• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tentu saja mengharapkan return atau keuntungan yang akan diperoleh dari

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tentu saja mengharapkan return atau keuntungan yang akan diperoleh dari"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori 2.1.1. Dividen

2.1.1.1. Pengertian Dividen

Seorang investor yang menanamkan modalnya pada suatu perusahaan tentu saja mengharapkan return atau keuntungan yang akan diperoleh dari investasi yang telah dilakukannya. Keuntungan yang dapat diterima oleh investor atau pemegang saham dari penanaman modal melalui pembelian saham suatu perusahaan terdiri dari dua macam, yaitu: dividen dan capital gain yang merupakan keuntungan yang diperoleh dari penjualan aktiva tetap atau selisih antara harga jual dengan harga beli surat berharga.

Dividen merupakan bagian dari laba yang tersedia bagi pemegang saham biasa (earning available for common stockholders) yang dibagikan kepada para pemegang saham biasa dalam bentuk tunai (Warsono, 2003: 271). Hanafi (2004:361) menyatakan bahwa “Dividen merupakan kompensasi yang diterima oleh pemegang saham, disamping capital gain.

Dividen ini untuk dibagikan kepada para pemegang saham sebagai keuntungan atau laba dari perusahaan. Dividen ditentukan dalam rapat umum anggota pemegang saham dan jenis pembayarannya tergantung kepada kebijakan pimpinan”.

(2)

2.1.1.2. Jenis Dividen

Biasanya dividen dibagikan dengan interval waktu yang tetap, tetapi kadang-kadang diadakan pembagian dividen tambahan pada waktu yang bukan biasanya. Dividen yang dibagikan oleh perusahaan kepada para pemegang saham mempunyai beberapa bentuk sebagai berikut:

1. Dividen Tunai (Cash Dividend)

Dividen tunai merupakan dividen yang diberikan oleh perusahaan kepada para pemegang saham dalam bentuk uang tunai (cash). Dividen Tunai paling umum dibagikan oleh perusahaan kepada para pemegang saham. Besar kecilnya pembagian dividen tergantung pada pembatasan-pembatasan, undang-undang, kontrak-kontrak, dan jumlah uang yang dimiliki atau tersedia dalam perusahaan. Dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) disepakati adanya sejumlah tertentu bagian dari laba perusahaan akan dibagi dalam bentuk cash dividend (Munandar, 1983 : 312). Perusahaan hanya berkewajiban membayar dividen setelah perusahaan tersebut mengumumkan akan membayar dividen. Dividen dibayarkan kepada pemegang saham yang tercatat dalam daftar pemegang saham. Pembayaran dividen dapat dilakukan oleh perusahaan sendiri atau melalui pihak lain seperti bank.

Cara yang kedua biasa yang dipilih perusahaan karena bank mempunyai banyak cabang sehingga memudahkan pemegang saham yang mungkin sekali tersebar luas di seluruh Indonesia (Suaidi, 1994 : 230).

Yang perlu diperhatikan oleh pimpinan perusahaan sebelum membuat

(3)

pengumuman ada dividen kas adalah apakah jumlah kas yang ada mencukupi untuk pembagian dividen tersebut.

2. Sertifikat Dividen (Script Dividend)

Dividen dalam bentuk skrip maksudnya perusahaan tidak membayar pada saat itu tetapi memilih membayar pada masa yang akan datang karena saldo kas yang ada di tangan tidak mencukupi.

Dividen ini dibagikan dengan tujuan agar perusahaan tetap dapat mempertahankan citra dan nama baik perusahaan.

Sertifikat dividen merupakan suatu surat tanda kesediaan membayar sejumlah uang tertentu yang diberikan perusahaan kepada para pemegang saham sebagai dividen. Surat ini berbunga sampai dengan dibayarkan uang tersebut kepada yang berhak. Script dividend seperti ini biasa dibuat apabila pada waktu para pemegang saham mengambil keputusan tentang pembagian laba dimana perusahaan belum (tidak) mempunyai persediaan uang kas yang cukup untuk membayar dividend cash (Suaidi, 1994 : 231).

3. Dividen Harta (Property Dividend)

Dividen harta merupakan dividen yang diberikan kepada para pemegang saham dalam bentuk barang-barang (bukan berupa uang tunai ataupun modal saham perusahaan). Contoh Dividen Harta adalah dividen berupa persediaan atau saham yang merupakan investasi perusahaan pada perusahaan lain.

(4)

Pembagian dividen berupa harta lebih sulit dibanding pembagian dividen tunai. Perusahaan melakukan dividen harta ini karena uang tunai perusahaan tertanam dalam investasi saham perusahaan lain atau persediaan dan penjualan investasi atau persediaan terutama bila jumlah cukup banyak akan menyebabkan harga jual investasi ataupun persediaan turun sehingga merugikan perusahaan dan pemegang saham sendiri (Suaidi, 1994 : 233).

4. Dividen Likuiditas (Liquidating Dividend)

Dividen Likuiditas merupakan dividen yang dibayarkan kepada para pemegang saham di mana sebagian dari jumlah tersebut dimaksudkan sebagai pembayaran dividen tunai sedangkan sebagian lagi dimaksudkan sebagai pengembalian modal yang ditanamkan (diinvestasikan) oleh para pemegang saham ke dalam perusahaan tersebut (Munandar, 1983 : 314).

Dividen Likuiditas ini dicatat dengan mendebet rekening pengembalian modal dan dalam neraca dilaporkan sebagai pengurangan modal saham.

5. Dividen Saham (Stock Dividend)

Dividen saham merupakan dividen yang diberikan kepada para pemegang saham dalam bentuk saham-saham yang dikeluarkan oleh perusahaan itu sendiri (Munandar, 1983 : 314). Di Indonesia saham yang dibagikan sebagai dividen tersebut disebut saham bonus. Dengan demikian para pemegang saham mempunyai jumlah lembar saham yang lebih banyak setelah menerima Dividen Saham (Stock Dividend). Dividen saham dapat berupa saham yang sama jenisnya maupun yang berbeda

(5)

jenisnya. Pembayaran dividen dalam bentuk saham yaitu berupa pemberian tambahan saham kepada para pemegang saham tanpa diminta pembayaran dan dalam jumlah saham yang sebanding dengan saham yang dimiliki.

2.1.2. Kebijakan Dividen

2.1.2.1. Pengertian Kebijakan Dividen

Kebijakan dividen adalah keputusan mengenai apakah laba yang diperoleh perusahaan akan dibagikan kepada pemegang saham sebagai dividen atau akan ditahan dalam bentuk laba ditahan guna pembiayaan investasi pada masa yang akan datang (Sartono, 2001 : 281). Dalam kebijakan dividen, terdapat pilihan yang tidak mudah dalam membagikan laba sebagai dividen atau menahan untuk diinvestasikan kembali. Apabila perusahaan memilih membagikan laba sebagai dividen maka tingkat pertumbuhan akan berkurang dan akan berdampak negatif terhadap harga saham. Di sisi lain, apabila perusahaan tidak membagikan dividen maka pasar akan melihat sebagai sinyal negatif atas prospek perusahaan.

Peningkatan dividen memberikan sinyal perubahan yang menguntungkan pada harapan manajer dan penurunan dividen menunjukkan pandangan pesimis prospek perusahaan di masa yang akan datang.

Kebijakan dividen adalah kebijakan yang berhubungan dengan pembayaran dividen oleh pihak perusahaan, berupa penentuan besarnya pembayaran dividen dan besarnya laba ditahan untuk kepentingan pihak perusahaan. Jika manajemen meningkatkan porsi laba per lembar saham yang

(6)

dibayarkan sebagai dividen, maka mereka dapat meningkatkan kesejahteraan para pemegang saham, hal ini menyarankan bahwa keputusan dividen yaitu jumlah dividen yang dibayarkan merupakan suatu hal yang sangat penting (Sharpe, et.al., 1993:512).

Kebijakan dividen bersangkutan dengan penentuan pembagian pendapatan (earning) antara penggunaan pendapatan untuk dibayarkan kepada para pemegang saham sebagai dividen atau untuk digunakan di dalam kegiatan operasional perusahaan yang berarti laba tersebut harus ditahan di dalam perusahaan (Riyanto, 2001:265). Kebijakan dividen menentukan jumlah laba yang dapat ditahan dalam perusahaan sebagai sumber pendanaan akan tetapi dengan menahan laba saat ini dalam jumlah yang lebih besar dalam perusahaan juga berarti lebih sedikit uang yang akan tersedia bagi pembayaran dividen pada saat ini. Jadi aspek utama dalam kebijakan dividen perusahaan adalah menetukan alokasi laba yang tepat antara pembayaran dividen dengan penambahan laba ditahan perusahaan (Horne dan Wachowicz, 2005 : 270).

Gitman (2003:570), mengatakan bahwa “kebijakan dividen menunjukkan kebijakan yang menentukan besarnya persentase setiap dolar yang diperoleh yang didistribusikan kepada pemilik dalam bentuk kas, dihitung dengan membagi dividen kas perusahaan per share dengan penghasilan per saham.

Keown (2005:607), mengatakan bahwa “kebijakan dividen adalah kebijakan yang menentukan jumlah dividen relatif terhadap laba bersih perusahaan atau penghasilan per saham.

(7)

Dari pengertian kebijakan dividen di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan dividen merupakan rencana pembagian pendapatan yang harus diikuti dalam membuat keputusan dividen, apakah dividen akan dibayarkan atau ditahan dalam perusahaan sebagai laba ditahan.

Menurut Sundjaja dan Barlian (2002:387), faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan dividen antara lain:

1. Faktur hukum yang menyangkut peraturan mengenai penggunaan laba bersih untuk membayar deviden tahun-tahun yang lalu dan laba tahun berjalan. Faktor hukum juga akan melindungi para kreditur yang melarang pembayaran dividen yang berasal dari modal dan bukan dari laba usahanya. Faktor hukum juga memperbolehkan perusahaan untuk tidak membayar dividen jika jumlah utang perusahaan lebih besar dari jumlah hartanya.

2. Posisi Likuiditas. Semakin tinggi tingkat likuiditas perusahaan, maka semakin besar kemampuan perusahaan untuk membayar dividen kepada para pemegang saham.

3. Pembayaran pinjaman jangka panjang yang mengharuskan perusahaan untuk menahan laba sehingga perusahaan tidak akan membagikan dividen kepada para pemegang saham.

4. Kontrak pinjaman yang seringkali membatasi kemampuan perusahaan untuk membayar dividen tunai. Hal ini terjadi karena dividen pada masa mendatang hanya dapat dibayarkan dari laba yang diperoleh sesudah perjanjian hutang sehingga dividen tidak dapat dibayar dari laba yang

(8)

diperoleh pada tahun-tahun sebelumnya karena dividen tidak dapat dibayarkan apabila modal kerja (aktiva lancar dikurangi kewajiban lancar) berada di bawah jumlah yang ditetapkan.

5. Pengembangan aktiva perusahaan yang membutuhkan dana yang cukup besar sehingga mengakibatkan semakin banyak laba yang harus ditahan dan menunda pembayaran dividen.

6. Tingkat pengembalian asset yang menentukan pembagian laba dalam bentuk deviden yang dapat digunakan oleh pemegang saham baik ditanamkan kembali di dalam perusahaan maupun di tempat lain.

7. Stabilitas keuntungan yang baik mengakibatkan perusahaan akan membagikan keuntungannya dalam bentuk dividen dengan persentase yang lebih besar sebab perusahaan memiliki tingkat kepastian perolehan laba yang tinggi pada masa mendatang.

8. Pasar modal dapat membantu perusahaan besar yang memiliki profitabilitas yang tinggi dan keuntungan teratur untuk dapat masuk ke pasar modal dan memperoleh macam-macam dana dari luar untuk pembiayaannya sehingga perusahaan dapat memenuhi pembayaran dividen kepada investor.

9. Pengendalian terhadap perusahaan untuk memenuhi kebutuhan pendanaan dengan tidak menjual saham baru dan tidak membagikan laba mengakibatkan pembagian dividen dalam bentuk kas menjadi rendah.

10. Keputusan kebijakan dividen dengan mempertahankan dividen per lembar saham pada tingkat yang konstan yang tidak diimbangi dengan naiknya

(9)

keuntungan sehingga mempengaruhi pembagian dividen karena dividen itu baru akan dinaikkan jika sudah jelas bahwa meningkatnya keuntungan itu benar-benar mantap dan cukup permanen.

Menurut Riyanto (2001:281), faktor-faktor yang menjadi pertimbangan dalam kebijakan dividen suatu perusahaan antara lain:

1. Posisi likuiditas yang baik akan memungkinkan pembayaran dividen yang baik. Semakin kuat posisi kas suatu perusahaan terhadap prospek kebutuhan dana pada masa mendatang mengakibatkan semakin tingginya jumlah dividen yang dibayarkan kepada para pemegang saham.

2. Kebutuhan dana untuk membayar hutang yang dibayarkan melalui bagian dari pendapatan yang ditahan mengakibatkan semakin rendahnya dividen yang akan dibayarkan kepada para pemegang saham.

3. Tingkat perluasan perusahaan yang mengakibatkan semakin besar dana yang dibutuhkan karena semakin besar bagian dari pendapatan perusahaan yang ditahan sehingga jumlah dividen yang akan dibayarkan kepada para pemegang saham akan semakin rendah.

4. Pengawasan terhadap perusahaan yang mempercayakan pada pembelanjaan internal dalam rangka usaha mempertahankan pengendalian terhadap perusahaan mengakibatkan pembayaran dividen semakin rendah karena semakin banyak dana yang dibutuhkan yang bersumber dari laba ditahan.

(10)

2.1.2.2. Teori tentang Kebijakan Dividen

Teori kebijakan dividen merupakan teori yang mengkaji tentang penentuan besarnya alokasi laba yang tersedia bagi pemegang saham biasa pada dividen dan laba ditahan terhadap nilai pasar saham yang berlaku yang menjadi penentu nilai dari suatu perusahaan. Berbagai teori dan temuan empiris berkaitan dengan kebijakan dividen banyak ditemukan dalam literatur keuangan, tetapi keputusan investasi dan keputusan pendanaan yang baik tidak dapat digantikan oleh kebijakan dividen. Teori tentang kebijakan dividen terus berkembang dan mengalami kemajuan dan sampai saat ini ada beberapa teori kebijakan dividen yang telah dikemukakan.

1. Dividend Irrelevance Theory

Teori ini diperkenalkan oleh Miller dan Modigliani (1961:411) yang menyatakan bahwa tidak ada pengaruh kebijakan dividen yang diputuskan atau dilaksanakan perusahaan terhadap nilai perusahaan (aset) yang dimiliki perusahaan. Investor yang memiliki saham pada perusahaan tidak akan terpengaruh terhadap nilai aset / investasi bila perusahaan melakukan atau memutuskan untuk membagi dividen. Tidak ada pengaruhnya kebijakan dividen terhadap investasi atau aset investor karena investor dapat membuat dividen sendiri (home made).

Nilai perusahaan tidak tergantung kepada kebijakan perusahaan atau dividen yang dibayarkan perusahaan kepada pemegang saham melainkan sangat tergantung kepada pilihan investasi optimal yang dilakukan oleh perusahaan. Nilai perusahaan ditentukan oleh kemampuan perusahaan

(11)

menghasilkan laba dan risiko investasi serta memisahkan antara dividen dan dana internal yang ditahan (laba ditahan) yang tidak mempengaruhi nilai perusahaan.

Nilai perusahaan tergantung kepada kebijakan investasi dan bukan pada berapa jumlah laba yang dibagi untuk dividen dan berapa jumlah laba yang tidak dibagi yang dijadikan sebagai laba ditahan (retained earning).

Pendapat ini bertolak dari dua pemikiran. Pertama: diasumsikan bahwa keputusan investasi dan penggunaan utang sudah dibuat dan tidak mempengaruhi besar kecilnya dividen yang dibayarkan. Kedua: pasar modal yang sempurna diasumsikan ada. Hal ini berarti (1) investor dapat menjual dan membeli saham tanpa membayar biaya transaksi karena informasi dalam pasar modal yang sempurna tersebar luas sehingga investor dapat melakukan sendiri segala sesuatu yang diinginkannya; (2) setiap perusahaan dapat menerbitkan saham tanpa adanya biaya emisi atau flotation cost dan biaya transaksi; (3) tidak ada pajak pendapatan perseorangan maupun pajak penghasilan perusahaan; (4) informasi yang lengkap mengenai setiap perusahaan selalu tersedia sehingga investor tidak perlu melihat pengumuman khusus mengenai pembayaran dividen sebagai indikator penting dari kondisi perusahaan; serta (5) tidak terdapat konflik atau tidak ada masalah keagenan antara pihak manajemen dengan para pemilik saham.

Pembayaran dividen merupakan selisih (residual) antara pendapatan dan investasi sehingga dividen yang dibayar selalu disesuaikan dengan tingkat pendapatan dan jumlah sahamnya. Pengaruh pembayaran dividen terhadap

(12)

kemakmuran pemegang saham akan diimbangi dengan jumlah yang sama dengan sumber dana yang lain melalui pembelanjaan atau pemenuhan dana yang lain yaitu dengan mengeluarkan saham baru sebagai pengganti sejumlah pembayaran dividen yang telah dilakukan perusahaan kepada para pemegang sahamnya. Dengan demikian, kenaikan pendapatan dari pembayaran dividen akan diimbangi dengan penurunan harga saham sebagai akibat dari penjualan saham baru sehingga laba yang diperoleh dan dibagikan sebagai dividen atau akan ditahan dalam bentuk laba ditahan tidak akan mempengaruhi kemakmuran pemegang saham.

2. Bird in The Hand Theory

Gordon dan Lintner (1963:264) dengan Bird in The Hand Theory berpendapat bahwa dividen lebih baik daripada capital gain karena dividen yang dibagi kurang berisiko. Investor lebih merasa aman memperoleh pendapatan berupa pembayaran dividen daripada menunggu capital gain yang belum tentu akan diperoleh pada masa mendatang atau kedua-duanya tidak diperoleh padahal perusahaan membagikan dividen tergantung kepada prospek perusahaan pada masa yang akan datang.

Bila perusahaan melihat adanya prospek yang lebih bagus di masa mendatang dengan melakukan investasi, maka perusahaan kemungkinan besar tidak akan membagikan dividen. Sebaliknya, perusahaan akan membagikan dividen bila tidak ada pilihan investasi yang dapat meningkatkan nilai perusahaan pada masa yang akan datang. Oleh karena itu, perusahaan harus memperhatikan pandangan investor tersebut dalam rangka membagikan

(13)

dividen. Harapan pembagian dividen sangat dibutuhkan agar harga saham mengalami kenaikan dan akhirnya memperoleh capital gain.

Perusahaan seharusnya membentuk risiko pembayaran dividen dengan menawarkan dividen yield yang tinggi agar dapat memaksimalkan harga sahamnya. Keyakinan bahwa kebijakan dividen perusahaan itu tidak penting secara implisit mengasumsikan bahwa seorang investor menggunakan required rate of return yang sama, baik pendapatan itu berupa dividen maupun capital gain. Pendapatan dividen memiliki sifat yang lebih pasti (predictable) daripada capital gain. Pihak manajemen perusahaan dapat mengendalikan dividen, tetapi tidak dapat mengendalikan harga sahamnya di pasar modal. Ini berarti kadar risiko caiptal gain lebih besar. Oleh karena itu, rate of return yang digunakan ketika mengurangi jumlah capital gain harus lebih tinggi dari yang digunakan terhadap pendapatan dividen.

3. Tax Preference Theory

Tax Preference Theory yang dikemukakan Farrar dan Slewyn (1967:444) dan Brennan (1970:417) menjelaskan bahwa investor lebih menyukai laba ditahan (retained earning) daripada dividen. Teori ini menyarankan agar perusahaan membayarkan dividen yang rendah jika ingin memaksimalkan harga sahamnya. Teori perbedaan pajak ini menerangkan bahwa kebijakan yang terbaik adalah tidak membayar pajak sama sekali.

Teori Miller Modigliani menyatakan bahwa pada pasar persaingan sempurna tidak diperlukan pajak sehingga tidak ada perlakuan pajak yang berbeda antara dividen dengan capital gain. Tetapi kenyataannya, pajak itu

(14)

selalu ada seperti yang dialami investor dimana setiap dividen yang dibayarkan akan dikenakan pajak. Padahal seharusnya dividen yang diterima investor tidak seharusnya dikenakan pajak dikarenakan perusahaan telah membayar pajak atas bagian keuntungan yang dibagikan (dividen) tersebut.

Bila investor membayar kembali pajak atas dividen yang diterimanya, maka telah terjadi pajak berganda karena perpindahan keuntungan (dividen) terjadi bukan dikarenakan adanya nilai tambah yang dilakukan sehingga dividen tersebut bertambah ketika sampai di tangan investor.

Adanya perlakuan pajak yang berbeda ini membuat investor selalu berpikir agar dividen yang diterimanya sudah bersih tanpa ada lagi pembayaran pajak sehingga jelas perhitungan pendapatannya yang siap dikonsumsikan. Pemikiran investor ini diperhatikan oleh agen perusahaan agar agen tersebut mengurangi dividen dalam rangka memaksimumkan nilai perusahaan sebab pajak mempengaruhi pembayaran dividen perusahaan.

Pembayaran dividen yang kecil akan membuat biaya modal kecil dan harga saham mengalami kenaikan dan bila diperhatikan dengan seksama bahwa pajak dividen selalu lebih tinggi daripada capital gain.

Pemegang saham lebih baik menjual saham mereka beberapa lembar pada suatu saat dan membayar pajak keuntungan modal yang lebih rendah.

Pendapat ini terutama didasarkan pada perbedaan perlakuan pajak terhadap pendapatan dividen dan capital gain. Suatu kenyataan bahwa semua investor harus membayar pajak pendapatan. Dengan demikian, bagi investor tujuan yang harus dicapai adalah maksimalisasi tingkat hasil investasi setelah

(15)

dipotong pajak tanpa harus menanggung risiko yang terlalu besar. Tujuan ini direalisir melalui upaya meminimalkan tingkat pajak efektif atas pendapatan mereka dan sedapat mungkin menunda pembayaran pajak tersebut.

Meskipun keuntungan pajak yang terkandung dalam capital gain kini tidak ada lagi, investor masih memiliki keuntungan tambahan dibandingkan dengan pendapatan dividennya. Pajak untuk pendapatan dividen harus langsung dibayarkan pada saat dividen itu diterima, tetapi pajak atas apresiasi harga saham (capital gain) tertunda sampai saham tersebut benar-benar terjual.

4. Clientele Effect Theory

Teori ini dikemukakan oleh Miller dan Modigliani (1961:414) dalam mempertahankan pandangan teorinya yaitu Dividend Irrelevance Theory.

Pemegang saham perusahaan bervariasi dari segi pendapatan dan karakteristik lainnya sehingga investor tersebut mempunyai preferensi tersendiri atas investasi pada saham. Kelompok berpendapatan rendah menginginkan dividen yang tinggi untuk menambah pendapatan sementara kelompok yang berpendapatan yang tinggi menginginkan dividen yang rendah dan capital gain yang tinggi sehingga terjadi kelompok peminat pada pemilik perusahaan yang disebut clientele.

Perusahaan harus memperhatikan clientele ini dalam mengambil keputusan dalam membayar dividen. Pada sisi lain, pemerintah memberlakukan pajak yang berbeda terhadap kelompok-kelompok atau

(16)

berdasarkan kelembagaan tersebut sehingga lembaga tersebut mempunyai keinginan tersendiri untuk dividen.

Teori ini menyatakan bahwa kelompok (clientele) pemegang saham yang berbeda akan memiliki preferensi yang berbeda terhadap kebijakan dividen perusahaan. Kelompok pemegang saham yang ingin memperoleh pendapatan saat ini lebih menyukai dividend payout ratio yang tinggi daripada menahan laba dan kelompok yang tidak membutuhkan pendapatan saat ini lebih menyukai perusahaan menahan laba bersih perusahaan daripada membagikan dividen.

Jika terdapat perbedaan pajak bagi individu, maka kelompok pemegang saham dikenakan pajak tinggi lebih menyukai capital gain karena dapat menunda pembayaran pajak. Kelompok ini lebih senang bila perusahaan membagikan dividen yang kecil sedangkan kelompok pemegang saham yang dikenakan pajak yang rendah akan cenderung menyukai dividen yang besar.

Bukti empiris menunjukkan bahwa efek dari clientele ini ada namun hal tersebut tidak menunjukkan bahwa dividen besar lebih baik daripada dividen kecil dan sebaliknya dividen kecil tidak lebih baik daripada dividen besar. Efek clientele ini hanya menyatakan bahwa bagi kelompok pemegang saham, kebijakan dividen tertentu lebih menguntungkan kelompok tersebut.

5. Signaling Hypothesis Theory

Teori ini juga dikemukakan oleh Miller dan Modigliani (1961:418) untuk mempertahankan pandangan teorinya (Dividend Irrelevance Theory).

Pembayaran dividen oleh perusahaan mengandung informasi yang dapat

(17)

dilihat dari sisi investor dan sisi manajer perusahaan. Manajer perusahaan lebih mengetahui keadaan perusahaan dan kelanjutannya (going concern) sementara investor kurang mengetahui keadaan perusahaan. Laporan keuangan yang dipublikasikan perusahaan tidak banyak memberikan informasi mengenai perusahaan. Salah satu tindakan perusahaan yang banyak memberikan informasi mengenai investor adalah pembayaran dividen yang dilakukan perusahaan. Perusahaan tidak mungkin akan membayar dividen bila kinerja dan kondisi keuangan perusahaan berada pada posisi yang tidak baik.

Pembayaran dividen merupakan sumber informasi bahwa perusahaan berada dalam kondisi yang sangat baik bahkan investor memandang pemberian dividen merupakan kinerja perusahaan yang baik dan adanya kelebihan dana.

Pada sisi lain, manajer perusahaan membuat keputusan bahwa pemberian dividen dikarenakan tidak ditemukannya investasi yang optimal sesuai dengan Teori Miller dan Modigliani, dimana nilai perusahaan meningkat karena pilihan investasi yang optimal, artinya perusahaan memberikan dividen kepada investor agar dana tersebut dikelola untuk mendapatkan tingkat pengembalian yang lebih baik bila tetap hanya di perusahaan.

Teori ini mengemukakan bahwa kenyataannya dividen memiliki pengaruh terhadap harga saham karena dividen digunakan investor sebagai prediktor kinerja perusahaan pada masa mendatang. Kenaikan dividen pada umumnya diikuti dengan kenaikan harga saham sedangkan penurunan dividen

(18)

diikuti dengan penurunan harga saham. Hal ini membuktikan bahwa para investor lebih menyukai dividen daripada capital gain.

Ketika perusahaan memiliki risiko pembayaran dividen yang stabil sepanjang waktu dan perusahaan meningkatkan rasio tersebut, keadaan ini menberi sinyal kepada para investor bahwa pihak manajemen mengumumkan perubahan positif dalam profitabilitas pada masa mendatang. Selanjutnya harga saham akan bereaksi positif terhadap kenaikan dividen ini. Penurunan dividen dan kenaikan dividen yang berada di bawah kenaikan yang biasanya merupakan sinyal bagi investor bahwa perusahaan menghadapi masa sulit pada masa yang akan datang.

Para manajer perusahaan yang mengetahui lebih banyak tentang keadaan perusahaan yang sebenarnya diharapkan dapat menggunakan dividen sebagai alat untuk menyampaikan informasi yang baik dan yang belum dikenal di pasar. Para investor dapat menggunakan informasi tentang perubahan dividen ini sebagai sinyal atas kondisi keuangan perusahaan yang sesungguhnya terutama tingkat kemampuannya menghasilkan keuntungan.

Kenaikan dividen yang lebih besar diharapkan mengisyaratkan kepada investor bahwa perusahaan akan mampu meningkatkan keuntungannya sedangkan penurunan dividen yang lebih besar dari yang diperkirakan menandakan bahwa keuntungan perusahaan akan mengalami penurunan.

6. Teori Dividen Residual

Teori dividen residual menyatakan bahwa ketika perusahaan akan memutuskan berapa banyak uang kas yang harus dibagikan kepada pemegang

(19)

saham, ada dua hal yang harus tetap diingat, yaitu: (1) tujuan utamanya adalah untuk memaksimumkan nilai pemegang saham, dan (2) arus kas yang dihasilkan perusahaan merupakan milik pemegang saham (Brigham dan Houston, 2001:110).

Manajemen harus menahan diri dengan upaya menahan laba kecuali jika laba itu dapat diinvestasikan kembali guna menghasilkan pengembalian yang lebih tinggi yang juga ikut dirasakan oleh pemegang saham daripada yang diperoleh pemegang saham jika mereka menginvestasikan uang itu dalam investasi yang berisiko sama. Dengan demikian, ekuitas internal, laba ditahan, lebih rendah biaya modalnya daripada ekuitas eksternal, saham biasa baru.

Kondisi ini mendorong perusahaan untuk menahan laba karena menambah dasar ekuitas internal dan dengan demikian mengurangi kemungkinan bahwa perusahaan harus menambah ekuitas eksternal di masa mendatang untuk mendanai investasinya.

Adanya biaya penerbitan saham baru menonjolkan perbedaan antara modal internal dan eksternal. Tanpa biaya penerbitan, perusahaan tidak akan bersusah payah menentukan berapa besarnya dividen dan berapa besarnya laba ditahan, demikian pula berapa besarnya pendanaan eksternal. Dengan adanya biaya penerbitan itu, perusahaan jelas akan mengutamakan pendanaan internal.

Konsekuensinya, perusahaan akan melakukan pembayaran dividen setelah dana-dana kebutuhan investasi terpenuhi; dengan kata lain, hanya jika ada

“pendapatan tersisa” atau pendapatan residual, maka dividen akan dibayarkan.

Inilah inti dari teori dividen residual atau residual dividend theory (Elton dan Gruber, 1970:68).

(20)

Lebih ditegaskan lagi, bahwa apabila fakta biaya-biaya penerbitan sekuritas diperhitungkan, maka kebijakan dividen perusahaan memiliki karakteristik sebagai berikut: (1) mempertahankan rasio hutang optimum dalam pendanaan investasi mendatang; (2) menerima suatu investasi hanya jika NPV (Net Present Value)nya positif; (3) mendahulukan pendanaan internal, kalau ternyata tidak mencukupi, barulah perusahaan akan menerbitkan saham tambahan;

dan (4) apabila setelah kebutuhan dana investasi terpenuhi masih ada sisa, maka perusahaan akan membayar dividen. Sedangkan apabila tidak ada dana yang tersisa, maka dividen tidak dibayarkan (Elton dan Gruber, 1970:70).

Dengan demikian, konsekuensi dari apa yang telah diuraikan di atas adalah bahwa, rasio pembayaran dividen yang optimal merupakan fungsi dari empat

faktor, yaitu: (1) pilihan investor atas dividen lawan keuntungan modal, (2) peluang investasi perusahaan, (3) struktur modal yang ditargetkan, dan (4) ketersediaan dan biaya dari modal eksternal. Ketiga elemen terakhir

digabungkan ke dalam model dividen residual (residual dividend model).

Menurut teori ini, kebijakan dividen memiliki pengaruh yang pasif, jadi tidak bisa mempengaruhi secara langsung harga saham umum di bursa (Brigham dan Houston, 2001:115).

2.1.2.3. Jenis-jenis Kebijakan Dividen

Kebijakan dividen menurut Riyanto (2001:289) dapat dibagi ke dalam 4 (empat) bagian berikut:

(21)

1. Kebijakan dividen yang stabil

Kebijakan dividen yang stabil merupakan jumlah dividen per lembar saham yang dibayarkan setiap tahunnya relatif tetap selama jangka waktu tertentu meskipun pendapatan per lembar saham per tahunnya berfluktuasi.

2. Kebijakan pembayaran dividen dengan penetapan jumlah minimal plus jumlah ekstra tertentu.

Kebijakan ini menetapkan jumlah rupiah minimal dividen perlembar saham setiap tahunnya. Dalam keadaan keuangan yang lebih baik perusahaan akan membayarkan dividen ekstra di atas jumlah minimal tersebut.

3. Kebijakan dividen dengan penetapan dividend payout ratio yang konstan.

Kebijakan ini menjelaskan bahwa perusahaan yang menjalankan kebijakan dividend payout ratio yang konstan dan juga dividen per lembar saham yang akan dibayarkan setiap tahunnya akan berfluktuasi sesuai dengan perkembangan keuntungan bersih yang diperoleh setiap tahunnya.

4. Kebijakan dividen yang fleksibel

Perusahaan menetapkan rasio pembayaran dividen yang besarnya tiap tahunnya disesuaikan dengan posisi keuangan dan kebijakan pendanaan dari perusahaan yang bersangkutan. Apabila keuntungan tinggi maka besarnya dividen yang dibagikan relatif tinggi.

Sebaliknya, jika tingkat keuntungan rendah maka besarnya dividen

(22)

yang dibayarkan juga rendah atau dapat dikatakan besarnya selalu proporsional dengan tingkat keuntungan.

2.1.2.4. Rasio Kebijakan Dividen

Kebijakan dividen dikonfirmasikan melalui Dividend Payout Ratio dan Dividen Yield. Menurut Kallapur dan Trombley (1992:505). Dividend Payout Ratio (DPR) adalah kemampuan perusahaan untuk melakukan pembayaran dividen kepada setiap pemegang saham yang dapat diukur dengan membandingkan dividen kas per lembar saham dengan laba yang diperoleh per lembar saham (Sundjaja dan Barlian, 2002 : 391). Menurut Darmadji (2001) dividen merupakan pembagian sisi laba bersih perusahaan yang didistribusikan kepada pemegang saham, atas persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Dividend itu bisa berbentuk uang tunai (cash dividend) atau dividen saham (stock dividend). Jika dividen dibayar dalam bentuk tunai, maka besarnya rasio pembayaran dividennya dapat dihitung dengan rumus:

Dividen kas per lembar saham DPR =

Laba per lembar saham

Menurut (Sundjaja dan Barlian, 2002 : 437) dividen kas per lembar saham atau dividend per share (DPS) merupakan jumlah dividen tunai yang dibagikan kepada setiap pemegang saham dalam jumlah rupiah tertentu untuk setiap lembar saham.

Dividen Kas per Lembar Saham / Dividend per Share (DPS) dapat dihitung

(23)

Jumlah dividen tunai DPS =

Jumlah saham beredar

Menurut Baridwan (2003:448), laba bersih setelah pajak atau earning per share (EPS) merupakan jumlah pendapatan yang diperoleh dalam satu periode (biasanya satu tahun) untuk tiap saham yang beredar. Laba per Lembar Saham / Earning per Share (EPS) dapat dihitung dengan rumus:

Laba bersih EPS =

Jumlah saham beredar

Jika dividen dibayar dalam bentuk saham, maka pembayaran dividennya dapat dihitung dengan menggunakan Dividend Yield Ratio (DYR) adalah suatu rasio yang menghubungkan dividen yang dibayar dengan harga saham biasa (Warsono, 2003:275). Dividend Yield Ratio dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

Dividen per lembar saham tahunan DYR =

Harga per lembar saham

2.1.3. Profitabilitas

2.1.3.1. Pengertian Profitabilitas

Menurut Gitman (2003:145), profitabilitas adalah hubungan antara pendapatan dan biaya yang dihasilkan dengan menggunakan aset perusahaan baik lancar maupun tetap dalam aktivitas operasi. Brigham dan Houston

(24)

(2001:197) menyatakan bahwa profitabilitas adalah hasil bersih dari serangkaian kebijakan dan keputusan.

Sartono (2001:122) berpendapat bahwa profitabilitas adalah kemampuan perusahaan memperoleh laba dalam hubungannya dengan penjualan, total aktiva maupun modal sendiri. Dengan demikian bagi investor jangka panjang akan sangat berkepentingan dengan analisa profitabilitas ini.

Tingkat pengembalian terhadap aset-aset (ROA) menentukan pengembalian laba dalam bentuk dividen yang dapat digunakan oleh pemegang saham, baik ditanamkan kembali di dalam perusahaan maupun di tempat lain. Semakin tinggi tingkat profitabilitas mengakibatkan semakin meningkatnya pembagian dividen kepada para pemegang saham.

Profitabilitas berpengaruh terhadap kebijakan dividen karena dividen adalah sebagian dari laba bersih yang diperoleh perusahaan. Oleh karena itu, dividen akan dibagikan apabila perusahaan memperoleh keuntungan.

Keuntungan yang layak dan akan dibagikan kepada pemegang saham adalah keuntungan setelah perusahaan memenuhi kewajiban-kewajiban tetapnya yaitu bunga dan pajak. Perusahaan yang semakin besar keuntungannya akan membayar porsi pendapatan yang semakin besar sebagai dividen (Sudarsi, 2002:79).

Setiap perusahaan dalam menjalankan kegiatan bisnisnya, akan berusaha untuk menghasilkan laba atau profit. Dalam hubungannya dengan kebijakan dividen, besarnya profitabilitas akan mempengaruhi besar kecilnya pembayaran dividen. Peningkatan pembayaran dividen hanya terjadi ketika

(25)

perusahaan memiliki profitabilitas yang tinggi, dengan asumsi bahwa profitabilitas tersebut cukup tinggi untuk meningkatkan laba, baik laba ditahan maupun pembayaran dividen secara serentak. Jika perusahaan mempunyai tingkat profitabilitas yang tinggi, maka perusahaan akan mendapatkan laba yang tinggi pula dan pada akhirnya laba yang tersedia untuk dibagikan kepada para pemegang saham akan semakin besar pula.

Semakin besar laba yang tersedia bagi pemegang saham maka pembayaran dividen kepada pemegang saham atau alokasi untuk laba ditahan akan semakin besar pula. Dengan demikian, investor sangat berkepentingan dengan analisis profitabilitas, misalnya bagi pemegang saham akan melihat keuntungan yang benar-benar akan diterima dalam bentuk dividen.

2.1.3.2. Rasio Profitabilitas

Gitman (2003:147) mengatakan bahwa rasio profitabilitas merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur efektifitas manajemen berdasarkan hasil pengembalian dari penjualan investasi serta kemampuan perusahaan menghasilkan laba yang akan menjadi dasar pembagian dividen perusahaan.

Ada beberapa pengukuran terhadap profitabilitas perusahaan, di mana masing-masing pengukuran dihubungkan dengan volume penjualan, total aktiva dan modal sendiri. Secara keseluruhan ketiga pengukuran ini akan memungkinkan seorang penganalisa untuk mengevaluasi tingkat earning dalam hubungannya dengan volume penjualan, jumlah aktiva dan investasi tertentu dari pemilik perusahaan.

(26)

Menurut Foster (1986:60) terdapat 7 (tujuh) cara-cara pengukuran rasio profitabilitas, yaitu:

1. Gross Profit Margin Ratio (GPM)

Rasio ini merupakan persentase dari laba kotor dengan penjualan.

Gross Profit Margin Ratio dapat dihitung dengan rumus:

Gross Profit

Gross Profit Margin = x 100 % Sales

2. Operating Profit Margin

Rasio ini menggambarkan apa yang disebut “pure profit” yang diterima atas penjualan yang dilakukan di mana jumlah tersebut merupakan jumlah yang benar-benar diperoleh dari hasil perusahaan dengan mengabaikan kewajiban-kewajiban finansial lainnya atau laba bersih sebelum bunga serta pajak dibandingkan dengan penjualan. Gross Profit Margin Ratio dapat dihitung dengan rumus:

Rumus Operating Profit Margin Ratio:

EBIT

Operating Profit Margin = x 100 % Sales

3. Operating Ratio

Rasio ini menggambarkan biaya operasi dari setiap rupiah hasil penjualan atau rasio yang membandingkan biaya operasi perusahaan dengan penjualan. Operating Ratio dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

Harga Pokok Penjualan + Biaya Operasional Operating Ratio = x100%

Penjualan

(27)

4. Sales Margin (Net Profit Margin)

Merupakan rasio antara laba bersih (net profit) yaitu penjualan yang sudah dikurangi seluruh biaya termasuk pajak dibandingkan dengan penjualannya. Sales Margin dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

EAT

Sales Margin = x 100 % Sales

5. Assets Turnover Ratio

Rasio ini merupakan ukuran tentang sampai seberapa jauh aktiva ini telah dipergunakan dalam kegiatan perusahaan atau menunjukkan berapa kali operating asset berputar dalam suatu periode teretntu, biasanya satu tahun.

Assets Turnover Ratio dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

Sales

Assets Turnover Ratio = x 100 % Total Assets

6. Return on Equity (ROE)

Rasio ini mengukur seberapa banyak keuntungan yang menjadi hak pemilik modal sendiri, karena itu dipergunakan angka laba setelah pajak.

Return on Equity (ROE) dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

EAT

Return on Equity = x 100 % Modal sendiri

7. Return on Assets (ROA)

Rasio Return on Assets (ROA) ini umum digunakan dalam analisis profitabilitas. Rasio ini menunjukkan seberapa banyak laba bersih yang bisa diperoleh dari seluruh kekayaan yang dimiliki perusahaan. Return on

(28)

diinvestasikan dalam total aktiva. Semakin tinggi ROA semakin besar kemungkinan pembagian dividen. Rasio ini mengukur tingkat pengembalian atas total aktiva setelah bunga dan pajak. Hasil pengembalian total aktiva atau total investasi menunjukkan kinerja manajemen dalam menggunakan aktiva perusahaan untuk menghasilkan laba (Sartono, 2001 : 122). Return on Assets (ROA) dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

Laba Bersih (EAT)

Return on Assets = x 100 % Total Assets

2.1.4. Likuiditas

2.1.4.1. Pengertian Likuiditas

Menurut Gitman (2003:132), likuiditas merupakan kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban keuangan yang berjangka pendek, tepat waktunya atau kemampuan perusahaan untuk menyediakan kas atau setara kas yang ditunjukkan melalui besar kecilnya aktiva lancar. Semakin tinggi tingkat profitabilitas yang dimiliki suatu perusahaan, maka memungkinkan pembayaran dividen yang baik pula.

Menurut Sutrisno (2005:259), likuiditas merupakan kemampuan perusahaan untuk membayar kewajiban-kewajiban yang segera harus dipenuhi. Semakin tinggi likuiditas suatu perusahaan, maka kemampuan perusahaan dalam membayar kewajiban-kewajibannya akan semakin baik.

Selain itu, semakin tinggi tingkat likuiditas suatu perusahaan maka semakin

(29)

mampu pula perusahaan tersebut membayar dividen karena pembayaran dividen membutuhkan aliran dana keluar sehingga diperlukan likuiditas yang tinggi.

Menurut Sartono (2001:114), likuiditas adalah kemampuan suatu perusahaan untuk memenuhi kewajiban keuangannya yang berjangka pendek tepat pada waktunya. Likuiditas suatu perusahaan sangat besar pengaruhnya terhadap investasi perusahaan dan kebijakan pemenuhan kebutuhan dana.

Keputusan investasi akan menentukan tingkat ekspansi dan kebutuhan dana perusahan, sementara itu keputusan pembelanjaan akan menentukan pemilihan sumber dana untuk membiayai investasi tersebut.

Dalam kaitannya dengan kebijakan dividen, likuiditas merupakan kemampuan perusahaan untuk membayarkan dividen kepada para pemegang saham. Hal ini dikarenakan, untuk membayar dividen diperlukan ketersediaan dana dalam hal ini adalah kas yang dimiliki oleh perusahaan. Perusahaan yang mempunyai laba yang tinggi belum tentu dapat membayarkan dividen kepada para pemegang saham karena tidak adanya dana untuk membayar dividen.

Likuiditas perusahaan selalu menjadi pertimbangan utama dalam kebijakan dividen. Karena dividen bagi perusahaan merupakan kas keluar, maka semakin besar likuiditas perusahaan secara keseluruhan akan semakin besar kemampuan perusahaan untuk membayar dividen. Likuiditas juga menggambarkan mudah tidaknya suatu jenis investasi dicairkan menjadi uang kas (Anoraga, 2001:79). Perusahaan yang sedang mengalami pertumbuhan dan profitable akan memerlukan dana yang cukup besar guna membiayai

(30)

investasinya, oleh karena itu mungkin akan kurang likuid karena dana yang diperuleh lebih banyak diinvestasikan pada aktiva tetap dan aktiva lancar yang permanen. Likuiditas tidak hanya berkenaan dengan keadaan keseluruhan keuangan perusahaan, tetapi juga berkaitan dengan kemampuannya untuk mengubah aktiva lancar tertentu menjadi uang kas.

2.1.4.2. Rasio Likuiditas

Likuiditas perusahaan merupakan faktor penting yang harus dipertimbangkan sebelum mengambil keputusan untuk menetapkan besarnya dividen yang akan dibayarkan kepada para pemegang saham. Oleh karena dividen merupakan cash outflow, maka makin kuat posisi likuiditas perusahaan, berarti makin besar kemampuan perusahaan untuk membayar dividen (Prihantoro, 2003:10).

Suatu perusahaan yang sedang bertumbuh, mungkin tidak begitu kuat posisi likuiditasnya karena sebagian besar dari dananya berada dalam aktiva tetap dan modal kerja sehingga kemampuanya untuk membayarkan dividen pun sangat terbatas. Dengan sendirinya likuiditas suatu perusahaan ditentukan oleh keputusan-keputusan di bidang investasi dan cara pemenuhan kebutuhan dananya.

Menurut Horne dan Wachowicz (2005 : 234), rasio likuiditas merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajian financial jangka pendek yang berupa hutang – hutang jangka pendek (short time debt). Adapun rasio yang tergabung dalam rasio likuiditas ini adalah:

(31)

1. Rasio lancar (current ratio)

Merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam membayar kewajiban jangka pendeknya dengan menggunakan aktiva lancar yang dimiliki. Semakin tinggi current ratio suatu perusahaan berarti semakin tinggi tingkat keamanan margin of safety para kreditor jangka pendek atau dengan perkataan lain kemampuan perusahaan untuk membayar hutang-hutangnya tinggi. Akan tetapi current ratio yang terlalu tinggi menunjukkan kelebihan uang kas/aktiva lancar.

Current ratio dapat dihitung dengan rumus:

Aktiva lancar Current Ratio = Utang lancar 2. Rasio cepat (quick ratio/acid test ratio)

Merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam membayar kewajiban jangka pendeknya dengan menggunakan aktiva yang lebih likuid dengan tidak memperhitungkan persediaan. Dalam rasio ini persediaan dianggap kurang likuid, karena membutuhkan waktu yang relatif lama untuk merubah persediaan menjadi uang tunai. Unsur piutang masih tetap diperhitungkan sebagai aktiva yang likuid. Quick Ratio dapat dihitung dengan rumus:

Aktiva lancar – Persediaan Quick Ratio = Utang lancer

(32)

3. Rasio kas (cash ratio)

Rasio ini membandingkan kas ditambah efek-efek (surat berharga).

Kas dan efek-efek dianggap sebagai aktiva yang paling liquid, yaitu mudah untuk dicairkan/diuangkan dalam jangka pendek. Semakin tinggi cash ratio berarti jumlah uang tunai tersedia semakin besar, sehingga pelunasan hutang akan terjamin. Akan tetapi cash ratio yang terlalu tinggi akan mengurangi potensi untuk mempertinggi rate of return. Cash ratio dapat dihitung dengan rumus yaitu:

Kas + Efek

Cash Ratio = Utang lancar

Menurut Riyanto (2001:267), Posisi kas (cash position) merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan untuk menghitung tingkat likuiditas perusahaan yang dihitung berdasarkan perbandingan antara saldo kas akhir dengan laba setelah pajak (earning after tax). Faktor ini merupakan faktor internal yang dapat dikendalikan

oleh manajemen sehingga pengaruhnya dapat dirasakan secara langsung bagi kebijakan dividen. Deviden merupakan cash outflow yang dipengaruhi oleh posisi kas perusahaan sehingga demikian makin kuatnya posisi kas perusahaan akan semakin besar kemampuannya untuk membayar deviden. Partington (1989:169). Cash position dapat dihitung dengan rumus yaitu:

Saldo kas akhir Cash Position =

Laba bersih setelah pajak (EAT)

(33)

2.1.5. Teori tentang Profitabilitas dan Likuiditas

Profitabilitas merupakan tingkat keuntungan bersih atau laba bersih yang diperoleh perusahaan saat menjalankan kegiatan usahanya selama periode tertentu. Keuntungan yang diraih perusahaan ini merupakan hasil dari investasi yang ditanamkan oleh perusahaan dan merupakan pertimbangan utama bagi sebuah perusahaan dalam rangka pengembangan bisnisnya.

Keuntungan yang layak dibagikan kepada pemegang saham adalah keuntungan setelah bunga dan pajak. Semakin besar keuntungan yang diperoleh perusahaan, semakin besar pula kemampuan perusahaan untuk membayarkan devidennya dan hal ini berdampak pada kenaikan nilai perusahaan.

Semakin besar tingkat keuntungan yang diperoleh perusahaan menunjukkan semakin baik kinerja manajemen dalam mengelola perusahaan.

Penilaian prestasi suatu perusahaan dapat dilihat dari kemampuan perusahaan itu untuk menghasilkan laba. Laba perusahaan selain merupakan indikator kemampuan perusahaan memenuhi kewajiban bagi para penyandang dananya juga merupakan elemen dalam penciptaan nilai perusahaan yang menunjukkan prospek perusahaan di masa yang akan datang.

Profitabilitas digunakan sebagai indikator untuk mengetahui tingkat pengembalian yang akan diberikan kepada pemegang saham. Jika tingkat pengembalian investasi yang dimiliki sebuah perusahaan tinggi akan memberikan sinyal positif bagi investor dalam melakukan penilaian. Semakin tinggi profitabilitas semakin tinggi pemaksimalan kesejahteraan pemegang

(34)

saham sehingga berdampak pada nilai perusahaan yang tercermin pada harga sahamnya.

Profit yang tinggi akan memberikan indikasi prospek perusahaan yang baik sehingga dapat memicu investor untuk ikut meningkatkan permintaan saham. Selanjutnya permintaan saham yang meningkat akan menyebabkan nilai perusahaan yang meningkat. Femonema tersebut menunjukkan bahwa tingkat profitabilitas merupakan insentif bagi peningkatan nilai perusahaan.

Likuiditas merupakan kemampuan suatu perusahaan untuk membayar kewajiban-kewajiban jangka pendeknya pada saat jatuh tempo dengan menggunakan aktiva lancar yang tersedia. Likuiditas tidak hanya berhubungan dengan keadaan keseluruhan keuangan perusahaan, tetapi juga berhubungan dengan kemampuan suatu perusahaan untuk mengubah aktiva lancar tertentu menjadi uang kas. Kas ini merupakan aktiva yang tidak dapat menghasilkan

“laba”, dalam arti tidak bisa untuk mendapatkan laba secara langsung dalam operasi perusahaan. Oleh karena itu, perlu dilakukan usaha pengelolaannya (manajemen) kas yang efektif dan efisien sehingga pemanfaatan kas tersebut optiomal (Harjito dan Martono, 2005:116).

Perusahaan yang mampu memenuhi kewajiban keuangannnya tepat pada waktunya berarti perusahaan tersebut dalam keadaaan “likuid” karena perusahaan tersebut mempunyai alat pembayaran ataupun aktiva lancar yang lebih besar dari pada hutang lancar atau hutang jangka pendek dan sebaliknya.

Kemampuan membayar atas kewajiban jangka pendek suatu perusahaan sangat tergantung dari alat pembayaran likuid (cair) yang dimiliki perusahaan.

(35)

Besarnya alat pembayaran likuid yang dimiliki perusahaan disebut sebagai daya bayar atau kekuatan bayar suatu perusahaan yang akan menjadikan perusahaan mempunyai kemampuan membayar kewajiban jangka pendeknya. Semakin tinggi tingkat likuiditas suatu perusahaan, maka semakin baik kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya dan berdampak positif terhadap nilai perusahaaan.

Besarnya tingkat profitabilitas dan likuiditas menjadi penentu nilai perusahaan. Nilai perusahaan adalah sangat penting karena dengan nilai perusahaan yang tinggi akan diikuti oleh tingginya kemakmuran pemegang saham (Brigham dan Houston, 2001:210). Semakin tinggi harga saham semakin tinggi nilai perusahaan. Nilai perusahaan ditentukan oleh besarnya tingkat profitabilitas dan tingkat likuiditas yang dimiliki oleh perusahaan.

Nilai perusahaan yang tinggi menjadi keinginan para pemilik perusahaan, sebab dengan nilai yang tinggi menunjukan kemakmuran pemegang saham juga tinggi. Kekayaan pemegang saham dan perusahaan dipresentasikan oleh harga pasar dari saham yang merupakan cerminan dari keputusan investasi, pendanaan (financing), dan manajemen asset.

Teori tentang nilai perusahaan dikaitkan dengan Teori Stuktur Keuangan (Financial Structure Theory) yang dikembangkan pertama kali oleh David Duran pada tahun 1952 (Eugene dan Gapenski, 1987:151) Dalam mengembangkan pendekatan ini diasumsikan pajak perusahaan nol. Nilai perusahaan dapat dinilai dengan tiga pendekatan, yaitu:

(36)

1. Pendekatan laba bersih (net income approach)

Pendekatan laba bersih mangasumsikan bahwa investor mengkapitalisasi atau menilai laba perusahaan dengan tingkat kapitalisasi yang konstan dan perusahaan dapat meningkatkan jumlah hutangnya dengan tingkat biaya hutang yang konstan pula. Karena tingkat kapitalisasi dan tingkat biaya hutang konstan maka semakin besar jumlah hutang yang digunakan perusahaan, biaya modal rata-rata tertimbang semakin kecil sebagai akibat penggunaan hutang yang semakin besar, nilai perusahaan akan meningkat.

2. Pendekatan laba operasi (net operating income approach)

Pendekatan ini melihat bahwa biaya modal rata-rata tertimbang konstan berapapun tingkat hutang yang digunakan oleh perusahaan.

Pertama, diasumsikan bahwa biaya hutang konstan seperti halnya dalam pendekatan laba bersih. Kedua, penggunaan hutang yang semakin besar oleh pemilik modal sendiri dilihat sebagai peningkatan risiko perusahaan. Oleh karena itu tingkat keuntungan yang diisyaratkan oleh pemilik modal sendiri akan meningkat sebagai akibat meningkatnya risiko perusahaan. Konsekuensinya biaya modal rata- rata tertimbang tidak mengalami perubahan dan keputusan struktur modal menjadi tidak penting.

3. Pendekatan tradisional (traditional approach)

Pendekatan ini mengasumsikan bahwa hingga leverage tertentu, risiko perusahaan tidak mengalami perubahan. Sehingga baik tingkat

(37)

bunga hutang maupun tingkat kapitalisasi relatif konstan. Namun demikian setelah leverage atau rasio hutang tertentu, biaya hutang dan biaya modal sendiri meningkat. Peningkatan biaya modal sendiri ini akan semakin besar dan bahkan akan lebih besar daripada penurunan biaya karena penggunaan hutang yang lebih murah. Akibatnya biaya modal rata-rata tertimbang pada awalnya menurun dan setelah leverage tertentu akan meningkat.

2.1.6. Pendanaan

2.1.6.1 Pengertian Pendanaan

Menurut Sudarmaji dan Sularto (2007:54), pendanaan merupakan pengukur besarnya aktiva yang dibiayai dengan hutang yang berasal dari kreditur, bukan dari pemegang saham ataupun investor atau sejauh mana kita menggunakan utang sebagai sumber dana dibandingkan menggunakan dana yang berasal dari modal. Menurut Hanafi (2004:327), pendanaan dapat digunakan untuk meningkatkan tingkat keuntungan yang diharapkan sehingga keuntungan yang diperoleh lebih besar daripada biaya aktiva dan sumber dananya.

Pendanaan merupakan salah satu keputusan keuangan yang harus ditetapkan oleh manajer keuangan dalam hal mendanai aset-asetnya yang berkaitan dengan jenis-jenis sumber dana jangka pendek dan sumber dana jangka panjang. Pendanaan juga merupakan komposisi dari tiap sumber dana tersebut dengan tujuan untuk meningkatkan nilai perusahaan berdasarkan

(38)

dengan hutang, dan yang terakhir modal (ekuitas) (Myers dan Majluf, 1984:187).

Pendanaan ini merupakan salah satu keputusan keuangan yang harus dilakukan oleh perusahaan untuk mencapai tujuannya. Keputusan keuangan perusahaan itu terdiri dari keputusan investasi, pendanaan, dan kebijakan dividen.

Keputusan investasi ditujukan untuk menghasilkan kebijakan yang berhubungan dengan (a) kebijakan pengalokasian sumber dana secara optimal, (b) kebijakan modal kerja (c) kebijakan investasi yang berdampak pada strategi perusahaan yang lebih luas (merger dan akuisisi) (Damodaran, 1997:351).

Menurut Sutrisno (2005:10) untuk memenuhi kebutuhan dana, manajer keuangan dapat mengambil beberapa alternatif dalam memenuhi kebutuhan pendanaan perusahaan, yaitu:

1. Perusahaan akan mengambil sumber dana dari luar, berarti perusahaan bisa mengambil dana dari hutang atau modal sendiri. Keputusan ini dikenal sebagai keputusan pendanaan (financing decision).

2. Perusahaan mengambil sumber dana dari dalam, berupa pemanfaatan laba.

Keputusan tersebut menyangkut kebijakan dividen (dividend policy).

Keputusan pendanaan difokuskan untuk mendapatkan usaha optimal dalam rangka mendapatkan dana atau dana tambahan untuk mendukung kebijakan investasi. Masalah utama dalam mengoptimalkan keputusan pendanaan adalah menetapkan struktur modal (utang dan ekuitas) yang optimal sebagai asumsi dasar dalam memutuskan berapa jumlah dana dan bagaimana komposisi jumlah dana pinjaman dan dana sendiri yang ditambahkan untuk mendukung kebijakan

(39)

investasi sehingga kinerja keuangan perusahaan dapat tumbuh secara sehat. Di samping itu, komposisi struktur modal harus pula dipertimbangkan hubungan antara perusahaan, kreditur, maupun pemegang saham sehingga tidak terjadi konflik (Saragih, et.al., 2005:152).

Pada hakikatnya, sumber pendanaan yang berasal dari luar perusahaan yang berasal dari hutang (modal asing) diperoleh melalui pinjaman dari bank atau lembaga keuangan lainnya maupun dengan mengeluarkan surat hutang sehingga perusahaan harus memberikan kompensasi berupa bunga yang menjadi beban tetap bagi perusahaan. Sumber pendanaan yang berasal dari hutang dapat dikelompokkan menjadi hutang terencana (intended debt) dan hutang spontan (spontaneous debt). Hutang terencana (intended debt) merupakan hutang yang timbul karena keinginan manajemen perusahaan dengan cara meminta bantuan kepada pihak ketiga seperti bank dan lembaga pemberi pinjaman atau publik dengan menerbitkan obligasi. Biasanya hutang terencana mempunyai kewajiban balas jasa yang dikenal dengan bunga dan untuk obligasi disebut kupon. Hutang spontan (spontaneous debt) merupakan hutang kepada pihak penyedia (supplier) yang timbul akibat kegiatan bisnis antarpihak dimana para pihak tidak menuntut balas jasa terjadinya hutang-piutang tersebut.

Sumber dana yang berasal dari modal sendiri (equity) merupakan modal yang berasal dari saham preferen dan saham biasa. Saham preferen merupakan sumber dana dimana perusahaan mempunyai kewajiban membayar dividen walaupun posisi perusahaan mengalami kerugian. Perusahaan membayar dividen pada tahun berikutnya setelah profit dan kewajiban dividen dianggap sebagai

(40)

hutang sebelum dibayar. Saham biasa merupakan sumber pendanaan perusahaan dimana perusahaan tidak mempunyai kewajiban untuk membayar dividen. Kedua sumber dana ekuitas ini dianggap perusahaan menjadi sumber dana yang berisiko rendah dibandingkan dengan sumber dana melalui hutang. Sumber pendanaan dari modal inilah yang digunakan sebagai tanggungan atas keseluruhan risiko yang dihadapi oleh perusahaan dan menjadi jaminan bagi pihak yang memberikan pinjaman.

Sumber pendanaan yang berasal dari dalam perusahaan hanya diperoleh dari laba ditahan. Setiap tahun perusahaan mempunyai kemungkinan laba bersih yang dipergunakan untuk pengembangan perusahaan. Sebahagian dari laba bersih perusahaan dipergunakan untuk dibagikan sebagai dividen dan sebahagian lagi ditahan untuk pengembangan investasi perusahaan. Keputusan dividen ditentukan dari jumlah keuntungan perusahaan setelah pajak (earning after tax). Oleh karena itu tujuan memaksimumkan keuntungan yang akan dibagikan kepada pemegang saham (dividen) memiliki kendala dalam memaksimumkan laba ditahan untuk diinvestasikan kembali sebagai sumber dana internal, dengan kata lain semakin banyak jumlah laba ditahan berarti semakin sedikit uang yang tersedia bagi pembayaran dividen.

Hubungan pendanaan dengan kebijakan dividen dipengaruhi oleh rasio leverage yaitu Debt to Equity Ratio (DER). Artinya kebijakan dividen dilakukan, apabila perusahaan tersebut dapat mengelola kebutuhan pembayaran hutang pada periode yang akan datang. Pembiayaan dividen hanya dapat dilakukan ketika seorang manajer menyetujui bahwa mereka

(41)

dapat mengelola kebijakan dividen yang baru di masa yang akan datang sehingga semakin tinggi hutang maka semakin kecil dividen yang dibayarkan karena pembiayaan eksternal atau hutang cenderung memiliki risiko yang tinggi dibandingkan dengan pembiayaan internal.

Pendanaan ini sama dengan penentuan struktur modal perusahaan dan untuk mengukurnya digunakan rasio leverage (Debt to Equity Ratio). Debt to Equity Ratio merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur tingkat leverage (penggunaan utang) terhadap total shareholders’ equity yang dimiliki perusahaan (Ang, 1997:18). Faktor ini mencerminkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi seluruh kewajibannya yang ditunjukkan oleh beberapa bagian modal sendiri yang digunakan untuk membayar hutang.

Semakin besar rasio ini menunjukkan semakin besar kewajibannya dan rasio yang semakin rendah akan menunjukkan semakin tinggi kemampuan perusahaan memenuhi kewajibannya.

Apabila perusahaan menentukan bahwa pelunasan utangnya akan diambilkan dari laba ditahan, berarti perusahaan harus menahan sebagian besar dari pendapatannya untuk keperluan tersebut, hal ini berarti hanya sebagian kecil saja pendapatan yang dapat dibayarkan sebagai dividen (Riyanto, 2001:267). Peningkatan utang ini akan mempengaruhi tingkat pendapatan bersih yang tersedia bagi pemegang saham, artinya semakin tinggi kewajiban perusahaan, akan semakin menurunkan kemampuan perusahaan membayar dividen (Sudarsi, 2002:80).

(42)

2.1.6.2. Teori tentang Pendanaan

Perusahaan yang ingin berkembang atau bertumbuh akan melakukan peningkatan penjualan perusahaan atau melakukan investasi. Peningkatan penjualan membutuhkan modal kerja dan investasi membutuhkan dana untuk melakukan investasi tersebut. Perusahaan telah mempunyai ukuran untuk mendapatkan dana tersebut agar inivestasi yang dilakukan dapat berjalan dengan baik. Pendanaan investasi yang dilakukan oleh perusahaan tersebut berasal dari sumber internal dan sumber ekternal perusahaan. Teori yang membahas tentang pendanaan investasi ini dikenal dengan nama Teori Urutan Pendanaan (Pecking Order Theory).

Teori Urutan Pendanaan (Pecking Order Theory) diperkenalkan oleh Gordon Donaldson pada tahun 1961. Pecking order theory mengasumsikan bahwa perusahaan bertujuan untuk memaksimumkan kesejahteraan pemegang saham. Menurut Donaldson (1961:101), perusahaan mempunyai urutan dalam melakukan pendanaan yang dimulai dengan urutan laba ditahan, utang kepada pihak ketiga baik dengan loan atau menjual obligasi dan terakhir mengeluarkan saham baru. Urutan pendanaan tersebut merupakan urutan berdasarkan biaya yang harus dikeluarkan perusahaan dan biaya ekuitas yang merupakan biaya tertinggi. Perusahaan yang membayar dividen yang tinggi pada masa lalu mempunyai kecenderungan untuk meminjam lebih banyak sehingga perusahaan cenderung menggunakan dana dari dalam perusahaan dan meminjam dari pihak luar serta kemudian mengeluarkan saham. Pecking order theory memprediksi bahwa pendanaan utang eksternal didasarkan pada

(43)

defisit pendanaan internal. Adapun urutan pendanaan perusahaan menurut survei Donaldson (1961:110) adalah sebagai berikut:

1. Laba ditahan;

2. Mencairkan surat-surat berharga seperti deposito, menjual obligasi, dan menjual saham;

3. Menerbitkan surat utang;

4. Paling akhir (the only last resort) menerbitkan saham.

Selanjutnya Myers dan Majluf (1984:198) mengemukakan teori urutan pendanaan yang tergugah atas penelitian Black dan Scholes (1976:72) mengenai dividen puzzle yang menyatakan bahwa semakin kuat kita memperhatikan gambaran tentang dividen, maka semakin nyata hal itu terlihat seperti suatu teka-teki, dengan pecahan-pecahan yang berantakan dan yang tidak saling berkesesuaian.

Menurut Myers dan Majluf (1984:201) dalam Pecking Order Theory menjelaskan sebuah hirarki dalam pemenuhan kebutuhan dana perusahaan.

Manajer perusahaan akan lebih memilih menggunakan internal equity yang diperoleh dari laba ditahan dan cadangan depresiasi. Apabila perusahaan membutuhkan dana eksternal, maka akan memilih hutang sebelum external equity. Sumber dana yang paling disukai oleh perusahaan adalah sumber pendanaan yang memiliki risiko yang paling kecil dimana perusahaan akan memilih sumber dana berdasarkan preferensi biaya yang harus dikeluarkan atas sumber dana tersebut. Dalam hal ini, perusahaan mempunyai pilihan untuk memenuhi modalnya lebih dulu dari sumber internal, kemudian memenuhi

(44)

kekurangannya dari sumber eksternal. Perusahaan lebih menyukai menggunakan dana yang bersumber dari internal perusahaan sehingga dengan adanya dana dari internal membuat perusahaan tidak memiliki beban untuk membayar dividen pada akhir periode. Penurunan pembayaran dividen akan menyebabkan perusahaan memiliki sumber dana internal untuk investasi.

Namun demikian, ketika manajemen dilibatkan dalam bentuk kepemilikan insider, maka kepentingan pemegang saham lebih sesuai dengan kepentingan manajer. Kesesuaian kepentingan ini terjadi karena manajer juga akan memperoleh kembali atas kepemilikannya dalam bentuk dividen sehingga konflik dalam perusahaan dapat dikurangi.

Berdasarkan pecking order theory, maka: (1) Perusahaan akan memilih sumber pendanaan internal (internal financing) yaitu sumber dana yang paling disukai perusahaan yang berasal hasil operasi perusahaan dalam bentuk laba ditahan (retained earnings) daripada pendanaan eksternal. Perusahaan lebih memilih sumber pendanaan internal ini karena dana tersebut akan diperoleh tanpa mengakibatkan sinyal negatif yang bisa menurunkan harga saham dan perusahaan tidak perlu lagi ”membuka diri” dari sorotan dan publisitas pemodal luar akibat dari penerbitan saham baru. (2) Apabila dibutuhkan sumber pendanaan eksternal (external financing), perusahaan pertama-tama akan menerbitkan pinjaman (debt) meliputi penundaan pembayaran utang, pinjaman jangka pendek sebagai tambahan modal kerja, dan pinjaman jangka panjang (obligasi) sebagai dana investasi, sedangkan penerbitan saham, baik dalam bentuk saham perdana (Initial Public Offer/IPO) maupun saham biasa baru sebagai sumber modal investasi

(45)

dalam rangka ekspansi perusahaan akan dilakukan sebagai langkah terakhir karena penerbitan saham baru akan ditafsirkan sebagai kabar buruk oleh para pemodal dan membuat harga saham akan turun. Hal ini disebabkan karena adanya informasi asimetrik antara pihak manajemen dengan pihak pemodal. (3) Dalam Pecking order theory terdapat kebijakan dividen yang konstan, yaitu perusahaan akan menetapkan jumlah pembayaran dividen yang konstan, tidak terpengaruh seberapa besarnya perusahaan tersebut untung atau rugi. (4) Untuk mengantisipasi kekurangan persediaan kas karena adanya kebijakan dividen yang konstan dan fluktuasi dari tingkat keuntungan, serta kesempatan bertumbuh, maka perusahaan akan mengambil portofolio investasi yang lancar tersedia.

Pecking order theory tidak mengindikasikan target struktur modal.

Pecking order theory menjelaskan urut-urutan pendanaan. Manajer keuangan tidak memperhitungkan tingkat hutang yang optimal. Kebutuhan dana ditentukan oleh kebutuhan investasi. Pecking order theory ini dapat menjelaskan mengapa perusahaan yang mempunyai tingkat keuntungan yang tinggi justru mempunyai tingkat hutang yang kecil.

Model pecking order theory memfokuskan pada motivasi manajer korporat, bukan pada prinsip-prinsip penilaian pasar modal. Pecking order theory mencerminkan persoalan yang diciptakan oleh asimetrik informasi.

Kalau bisa memperoleh sumber dana yang diperlukan tanpa memperoleh sorotan dan publisitas publik sebagai akibat penerbitan saham baru. Dasar

(46)

pemikirannya didasarkan pada penjelasan berikut ini (Myers dan Majluf, 1984:205) :

a. Para manajer mengetahui lebih banyak tentang perusahaan daripada investor luar, namun mereka enggan untuk menerbitkan saham ketika percaya saham mereka adalah undervalued.

b. Investor memahami bahwa para manajer mengetahui lebih banyak dan mereka mencoba menerbitkan sesuai waktu yang tepat.

c. Para manajer menginterpresentasikan keputusan untuk menerbitkan ekuitas sebagai bad news, dan perusahaan dapat menerbitkan ekuitas hanya pada harga discount.

d. Perusahaan yang bekerja berdasarkan filosofi pecking order theory dan membutuhkan ekuitas eksternal kemungkinan tidak akan memanfaatkan kesempatan bertumbuh yang baik, karena saham tidak dapat dijual pada “Fair Price”.

2.1.6.3. Rasio Pendanaan

Menurut Brigham dan Houston (2001:384) terdapat 4 (empat) rasio yang dapat digunakan dalam keputusan pendanaan suatu perusahaan, yaitu:

1. Longterm debt equity ratio (LtDER)

Rasio ini merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur perbandingan antara utang jangka panjang dengan total modal sendiri.

Longterm debt equity ratio dihitung dengan menggunakan rumus:

Utang jangka panjang LtDER =

Referensi

Dokumen terkait

Pada tahun 2017 Kabupaten Purbalingga menyediakan 2017 rumah sederhana khusus subsidi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).Penyediaan rumah bagi MBR merupakan wujud

Customer service sebagai ujung tombak perusahaan dalam melayani pelanggan atau nasabah dan menjual produk atau jasa yang ditawarkan, merupakan divisi terdepan dalam memberikan

Bagaimanakah hasil belajar siswa dengan pembelajaran yang menggunakan metode yang berorientasi praktik pada mata pelajaran Pendidikan Agama Buddha.. 1.5

Satu enzim yang masih ada dan terdapat sebelum pembekuan pada ikan dapat meneruskan pembentukan histamin di dalam daging ikan sel bakteri dalam keadaan injury selama

Dengan menggunakan program SPSS for window versi 16.0, maka dapat diketahui reliabilitas instrumen angket pendidikan seks.Setelah dilakukan pengujian reliabilitas

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya aktivitas antibakteri dari ekstrak dan fraksi teripang Holothuria edulis yang diperoleh dari teluk Manado

Dari hasil analisis data penilaian para ahli materi dan kuesioner siswa terhadap model pembelajaran motorik dengan pendekatan ber- main menggunakan agility ladder yang