Gayung Kasuma
2)Abstract
This research focuses about the life and cogitation concept (fatwa) of a religious figure from Islamic Organization NU (Nahdlatul Ulama), KH.
Baidlowi bin Abdul Aziz. Figure who was born in 1880 gives an influence of his cogitation in history of NU in Indonesia. Because came of Islamic boarding house family, KH. Baidlowi spend his education in religion sector in Indonesia and abroad, Saudi Arabian. More than twenty years having education process, KH. Baidlowi continues dedication of his father in managing Al-Wahdah Islamic boarding school. His capability in religion sector, especially in Fiqh makes him as Syuriah chief of Nahdlatul Ulama and Thoriqoh Mu'tabaroh association until his death in 1970, in Lasem. In this research, the researcher finds that KH. Baidlowi as NU figure has national rule. His religious advice about Waliyyul Amri Addhoruri Bis- syaukah in 1952 gives strong legitimation to Ir. Soekarno as a legal President when rebellion of DI/TII Kartosoewirjo head is run. This religious advice be the social agreement for all of the Islamic expert from the Islamic classes variety in national Islamic expert conference, in 1954. Although his capability has been recognized nationally, KH.Baidlowi stays to choose managing Al Wahdah Islamic boarding school in Lasem.
Keywords: Ideas, KH. Baidlowi, Nahdlatul Ulama . Abstraksi
Penelitian ini mengkaji tentang kehidupan dan konsep pemikiran (fatwa) tentang seorang tokoh ulama dari organisasi keislaman NU (Nahdlatul Ulama), KH. Baidlowi bin Abdul Aziz. KH. Baidlowi yang lahir pada 1880 memberikan pengaruh pemikirannya dalam perjalanan sejarah NU di Indonesia. Lahir dari keluarga pesantren, KH. Baidlowi menjalani proses pendidikannya dalam bidang keagamaan baik di Indonesia maupun di luar negeri, Arab Saudi. Selama lebih dari dua puluh tahun menjalani proses pendidikan, KH. Baidlowi akhirnya melanjutkan pengabdian ayahnya dalam mengurus pesantren Al-Wahdah. Kemampuannya di bidang keagamaan khususnya fiqih , menjadikannya sebagai Rais Syuriah Nahdlatul Ulama dan Ketua perkumpulan Thoriqoh Mu'tabaroh sampai meninggalnya pada tahun 1970 di Lasem. Dalam penelitian ini penulis menemukan bahwa KH. Baidlowi Sebagai tokoh NU memiliki peran nasional. Fatwanya tentang Waliyyul Amri Addhoruri Bis-syaukah di tahun 1952, memberikan legitimasi kuat kepada Ir. Soekarno sebagai presiden yang sah di saat terjadi pemberontakan DI/TII pimpinan Kartosoewirjo.
Fatwanya ini menjadi kesepakatan bersama seluruh ulama dari berbagai golongan Islam dalam konferensi nasional ulama di Cipanas pada tahun 1954. Meskipun kemampuannya telah diakui secara nasional, KH. Baidlowi tetap memilih mengurus pesantren Al-Wahdah miliknya di Lasem.
Kata Kunci: Pemikiran, KH. Baidlowi, Nahdlatul Ulama.
*)
Mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah Angkatan 2008, Email nilzamsvarna@gmail.com
2)
Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga Surabaya
Pendahuluan
KH. Baidlowi bin Abdul Aziz. KH.
B a i d l o w i m e m b e r i k a n p e n g a r u h pemikirannya dalam perjalanan sejarah NU di Indonesia. Lahir dari keluarga pesantren, KH. Baidlowi menjalani proses pendidikannya dalam bidang keagamaan baik di Indonesia maupun di luar negeri, Arab Saudi. Selama lebih dari dua puluh tahun menjalani proses pendidikan, KH. Baidlowi akhirnya melanjutkan pengabdian ayahnya dalam m e n g u r u s p e s a n t r e n A l - Wa h d a h . Kemampuannya di bidang keagamaan khususnya fiqih , menjadikannya sebagai Rais Syuriah Nahdlatul Ulama dan Ketua perkumpulan Thoriqoh Mu'tabaroh sampai meninggalnya di Lasem. KH.
Baidlowi Sebagai tokoh NU memiliki peran nasional. Fatwa nya tentang Waliyyul Amri Addhoruri Bis-syaukah di tahun 1952, memberikan legitimasi kuat kepada Ir. Soekarno sebagai presiden yang sah di saat terjadi pemberontakan D I / T I I p i m p i n a n K a r t o s o e w i r j o . Fatwanya ini menjadi kesepakatan bersama seluruh ulama dari berbagai golongan Islam dalam konferensi nasional ulama di Cipanas pada tahun 1954
Salah satu daya tarik dari kota Lasem selain sisi sejarah geografisnya adalah keberadaan pondok Pesantren yang cukup banyak. Keberadaan Pesantren bermula dari surau-surau kecil ( gothakan ) yang digunakan untuk belajar mengaji seiring berkembangnya agama Islam di tanah Jawa. Kondisi ini hampir sama dalam sejarah adanya Pesantren di wilayah Lasem dan sekitarnya. Setelah sang pengajar mulai menetap dan perkembangan zaman yang mulai berubah
maka dibentuklah lembaga-lembaga tradisional yang mengajarkan kitab-kitab agama Islam. Tidak sebatas pada kitab suci Al-Quran saja namun juga kitab-kitab penunjang lainnya (Hanun Asrahah, 2002:
5).
Lebih jauh lagi dalam konteks historisnya, p esantren tidak hanya mengandung makna islamisasi atau bersifat keislaman , tetapi menjadi bagian dari produk lokal ( local g enius) metode pendidikan asli masyarakat Indonesia zaman Hindu-Budha. Padepokan pada masa Hindu- Budha menjadi sarana pendidikan secara tradisional dan pada masa itu pula murid-murid dari berbagai daerah yang hendak berguru di padepokan tersebut diharuskan untuk mondok atau “ ” tinggal sementara di padepokan tersebut dalam jangka waktu tertentu sebelum akhirnya menyelasaikan pendidikan mereka. Ketika Islam datang, tradisi yang erat ini lantas kemudian disesuaikan untuk d i o l a h s e d e m i k i a n r u p a m e n j a d i
“Pesantren” yang memiliki ciri khas Islam namun tidak meninggalkan kekhasan sebelumnya. Dengan kata lain telah terjadi akulturasi sistem pada transformasi dari
“padepokan” atau “dharma” menjadi
“Pesantren” (Hanun Asrahah, 2002: 6).
Teori ini setidaknya bersumber dari
dua fakta yang telah ada. Fakta pertama
dilihat dari dari hubungan identitas antara
guru dengan murid yang hampir sama
dengan identitas hubungan kiai dengan
santri. Identitas tersebut adalah berupa
hubungan “kebapakan” yang sudah ada
sebagai ikatan pokok pada zaman kerajaan
Hindu Budha. Kedua, antara Pesantren
dengan lembaga keagamaan pra Islam
terdapat kebisaan lama yang masih terjaga
yaitu berkelana. Berkelana dalam hal ini
adalah melakukan pencarian ilmu ruhani dari satu tempat ke tempat lainnya (Hanun Asrahah, 2002: 3).
Di sepanjang desa-desa yang dekat dengan jalan Daendles (jalan raya pos) bisa dipastikan terdapat lebih dari satu pesantren.Desa Ngemplak terdapat Pesantren Al-Aziz, Wahdatut Thollab , dan sebagainya. Desa Soditan terdapat Pesantren Al Hidayat, An Nur , dan Al H a m i d i y a h . S e d a n g k a n d i d e s a Sumbergirang terdapat Pesantren Nailun Najah Al-Fakhriyyah Al Wahdah , , , dan sebagainya. Sebagai pusat pendidikan agama Islam, Pesantren-Pesantren di Lasem pun memiliki sejarah dalam menghasilkan ulama-ulama di Indonesia.
Pesantren tidak hanya mengandung makna islamisasi atau bersifat keislaman , tetapi menjadi bagian dari produk lokal ( local genius) masyarakat setempat.
Berkaitan dengan hal tersebut, terdapat pendapat yang cukup menarik dari Frans Magnis Suseno mengenai identitas orang J a w a y a n g p a d a p e r k e m b a n g a n selanjutnya memberikan sentuhan identitas kultural pada Pesantren. Menurut Magnis setidaknya terdapat dua kaidah dasar kehidupan masyarakat Jawa.
Pertama, prinsip kerukunan yang bertujuan untuk mempertahankan masyarakat dalam keadaan harmonis.
Kedua, prinsip hormat yang mengatur pola interaksi antar masyarakat (Frans Magnis Suseno, 1984: 38 – 61)
Penghormatan orang Jawa bukan hanya kepada penggunaan bahasa untuk berkomunikasi ( Krama dan Ngoko ) tetapi juga penggunaan kata sapaan. Apabila dua orang Jawa bertemu, bahasa, pembawaan dan sikap mereka mesti mengungkapkan suatu pengakuan terhadap pengakuan
terhadap kedudukan mereka masing- masing dalam suatu tatanan sosial yang tersusun dengan terperinci. Mengikuti aturan-aturan tata krama yang sesuai, dengan mengambil sikap hormat atau kebapakan yang tepat merupakan hal yang sangat penting.
Lebih spesifik lagi di dunia Pesantren penghormatan kepada orang yang berilmu dan lebih dituakan, dipanggil dengan kata sapaan Mbah. Sapaan Mbah cenderung populer digunakan di wilayah Jawa Tengah. Sedangkan di wilayah Banten dan Jawa Barat cenderung menggunakan istilah Abuya dan Eyang (Murtadho Hadi, 2009: 9-10). Jawa Timur lebih cenderung menggunakan istilah Yai, yang berasal dari kata Kyai . Beberapa daerah lainnya seperti Madura lebih c e n d e r u n g m e n g g u n a k a n i s t i l a h Syaikhona. Lebih umum lagi di beberapa daerah menggunakan istilah Syekh atau Syaikh.
Masing-masing istilah tersebut
meskipun memiliki arti bahasa yang
berbeda namun hakekat penggunaannya
adalah sama. Sama-sama memiliki tujuan
untuk memberikan penghormatan kepada
orang yang lebih tua dan dituakan,
memiliki ilmu lebih (khususnya di bidang
agama), dan sejenisnya. Kondisi seperti ini
juga berlaku pada Pesantren yang ada di
Lasem. Para santri dan masyarakat lebih
terbiasa menyapa seorang kiyai dengan
sapaan Mbah . Selanjutnya dalam
menjalankan aktifitas pendidikannya,
pesantren tradisional cenderung lebih
menggunakan kitab kuning dari pada kitab
terjemahan latin. Pemaknaan dari itab
t e r s e b u t m a y o r i t a s m e n g g u n a k a n
terjemahan bahasa Jawa dan bentuk
tulisan Arab pegon. Identitas kultural Jawa
bisa jadi sangat melekat erat pada kultural Pesantren ditarik berdasarkan faktor historis kedua kebudayaan tersebut.
3)Riwayat Pendidikan KH. Baidlowi
Lahir pada tanggal 12 Syawal 1297 Hijriyah atau dalam kalender Masehi adalah 17 September 1880, Baidlowi menghabiskan masa kecil di Lasem sampai umurnya beranjak remaja. Sejak kecil hingga menginjak dewasa, Baidlowi muda mencari banyak pengetahuan kepada berbagai kiai, baik di Lasem maupun luar Lasem seperti Sarang, Solo, Bojonegoro, hingga ke Makkah.
Perjalanan ilmiah Baidlowi muda kepada banyak ulama kemudian memunculkan pertanyaan “Mengapa dan untuk apa dia belajar sedemikian banyak kepada para ulama?”. Terdapat berbagai argumen yang bisa disampaikan terkait hal tersebut.
Pada masa-masa ini tradisi masyarakat yang ingin belajar ilmu agama k e p a d a u l a m a d i l a k u k a n s e c a r a berpindah-pindah ( nomaden ). Istilah lain yang digunakan adalah santri kelana (Gerg Barton, 2010:32). Berbeda dengan sistem pembelajaran klasikal yang telah diterapkan oleh banyak pondok pesantren pada zaman setelahnya. Tradisi ini dilakukan karena seorang kiai memiliki spesialisasi ilmu sendiri-sendiri sesuai bidangnya. Sekedar menyebut, dahulu ketika seseorang ingin mendalami ilmu fiqih, ia tentu akan berkunjung ke Mbah Umar bin Harun Sarang. Jika ingin belajar hadist maka ia akan belajar kepada KH.
Hasyim Asy'ari Jombang, dan jika ingin belajar ilmu nahwu dan ilmu-ilmu alat mampirlah ia kepada Mbah Manaf L i r b o y o a t a u S y a i k h o n a K h o l i l Bangkalan. Perlu menjadi catatan adalah meskipun kiai-kiai tersebut ahli dalam b i d a n g t e r t e n t u , t i d a k m e n u t u p k e m u n g k i n a n m e r e k a m e m i l i k i kemampuan di cabang keilmuan lainnya (Murtadlo Hadi, 2009: 38)
Sebagai permulaan, Baidlowi tidak perlu berpergian jauh untuk belajar agama karena dia lahir di lingkungan yang terdapata pengajian-pengajian kecil.
Ayahnya adalah seorang guru dari pengajian itu. Melalui sang Ayah, Mbah Baidlowi belajar membaca dan menulis Arab, termasuk membaca Al-Qur'an.
Selama kurang lebih 7 tahun berada dibawah didikan KH. Abdul Aziz, Baidlowi kecil kemudian melanjutkan pendidikan agama di bawah asuhan KH.
Umar bin Harun Sarang (Abu Hizqil, tanpa tahun: 2). Jiwa kepemimpinan M b a h B a i d l o w i d i b e n t u k d a l a m pendidikan pesantren ini sehingga sempat diangkat menjadi lurah pondok. Baidlowi yang beranjak muda ini nyantri kepada KH. Umar selama 10 tahun. Jika melihat kenyataan bahwa Mbah Baidlowi mengaji di Sarang selama 10 tahun maka hal itu bukan waktu yang pendek. Masa-masa ini menjadi masa yang sangat penting terhadap pemikiran keagamaan Baidlowi muda. KH. Umar merupakan orang penting kedua setelah KH. Abdul Aziz yang memiliki saham besar dalam
3)
Secara garis besar lembaga pondok pesantren dibagi dalam dua kelompok besar. Pertama, Pesantren Modern (Khalafy) yang telah memasukkan pelajaran-pelajaran umum dalam madrasah atau sekolah yang dikembangkan secara klasikal. Kedua, Pesantren Tradisional (Salafy) yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab klasik (kitab kuning) sebagai inti pendidikan pesantren. Sedangkan Kitab kuning adalah sebutan untuk buku-buku berhuruf arab yang biasa dipakai dilingkungan pondok pesantren.
Dinamakan kitab kuning karena kebanyakan kertas yang dipakai berwarna kuning atau mungkin juga
karena sudah usang.
pendidikan keagamaan Mbah Baidlowi.
Hal ini juga terbukti dalam jenjang pendidikan selanjutnya.
B a i d l o w i m u d a k e m u d i a n melanjutkan pendidikan keagamaannya di pesantren Jamsaren Solo, yang diasuh oleh Kiai Idris selama lima tahun. Selain sebagai santri, Baidlowi juga diberikan kesempatan untuk mengajar kitab-kitab tertentu. Selesai dari Solo, Baidlowi muda i n i m e l a n j u t k a n p e n d i d i k a n keagamaannya di Makkah. Selain berguru kepada ulama-ulama Makkah, Mbah Baidlowi juga belajar kepada KH.
Mahfudz At-Turmusi seorang kiai yang berasal dari Indonesia. Kepada KH.
Mahfudz At-Turmusi Baidlowi muda mendalami kajian ilmu hadist. Di masa itu, sulit rasanya belajar ke negeri orang jika tidak memiliki akses ekonomi yang cukup kuat (wawancara dengan Luthfi Thomafi, 26 Maret 2012). Hal ini terjadi karena kondisi Indonesia saat itu yang masih dalam masa penjajahan, sehingga cukup sulit jika ada beberapa masyarakat yang hendak melanjutkan pendidikan di luar Indonesia. Masa-masa remaja Baidlowi dihabiskan di negara dimana terdapat kiblat umat muslim ini.
Awal tahun 1900-an terjadi pertikaian antara Arab Saudi dengan Turki Ottoman. Syarif Husain yang memimpin orang-orang Arab berhasil mengusir pasukan Turki dari tanah suci dan ingin keluar dari kekuasaan kekhalifahan Turki Ottoman. Kebencian Arab Saudi terhadap Turki melebar kepada orang-orang yang berasal dari Turki yang tinggal di sekitar Ka'bah dan mereka juga ikut diusir.
Pertikaian ini menyebabkan penduduk Makkah dilanda kelaparan. Untuk mencukupi kebutuhannya, Baidlowi
muda menjual beberapa kitab yang telah dimilikinya (Abu Hizqil, tanpa tahun: 2)
Kitab terakhir yang dimilikinya adalah kitab Ihya' 'ulumuddin . Perubahan- p e r u b a h a n p o l i t i k d a n i d e n t i t a s keagamaan yang terjadi di Makkah dan kesulitan ekonomi yang melanda wilayah itu menyebabkan banyak orang-orang yang berasal dari luar Makkah kembali ke negaranya masing-masing. Begitu pula dengan Baidlowi yang pulang ke Indonesia. Baidlowi pulang dengan menggunakan kapal laut transit di India kemudian melanjutkan perjalanan darat serta laut melewati Thailand, Malaysia, Singapura, kemudian tiba di Jawa (Abu Hizqil, tanpa tahun: 3). Selesai menjalani proses pendidikan dari Makkah, dua tahun kemudian Baidlowi muda meninggalkan masa lajangnya dengan menikahi Halimah, putri dari KH. Shiddiq Rembang pada usia sekitar 27 tahun. Termasuk juga menjadi pengasuh di pesantren yang dulu menjadi tempat pengajian Ayahnya, KH.
Abdul Aziz.
Kontribusi Sosial Kemasyarakatan KH. Baidlowi
Secara khusus kontribusi Mbah Baidlowi terbagi dalam empat tipe.
Pertama, kontribusi intelektual ( ilmiyah)
seperti sebagai kiai yang memiliki
pesantren dan mengajar di sana. Kedua ,
kontribusi spiritual ( rohaniyah ) berkaitan
dengan kedudukan kiai yang seringkali
bertindak sebagai pemimpin doa, menjadi
imam sholat, juga sebagai pimpinan
thoriqot . K etiga , kontribusi sosial
( i j t i m a ' i y a h ) b e r k a i t a n d e n g a n
kepercayaan yang diemban kiai dari
masyarakat sebagai seorang pimpinan
atau dalam aktivitas lain seperi menjadi
ketua organisasi, tokoh politik dan
s e b a g a n y a . K e e m p a t , k o n t r i b u s i administratif ( idariyah ) berkaitan dengan jabatan kiai sebagai pengasuh pesantren, maka mau tidak mau kiai akan menangani masalah administrasi, memimpin, mengawasi, dan sebagainya. Kesemuanya ini mengacu pada peran kepemimpinan ulama yang diutarakan oleh Prof. Dr.
Muhammad Tholhah Hasan (Muhammad hasyim dkk, 2009: xv).
Sebagai seorang yang memiliki pondok pesantren serta pengembaraan ilmiah dalam bidang ilmu agama khususnya, Mbah Baidlowi memiliki kontribusi intelektual dalam mengajarkan ilmunya di pesantren atau melalui ceramah di luar pesantren. Khusus kepada santri, Mbah Baidlowi lebih menekankan pada penguasaan ilmu-ilmu agama secara sempurna. Ada klasifikasi kitab kuning yang dibedakan dalam hal pengajarannya oleh Mbah Baidlowi. Pertama , kitab yang diajarkan oleh Mbah Baidlowi secara terus menerus. Jika selesai pembahasan dalam kitab tersebut maka akan diulang kembali proses pengajarannya. Kedua , kitab yang pengajarannya tidak dilakukan secara berulang-ulang. Beberapa bidang keilmuan yang diajarkan Mbah Baidlowi kepada santrinya adalah perihal hukum- hukum agama ( fiqih) , tata bahasa Arab ( nahwu, shorof ), aturan perilaku manusia ( adab, tauhid, tasawuf ).
Selain mengajar di pesantrennya sendiri, Mbah Baidlowi juga sempat menjadi nadhir (ketua pembina) Masjid Jami' Lasem. Inilah yang menjadi salah satu kontribusi spiritual Mbah Baidlowi.
Pengelolaan masjid selain sebagai tempat
ibadah juga menjadi media pendidikan bagi masyarakat Lasem. Mbah Baidlowi dan kiai-kiai Lasem lainnya mendirikan sebuah sekolah diniyyah (keagamaan) di Masjid Jami' Lasem. Meskipun sekolah tersebut berlatar belakang sekolah keagamaan, tetapi pelajaran yang diajarkan tidak kalah dengan sekolah- sekolah lain pada zamannya, antara lain dengan memuat pelajaran bahasa Inggris dan Arab. Kenyataan ini tidak banyak diterapkan pada pesantren-pesantren NU.
Sekolah tersebut bernama Madrasah Al- Jailiniyah dan gedungnya berada di area Masjid Jami' Lasem. Sayangnya sekolah ini berhenti beroperasi 15 tahun setelah meninggalnya Mbah Baidlowi, tepatnya tahun 1985 (Luthfi Thomafi, 2007: 144).
Pada tanggal 10 Oktober 1957 di pondok pesantren Tegal Rejo Magelang para kiai NU mendirikan suatu badan otonom bernama Jam'iyah Ahli Thoriqoh Muktabarah (Soelaiman Fadeli, 2007:
34). Badan otonom ini merupakan sebuah bentuk pengajian dari kalangan kaum Nahdliyin (orang-orang yang menjadi anggota Nahdlatul Ulama). Alasan utama didirikannya Banom ini adalah untuk membimbing organisasi-organisasi thoriqoh yang dinilai belum mengajarkan amalan-amalan yang sesuai dengan Al- Qur'an dan Al-Hadist. Selain itu Banom ini juga berfungsi untuk mengawasi organisasi-organisasi thoriqoh agar tidak menyalahgunakan pengaruhnya untuk kepentingan yang tidak dibenarkan oleh ajaran agama Islam (Soelaiman Fadeli, 2007: 104 – 105).
4)Selama dua belas tahun, KH.
Thoriqoh adalah metode untuk mengetahui sebuah sifat mana yang tercela yang kemudian dijauhi dan
4)