• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II BIOGRAFI AL-BUTHI. A. Riwayat Hidup dan Pendidikan. Muhammad Sa id bin Mulla Ramadhan bin Umar bin Murad. Ia dilahirkan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II BIOGRAFI AL-BUTHI. A. Riwayat Hidup dan Pendidikan. Muhammad Sa id bin Mulla Ramadhan bin Umar bin Murad. Ia dilahirkan"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

17 BAB II

BIOGRAFI AL-BUTHI

A. Riwayat Hidup dan Pendidikan

1. Kelahiran dan Keluarga

Muhammad Sa’id bin Mulla Ramadhan bin ‘Umar bin Murad. Ia dilahirkan pada tahun 1929 di sebuah perkampungan kecil di Turki bernama Jilika, terletak di sebuah pulau bernama Semenanjung Buthān (Bahasa Arab: kepulauan Ibn Umar).

Gelar Al-Buthi adalah nisbat kepada tempat kelahiran beliau, yaitu Buthān. Ia lahir dari keluarga yang cerdas dan taat beragama, ayahnya termasuk tokoh ulama Kurdi yang masyhur, Syekh Mulla Ramadhan. Kalangan keluarganya bekerja sebagai petani di sawah. Ibunya bernama Manji, seorang wanita salehah lagi bertakwa (Rashidi, Muhammad, Muhammad bin Suhaimi, Mohd Rumaizuddin, 2015: 21).

Syekh Mulla adalah keturunan kaum Kurdi yang notabe-nya adalah keturunan nabi Syuaib. Kaum ini terkenal dengan kecerdasannya yang di atas rata- rata. Kehidupan kaum Kurdi sendiri berpencar-pencar di pelbagai daerah karena memang tidak mempunyai negara sendiri. Ayahanda, Syekh Mulla adalah sosok yang sangat mengagumi dan menghormati ulama meski beliau sendiri adalah seorang ulama besar. Diceritakan bahwa dulu Syekh Mulla suka mengisi atau menyediakan kebutuhan air untuk para ulama dan masyarakat Buthan. Berkad khidmat inilah, sang putra, Muhammad Said kelak menjadi seorang ulama besar (Mufid, 2015: 35).

(2)

Al-Buthi adalah anak kedua dari empat bersaudara dan merupakan satu- satunya anak laki-laki dalam keluarga (Al-Buthi, 2006: 55). Keempatnya yaitu Zainab, Muhammad Sa’id, Ruqayyah, dan Na’imah. Semula ayahnya ingin menamakan Al-Buthi dengan nama Muhammad Fadhil tetapi dia mengubah pikiran dan menamakan Al-Buthi dengan nama Muhammad Sa’id, seperti nama seorang ulama di tempatnya, yaitu Sa’id Al-Masyhur (2006: 29).

Pada tahun 1933 ketika Al-Buthi berumur empat tahun, ia dan keluarganya melarikan diri dari pemerintahan sekuler Kamal Attaturk di Turki, ke berbagai tempat sehingga sampailah di Damaskus, Suriah (2006: 29-30). Semasa di Suriah ketiga-tiga saudara perempuannya meninggal dunia ketika mereka masih kecil.

Setelah itu, pada tahun 1942, menyusul kemudian ibunya meninggal dunia karena sakit. Pada saat itu Al-Buthi berumur 13 tahun, ayahnya menikah dengan seorang wanita di sana untuk kali kedua (2006: 55).

Ketika Al-Buthi menginjak usia 18 tahun, ayahnya ingin menjodohkan dengan adik dari istri kedua ayahnya (Syekh Mulla beristri lagi setelah istri pertama meninggal) yang memiliki usia lebih tua. Awalnya ia tidak setuju untuk menikah pada usia muda. Bukan karena ia tidak tertarik dengan pilihan ayahnya, tetapi memang Al-Buthi belum memiliki keinginan untuk menikah. Namun ayahnya menjelaskan kelebihan dan keutamaan menikah pada usia muda sebagaimana keterangan Al-Ghazāli dalam karyanya Ihyā ‘Ulūmiddīn. Bahkan ayahya juga menjelaskan tanggungjawabnya sebagai seorang ayah setelah anaknya baligh, yaitu mencarikan pasangan hidup yang sesuai untuk anaknya. Akhirnya Al-Buthi setuju untuk menikah muda karena ia tidak ingin dianggap mendurhakai keinginan ayahnya itu (Mufid, 2015: 36).

(3)

Hasil dari pernikahan itu, Al-Buthi dikaruniai tujuh orang anak yang terdiri dari enam orang laki-laki dan satu perempuan (Al-Bakri, 2006: 6). Ia merasa bahagia dan mendapat banyak kebaikan dari pernikahan itu. Ayahnya meninggal dunia di Damaskus pada hari selasa, 20 Syawal 1410 Hijriyah bertepatan 15 Mei 1990 Masehi ketika berusia 102 tahun (Al-Buthi, 2006: 170).

Al-Buthi menjalani aktivitas kehidupan keseharian bersama keluarganya di Damaskus. Beliau wafat pada malam Jum’at, 9 Jumadal Ula 1434 H atau bertepatan pada 21 Maret 2013 di Masjid Al-Iman Damaskus, dalam peristiwa “tragis” bom bunuh diri. Peristiwa ini terjadi ketika beliau sedang menyampaikan pengajian tafsir mingguan di masjid tersebut (Mufid, 2015: 86).

2. Latar Belakang Pendidikan dan Kepribadian Al-Buthi

Sewaktu usia enam tahun Al-Buthi mulai menghafal dan mempelajari Al- Qur’ān kepada seorang guru wanita. Ia menghabiskan menghapalkan Al-Qur’ān dalam waktu sekitar enam bulan saja dan selesai dalam usia enam tahun. Setelah itu Al-Buthi diantarkan belajar agama, bahasa Arab, matematika, dan ilmu-ilmu lain di sekolah swasta setingkat madrasah ibtida’iyah di Zaqāq Al-Qarmāni dekat Sūq Surājah. Selain pelajaran formal di sekolah, ayahnya sekaligus guru utama beliau turut mengajar Al-Buthi dengan pelbagai ilmu keagamaan. Ketika itu, ayahnya mengajarkan dasar-dasar ilmu tauhid, sirah nabawi, dasar-dasar ilmu gramatikal arab seperti Nahwu dan Sharf, ilmu balaghah, mantik, syair dan fikih.

Jelasnya, Al-Buthi mendapat semua dasar ilmu keagamaan termasuk akidah, fikih, ataupun tasawuf melalui ayahnya sendiri (Rashidi, Muhammad, Muhammad bin Suhaimi, Mohd Rumaizuddin, 2015: 23-24).

(4)

Selain itu, Al-Buthi menuntut ilmu kepada seorang ulama besar Damaskus, yaitu Al-‘Allāmah Hassan Habannakah Al-Maidani di sebuah masjid bernama Jami’ Manjak di Al-Midan. Masjid itu kemudian berubah menjadi Ma’had At- Tawjiyyah Al-Islamī. Al-Buthi belajar di sana hingga tahun 1953. Habannakah dikenal sebagai guru utama Al-Buthi setelah ayahnya sendiri. Setelah menamatkan diri di Ma’had At-Tawjiyyah, Al-Buthi melanjutkan studinya di Universitas Al- Azhar Mesir pada jurusan Syariah, pada tahun 1955 ia menyelesaikan pendidikan strata satu di Universitas tersebut. Pendidikan diploma diselesaikan di Fakultas Sastra Arab di almamater yang sama pada tahun 1956 hingga lulus dalam waktu yang cukup singkat dengan sangat memuaskan dan mendapat izin mengajar bahasa Arab. Kemahiran Al Buthi dalam bahasa Arab tak diragukan. Sekalipun bahasa ini adalah bahasa ibu orang-orang Arab seperti dirinya, sebagaimana bahasa-bahasa terkemuka dalam khazanah per-adaban dunia, ada orang-orang yang me-mang dikenal kepakarannya dalam bidang bahasa, dan Al Buthi adalah salah satunya yang menguasai bahasa ibunya tersebut. Di samping itu, kecenderungan kepada bahasa dan budaya membuatnya senang untuk menekuni bahasa selain bahasa Arab, seperti bahasa Turki, Kurdi, bahkan bahasa Inggris (Rashidi, Muhammad, Muhammad bin Suhaimi, Mohd Rumaizuddin, 2015: 25-26).

Setelah menempuh pendidikan di Mesir, beliau pulang ke Damaskus dengan ijazah Syariah dan diploma pendidikan. Ia pun diminta untuk membantu mengajar di Fakultas Syari’ah pada tahun 1960, hingga berturut-turut menduduki jabatan struktural, dimulai dari pengajar tetap, menjadi wakil dekan, hingga menjadi dekan di fakultas tersebut pada tahun 1960. Pada tahun 1961, beliau kembali ke Mesir untuk mengikuti program doktornya di bidang fiqh dan ushul fiqh. Empat tahun

(5)

berikutnya, tepatnya pada tahun 1965, Al-Buthi berhasil menyelesaikan S3-nya di Universitas Al-Azhar dengan predikat Mumtaz Syaraf ‘Ula. (Mufid, 2015: 41)

Disertasinya yang beliau tulis berjudul “Dhawābith al-Mashlachah fī as- Syarī’ah al-Islāmiyyah”, mendapatkan rekomendasi dari pihak universitas sebagai karya tulis yang layak diterbitkan dan dipublikasikan. Hingga kini, buku yang fenomenal tersebut telah dicetak berulang kali. Al-Buthi adalah seorang yang bergelar Profesor di bidang Hukum Perbandingan pada Jurusan Fikih dan Mazhab- mazhabnya (al-Fiqh al-Islamī wa Madzāhibuhu), gelar yang ia peroleh karena karya-karya intelektualnya dan hasil sumbangihnya dalam menerbitkan sumber- sumber rujukan di bidang Sumber Hukum Islam (Ushul al-Fiqh al-Islāmī) dan metodologi perkembangannya, Akidah Islam (al-‘Aqīdah al-Islāmiyyah), dan biografi Nabi atau al-Sīrah al-Nabawiyyah (Christman, 2002: 53-55).

Semangat menulis Al-Buthi tidak pernah pudar. Hingga menjelang akhir hayatnya, Ia masih terus aktif menulis buku maupun karya-karya ilmiah lainnya sebagai respon atas isu-isu aktual dalam kajian keislaman. Semangat menulis ini merupakan bagian dari misi da’wah bi al-qalam, di samping panggilan hati untuk menyebarkan ilmu kepada umat Islam yang haus akan ilmu pengetahuan, serta upaya untuk meluruskan syubhat-syubhat yang sengaja dimunculkan oleh kaum orientalis untuk menyudutkan atau menyimpang dari pemahaman syariat Islam.

(Mufid, 2015: 48)

Selain mengajar di berbagai halaqah, ia juga aktif menulis di berbagai media massa tentang tema-tema keislaman dan hukum yang pelik, di antaranya berbagai pertanyaan yang diajukan kepadanya oleh para pembaca. Gaya bahasa dalam tulisan Al-Buthi sangat lugas dan menarik. Al-Buthi tidak akan menulis sesuatu

(6)

yang sudah ada dan diperlukan sebelumnya. Sehingga semua yang beliau tulis adalah berdasar pada bahasa hati dan kejernihan pemikiran bukan menukil dari karya-karya lain (plagiat). Tulisannya proporsional dengan tema-tema yang diusungnya. Tulisannya tidak melenceng dan keluar dari akar permasalahan dan kaya akan sumber-sumber rujukan, terutama dari sumber-sumber rujukan yang juga diambil lawan-lawan debatnya (Mufid, 2015: 42).

Akan tetapi bahasanya terkadang tidak bisa dipahami dengan mudah oleh kalangan bukan pelajar, disebabkan unsur falsafah dan manthiq, yang memang keahliannya. Oleh karena itu, majelis dan halaqah yang diasuhnya di berbagai tempat di keramaian kota Damaskus menjadi sarana untuk memahami karya- karyanya. Walau demikian, sebagaimana dituturkan pecinta Al-Buthi, di samping mampu membedah logika, kata-kata Al-Buthi juga sangat menyentuh, sehingga mampu membuat pembacanya berurai air mata saat dalam ceramah.

Sosok al-Buthi di mata Wahbah Zuhaili, adalah sosok ulama kontemporer pembaharu, pakar fikih yang sastrawan dan pakar ushul fikih yang sangat cerdas (al-faqīh al-adīb wa al-ushūlī al-arīb), pemikir yang wara’, ikhlas, memiliki komitmen yang sangat kuat terhadap syariat Islam, memiliki perhatian yang sangat besar terhadap persolan umat, selalu bertutur kata yang baik dan penuh hikmah, mengamalkan al-Qur’an dan al-Sunnah, pengikut para salafusshālich dan seorang dai yang unggul dalam segala bidang. (2015: 43)

Al-Buthi dalam ibadahnya selalu menunjukkan sikap rendah hati. Di setiap gerak langkah, baik berangkat menuju masjid untuk berjamaah, mengajar di kampus atau mengisi pengajian, lisan Al-Buthi tak henti-hentinya bergeming

(7)

membaca istighfar, tasbih dan tahmid. Kezuhudan Al-Buthi tampak dari kehidupan sehari-hari beliau jauh dari kemewahan, tapi kesahajaan dan kesederhanaan yang beliau selalu tampilkan. Royalti beliau selama menulis buku –lebih dari 70 judul–

tidak pernah diambilnya. Al-Buthi mendonasikannya untuk masyarakat Palestina.

(Mufid, 2015: 64)

B. Pemikiran dan Pengaruh Al-Buthi

Secara dasar dari aspek akidah, Al-Buthi berpegang pada akidah Ahlussunah Wal Jama’ah Asy’ariyah. Dalam aspek fikih, Al-Buthi bermadzhab fikih Syafi’I, sedangkan dari aspek tasawuf, Al-Buthi berpegang pada tasawuf Imam Al-Junaid dan Al-Ghazali. (Rashidi, Muhammad, Muhammad bin Suhaimi, Mohd Rumaizuddin, 2015: 44) Dalam hal pemikiran, Al-Buthi dianggap sebagai tokoh ulama Ahlussunnah wal Jama’ah yang gencar membela konsep-konsep Madzhab yang Empat dan akidah Asy’ariyah-Maturidiyah, tasawuf Al-Ghazali, dan lain-lain, dari rongrongan pemikiran dan pengkafiran sebagian golongan yang menganggap hanya merekalah yang benar dalam hal agama. Berbekal pengetahuannya yang amat mendalam dan diakui berbagai pihak, ia meredam berbagai permasalahan yang timbul dengan fatwa-fatwanya yang bertabur hujjah dari sumber yang sama yang dijadikan dalil para lawan debatnya. Ujaran-ujaran Al- Buthi juga menyejukkan bagi yang benar-benar ingin memahami pemikirannya.

Al-Buthi juga dikenal sebagai tokoh tasawuf kontemporer. Di Masjid Al Buthi, Damaskus, setiap Jumat bakda Ashar, Al-Buthi membahas kitab Ar-Risālah Al-Qusyairiyah yang disampaikan langsung olehnya. Dalam tasawuf, Al-Buthi termasuk yang berada di posisi moderat. Ia berusaha menempatkan dirinya pada

(8)

posisi yang paling tepat dalam menghadapi persoalan tasawuf, antara kelompok yang menolak dan kelompok yang berlebihan menerimanya.

Al-Buthi bukan hanya seorang yang pandai di bidang syari’ah dan bahasa, ia juga dikenal sebagai ulama Sunni yang multidisipliner. Ia dikenal alim dalam ilmu filsafat dan aqidah, hafizh Al-Qur’an, menguasai ‘Ulumūl Qur’an dan

‘Ulumūl Hadits dengan cermat. Sewaktu-waktu ia melakukan kritik atas pemikiran filsafat materialisme Barat, di sisi lain ia juga melakukan pembelaan atas ajaran dan pemikiran madzhab fikih dan akidah Ahlussunnah, terutama terhadap tudingan kelompok yang menisbahkan dirinya sebagai golongan Salafiyah dan Wahhābiyah (Mufid, 2015: 73-75).

Dalam hal yang disebut terakhir, ia menulis dua karya yang mengonter berbagai tudingan dan klaim-klaim mereka, yakni kitab berjudul Al- Lamadzhabiyah: Akhthar Bid’ah Tuchadid al-Syarī’ah al-Islāmiyah dan kitab Al- Salāfiyah Marchalah Zamaniyah Mubārakah lā Madzhab Islāmī. Begitu pula hubungannya dengan gerakan-gerakan propaganda keislaman seperti Ikhwanul Muslimin Suriah yang tampak kurang baik, tentunya dengan berbagai perbedaan pandangan, yang menjadikan ketidaksetujuannya itu tampak dalam sebuah karya yang berjudul Al-Jihād fī al-Islām, yang terbit pada tahun 1993 (Rashidi, Muhammad, Muhammad bin Suhaimi, Mohd Rumaizuddin, 2015: 108).

Al-Buthi juga dikenal sebagai sosok intelektual yang pandai memposisikan diri. Jika sedang menyampaikan sebuah ilmu baik dalam forum stadium general atau di hadapan mahasiswa dan kaum cendekiawan tampak jelas kalau beliau mempunyai wawasan yang menyamudera. Jika sedang mengurai sebuah

(9)

permasalahan berikut problem solvingnya seolah untaian kalam fasih begitu mudah mengalir hingga banyak kalangan yang menyebut dengan mutsaqqaf (kaya dengan wawasan keilmuan).

Namun, sikap berbeda akan beliau perlihatkan ketika memberikan pengajian di beberapa masjid atau halaqah di Suriah, beliau tampak sebagai ahli sufi. Mengapa metode ini dilakukan? Karena Al-Buthi menyatakan bahwa “As- shufi ibnu waqt”, seorang sufi sejati adalah ia yang bisa menyesuaikan diri sesuai situasi dan kondisi. Menyampaikan sebuah ilmu haruslah sesuai dengan situasi dan objek penyampaian agar ilmu itu mudah dicerna.

Dengan kata lain, jika kita berhadapan dengan kaum cerdik-cendekiawan maka sebisalah berbicara dengan bahasa mereka, jika yang kita hadapi adalah orang awam maka bicaralah dengan kadar kemampuannya. Pada intinya setiap ilmu yang kita sampaikan harus bersumber dari Al-Qur’an, adapun cara mengemasnya harus disesuaikan, melihat siapa yang dihadapi. Inilah implementasi sabda Rasulullah saw., zayyin al-qur’an bi aswātikum, hiasilah Al-Qur’an dengan suaramu. Al- Qur’an akan terasa indah jika yang mendengar itu paham akan esensi yang ada di dalamnya (majalahlangitan.com diakses pada hari Minggu, 22 Juli 2018 pukul 22.30 WIB).

Selain sosok ayah beliau sendiri, tokoh yang mempengaruhi kehidupan intelektual dan pribadi Al-Buthi adalah Syekh Hasan Habannakah, guru beliau ketika di Ma’had al-Tawjih al-Islami di Maidan. Al-Buthi sangat mengagumi keberanian gurunya tersebut, karena penolakan Syekh Hasan Habannakah terhadap pemerintahan sekuler Partai Ba’ts yang mulai berkuasa pada tahun 1963. Sosok

(10)

lain, seorang intelektual dan tokoh pemimpin spiritual yang muncul dalam kehidupan Al-Buthi adalah Badi’uzzaman Sa’id Nursi. Al-Buthi menganggap tokoh Sa’id Nursi sebagai salah seorang propagandis politik dan agama yang paling berpengaruh pada akhir kekhalifahan Turki Utsmani dan Turki Republik. Melihat sosok Sa’id Nursi, Al-Buthi bercita-cita menjadi juru dakwah seperti ulama Turki tersebut. Dalam sebuah doanya, beliau meminta agar dijadikan sebagai dai yang muatsir (memberikan kesejukan, pencerahan bagi umat) dan dai yang langsung bisa menyentuh hati pendengarnya (Mufid, 2015: 51).

Ternyata, benar. Apa yang dicita-citakannya terwujud. Tidak sedikit masyarakat yang hadir dalam majelis pengajiannya langsung tersentuh hatinya, dari yang jauh dari Allah kemudian bertobat. Seringkali pengajian beliau dipenuhi tangisan jamaah karena tersentuh kata-kata hikmah beliau. Kekaguman Al-Buthi terhadap al-Ghazali juga diungkapkan dalam bukunya Syakhshiyat Istauqafatni.

Bahkan, Al-Buthi sendiri sering disebut-sebut sebagai Ghazali al-Ashr (Ghazali masa kini), karena gagasan pemikiran dan argumentasi yang kuat dan mendalam dalam setiap disiplin ilmu. (2015: 53)

Reputasi Al-Buthi sebagai tokoh ulama banyak mempengaruhi kehidupan masyarakat Suriah dan dunia Islam saat ini. Ceramahnya di berbagai masjid di Damaskus dihadiri oleh ribuan orang sehingga mereka terpaksa berdiri di luar masjid semata-mata untuk mengikuti ceramahnya melalui mikrofon. Sebagai seorang tenaga pengajar di Universitas Damaskus pula Al-Buthi mempunyai pengaruh yang kuat terhadap tenaga pengajar yang lain. Pengaruh ini disebabkan karena Al-Buthi mempunyai kemampuan dalam menyampaikan ilmu pengetahuan dan mampu menyelesaikan masalah terhadap persoalan yang muncul. Bahkan

(11)

pengaruh Al-Buthi tersebar di kalangan pengajar di sekolah dasar dan menengah di Suriah sehingga orang Islam juga mengenali Al-Buthi sebagai seorang ulama terkemuka. Menariknya, orang di luar Islam pun turut menghadiri ceramahnya meski hanya sesekali. (Rashidi, Muhammad, Muhammad bin Suhaimi, Mohd Rumaizuddin, 2015: 31-32)

Al-Buthi menjadi terkenal di masyarakat Islam setelah terlibat perdebatan ilmiah dengan seorang tokoh anti-madzhab, Muhammad Nashiruddin Al-Albani sekitar awal tahun 70-an. Perdebatan tersebut membahas seputar ittiba’, taqlid, ijtihad dan mengikuti madzhab yang empat. Hasil dari perdebatan tersebut Al-Buthi menulis sebuah karya berjudul Al-Lāmadzhabiyah: Akhthar Bid’ah Tuhadid al- Syarī’ah al-Islāmiyah (Muhammad, 2012: 2). Juga pada sekitar akhir tahun 70-an nama Al-Buthi menjadi perhatian masyarakat Islam di Suriah dan Timur Tengah setelah ia mengadakan perdebatan sengit menghadapi tokoh Barat yang berpaham Marxisme. Perdebatan tersebut disiarkan di televisi, Al-Buthi mempertahankan paham Islam dan mengkritik paham Marxisme dengan tegas. Sejak itu Al-Buthi semakin mendapat tempat di hati masyarakat Islam di Timur Tengah sebagai seorang ulama yang memiliki ilmu yang luas. Al-Buthi menjelaskan hasil perdebatan dan paham Marxisme dalam karyanya Naqdh Awhām al-Māddiyah al- Jadaliyah dan Al-Islām wa al-‘Ashr Tachdiyyāt wa Afāq (Chiwārāt Liqarn Jadīd).

(Ridwan, 2010: 206)

Untuk daftar murid-murid Al-Buthi terlalu banyak dan tidak dapat dihitung jumlahnya, melihat Al-Buthi mengajar semenjak tahun 1966 hingga kini. Namun penulis menyebutkan beberapa murid beliau yang sudah menjadi tokoh ulama saja

(12)

berdasarkan laporan dari anak Al-Buthi, yakni Muhammad Taufiq. Antara lain adalah:

a. Syekh Musthafa Dib Al-Bugha (Suriah) b. Syekh Muhammad Az-Zuhayli (Suriah) c. Syekh Nuziyah Hamad (Suriah)

d. Syekh Abdul Satar Abu Ghudah (Suriah) e. Syekh Badi’ As-Sayyid Al-Laham (Suriah) f. Syekh Nuruddin ‘Itr (Suriah)

g. Syekh Mahmud Al-Bakhit (Yordania) h. Syekh Nuh Al-Qudah (Yordania) i. Syekh Faruq Hamadah (Yordania) j. Habib Ali Al-Jifri (Yaman)

Begitu juga dengan anaknya sendiri, Muhammad Taufiq (Suriah) dan masih banyak lagi sehingga tidak dapat dihitung jumlahnya (Rashidi, Muhammad, Muhammad bin Suhaimi, Mohd Rumaizuddin, 2015: 36).

C. Aktivitas Dakwah dan Prestasi Al-Buthi

Aktivitas al-Būthi tidak hanya berpusat di Suriah. Kiprahnya di dunia akademik dan non akademik mengantarkannya menjadi pribadi yang sangat disegani di dunia Islam. Ia mendapat posisi serta jabatan diberbagai lembaga, Adapun jabatan yang pernah ia duduki diluar kiprahnya sebagai dosen di Universitas Damaskus:

a. Menjadi anggota lembaga audit keuangan Islam (Haiah al-Muchāsabah wa al-Murāja’ah li al-Muassasāt al-Māliyah al-Islāmiyah).

(13)

b. Anggota Asosiasi Islam (Jam’iyah Nūr al-Islām) di Perancis.

c. Anggota Majelis Penasehat Tinggi Yayasan Thāba (al-Majlis al-Istisyāri al-A’lā li Muassasa Thābah) di Abu Dhabi.

d. Anggota pada Lembaga Pengkajian Peradaban Islam (al-Majma’ al-Mulukī li Buchūts al-Chadārah al-Islāmiyah) yang disponsori oleh pihak kerajaan di Amman.

e. Anggota Majelis Tinggi Senat Oxford (al-Majlis al-A’lā li Akadīmiyah Oxford) di Inggris.

f. Ketua Persatuan Ulama Syam (Raīs ittichād al-’Ulamā al-Syām)

Selain jabatan dan posisi di atas, ia juga sering berpartisipasi dalam berbagai seminar, simposium, muktamar dan diskusi-diskusi ilmiah ditingkat regional maupun internasional, di antaranya:

a. Berpartisipasi dalam Muktamar Pemikiran Islam (al-Multaqā al-Fikrī al- Islāmī) di Al-Jazāir.

b. Menjadi pembicara dalam Dewan Parlemen Eropa (Majlis Barlamān al- Ittichād al-Urūbbī) di Starsbourg, Prancis. Tentang hak-hak minoritas dalam Islam.

c. Menjadi penasehat dalam berbagai Pertemuan Fikih Islam.

Di samping itu, al-Būthi juga tercatat sebagai pembicara rutin di berbagai station Radio dan TV, misalnya di station TV Syam dan TV Shāni’ū al-Qarār ia membawakan program Lā Ya’tihi al-Bāthil, ia juga membawakan program Dirāsāt Qur’aniyah di TV al-Suriah, program al-Kalimu al-Thayyib khusus membedah bukunya Kubrā al-Yaqiniyāt al-Kauniah di Station TV al-Risālah, di station TV

(14)

Iqra’ ia mengisi program acara Fiqh al-Sirah dan al-Jadīd fi I’jāz al-Qur’an al- Karīm, di station TV al-Sūfiyah ia mengisi program acara Syarch al-Chikam al-

‘Athaiyyah, dan di Stution TV Azhari ia mengisi Hadza Huwa al-Jihād. Al-Būthi sempat ditawari untuk menjadi pengisi tetap di TV Aljazeera dan menjadi pengajar di sebuah universitas di luar Suriah, namun ia lebih memilih mengajar di masjid- masjid Damaskus (Mufid, 2015: 54).

Pada tahun 2005, al-Būthi mendapat penghargaan Internasional penguasaan terhadap ilmu-ilmu Al-Qur’ān dan mendapatkan pengakuan sebagai ulama yang memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi dalam bidang ke-Islam-an. Empat tahun berikutnya, tepatnya pada tahun 2009, al-Būthi kembali mendapatkan penghargaan, peringkat ke 22 dari 500 tokoh yang paling berpengaruh di dunia Islam. (Ulyuwan, 2012: 20) Sebelumnya Al-Buthi mendapatkan anugerah penghargaan sebagai Tokoh Dunia Islam oleh Yayasan Raja Muhammad bin Rashid di Dubai pada tahun 2004 dan penghargaan sebagai Tokoh Tahunan oleh kerajaan Yordania dan Suriah pada tahun 2007 atas sumbangan beliau kepada umat Islam (Rashidi, Muhammad, Muhammad bin Suhaimi, Mohd Rumaizuddin, 2015: 43).

D. Kitab al-Jihād fi al-Islām

Al-Būthi dikenal terkenal di kalangan ulama dan ilmuwan sebagai seorang yang mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang syariah dan falsafah Islam.

Dalam waktu yang sama beliau begitu teliti dalam memahami realita dan setiap unsur peristiwa yang terjadi sebelum beliau mengeluarkan satu pendapat dan pendirian terhadap masalah tersebut. Dari corak pemikiran dan manhaj tersebut beliau menilai dan menghukumi setiap aliran yang dilihatnya tidak berkesesuaian

(15)

dengan dasar-dasar akidah dan manhaj Islam yang benar dengan adanya aliran Islamis seperti gerakan Ikhwanul Muslimin, Jihadis, Salafi, Sufi, ataupun gerakan liberal dan sekuler (Rashidi, Muhammad, Muhammad bin Suhaimi, Mohd Rumaizuddin, 2015: 108).

Kitab ini pertama kali dicetak pada tahun 1993 oleh percetakan Dār al-Fikr al-Dimasyq. Lalu kitab ini sempat menuai kontroversi di kalangan ulama pada saat itu. Dalam mukadimahnya Al-Buthi menyatakan bahwa ia telah berargumentasi tentang isi sebagian besar bukunya ini dengan sejumlah filosof Amerika William, filosof Inggris, Bertrand Russel, filosof Marxis dari Inggris yang juga seorang eksistensialis John Baul Sarter, serta berargumentasi dengan pernyataan orientalis Inggris, yaitu Gibb, namun mereka tiada yang memata-matai dan mencurigai Al- Būthī. Menurutnya, para penganut ‘Islam Ekstrem’ menilainya sebagai piagam penghinaan dan kriminalitas (Al-Buthi, 2003: x).

Secara umum, kitab al-Jihād fi al-Islām ini diterbitkan bertepatan dengan peristiwa yang terjadi di Aljazair, yakni revolusi terhadap kekuasaan tentara oleh Front Pembebasan Aljazair. Pendirian Al-Būthi sangat jelas terhadap krisis yang sedang terjadi pada saat itu, yaitu apa yang diperjuangkan oleh kelompok tersebut bukan jihad yang dibenarkan oleh syariat, bahkan termasuk salah satu bentuk perusakan citra terhadap Islam sendiri.

Atas dasar kekeliruan yang semakin memuncak dalam masyarakat Islam dan jamaah jihad atau gerakan Islam, maka kitab ini ditulis oleh Al-Buthi untuk membahas satu per satu unsur dan sebab sebuah jihad itu dikumandangkan, hukum-

(16)

hukum yang berkaitan dengan masalah sebelum, ketika, dan sesudah jihad.

(Rashidi, Muhammad, Muhammad bin Suhaimi, Mohd Rumaizuddin, 2015: 109)

Dalam bukunya al-Jihād fi al-Islām pada dasarnya menolak jihad sebagai suatu sarana yang keras untuk mengubah keseimbangan kekuasaan dan masyarakat.

Melawan arus utama Islamisme sekarang ini, dia meyatakan bahwa alasan pokok (‘illah) bagi jihad adalah mencegah perampasan dan perampokan (daf’ al-chirabah) dan mempertahankan hal-hal yang ada dan bukan sebagai sarana memerangi orang kafir (qada’ al-kufr). Selanjutnya, dibedakan antara mujahid yang telah melakukan baghi (usaha yang salah dan jahat) dengan mereka melaksanakan chiraba (perampokan di jalan). Yang pertama (al-bughat) yang tidak mengikuti ijtihad khalifah atau Imam namun memiliki ijtihad sendiri yang valid secara metodologis, sementara yang kedua (al-mucharibun) menyerang penguasa tanpa legitimasi yuridis apapun (Cooper, John, Ronald Netter, Mohamed Mahmoud, 2002: 69).

Al-Buthi adalah ulama yang sangat produktif. Banyak sekali karya-karya hasil goresan tangan beliau yang sudah disebarluaskan dipelbagai belahan dunia. Terkait data jumlah karya-karya Al-Buthi penulis dapatkan dari website resmi Al-Buthi, yaitu http://naseemalsham.com di dalam situs tersebut karya Al- Buthi berjumlah 49 buku. Namun dalam (Mufid, 2015: 44) tidak kurang dari 60 lebih judul buku yang sudah diterbitkan dan dicetak. Rata-rata karya Al-Buthi ini membahas topik yang relevan dan paling eksplosif pada saat ini. Secara umum karya-karya Al-Buthi membahas ilmu-ilmu syariah, akidah, etika, filsafat, sosiologi dan problematika kebudayaan masyarakat.

Persoalan tentang perbudakan, jilbab, perempuan, pendidikan, dakwah Islam, revivalisme, radikalisme dan reformisme, jihad, sekularisasi, marxisme,

(17)

nasionalisme merupakan topik-topik utama dalam karya-karya beliau. Bahkan, dalam buku-bukunya juga mencakup bahasan seputar ekonomi makro dan mikro, filsafat hingga kesusastraan Arab. Dari beberapa karya beliau yang fenomenal adalah Fiqh as-Sīrah an-Nabawiyyah, Kubrā al-Yaqiniyyāt al-Kawniyyah, Al- Mar’ah Baina Thugyān al-Nizhām al-garbī wa Lathāif al-Tasyrī’ī al-Rabbānī juga antaranya Yughalithunaka (mengupas/menentang pemikiran Barat).

Menurut Andreas Chritsmann, hampir tidak mungkin melihat batasan topik dalam karya-karya Al-Buthi. Beliau salah satu ulama kontemporer yang sangat produktif dalam melahirkan karya-karya ilmiah di berbagai disiplin ilmu pengetahuan (Mufid, 2015: 43). Selain kitab Al-Jihād fī al-Islām Al-Buthi juga menulis beberapa buku antara lain:

1. Al-Madzhab al-Iqtishādī baina al-Syuyu’iyah wa al-Islām (Ideologi Ekonomi antara Komunis dan Islam).

2. Difā’ ‘an al-Islām wa al-Tārikh (Pembelaan terhadap Islam dan Sejarah).

3. Chaqāiq ‘an Nasy’a al-Qaumiyah (Hakikat dari Nasionalisme).

4. Fī Sabīli’l-Lāhi wa al-Chaqq (Berada di Jalan Allah dan Kebenaran) 5. Al-Lāmadzhabiyah: Akhthar Bid’ah Tuhadid al-Syarī’ah al-Islāmiyah

(Paham Anti-Madzhab: Bidah terbesar yang meruntuhkan Tatanan Syariat).

6. Min Rawāi’ al-Qur’ān al-Karīm (Keunikan Kitab Al-Qur’an) 7. Silsilah Abhāts fi al-Qimmah

8. Bāthin al-Itsm al-Khathar al-Akbar fī Chayāh al-Muslimīn (Dosa Batin:

Bahaya yang Terbesar dalam Kehidupan Umat Islam).

9. Al-Insān wa ‘Adālah Allāh fī al-Ardh (Manusia dan Keadilan Allah).

10. Manhaj Tarbawī Farīd fī al-Qur’an (Metode Pendidikan dalam Al-Qur’an).

(18)

11. Ilā Kulli Fatāh Tu’min Billāh (Tidak Setiap Pemudi Percaya kepada Allah).

12. Al-Islām wa Musykilāt al-Syabāb (Islam dan Permasalahan Pemuda).

13. Al-‘Aqīdah al-Islāmiyah wa al-Fikri al-Mu’āshir (Akidah Islam dan Pemikiran Kontemporer).

14. Min Asrār al-Manhaj al-Rabbānī (Rahasia Metode Rabbani).

15. Man Huwa Sayyid al-Qadr fī Chayah al-Insān (Siapa Saja Pemimpin Mulia dalam Kehidupan Manusia).

16. Man al-Masū ‘an Takhalluf al-Muslimīn (Kemunduran Umat Islam: Siapa yang bertanggungjawab?).

17. Hakadza Falnad’u ilā al-Islām (Inilah yang Kita Minta Kepada Islam).

18. Al-Dīn wa al-Falsafah (Agama dan Filsafat).

19. Mabāchits al-Kitāb wa al-Sunnah min ‘Ilm al-Ushūl al-Fiqh (Pembahasan Al-Qur’an dan Sunnah menurut Ilmu Ushul Kifih).

20. Al-Sabīl al-Wachīd fī Zachmah al-Achdāts al-Jāriyah (Jalan Tunggal dalam Kebuntuan Baru Tentang Permasalahan Perbudakan).

21. Muchadarāt fī al-Fiqh al-Muqārin (Problematika dalam Fikih Muqaran).

22. Chiwār Chawla Musykilāt Chadhariyah (Dialog Seputar Permasalahan Peradaban).

23. ‘Alā Tharīq al-‘Audah ‘Ilā al-Islām, Rasm limanāhij, wa hallun limusykilāt (Perjalanan untuk Kembali kepada Islam: dengan Metode dan Solusi untuk Sebuah Permasalahan).

24. Mas’alah Tachdīdu’n-Nasli Wiqāyatan wa ‘Ilājan (Permasalahan tentang Membatasi Keturunan; Pencegahan dan Pengobatan).

(19)

25. Al-Salāfiyah Marchalah Zamaniyah Mubārakah lā Madzhab Islāmī (Salafiyah adalah Fase Zaman yang Diberkahi, Bukan Sebuah Madzhab Islam).

26. Qadhāyā Fiqhiyah Mu’āshirah (Permasalahan Fikih Kontemporer).

27. Churriyah al-Insān fī Zhilli ‘Ubūdiyyatihi lillāhi (Kebebasan Manusia dalam Beribadah).

28. Al-Jihād fī al-Islām Kaifa Nafhamuhu? Wa Numārisuhu? (Jihad dalam Islam; Bagaimana Kita Memahami dan Melaksanakannya).

29. Al-Chiwār Sabīl al-Ta’āyusy ma’a al-Ta’addud wa al-Ikhtilāf 30. ‘Aisyah ‘Umm al-Mu’minīn (Ibunda Aisyah Ummul Mukminin).

31. Al-Tagyīr: Mafhūm wa Tharāiquhu (bi al-Isytirāq)

32. Al-Insān Musayyar am Mukhayyar? (Manusia antara Dipilih atau Memilih?).

33. Al-Islām wa al-‘Ashr Tachdiyyāt wa Afāq (Islam dan Modernisme; Sebuah Tantangan dan Harapan).

34. Allāh am al-Insān Ayyuhuma Aqdar ‘Alā Ri’ayah Chuqūq al-Insān

35. Siyāmand Ibn al-Adgāl: Min Rawāi’I Qishash al-Syu’ūb (Siyamand Ibn Al- Adgal).

36. Urubbah min al-Taqniyah ilā al-Ruchāniyyah (Eropa: Antara Teknologi dan Spiritualitas)

37. Syakhshiyah Istawqafatnī (Tokoh-tokoh yang Kukagumi).

38. Min al-Fikr wa al-Qalb (Pikiran dan Hati).

39. Dirāsāsāt Qur’aniyah (Pelajaran Nilai-nilai Al-Qur’an).

40. Al-Chikam al-‘Athā’iyah Syarch wa Tachlīl (Syarah Al-Hikam).

(20)

41. Hadzā Mā Qultuhu Amāma Ba’dhu al-Ruasāu wa al-Mulk (Kumpulan Ceramah di Hadapan para Penguasa dan Raja).

42. Masyūrāt Ijtimā’iyyah

43. Kalimāt fī Munāsabāt (Kumpulan Pandangan-pandangan Al-Buthi).

44. Naqdh Awhām al-Māddiyah al-Jadaliyah (Mengkritik Keraguan Filsafat Dialektika Hegel).

45. Dhawābith al-Mashlachah fī al-Syarī’ah al-Islāmiyyah (Konsep Maslahat dalam Penetapan Hukum Islam).

46. Isykāliyyah Tajdīd Ushūl al-Fiqh (Permasalahan Baru dalam Ushul Fikih).

47. Fiqh al-Sīrah al-Nabawiyyah Ma’a Mujaz Litārikh al-Khilāfah al-Rāsyidah 48. Kubrā al-Yaqiniyyāt al-Kawniyyah (Wujud al-Khāliq wa Wadzīfah al-

Makhlūq)

49. Madkhal Ilā Fahmi al-Judzūr: Man Anā? Limadzā? wa Ilā Ayna?

(Pengantar kepada Pemahaman Dasar; Siapa Saya? Mengapa? Dan Kemana Saya akan Pergi?).

50. Al-Mar’ah Baina Thugyān al-Nizhām al-garbī wa Lathāif al-Tasyrī’ī al- Rabbānī (Perempuan dalam Pandangan Hukum Barat dan Islam).

51. Mā’a al-Nās: Misyawarāt wa Fatāwa (Fatwa-fatwa Alternatif).

52. Hadzihi Musykilātuhum (Inilah Permasalahan Mereka).

53. Manhaj al-Chadhārah al-Insāniyyah fī al-Qur’ān (Metode Peradaban Kemanusiaan dalam Al-Qur’an)

54. Lā Ya’tīhi al-Bāthil- Kasyf li Abāthīl Yahkhtaliquha wa Yalshiquha Ba’dhuhum bi kitāb al-Allah ‘Azza wa Jalla (La Ya’tihil Bathil; Tak Akan Datang Kebatilan Terhadap Al-Qur’an).

(21)

55. Al-Islām wa al-Gharb (Islam dan Barat).

56. Al-Ta’arruf ‘alā al-Dzāt (Huwa al-Tharīq al-Mu’abbad ilā al-Islām) 57. Hadzā Wālidī (Inilah Ayahku)

58. Wa Hadzihi Musykilātunā (Inilah Permasalahan Kita).

59. Al-Madzāhib al-Tauchidiyyah wa al-Falsafāt al-Mu’āsharah (Madzhab- madzhab Monoteistik dan Ideologi-ideologi Kontemporer).

60. Mukhtarāt min Khuthab al-Jum’ah (Rangkuman Khutbah Jum’at).

61. Al-Bidāyāt Bākūrah A’mālī al-Fikriyah (Awal Permulaan Karya Intelektualku).

62. Al-Chubb fī Hayah al-Insān (Cinta dalam Kehidupan Manusia).

63. Al-Zhallāmiyyun wa al-Nūrāniyyūn (Yang Gelap dan yang Tercerahkan).

64. Daur al-Adyān fi al-Salām al’Ālamī (Peran Agama dalam Perdamaian Dunia).

65. Min Sunan Allah fi ‘Ibādihi (Aturan-aturan Allah dalam Setiap Hamba-Nya) 66. Al-Inayah bi al-‘Ibadah Asas Lā Budda Minhu li Tatsbit al-Mujtama’ al-

Islāmi (Kepedulian terhadap Ibadah adalah Pondasi yang Penting untuk Memperkuat Komunitas Islam).

67. Fī al-Chadits as-Syarif wa Balaghah an-Nabawiyah (Hadits dan Balaghah Nabawiyah).

68. Al-Syūrā fī al-Islām (Musyawarah dalam Islam).

Di antara karya-karya Al-Buthi yang berkaitan seputar pembahasan jihad dan hal yang terkait, yaitu: (1) Al-Madzāhib al-Tauchidiyyah wa al-Falsafāt al- Mu’āsharah, di dalamnya berisi beberapa penjelasan tentang fenomena takfīr (saling mengkafirkan) dalam masyarakat Islam saat ini sehingga apabila dipahami

(22)

secara salah maka angina fanatisme golongan dalam umat Islam akan terus menghembuskan virus-virus takfiri. Dalam jihad pun erat kaitannya, bagaimana ia salah memahami akan berdampak pelaku-pelaku jihad namun mudah menghalalkan darah sesama umat Islam; (2) Dhawābith al-Mashlachah fī as-Syarī’ah al- Islāmiyyah, kitab ini berisi seputar ilmu maqāshid al-syar’iyyah dimana esensi dari ilmu ini adalah kemampuan seseorang dalam menakar antara maslahat dan mudarat; (3) Fiqh al-Sīrah al-Nabawiyyah Ma’a Mujaz Litārikh al-Khilāfah al- Rāsyidah, berisikan sejarah dan menampilkan gambaran tentang hakikat kehidupan Nabi dan hikmah di setiap peristiwa yang dilaluinya.

Referensi

Dokumen terkait

GameCanvas menyediakan sebuah method yang mengembalikan nilai dari current state dengan menggunakan method berikut:.. public

trifasciata memiliki kerapatan stomata pada bagian abaksial daun yang lebih tinggi dibandingkan bagian adaksial daun (Tabel 2).. trifasciata merupakan tanaman yang

Provinsi Banten Provinsi Banten Provinsi Nusa Tenggara Barat Provinsi Nusa Tenggara Barat Provinsi Kalimantan Selatan Provinsi Kalimantan Selatan Provinsi Sulawesi Utara

Dengan demikian pelayanan bukan dimulai dari kegiatan dalam lingkungan gereja, Sekolah Tinggi Teologi, tidak dimulai dari kursus-kursus pelayanan, tetapi dari sikap hati dan

Dalam percobaan ini digunakan biji buah pala karena minyak pala yang dihasilkan dari penyulingan, mengandung trimiristin yang tidak banyak tercampur dengan ester lain yang

Sebuah website seharusnya dikelola oleh seorang atau beberapa web administrator, pengelolaanini tidak bisa diserahkan pada sembarang orang yang tidak memiliki

Karena itu dengan penuh ketulusan dan kesadaran, penulis memohon “maaf” bila dalam karya ini masih terdapat banyak kekurangan dengan harapan agar pada satu masa

Penggunaan jangka sorong memiliki keterbatasan antara lain dengan melepas silinder koop untuk mengetahui nilai silinder dan panjang langkah torak, untuk mengatasi