• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

PERTANGGUNGJAWABAN PETUGAS LEMBAGA PEMASYARAKATAN YANG MELAKUKAN KEKERASAN

TERHADAP NARAPIDANA

ARTIKEL

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

JONI SARI 0810012111085

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BUNG HATTA

PADANG 2015

No. Reg. 34/PID-02/I-2015

(2)
(3)

Pertanggungjawaban Petugas Lembaga Pemasyarakatan Yang Melakukan Kekerasan Terhadap Narapidana

(Studi Lembaga Pemasyarakatan Klas II.B Lubuk Basung)

Joni Sari1, Fitriati2, Syafridatati 1

1) Progam Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Bung Hatta

2) Progam Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Taman Siswa E-mail: jonisari@yahoo.com

ABSTRACT

Correctional officers in providing disciplinary action or impose disciplinary punishment shall treat prisoners fairly and not act arbitrarily; and basing actions on disciplinary rules correctional Institution but in practice often occurs violence committed by prison officers to inmates. Issues to be discussed are: (1) How to Form accountability Prison officials who commit violence against inmates? (2) What obstacles prevent prison officers who commit violence against inmates? To answer the above problems, the authors conducted a study with juridical sociological research methods that use primary data in the form of interviews and observations, secondary data such as documents and crime statistics. The data obtained were analyzed qualitatively. From the results of this study concluded: (1) The form of accountability of prison staff is to get the sanctions through the stages Reprimand In Oral, written warning, Reports In Oral, Written Statements and Reports Processed In Criminal. (2) Constraints Institute correctional officers in the prevention of violence against inmates, namely human resources, individual character and Over Capacity.

Keywords: Accountability, prisons, violence

Latar Belakang

Dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Lembaga Pemasyarakatan menyebutkan bahwa Kepala Lembaga Pemasyarakatan berwenang memberikan tindakan disiplin atau menjatuhkan hukuman disiplin terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan yang melanggar peraturan keamanan dan ketertiban di lingkungan Lembaga Pemasyarakatan yang dipimpinnya. Jenis hukuman disiplinnya dapat berupa: tutupan

sunyi paling lama 6 (enam) hari bagi Narapidana atau Anak Pidana; dan atau menunda atau meniadakan hak tertentu untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Selanjutnya dalam Pasal 47 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Lembaga Pemasyarakatan menyebutkan bahwa Petugas pemasyarakatan dalam memberikan tindakan disiplin atau menjatuhkan hukuman disiplin

(4)

wajib memperlakukan Warga Binaan Pemasyarakatan secara adil dan tidak bertindak sewenang-wenang; dan mendasarkan tindakannya pada peraturan tata tertib Lembaga pemasyarakatan, namun dalam pelaksanaannya sering kali terjadi kekerasan yang dilakukan petugas Lembaga Pemasyarakatan terhadap narapidana.

Metode Penelitian

Dalam penulisan ini, metode yang dipakai sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam metode penelitian hukum, sehingga penulisan ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

1. Jenis Penelitian

Penelitian yang penulis lakukan menggunakan metode penelitian Hukum Sosiologis. penelitian hukum sosiologis merupakan penelitian lapangan, yaitu penelitian yang langsung di lapangan untuk memperoleh data primer. Data primer adalah data yang diperoleh lansung dari masyarakat sebagai sumber pertama.

2. Jenis dan Sumber Data a. Data Primer

Data primer adalah data hasil wawancara kepada Zalman selaku Kepala Seksi Bimbingan Napi dan Anak Didik Lapas Klas IIB Lubuk Basung yang mana data tersebut dipergunakan sebagai data pendukung.

b. Data Sekunder

Data sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan

merupakan dokumen-dokumen resmi.

Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, jurnal-jurnal hukum.

3. Teknik Pengumpulan Data

Di dalam teknik pengumpulan data, penulis menggunakan alat pengumpulan data terdiri atas :

a. Studi Dokumen dengan mempelajari kepustakaan atau literatur yang ada kaitannya dengan permasalahan yang diteliti.

b. Wawancara

Merupakan metode

pengumpulan data dengan melakukan tanya jawab secara lisan dengan responden. Wawancara dilakukan secara terbuka dan semi terstruktur dengan tujuan agar mendapatkan jawaban yang nyata.

4. Analisis Data

Data yang diperoleh dari lapangan dikumpulkan, kemudian dianalisa secara kualitatif, yakni suatu cara pengolahan data- data, dengan menguraikan data-data dalam bentuk kalimat yang baik dan benar, sehingga mudah dibaca dan diinterprestasikan, kemudian dibuat kesimpulan dengan menggunakan metode deduktif, metode deduktif adalah suatu cara penyimpulan dari hal-hal yang bersifat umum sehingga sampai pada hal-hal yang bersifat khusus.

(5)

Hasil Penelitian dan Pembahasan

1. Pertanggungjawaban Petugas Lembaga Pemasyarakatan Yang Melakukan Kekerasan Terhadap Narapidana

Perbuatan kekerasan tidak harus selalu dengan menggunakan atau secara fisik. Ia bisa berupa sesuatu yang non fisik, yang psikologis, yang teologis, yang kultural, yang sosial, yang ekonomis, yang struktural, dari yang berwajib/ berkuasa, secara psikis, sampai pada yang bersifat naratif.

Bentuk kekerasan yang sering dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan adalah kekerasan terhadap warga binaan pemasyarakatan baik berupa pemukulan secara fisik maupun tekanan secara psikologis. kekerasan, adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani. mengancam atau memaksa seseorang atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan atau sepengetahuan siapapun dan atau pejabat publik (Pasal 1 ayat 4 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM).

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh Penulis dengan Bapak Zalman selaku Kepala Seksi Bimbingan Napi dan Anak Didik Lapas Klas IIB Lubuk Basung, bahwa pelanggaran hukum terhadap

narapidana dalam bentuk kekerasan yang dilakukan oleh petugas Lembaga Pemasyarakatan memang masih sering terjadi di dalam Rutan. Tindak kekerasan ini biasanya terjadi dalam bentuk tindak kekerasan langsung yang diwujudkan dalam bentuk tindak kekerasan fisik maupun psikis terhadap sesama narapidana.

Selanjutnya Zalman menjelaskan bahwa jika terjadi kekerasan terhadap narapidana oleh petugas lembaga pemasyarakatan maka bentuk pertanggung jawabannya terutama Kepala Seksi Bimbingan Napi dan Anak Didik dengan pemberian sanksi terhadap petugas pelaku kekerasan terhadap narapidana dengan melakukan tahapan-tahapan sebagai berikut:

1. Teguran Secara Lisan

Teguran secara lisan ini dilakukan oleh Kepala Seksi Bimbingan Napi dan Anak Didik langsung kepada pihak-pihak yang bermasalah, yaitu petugas yang diketahui melakukan kekerasan.

2. Teguran Secara Tertulis.

Upaya penyelesaian masalah dengan teguran secara tertulis dilakukan oleh Kepala Seksi Bimbingan Napi dan Anak Didik dalam masalah yang telah diberikan teguran secara lisan terhadap petugas pelaku kekerasan terhadap narapidana.

(6)

3. Laporan Secara Lisan

Laporan secara lisan dilakukan oleh Kepala Seksi Bimbingan Napi dan Anak Didik kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan, laporan lisan dilakukan karena upaya-upaya sebelumnya seperti teguran lisan maupun tertulis tidak memberikan perubahan.

4. Laporan Secara Tertulis.

Dalam menghadapi masalah- masalah yang terjadi di dalam lembaga pemasyarakatan terutama dalam kasus kekerasan terhadap narapidana oleh petugas lembaga pemasyarakatan maka Kepala Seksi Bimbingan Napi dan Anak Didik melakukan upaya penyelesaian dengan laporan secara tertulis kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan.

5. Diproses Secara Pidana

Inilah tahapan terakhir dari pertanggungjawaban petugas lembaga pemasyarakatan yang melakukan kekerasan terhadap narapidana, dimana jika terbukti melakukan kekerasan hingga menyebabkan luka-luka apalagi sampai menimbulkan korban jiwa maka petugas lembaga pemasyarakatan tersebut dapat langsung diproses dengan hukum yang berlaku yaitu hukum pidana.

2. Kendala-kendala Lembaga Pemasyarakatan Dalam Mencegah Petugas Yang Melakukan Kekerasan terhadap Narapidana

Hak Asasi Manusia merupakan hak esensial yang dimiliki oleh setiap manusia sebagaimana yang tertuang dalam Magna Charta atau Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Dalam perjalanan sejarah untuk mencegah terus berlangsungnya pelanggaran-pelanggaran HAM, PBB menetapkan sejumlah kovenan yang berkaitan dengan perlindungan HAM seperti Kovenan Hak Sipil dan Politik, Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Konvensi Hak Anak, Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia, Standar Perlakuan Minimum terhadap Narapidana/Warga binaan pemasyarakatan, Konvensi Internasional Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Rasial, Konvensi Internasional Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, dan lain-lain.

Beberapa instrument internasional tersebut telah diratifikasi ke dalam perundang- undangan RI.

HAM melekat pada diri setiap manusia tanpa memandang bulu, termasuk juga bagi narapidana/warga binaan pemasyarakatan. Standard Minimum Rules for Prisoners (SMR). Standar Perlakuan Minimum bagi Narapidana dan Warga

(7)

binaan pemasyarakatan menyatakan bahwa hak yang hilang daripada narapidana/warga binaan pemasyarakatan hanyalah hak atas kebebasan. Akan tetapi hak-hak lain yang melekat pada dirinya harus tetap diberikan selama mereka menjalani masa pidana/masa warga binaan pemasyarakatannya.

Teori pemidanaan yang dari masa ke masa mengalami perubahan, pada masa kini sudah tidak lagi berorientasi kepada tujuan pembalasan/penjeraan yang cenderung bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, melainkan lebih pada tata perlakuan yang bertujuan bukan saja agar para terpidana bertobat dan tidak melakukan tindak pidana lagi, melainkan juga melindungi masyarakat dari tindak kejahatan. Tata perlakuan ini dilaksanakan berdasarkan Sistem Pemasyarakatan (berlaku sejak 27 April 1964).

Departemen Hukum dan HAM sebagai payung sistem pemasyarakatan Indonesia, menyelenggarakan sistem pemasyarakatan agar narapidana dapat memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana, sehingga narapidana dapat diterima kembali dalam lingkungan masyarakatnya, kembali aktif berperan dalam pembangunan serta hidup secara wajar sebagai seorang warga negara. Maka dalam menjalankan perannya lembaga pemasyarakatan sebagai institusi memiliki kendala-kendala dalam pencegahan terhadap

petugas yang melakukan kekerasan terhadap narapidana yaitu:

1. Sumber Daya Manusia

Sumber daya manusia merupakan kendala pertama bagi lembaga pemasyarakatan untuk mencegah terjadinya kekerasan yang dilakukan oleh petugas karena tingkat pendidikan sipir lembaga pemasyarakatan yang rata-rata setara sekolah menengah atas mempengaruhi pemahaman terhadap hak-hak narapidana serta tujuan dari lembaga pemasyarakatan, sebab seringkali sipir masih beranggapan bahwa narapidana merupakan penjahat yang dapat diperlakukan sewenang-wenang.

2. Karakter Individu

Dalam sisi karakter individu yang tidak baik yaitu dimana banyak petugas tidak memiliki jiwa pengayom dengan mudah terpancing emosi dan amarahnya sehingga meskipun secara sumber daya manusia atau pendidikannya tinggi namun secara karakter tidak membantu dalam arti yang baik dalam pelaksanaan tugasnya di lembaga pemasyarakatan.

Kedewasaan dan kematangan jajaran pemasyarakatan saat ini berjalan seiring dengan bergulirnya tuntutan masyarakat akan kinerja pemerintahan yang bersih, profesional dan akun tabel.

Perubahan dari sistem kepenjaraan ke

(8)

sistem pemasyarakatan membawa dampak demokrasi pembinaan yang mengedepankan penghormatan dan penegakan hak asasi para narapidana serta demokratisasi pembinaan. Di samping dampak positif yang manusiawi, demokrasi pembinaan juga mengandung dampak negatif, yaitu menurunnya disiplin narapidana, narapidana kurang hormat (dalam arti menghargai petugas) dan petugas terlalu berhati-hati dalam menindak narapidana yang melakukan pelanggaran karena adanya sangsi atasan terlalu berat dan tidak berjenjang.

3. Over Kapasitas

Kendala bagi lembaga pemasyarakatan dalam mencegah terjadinya kekerasan oleh petugas tidak hanya datang dari diri petugas itu sendiri, namun juga dari aspek sarana lembaga pemasyarakatan yaitu terjadinya kelebihan kapasitas sehingga seringkali kekerasan terhadap narapidana diawali oleh banyaknya napi di lembaga pemasyarakatan yang tidak sebanding dengan jumlah petugas yang kemudian dapat menimbulkan kesulitan dalam pengaturannya.

Upaya dalam mengurangi kelebihan kapasitas (over kapasitas) pada Rutan atau lapas adalah dengan pemindahan narapidana dari lapas yang over kapasitas ke lapas atau rutan yang masih memungkinkan untuk

menampung hunian narapidana sesuai dengan Keputusan Menteri Hukum dan Ham No. M. 03-PK.02.01. Tahun 1991 tanggal 12 Juni Tahun 1991 tentang Petunjuk Pemindahan Napi. Kelebihan kapasitas (over kapasitas) adalah salah satu faktor penyebab tindak kekerasan di dalam rutan atau lapas.

Karena itu untuk mengurangi jumlah maka pemerintah melalui pembebasan bersyarat (PB), Cuti Menjelang Bebas (CMB), Cuti Mengunjungi Keluarga (CMK), dan Cuti Bersyarat (CB).

Secara umum pembebasan bersyarat, CMB, CMK dan CB adalah hak yang diberikan kepada seorang narapidana untuk menjalani masa hukumannya di luar tembok penjara. Dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.2.PK.04-10 Tahun 2007 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat yang diperoleh Kompas, cuti menjelang bebas adalah proses pembinaan di luar lembaga pemasyarakatan bagi narapidana yang telah menjalani 2/3 masa pidana, minimal sembilan bulan berkelakuan baik, besarnya cuti sama dengan remisi terakhir maksimal enam bulan.

Syarat-syarat dari program inipun sangat jelas. Di samping telah menjalani 2/3 dari masa pidana dan berkelakuan baik akan diperoleh apabila ia tidak pernah melanggar tata tertib atau pelanggaran disiplin, misalnya melakukan tindak kekerasan

(9)

terhadap narapidana atau warga binaan pemasyarakatan lainnya. Di samping syarat berkelakuan baik, maka sang narapidana juga harus menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang dia lakukan dan telah menunjukkan budi pekerti yang baik.

Persyaratan substantif yang harus dipenuhi narapidana di antaranya, berkelakuan baik selama menjalani pidana dan sekurang-kurangnya untuk asimilasi dalam enam bulan terakhir, untuk pembebasan bersyarat, dan cuti menjelang bebas dalam waktu sembilan bulan terakhir, dan cuti bersyarat dalam waktu enam bulan terakhir tidak pernah mendapat hukuman disiplin Cuti bersyarat, menurut peraturan tersebut, yaitu proses pembinaan di luar lembaga pemasyarakatan bagi narapidana yang dipidana satu tahun ke bawah, minimal telah menjalani 2/3 masa pidana, besarnya cuti maksimal tiga bulan.

Berdasarkan pasal 1 angka 3 UU No.

12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan. Sebagai bagian dari pembangunan di bidang hukum dan pembangunan nasional pada umumnya, sebagaimana dimaklumi bersama situasi aman dan tertib merupakan persyaratan bagi terselenggaranya pembinaan dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan di LAPAS, dengan kata lain

dapatlah ditegaskan bahwa kegiatan pembinaan tidak mungkin dapat terselenggara tanpa didukung suasana aman dan tertib dalam LAPAS. Sebaliknya situasi aman dan tertib tidaklah dapat dipelihara dan dikembangkan apabila kegiatan pembinaan tidak berlangsung di setiap Lapas, .

Dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan disebutkan bahwa “Sistem Pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk warga binaan (narapidana, anak didik pemasyarakatan dan klien pemasyarakatan) agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab, oleh karena itu tepatlah ungkapan bahwa keamanan dan pembinaan ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

Salah satu cara agar lembaga pemasyarakatan aman dan damai serta terselenggaranya pembinaan terhadap narapidana dengan baik sebagaimana yang diamanatkan undang-undang maka dilakukanlah pengelolaan pengaduan dan keluhan dari narapidana terkait kondisi mereka di dalam lembaga pemasyarakatan dengan memberikan kotak-kotak saran maupun dengan langsung memberikan

(10)

pengaduan kepada petugas-petugas lembaga pemasyarakatan.

Simpulan

Berdasarkan uraian yang penulis kemukakan pada bab yang terdahulu dan berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan maka dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Bentuk pertanggungjawaban petugas lembaga pemasyarakatan adalah dengan mendapatkan sanksi melalui tahapan- tahapan yaitu Teguran Secara Lisan, Teguran Secara Tertulis, Laporan Secara Lisan, Laporan Secara Tertulis dan Diproses Secara Pidana.

2. Kendala-kendala Lembaga Pemasyarakatan dalam pencegahan terhadap petugas yang melakukan kekerasan terhadap Narapidana yaitu Sumber daya manusia, karakter individu dan Over Kapasitas.

Ucapan Terima Kasih

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada pihak-pihak yang sudah membantu penulis selama menyelesaikan skripsi. Pihak-pihak yang dengan sabar membimbing dan selalu memotivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi.

Pihak tersebut adalah: (1) Ibu Dr.

Fitriati, S.H., M.H, selaku Pembimbing I (2) Ibu Syafridatati, S.H., M.H selaku Pembimbing II, dan merangkap Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum, (3)

ibu Yetisma Saini, S.H., M.H dan selaku Penguji II (4) ibu Dr. Uning Pratimaratri, S.H., M.H, selaku Penguji I, (5) Rianda, S.H., M.H, selaku Penguji III, (6) Keluarga tercinta yang selalu memberi dukungan moril maupun materi. (7) serta teman-teman seperjuangan.

DAFTAR PUSTAKA A. Buku Buku:

Ady Suyatno, 2000, Himpunan Peraturan Perundang-undangan tentang Pemasyarakatan: Jakarta Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.

Bambang Waluyo, 2004, Pidana Dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta , 1996, Penelitian Hukum dalam

Praktek; Sinar Gafika, Jakarta Bismar Siregar, 1983, Hukum Acara

Pidana, Jakarta: Bina Cipta.

CI. Harsono, 1986, Pembinaan Narapidana, Jakarta : UI Press.

Didin Sudirman, 2007, Posisi Dan Revitalisasi Pemasyarakatan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Jakarta: Alnindra Dunia Perkasa.

Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 2002, Cet. II.

(11)

Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi Jakarta: Mandar Maju, 1995.

, 1998, Kemandirian Polri dan Penegakan HAM di Indonesia, Lokakarya.

, 1992, Teori dan Kapita selekta Krirninolog, Bandung: Eresco.

Soedarto, 1981, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Alumni.

Soedjono Dirdjososworo, 1994, Sinopsis Kriminologi Indonesia, Bandung: Mandar Maju.

Soerjono Soekanto, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta.

Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2001, Kriminologi, Jakarta:

Rajawali Press, Jakarta.

Yahya Harahap, 1993, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Jakarta: Pustaka Kartini

B. Peraturan Perundang-undangan:

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

C. Makalah atau Jurnal:

Ichsan Nurhamka, Suhadi, dan Dwi Afrimetty, Pembinaan

Keterampilan di Lembaga Pemasyarakatan Terbuka Cinere, Jurnal PPKN Unj Online, Volume 1, Nomor 2, Tahun 2013.

Mega Prihartanti, Perananan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Perspektif Kesatuan Konsep Sistem Peradilan Pidana, Skripsi, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2006.

Professional dan Kemandirian POLRI Tanggal 3-4 Agustus Di Hotel Horizon, Bandung.

D. Sumber Lain

JE Sahetapy, Penanggulangan Kekerasan Tanpa Kekerasan, http:// www. polarhome.com/pipe rmail/nasional m/2002- September/000258.html.

Muzakky, Kejahatan Kekerasan, http://zakysme.blogdetik.com/

2008/10/27/ Kejahatan Kekerasan, diakses tanggal 12 Februari 2014.

http;// Lembaga Bantuan Hukum (Lbh) Padang, Mengungkap Tragedi Penyiksaan Di Lembaga Pemasyarakatan 6 September 2012, Diakses Tanggal 19 Nopember 2014

Referensi

Dokumen terkait

Kerusakan pada membran sel ini dapat terjadi dengan cara: (a) radikal bebas berikatan secara kovalen dengan enzim dan/atau reseptor yang berada di membran sel, sehingga

RANGKAIAN KILAS BALIK SEPEKAN APA KABAR JOGJA/ SELENGKAPNYA// INILAH

Dalam suatu perjalanan, Usman ingin menjalankan shalat Dzuhur dengan Ashar dengan cara

“ Keefektifan Teknik Role-Play Untuk Mengembangkan Kemampuan Komunikasi Interpersonal Remaja (Penelitian Kuasi Eksperimen Pada Siswa Kelas XI SMAN 1 Rembang Tahun

Analisis Scientific Reasoning Dalam Penerapan Pendekatan Levels Of Inquirypada Pokok Bahasan Optik.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

KEPADA PENGENDARA MOBIL YANG HANYA INGIN MELALUI KOTA JOGJA DIHIMBAU TIDAK MASUK KE DALAM KOTA// SEBAIKNYA MELALUI JALAN. LIGKAR ATAU JALUR

yang kasar dapat menyebabkan perubahan warna dari bahan basis gigi tiruan, menjadi.. sumber ketidaknyamanan kepada pasien dan juga dapat

Gambar 1.3 Pekerjaan Pengangkutan Limbah kedalam truk pengangkut. Universitas