• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III KRITERIA PERJANJIAN TIMBAL BALIK YANG DI DALAMNYA MENGANDUNG SYARAT BATAL BERDASARKAN PASAL 1266 KUHPER

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III KRITERIA PERJANJIAN TIMBAL BALIK YANG DI DALAMNYA MENGANDUNG SYARAT BATAL BERDASARKAN PASAL 1266 KUHPER"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

93 BAB III

KRITERIA PERJANJIAN TIMBAL BALIK YANG DI DALAMNYA MENGANDUNG SYARAT BATAL BERDASARKAN

PASAL 1266 KUHPER

3.1. Pengertian Perjanjian Timbal Balik

Berdasarkan Pasal 1266 KUHPer, maka hanya dalam perjanjian timbal balik terdapat syarat batal. Jika terdapat wanprestasi dari salah satu pihak maka pihak lainnya berhak meminta pembatalan perjanjian. Hanya dalam perjanjian timbal balik saja terdapat hak untuk meminta pembatalan.

Tuntutan pembatalan berdasarkan Pasal 1266 KUHPer hanya dapat dilakukan terhadap perjanjian timbal balik yang sempurna, yaitu perjanjian di mana masing-masing pihak mengikatkan diri untuk melakukan prestasi dan sebaliknya pihak lawan berhak atas prestasi. Dalam perjanjian sepihak tidak dapat dituntut pembatalan karena kewajiban hanya ada pada satu pihak saja sedangkan fungsi tuntutan pembatalan adalah sebagai alat untuk membebaskan diri dari kewajiban melakukan prestasi jika pihak lawan telah melakukan wanprestasi.

Tuntutan pembatalan juga tidak dapat dilakukan pada perjanjian timbal balik tidak sempurna, karena pada perjanjian jenis ini pada prinsipnya meletakkan prestasi pada satu pihak, tetapi dapat menimbulkan kewajiban pada pihak lainnya.

Misalnya pada perjanjian penitipan barang yang prestasinya hanya ada pada pihak

yang menerima titipan, yaitu menjaga barang yang dititipkan dengan baik dan jika

(2)

94

timbul biaya untuk menjaga barang tersebut, kewajiban mengganti biaya tersebut (yang sebenarnya bukan merupakan prestasi) harus dibayar oleh pihak yang menitipkan barangnya (Pasal 1728 KUHPer).

KUHPer sendiri tidak mengatur bagaimana kriteria yang dimaksud dengan perjanjian timbal balik. Untuk mengetahui kriteria perjanjian timbal balik, sebelumnya dapat dilihat makna kata per kata. Kata timbal balik menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia dapat diartikan; pada kedua belah sisi (pihak), atau dari kedua belah pihak; bersambut-sambutan; saling (menagih, menuntut, mencintai)

130

. Dari definisi kata tersebut, tampak bahwa dalam perjanjian timbal balik ada hubungan saling memiliki kewajiban dan hak.

Hubungan diantara kedua belah pihak atau hubungan saling memilki hak dan kewajiban, didukung oleh pendapat dari beberapa sarjana. J.Satrio mengemukakan pendapatnya mengenai pengertian perjanjian timbal balik yakni:

Perjanjian timbal balik perjanjian yang menimbulkan kewajiban-kewajiban (dan karenanya hak juga) kepada kedua belah pihak, dan hak serta kewajiban itu mempunyai hubungan satu dengan lainnya.Yang dimaksud dengan

“mempunyai hubungan satu dengan yang lain” adalah, bahwa bilamana dalam perikatan yang muncul dari perjanjian tersebut, yang satu mempunyai hak, maka pihak yang lain di sana berkedudukan sebagai pihak yang memikul kewajiban

131

.

J.Satrio mengemukakan bahwa pembagian antara perjanjian timbal balik dan lawannya yakni perjanjian sepihak adalah dilihat dari perikatan yang timbul apakah mengikat satu pihak atau kedua belah pihak (walaupun dalam uraiannya

130

WJS Poerwadarminta, 2007, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, susunan, diolah kembali oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Balai Pustaka, Jakarta, hal.1272.

131

J.Satrio III, Op.Cit, hal.36-37.

(3)

95

sendiri ia menyadari bahwa bahkan dalam perjanjian sepihak pun seperti pinjam pakai ada juga timbul perikatan pada kedua belah pihak), sehingga yang dipakai sebagai patokan adalah kewajiban pokoknya, bukan kewajiban sampingannya.

J.Satrio mencontohkan perjanjian timbal balik diantaranya perjanjian jual beli, sewa menyewa, tukar menukar.

Pendapat dari Rutten merumuskan “perjanjian timbal balik sebagai perjanjian yang masing-masing pihak menimbulkan perikatan terhadap yang lain”.

132

Perumusan dari Rutten bahwa dalam tiap-tiap perikatan selalu ada dua belah pihak, dimana pihak yang satu mempunyai hak dan pihak yang lain mempunyai kewajiban. Adanya dua pihak dalam sebuah perikatan memiliki konsekuensi timbulnya perikatan pada masing-masing pihak. Berdasarkan hal tersebut maka dalam sebuah perikatan paling tidak terdapat dua perikatan, dimana salah satu pihak mempunyai hak dan pada perikatan lainnya ia berkedudukan sebagai pihak yang mempunyai kewajiban.

J.Satrio mengemukakan bahwa kewajiban pada kedua belah pihak mempunyai nilai yang sama (seimbang) baik objektif maupun subjektif sehingga jika syarat ini tidak terpenuhi maka perjanjian itu tidak dapat disebut sebagai perjanjian timbal balik.

133

Berbeda dengan perjanjian timbal balik tak sempurna yang merupakan perjanjian sepihak, karena kewajiban pokoknya hanya ada pada salah satu pihak saja, contohnya perjanjian pemberian kuasa tanpa upah.

132

Ibid, hal.38.

133

Ibid.

(4)

96

Beda dengan pendapat J.Satrio yang menyamakan antara perjanjian timbal balik tidak sempurna dengan perjanjian sepihak, Salim membedakan antara perjanjian timbal balik tidak sempurna dengan perjanjian sepihak. Menurut Salim

134

bahwa perjanjian timbal balik tidak sempurna menimbulkan kewajiban pokok bagi satu pihak,sedangkan pihak lainnya wajib melakukan sesuatu.

Misalnya si penerima pesan wajib untuk melaksanakan pesan yang dikenakan terhadapnya oleh orang pemberi pesan, dan apabila si penerima pesan dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut telah mengeluarkan biaya-biaya atau olehnya telah diperjanjikan upah, maka pemberi pesan harus menggantinya.

Perjanjian sepihak merupakan perjanjian yang selalu menimbulkan kewajiban bagi salah satu pihak saja contohnya perjanjian pinjam mengganti.

Herlien Budiono mengemukakan bahwa “suatu perjanjian dikatakan timbal balik jika dengan terjadinya perjanjian, timbul kewajiban timbal balik diantara para pihak. Singkatnya ada elemen tukar menukar prestasi atau prestasi ada pada kedua belah pihak.”

135

Menurutnya kriteria untuk menentukan kewajiban dari para pihak yang saling tergantung ditentukan oleh kewajiban pokoknya.

Herlien Budiono membedakan antara perjanjian timbal balik dengan perjanjian sepihak. Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang membebankan prestasi hanya pada satu pihak saja. Contoh perjanjian sepihak adalah perjanjian hibah, perjanjian penanggungan dan perjanjian pemberian kuasa tanpa upah.

134

Salim H.S, Op.Cit, hal.29.

135

Herlien Budiono II, Op.Cit, hal.54.

(5)

97

Termasuk ke dalam perjanjian sepihak adalah perjanjian pinjam pakai, penitipan barang tanpa biaya, dan pinjam meminjam tanpa bunga.

136

Perjanjian pinjam pakai, penitipan barang tanpa biaya, dan pinjam meminjam tanpa bunga, digolongkan sebagai perjanjian riil selain kata sepakat juga bendanya harus diserahkan. Penyerahan benda merupakan unsur dari perjanjian riil dan bukan merupakan prestasi. Prestasi ada pada pihak yang menerima titipan barang, yaitu untuk mengembalikan barang titipan seperti pada saat diserahkan barang saat penitipan. Pada perjanjian pinjam meminjam, prestasi ada pihak yang meminjam uang, yakni mengembalikan uang senilai yang dipinjamkannya.

Penyerahan barang dalam perjanjian sepihak tersebut di atas, bukan sebagai prestasi tetapi sebagai unsur dari perjanjian riil. Prestasi dalam hal ini adalah penyerahan kembali barangnya atau uangnya dari pihak lainnya. Berbeda dalam hal terjadi penambahan biaya, bunga atau upah dalam perjanjian tersebut, barulah dapat dikatakan sebagai perjanjian timbal balik.

Herlien Budiono menjelaskan lebih lanjut contoh dalam menentukan kewajiban pokok. Misal dalam perjanjian jual beli, pihak penjual mempunyai kewajiban pokok untuk menyerahkan barangnya sedangkan pembeli membayar harga jual belinya. Dalam tukar menukar agak sulit untuk menentukan yang mana termasuk kewajiban pokoknya dan mana yang merupakan kewajiban tambahan.

136

Ibid, hal.55.

(6)

98

Dalam tukar menukar sulit untuk menentukan apakah prestasi itu seimbang atau tidak.

137

Pendapat Herlien Budiono berbeda dengan pendapat dari J.Satrio dalam menentukan kriteria perjanjian timbal balik. J.Satrio mensyaratkan adalanya kesamaan kewajiban/ keseimbangan kewajiban, sedangkan Herlien Budiono menyatakan “tidak diperlukan adanya ekuivalensi atau kesetimbangan dari prestasi yang dipertukarkan sebagai faktor penentu untuk menggolongkan suatu perjanjian sebagai perjanjian timbal balik.”

138

Alasan yang dikemukakan adalah karena tidak adanya ukuran baik subyektif maupun obyektif untuk menentukan keseimbangan tersebut.

3.2. Kriteria Perjanjian Timbal Balik

Herlien Budiono mengemukakan munculnya ajaran justum pretium, yang menyatakan bahwa dalam perjanjian harus diperlakukan asas keadilan. Di dalam undang-undang dikenal dengan itikad baik, kepatutan atau kepantasan. Kritik yang diajukan adalah tidak adanya formula yang memuaskan untuk menentukan prestasi yang paling mendekati titik ekuivalensi. Ajaran ini kadang dihubungkan dengan ajaran penyalahgunaan keadaan, sebagai dasar menuntut dibatalkannya perjanjian.

139

137

Ibid.

138

Ibid.

139

Ibid.

(7)

99

Asas keseimbangan sebagai salah satu alat ukur untuk menentukan prestasi yang paling mendekati titik ekuivanlensi dijabarkan oleh Herlien Budiono sebagai asas etikal dan asas yuridikal

140

. Menurut Herlien Budiono;

Sebagaimana dimaknai dalam bahasa sehari-hari, kata “seimbang” (evenwicht) menunjuk pada pengertian suatu “keadaan pembagian beban di kedua sisi berada dalam keadaan seimbang”. Di dalam konteks studi ini, “keseimbangan”

dimengerti sebagai “keadaan hening atau keselarasan karena dari pelbagai gaya yang bekerja tidak satu pun mendominasi yang lainnya, atau karena tidak satu elemen menguasai lainnya

141

.

Kata “keseimbangan” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti keadaan seimbang (seimbang-sama berat, setimbang, sebanding, setimpal)

142

. Dalam hubungannya dengan perjanjian, secara umum asas keseimbangan bermakna sebagai keseimbangan posisi para pihak yang membuat perjanjian.

Keseimbangan dalam perjanjian dibatasi oleh dua hal, pertama yakni dibatasi oleh kehendak untuk mendapatkan keadaan yang menguntungkan dan kedua keyakinan akan kemampuan untuk mewujudkan hasil yang dikehendaki tersebut.

Dalam batasan kedua sisi inilah diperoleh keseimbangan yang dimaknai positif.

Hal ini memberikan dasar landasan etikal kekuatan mengikat perjanjian sepanjang dilandasi asas keseimbangan hubungan antaran kepentingan perorangan dan kepentingan umum atau antara kepentingan kedua belah pihak.

Asas keseimbangan juga sebagai asas yuridikal dapat dilihat dari maksud dan tujuan dari suatu perjanjian. Berkenaan dengan tujuan dari perjanjian sesuai dengan teori dari Atiyah adalah untuk melaksanakan janji-janji dan melindungi

140

Herlien Budiono I, Op.Cit, hal.304.

141

Ibid.

142

Muhammad Syaifuddin, Op.Cit, hal.97.

(8)

100

harapan yang wajar ditimbulkan baik dari janji-janji maupun bentuk lain kesepakatan, mencegah usaha untuk menambah kekayaan secara tidak wajar, dan mencegah kerugian ekonomi dengan pemberian kompensasi/ ganti rugi, maka pendapat dari Atiyah tersebut disempurnakan oleh Herlien Budiono dengan menambah satu tujuan lagi dari perjanjian yakni untuk mencapai keseimbangan antara kepentingan sendiri dan kepentingan terkait dari pihak lawan

143

.

Tujuan dari perjanjian tersebut barulah tercapai jika adanya pertemuan antara penawaran dan penerimaan. Penawaran dan permintaan sendiri mengandung suatu janji. Namun tidak serta merta pertemuan antara penawaran dan permintaan membentuk perjanjian. Perjanjian baru akan terbentuk jika terdapat pertemuan atau persesuaian antara janji-janji yang ditujukan satu terhadap lainnya. Janji sendiri mengandung dua aspek penting, yakni kehendak dan kemampuan bertindak.

Menurut Herlien Budiono “suatu janji yang telah diberikan berarti penyerahan dari apa yang dapat diminta oleh pihak yang menawarkan kepada pihak yang menerima”.

144

Janji dapat dipandang sebagai hak untuk bertindak. Para pihak berjanji karena para pihak memiliki hak bertindak (kemampuan bertindak).

Berangkat dari teori P.S.Atiyah yang menggabungkan antara janji individual dan kewajiban untuk mencegah kerugian, Herlien Budiono memberikan definisi bahwa “perjanjian adalah suatu “proses” yang bermula dari janji menuju kesepakatan (bebas) dari para pihak dan berakhir dengan pencapaian tujuan:

143

Herlien Budiono I, Op.Cit, hal.310.

144

Ibid, hal.314.

(9)

101

perjanjian yang tercapai dalam semangat/jiwa keseimbangan”.

145

Keseimbangan antara kepentingan pribadi dan masyarakat akan memunculkan perpindahan kekayaan dan tindakan memperkaya diri yang dapat dibenarkan.

3.2.1. Karakteristik asas keseimbangan dalam perjanjian timbal balik.

Menurut Herlien Budiono, asas keseimbangan memiliki tiga karakteristik diantaranya adanya pengharapan yang obyektif, kesetaraan para pihak dan asas keseimbangan in concreto.

146

Untuk lebih jelasnya maka dapat diuraikan satu persatu yakni:

a.Pengharapan yang obyektif.

Dalam suatu perjanjian, kepentingan individu dan masyarakat akan bersamaan dijamin oleh hukum objektif. Asas keseimbangan dilandaskan pada upaya mencapai suatu keadaan seimbang yang sebagai landasan timbulnya pertukaran kekayaan yang sah. Tidak terpenuhinya asas keseimbangan akan berpengaruh terhadap kekuatan yuridikal perjanjian tersebut. Ketidakseimbangan terjadi akibat perilaku para pihak ataupun sebagai konskuensi dari muatan isi perjanjian atau pelaksanaan perjanjian.

Berkaitan dengan isi atau maksud dan tujuan perjanjian yang di dalamnya terkandung pengharapan akan prestasi yang diinginkan. Motif akan prestasi harus tampak dalam pembentukan kehendak dan sepatutnya diketahui oleh para pihak.

Semakin tinggi pengharapan akan berdampak pada ruang lingkup maupun kualitas kewajiban para pihak dalam perjanjian. Isi perjanjian akan merujuk pada

145

Ibid, hal.315.

146

Ibid, hal.317-322.

(10)

102

kewajiban pemberitahuan, penelitian dan penyampain informasi, dengan tujuan agar kehendak yang terbentuk terjadi selaras dengan maksud dan tujuan para pihak/ tidak terdapat motif terselubung. Pengharapan yang obyektif merupakan upaya mencegah dirugikannya salah satu pihak dalam perjanjian.

b.Kesetaraan para pihak.

Suatu perjanjian menjadi tidak dapat dipaksakan/ditolak jika tampak bahwa kedudukan faktual salah satu pihaknya adalah lebih kuat dan kedudukan tidak seimbang ini mempengaruhi isi, maksud/tujuan perjanjian. Akibat ketidaksetaraan prestasi dalam perjanjian bertimbal balik adalah ketidakseimbangan. Hal ini dapat dijadikan dasar bagi pihak yang dirugikan untuk mengajukan tuntutan ketidakabsahan perjanjian.

Prestasi yang dijanjikan dalam perjanjian bertimbal balik didasari pada kesetaraan, maka bila terjadi ketidakseimbangan, akan dilihat pada proses/ faktor bagaimana cara perjanjian terbentuk, bukan pada hasil akhir dari prestasi yang diharapkan/ditawarkan secara bertimbal balik. Faktor mengenai cara terbentuknya perjanjian yang melibatkan pihak-pihak yang berkedudukan tidak setara merupakan hal yang dapat mengganggu keseimbangan perjanjian.

Kriteria untuk menentukan kesetaraan pada perjanjian timbal balik berbeda

dengan perjanjian cuma-cuma. Kesetaraan pada perjanjian timbal balik diartikan

sebagai kesetaraan para pihak, bukan pada kesetaraan prestasi yang dijanjikan,

sedangkan pada perjanjian cuma-cuma didasarkan pada karakteristik maksud dan

tujuannya. Untuk perjanjian yang menguntungkan hanya pada salah satu pihak,

bukan dilihat pada kesetaraan prestasi namun pada sudut pandang pihak yang

(11)

103

berkehendak menguntungkan orang lain dengan cara melalui suatu perjanjian yang menjanjikan suatu prestasi tanpa adanya kontra prestasi.

c. Asas keseimbangan in concreto.

Pembentukan perjanjian yang didahului cara atau prosedur yang tidak mencerminkan kesetaraan akan mengakibatkan ketidakseimbangan. Pencegahan kerugian akibat terjadinya ketidakseimbangan tergantung pada pihak yang dirugikan untuk menuntut pembatalan perjanjian. Cara bagaimana maksud dan tujuan suatu perbuatan hukum tergantung pada apa yang dinyatakan oleh pihak yang melakukan perbuatan hukum dimaksud serta maksud/ tujuan pernyataan tersebut.

3.2.2. Faktor penguji asas keseimbangan dalam perjanjian timbal balik.

Herlien Budiono merangkum bahwa kriterium keseimbangan tidak berarti bahwa situasi dan kondisi faktual dari tujuan perjanjian seimbang atau tidak, tetapi lebih pada kondisi sebelum perjanjian itu dibentuk dan pelaksanaan setelah perjanjian itu yang memunculkan kondisi ketidakseimbangan.

147

Untuk mengetahui apakah yang dimaksudkan dengan kondisi ketidakseimbangan, diperlukan beberapa faktor penguji diantaranya perbuatan para pihak, isi perjanjian, dan pelaksanaan perjanjian.

148

Untuk lebih jelasnya akan diuraikan sebagai berikut:

147

Ibid, hal.333.

148

Ibid, hal.334-338.

(12)

104

a.Perbuatan para pihak.

Perbuatan dimaksudkan sebagai kehendak yang diwujudkan dalam bentuk penawaran-penerimaan merujuk pada perbuatan individu baik secara lisan maupun tertulis. Perbuatan di sini ditujukan pada suatu akibat hukum. Perbuatan agar menimbulkan akibat hukum maka diperlukan pernyataan kehendak dan kewenangan bertindak. Perbuatan hukum yang dimaksudkan adalah pernyataan kehendak dari pihak yang berbuat atau bertindak untuk menciptakan, mengubah atau membatalkan suatu hubungan hukum tertentu.

Suatu perbuatan hukum tidak bersumber dari ketidaksempurnaan jiwa.

Keadaan tidak seimbang dapat terjadi sebagai akibat dari perbuatan hukum yang dapat menghalangi pengambilan keputusan atau pertimbangan secara matang.

Perbuatan karena ancaman, penipuan, atau penyalahgunaan keadaan masuk dalam golongan perbuatan ini. Perbuatan tidak seimbang yang dalam perjanjian menimbulkan suatu kekeliruan tertentu sehingga mengakibatkan kondisi yang tidak seimbang. Keadaan-keadaan khusus yang membuat orang tergerak untuk melakukan suatu perbuatan hukum, misalnya kedudukan yang lebih kuat, penguasaan pasar secara monopoli juga merupakan faktor penguji keadaan tidak seimbang dari aspek perbuatan.

b. Isi dari perjanjian.

Isi perjanjian ditentukan oleh para pihak berdasarkan apa yang disepakati

baik secara tegas maupun secara diam-diam. Hal ini sebagai akibat asas

kebebasan berkontrak, yakni bahwa setiap orang bebas menentukan sendiri isi

dari perjanjian. Asas kebebasan berkontrak dalam pelaksanaannya dibatasi oleh

(13)

105

undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Suatu perjanjian yang bertentangan dengan ketiga hal tersebut menyebabkan perjanjian menjadi batal demi hukum dan mengakibatkan keadaan tidak seimbang.

c. Pelaksanaan dari perjanjian.

Pelaksanaan perjanjian dengan itikad baik merupakan faktor penguji keseimbangan dalam perjanjian. Itikad baik tidak hanya muncul pada saat sebelum perjanjian dibuat namun juga ada pada pelaksanaan perjanjian itu sendiri.

Itikad baik dimaknai dengan keseluruhan proses perjanjian itu, artinya itikad baik ada pada tahap pra perjanjian, pada tahap perjanjian dan pada tahap pelaksanaan perjanjian.

Muhammad Syaifudin mengutip pendapat dari R.Wirjono Projodikoro

149

yang membagi itikad baik menjadi dua macam yakniitikad baik pada waktu mulai berlakunya suatu hubungan hukum dan itikad baik pada waktu pelaksanaannya.

Itikad baik pada waktu mulai berlakunya hubungan hukum berupa anggapan awal bahwa syarat-syarat dimulainya suatu hubungan hukum telah terpenuhi. Hukum memberikan perlindungan kepada pihak yang beritikad baik sedangkan pihak yang beritikad tidak baik wajib bertanggungjawab dan menanggung resiko. Itikad baik ini terkandung dalam Pasal 1977 Pasal 1963 KUHPer. Itikad baik jenis ini bersifat subjektif dan statis.

Itikad baik pada waktu pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban diatur dalam Kalimat ketiga Pasal 1338 KUHPer. Itikad baik jenis ini bersifat objektif

149

Muhammad Syaifuddin, Op.Cit, hal.95.

(14)

106

dan dinamis mengikuti situasi sekitar perbuatan hukumnya serta titik beratnya terletak pada tindakan yang akan dilakukan oleh kedua belah pihak, yaitu tindakan sebagai pelaksanaan sesuatu hal.

Inti dari timbal balik dalam perjanjian adalah ditemukan dalam sifat pertukaran prestasi, artinya masing-masing pihak berutang untuk melakukan prestasi (yang berimbang atau sepadan) terhadap pihak lainnya. Kausa dari perikatan ditemukan di dalam kewajiban yang dapat ditagih dari pihak lainnya.

Pertukaran prestasi adalah kunci dari perjanjian timbal balik.

Pejanjian timbal balik ada bila para pihak saling bertukar prestasi yang dapat ditagih. Prestasi dinyatakan sah dengan adanya suatu kontraprestasi yang sepadan.

Sepadan tidak dalam artian mutlak sama tetapi diartikan kurang lebih setara.

Kesetaraan antara prestasi yang satu dengan yang lainnya ditelaah dengan menggunakan kriterium ekuivanlensi dari masing-masing prestasi yang diperjanjikan para pihak.

Herlien Budiono mengutip pendapat dari Nieuwenhuis dalam menentukan apakah pertukaran prestasi terjadi secara adil atau tidak dengan menyatakan bahwa “Keadilan sebagai kategori formal yang mensyaratkan perlakuan sama terhadap kasus serupa harus dilengkapi dengan bantuan kriterium materiil yang pada gilirannya berfungsi sebagai landasan bagi pola atau tata nilai yang berlaku”

150

.

150

Herlien Budiono I, Op.Cit, hal.347.

(15)

107

John Rawls berpendapat bahwa “to set up a fair procedure so that any principles agreed to will be just.”

151

(Untuk membuat sebuah prosedur yang layak/adil sehingga oleh semua diangap sebagai sebuah prosedur yang pantas).

Berdasarkan pendapat dari John Rawls bahwa prosedur yang layak dalam hal ini berbentuk perjanjian, maka prestasi menjadi adil jika telah ditetapkan dan disepakati oleh para pihak.

Rawls berpendapat bahwa kesamaan hasil bukan menjadi alasan untuk membenarkan sebuah prosedur. Keadilan sebagai fairness atau sebagai pure procedure justice tidak menuntut setiap orang yang terlibat dan menempuh

prosedur yang sama juga harus mendapat hasil yang sama. Oleh karena itu, keadilan tidak selalu berarti semua orang harus selalu mendapatkan sesuatu dalam jumlah yang sama, tanpa memperhatikan perbedaan-perbedaan yang mendasar pada diri setiap individu.

152

Prestasi menjadi adil selain karena telah disepakati juga akibat adanya asas keseimbangan yang mengikat para pihak dalam perjanjian. Asas keseimbangan ini menjamin keseimbangan terbentuknya perjanjian. Beranjak dari perjanjian yang timbal balik, maka pertukaran prestasi yang adil jika prestasi-prestasi muncul akibat adanya keseimbangan dari cara terbentuknya perjanjian dan mencapai tujuan yang diharapkan oleh para pihak.

Timbal balik atau resiprositas timbul bila terdapat otonomi para pihak dalam menyatakan kehendak. Keterjalinan prestasi dan kontraprestasi yang berfungsi

151

John Rawls, Op.Cit, hal.118.

152

Agus Yudha Hernoko, Op.Cit, hal.59.

(16)

108

secara seimbang dimunculkan akibat kesetaraan para pihak sebelum perjanjian ditutup. Menurut Huala Adolf, timbal balik (resiprositas) mensyaratkan bahwa pelaksanaan perjanjian memberikan keuntungan secara timbal balik, dan timbul akibat adanya kesepakatan timbal balik.

153

Perjanjian dianggap seimbang jika secara materiil seimbang. Keputusan para pihak yang akan menentukan apakah suatu perjanjian itu adil atau tidak, dengan memperhatikan tujuan dari perjanjian yang dibuat. Tujuan ditutupnya perjanjian adalah mendapatkan keuntungan.

Perjanjian dianggap adil bila kedua belah pihak sebagai akibat dari perjanjian berada dalam posisi yang lebih menguntungkan dibandingkan sebelum perjanjian itu dibuat.

Perjanjian yang tidak berisikan pertukaran prestasi diantara para pihak, dan tidak dilandasi keseimbangan, maka perjanjian itu tidak dapat dikatakan sebagai perjanjian timbal balik yang sempurna. Perjanjian yang bukan merupakan perjanjian timbal balik tidak memiliki syarat batal dalam pelaksanaannya sesuai dengan apa yang telah ditentukan berdasarkan Pasal 1266 KUHPer.

3.3.Karakteristik Perjanjian Timbal Balik Pada Perjanjian Jual Beli, Perjanjian Sewa Menyewa dan Perjanjian Tukar Menukar

J.Satrio mencontohkan perjanjian jual beli, perjanjian sewa menyewa dan perjanjian tukar menukar sebagai contoh perjanjian timbal balik sempurna.

154

Berdasarkan pendapat dari J.Satrio maka untuk menentukan kriteria perjanjian

153

Huala Adolf, 2010, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional (Edisi Revisi), Refika Aditama, Bandung, hal.29.

154

J.Satrio III, Op.Cit, hal.37.

(17)

109

timbal balik dapat ditemukan dari karakteristik perjanjian jual beli, perjanjian sewa menyewa dan perjanjian tukar menukar.

3.3.1. Karakteristik perjanjian timbal balik pada perjanjian jual beli.

a. Pengertian perjanjian jual beli.

Perjanjian jual beli dirumuskan dalam Pasal 1457 KUHPer sebagai “suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang dijanjikan.” Dari rumusan tersebut dapat dilihat bahwa jual beli melahirkan kewajiban secara bertimbal balik kepada para pihak yang membuat perjanjian tersebut. Jual beli dalam hal ini timbul jika kedua belah pihak sudah sepakat tentang benda dan harganya, yang ditindaklanjuti dengan penyerahan obyek perjanjian.

Menurut Subekti bahwa jual beli adalah “suatu perjanjian bertimbal-balik dalam mana pihak yang satu (si penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedang pihak yang lainnya (si pembeli) berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut.”

155

Perjanjian jual beli menurut Abdulkadir Muhammad sebagai “perjanjian dengan mana penjual memindahkan atau setuju memindahkan hak milik atas barang kepada pembeli sebagai imbalan menerima sejumlah uang yang disebut dengan harga.”

156

155

Subekti, 1992, Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut Subekti II), hal.1.

156

Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, hal.5.

(18)

110

M.Yahya Harahap menekankan pada persesuaian kehendak pada jual beli dengan memberikan definisi bahwa “jual beli tiada lain dari persesuaian kehendak (wils overensteming) antara penjual dan pembeli mengenai barang dan harga (uang).”

157

Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi menekankan pada hasil perjanjian jual beli berupa perikatan dengan memberikan definisi dari jual beli adalah “perjanjian yang melahirkan perikatan untuk memberikan sesuatu kepada kedua belah pihak dalam perjanjian.”

158

R.M. Suryodiningrat memberikan definisi perjanjian jual beli sebagai “suatu perjanjian/ persetujuan/kontrak di mana satu pihak (penjual) mengikat diri untuk menyerahkan hak milik atas benda atau barang kepada pihak lainnya (pembeli) yang mengikat dirinya untuk membayar harganya berupa uang kepada penjual.”

159

Definisi ini menambahkan penjelasan yang diberikan berdasarkan Pasal 1457 KUHPer yang hanya disebut dengan perkataan “menyerahkan” tanpa tambahan kata “hak milik” dan pengkhususan terhadap alat pembayaran, jika dalam Pasal 1457 KUHPer ditekankan dengan harga sehingga bersifat lebih luas, sedangkan dalam definisi ini menekankan pada alat pembayaran berupa uang.

Berdasarkan definisi tersebut di atas yang menjadi unsur essentialia dalam perjanjian jual beli ini adalah barang dan harga. Tanpa ada barang yang hendak

157

M.Yahya Harahap, 1986, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, hal.189.

158

Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, 2003, Seri Hukum Perikatan Jual Beli, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.51.

159

R. M. Suryodiningrat, 1980, Perikatan-Perikatan Bersumber Perjanjian,

Tarsito, Bandung, hal.14.

(19)

111

dijual maka tidak akan ada jual beli, sebaliknya bila barang yang hendak dijual tidak ditetapkan dengan harga, maka jual beli dianggap tidak pernah terjadi.

b. Karakteristik perjanjian jual beli.

Perjanjian jual beli merupakan perjanjian obligatoir, karena perjanjian jual beli hanya meletakkan hak dan kewajiban bertimbal balik antara kedua belah pihak yakni penjual dan pembeli yaitu meletakkan kepada penjual kewajiban untuk menyerahkan hak milk atas barang yang dijualnya, sekaligus memberikan kepadanya hak untuk menuntut pembayaran harga yang telah disetujui.

Kewajiban pada pihak pembeli untuk membayar harga barang yang telah disepakati dan hak untuk menuntut penyerahan hak milik atas barang yang dibelinya. Hak milik baru berpindah setelah dilakukan levering atau penyerahan, yang merupakan suatu perbuatan yuridis guna memindahkan hak milik. Menurut Subekti bahwa levering diktrontruksikan sebagai zakelijke overeenkomst, yakni suatu persetujuan tahap kedua antara penjual dan pembeli yang khusus bertujuan memindahkan hak milik dari penjual kepada pembeli

160

. Levering dilakukan tergantung pada jenis benda dan aturan yang berlaku.

Menurut Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, jual beli membawa dua aspek penting dalam hukum perdata diuraikan sebagai berikut;

Pertama adalah kegiatan menjual, yang secara sederhana menunjukkan pada suatu proses atau kegiatan yang bertujuan untuk mengurangi harta kekayaan seseorang pada satu sisi, yang merupakan suatu bentuk kewajiban, prestasi atau utang yang harus dipenuhi. Kedua, Pada sisi yang bertimbal balik, kegiatan membeli tersebut, melahirkan suatu bentuk tagihan atau hak yang merupakan kebendaan tidak berwujud yang bergerak, sebagaimana disebutkan dalam Pasal

160

Subekti II, Op.Cit, hal.11.

(20)

112

511 angka 3 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kedua hal tersebut ada secara bertimbal balik, pada “saat yang bersamaan” pada kedua belah pihak yang membuat perjanjian tersebut. Jadi dalam jual beli terdapat dua sisi hukum perdata, yaitu hukum kebendaan dan hukum perikatan secara bersama-sama.

161

c. Hak dan kewajiban penjual.

Kewajiban yang bertimbal ada pada dua sisi baik penjual maupun pembeli.

Dari sisi penjual, penjual diwajibkan untuk menyerahan suatu kebendaan, yang menurut ketentuan Pasal 1332 KUHPer dan kalimat pertama Pasal 1333 KUHPer haruslah kebendaan yang dapat diperdagangkan dan paling sedikit telah ditentukan jenisnya. Dari sisi pembeli, pembeli diwajibkan untuk membayar harga pembelian kebendaan tersebut, yang juga merupakan bentuk perikatan untuk memberikan sesuatu, yang dalam hal ini adalah uang yang telah ditentukan nilainya

Hak-hak penjual dapat digolongkan menjadi tiga kelompok besar dan diatur berdasarkan KUHPer, yakni;

1. Hak atas pembayaran dari harga barang yang dijual, hak ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1460 KUHPer, yaitu si penjual berhak menuntut harganya bila mana si pembeli telah menerima barang dari si penjual.

2. Hak untuk menuntut pembatalan perjanjian.

Pembatalan ini berdasarkan Pasal 1266 KUHPer akibat tidak terpenuhinya salah satu kewajiban pembeli. Berdasarkan Pasal 1517 KUHPer yang menyatakan “Jika pembeli tidak membayar harga pembelian, maka penjual

161

Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, Op.Cit, hal.4.

(21)

113

dapat menuntut pembatalan jual beli itu menurut ketentuan-ketentuan Pasal 1266 dan 1267.”

3. Hak reklame.

Berdasarkan Pasal 1145 KUHPer maka hak reklame merupakan hak penjual barang bergerak yang dijual secara tunai untuk menuntut kembali barangnya yang belum dibayar oleh pembeli dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah penyerahannya.

Kewajiban penjual berdasarkan ketentuan Pasal 1474 KUHPer bahwa

“Penjual mempunyai dua kewajiban utama, yaitu menyerahkan barangnya dan menanggungnya.” Maksud dari pasal ini adalah bahwa kewajiban penjual ada dua yakni menyerahkan hak milik atas barang yang diperjual belikan dan menanggung kenikmatan tenteram atas barang tersebut.

d. Hak dan kewajiban pembeli.

Hak dari pembeli dapat diuraikan berdasarkan pengaturannya dalam KUHPer yang dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Hak untuk menuntut penyerahan barang dari si penjual.

2. Hak untuk menuntut pembatalan pembelian berdasarkan Pasal 1266 dan 1267 KUHPer jika penyerahan karena kelalaian penjual tidak dilaksanakan (Pasal 1480 KUHPer).

3. Hak atas jaminan kenikmatan menggunakan barang secara aman dan

tenteram serta jaminan atas cacat tersembunyi berdasarkan Pasal 1496

KUHPer. Hal ini juga berlaku jika ada suatu penghukuman untuk

menyerahkan barang yang dibeli kepada pihak ketiga, pembeli berhak

(22)

114

menuntut, berupa; pengembalian uang harga barang; pengembalian hasil jika pembeli diwajibkan menyerahkan hasil tersebut kepada pihak ketiga;

biaya yang dikeluarkan dalam gugatan pihak pembeli untuk ditanggung, juga biaya yang telah dikeluarkan oleh Penggugat asal; penggantian biaya kerugian dan bunga serta biaya perkara mengenai biaya pembelian dan penyerahan sekedar telah dibayar pembeli.

4. Hak untuk terlindungi dari cacat barang, dalam arti bila terdapat cacat tersembunyi, pembeli juga berhak untuk memilih mengembalikan harga barang yang diberikan dan sekaligus penuntutan kembali harga pembelian (Pasal 1507 KUHPer).

5. Hak untuk bebas dari gangguan tuntutan hukum terhadap barang obyek pembelian, berdasarkan Pasal 1516 KUHPer.

Kewajiban dari pembeli dapat diuraikan secara garis besarnya menjadi tiga hal yakni:

1. Membayar harga pembelian, pada waktu dan tempat sebagaimana ditetapkan menurut persetujuan (Pasal 1513 KUHPer). Pembeli harus membayar di tempat dan waktu di mana penyerahan barangnya dilakukan jika pada waktu membuat perjanjian tidak ditetapkan tentang tempat dan waktu pembayaran, maka si (Pasal 1514 KUHPer).

2. Pembeli diwajibkan membayar bunga dari harga pembelian, jika barang

yang dijual dan diserahkan memberi hasil atau pendapatan walaupun tidak

terdapat janji yang tegas (Pasal 1515 KUHPer).

(23)

115

3. Biaya penyerahan dipikul oleh si penjual, sedangkan biaya pengambilan dipikul oleh si pembeli Jika tidak diperjanjikan sebelumnya (Pasal 1476 KUHPer).

Karakteristik timbal balik pada perjanjian jual beli tanah yang dibuat di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

162

, dapat dilihat pada kewajiban yang timbul pada masing-masing pihak. Pihak Pertama sebagai penjual memiliki beberapa kewajiban yakni menyerahkan barang kepada Pihak Kedua sebagai pembeli (Pasal 1) dan menjamin bahwa obyek jual beli tidak tersangkut dalam suatu sengketa, bebas dari sitaan dan tidak terikat sebagai jaminan hutang (Pasal 2). Kewajiban Pihak Kedua sebagai pembeli diantaranya dimuat dalam bagian awal perjanjian yang menyebutkan kewajiban bagi Pihak Kedua untuk membayar harga pembelian. Hak Pihak Pertama sebagai penjual adalah menerima pembayaran dari Pihak Kedua, sedangkan hak dari Pihak Kedua adalah menikmati obyek jual beli tanpa gangguan dari pihak ketiga.

Berdasarkan perjanjian jual beli tanah tersebut dapat diketahui bahwa masing-masing pihak memiliki hak dan kewajiban, dimana hak pihak penjual menjadi kewajiban dari pihak pembeli, demikian pula sebaliknya kewajiban dari pihak penjual menjadi hak dari pihak pembeli. Perjanjian jual beli tanah di dalamnya tidak diperinci mengenai syarat batal namun berdasarkan Pasal 1266 KUHPer maka syarat batal otomatis ada dalam perjanjan jenis ini, sehingga jika

162

Akta Jual Beli No 405 Tahun 2012 (Lihat lampiran 1).

(24)

116

salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya misalnya pihak pembeli tidak membayar lunas maka perjanjian ini menjadi batal.

3.3.2. Karakteristik perjanjian timbal balik pada perjanjian sewa-menyewa.

a.Pengertian perjanjian sewa menyewa.

Perjanjian sewa-menyewa diatur di dalam Bab VII Buku III KUHPer yang berjudul “Sewa-Menyewa” yang meliputi Pasal 1548 sampai dengan Pasal 1600 KUHPer. Definisi perjanjian sewa-menyewa berdasarkan Pasal 1548 KUHPer bahwa:

Perjanjian sewa-menyewa adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainya kenikmatan dari suatu barang, selama waktu tertentu, dengan pembayaran suatu harga yang disanggupi oleh pihak tersebut terakhir itu. Orang dapat menyewakan pelbagai jenis barang, baik yang tetap maupun yang bergerak.

Sewa-menyewa dalam bahasa Belanda disebut dengan huurenverhuur dan dalam bahasa Inggris disebut dengan rent atau hire . Sewa-menyewa merupakan salah satu jenis perjanjian timbal balik.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia sewa berarti pemakaian sesuatu dengan membayar uang sewa dan menyewa berarti memakai dengan membayar uang sewa.

163

Pendapat para sajana mengenai sewa menyewa diutarakan oleh Yahya Harahap bahwa “sewa-menyewa adalah persetujuan antara pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa. Pihak yang menyewakan menyerahkan barang yang hendak disewa kepada pihak penyewa untuk dinikmati

163

WJS Poerwadarminta, Op.Cit, hal.833.

(25)

117

sepenuhnya.”

164

Pendapat dari Algra yang dikutip oleh Salim H.S bahwa

“perjanjian sewa menyewa adalah persetujuan untuk pemakaian sementara suatu benda, baik bergerak maupun tidak bergerak, dengan pembayaran suatu harga tertentu.”

165

Perjanjian sewa menyewa merupakan perjanjian konsensual yang artinya ia sudah sah dan mengikat pada detik tercapainya sepakat mengenai 2 (dua) unsur pokoknya yakni barang dan harga. Perjanjian sewa menyewa adalah perjanjian timbal balik karena memiliki kewajiban dan hak pada kedua belah pihak secara bersamaan. Kewajiban pihak yang satu adalah menyerahkan barangnya untuk dinikmati oleh pihak lainnya, sedangkan kewajiban pihak yang lain adalah membayar harga sewa. Barang yang diserahkan bukan untuk dimiliki tetapi untuk dipakai, dinikmati kegunaannya. Penyerahan bersifat menyerahkan kekuasaan belaka atas barang yang disewa tersebut.

b. Karakteristik perjanjian sewa menyewa.

Berdasarkan dari beberapa pengertian perjanjian sewa-menyewa di atas dapat disimpulkan karakteristik dari perjanjian sewa-menyewa, yaitu:

1. Ada dua pihak yang saling mengikatkan diri.

Pihak yang pertama adalah pihak yang menyewakan yaitu pihak yang mempunyai barang. Pihak yang kedua adalah pihak penyewa, yaitu pihak yang membutuhkan kenikmatan atas suatu barang. Para pihak dalam

164

M.Yahya Harahap, Op.Cit, hal.240.

165

Salim.H.S, Op.Cit, hal.58.

(26)

118

perjanjian sewa-menyewa dapat bertindak untuk diri sendiri, kepentingan pihak lain, atau kepentingan badan hukum tertentu.

2. Ada unsur pokok yaitu barang, harga, dan jangka waktu sewa.

Barang adalah harta kekayaan yang berupa benda material, baik bergerak maupun tidak bergerak. Harga adalah biaya sewa yang berupa sebagai imbalan atas pemakaian benda sewa. Dalam perjanjian sewa-menyewa pembayaran sewa tidak harus berupa uang tetapi dapat juga mengunakan barang ataupun jasa (Pasal 1548 KUHPer). Hak untuk menikmati barang yang diserahkan kepada penyewanya terbatas pada jangka waktu yang ditentukan kedalam perjanjian.

166

3. Ada kenikmatan yang diserahkan.

Kenikmatan dalam hal ini adalah penyewa dapat menggunakan barang yang disewa serta menikmati hasil dari barang tersebut. Bagi pihak yang menyewakan akan memperoleh kontra prestasi berupa uang, barang, atau jasa menurut apa yang diperjanjikan sebelumnya.

4. Adanya konsensus antara kedua belah pihak

Perjanjian sewa-menyewa merupakan perjanjian konsensuil, yang berarti perjanjian tersebut sah dan mengikat apabila sudah tercapai kata sepakat diantara para pihak tentang unsur pokok perjanjian sewa-menyewa yaitu barang dan harga.

166

Subekti II, Op.Cit, hal.40.

(27)

119

c. Hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian sewa menyewa.

Perjanjian sewa-menyewa merupakan perjanjian timbal balik sehingga ada hak dan kewajiban yang membebani para pihak yang melakukan perjanjian.

Kewajiban pihak yang menyewakan dapat ditemukan di dalam pasal 1550 KUHPer. Kewajiban-kewajiban tersebut terdiri dari:

1. Menyerahkan barang yang disewakan kepada penyewa.

2. Memelihara barang yang disewakan sedemikian rupa sehingga barang tersebut dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksudkan.

3. Memberikan si penyewa kenikmatan yang terteram dari pada barang yang disewakan selama berlangsungnya sewa-menyewa.

Kewajiban pihak yang menyewakan adalah menyerahkan barang yang disewa untuk dinikmati kegunaan barang tersebut bukan hak milik. Tentang pemeliharaan barang yang disewakan pihak yang menyewakan barang diwajibkan untuk melakukan perbaikan-perbaikan yang diperlukan atas barang yang disewakan. Ketentuan tersebut diatur di dalam Kalimat kedua Pasal 1551 KUH Perdata yang berbunyi: “Selama waktu sewa, ia harus menyuruh melakukan pembetulan-pembetulan yang perlu dilakukan pada barang yang disewakan, kecuali pembentukan yang menjadi kewajiban penyewa.”

Pasal 1552 KUHPer mengatur tentang cacat dari barang yang disewakan.

Pasal 1552 KUHPer menentukan bahwa;

Pihak yang menyewakan harus menanggung penyewa terhadap semua cacat

barang yang disewakan yang merintangi pemakaian barang itu, meskipun pihak

yagn menyewakan itu sendiri tidak mengetahuinya pada waktu dibuat

persetujuan sewa.

(28)

120

Jika cacat-cacat itu telah mengakibatkan kerugian bagi pihak penyewa maka pihak yang menyewakan diwajibkan untuk menganti kerugian.

Pihak yang menyewakan diwajibkan untuk menjamin tentang gangguan atau rintangan yang menggangu penyewa menikmati obyek sewa yang disebabkan suatu tuntutan hukum yang bersangkutan dengan hak milik atas barangnya. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan pasal 1556 dan 1557 KUHPer. Dalam hal terjadi gangguan atau rintangan yang menghalangi penyewa menikmati hak sewanya maka penyewa berhak menuntut suatu pengurangan harga sewa menurut imbangan, asalkan ganguan dan rintangan tersebut telah di beritahukan kepada pemilik. Pihak yang menyewakan tidak diwajibkan untuk menjamin si penyewa terhadap rintangan-rintangan dalam menggunakan barang sewa yang dilakukan oleh pihak ketiga dengan peristiwa yang tidak berkaitan dengan tuntutan atas hak milik atas barang sewa.

Pihak yang menyewakan disamping dibebani dengan kewajiban juga menerima hak. Hak-hak yang diperoleh pihak yang menyewakan dapat disimpulkan dari ketentuan pasal 1548 KUHPer yaitu menerima uang sewa sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian; menegur penyewa apabila penyewa tidak menjalankan kewajibanya dengan baik.

Pasal 1560, 1564, dan 1583 KUHPer menentukan bahwa pihak penyewa memiliki kewajiban-kewajiban, yaitu:

1. Memakai barang yang disewa sebagai bapak rumah yang baik, sesuai

dengan tujuan yang diberikan pada barang itu menurut perjanjian sewanya,

(29)

121

atau jika tidak ada perjanjian mengenai itu, menurut tujuan yang dipersangkakan berhubungan dengan keadaan.

2. Membayar harga sewa pada waktu-waktu yang telah ditentukan.

3. Menanggung segala kerusakan yang terjadi selama sewa-menyewa, kecuali jika penyewa dapat membuktikan bahwa kerusakan tersebut terjadi bukan karena kesalahan si penyewa.

4. Mengadakan perbaikan-perbaikan kecil dan sehari-hari sesuai dengan isi perjanjian sewa-menyewa dan adat kebiasaan setempat.

Pihak penyewa selain memiliki kewajiban-kewajiban juga memiliki hak-hak yaitu:

1. Menerima barang yang disewa (sebagai kelanjutan dari kewajiban yang menyewakan berdasarkan Kalimat Pertama Pasal 1550 KUHPer).

2. Memperoleh kenikmatan yang terteram atas barang yang disewanya selama waktu sewa ( sebagai kelanjutan dari kewajiban yang menyewakan berdasarkan Kalimat Ketiga Pasal 1550 dan Pasal 1557 KUHPer).

3. Menuntut pembetulan-pembetulan atas barag yang disewa, apabila

pembetulan-pembetulan tersebut merupakan kewajiban pihak yang

menyewakan (sebagai kelanjutan dari kewajiban yang menyewakan

berdasarkan Kalimat Kedua Pasal 1550 KUHPer).

(30)

122

Berdasarkan akta sewa menyewa tanah yang didapatkan

167

, maka kewajiban Pihak Pertama sebagai pihak yang menyewakan adalah memberikan hak sewa kepada Pihak Kedua sebagai pihak penyewa selama waktu 20 (dua puluh tahun) yang dituangkan dalam Pasal 1 mengenai masa sewa dan menjamin bahwa obyek sewa adalah benar milik Pihak Pertama (bebas dari sitaan, jaminan bahwa pihak penyewa tidak akan mendapatkan gangguan dari pihak ketiga) yang dituangkan dalam Pasal 4.

Kewajiban dari Pihak Kedua sebagai pihak yang menyewakan adalah membayar harga sewa sesuai dengan yang disepakati dituangkan dalam Pasal 2.

Kewajiban untuk merawat dan memelihara apa yang disewanya dengan sebaik- baiknya (Pasal 6). Kewajiban membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan segala biaya listrik, air, telepon selama masa sewa (Pasal 7).

Hak dari Pihak Kedua sebagai pihak yang menyewakan adalah berhak menikmati obyek yang disewa tanpa gangguan dari pihak manapun juga (Pasal 4), berhak untuk menggunakan tempat yang disewa sebagai lahan parker, fasilitas akomodasi dan tempat bisnis (Pasal 3), berhak untuk memindahkan hak sewa kepada orang lain dengan persetujuan dari pihak pertama (Pasal 8).

Berdasarkan dari perjanjian sewa menyewa tanah tersebut, terdapat pertukaran prestasi pada kedua belah pihak. Pihak yang menyewakan memiliki kewajiban yang sekaligus menjadi hak dari pihak penyewa, demikian pula sebaliknya pihak penyewa memiliki kewajiban yang menjadi hak dari pihak yang

167

Akta Sewa Menyewa Tanah No 24 Tertanggal 20 Juni 2012 (Lihat

lampiran 2).

(31)

123

menyewakan. Syarat batal dalam perjanjian sewa menyewa tanah tersebut tidak dituangkan secara terperinci dalam satu pasal khusus, namun jika salah satu pihak melanggar apa yang disepakati maka syarat batal menjadi otomotatis berlaku sesuai dengan ketentuan Pasal 1266 KUHPer. Hal ini berarti bahwa pihak yang dirugikan berhak untuk menuntut pembatalan perjanjian terhadap pihak yang satunya.

3.3.3. Karakteristik perjanjian timbal balik pada perjanjian tukar menukar.

a. Pengertian perjanjian tukar menukar.

Tukar menukar diatur dalam Buku III, Bab VI, Pasal 1541 sampai dengan Pasal 1546 KUHPer. Pengertian tukar menukar berdasarkan Pasal 1541 KUHPer adalah “suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak mengikatkan diri untuk saling memberikan suatu barang secara bertimbal balik sebagai ganti suatu barang lain.” Pendapat dari Algra sebagaimana dikutip oleh Salim H.S

168

adalah “Suatu perjanjian di mana pihak-pihak mengikatkan diri untuk saling memberikan benda kepada satu sama lain.”

Subekti menyatakan bahwa “perjanjian tukar menukar adalah juga suatu perjanjian konsensual, dalam arti bahwa perjanjian itu sudah jadi dan mengikat pada detik tercapainya kata sepakat mengenai barang-barang yang menjadi obyek perjanjiannya.”

169

C.S.T. Kansil berpendapat bahwa perjanjian tukar menukar sama dengan perjanjian jual beli, tetapi perbedaannya pada tukar menukar kedua

168

Salim H.S, Op.Cit, hal.57.

169

Subekti II, Op.Cit, hal.35.

(32)

124

belah pihak berkewajiban untuk menyerahkan barang, sedangkan pada jual beli pihak yang satu wajib menyerahkan uang.

170

M.Yahya Harahap memberikan pengertian bahwa perjanjian tukar menukar adalah ”Suatu persetujuan dimana kedua belah pihak berjanji untuk saling memberikan benda secara timbal balik.”

171

Pengertian secara timbal balik artinya pada masing-masing pihak terdapat kewajiban untuk memberikan benda. Salim H.S. berpendapat bahwa “Perjanjian tukar menukar adalah suatu perjanjian yang dibuat antara pihak yang satu dengan pihak lainnya, dalam perjanjian itu pihak yang satu berkewajiban menyerahkan barang yang ditukar, begitu juga pihak lainnya berhak menerima barang yang ditukar.”

172

b. Karakteristik perjanjian tukar menukar.

Dari pengertian tukar menukar yang diberikan oleh beberapa sarjana dapat ditarik unsur-unsur dari perjanjian tukar menukar adalah adanya subyek hukum, yang dilanjutkan dengan adanya kesepakatan dari subyek hukum, adanya obyek yaitu barang bergerak maupun tidak bergerak dan masing-masing subyek hukum menerima barang yang menjadi obyek tukar menukar..

Perjanjian tukar menukar memiliki beberapa kesamaan dan perbedaan dengan perjanjian jual beli. Dilihat dari jenisnya, kedua-duanya selain merupakan perjanjian konsensual juga merupakan perjanjian yang bersifat obligatoir, artinya perjanjian ini belum memindahkan hak milik tetapi baru pada taraf memberikan

170

C.S.T. Kansil, 1989, Pengantar Ilmu Hukum, Balai Pustaka, Jakarta, hal.251.

171

M.Yahya Harahap, Op.Cit, hal.218.

172

Salim H.S, Op.Cit, hal.57.

(33)

125

hak dan kewajiban. Segala apa yang dijual dapat menjadi obyek pada perjanjian tukar menukar. Perbedaannya kalau jual beli adalah mengenai barang berhadapan dengan uang, maka tukar menukar adalah suatu transaksi mengenai barang berhadapan dengan barang.

c. Hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian tukar menukar.

Hak dan kewajiban dalam perjanjian tukar menukar pada masing-masing pihak memiliki kewajiban untuk menyerahkan barang yang ditukar sedangkan haknya menerima barang yang ditukar. Aturan tukar menukar hampir sama dengan jual beli, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1546 KUHPer bahwa

“Untuk lain-lainnya, aturan-aturan tentang persetujuan jual beli berlaku terhadap persetujuan tukar menukar”.

Berdasarkan perjanjian tukar menukar mobil yang didapatkan maka kewajiban dan hak yang ada pada pihak yang satu serupa dengan pihak yang lain.

Dalam perjanjian tukar menukar mobil didapatkan bahwa pihak pertama menukar mobil miliknya dengan mobil milik pihak kedua, demikian pula sebaliknya. Para pihak sama-sama memiliki kewajiban untuk menjamin bahwa tidak ada blokir terhadap surat-surat mobil, mobil tidak dalam jaminan hutang, dan para pihak menjamin tidak adanya tuntutan dari pihak lain terhadap obyek tukar menukar (Pasal 2).

Perjanjian tukar menukar mobil tersebut di atas mencantumkan secara khusus mengenai syarat batal seperti yang tertuang dalam Pasal 3 bahwa

Para Pihak menjamin bahwa jika terdapat hal-hal yang disebutkan dalam Pasal

2 tersebut di atas maka Pihak yang melanggar terhadap Pasal 2 mengembalikan

apa yang telah diterimanya atau dikembalikan dalam jumlah uang sesuai harga

(34)

126

mobil dan uang yang telah diterima terhadap pihak yang dikenai kerugian dan perjanjian ini menjadi batal dengan sendirinya (garis khusus dari penulis).

173

Berdasarkan ketiga jenis perjanjian tersebut, maka dapat ditarik sebuah kriteria bahwa dalam perjanjian timbal balik memiliki unsur pertukaran prestasi, dimana masing-masing pihak memiliki prestasi berupa kewajiban dan hak.

Kewajiban pada satu pihak menjadi hak bagi pihak lainnya, demikian pula sebaliknya. Ukuran prestasi yang dilakukan oleh masing-masing pihak tidak selalu sama, bisa pihak yang satu memiliki kewajiban yang lebih banyak yang berdampak pada pihak yang lain memiliki hak yang lebih banyak. Ukuran keseimbangan diperlukan pada saat pembuatan perjanjian dimana masing-masing pihak memiliki kedudukan yang seimbang, sedangkan untuk pertukaran prestasi diperlukan ukuran yang proporsional.

Berdasarkan hasil pembahasan dan argumentasi tersebut di atas dengan penekanan pada adanya pertukaran prestasi dan mempergunakan pisau analisa teori keadilan yang dijiwai asas keseimbangan dan proporsionalitas, maka dapat dievalusi bunyi ketentuan kalimat pertama Pasal 1266 KUHPer. Kalimat pertama Pasal 1266 KUHPer mengenai kriteria timbal balik, memiliki kelemahan karena di dalamnya tidak tercantum mengenai kriteria timbal balik, sehingga tidak terdapat unsur pertukaran prestasi yang dilandasi pada keseimbangan pada saat pembuatan dan proporsional pembagian hak dan kewajiban.

173

Perjanjian Tukar Menukar Mobil tertanggal 13 Agustus 2013 (Lihat

lampiran 3).

(35)

127

Referensi

Dokumen terkait

Berikut ini akan dipaparkan analisis variasi jawaban siswa pada indikator memeriksa ide- ide:(a)Jawaban kode MFH kategori sedang: Dari hasil pengerjaannya dapat dilihat

SKP yang merupakan koreksi atas jumlah pajak yang dihitung oleh wajib pajak sendiri dan SKPT yang merupakan koreksi atas SKP yang dikeluarkan oleh Kantor Pelayanan Pajak,

Elevator atau sering disebut dengan lift merupakan salah satu jenis pesawat pengangkat yang berfungsi untuk membawa barang maupun penumpang dari suatu tempat yang

- Kalau rongga rahim sudah kosong dapat diraba robekan pada dinding rahim dan kalau jari atau tangan kita dapat melalui robekan tadi, maka dapat diraba usus, omentum dan

akbarsuwardi@gmail.com STATA – LPM, Logit, dan Probit Model | 25 Dari hasil kedua scatter plot diatas menunjukkan bahwa nilai Transformasi logit dan Probabilitas

[r]

Bahwa Para Teradu pada tanggal 19 April 2014 sampai dengan tanggal 20 April 2014 telah melaksanakan Tahapan Verifikasi Administratif sebelum melaksanakan Pleno Rekapitulasi

Melewati ketujuh tingkat atau lapisan yang disebutkan itu, dikatakatannya ada lagi tingkat pengembangan potensial dimana semua tingkat atau lapis dihayati secara simultan, maka