BAB II
PENGATURAN BISNIS WARALABA (FRANCHISE) DALAM KERANGKA HUKUM NASIONAL DI INDONESIA
A. Sejarah dan Perkembangan Terbentuknya Waralaba
Konsep waralaba (franchise) bukan merupakan konsep yang baru, bahkan
merupakan suatu konsep bisnis yang cukup mempunyai sejarah yang paling jauh
ke belakang. Kata franchise diambil dari bahasa Prancis yang berarti kejujuran,
bebas, kebebasan, untuk membebaskan.
Konsep waralaba atau franchise muncul sejak 200 tahun sebelum Masehi.
Saat itu, seorang pengusaha Cina memperkenalkan konsep rangkaian toko untuk
mendistribusikan produk makanan dengan merek tertentu. Kemudian, di Prancis
pada tahun 1200-an, penguasa negara dan penguasa gereja mendelegasikan
kekuasaan mereka kepada para pedagang dan ahli petukangan melalui apa yang
dinamakan “diartes de franchise”, yaitu hak untuk menggunakan atau mengolah
hutan yang berada di bawah kekuasaan negara atau gereja. Sebagai imbalannya,
penguasa negara atau penguasa gereja menuntut jasa tertentu atau uang.
Pemberian hak tersebut diberikan juga kepada para pedagang dan ahli
pertukangan untuk penyelenggaraan pasar dan pameran, dengan imbalan sejumlah
uang. Namun, sebenarnya waralaba dengan pengertian yang kita kenal saat ini
berasal dari Amerika Serikat.27
27
Saat itu, franchise dikenal sebagai keseluruhan aktivitas bisnis yang
ditujukan untuk membangun jalan dan pembuatan bir. Pada intinya, raja
memberikan hak untuk monopoli kepada seseorang dalam melaksanakan aktivitas
bisnis tertentu. Di Jerman, konsep franchise berkembang pada sekitar tahun
1840-an. Saat itu, telah mulai diberikan hak khusus untuk menjual minum1840-an. Hal ini
merupakan konsep awal dari frachising yang kita kenal sekarang.28
Di Amerika Serikat, waralaba mulai dikenal kurang lebih dua abad yang
lalu ketika perusahaan bir memberikan lisensi kepada
perusahaan-perusahaan kecil sebagai upaya mendistribusikan produk mereka. Sistem waralaba
di Amerika Serikat pertama kali dimulai pada tahun 1851. Pada saat itu, di
Amerika Serikat timbul apa yang dinamakan sistem waralaba Amerika Serikat
generasi pertama, yang disebut sebagai straight product franchising (waralaba
produksi murni). Pada mulanya, sistem ini berupa pemberian lisensi bagi
penggunaan nama pada industri minuman (Coca-Cola), kemudian berkembang
sebagai sistem pemasaran pada industri mobil (General-Motors). Kemudian,
sistem waralaba ini dikembangkan oleh produsen bahan bakar, yang memberikan
hak waralaba kepada pemilik pompa bensin sehingga terbentuk jaringan
penyediaan untuk memenuhi suplai bahan bakar dengan cepat.29
Isaac M. Singer menandai munculnya franchise di Amerika Serikat pada
tahun 1851 dengan bisnis mesin jahitnya. Dengan menggunakan franchise untuk
menambah jangkauan distibusi pasarnya dengan cepat. Format franchisenya
adalah dengan memberikan hak penjualan mesin jahitnya dan tanggung jawab
28
Johannes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, Op.Cit., hlm. 121-122. 29
pelatihan kepada franchiseenya. Ia memasarkan produknya melalui
penyalur-penyalur independen dengan memungut royalti.30
Setelah Perang Dunia II, di Amerika Serikat berkembang sistem waralaba
generasi kedua, yang disebut sebagai entire business franchising. Dalam sistem
yang semakin berkembang ini, ikatan perjanjian tidak lagi hanya mengenai satu
aspek produksi, tetapi cenderung meliputi seluruh aspek pengoperasian
perusahaan pemberi waralaba. Pemberi waralaba (franchisor) membawa satu
paket prestasi kepada penerima waralaba (franchisee) berupa bentuk atau dekorasi
tempat usaha, konsep kebijakan perusahaan, dan sistem manajemen atau
organisasi perusahaan Franchisor mengarahkan dan “meleburkan” para
franchisee ke dalam suatu sistem yang telah franchisor tetapkan.31
Setelah berakhirnya Perang Dunia II, tepatnya pada tahun 60-70an,
waralaba mengalami booming di Amerika Serikat. Namun, setelah mengalami
booming, banyak terjadi praktik penipuan bisnis yang mengaku sebagai waralaba,
salah satunya dengan cara menjual sistem bisnis waralaba yang ternyata belum
teruji kebeerhasilannya di lapangan. Selain itu, franchisor lebih fokus untuk
menjual usaha waralaba milik mereka dibandingkan membangun dan
menyempurnakan sistem bisnisnya. Oleh karena itu, banyak investor (franchisee)
baru yang gagal karena modus ini. Hal inilah yang menjadi salah satu pendorong
terbentuknya IFA (International Franchise Association) pada tahun 1960.32
Salah satu tujuan didirikannya IFA ialah menciptakan iklim industri bisnis
waralaba yang dapat dipercaya karena IFA menciptakan kode etik waralaba
30
Amir Karamoy, Sukses Usaha Lewat Waralaba, (Jakarta : PT Jurnalindo Aksara Grafika, 1996), hlm. 5.
31
Ibid.
32
sebagai pedoman bagi anggota-anggotanya. Meskipun demikian, kode etik
waralaba masih perlu didukung oleh perangkat hukum agar dapat memastikan
tiap-tiap pihak dalam industri ini terlindungi. Oleh karena itu, pada tahun 1978,
FTC (Federal Trade Commission) mengeluarkan peraturan yang mewajibkan
setiap franchisor yang akan memberikan penawaran peluang waralaba kepada
publik untuk memiliki UFOC (Uniform Franchise Offering Circular). UFOC
adalah dokumen yang berisi informasi lengkap mengenai peluang bisnis waralaba
yang ditawarkan, seperti sejarah bisnis, pengelola, hal yang berkaitan dengan
hukum, prakiraan investasi, deskripsi konsep bisnis, dan salinan dari perjanjian
waralaba. Selain itu, daftar nama, alamat, dan nomor telepon franchisor
merupakan informasi yang diwajibkan. UFOC bertujuan untuk menyampaikan
informasi yang cukup mengenai perusahaan waralaba untuk membantu calon
franchisee dalam mengambil keputusan.33
Terkait perkembangannya di Indonesia, praktik bisnis waralaba mulai
dikenal sekitar tahun 1970 ditandai dengan masuknya Kentucky Fried Chicken
(KFC), Ice Cream Swensen, Shakey Pizza, yang kemudian disusul dengan Burger
King dan Seven Eleven. Namun diluar itu, sesungguhnya Indonesia telah
mengenal konsep waralaba sebagaimana yang diterapkan dalam penyebaran toko
sepatu Bata ataupun SPBU (Pompa Bensin).34 Menurut Amir Karamoy, pelopor waralaba di Indonesia adalah Pertamina. Walaupun Pertamina tidak pernah
menyatakan secara tegas bahwa perusahaannya menjalankan sistem waralaba,
33
Adrian Sutedi,Op.Cit.,hlm.3. 34
usaha yang dijalankan oleh Pertamina dengan mengoperasikan unit-unit pompa
bensin telah memenuhi kriteria sebagai suatu usaha waralaba.35
Sampai akhir dekade 1990-an, waralaba asing memang sangat
mendominasi. Akan tetapi karena permintaan pasar dan peluang bisnis yang ada,
pengusaha lokal yang dipelopori oleh pengusaha Es Teler 77 menciptakan
franchise yang bersifat nasional untuk pengusaha nasional. Pada tahun 1990,
California Fried Chicken (CFC) yang juga dimiliki oleh pengusaha nasional
melebarkan sayapnya ke luar negeri yaitu Singapura, Cina dan akan segera dibuka
di Filipina, Malaysia, dan Hong Kong. Dengan di bukanya CFC diluar negeri,
berarti CFC merupakan pemberi waralaba pertama yang mewaralabakan usahanya
ke luar negeri.36
Dengan semakin populernya sistem waralaba dalam perkembangan
perekonomian di Indonesia, pada tanggal 22 November 1991 sejumlah pengusaha
nasional sepakat untuk mendirikan satu-satunya wadah organisasi perusahaan
franchise di Indonesia. Sehingga didirikanlah Asosiasi Franchise Indonesia (AFI)
oleh perusahaan-perusahaan franchisor nasional.37 Pendirian AFI ini mendapatkan bantuan dari International Labour Organization dan pemerintah
Indonesia dan Lembaga Manajemen Institusi Penelitian dan Pengembangan
Masyarakat (IPPM). Pemerintah Indonesia merasa kepentingan dalam
mengembangkan waralaba untuk mendorong kemitraan usaha dan pembinaan
usaha kecil.
35
Amir Karamoy, J.B Bikololong dan Ponco Sulistiyo, Sukses Usaha Lewat Waralaba (Tanya Jawab Berbagai Aspek Waralaba), Cet.1, (Jakarta, PT. Jurnalindo Aksara Grafika, 1996), hlm.15.
36
Ibid., hlm. 4. 37
Pada tahun 1995 berdiri pula Asosiasi Restoran Waralaba Indonesia yang
mengkhususkan diri di bidang usaha restoran.38 Asosiasi ini bertujuan mengembangkan sumber daya manusia berkualitas di bidang usaha restoran
waralaba, mengembangkan informasi dan inovasi teknologi di bidang usaha
restoran, terutama mengenai teknologi makanan, peralatan masak, kemasan,
kesehatan dan gizi, pengawetan dan manajemen pelayanan.
B. Pengertian dan Istilah Waralaba (Franchise)
Franchise sendiri berasal dari bahasa Latin, yaitu francorum rex yang
artinya “bebas dari ikatan”, yang mengacu pada kebebasan untuk memiliki hak
usaha. Sedangkan pengertian franchise berasal dari bahasa Prancis abad
pertengahan, yang diambil dari kata “franc” (bebas) atau “francher”
(membebaskan), yang secara umum diartikan sebagai pemberian hak istimewa.39 Oleh sebab itu, pengertian franchise diinterpretasikan sebagai pembebasan dari
pembatasan tertentu, atau kemungkinan untuk melaksanakan tindakan tertentu,
yang untuk orang lain dilarang.
Dalam bahasa Inggris, franchise diterjemahkan dalam pengertian privilege
(hak istimewa / hak khusus). Di Amerika Serikat, franchise diartikan konsensi.40 Secara bebas dan sederhana, waralaba didefinisikan sebagai hak istimewa
(privilege) yang terjalin dan atau diberikan oleh pemberi waralaba (franchisor)
kepada penerima waralaba (franchisee) dengan sejumlah kewajiban atau
pembayaran. Dalam format bisnis, pengertian waralaba adalah pengaturan bisnis
dengan sistem pemberian hak pemakaian nama dagang oleh franchisor kepada
38
Ibid., hlm. 337. 39
Adrian Sutedi,Op.Cit.,hlm.6. 40
pihak independen atau franchisee untuk menjual produk atau jasa sesuai dengan
kesepakatan.41 Dalam bidang bisnis franchise berarti kebebasan yang diperolehseorang wirausaha untuk menjalankan sendiri suatu usaha tertentu di
wilayah tertentu.42
PH Collin, dalam Law Dictionary mendefinisikan Franchise sebagai
“License to trade using a brand name and paying a royalty for it”, dan franchising
sebagai “Act of selling a license to trade as a Frachisee”. Definisi tersebut
menekankan pada pentingnya peran nama dagang dalam pemberian waralaba
dengan imbalan royalty.43
Sejalan namun agak berbeda, franchise atau waralaba dalam Black’s Law
Dictionary diartikan sebagai:
“ A special privilege granted or sold, such as to use a name or to sell products or services. In its simple terms, a franchise is a license from owner of a trademark or trade name permitting another to sell a product or service under that name or mark. More broadly stated, a franchise has evolved into an elaborate agreement under which the franchise undertakes to conduct a business or sell a product or service in accordance with methods and procedures prescribed by the franchisor, and the franchisor under takes to assist the franchisee through advertising, promotion and other advisory services”.
Rumusan tersebut di atas menunjukkan pada kita semua bahwa waralaba
ternyata juga mengandung unsur-unsur sebagaimana yang diberikan pada lisensi,
hanya saja dalam pengertian waralaba seperti diberikan dalam Black’s Law
Dictionary, lebih menekankan pada pemberian hak untuk menjual produk berupa
barang atau jasa dengan memanfaatkan merek dagang Franchisor (pemberi
waralaba), dengan kewajiban pada pihak franchisee (penerima waralaba) untuk
41
Ibid.
42
Ridwan Khairandy, Perjanjian Franchise Sebagai Sarana Alih Teknologi, (Pusat Studi Hukum UII Yogyakarta bekerjasama dengan yayasan Klinik HAKI Jakarta, 2000), hlm. 132.
43
mengikuti metode dan tata cara atau prosedur yang telah ditetapkan oleh pemberi
waralaba. Dalam kaitannya dengan pemberian izin dan kewajiban pemenuhan
standar dari pemberi waralaba, pemberi waralaba akan memberikan bantuan
pemasaran, promosi maupun bantuan teknis lainnya agar penerima waralaba dapat
menjalankan usahanya dengan baik.44
Pengertian tersebut diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa seorang
penerima waralaba juga menjalankan usahanya sendiri tetapi dengan
mempergunakan merek dagang atau merek jasa serta dengan memanfaatkan
metode dan tata cara atau prosedur yang telah ditetapkan oleh pemberi waralaba.
Kewajiban untuk mempergunakan metode dan tata cara atau prosedur yang telah
ditetapkan oleh pemberi waralaba oleh penerima waralaba membawa akibat lebih
lanjut bahwa suatu usaha waralaba adalah usaha yang mandiri, yang tidak
mungkin digabungkan dengan kegiatan usaha lainnya (milik penerima waralaba).
Hal ini berarti pemberian waralaba menuntut eksklusivitas, dan bahkan dalam
banyak hal mewajibkan terjadinya non-competition clause bagi penerima
waralaba, bahkan setelah perjanjian pemberian waralabanya berakhir.45
Amerika Serikat dan Inggris memiliki perbedaan dalam mendefinisikan
istilah waralaba. Amerika Serikat melalui IFA (International Franchise
Association) mendefinisikan waralaba sebagai hubungan kontraktual antara
franchisor dan franchisee. Franchisor berkewajiban menjaga kepentingan secara
kontinyu pada bidang usaha yang dijalankan oleh franchisee, misalnya lewat
pelatihan, di bawah merek dagang yang sama dengan format dan standar
operasional atau kontrol franchisor, dimana franchisee menanamkan investasi
44
Ibid., hlm. 15. 45
pada usaha tersebut dari sumber dananya sendiri. Sementara itu, British Franchise
Association mendefinisikan waralaba sebagai garansi lisensi kontraktual oleh satu
orang (franchisor) ke pihak lain (franchisee) dengan mengizinkan atau meminta
franchisee menjalankan usaha dalam periode tertentu pada bisnis yang
menggunakan merek yang dimiliki oleh franchisor.46
Pada awalnya, istilah franchise tidak dikenal dalam kepustakaan hukum
Indonesia. Hal ini dapat dimaklumi karena memang lembaga franchise sejak awal
tidak terdapat dalam budaya atau tradisi bisnis masyarakat Indonesia. Jika saat ini
franchise ini kemudian masuk dalam tatanan budaya (termasuk juga tatanan
hukum) masyarakat Indonesia, itu lebih dikarenakan sebagai pengaruh globalisasi
dalam berbagai bidang.47
Istilah franchise ini selanjutnya menjadi istilah yang akrab dengan
masyarakat, khususnya masyarakat bisnis Indonesia dan menarik perhatian
banyak pihak untuk mendalaminya. Kemudian, istilah franchise coba di
Indonesia-kan dengan istilah “waralaba” yang diperkenalkan pertama kali oleh
Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Manajemen (LPPM). Waralaba berasal
dari kata “wara” (lebih atau istimewa) dan “laba” (untung) sehingga waralaba
berarti usaha yang memberikan laba lebih atau istimewa.48
Konferensi pers mengenai konsep perdagangan baru : waralaba, sistem
pemasaran vertikal franchising, yang dilaksanakan oleh Lembaga Pendidikan dan
46
Gunawan Widjaja, Op.Cit., hlm. 7. 47
O.K. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual ( intellectual Property Rights), ( Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 513.
48
Pengembangan Manajemen pada tanggal 25 Juni 1991 dikemukakakn beberapa
definisi franchise antara lain sebagai berikut :49
1. Franchise adalah sistem pemasaran atau distribusi barang dan jasa, dimana
sebuah perusahaan induk (franchisor) memberikan kepada individu atau
perusahaan lain (franchisee) yang berskala kecil dan menengah, hak
istimewa untuk melakukan sesuatu sistem usaha tertentu, dengan cara
tertentu, waktu tertentu dan suatu tempat tertentu.
2. Franchise adalah sebuah metode pendistribusian barang dan jasa kepada
masyarakat konsumen, yang dijual kepada pihak lain yang berminat.
Pemilik dari metode yang dijual ini disebut “frachisor”, sedangkan
pembeli hak untuk menggunakan metode itu disebut “franchisee”.
3. Franchising adalah suatu hubungan berdasarkan kontrak antara
“franchisor” dan “franchisee”. Franchisor menawarkan dan berkewajiban
menyediakan perhatian terus menerus pada bisnis dari franchisee melalui
penyediaan pengetahuan dan pelayanan. Franchisee beroperasi dengan
menggunakan nama dagang, format atau prosedur yang dipunyai serta
dikendalikan oleh franchisor.
Abdurrahman A. dalam Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan
memberikan pengertian franchise adalah :
Secara umum waralaba dikenal dengan istilah franchise yang berarti suatu
persetujuan atau perjanjian (kontrak) antara levaransir dan pedagang eceran atau
pedagang besar, yang menyatakan bahwa yang tersebut pertama itu memberikan
49
kepada yang tersebut terakhir itu suatu hak untuk memperdagangkan produknya,
dengan syarat-syarat yang disetujui oleh kedua belah pihak.50
Menurut Ridwan Khairandi, istilah franchise mengandung makna,
“Seseorang memberikan kebebasan dari ikatan yang menghalangi orang untuk
menggunakan atau membuat atau menjual sesuatu”.51
Dari sudut hak atas kekayaan intelektual, Ferro Sinambela mendefinisikan
franchise adalah semua hak milik yang berhubungan dengan bidang usaha atau
kepemilikan yang berhubungan daya pikir, seperti merek dagang, nama
perusahaan, label perusahaan, model barang penemuan, hak cipta, know how atau
hak paten, yang digunakan untuk tujuan penjualan barang-barang atau jasa-jasa
kepada konsumen.52
Dalam terjemahan bebas, waralaba adalah kontrak atau persetujuan lisan
atau tulisan yang dinyatakan secara tegas di mana seseorang memberikan hak
kepada orang lain untuk menggunakan nama dagang, merek jasa, merek dagang,
logo, atau karakteristik yang berhubungan, dimana terdapat kepentingan bersama
dalam bisnis yang menawarkan , menjual, mendistribusikan barang-barang atau
jasa pada pedagang besar atau pengecer, menyewakan barang-barang atau jasa
lainnya, di mana franchisee harus melakukan pembayaran biaya waralaba
(franchise fee) langsung atau tidak langsung.53
50
Munir Fuady, Pembiayaan Perusahaan Masa Kini, (Bandung : Citra Aditya Bhakti, 1997), hlm. 135.
51
Adrian Sutedi, Op.Cit.,hlm.9. 52
Ferro Sinambela, Peranan Perjanjian Kerja Antara Pengusaha dan Pekerja Pada Perusahaan Waralaba (Franchise) di Kotamadya Medan, ( Medan : Tesis Program Studi Ilmu Hukum- Program Pascasarjana USU, 2000), hlm.50.
53
Dari beberapa pengertian yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan
bahwa suatu sistem bisnis franchise atau waralaba melibatkan dua pihak, yaitu :54 a. Pihak pertama disebut dengan franchisor atau pemberi franchise, yaitu
wirausaha sukses pemilik produk, jasa atau sistem operasi yang khas
dengan merek tertentu, yang biasanya telah dipatenkan.
b. Pihak kedua disebut franchisee atau penerima franchise, yaitu perorangan
dan atau pengusaha lain yang dipilih oleh franchisor atau yang disetujui
permohonannya untuk menjadi franchisee oleh pihak franchisor untuk
menjalankan usaha dengan menggunakan nama dagang, merek atau sistem
usaha miliknya, dengan syarat imbalan kepada franchisor berupa uang
dalam jumlah tertentu pada awal kerjasama dijalan dan atau pada selang
waktu tertentu selama jangka waktu kerjasama (royalty).
Pengertian pemberi waralaba (franchisor) menurut John. F. Kinch adalah
The company that lends its trademarks, trade name, and business, system
(including training merchandizing, marketing, selling techniques, etc.) to a
franchisee. Sementara itu Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007, Pasal 1
ayat (2) menyatakan bahwa Pemberi waralaba adalah orang perseorangan atau
badan usaha yang memberikan hak untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan
waralaba yang dimilikinya kepada penerima waralaba.55
Sejak diberlakukannya Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 tentang
Waralaba, terutama dalam Pasal 1 butir 1 Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun
2007, waralaba diartikan sebagai hak khusus yang dimiliki oleh orang
54
Tengku Keizerina Devi Azwar, Perlindungan Hukum Dalam Franchise, (Medan, Karya Ilmiah Fakultas Hukum USU, 2005), hlm. 4.
55
perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha
dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan
dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian
waralaba.56 Definisi inilah yang berlaku baku secara yuridis formal di Indonesia. Sedangkan dalam Peraturan Menteri Perdagangan No.
12/M-DAG/PER/3/2006 tentang ketentuan dan tata cara penerbitan surat izin usaha
waralaba dijelaskan pengertian waralaba, yakni :
Waralaba (franchise) adalah perikatan antara pemberi waralaba dengan
penerima waralaba dimana penerima waralaba diberikan hak untuk menjalankan
usaha memanfaatkan dan/atau menggunakan hak kekayaan intelektual atau
penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pemberi waralaba dengan suatu
imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan oleh pemberi waralaba dengan
sejumlah kewajiban menyediakan dukungan konsultasi operasional yang
berkesinambungan oleh pemberi waralaba kepada penerima waralaba.57
Jika dilihat dari sejarahnya, franchise dari awal berkembangkan
mengalami banyak perkembangan dan perubahan. Pada awal berkembangnya
franchise hanya merupakan suatu cara yang digunakan seorang pengusaha untuk
melakukan distribusi hingga berkembang sampai pada franchise sebagai format
bisnis.
Jadi dalam hal ini, jelas bahwa waralaba melibatkan suatu kewajiban untuk
menggunakan suatu sistem dan metode yang ditetapkan oleh pemberi waralaba
termasuk di dalamnya hak untuk menggunakan merek dagang.
56
Republik Indonesia, Peraturan Permerintah Nomor 42 Tahun 2007 Tentang Waralaba, Bab I, Pasal 1 angka 1.
57
Pengertian waralaba (secara umum) ini dibedakan dari waralaba nama
dagang yang memang mengkhususkan diri pada perizinan penggunaan nama
dagang dalam rangka pemberian izin untuk melakukan penjualan produk pemberi
waralaba dalam suatu batas wilayah tertentu, dalam suatu pasar yang bersifat non
kompetitif.
Dari pengertian, definisi, maupun rumusan yang telah diuraikan di atas,
waralaba juga dapat dikatakan salah satu bentuk pemberian lisensi, hanya saja
berbeda dengan pengertian lisensi pada umumnya. Waralaba menekankan pada
kewajiban untuk mempergunakan sistem, metode, tata cara, prosedur, metode
pemasaran dan penjualan, maupun hal-hal lain yang telah ditentukan oleh
franchisor secara eksklusif, serta tidak boleh dilanggar maupun diabaikan oleh
penerima lisensi. Hal ini mengakibatkan bahwa waralaba cenderung bersifat
eksklusif. Seorang atau suatu pihak yang menerima waralaba tidaklah
dimungkinkan untuk melakukan kegiatan lain yang sejenis atau yang berada
dalam suatu lingkungan yang mungkin menimbulkan persaingan dengan kegiatan
usaha waralaba yang diperoleh olehnya dari pemberi waralaba. Non-competition
merupakan suatu issue yang sangat penting dalam waralaba.58
Selain itu, waralaba memiliki sejumlah ciri khas dibandingkan dengan
lisensi biasa. Bisnis dengan format waralaba umumnya memperoleh jaminan
bisnis. Hal ini terjadi karena franchisor telah menguji sistem bisnisnya dan dapat
memberikan jaminan kepada franchisee akan bekerjanya sistem tersebut.59
Meskipun terdapat perbedaan dalam merumuskan definisi waralaba
sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, tetapi pada umumnya, seperti
58
Gunawan Widjaja, Op.Cit., hlm. 20. 59
dikemukakakn oleh Jetro K. Libermann dan George J. Siedel, waralaba memiliki
unsur-unsur sebagai berikut :
a. Franchise merupakan perjanjian timbal balik antara franchisor dan
franchisee.
b. Franchisee berkewajiban membayar fee kepada franchisor.
c. Franchisee diizinkan menjual dan mendistribusikan barang atau jasa
franchisor menurut cara yang telah ditentukan franchisor atau mengikuti
metode bisnis yang dimiliki franchisor.
d. Franchisee menggunakan merek nama perusahaan atau juga
simbol-simbol komersial franchisor.60
C. Jenis-Jenis Waralaba (Franchise)
Pada umumnya, waralaba dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu sebagai
berikut :61
1. Product Franchises atau Distributorship Frachises
Product Franchising adalah dimana franchisee mendistribusikan
produk-produk franchise yang diproduksi oleh franchisor dengan menggunakan lisensi
yang bersifat eksklusif maupun non eksklusif. Seringkali juga terjadi bahwa
franchisee diberi hak eksklusif untuk memasarkan produk franchisor di suatu
wilayah tertentu.62
Disini franchisee membayar kepada franchisor atas pemberian hak untuk
menjual merek dagang produk-produk tersebut baik dengan cara membeli
60
Ferro Sinambela, Op.Cit., hlm. 52 61
Camelia Malik, “Implikasi Hukum Adanya Globalisasi Bisnis Franchise”, Jurnal Hukum No. 1 Vol. 14 Januari 2007, hlm. 102.
62
beberapa jumlah produk atau dengan cara membayar sejumlah biaya atas
pemberian hak untuk menjual barang-barang tersebut. Di dalam product
franchises, franchisor berperan sebagai pembuat produk-produk tersebut.
Selain franchisor mendapatkan pembayaran dari franchisee untuk biaya
franchisenya, franchisor juga mendapatkan pembayaran untuk penjualan
produknya ke pihak franchisee. Di sini, franchisee berperan sebagai distributor
produk franchisor. Jenis franchise ini masih diwakili oleh industri otomotif yang
menjual produk-produk otomotifnya melalui dealer ke seluruh dunia.
2. Business Format Franchises atau Chain-Style Franchises
Business Format Franchising adalah jenis franchise yang paling banyak
dikenal oleh masyarakat. Di sini, franchisor memberikan lisensi kepada individu
atau perusahaan untuk membuka gerai-gerai yang menjual berbagai macam
produk franchisor. Franchisor memberikan lisensi metode bisnis yang dibentuk
dan dibangun dengan menggunakan merek dagang tertentu. Franchisor juga
menyediakan bantuan kepada pihak franchisee dalam menjalankan bisnisnya
sesuai dengan manual pengoperasian bisnis yang diberikan franchisor.
Sebagai imbalan dari penggunaan merek dagang yang dimiliki franchisor,
maka franchisee wajib mengikuti metode-metode standar pengoperasian dan
berada di bawah pengawasan franchisor dalam yang berkaitan dengan
bahan-bahan, desain tempat usaha, persyaratan para karyawan, dan lain-lain. Selain itu,
franchisee juga wajib membayar biaya royalti kepada pihak franchisor. Contoh
dari waralaba ini adalah restoran fast food dan hotel.
Untuk jenis franchise ini, franchisor memberitahukan know-how atau
formula rahasia (ingredient) yang digunakan dalam proses produksi serta tata cara
pembuatan produk. Selanjutnya franchisee akan memproduksi dan
mendistribusikan produk tersebut sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh
franchisor dan juga menggunakan merek yang sama dengan yang dimiliki oleh
franchisor.
Jenis industri yang bergabung dalam metode franchise ini adalah industri
minuman ringan, sebagai contohnya Coca-Cola, Pepsi, dan lain sebagainya.
Kemudian, industri minuman ringan tersebut menjual formula rahasianya dan
menyuplai produknya kepada industri lokal untuk memproduksi minuman ringan
yang sesuai dengan standar yang diberikan franchisor. Biasanya produk yang
mereka jual mempunyai bentuk dan rasa yang sama di seluruh daerah. Dalam
franchise ini, franchisor merupakan satu-satunya pemilik dari formula rahasia
(ingredient) dan franchisee akan membayar untuk mendapatkan formula rahasia
(ingredient) tersebut.
Sedangkan model bisnis waralaba ada tiga macam, yaitu waralaba jasa,
waralaba barang dan waralaba distribusi. Tiga bentuk waralaba ini ditemukan
dalam kategorisasi waralaba yang dibuat oleh European Court of Justice pada
putusannya dalam kasus “Pronuptia”. Kombinasi ketiga bentuk waralaba tersebut
terdapat di Indonesia yang umumnya dapat ditemui pada usaha restoran cepat saji,
seperti pada Mc Donalds dan Kentucky Fried Chicken.63
Di Indonesia sistem waralaba setidaknya dibagi menjadi empat jenis, yaitu
sebagai berikut :
63
a. Waralaba dengan sistem format bisnis.
b. Waralaba bagi keuntungan.
c. Waralaba kerjasama investasi.
d. Waralaba produk dan merek dagang.
Dari keempat jenis sistem waralaba tersebut, sistem waralaba yang
berkembang di Indonesia saat ini ialah waralaba produk dan merek dagang serta
waralaba sistem format bisnis.64
Gunawan Widjaya menyatakan, bahwa dalam bentuknya sebagai bisnis
waralaba memiliki dua jenis kegiatan :65
1. Waralaba produk dan merek dagang (product and trade franchise)
Waralaba ini merupakan bentuk waralaba paling sederhana. Dalam
waralaba produk dan merek dagang, franchisor memberikan hak kepada
franchisee untuk menjual produk yang dikembangkan oleh franchisor yang
disertai dengan pemberian izin untuk menggunakan merek dagang milik
franchisor. Atas pemberian izin penggunaan merek dagang tersebut, biasanya
frachisor memperoleh keuntungan melalui penjualan produk yang diwaralabakan
kepada franchisee. Dalam bentuknya yang sangat sederhana ini, waralaba produk
dan merek dagang sering kali mengambil bentuk keagenan, distributor, atau
lisensi penjualan. Dalam bentuk waralaba ini, franchisor membantu franchisee
untuk memilih lokasi yang tepat serta menyediakan jasa orang untuk membantu
64
Ibid.
65
mengambil keputusan.66 Contoh waralaba bentuk ini ialah dealer mobil (auto 2000 dari Toyota) dan stasiun pompa bensin (Pertamina).
2. Waralaba Format Bisnis (Business Format Franchise)
Agak berbeda dengan waralaba produk dan merek dagang, waralaba ini
menurut pengertian yang diberikan oleh Martin Mandelson dalam Franchising,
petunjuk praktis bagi franchisor dan franchisee, waralaba format bisnis adalah:
Pemberian lisensi oleh seseorang (pemberi waralaba) kepada pihak lain
(penerima waralaba, lisensi tersebut memberi hak kepada penerima waralaba
untuk berusaha dengan menggunakan merek dagang/ nama dagang pemberi
waralaba, dan untuk menggunakan keseluruhan paket, yang terdiri dari seluruh
elemen yang diperlukan untuk membuat seorang yang sebelumnya belum terlatih
dalam bisnis dan untuk menjalankannya dengan bantuan yang terus menerus atas
dasar-dasar yang telah ditentukan sebelumnya.
Dan ia menyatakan bahwa waralaba format bisnis ini terdiri dari :
a. Konsep bisnis yang menyeluruh dari pemberi waralaba.
b. Adanya proses permulaan dan pelatihan atas seluruh aspek pengelolaan
bisnis, sesuai dengan konsep pemberia waralaba.
c. Proses bantuan dan bimbingan yang terus menerus dari pihak pemberi
waralaba.
Dalam praktek, ada dikenal dua bentuk franchise, yaitu :67
1. Franchise Distribusi, yakni suatu franchise yang dalam aktivitasnya hanya
bersangkut paut dengan pendistribusian barang atau jasa dan tidak
memproduksi barang atau jasa tersebut. Contohnya yaitu seperti
66
Anonymous, Mengenal Istilah Dalam Waralaba,http://www.wirausaha.com, diakses pada tanggal 15 April 2017
67
perusahaan sepatu Bata atau PT. Astra yang berperan sebagai distributor
untuk produk-produk yang dimiliki oleh perusahaan tertentu.
2. Franchise Format, yakni suatu franchise yang dalam aktivitasnya,
memproduksi sekaligus mendistribusikan barang atau jasa, dengan syarat
harus mengikuti format yang ditetapkan oleh pemilik (franchisor).
Contohnya seperti Pizza Hut, Wendy’s dan lain sebagainya.
Berdasarkan jumlah usaha yang berhak dimiliki franchisee, ada beberapa
format waralaba, yaitu sebagai berikut:68 1. Single Unit Franchise
Format ini adalah format yang paling sederhana dan paling banyak
digunakan karena kemudahannya. Franchisor memberikan hak kepada franchisee
untuk menjalankan usaha atas nama usahanya serta dengan panduan prosedur
yang telah ditetapkan sebelumnya. Franchisee hanya diperkenankan untuk
menjalankan usahanya pada sebuah cabang atau unit yang telah disepakati.
2. Area Frachise
Pada format ini, franchisee memperoleh hak untuk menjalankan usahanya
dalam sebuah wilayah tertentu, misalkan pada sebuah provinsi atau kota, dengan
jumlah unit usaha / cabang yang lebih dari satu.
3. Master franchise
Format master franchise memberikan hak kepada franchisee untuk
menjalankan usahanya di sebuah wilayah atau sebuah negara dan bukan hanya
membuka usaha. Franchisee dapat menjual lisensi kepada sub-franchisee dengan
ketentuan yang telah disepakati.
68
D. Aspek Hukum Perjanjian Waralaba
1. Perjanjian Waralaba
Dalam hukum perjanjian, perjanjian waralaba merupakan perjanjian
khusus karenanya tidak banyak dijumpai dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. Perjanjian ini dapat diterima dalam hukum karena didalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata ditemui satu pasal yang mengatakan adanya
kebebasan berkontrak. Pasal itu mengatakan bahwa perjanjian yang dibuat secara
sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya (Pasal 1338
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).69
Pada dasarnya waralaba berkenaan dengan pemberian izin oleh franchisor
kepada orang lain atau beberapa orang untuk menggunakan sistem atau cara
pengoperasian suatu bisnis. Pemberian izin ini meliputi untuk menggunakan
hak-hak pemilik waralaba yang berada dibidang hak-hak milik intelektual (Intelectual
Property Rights).
Perjanjian lisensi biasa tidak sama dengan pemberian (perjanjian) lisensi
waralaba. Kalau pada pemberian (perjanjian) lisensi biasanya hanya meliputi izin
lisensi bagi penggunaan merek tertentu. Sedangkan pada waralaba, pemberian izin
lisensi meliputi berbagai macam hak milik intelektual. Keseluruhan hak-hak milik
intelek bahwa alat-alat dibeli atau disewakan darinya. Selain yang disebut diatas
perjanjian waralaba (franchising): Pemberian lisensi hukum tentang nama
perniagaan, merek, model, desain dan sebagainya. Bidang-bidang hukum itu dapat
69
dikelompokkan dalam bidang hukum perjanjian dan dalam bidang hukum tentang
hak milik intelektual.
Sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah No.16 Tahun 1997 tentang
waralaba (yang sekarang diganti dengan Peraturan Pemerintah No.42 Tahun
2007), masalah waralaba menjai persoalan besar, karena pewaralaba (franchisor)
harus menggantungkan pada kesepakatan yang tertulis di dalam kontrak kerja
sama. Artinya kedua belah pihak harus sangat teliti dan hati-hati atas apa yang
disepakati. Perlindungan dari ketetapan lain yang mengatur suatu kerja sama
waralaba dapat diasumsikan sulit diperoleh, kalaupun ada. Etika pewaralabaan
(franchising ethics) merupakan sumber yang sementara itu dapat dijadikan
pedoman apakah perjanjian yang disusun mempunyai landasan yang adil dan
benar.
Perjanjian waralaba memuat kumpulan persyaratan, ketentuan dan
komitmen yang dibuat dan dikehendaki oleh franchisor bagi para franchisee-nya.
Di dalam perjanjian waralaba tercantum ketentuan yang berkaitan dengan hak dan
kewajiban franchisee, persyaratan lokasi, ketentuan pelatihan, biaya-biaya yang
harus dibayarkan oleh franchisee kepada franchisor, ketentuan yang berkaitan
dengan lama perjanjian waralaba dan perpanjangannya, serta ketentuan lain yang
mengatur hubungan antara franchisor dengan franchisee.
Dilihat dari sudut yuridis dalam Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007
tentang Waralaba dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor
12/M-Dag/Per/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda
diantara keduanya ada suatu perjanjian atau kontrak waralaba yang wajib
didaftarkan kepada Departemen Perdagangan.
Dalam setiap model perjanjian waralaba sekurang-kurangnya terdapat
unsur-unsur sebagai berikut :70
1. Adanya minimal 2 pihak, yaitu pihak franchisor dan pihak franchisee, di
mana pihak franchisor sebagai pihak yang memberikan bisnis waralaba,
sementara pihak franchisee merupakan pihak yang menerima bisnis
waralaba tersebut.
2. Adanya penawaran dalam bentuk paket usaha dari franchisor.
3. Adanya kerja sama dalam bentuk pengelolaan unit usaha antara pihak
franchisor dengan franchisee.
4. Memiliki unit usaha tertentu (outlet) oleh pihak franchisee yang akan
memanfaatkan paket usaha milik pihak franchisor.
5. Terdapat kontrak tertulis berupa perjanjian baku antara pihak franchisor
dengan pihak franchisee.
Setiap perjanjian waralaba memiliki 3 prinsip, yaitu harus jujur dan jelas,
tiap pasal dalam perjanjian harus adil, serta isi dari perjanjian dapat dipaksakan
berdasarkan hukum.
Perjanjian waralaba harus memuat syarat-syarat sebagai berikut :71
1. Kesepakatan kerjasama waralaba tertuang dalam perjanjian waralaba yang
disahkan secara hukum.
2. Kesepakatan kerjasama ini menjelaskan secara rinci semua hak,
kewajiban, dan tugas dari franchisor dan franchisee.
70
Adrian Sutedi,Op.Cit., hlm. 80-81. 71
3. Masing-masing pihak yang bersepakat sangat dianjurkan, bahkan untuk
beberapa negara dijadikan syarat, mendapatkan nasihat dari ahli hukum
yang kompeten untuk memahami isi dari perjanjian tersebut dan dengan
waktu yang dianggap cukup untuk memahaminya.
Dalam pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 ditentukan
bagaimana suatu perjanjian waralaba dilaksanakan, yaitu :72
1. Waralaba diselenggarakan berdasarkan perjanjian tertulis antara pemberi
waralaba dengan penerima waralaba dengan memperhatikan hukum
Indonesia.
2. Dalam hal perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditulis dalam
bahasa asing, perjanjian tersebut harus diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia.
Berdasarkan ketentuan tersebut setiap kontrak / perjanjian waralaba
bentuknya wajib untuk dibuat secara tertulis oleh para pihak. Eksistensi dari
kontrak / perjanjian waralaba sendiri sejatinya adalah sebuah kontrak
innominaat.73 Menurut Salim H.S. : “Kontrak innominaat merupakan kontrak-kontrak yang timbul, tumbuh, dan berkembang di dalam praktik. Timbulnya
kontrak itu karena adanya asas kebebasan kontrak sebagaimana yang tercantum
dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata.”74 Secara umum, perjanjian innominaat ialah perjanjian yang tidak terdapat di dalam KUH Perdata namun berkembang di
tengah masyarakat seperti leasing, kontrak karya, joint venture, beli sewa,
franchise dan lain sebagainya.
72
Dr. Sentosa Sembiring, S.H., M.H., Op.Cit., hlm. 135. 73
Kevin Kogin, Aspek Hukum Kontrak Waralaba, ( Jakarta : PT. Tatanusa,2014), hlm. 34. 74
Salah satu asas yang merupakan prinsip dasar dari kontrak adalah asas
kebebasan berkontrak. Menurut O.C. Kaligis bahwa pada dasarnya, pembuatan
perjanjian didasarkan pada asas kebebasan berkontrak yang berarti bahwa para
pihak bebas untuk menetapkan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam kontrak
yang akan dibuat tersebut, yang selanjutnya akan berlaku sebagai undang-undang
bagi para pihaknya.75
Peter Mahmud Marzuki menjelaskan bahwa di dalam asas ini terkandung
suatu pandangan bahwa orang bebas untuk melakukan atau tidak melakukan
perjanjian, bebas dengan siapa ia mengadakan perjanjian, bebas tentang apa yang
diperjanjikan, dan bebas untuk menetapkan syarat-syarat perjanjian.76
Walaupun bebas, kerangka isi dari suatu kontrak waralaba telah ditentukan
secara imperatif pada Pasal 5 Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 tentang
waralaba, yaitu perjanjian waralaba memuat klausula paling sedikit :77 a. Nama dan alamat para pihak;
b. Jenis Hak Kekayaan Intelektual;
c. Kegiatan usaha;
d. Hak dan kewajiban para pihak;
e. Bantuan, fasilitas, bimbingan operasional, pelatihan dan pemasaran yang
diberikan pemberi waralaba kepada penerima waralaba;
f. Wilayah usaha;
g. Jangka waktu perjanjian;
h. Tata cara pembayaran imbalan;
75
O.C. Kaligis, Kontrak Bisnis Teori dan Praktik, (Bandung : PT. Alumni, 2013), hlm. 17. 76
Peter Mahmud Marzuki, “Batas-Batas Kebebasan Berkontrak”, Jurnal Yuridika, No. 3 Vol. 18, Mei-Juni 2003, hlm. 197.
77
i. Kepemilikan, perubahan kepemilikan dan hak ahli waris;
j. Penyelesaian sengketa;
k. Tata cara perpanjangan, pengakhiran dan pemutusan perjanjian.
Perjanjian waralaba juga dapat mengatur suatu ketentuan yang
memungkinkan franchisee untuk memberikan waralaba lanjutan kepada pihak lain
dengan ketentuan bahwa franchisee tersebut harus mengoperasikan
sekurang-kurangnya satu outlet waralaba dan perjanjian waralaba lanjutan tersebut dibuat
dengan sepengetahuan franchisor. Dalam memberikan waralaba lanjutan,
franchisee utama wajib membuktikan kepada franchisee lanjutan bahwa ia
memiliki kewenangan untuk melakukan hal tersebut. Hal tersebut sesuai dengan
Pasal 6 Peraturan Menteri Perdagangan yang memuat ketentuan mandatoir (yang
harus ada) mengenai isi klausul minimal yang harus diatur dalam perjanjian
waralaba. Diantaranya ialah sebagai berikut :
1. Jangka waktu perjanjian minimal 10 tahun untuk perjanjian waralaba
antara franchisor dan franchisee utama.
2. Minimal lima tahun untuk perjanjian waralaba antara franchisee utama
dengan franchisee lanjutan (Pasal 7 Permendag).
3. Jenis HaKI Pasal 6 huruf b, penemuan atau ciri khas usaha misalnya :
a. Sistem manajemen;
b. Cara penjualan atau penataan atau cara distribusi yang merupakan
karakteristik khusus yang menjadi objek waralaba;
c. Hak dan kewajiban para pihak;
Bentuk dan isi perjanjian waralaba tidak boleh memuat, antara lain
ketetapan franchisee membeli semua produk, bahan baku, atau bahan penunjang
dari franchisor, terlebih jika harganya lebih mahal dari harga pasar. Selain itu,
perjanjian waralaba seharusnya tidak pula memuat kesepakatan tentang penetapan
harga jual produk.
2. Asas- Asas Hukum Perjanjian Waralaba
Dalam setiap peraturan perundang-undangan diperlukan adanya suatu
asas, karena asas ini yang melandasi atau menjiwai ataupun menghidupi peraturan
perundang-undangan dimaksud, dan dengan asas hukum maka maksud dan tujuan
peraturan perundang-undangan tersebut menjadi jelas. Demikian pula peraturan
perundang-undangan di bidang waralaba, maka di dalamnya harus ada asas-asas
hukum yang menjadi landasan pengaturan waralaba, khususnya dalam hal
pengaturan pembuatan perjanjian waralaba.
Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa asas hukum merupakan unsur yang
penting dan pokok dari peraturan hukum, karena asas hukum mengandung
tuntutan etis yang menjembatani antara peraturan-peraturan hukum dengan
cita-cita sosial dan pandangan etis masyarakatnya.78
Adapun asas-asas hukum yang harus ada dalam sebuah perjanjian
waralaba yaitu :79
a. Asas Kemitraan, yang mengharuskan sebuah usaha waralaba diletakkan di
atas dasar kerjasama usaha dengan menggunakan pola hubungan
kemitraan, kemanfaatan, tanggung jawab, kepentingan bersama, saling
78
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 45. 79
menghargai dan menghormati, saling membutuhkan, serta saling
menguntungkan.
b. Asas pikul bareng, yaitu risiko dalam usaha waralaba harus dipikul
bersama antara pihak pemberi waralaba dengan penerima waralaba secara
proporsional. Jadi kerugian yang terjadi pada sebuah usaha waralaba tidak
dibenarkan hanya ditanggung pihak penerima waralaba atau pihak pemberi
waralaba saja.
c. Asas informatiplieplicht, yaitu adanya kewajiban bagi pihak pemberi
waralaba untuk memberikan informasi usaha waralabanya secara terbuka,
jelas dan jujur kepada pihak penerima waralaba, serta wajib pula
memberitahukan hal-hal yang menjadi rahasia bisnis waralabanya secara
proporsional kepada pihak penerima waralaba.
d. Asas confidential, merupakan asas yang mewajibkan kepada pihak
pemberi waralaba maupun penerima waralaba untuk menjaga kerahasiaan
data ataupun ketentuan-ketentuan yang termasuk kategori rahasia agar
tidak diketahui pihak luar terutama yang menjadi pesaing bisnis waralaba
mereka.
3. Perjanjian-Perjanjian yang Berkaitan dengan Waralaba
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa perjanjian waralaba
tidak hanya mengenai pemberian lisensi, namun lebih dari itu. Di dalam perjanjian
waralaba juga terdapat perjanjian-perjanjian lain, yakni :
a. Perjanjian tentang utang-piutang (loan agreements)
Seorang calon franchisee memerlukan pinjaman guna pembayaran
ada kemungkinan franchisor memberikan pinjaman kepada franchisee untuk
dipergunakan sebagai modal kerja.
b. Penyewaan tempat usaha (site leases)
Tempat usaha memegang peranan penting bagi pemasaran. Kadang kala
franchisor mengadakan penelitian tentang tempat usaha ini sehingga mendapatkan
tempat usaha yang letaknya strategis, lalu membeli atau menyewanya, dan
kemudian menyewakannya kepada franchisee.
c. Perjanjian pembangunan tempat usaha (building agreements)
Pada usaha waralaba, franchisee diwajibkan untuk membuat gerai yang
khas sesuai dengan persyaratan yang diberikan oleh franchisor. Untuk membuat
gerai yang khas tersebut, franchisee diperbolehkan memakai pemborong sendiri,
tetapi kadang kala franchisor mempunyai hak untuk melakukan pembangunan ini.
d. Penyewaan Peralatan
Ada kemungkinan franchisor mensyaratkan franchisee untuk membeli
atau menyewakan alat-alat darinya. Di Amerika Serikat, ketentuan mengikat
sejenis ini disebut tie-in clauses atau exclusive dealing agreements. Selain yang
disebut diatas perjanjian waralaba (franchising) antara lain :
a. Melibatkan lisensi nama perniagaan, logo type, dan merek jasa.
b. Melibatkan nama baik perusahaan, dan penggunaan waralaba
memanfaatkan hal ini.
c. Melibatkan pemberian informasi rahasia dan keterampilan atau kecakapan
tehnik. Informasi rahasia ini memegang peranan penting dalam waralaba.
Adapun unsur-unsur dalam suatu perjanjian franchise atau waralaba, yaitu
antara lain :
a. Ada suatu perjanjian yang disepakati. Perjanjian franchise dibuat oleh
frachisor dan franchisee, baik sebagai badan hukum maupun dalam
kedudukannya sebagai perorangan. Dalam membuat perjanjian tidak boleh
bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan dan ketertiban umum.
Untuk menjamin kepastian hukum, sebaiknya perjanjian franchise dibuat
di hadapan pejabat yang berwenang (Notaris)
b. Adanya pemberian hak dari franchisor kepada franchisee untuk
memproduksi dan memasarkan produk dan atau jasa. Dalam hal ini
franchisee berhak untuk menggunakan nama, merek dagang, logo milik
franchisor yang sudah terlebih dahulu dikenal dalam perdagangan.
c. Pemberian hak yang terbatas pada waktu dan tempat tertentu. Penggunaan
hak franchisee sebagaimana disebutkan pada butir b tersebut diatas
terbatas pada tempat dan waktu yang telah diperjanjikan dalam perjanjian
franchise yang telah dibuat bersama.
d. Adanya pembayaran sejumlah uang tertentu dari franchisee kepada
franchisor. Pembayaran ini biasanya berupa pembayaran awal yang akan
dipergunakan untuk biaya pemilihan lokasi dan biaya-biaya lain yang di
keluarkan sampai beroperasinya bidang usaha tersebut.
Pembayaran atas berlangsungnya franchise yang meliputi royalty,
pembagian kelebihan harga, biaya promosi dan jasa-jasa administrasi dan
E. Pengaturan Waralaba di Indonesia
Pemerintah sebagai pemegang otoritas mempunyai kekuasaan untuk
menerapkan peraturan-peraturan yang menyangkut hubungan bisnis bagi para
pihak sekaligus melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang,
yaitu agar supaya undang- undang yang telah dibuat Pemerintah tersebut dapat
dilaksanakan dengan baik tanpa adanya suatu pelanggaran atau penyelewengan.
Perhatian pemerintah yang begitu besar ini bertujuan memberikan perlindungan
hukum serta kepastian hukum agar masing-masing pihak merasa aman dan
nyaman dalam menjalankan bisnis khususnya yang terlibat dalam bisnis waralaba
ini.
Hukum bisnis waralaba idealnya untuk melindungi kepentingan para pihak
namun kenyataan di lapangan belum tentu sesuai seperti yang diharapkan. Seperti
yang dikemukakan oleh Roscoe Pound yang membagi 3 (tiga) golongan yang
harus dilindungi oleh hukum yaiut, kepentingan umum, kepentingan sosial dan
kepentingan perseorangan.80 Akan tetapi posisi pemberi waralaba yang secara ekonomi lebih kuat akan memberikan pengaruhnya pula bagi beroperasinya
hukum di masyarakat.
Hukum mempunyai kedudukan yang kuat, karena konsepsi tersebut
memberikan kesempatan yang luas kepada negara atau Pemerintah untuk
mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan untuk membawa masyarakat
kepada tujuan yang di kehendaki dan menuangkannya melalui peraturan yang
dibuatnya. Dengan demikian hukum bekerjan dengan cara memberikan petunjuk
tingkah laku kepada manusia dalam memenuhi kebutuhan.
80
1. Pengaturan Waralaba Sebelum Berlakunya Peraturan Pemerintah No. 16
Tahun 1997 Tentang Waralaba.
Eksistensi bisnis waralaba telah mengalami perkembangan yang cukup
signifikan serta telah mendapat pengakuan dari berbagai kalangan pelaku usaha
dan pakar hukum bisnis, walaupun pengaturan perundang-undangannya belum
ada. Tetapi sejak tahun 1983 melalui Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor
3051/K/Sip/1981 tanggal 26 Desember 1983 dalam perkara merk Gold Bond
mengawali adanya pemberian lisensi merk di Indonesia, karena salah satu dari
aspek hukum waralaba adanya pemakaian merk lisensi oleh pemberi lisensi
kepada penerima lisensi.81
Jadi sebelum adanya Yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) itu,
perlindungan hukum tentang waralaba dilakukan melalui kontrak waralaba yang
dibuat oleh para pihak dengan menggunakan Buku Ketiga tentang Perikatan dan
pasal-pasal yang terdapat dalam KUH Perdata atau Burgerlijk Wet Boek (BW)
yang mengatur tentang perjanjian, seperti pasal 1320, pasal 1338 dan pasal 1365
KUH Perdata.
Pasca yurisprudensi MA itu, terdapat beberapa regulasi yang berupa
Keputusan Menteri Kehakiman No : M.02-HC.01.01 tahun 1987 tanggal 16 juni
1987 tentang Pedoman Pemakaian Nama Perseroan Terbatas. Kepmen itu berarti
bahwa akta Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang mendaftar akan
ditolak jika nama perseroan terbatas yang baru mendaftar memiliki kemiripan
81
dengan nama PT yang telah mendaftar terlebih dahulu dari perseroan terbatas
yang baru mau mendaftar nama perseroannya.82
Aturan itu kemudian dikuatkan dengan Keputusan Menteri Kehakiman
No: M.03-HC.02.01 tahun 1991, selain itu perseroan yang telah mendaftar
terlebih dahulu dapat menuntut/ menggugat berdasarkan pasal 1365 KUH Perdata,
jika suatu perseroan yang belum terdaftar tersebut telah beroperasi dan
memperoleh keuntungan secara ekonomi dari pemakaian nama yang mirip
tersebut.
Dalam perkembangannya, lisensi merk juga mendapat pengakuan dalam
UU Merek No : 19/1992 yang diperbaharui dengan UU No : 14/ 1997 dalam Bab
V, bagian kedua dari pasal 44 sampai dengan pasal 50. Demikian pula halnya
dengan logo-type memperoleh pengakuan secara hukum dalam putusan
Mahkamah Agung Nomor 1237/K/Sip/1982 tertanggal 31 januari 1983 dalam
perkara merk Colombus, dimana logo-type dirumuskan sebagai “sifat lahiriah
mengenai bentuk gambar, simbol, desain, serta huruf-huruf yang dijadikan merk
dan sifat lahiriah itulah yang menjadi alat pembeda antara merk yang satu dengan
merk yang lainnya.”.83
Kemudian terkait perlindungan desain produk industri (terkait dengan
merk jasa) pemerintah mengeluarkan UU No. 5 tahun 1984 tentang Perindustrian,
sedangkan terkait dengan hak cipta diatur dalam UU No. 6 tahun 1982 yang
diubah dengan UU No. 7 tahun 1987. Dengan demikian secara historis bisnis
waralaba memiliki perlindungan hukum, walaupun Peraturan Pemerintah tentang
82
Ibid.
83
waralaba baru diatur secara implisit dalam PP No. 16 tahun 1997 tentang
waralaba.
Jadi dalam hal ini waralaba memiliki hubungan segitiga antara perusahaan,
merk serta goodwill-nya dan ketiganya saling terkait.84 Selain itu, telah menjadi fakta bahwa goodwill suatu perusahaan memiliki nilai tersendiri. Oleh karena itu,
goodwill tidak dapat dipisahkan dari bisnis. Pihak franchisee diperkenankan
menggunakan goodwill dari perusahaan franchisor sehingga harus diakui bahwa
sebenarnya daya hidup perusahaan franchisee bergantung pada goodwill dan tetap
berada di tangan franchisor.
2. Pengaturan Waralaba Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1997
Tentang Waralaba
Peraturan Pemerintah ini dikeluarkan untuk mengembangkan kegiatan
waralaba sebagai upaya pemerintah memperluas kesempatan kerja, kesempatan
berusaha dan upaya meningkatkan pelaksanaan alih teknologi serta memberikan
kepastian hukum bagi dunia usaha yang menjalankan usaha waralaba, terutama
pengaturan , pembinaan dan pengembangan waralaba.
Adapun rumusan waralaba yang berkaitan dengan PP No. 16 Tahun 1997
dapat diuraikan sebagai berikut :85 a. Waralaba adalah suatu perikatan.
Rumusan tersebut menyatakan waralaba tunduk kepada ketentuan umum
mengenai perikatan yang terdapat dalam KUH Perdata (BW).
b. Waralaba melibatkan hak untuk memanfaatkan dan menggunakan HaKI
atau penemuan atau ciri khas usaha.
84
Adrian Sutedi,Op.Cit., hlm. 30. 85
Adapun hak atas kekayaan intelektual meliputi merk, nama dagang, logo,
desain, hak cipta, rahasia dagang serta paten. Sedangkan penemuan atau
ciri khas usaha, misalnya sistem manajemen serta cara penjualan atau
penataan atau ciri distribusi yang merupakan karakteristik khusus dari
pemiliknya.
c. Waralaba diberikan dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan
dan/atau penjualan barang/jasa.
Ketentuan ini mensyaratkan bahwa waralaba tidaklah diberikan dengan
Cuma-Cuma. Pemberian waralaba senantiasa dikaitkan dengan
imbalan/kompensasi yang diminta oleh pemberi waralaba dari penerima
waralaba.
3. Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 Tentang Waralaba dan Peraturan
Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor
31/M-DAG/PER/8/2008 yang digantikan dengan Peraturan Menteri Perindustrian
dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 53/M-DAG/PER/8/2012 tentang
Penyelenggaraan Waralaba.
Lahirnya Peraturan Pemerintah ini dilandasi oleh kehendak pemerintah
meningkatkan pembinaan usaha waralaba di seluruh Indonesia sehingga perlu
mendorong pengusaha nasional, terutama UKM tumbuh sebagai usaha waralaba
nasional yang handal dan mempunyai saing dalam negeri dan luar negeri,
khususnya dalam memasarkan produk dalam negeri. Pemerintah memandang
perlu mengetahui legalitas dan bonafiditas franchisor, baik franchisor dalam
negeri maupun dari luar negeri guna menciptakan transformasi informasi usaha
barang dan/atau jasa melalui bisnis waralaba. Disamping itu pemerintah perlu
menyusun data waralaba, baik jumlah maupun jenis yang diwaralabakan.
Dalam Peraturan Pemeritah ini, waralaba didefinisikan sebagai “hak
khusus yang dimiliki oleh orang perorangan atau badan usaha terhadap sistem
bisnis dengan ciri khas usaha memasarkan barang dan jasa yang telah terbukti
berhasil dan digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba”.
Sesuai definisi diatas, maka berdasarkan Pasal 3 PP Juncto Pasal 2 ayat (1)
tersebut, bisnis waralaba jika memenuhi persyaratan :86 a. Bisnis itu memiliki ciri khas usaha;
b. Terbukti telah memiliki keuntungan;
c. Memiliki standar atas pelayanan barang dan/atau jasa yang ditawarkan
yang dibuat secara tertulis;
d. Mudah diajarkan dan diaplikasikan;
e. Adanya dukungan yang berkesinambungan;
f. Hak kekayaan Intelektual yang telah terdaftar.
Selain itu berdasarkan pasal 8 Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 2007,
pemberi waralaba harus memberikan pelatihan, bimbingan operasional
manajemen, pemasaran, penelitian dan pengembangan kepada penerima waralaba
secara berkesinambungan, karena jika hal ini tidak dilakukan pemberi waralaba
dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencaburan Surat Tanda Pendaftaran
Waralaba (STPW).
Salah satu pasal yang dinilai sangat berpotensi menghalangi usaha kecil
untuk mengembangkan usahanya dengan waralaba adalah Pasal 3 dan Pasal 8
86
yang mewajibkan franchisor untuk memberikan pelatihan, bimbingan operasional,
manajemen, pemasaran, penelitian, dan pengembangan pada franchisee secara
terus menerus. Jadi, franchisor harus memiliki lembaga pelatihan sendiri yang
secara logika sulit dimiliki oleh usaha kecil. Jika tidak dilakukan, maka franchisor
dapat diberi sanksi oleh pemerintah antara lain dengan denda Rp. 100 juta.87
Sebenarnya dalam bisnis waralaba, ketentuan memang sudah seharusnya
ada. Keberadaan pasal-pasal tersebut minimal bisa mengerem pertumbuhan
peluang bisnis yang mengatasnamakan waralaba. Dampaknya, akan banyak bisnis
yang tidak menyebut dirinya bisnis waralaba lagi.
Untuk mengoptimalkan penyelenggaraan Waralaba, guna meningkatkan
kegiatan usaha melalui waralaba, kemitraan usaha antara pemberi waralaba
dengan pengusaha kecil dan menengah, serta peningkatan penggunaan produk
dalam negeri, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31/M-DAG/PER/8/2008
digantikan dengan Peraturan Menteri Perdangangan Nomor
53/M-DAG/PER/8/2012 tentang penyelenggaraan waralaba. Sehingga PERMENDAG
Nomor 31/M-DAG/PER/8/2008 tentang penyelenggaraan waralaba, dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku lagi pada tanggal 24 agustus 2012.
4. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 12/M-DAG/PER/3/2006 tentang
Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha
Waralaba
Pengertian tentang waralaba dalam Peratutan Menteri Perdagangan pada
pokoknya hanya pengulangan dari pengertian yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba. Dalam peraturan ini juga
87
dirumuskan mengenai waralaba lanjutan, kewajiban franchisor untuk
menyampaikan keterangan dengan benar kepada franchisee, serta mengatur isi
perjanjian waralaba.
Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor
12/M-DAG/PER/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda
Pendaftaran Usaha Waralaba Pasal 1 angka 4, pemberian waralaba dapat
dilakukan dengan pemberian hak lebih lanjut kepada penerima waralaba utama
untuk mewaralabakannya kembali kepada penerima waralaba lanjutan. Pada
praktiknya hal ini biasa disebut dengan istilah master franchise, yang kesepakatan
pemberian waralabanya dibuat dalam perjanjian penerima waralaba lanjutan
(master franchise agreement). Namun, dalam peraturan ini tidak dirumuskan
pengertian dari master franchise agreement, hanya diberikan pengetian perjanjian
waralaba yang dibedakan dan perjanjian waralaba lanjutan.
Kewajiban franchisor untuk menyampaikan keterangan kepada franchisee
juga dirumuskan dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor
12/M-DAG/PER/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda
Pendaftaran Usaha Waralaba Pasal 5, yang mensyaratkan bahwa, “Sebelum
membuat perjanjian, pemberi waralaba wajib memberikan keterangan tertulis atau
prospektus mengenai data atau informasi usahanya dengan benar kepada penerima
waralaba”.
Dalam peraturan ini juga diisyaratkan bahwa sebelum membuat perjanjian
waralaba lanjutan, penerima waralaba utama wajib memberitahukan secara tertulis
dengan dokumen otentik kepada penerima waralaba lanjutan bahwa penerima
yang dibuat antara penerima waralaba utama dengan penerima waralaba lanjutan