kembali pengetahuan yang telah diperolehnya, menyusun pertanyaan
dan menyelesaikannya, memprediksikan pertanyaan selanjutnya dari persoalan yang
disodorkan kepada siswa, kemudian menyimpulkan bahan ajar. Manfaatnya adalah
aktif berdiskusi dan menjelaskan hasil pekerjaannya dengan baik sehingga
penguasaan konsep suatu pokok bahasan matematika dapat dicapai.
Berdasarkan uraian di atas, maka keperluan untuk melakukan studi yang
berfokus pada pengembangan strategi pembelajaran yang diduga dapat
mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan disposisi matematis, dipandang oleh
penulis menjadi sangat urgen dan utama. Dalam hubungan ini, maka penulis mencoba
melakukan penelitian yang berkaitan dengan strategi reciprocal teaching, serta
kemampuan berpikir kritis dan disposisi matematis dan diberi judul “Penggaruh
Penggunaan Strategi Reciprocal Teaching terhadap Kemampuan Berpikir Kritis dan
Disposisi Matematis Siswa SMP”.
Dalam penelitian ini dianalisis perbedaan kemampuan berpikir kritis dan
disposisi matematis siswa pada kelas yang menggunakan pembelajaran dengan
strategi Reciprocal teaching berdasarkan kemampuan awal matematis (atas, tengah,
dan bawah), sehingga bisa mengetahui apakah perbedaan kemampuan berpikir kritis
dan disposisi matematis antara kemampuan awal matematis tersebut signifikan atau
tidak? Kemudian dilihat di kategori mana pembelajaran dengan strategi reciprocal
teaching lebih baik digunakan? Apakah dikategori KAM atas, tengah, atau bawah?
Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei. Di kelas eksperimen maupun di kelas
kontrol diasumsikan mempunyai kemampuan berpikir kritis atau disposisi matematis
awal yang sama. Dengan pertimbangan, kelas eksperimen dan kelas kontrol
mempunyai kemampuan berpikir kritis atau disposisi matematis awal yang sama dan
sehingga tidak cukup waktu untuk melakukan pretes, maka pada penelitian ini tidak
dilakukan pretes.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka masalah pokok yang menjadi
kajian dalam penelitian ini terfokus pada perbedaan peningkatan kemampuan berpikir
kritis dan disposisi metematis siswa antara pembelajaran matematika konvensional
dan pembelajaran yang menggunakan strategi reciprocal teaching ditinjau dari
keseluruhan siswa serta berdasarkan kemampuan awal matematis. Rumusan masalah
dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Apakah terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis matematis antara siswa
yang memperoleh pembelajaran Reciprocal Teaching dengan siswa yang
memperoleh pembelajaran konvensional ?
2. Apakah terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang
belajar melalui pembelajaran dengan strategi reciprocal teaching berdasarkan
kemampuan awal matematis (atas, tengah, dan bawah)?
3. Apakah terdapat pengaruh interaksi antara pembelajaran yang digunakan dan
kemampuan awal matematis siswa (atas, tengah, dan bawah) terhadap
kemampuan berpikir kritis matematis siswa?
4. Apakah terdapat perbedaan disposisi matematis antara siswa yang memperoleh
pembelajaran Reciprocal Teaching dengan siswa yang memperoleh pembelajaran
5. Apakah terdapat perbedaan disposisi matematis siswa yang belajar melalui
pembelajaran dengan strategi reciprocal teaching berdasarkan kemampuan awal
matematis (atas, tengah, dan bawah)?
6. Apakah terdapat pengaruh interaksi antara pembelajaran yang digunakan dan
kemampuan awal matematis siswa (atas, tengah, bawah) terhadap disposisi
matematis siswa?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk:
1. Untuk menelaah perbedaan kemampuan berpikir kritis dan disposisi matematis
antara siswa yang belajar menggunakan strategi reciprocal teaching dengan siswa
yang memperoleh pembelajaran konvensional.
2. Untuk menelaah perbedaan kemampuan berpikir kritis dan disposisi matematis
siswa yang belajar melalui pembelajaran dengan strategi reciprocal teaching
berdasarkan kemampuan awal matematis siswa.
3. Untuk melihat apakah terdapat pengaruh interaksi antara faktor strategi
pembelajaran yang diberikan dan faktor kategori kemampuan awal matematis
siswa terhadap kemampuan berpikir kritis dan disposisi matematis siswa.
4. Untuk mengetahui aktivitas siswa selama proses belajar dengan strategi reciprocal
teaching dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan disposisi matematis
D. Manfaat Penelitian
Berdasarkan latar belakang maka diharapkan penelitian ini bermanfaat:
1. Sebagai informasi dan memberikan kesempatan bagi guru matematika untuk
dapat mengenal dan mengembangkan pembelajaran dengan strategi reciprocal
teaching dalam upaya meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan disposisi
matematis siswa sebagai salah satu metode alternatif dalam menyampaikan
informasi kepada siswa.
2. Memberikan suatu pandangan kepada guru agar mengembangkan strategi
pembelajaran yang bersifat konstruktivistik, yang memberi kesempatan kepada
siswa untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, sehingga guru mempunyai
keinginan untuk mengubah paradigma pembelajaran matematika dari
pembelajaran yang terpusat kepada guru menjadi pembelajaran yang terpusat
pada siswa.
3. Sebagai sumbangan pemikiran dalam upaya meningkatkan mutu pembelajaran
matematika di sekolah.
4. Manfaat bagi peneliti sendiri adalah agar peneliti siap menjadi guru yang
profesional dan inovatif dalam mengajarkan matematika di kemudian hari.
E. Definisi Operasional
Untuk menghindari terjadinya perbedaan penafsiran terhadap istilah-istilah
yang digunakan pada penelitian ini, perlu dikemukakan definisi operasional sebagai
1. Berpikir kritis adalah berpikir rasional dan reflektif yang difokuskan pada
pemutusan terhadap apa yang harus diyakini atau dilakukan.
2. Indikator kemampuan berpikir kritis dalam penelitian ini adalah :
a. Kemampuan memberikan penjelasan sederhana, dengan kemampuan yang
diukur, siswa mampu menjawab pertanyaan yang membutuhkan
penjelasan.
b. Kemampuan membuat kesimpulan, dengan kemampuan yang diukur,
siswa dapat melakukan dan mempertimbangkan induksi (membuat
generalisasi).
c. Kemampuan membuat penjelasan lebih lanjut, dengan kemampuan yang
diukur :
- Membuktikan (mengungkap konsep, teorema atau definisi dan
menggunakannya dalam menyelesaikan masalah).
- Merumuskan pokok-pokok permasalahan dan menggunakannya.
d. Kemampuan mengatur strategi dan taktik, dengan kemampuan yang
diukur, siswa dapat memecahkan masalah.
3. Strategi Reciprocal Teaching
Reciprocal Teaching adalah suatu strategi pembelajaran yang didahului dengan
membaca bahan ajar oleh siswa dalam kelompoknya kemudian setelah itu
menerapkan empat strategi, yaitu: menjelaskan, menyusun pertanyaan,
4. Disposisi matematis adalah keinginan, kesadaran, dan dedikasi yang kuat pada
diri siswa untuk belajar dan melaksanakan berbagai kegiatan matematika.
Indikator untuk mengukur disposisi matematis adalah:
a. Rasa percaya diri.
b. fleksibel dalam mengeksplorasi ide matematis.
c. tekun mengerjakan tugas matematika.
d. ketertarikan dan keingintahuan untuk menemukan sesuatu yang baru
dalam mengerjakan matematika.
e. kecenderungan untuk memonitor dan merefleksi proses berpikir dan
kinerja.
f. mengaplikasi matematika dalam bidang lain dan dalam kehidupan
sehari-hari.
g. penghargaan matematika dalam budaya dan nilai, baik matemattika
BAB III
METODE DAN PROSEDUR PENELITIAN
A. Disain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian quasi eksperimen, karena pemilihan
sampel penelitian dilakukan berdasarkan data yang ditawarkan oleh pihak sekolah.
Artinya, pengambilan sampel tidak dilakukan secara acak.
Pada penelitian ini ada dua kelompok subjek penelitian yaitu kelompok
eksperimen yang melakukan pembelajaran dengan menggunakan strategi reciprocal
teaching dan kelompok kontrol yang melakukan pembelajaran dengan pendekatan
konvensional. Sugiyono, (2009: 107) menyatakan bahwa metode penelitian quasi
eksperimen dapat diartikan sebagai metode penelitian yang digunakan untuk mencari
pengaruh perlakuan tertentu terhadap yang lain dalam kondisi yang terkendalikan.
Dalam penelitian ini terdapat dua variabel yaitu variabel bebas, variabel terikat, dan
variabel kontrol. Variabel bebasnya yaitu pembelajaran matematika dengan strategi
reciprocal teaching, sedangkan variabel terikatnya yaitu kemampuan berpikir kritis
dan disposisi matematis siswa, dan variabel kontrolnya adalah tingkat kemampuan
awal matematis siswa yang terdiri dari kemampuan atas, tengah dan bawah.
Pendekatan kualitatif digunakan untuk memperoleh gambaran tentang sikap
positif siswa terhadap pembelajaran matematika dengan strategi reciprocal teaching.
Sedangkan pendekatan kuantitatif digunakan untuk memperoleh gambaran tentang
kemampuan berpikir kritis matematis siswa. Desain yang digunakan pada penelitian
melibatkan paling tidak dua kelompok. Kelompok pertama memperoleh perlakuan
khusus yang direncanakan dan kelompok lain hanya memperoleh perlakuan biasa
(Ruseffendi, 2005:49). Desain ini digambarkan seperti berikut.
X O --- O
Sumber : (Ruseffendi, 2005:49)
Pada penelitian ini tidak dilakukan pretes, dengan pertimbangan, kelas eksperimen
dan kelas kontrol diasumsikan mempunyai kemampuan berpikir kritis atau disposisi
matematis awal yang sama dan waktu pelaksanaan observasi di lapangan/di sekolah
mendekati ulangan umum, sehingga tidak cukup waktu untuk melakukan pretes.
Untuk melihat secara lebih mendalam pengaruh penggunaan pendekatan tersebut
terhadap kemampuan berpikir kritis dan disposisi matematis pada siswa SMP, maka
dalam penelitian ini dilibatkan tingkat kemampuan awal matematis siswa (atas,
tengah, dan bawah). Keterkaitan antar variabel bebas, terikat, dan kontrol disajikan
dalam model Weiner yang disajikan pada Tabel 3.1 berikut:
Tabel.3.1 Tabel Weiner tentang Keterkaitan Antar Variabel Bebas, Terikat dan Kontrol
Keterangan:
PRT(A) : Pembelajaran dengan strategi reciprocal teaching
PK(B) : Pembelajaran Konvensional
KBK-A : Kemampuan berpikir kritis siswa kelompok atas
DM-A : Kemampuan disposisi matematis siswa kelompok atas
KBK-T : Kemampuan berpikir kritis siswa kelompok tengah
DM-T : Kemampuan disposisi matematis siswa kelompok tengah
KBK-B : Kemampuan berpikir kritis siswa kelompok bawah
DM-B : Kemampuan disposisi matematis siswa kelompok bawah.
RKBK(A) : Rata-rata kemampuan berpikir kritis dengan Strategi
Reciprocal teahing.
RKBK(B) : Rata-rata kemampuan berpikir kritis dengan cara konvensional
RDM(A) : Rata-rata kemampuan disposisi matematis dengan Strategi
reciprocal teaching.
RDM(B) : Rata-rata kemampuan disposisi matematis dengan pembelajaran konvensional
B. Populasi dan Responden Sampel Penelitian
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII pada salah satu
SMP Negeri di Kabupaten Lampung Utara. Adapun responden sampel dalam
penelitian ini dipilih dua kelas. Sampel dipilih karena sekolah tersebut merupakan
sekolah dalam level sedang, dan tegolong pada sekolah berstandar nasional ( Sekolah
SSN ) sehingga terdapat variasi tingkat kecerdasan anak yaitu; tinggi, sedang, dan
Sampel penelitian dipilih secara purposive. Purposive sampling merupakan
penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2009). Dari delapan
kelas yang ada di kelas VIII, dipilih dua kelas secara acak dengan cara mengundi
untuk dijadikan sampel penelitian. Satu kelas untuk kelas eksperimen dan kelas yang
satunya untuk kelas kontrol. Teknik acak kelas ini digunakan karena setiap kelas dari
seluruh kelas yang ada mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai
sampel penelitian. Dari hasil undi tersebut terpilih kelas VIII A sebanyak 30 orang
dan kelas VIII G sebanyak 32 orang.
Untuk menentukan kategori kemampuan awal matematis (KAM) siswa, dari
dua kelas sampel tersebut diambil nilai tiga kali ulangan terakhir, kemudian diambil
rata-ratanya dan dirangking secara keseluruhan dari dua kelas tersebut, setelah
dirangking diambil tiga bagian untuk menentukan, atas, tengah, dan bawah. Kategori
atas 20 orang, tengah 22 orang dan bawah 20 orang. Kemudian dari tiga kategori
tersebut dipisah berdasarkan kelas masing-masing, yaitu kelas eksperimen dan kelas
kontrol. Setelah dipisah, pada kelas eksperimen terdapat 11 orang kategori atas,
kategori tengah 11 orang, dan kategori bawah 8 orang, dan pada kelas kontrol, atas 9
orang, tengah 11 orang, dan bawah 12 orang.
Dalam penelitian ini, data KAM dianalisis dengan tujuan untuk mengetahui
perbedaan rata-rata KAM. Uji ini untuk meyakinkan peneliti bahwa kedua kelas
tersebut perbedaannya signifikan atau perbedaannya tidak signifikan. Dengan
H0 = tidak terdapat perbedaan rata-rata antara KAM kelas eksperimen dengan
KAM kelas kontrol.
H1 = terdapat perbedaan rata-rata antara KAM kelas eksperimen dengan KAM
kelas kontrol.
Sebelum uji hipotesis dilakukan dulu uji normalitas dan uji homogenitas
varians. Hal ini dilakukan sebagai syarat uji-t (independent samples T-test). Jika data
KAM ternyata tidak normal atau tidak homogen maka untuk uji perbadaan
rata-ratanya menggunakan uji Mann-Whitney U.
C. Instrumen Penelitian
Untuk memperoleh data dalam penelitian ini digunakan beberapa macam
instrumen, yaitu seperangkat tes kemampuan berpikir kritis,
skala sikap mengenai
pendapat siswa terhadap pelajaran matematika, sehingga bisa mengetahui disposisi
matematis siswa, serta lembar observasi untuk menjaring aktivitas siswa dan guru
selama proses pembelajaran.
1. Instrumen Tes Matematika
Instrumen tes matematika disusun berdasarkan kisi-kisi tes kemampuan
berpikir kritis. Tujuan dari penyusunan instrumen tes kemampuan berpikir kritis
matematis adalah untuk mengukur kemampuan berpikir kritis matematis setelah
proses pembelajaran. Materi yang diteskan adalah Bangun Ruang Sisi Datar Limas
uraian. Alasan pemilihan soal berbentuk uraian adalah agar dapat terlihat sistematika
berpikir, kelogisan serta kejelasan jawaban siswa. Indikator dari kemampuan berpikir
kritis dapat dilihat pada Lampiran B-1.
Sebelum instrumen tes diujicobakan, dikonsultasikan dulu kepada dua orang
dosen pembimbing. Instrumen diperiksa dari segi bahasa dan redaksi, sajian, serta
akurasi gambar atau ilustrasi, kemudian soal diujicobakan secara empiris. Tujuan
ujicoba empiris ini untuk mengetahui tingkat reliabilitas seperangkat instrumen tes
dan validitas butir soal. Instrumen tes diujicobakan kepada siswa yang sudah pernah
mendapatkan materi Bangun Ruang Sisi Datar Limas dan Prisma, yaitu kelas IX pada
salah satu SMP Negeri di Kab. Lampung Utara sebanyak 32 orang. Kemudian data
yang diperoleh dari ujicoba tes kemampuan berpikir kritis matematis ini dianalisis
untuk mengetahui validitas, reliabilitas, daya pembeda, dan tingkat kesukaran tes
tersebut.
a. Analisis Validitas Tes Kemampuan Berpikir Kritis
Validitas butir soal dari suatu tes adalah ketepatan mengukur yang dimiliki
oleh sebutir soal dalam mengukur apa yang seharusnya diukur lewat butir soal
tersebut (Sudijono, 2001). Sebuah butir soal dikatakan valid bila mempunyai
dukungan yang besar terhadap skor total.
Untuk mengukur validitas digunakan rumus sebagai berikut :
�
=
�( )−� − � −
Keterangan:
rXY= koefisien korelasi antara variabel X dan Y
N = banyaknya peserta tes X = skor item tes
Y = skor total
Interpretasi mengenai besarnya koefisien validitas dalam penelitian ini
menggunakan ukuran yang dibuat Arikunto, seperti pada Tabel berikut.
Tabel 3.2
Nilai Koefisien Korelasi Validitas dan Interpretasinya
Koefisien Korelasi Interpretasi
diperoleh nilai koefisien korelasi validitas butir soal. Rangkuman uji validitas tes
kemampuan berpikir kritis matematis disajikan pada Tabel 3.3. Perhitungan
selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran C.2.
Tabel 3.3
Uji Validitas Soal Tes Kemampuan Berpikir Kritis no soal koefisien korelasi interpretasi
Dari delapan soal yang diujicobakan, tampak pada Tabel 3.3, soal kemampuan
berpikir kritis mempunyai interpretasi validitas yang berbeda, soal no. 5 dan 7
validitasnya sangat tinggi, soal no. 1, 2, 3, 6, dan 8 validitasnya tinggi, jadi soal
tersebut dapat dipakai untuk mengukur kemampuan berpikir kritis, karena dapat
mengukur apa yang seharusnya diukur. Sedangkan soal no. 4 validitasnya sangat
rendah, sehingga soal no. 4 tidak dapat digunakan dalam penelitian ini. Tinggi
rendahnya validitas dapat dilihat dari nilai koefisien korelasi dari skor masing-masing
butir soal terhadap skor totalnya.
b. Analisis Reliabilitas
Reliabilitas suatu alat ukur dimaksudkan sebagai suatu alat yang memberikan
hasil yang tetap sama (konsisten, ajeg) (Suherman.dkk, 2003). Suatu alat ukur
memiliki reliabilitas yang baik bila alat ukur itu memiliki konsistensi yang handal walaupun
dikerjakan oleh siapapun (dalam level yang sama), kapanpun dan di manapun berada. Sesuai
dengan bentuk soal tesnya yaitu tes bentuk uraian, maka untuk menghitung
reliabilitasnya menggunakan rumus Alpha-Cronbach, sebagai berikut:
dengan: n = banyak soal
= variansi item
= variansi total (Sugiyono, 2009)
Tingkat reliabilitas dari soal uji coba kemampuan berpikir kritis didasarkan
Tabel 3.4
Klasifikasi Tingkat Reliabilitas Besarnya r11 Tingkat Reliabilitas 0,00
r11 < 0,20 Kecil0,20
r11 < 0,40 Rendah 0,40
r11 < 0,70 Sedang 0,70
r11 <0,90 Tinggi 0,90
r11
1,00 Sangat tinggiUntuk menghitung besarnya nilai reliabilitas (r11) dalam penelitian ini
menggunakan program SPSS versi 16, sehingga diperoleh nilai reliabilitasnya.
Rangkuman uji reliabilitas tes kemampuan berpikir kritis matematis disajikan pada
Tabel 3.5. Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran C.2.
Tabel 3.5 Uji Reliabilitas Tes
Kemampuan � Interpretasi
Berpikir kritis 0,77 Tinggi
Dari Tabel 3.5, tampak bahwa tes kemampuan berpikir kritis siswa memiliki
konsistensi yang handal walaupun dikerjakan oleh siapapun (dalam level yang sama),
kapanpun dan di manapun berada.
Ruseffendi (1991:196) mengatakan bahwa instrumen yang reliabilitasnya
tinggi belum tentu valid. Tingginya koefisien reliabilitas suatu instrumen merupakan
syarat perlu agar instrumen itu valid, tapi belum cukup, tapi bila intrumen itu valid,
maka instrumen itu akan mengukur apa yang semestinya harus diukur sehingga
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa instrumen yang valid adalah
reliabel, tetapi tidak sebaliknya, instrumen yang reliabel belum tentu valid. Selain
validitas dan reliabilitas, perlu juga menganalisis butiran soal, karena menurut
Ruseffendi (1991:198), bagusnya satu set soal tes itu tergantung juga dari
butiran-butiran soalnya, maka perlu menganalitis daya pembeda dan tingkat kesukarannya.
c. Analisis Daya Pembeda
Daya pembeda adalah kolelasi antara skor jawaban terhadap sebuah butir soal
dengan skor jawaban seluruh soal (Ruseffendi, 1991:199). Menurut Arikunto (2009),
Daya pembeda soal adalah kemampuan suatu soal untuk membedakan antara siswa
yang berkemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan rendah.
Suatu soal dikatakan tidak baik apabila soal tersebut tidak dapat dijawab
dengan benar oleh siswa yang berkemampuan tinggi maupun siswa yang
berkemampuan rendah, atau soal tersebut bisa dijawab oleh siswa berkemampuan
rendah tapi tidak bisa dijawab oleh siswa berkemampuan tinggi. Daya pembeda akan
baik bila soal tersebut bisa membedakan siswa berkemampuan tinggi dengan siswa
berkemampuan rendah.
Soal yang digunakan pada penelitian ini merupakan soal uraian. “Sebelum
melakukan perhitungan koefisien daya pembeda, terlebih dahulu mengelompokkan
responden dengan menentukan 50% termasuk kelompok atas (pandai) dan 50%
termasuk kelompok bawah (kurang)” (Ruseffendi, 1991:199). Menurut Ebel (dalam
persentasenya 25%-25% atau 27% - 27%, meskipun perhitungannya lebih sederhana,
tetapi dengan mengambil ujung-ujungnya, bisa jadi sebagian informasinya hilang,
sehingga hasilnya bias”
Teknik yang digunakan untuk daya pembeda soal bentuk uraian adalah
menghitung dua rata-rata (mean), yaitu antara rata-rata dari kelompk atas dengan
rata-rata dari kelompok bawah, (Zaenal, 2009:278). Untuk menghitung koefisian
Daya Pembeda menggunakan Program Microsoft Office Excel 2007. Dengan rumus
yang dipakai:
x = rata-rata dari kelompok atas
2
x
= rata-rata dari kelompok bawah
21
x = jumlah kuadrat deviasi individual dari kelompok atas
22
x = jumlah kuadrat deviasi individual dari kelompok bawah N = banyak seluruh responden
n = 50% x N (baik untuk kelompok atas maupun kelompok bawah)
Daya pembeda ditentukan dengan membandingkan t hitung dengan t Tabel ( untuk df =
2n-2 dan tingkat kepercayaan α = 0,01). Bila t hitung > t Tabel, maka daya pembedanya
signifikan, artinya soal tersebut dapat membedakan siswa dari kelompok atas dengan
siswa kelompok bawah.
Perhitungan daya pembeda dapat dilihat pada Lampiran C-3. Dengan df = 30
dan α = 0,01, diperoleh t Tabel = 2,750. Rangkuman hasil uji coba daya pembeda tes
Tabel 3.6
Uji Daya Pembeda Soal Tes Kemampuan Berpikir Kritis Matematis
No.soal 1 2 3 4 5 6 7 8
t hitung 9,909 4,847 4,139 0,259 5,233 4,391 5,056 4,603
Sig. Sig. Sig. Tdk.
Sig.
Sig. sig Sig sig
Dari Tabel 3.6, dapat dilihat bahwa dari kedelapan butir soal kemampuan berpikir
kritis matematis yang tidak signifikan hanya soal no. 4, jadi soal tersebut tidak dapat
dipakai, sedangkan soal yang lainnya signifikan, jadi dapat membedakan antara siswa
yang berkemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan rendah.
d. Analisis Tingkat Kesukaran Soal
Analisis tingkat kesukaran soal perlu dilakukan pada instrumen untuk
mengetahui derajat kesukaran dalam butir soal yang kita buat. Menurut Ruseffendi
(1991), kesukaran suatu butiran soal ditentukan oleh perbandingan antara jumlah skor
yang didapat siswa pada butir soal itu dengan jumlah skor ideal pada butir soal itu.
Butir-butir soal dikatakan baik, jika butir-butir soal tersebut tidak terlalu sukar dan
tidak terlalu mudah (Arikunto, 2009).
dihitung menggunakan rumus:
TK = ��
�
Dengan :
TK = Tingkat kesukaran
SA = Jumlah skor yang didapat siswa pada butir soal itu.
Kriteria tingkat kesukaran soal yang digunakan dalam uji coba soal
kemampuan berpikir kritis matematis didasarkan pada tabel berikut:
Tabel 3.7
Rangkuman hasil perhitungan uji tingkat kesukaran untuk tiap butir soal tes
kemampuan berpikir kritis matematis dapat dilihat pada Tabel 3.8 berikut.
Tabel 3.8
Uji Tingkat Kesukaran Soal Tes Kemampuan Berpikir Kritis
No. Soal Koefisien Tingkat
digunakan dalam penelitian. Soal no. 3 termasuk kategori sukar. Soal no. 1, 2, 5, 6,
7, dan 8 merupakan soal dengan kategori tingkat kesukaran “sedang”. Hasil
Tabel 3.9
Rekapitulasi Analisis Hasil Ujicoba Soal Tes Kemampuan Berpikir Kritis
4 Sangat rendah Tidak baik Sangat sukar Dibuang
5 Sangat tinggi Sangat baik Sedang Digunakan
6 Tinggi Baik Sedang digunakan
7 Sangat tinggi Baik Sedang digunakan
8 Tinggi Sangat baik Sedang digunakan
Berdasarkan hasil analisis keseluruhan terhadap hasil uji coba tes kemampuan
berpikir kritis matematis yang dilaksanakan di SMPN kelas IX , dapat disimpulkan
bahwa soal tes tersebut layak untuk mengukur kemampuan berpikir kritis matematis
siswa SMP kelas VIII yang merupakan sampel pada penelitian ini, kecuali soal no. 4.
Sehingga soal No. 4 tidak dipakai dalam soal postes.
Setelah diperoleh hasil uji coba, instrumen tes dikonsultasikan kembali kepada
pembimbing. Hal ini dilakukan untuk memperbaiki instrumen tes meliputi penegasan
kalimat serta kejelasan gambar.
2. Skala Sikap
Skala sikap yang digunakan dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
disposisi matematis siswa terhadap pelajaran matematika. Model skala yang
digunakan adalah model skala Likert. Derajat penilaian terhadap suatu pernyataan
tersebut terbagi ke dalam 5 kategori, yaitu : sangat setuju (SS), setuju (S), Netral (N),
pernyataan yang bersifat positif, pemberian skornya adalah SS diberi skor 5, S diberi
skor 4, N diberi skor 3, TS diberi skor 2, dan STS diberi skor 1. Sedangkan untuk
pernyataan negatif, pemberian skornya adalah SS diberi skor 1, S diberi skor 2, N
diberi skor 3, TS diberi skor 4, dan STS diberi skor 5.
Agar perangkat skala sikap ini memenuhi persyaratan yang baik, maka skala
sikap yang telah dibuat terlebih dahulu diuji validitas isinya. Uji validitas isi
dilakukan dengan meminta pertimbangan dua orang dosen pembimbing, sehingga
diperoleh 40 item pernyataan yang digunakan sebagai instrumen penelitian.
Untuk menganalisa respon siswa pada skala sikap yang diberikan, digunakan
dua jenis skor respon yang dibandingkan yaitu, skor respon siswa yang diberikan
melalui angket dan skor respon netral. Skor respon netral yang digunakan adalah 3.
Jika rata-rata skor subjek lebih besar dari pada skor netral, maka subjek tersebut
mempunyai sikap positif terhadap pernyataan tersebut. Sebaliknya jika rata-rata skor
subjek kurang dari skor netral maka subjek tersebut memiliki sikap negatif terhadap
pernyataan yang dimaksud. Jika terhadap seluruh pernyataan, rata-rata skornya lebih
dari skor netral maka responden mempunyai disposisi matematis yang baik.
3. Lembar Observasi
Lembar observasi digunakan untuk melihat aktivitas siswa dan guru selama
proses pembelajaran berlangsung di kelas eksperiman. Aktivitas siswa yang diamati
pada kegiatan strategi reciprocal teaching adalah keaktifan siswa dalam mengajukan
mengemukakan ide untuk menyelesaikan masalah, bekerjasama dalam kelompok
dalam melakukan kegiatan pembelajaran, berada dalam tugas kelompok, membuat
kesimpulan di akhir pembelajaran dan menulis hal-hal yang relevan dengan
pembelajaran. Sedangkan aktivitas guru yang diamati adalah kemampuan guru dalam
melaksanakan pembelajaran dengan strategi reciprocal teaching. Tujuannya adalah
untuk dapat memberikan refleksi pada proses pembelajaran, agar pembelajaran
berikutnya dapat menjadi lebih baik daripada pembelajaran sebelumnya dan sesuai
dengan skenario yang telah dibuat.
D. Pengembangan Bahan Ajar
Perangkat pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini disusun dalam
bentuk bahan ajar yang berupa teori tentang Bangun Ruang Sisi Datar Limas dan
Prisma dan juga Lembar Kegiatan Siswa (LKS). Bahan ajar dan LKS tersebut
dikembangkan dari topik matematika berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) yang berlaku di Sekolah Menengah Pertama tempat penulis
melakukan penelitian.
Semua perangkat pembelajaran untuk kelompok eksperimen dikembangkan
dengan mengacu pada keempat tahapan dalam pembelajaran dengan strategi
reciprocal teaching, yaitu menjelaskan kembali pengetahuan yang telah
diperolehnya, menyusun pertanyaan dan menyelesaikannya, memprediksikan
pertanyaan selanjutnya dari persoalan yang disodorkan kepada siswa, kemudian
namun diberikan tugas dan latihan yang sama dengan yang diberikan pada kelas
eksperimen.
E. Teknik Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini akan dikumpulkan melalui tes, lembar observasi,
dan angket skala sikap. Data yang berkaitan dengan kemampuan berpikir kritis
matematis siswa dikumpulkan melalui tes (postes). Data yang berkaitan dengan
disposisi matematis siswa terhadap pelajaran matematika dikumpulkan melalui
angket skala sikap siswa.
F. Teknik Pengolahan Data
Data-data yang diperoleh dari kemampuan awal matematis (KAM) siswa dan
postes dianalisis secara statistik. Hasil pengamatan observasi pembelajaran dianalisis
secara deskriptif. Data yang akan dianalisis adalah data kuantitatif berupa hasil tes
kemampuan berpikir kritis matematis siswa dan data kualitatif berupa angket
disposisi matematis untuk siswa. Hasil dari skala disposisi matematis merupakan
skala ordinal, karena mau diuji hipotesisnya maka data dari skala disposisi matematis
ditransformasi ke data interval, dengan menggunakan Method of Successive Interval
(MSI). Dalam perhitungannya menggunakan progam MSI dengan bantuan microsoft
excel. Untuk pengolahan data penulis menggunakan bantuan program software SPSS
16, dan Microsoft Excel 2007.
1. Data Hasil Tes Berpikir Kritis dan Disposisi Matematis
Dalam penelitian ini ingin melihat perbedaan rata-rata kemampuan berpikir
melalui pembelajaran dengan strategi reciprocal teaching dan siswa yang belajar
dengan pendekatan konvensional dengan (uji-T), juga melihat perbedaan kemampuan
berpikir kritis dan disposisi matematis siswa yang belajar dengan strategi reciprocal
teaching berdasarkan KAM siswa dengan (anova satu jalur), serta untuk melihat
pengaruh interaksi antara pendekatan pembelajaran (kelas eksperimen dan kontrol)
dan kategori kemampuan awal matematis siswa (atas, tangah, dan bawah) terhadap
kemampuan berpikir kritis dan disposisi matematis siswa (ANOVA Dua Jalur).
Data yang diperoleh dari hasil postes diolah melalui tahap-tahap sebagai
berikut:
Sebelum data hasil penelitian diolah, terlebih dahulu dipersiapkan beberapa
hal, antara lain:
a. Memberikan skor jawaban siswa sesuai dengan alternatif jawaban dan pedoman
penskoran yang digunakan.
b. Membuat tabel skor tes siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol.
c. Menetapkan tingkat kesalahan atau tingkat signifikansi yaitu 5% (�= 0,05).
Sebelum dilakukan uji hipotesis, perlu dilakukan uji normalitas distribusi data dan uji
homogenitas variansi data. Uji normalitas dan uji homogenitas varians dipakai
sebagai syarat untuk uji-t (independent samples T-test). Jika distribusi data tidak
normal maka menggunakan uji statistik non-parametrik.
Uraian uji normalitas distribusi data dan uji homogenitas variansi data sebagai
1) Uji Normalitas
Uji normalitas digunakan untuk mengetahui normal atau tidaknya distribusi
data yang menjadi syarat untuk menentukan jenis statistik yang digunakan dalam
analisis selanjutnya. Hipotesis yang diuji adalah:
H0 : sampel berasal dari populasi berdistribusi normal
H1 : sampel berasal dari populasi tidak berdistribusi normal
Uji normalitas ini menggunakan Uji statistik yaitu Kolmogorov-Smirnov
untuk data (n) = 30, dan menggunakan Shapiro-Wilk untuk data > 30. Kriteria
pengujian, jika nilai signifikansi > � maka H0 diterima.
2) Uji Homogenitas
Pengujian homogenitas antara dua kelompok data dilakukan untuk
mengetahui apakah varians kedua kelompok homogen atau tidak homogen. Adapun
hipotesis yang akan diuji adalah:
H0 : variansi pada tiap kelompok sama
H1 : tidak semua variansi pada tiap kelompok sama
Uji statistiknya menggunakan Uji Levene. Kriteria pengujian H0 diterima apabila
nilai signifikansi > taraf signifikansi (�= 0,05).
Hipotesis penelitian diuji menggunakan statistik inferensial. Adapun uji
statistik yang digunakan pada pengolahan data penelitian berupa tes sebagai berikut.
Uji perbedaan dua rerata yang digunakan tergantung dari hasil uji normalitas
data dan uji homogenitas variansi data. Adapun hipotesis yang diuji dalam uji
perbedaan dua rerata antara lain:
Uji dua pihak/arah (2-tailed)
H0 : �� = ��
H1 : �� ≠ ��
Keterangan : �� = rata-rata skor kelas eksperimen
k = rata-rata skor kelas kontrolJika kedua data berdistribusi normal, maka uji perbedaan dua rerata
menggunakan uji statistik parametrik, yaitu uji Idependent-Samples T Test. Jika
variansi kedua kelompok data homogen, nilai signifikansi yang diperhatikan yaitu
nilai pada baris “Equal variances assumed”. Sedangkan jika variansi kedua
kelompok data tidak homogen, nilai signifikansi yang diperhatikan yaitu nilai pada
baris “Equal variances not assumed”. Sedangkan jika terdapat minimal satu data
tidak berdistribusi normal, maka uji perbedaan dua rerata menggunakan uji statistik
non-parametrik, yaitu uji Mann-Whitney U. Alasan pemilihan uji Mann-Whitney U
yaitu dikarenakan kedua sampel diuji saling bebas (independen) (Ruseffendi, 1993).
Kriteria penerimaan H0 untuk uji dua pihak yaitu bila nilai signifikansi > 0,025.
Dimana 0,025 diperoleh dari ½ , untuk � = 0,05.
Adapun hipotesis yang diuji dalam anova satu jalur adalah perbedaan
kemampuan BK dan DM siswa yang menggunakan pembelajaran dengan
strategi reciprocal teaching, terhadap kategori KAM siswa (atas, tengah, dan
bawah).
c) Uji ANOVA dua jalur
Adapun hipotesis yang diuji dalam uji ANOVA dua jalur antara lain:
1) Pengaruh pembelajaran terhadap peningkatan kemampuan berpikir kritis dan
disposisi matematis
H0 : �� = ��
H1 : �� ≠ ��
Keterangan : �� = rata-rata skor kelas eksperimen
k = rata-rata skor kelas kontrol2) Pengaruh kemampuan awal matematis (atas, tengah, dan bawah) terhadap
peningkatan kemampuan berpikir kritis dan disposisi matematis
H0 : �1 =�2 = �3 (semua sama)
H1 : minimal ada dua yang berbeda
Keterangan : �1 = rata-rata skor pada kategori KAM atas
2 = rata-rata skor pada kategori KAM tengah3) Pengaruh interaksi faktor pembelajaran dan faktor kemampuan awal
matematis terhadap peningkatan kemampuan berpikir kritis dan disposisi
matematis
H0 : tidak terdapat pengaruh interaksi antara faktor pembelajaran dan faktor
kemampuan awal matematis terhadap kemampuan BK dan DM.
H1 : terdapat pengaruh interaksi antara faktor pembelajaran dan faktor
kemampuan awal matematis terhadap kemampuan BK dan DM.
Kriteria penerimaan H0 yaitu bila nilai signifikansi > �. (� = 0,05)
d) Uji perbandingan tiga rerata
Uji ini dilakukan membandingkan tiga rerata kemampuan awal yaitu atas,
tengah, dan bawah. Uji yang digunakan adalah uji Scheffe karena uji ini dapat
digunakan untuk membandingkan sampel yang saling bebas. Selain itu, uji ini juga
berlaku untuk membandingkan sampel yang tidak sama besar (Ruseffendi, 1993).
Hipotesis yang diuji adalah
H0 : �1 =�2 = �3
H1 : minimal ada dua yang berbeda
Kriteria penerimaan H0 yaitu jika nilai signifikansi > �.(� = 0,05)
2. Data Hasil Observasi
Data hasil observasi yang dianalisis adalah aktivitas siswa dan guru selama
proses pembelajaran berlangsung yang dirangkum dalam lembar observasi.
pembelajaran berikutnya dapat menjadi lebih baik dari pembelajaran sebelumnya dan
sesuai dengan skenario yang telah dibuat. Selain itu, lembar observasi ini digunakan
untuk mendapatkan informasi lebih jauh tentang temuan yang diperoleh secara
kuantitatif dan kualitatif.
G. Prosedur Penelitian 1. Persiapan Penelitian
Persiapan yang dilakukan dalam melakukan penelitian ini adalah :
a. Melakukan studi kepustakaan, yaitu mengidentifikasi dan merumuskan
masalah, dan melakukan studi literatur.
b. Membuat instrumen dan bahan ajar.
c. Memvalidasikan isi dan muka instrumen oleh para ahli.
d. Menguji coba instrumen dan menganalisis hasil uji coba instrumen.
e. Membuat rencana pembelajaran yang akan dilaksanakan.
f. Membuat perizinan pelaksanaan penelitian.
g. Menentukan subjek penelitian, kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.
h. Menentukan kategori kemampuan awal matematis siswa yang diperoleh dari
data rata-rata nilai tiga kali ulangan harian terakhir.
2. Pelaksanaan Pembelajaran dengan Strategi Reciprocal Teaching .
Pada tahap pelaksanaan pembelajaran ini dilakukan langkah-langkah sebagai berikut :
a. Guru membagi siswa menjadi beberapa kelompok kecil, dimana setiap
kelompoknya berjumlah antara 3-5 orang. Setiap kelompok yang dibentuk
b. Guru membagikan bahan ajar berbentuk modul dan latihan kerja siswa
(LKS) kepada tiap-tiap kelompok yang telah terbentuk.
c. Siswa membaca bahan ajar yang telah diterimanya. Selama dalam selang
membaca siswa bisa menanyakan tentang hal-hal yang belum dimengerti.
d. Setelah selesai mambaca siswa bisa menjelaskan kembali kepada temannya
dalam satu kelompok, teman yang lain bertanya apabila ada yang tidak
mengerti, setelah itu mereka memprediksi pertanyaan masing-masing yang
akan dijawab oleh temannya dalam satu kelompok, kemudian siswa
merangkum hal-hal yang penting.
e. Siswa mendiskusikan LKS yang diberikan oleh guru dan selama siswa
berdiskusi, guru menilai :
1) Keseriusan siswa dalam keterlibatan berdiskusi (antusias).
2) Pola pikir siswa saat berdiskusi.
3) Keaktifan siswa dalam berdiskusi.
4) Cara berbicara siswa dalam berdiskusi.
5) Cara siswa menarik kesimpulan dari hasil diskusi.
f. Hasil diskusi dikelompoknya ditulis kembali oleh setiap siswa dan
dikumpulkan kepada guru.
g. Tiap-tiap wakil kelompok mempresentasikan di depan kelas materi yang telah
didiskusikan bersama anggota kelompoknya.
i. Pada tiap pertemuan guru pendamping mengisi lembar observasi untuk guru
dan untuk siswa.
3. Akhir Pelaksanaan Pembelajaran
Pada akhir pelaksanaan pembelajaran, peneliti memberikan tes pada kelas
eksperimen dan kelas kontrol untuk mengetahui kemampuan berpikir kritis dan
disposisi matematis.
4. Pengolahan Hasil
a. Memeriksa hasil postes kemampuan berpikir kritis dan disposisi
matematis.
b. Mengolah dan menganalisis data.
c. Menganalisis temuan dari hasil pengolahan dan analisis data.
5. Pelaporan Hasil Penelitian (penulisan tesis). 6. Evaluasi
Tahap evaluasi merupakan tahap akhir dari rangkaian kegiatan yang telah
dilakukan dalam penelitian ini. Hasil implementasi pembelajaran yang
menerapkan strategi reciprocal teaching dianalisis dan dievaluasi. Kekurangan
yang ada di masing-masing strategi diperbaiki dan disempurnakan.
Untuk lebih jelasnya mengenai prosedur penelitian dapat diperhatikan pada
Gambar 3.1.
Flowchart Prosedur Pelaksanaan Penelitian
Penyusunan instrumen dan bahan ajar
Uji coba instrumen
Penentuan Subjek Penelitian
Tes BK dan DM
Pengumpulan Data
Pengolahan Data dan Analisis Data
Pelaporan hasil penelitian Observasi kegiatan
siswa dan guru
Evaluasi Pembelajaran dengan strategi
reciprocal teaching
Pembelajaran Konvensional Studi Kepustakaan: identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, studi literatur, dll
Validasi isi dan muka instrumen oleh ahli
Analisis hasil uji coba
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan analisis data dan pembahasan yang dikemukakan pada bab
IV, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut.
Secara keseluruhan kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang
memperoleh pembelajaran dengan strategi reciprocal teaching lebih baik dari
pada pembelajaran konvensional. Bahkan rata-rata nilai kemampuan berpikir
kritis untuk kategori KAM bawah pada kelas eksperimen lebih baik dari pada
kategori KAM atas pada kelas kontrol. Ini menunjukkan bahwa pembelajaran
dengan strategi reciprocal teaching cocok untuk materi bangun ruang sisi datar.
Terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis yang signifikan berdasarkan
kategori KAM (atas, tengah, dan bawah) pada pembelajaran dengan strategi
reciprocal teaching, yaitu untuk KAM atas dengan KAM tengah, dan KAM atas
dengan KAM bawah, sedangkan KAM tengah dan KAM bawah perbedaannya
tidak signifikan, atau dapat dikatakan bahwa pembelajaran dengan strategi
reciprocal teaching untuk KAM tengah dan KAM bawah hasilnya tidak jauh
berbeda.
Faktor pembelajaran mempengaruhi kemampuan berpikir kritis. Begitu juga
faktor kategori KAM siswa mempengaruhi kemampuan berpikir kritis. Tidak
terdapat pengaruh interaksi yang signifikan antara faktor pembelajaran dan
Secara keseluruhan disposisi matematis siswa yang memperoleh
pembelajaran dengan strategi reciprocal teaching lebih baik daripada
pembelajaran konvensional.
Tidak terdapat perbedaan disposisi matematis siswa yang signifikan
berdasarkan kemampuan awal matematis pada kelas eksperimen. Ini berarti
bahwa disposisi matematis siswa pada tiap kategori sama atau sikap siswa
terhadap pelajaran matematika sama, nilai rata-rata terkecil untuk kategori bawah
= 3,47 (dalam skala nilai 5) berarti pandangan siswa terhadap mata pelajaran
matematika sama-sama positif, atau sama-sama baik.
Pembelajaran berpengaruh terhadap disposisi matematis, KAM siswa juga
berpengaruh terhadap disposisi matematis, tetapi tidak terdapat pengaruh interaksi
antar pembelajaran dan KAM siswa terhadap disposisi matematis. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa faktor pembelajaran dan KAM tidak
bersama-sama berpengaruh terhadap disposisi matematis siswa.
Tidak terdapat pengaruh interaksi antar pembelajaran dan KAM siswa baik
terhadap kemampuan berpikir kritis ataupun disposisi matematis, artinya dengan
pembelajaran apapun yang diberikan pada kelas yang diteliti, untuk siswa yang
KAM-nya tinggi setelah dilakukan pembelajaran baik reciprocal teaching maupun
pembelajaran konvensional memiliki kemampuan yang tetap tinggi dibanding
siswa dengan KAM tengah atau rendah, begitu juga siswa dengan KAM tengah
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian, ada beberapa hal rekomendasi berhubungan
dengan penelitian ini, antara lain:
1. Pembelajaran matematika dengan strategi reciprocal teaching hendaknya
digunakan sebagai salah satu alternatif pendekatan pembelajaran matematika
bagi guru untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan disposisi
matematis siswa, dan pengambil kebijakan dalam hal ini salah satunya kepala
sekolah, perlu mensosialisasikannya kepada guru-guru di sekolahnya.
2. Penelitian ini hanya terbatas pada materi Bangun Ruang Sisi Datar.
Diharapkan pada peneliti lainnya untuk mengembangkan strategi reciprocal
teaching pada materi-materi pelajaran lainnya.
3. Sampel penelitian yang diambil hanya dua kelas sehingga hasil penelitian ini
belum tentu sesuai dengan sekolah atau daerah lain yang memiliki
karakteristik dan psikologi siswa yang berbeda. Diharapkan kepada peneliti
lainnya agar bisa menggunakan sampel yang lebih besar, dengan tujuan
memperkecil kesalahan dan mendapatkan generalisasi yang lebih akurat.
4. Perlu diteliti bagaimana pengaruh pembelajaran dengan strategi reciprocal
teaching terhadap kemampuan matematis lainnya.
5. Pada pembelajaran dengan strategi reciprocal teaching soal yang dibuat siswa
ada soal yang kurang berbobot atau tidak menunjukkan kemampuan berpikir
kritis, dan keragaman soalnya ada yang belum memenuhi indikator,
diharapkan kepada peneliti lain mengupayakan agar soal yang dibuat siswa