• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERTUMBUHAN KAYU APU (Pistia stratiotes L.) DAN HASIL PADI PADA SISTEM PERTANIAN ORGANIK DAN KONVENSIONAL. I Wayan Diara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERTUMBUHAN KAYU APU (Pistia stratiotes L.) DAN HASIL PADI PADA SISTEM PERTANIAN ORGANIK DAN KONVENSIONAL. I Wayan Diara"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

PERTUMBUHAN KAYU APU ( Pistia stratiotes L.) DAN HASIL PADI PADA SISTEM PERTANIAN

ORGANIK DAN KONVENSIONAL

Oleh

I Wayan Diara

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2017

(2)

i

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia-Nya sehingga penelitian yang berjudul Pertumbuhan Kayu Apu (Pistia stratiotes L.) dan Hasil Padi pada Sistem Pertanian Organik dan Konvensioanal dapat dilaksanakan dengan baik. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana pertumbuhan kayu apu dan hasil padi sawah yang dibudidayakan dengan sistem organik dan konvensional.

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh terjadinya kerusakan lingkungan akibat penggunaan sarana produksi terutama pupuk dan pestisida kimiawi yang secara terus menerus dan berlebihan. Akibat selanjutnya adalah terjadinya penurunan produksi pada lahan-lahan padi sawah yang dibudidayakan dengan sistem pertanian konvensional.

Pada laporan ini disajikan pertumbuhan tanaman kayu apu (Pistia stratiotes L.) dan hasil padi varietas lokal merah. Pertumbuhan kayu apu pada lahan sawah merupakan salah satu indikator apakah pada lahan tersebut telah terjadi kerusakan lingkungan atau tidak untuk mendukung pertumbuhan tanaman sebagai sumber bahan organik tanah, sehingga produksi padi yang tinggi tetap bisa dipertahankan.

Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada Prodi Agroekoteknologi atas dukungan dan memberikan izin untuk melaksanakan penelitian ini, walaupun dengan dana sendiri. Kepada pihak-pihak lain yang memberikan dukungan bantuan bagi pelaksanaan penelitian ini kami ucapkan banyak terimakasih.

Denpasar, 10 Juli 2017

Penulis

(3)

ii ABSTRAK

Sistem pertanian konvensional merupakan sistem pertanian yang ditujukan untuk memperoleh produksi pertanian secara maksimal, dimana dalam sistem pertanian ini digunakan teknologi modern, yang tidak memperhitungkan keamanan pangan dan pencemaran lingkungan Pada pertanian konvensional penggunaan bahan agrokimia seperti pupuk anorganik, pestisida sintesis dan zat perangsang tumbuh, organisme hasil rekayasa genetika, dan sistem manajemen penanggulangan hama secara terpadu merupakan teknologi budidaya pertanian yang umum dijumpai pada sistem pertanian tersebut. Penelitian yang berjudul Pertumbuhan Kayu Apu (Pistia stratiotes L.) dan Hasil Padi pada Sistem Pertanian Organik dan Konvensioanal dapat dilaksanakan dengan baik. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana pertumbuhan kayu apu dan hasil padi sawah yang dibudidayakan dengan sistem organik dan konvensional.

Pertumbuhan kayu apu (Pistia stratiotes L.) jauh lebih baik pada sistem pertanian organik yang mencapai tutupan lahan berkisar 90 -95 % daripada pertanian konvensional yang hampir tidak terdapat kayu apu. Pertumbuhan padi terbaik pada sistem pertanian konvensional dicapai pada kombinasi pemupukan 1250 kg ha-1 kompos + 300 kg ha-1 ponska yang dapat mencapai berat kering akar 10,08 gram/rumpun dan berat kering jerami 105,39 gram/rumpu. Berat kering gabah lebih tinggi pada sistem pertanian organik dengan aplikasi 4 tahun sebesar 7,61 ton ha-1 dari pada sistem pertanian konvensional dengaan kisaran 4,078 ton ha-1 sampai 6,44 ton ha-1 sesuai dengan kombinasi pemupukan kompos dan ponska.

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang pemupukan secara kombinasi antara pupuk organik dan anorganik untuk mencapai hasil padi yang tinggi dan pelestarian pertanian berkelanjutan dalam budidaya padi sawah.

Kata kunci : kayu apu, pertanian organik, pertanian konvensional, hasil padi.

(4)

iii DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN SAMPUL ……….. 0

KATA PENGANTAR ………

ABSTRAK ………..

i ii

DAFTAR ISI ……….. iii

DAFTAR TABEL ………. v

DAFTAR GAMBAR ………. vi

BAB I. PENDAHULUAN ………..

1.1 Latar Belakang ……….

1.3 Perumusan Masalah ...

1.4 Tujuan penelitian ...

1 1 4 4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ………..

2.1 Tanaman Kayu Apu (Pistia stratiotes L.) dalam Lahan Padi Sawah ………

2.2 Sistem Pertanian Organik ………

2.3 Sistem Pertanian Konvensional ………

2.4 Produksi Padi pada Sistem Pertanian Organik dan Konvensional

6

6 9 11 13

BAB III. METODE PENELITIAN ………

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ………..

3.2. Ruang Lingkup Penelitian ………..

3.3. Bahan dan Alat Penelitian ……….

3.4. Analisis Data ………..

15 15 16 17 17

(5)

iv

BAB IV. HASIL PENELITIAN ………..

4.1. Pertumbuhan Kayu Apu (Pistia stratiotes L.) ………

4.2. Pertumbuhan Padi Varietas Local Merah ………

4.3. Hasil Padi Varietas local Merah ………..

18 18 20 25

BAB V. PEMBAHASAN ……….. 29

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN ……….

6.1 Kesimpulan ……….

6.2 Saran ……….

30 30 30

DAFTAR PUSTAKA ……….. 31

(6)

v

DAFTAR TABEL

Halaman

No Judul

4.1 Berat kering akar dan jerami padi pada sistem pertanian organik …………... 20 4.2 Berat kering akar dan jerami padi pada sistem pertanian konvensional ……. 21 4.3 Berat kering bulir gabah padi pada sistem pertanian organik ……… 25

(7)

vi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

No Judul

4.1 Pertumbuhan (penutupan) kayu apu (Pistia stratiotes L.) pada sistem pertanian organik ulangan I ………

18 4.2 Pertumbuhan (penutupan) kayu apu (Pistia stratiotes L.) pada sistem

pertanian organik ulangan II ……… 19 4.3 Pertumbuhan (penutupan) kayu apu (Pistia stratiotes L.) pada sistem

pertanian konvensional ulangan I ………. 19 4.4 Pertumbuhan (penutupan) kayu apu (Pistia stratiotes L.) pada sistem

pertanian konvensional ulangan II ……… 20 4.1 Perbandingan visual pertumbuhan vegetatif maksimal tanaman padi pada

sistem pertanian organik 4 tahun dan pertanian konvensional (tanpa pupuk

dan dengan pupuk 0 kompos + 75 kg ha-1 ponska) ……… 22 4.2 Perbandingan visual pertumbuhan vegetatif maksimal tanaman padi pada

sistem pertanian organik 4 tahun dan pertanian konvensional (tanpa pupuk

dan dengan pupuk 2500 kg ha-1 kompos + 150 kg ha-1 ponska) ……… 22 4.3 Perbandingan visual pertumbuhan vegetatif maksimal tanaman padi pada

sistem pertanian organik 4 tahun dan pertanian konvensional (tanpa pupuk

dan dengan pupuk 1250 kg ha-1 kompos + 300 kg ha-1 ponska) ……… 22 4.4 Perbandingan visual pertumbuhan vegetatif maksimal tanaman padi pada

sistem pertanian organik 4 tahun dan pertanian konvensional (tanpa pupuk

dan dengan berbagai kombinasi puouk kompos + ponska) ……… 23 4.5 Kenampakan visual fase pertumbuhan generatif tanaman padi

pada umur 128 HST sistem pertanian organik 4 tahun ……….. 23 4.6 Kenampakan visual fase pertumbuhan generatif tanaman padi

pada umur 128 HST sistem pertanian konvensional ……….. 24 4.7 Kenampakan visual fase pertumbuhan generatif tanaman padi

pada umur 154 HST (saat panen) sistem pertanian organik ……… 24

(8)

vii

4.8 Kenampakan visual fase pertumbuhan generatif tanaman padi

pada umur 154 HST (saat panen) sistem pertanian konvensional ………….. 25 4.9 Perbandingan visual hasil padi pada pertanian organik dan pertanian

konvensional (tanpa pepumpukan) ……… 26 4.10 Perbandingan visual hasil padi pada pertanian organik dan pertanian

konvensional (2500 kg ha-1 kompos + 150 kg ha-1 ponska) ……… 27 4.10 Perbandingan visual hasil padi pada pertanian organik dan pertanian

konvensional (2500 kg ha-1 kompos + 150 kg ha-1 ponska) ……… 27 4.11 Perbandingan visual hasil padi pada pertanian organik dan pertanian

konvensional ( 1875 kg ha-1 kompos + 225 kg ha-1 ponska) ……… 27 4.12 Perbandingan visual hasil padi pada pertanian organik dan pertanian

konvensional ( tanpa pupuk dan 625 kg ha-1 kompos + 0 kg ha-1 ponska) …… 28 4.13 Perbandingan visual hasil padi pada pertanian organik dan pertanian

konvensional ( tanpa pupuk dan berbagai kombinasi kompos + ponska) …… 28

(9)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sejak berabad-abad budidaya padi sawah dilakukan dengan sistem konvensional. Akan tetapi, sejak tahun 1990-an telah terjadi pelandaian peningkatan produksi tanaman padi sawah yang mengindikasikan telah terjadinya penurunan atau stagnasi kualitas dan status kesuburan tanah. Secara nasional untuk periode 1995-2001, khususnya di wilayah Jawa terjadi penurunan produktivitas lahan sawah menjadi sebesar 5,16 ton ha-1 (0,78%), sedangkan untuk Indonesia sebesar 4,60 ton ha-1 (0,33%) (Maulana, 2004).

Ketersediaan unsur hara yang lebih tinggi menyebabkan proses dekomposisi bahan organik berlangsung lebih cepat sehingga menyebabkan penurunan kandung Paradigma baru yang dimulai dengan penggunaan sistem organik pada bidang pertanian lebih mengarah pada pengurangan input kimia dalam produksi pertanian. Namun perubahan sistem budidaya ke sistem organik, terutama pada padi sawah, belum dapat sepenuhnya memberikan produksi gabah yang tinggi dalam waktu singkat.an bahan organik tanah yang lebih besar.

Sistem pertanian organik adalah sistem yang sepenuhnya menggunakan input (terutama pupuk dan pestisida) organik, sementara sistem konvensional menggunakan input kimia dan hampir tidak menggunakan input organik.

Dalam sistem pertanian organik, C-organik meningkat selain karena

(10)

2

penambahan pupuk organik juga karena sisa tanaman respirasi mikroba tanah dan juga karena simpanan C-organik akibat sekuestrasi C atmosfer.

Sistem pertanian konvensional merupakan sistem pertanian yang ditujukan untuk memperoleh produksi pertanian secara maksimal, dimana dalam sistem pertanian ini digunakan teknologi modern, yang tidak memperhitungkan keamanan pangan dan pencemaran lingkungan (Seufert et al., 2012). Dijelaskan pula bahwa pada pertanian konvensional penggunaan bahan agrokimia seperti pupuk anorganik, pestisida sintesis dan zat perangsang tumbuh, organisme hasil rekayasa genetika, dan sistem manajemen penanggulangan hama secara terpadu merupakan teknologi budidaya pertanian yang umum dijumpai pada sistem pertanian tersebut. Kegiatan sistem pertanian konvensional yang tidak terkontrol dengan baik akan mempercepat terjadinya degradasi lahan yang pada gilirannya juga akan mengakibatkan terjadinya penurunan produksi.

Kenyataannya penggunaan sistem pertanian konvensional memberikan produksi gabah yang cukup tinggi secara cepat karena penggunaan input (pupuk dan pestisida) kimia yang banyak, namun tanpa disadari akan terjadi penurunan kualitas tanah karena simpanan C-organik tanah sangat rendah sehingga pada akhirnya produktivitas lahan dan produksi tanaman padi tidak dapat dipertahankan secara berkelanjutan.

(11)

3

Limbah anorganik umumnya berasal dari limbah pertanian seperti sisa pupuk dan pestisida maupun industry yang menggunakan unsure-unsur logam berat. Logam berat adalah logam yang mempunyai berat 5 g atau lebih untuk setiap m3. Ion logam yang berasal dari logam berat sangat berbahaya bagi kehidupan, terutama manusia. Jenis-jenis logam berat antara lain : Arsen (As), Kadmium (Cd), Timbal (Pb), Kroom (Cr), Kalsium (Ca), Nikel (Ni), Magnesium (Mg), Air Raksa (Hg), dan yang lainnya. Jika limbah yang mengandung jenis-jenis logam berat tersebut dibuang ke perairan, maka akan terjadi pencemaran, termasuk pencemaran air irigasi.

Menurut Ulfin (2001) kayu apu mengandung fitokelatin yaitu suatu protein yang terdiri dari atom belerang pada sistein yang berfungsi untuk mengikat logam berat selanjutnya bila logam berat masuk ke dalam tanaman, maka akan dikelat oleh suatu protein yang ada dalam akar kemudian disimpan sebagian ke daun. Umumnya tanaman ini tahan terhadap unsur hara yang sangat rendah dalam air tetapi responnya terhadap kadar hara yang tinggi juga sangatlah besar. Kayu apu mampu menyerap logam berat seperti Pb dan Cd pada insudtri batik dengan waktu 12 hari (Kao et al., 2001) dan Cr di atas 2 mg/kg setelah 1 minggu (Zayed and Terry, 2003).

Di Subak Wangaya Betan telah dilakukan pengembangan sistem pertanian konvensional dan pertanian organik. Sistem pertanian organik dikembangkan oleh Kelompok Tani Padi Organik Somya Pertiwi sejak tahun 2009. Sistem pertanian organik tersebut mengembangkan varietas lokal merah

(12)

4

dan telah mendapat sertifikat dari Lembaga Sertifikasi Organik Seloliman (LESOS). Praktek pemberian input pada kedua sistem pertanian tersebut sangat berbeda. Pada sistem pertanian konvensional dilakukan pengelolaan secara intensif dengan input kimia dosis tinggi, sehingga memicu terjadinya penurunan kandungan C-organik, kualitas dan produktivitas tanah. Sebaliknya praktek sistem pertanian organik dilakukan dengan input organik, karena memang ditujukan untuk mitigasi dampak negatif dari sistem pertanian konvensional.

Berdasarkan alasan dan pertimbangan yang diuraikan di atas perlu dilakukan penelitian tentang Pertumbuhan Kayu Apu (Pistia stratiotes L.) dan Hasil Padi sawah pada Sistem Pertanian Organik dan Konvensional. Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat diketahui tingkat pertumbuhan kayu apu yang memiliki fungsi fitoremediasi pada kedua jenis sistem pertanian tersebut.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

(1) Apakah tingkat pertumbuhan Kayu Apu (Pistia stratiotes L.) pada sistem pertanian organik lebih baik daripada pertanian konvensional.

(2) Apakah hasil padi sawah pada sistem pertanian organik lebih baik daripada pertanian konvensional.

1.3 Tujuan penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan :

(13)

5

(1) Mengetahui tingkat pertumbuhan Kayu Apu (Pistia stratiotes L.) pada sistem pertanian organik dan pertanian konvensional.

(3) mengetahui hasil padi sawah pada sistem pertanian organik dan pertanian konvensional.

(14)

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Tanaman Kayu Apu (Pistia stratiotes L.) dalam Lahan Padi Sawah Pengelolaan lahan untuk budidaya padi sawah umumnya dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu pengolahan tanah, pengairan, pemupukan dan pemeliharaan. Proses pengolahan tanah ditujukan untuk membentuk struktur lumpur, meratakan permukaan tanah untuk mempermudah mengontrol dan pengendalian air.

Pupuk yang diberikan ke dalam tanah adalah salah satu usaha untuk memenuhi kebutuhan unsur hara bagi tanaman padi sawah. Jenis dan dosis pupuk yang diberikan akan sangat mempengaruhi pertumbuhan dan hasil tanaman padi. Kedua faktor tersebut sering menjadi permasalahan yang dihadapi oleh petani di lapangan, karena sering terjadi pada proses budidaya padi sawah jarang menggunakan jarak tanam dengan dosis pupuk yang tepat.

Pada umumnya pemberian pupuk yang dilakukan oleh petani sering mengikuti anjuran secara umum yang dikeluarkan oleh pemerintah, padahal kondisi lapangan tidak selau sesuai sesuai dengan anjuran tersebut. Jenis dan dosis pupuk yang umum dilakukan oleh petani adalah urea (100 kg ha-1), KCl (47 kg ha-1), Sp 36 (50 kg ha-1) (Dahlan, 2012). Rekomendasi pemupukan untuk tanaman padi sawah spesifik lokasi di Provinsi Bali sesuai dengan Keputusan Menteri Pertanian No. 1 Tahun 2006) adalah sebagai berikut :

(15)

7

a. Tanpa bahan organik : urea (250 kg ha-1); SP-36 (100 kg ha-1); KCl (50 kg ha-1).

b. Dengan 5 ton jerami ha-1 : urea (200 kg ha-1); SP-36 (100 kg ha-1); KCl (0 kg ha-1).

c. Dengan 2 ton pupuk kandang ha-1 : urea (225 kg ha-1); SP-36 (50 kg ha-1) ; KCl (53 kg ha-1).

Selain pemberian pupuk, pada proses pemeliharaan padi sawah juga dilakukan pengendalian hama dan penyakit tanaman yang sering menggunakan bahan-bahan kimia. Penggunaan pupuk dan pestisida kimia yang berlebihan akan menimbulkan dampak negative terhadap lingkungan. Dampak tersebut dapat berupa ketidakseimbangan hara dalam tanah, kerusakan struktur tanah, penurunan keragaman hayati dan populasi biota tanag serta pencemaran air irigasi. Penggunaan urea yang berlebihan akan mengakibatkan terjadinya pencemaran oleh nitrat dan pengkayaan unsure hara (eutrofication), menurunnya kualitas air, dan matinya ikan yang merupakansumber protein dari kawasan perairan. Pencemaran lingkungan (air dan udara) yang terjadi akan mengganngu kesehatan manusia (Rochayati, 2011).

Seiring dengan pengolahan tanah untuk persiapan tanaman padi sawah, maka sering juga diikuti oleh pertumbuhan berbagai jenis tanaman, baik yang bersifat menguntungkan maupun yang merugikan berupa gulma. Jenis tanaman yang sering tumbuh selama periode awal setelah pengolahan tanah sampai

(16)

8

dengan pertanaman awal padi sawah antara lain Azolla (Azolla sp.) dan kayu apu (Pistia stratiotes L.). Kedua jenis tanaman tersebut sering ditemukan tumbuh pada lahan sawah yang dikelola dengan sistem pertanian organik, sehingga mengandung bahan organik yang tinggi. Sedangkan pada sistem pertanian konvensional yang menggunakan input pupuk dan pestisida kimia tinggi sangat jarang dijumpai kedua jenis tanaman tersebut.

Tanaman kayu apu ( Ulfin, 2001), adalah salah satu jenis tanaman air yang secara taksonomi termasuk ke dalam Kingdom : Plantae (tumbuhan);

Subkingdom : Tracheobionta (tumbuhan berpembuluh); Divisi : Magnoliophyta (tumbuhan berbunga); Kelas : Filicinae; Ordo: Hydropterides;

Famili : Salviniaceae; Genus : Pistia; Spesies: Pistia stratiotes L.

Kayu apu (Pistia stratiotes L.) merupakan salviniaceae dari genus Pistia.

Kayu apu memiliki dua tipe daun yang sangat berbeda. Daun yang tumbuh dipermukaan air berbentuk cuping agak melingkar, berklorofil sehingga berwarna hijau, dan dan permukaannya ditutupi rambut berwarna putih agak transparan. Rambt-rambut ini mencegah daun menjadi basah dan juga membantu kayu apu mengapung. Daun tipe kedua tumbuh di dalam air berbentuk sangat menyirip seperti akar, tidak berkrlorofil dan berfungsi menangkap hara dari air seperti akar. Secara fisiologis tumbuhan kayu apu (Pistia stratiotes L.) memiliki kemampuan untuk menyerap bahan radioaktif sehingga dapat digunakan untuk mengurangi limbah akibat pencemaran radioaktif di lingkungan karena kemampuannya tersebut, maka tumbuhan ini

(17)

9

dapat digunakan sebagai fitoremidiasi. Bahan radioaktif tersebut diserap oleh akar, kemudian mengalami translokasi di dalam tumbuhan dan dilokasikan padan jaringan.

Menurut Ulfin (2001) kayu apu mengandung fitokelatin yaitu suatu protein yang terdiri dari atom belerang pada sistein yang berfungsi untuk mengikat logam berat selanjutnya bila logam berat masuk ke dalam tanaman, maka akan dikelat oleh suatu protein yang ada dalam akar kemudian disimpan sebagian ke daun. Umumnya tanaman ini tahan terhadap unsur hara yang sangat rendah dalam air tetapi responnya terhadap kadar hara yang tinggi juga sangatlah besar. Kayu apu mampu menyerap logam berat seperti Pb dan Cd pada insudtri batik dengan waktu 12 hari (Kao et al., 2001) dan Cr di atas 2 mg/kg setelah 1 minggu (Zayed and Terry, 2003).

2.2 Sistem Pertanian Organik

Dalam pemberian batasan atau definisi dengan pertanian organik, maka masih terdapat pengertian dan persepsi berbagai pihak yang masih cukup beragam. Banyak batasan yang dikemukakan, namun secara sederhana pertanian organik adalah cara dan sistem budidaya pertanaman yang hanya atau mengutamakan menggunakan bahan-bahan alami (organik) dan tidak menggunakan atau membatasi penggunakan input kimia (anorganik) berupa pupuk dan pestisida (Irsal et al., 2006). Selanjutnya dikemukakan pula bahwa paling tidak terdapat dua alasan yang melatarbelakangi pengembangan pertanian organik di Indonesia, yang pertama adalah keprihatinan berbagai

(18)

10

kalangan, baik kalangan nasional maupun internasional terhadap keamanan pangan, kondisi lingkungan, kesehatan, dan kesejahteraan petani, sedangkan yang kedua adalah terjadinya degradasi fisik dan kimia sebagian lahan, terutama lahan sawah. Konsep pertanian organik yang dikemukakan Lotter et al. (2003) yaitu memanfaatkan proses alami di dalam lingkungan untuk mendukung produktivitas pertanian. Berbagai komponen yang digunakan dalam sistem tersebut antara lain menggunakan jenis tamanan legume untuk mengikat nitrogen ke dalam tanah, untuk menanggulangi hama dan penyakit tanaman digunakan predator, untuk mengembalikan kondisi tanah dan mencegah terjadinya penumpukan hama digunakan sistem rotasi tanaman. Demikian pula dalam mengendalikan hama dan penyakit dapat dimanfaatkan mulsa, sedangkan dalam pengembalian kondisi tanah dapat digunakan bahan alami sebagai bahan pupuk dan pestisida.

Aplikasi pertanian organik memiliki standar baik yang berlaku secara nasional maupun internasional. Oleh karena itu produk pertanian organik dilengkapi dengan sertifikat organik yang menandakan bahwa produk pertanian tersebut diproduksi melalui proses yang mengikuti standar operasional baku pertanian organik (Scow et al., 1994). Pada kenyataanya untuk beralih dari pertanian konvensional menjadi pertanian organik diperlukan waktu beberapa tahun. Sistem pertanian organik akan diawasi secara terus menerus oleh lembaga sertifikasi (Steven et al., 1994). Hal ini ditujukan untuk menjamin bahwa produksi yang dihasilkan dapat dipertahankan kualitasnya. Produk dari sistem pertanian organik memiliki harga jauh lebih mahal daripada produk

(19)

11

sistem konvensional (Lotter, 2003). Kenyataan tersebut juga berlaku untuk produk pertanian organik di tingkat petani maupun di pedagang/distributor.

2.4 Sistem Pertanian Konvensional

Perhatian terhadap usaha memenuhi kebutuhan pangan di Indonesia, penerapan teknologi revolusi hijau mampu memberikan dampak positif terhadap peningkatan produksi pangan nasional. Sesungguhnya melalui penerapan teknologi revolusi hijau yang pada dasarnya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan permintaan produk pertanian yang semakin mningkat, di dalamnya terkandung sistem pertanian konvensional (Cong Tu el al., 2006).

Dengan penerapan teknologi revolusi hijau yang ditandai oleh introduksi varietas unggul yang memiliki respon tinggi terhadap pemupukan dan irigasi.

Indonesia berhasil meraih swasembada beras tahun 1984. Selanjutnya disadari bahwa penerapan revolusi hijau memiliki beberapa dampak negatif, antara lain terdapat kecenderungan penggunaan input yang tinggi, terutama pupuk dan pestisida. Penggunaan kedua input tersebut ternyata telah mencemari sumber daya lahan, tanah dan lingkungan. Berdasarkan pengalaman penerapan revolusi hijau tersebut, maka pembangunan pertanian ke depan diperlukan reorientasi pendekatan, terutaman dalam pengembangan sistem produksi padi dan tanaman pangan umumnya. Salah satu di antaranya adalah dengan cara kembali menerapkan sistem pertanian organik yang sudah dikenal dan dilaksanakan sejak jaman dulu kala oleh petani.

(20)

12

Pertanian konvensional merupakan sistem pertanian yang ditujukan untuk memperoleh produksi pertanian secara maksimal, dimana dalam sistem pertanian ini digunakan teknologi modern, yang tidak memperhitungkan keamanan pangan dan pencemaran lingkungan (Seufert et al., 2012). Dijelaskan pula bahwa pada pertanian konvensional penggunaan bahan agrokimia seperti pupuk anorganik, pestisida sintesis dan zat perangsang tumbuh, organisme hasil rekayasa genetika, dan sistem manajemen penanggulangan hama secara terpadu merupakan teknologi budidaya pertanian yang umum dijumpai pada sistem pertanian tersebut. Kegiatan sistem pertanian konvensional yang tidak terkontrol dengan baik akan mempercepat terjadinya degradasi lahan yang pada gilirannya juga akan mengakibatkan terjadinya penurunan produksi.

Pertanian konvensional telah bekerja dalam sistem pangan global untuk memenuhi pangan masyarakat perkotaan di dunia melalui kehadiran praktek pertanian secara menyeluruh untuk menjadi apa yang sekarang dikenal sebagai industri pertanian (Fraser et al., 2005). Pertanian intensif yang menjadi ciri khas pertanian konvensional menggunakan jumlah tenaga kerja dan bahan kimia per satuan luas yang lebih tinggi daripada praktek pertanian lainnya.

Namun, bentuk pertanian konvensional dan penggunaan mekanik pertanian yang intensif ini membutuhkan energi sangat tinggi yang membutuhkan bahan bakar fosil untuk menyalakan mesin yang memungkinkan untuk usaha pertanian dalam skala besar (Pimentel et al., 1973; Pimentel et al., 2005). Selanjutnya Crews dan Peoples (2004) juga mengemukakan bahwa salah satu definisi pertanian konvensional adalah penggunaan tenaga kerja dalam pengunaan

(21)

13

pupuk konvensional. Pupuk konvensional diterapkan dalam berbagai standar rasio NPK untuk aplikasi pada tanaman. Aplikasi pupuk ke tanah menyediakan nutrisi baru secara efektif menghilangkan pertimbangan strategi jangka panjang untuk mempertahankan dan mengisi hara tanah dan karbon organik tanah.

Pemupukan juga merupakan salah satu perhatian utama yang harus dipertimbangkan pada pertanian konvensional. Emisi metana dan dinitrogen oksida masing-masing merupakan emisi GRK paling penting kedua dan ketiga setelah karbon dioksida (IPCC, 2007), dan emisi tersebut dari bidang pertanian telah sangat meningkat dengan aplikasi pupuk berbasis amonium. Masalah lingkungan yang muncul dari penggunaan pupuk konvensional menyoritas pemisahan antara industri pertanian intensif dan merawat proses ekosistem alami. Misalnya, pupuk konvensional digunakan untuk memberikan jumlah nutrisi yang melimpah dalam bentuk biokimia yang tersedia, tetapi skala di mana pupuk diterapkan ditambah dengan siklus air alami telah menyebabkan muatan nutrisi melalui limpasan yang masuk ke dalam sistem air (Goetz dan Zilberman, 2000).

2.4. Produksi Padi pada Sistem Pertanian Organik dan Konvensional Hasil penelitian yang dilaporkan oleh Dekhane et al. (2014) bahwa kombinasi perlakuan pupuk anorganik dan organik yang dilakukan pada padi sawah varietas GR 11, yang antara lain dengan perlakuan (tanpa pupuk, 50% N RDF + 50% N vermikompos, 75% RD NPK + 25% vermikompos) dari dosis pupuk yang direkomendasikan. Perlakuan kombinasi pupuk (50% N RDF + 50% N vermikompos) memberikan pertumbuhan padi hasil yang lebih tinggi

(22)

14

daripada semua perlakukan lainnya. Hasil gabah dan jerami yang dihasilkan pada perlakuan kombinasi pupuk (50% N RDF + 50 % N vermikompos) masing-masing 4,97 t ha-1 dan 5,77 t ha-1, sedangkan pada tanpa pemupukan hanya dihasilkan masing-masing 2,76 t ha-1 dan 3,53 t ha-1. Pada perlakuan kombinasi pupuk (75% RD NPK + 25% vermikompos) mampu menghasilkan jerami dan gabah masing-masing 4,23 t ha-1 dan 5,15 t ha-1. Bila dibandingkan dengan tanpa pemupukan, maka berarti bahwa perlakuan kombinasi pupuk (50% N RDF + 50% N vermikompos) menghasilkan peningkatan produksi jerami dan hasil gabah masing-masing sebanyak 80,01 % dan 40,51 %, sedangkan bila dibandingkan dengan perlakuan kombinasi pupuk (75% RD NPK + 25% vermikompos) dapat meningkatkan produksi dan hasil gabah masing-masing sebesar 53,27 % dan 29,29 %.

Varietas unggul yang umumnya menghasilkan 5 t/ha gabah, umumnya dapat mengangkut hara tanah sekitar 110 kg N, 34 kg P2O5, 156 kg K2O, 23 kg MgO, 20 kg CaO, 5 kg S, 2 kg Fe, 2kg Mn, 200 g Zn, 150 g Cu, 150 g B, 250 kg Si and 25 kg Cl per ha (Pillai, 1985) . Pemindahan terutama Si dan K2O sangat besar jika malai dan jerami diangkut dari lahan pada saat panen. Namun, jika hanya gabah yang dipanen dan jerami dibenamkan kedalam tanah, pengangkutan Si dan K2O dapat dikurangi, meskipun N dan P2O5 masih tetap diangkut. Hasil penghitungan Datta (1989) di Filipina menunjukkan bahwa varietas padi IR 36 mengangkut lebih banyak unsur K dan N (unsur makro) serta Fe dan Mn (unsur mikro) dibandingkan unsur lainnya (Datta, 1989).

(23)

15 BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di sentra pengembangan komoditas tanaman padi dengan sistem pertanian organik dan pertanian konvensional di Subak Wangaya Betan, Penebel, Tabanan. Secara geografis Subak Wangaya Betan berada pada daerah dataran tinggi dengan ketinggian sekitar 617 m di atas permukaan laut, sehingga lahan sawah secara makro bertopografi miring yang membujur dari arah utara ke selatan. Daerah ini memiliki iklim tropis dengan dua musim, yakni musim hujan (Oktober – Maret) dan musim kemarau (April – September).

Curah hujan berkisar dari 2000 – 3000 mm per tahun dengan curah hujan rata- rata 2349 mm per tahun. Suhu berkisar dari 22 – 30 0C dengan suhu rata-rata 24,5 0C. Jenis tanahnya pada katagori ordo termasuk Inceptisol, sub ordo : Aquepts, great group : Epiaquepts, sub group : Typic epiaquepts, family : Typic epiaquepts berlempung halus, campuran, isohipertermik. Secara aktual kelas kesesuaian lahan tergolong sesuai marginal (S3) dengan faktor pembatas hara tersedia (n). Komponen hara tersedia (n) yang menjadi pembatas adalah P- tersedia dalam tanah tergolong sedang (20,32 ppm).

Penelitian dilaksanakan membutuhkan waktu selama 3 (tiga) bulan.

Waktu tersebut diperlukan untuk pengamatan pertumbuhan kayu apu (Pistia stratiotes L.), pertumbuhan dan hasil tanaman padi varietas lokal merah, analisis data dan pembuatan laporan.

(24)

16 3.2 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian meliputi :

(1) Pengamatan pertumbuhan kayu apu dilakukan pada sistem pertanian organik dan pertanian konvensional. Pertumbuhan kayu apu (Pistia stratiotes L.) diamati dengan cara mengukur luas penutupan lahan yang ditumbuhi kayu apu. Luas penutupan lahan sawah oleh kayu apu dihitung dalam persentase penutupan lahan. Adapun luas penutupan lahan oleh kayu apu pada sistem pertanian organik dan pertanian konvensional pada umur tanaman 10 hari setelah tanam (HST).

(2) Pengamatan dan pengambilan sampel pertumbuhan dan hasil padi pada :

a. Sistem pertanian organik.

b. Sistem pertanian konvensional, dengan dosis pemupukan :

 Tanpa pupuk kompos dan tanpa pupuk ponska (O0K0)

 Tanpa pupuk kompos + 75 kg ponska/ha (O0K4)

 Dengan 625 kg pupuk kompos/ha (O4K0)

 Dengan 1250 kg pupuk kompos/ha + 300 kg ponska/ha (O3K1)

 Dengan 1875 kg pupuk kompos/ha + 225 kg ponska/ha (O2K2)

 Dengan 2500 kg pupuk kompos/ha + 150 kg ponska/ha (O1K3)

(25)

17 3.3 Bahan dan Alat Penelitian

Untuk penelitian ini digunakan alat-alat pengambil sampel tanaman seperti sabit, kantong plastik, karung plastik, meteran dan timbangan. Sabit digunakan untuk memanen, karung plastic untuk menampung sampel, meteran untuk mengukur luasan sampel yang diambil, sedangkan timbangan untuk menimbang berat jerami dan bulir padi.

3.4 Analisis Data

Karena pengambilan sampel yang dilakukan pada masing-masing perlakuan pemupukan pada pertanian konvensional hanya 2 kali, maka tidak cukup untuk dilakukan analisi statistik. Dari hasil pengamatan tersebut kemudian hasilnya dirata-rata. Oleh karena itu data hasil pengamatan dianalisis secara deskriptif kuantitatif, kemudian dilakukan perbandingan antara hasil yang didapat pada pertanian konvensional dengan hasil yang didapat pada sistem pertanian pertanian organik.

(26)

18

BAB IV

HASIL PENELITIAN

Parameter yang diamati dalam penelitian ini meliputi: pengamatan pertumbuhan kayu apu (Pistia stratiotes L.) dan pertumbuhan tanaman padi pada sistem pertanian organik dan pertanian konvensional.

4.1 Pertumbuhan Kayu Apu (Pistia stratiotes L.)

Pada sistem pertanian organik pertumbuhan tanaman kayu apu (Pistia stratiotes L.) sangat baik dengan persentase penutupan mencapai 90 – 95 %, sedangkan pada sistem pertanian konvensional hampir tidak ada pertumbuhan tanaman kayu apu. Adapun pertumbuhan kayu apu pada sistem pertanian organik dan konvensional disajikan pada Gambar 4.1, 4.2, 4.3 dan 4.4.

Gambar 4.1 Pertumbuhan (penutupan) kayu apu (Pistia stratiotes L.) pada sistem pertanian organik ulangan I

(27)

19

Gambar 4.2 Pertumbuhan (penutupan) kayu apu (Pistia stratiotes L.) pada sistem pertanian organik ulangan II

Gambar 4.3 Pertumbuhan (penutupan) kayu apu (Pistia stratiotes L.) pada sistem pertanian konvensional ulangan I

(28)

20

Gambar 4.4 Pertumbuhan (penutupan) kayu apu (Pistia stratiotes L.) pada

sistem pertanian konvensional ulangan II 4.2 Pertumbuhan Padi Varietas Local Merah

Pertumbuhan padi Varietas Lokal Merah diukur dari bagian vegetative tanaman padi, yaitu berat jerami per rumpun dan berta akar per rumpun. Berat kering jerami per rumpun pada sistem pertanian organik dan masing-masing perlakuan pemupukan pada sistem pertanian konvensional disajikan pada Tabel 4.1 dan 4.2. Pertumbuhan tanaman padi secara visual, baik pada sistem pertanian organik maupun pertanian konvensional disajikan pada Gambar 4.1, 4.2, 4.3, 4.4, 4.5, 4.6, 4.7 dan 4.8.

Tabel 4.1

Berat kering akar dan jerami padi pada sistem pertanian organik No. Sampel pada pertanian organik

Berat rata-rata per rumpun (gram)

Akar Jerami 1. Pertanian organik 4 tahun ulangan I 9,08 138,43 2 Pertanian organik 4 tahun ulangan II 10,64 147,36

(29)

21 Tabel 4.2

Berat kering akar dan jerami padi pada sistem pertanian konvensional

No. Kode / perlakuan pemupukan (kompos + ponska) kg/ha

Berat rata-rata per rumpun (gram)

Akar Jerami

1. O0K0 = tanpa pupuk 5,06 53,95

2. O4K0 = 0 kompos +75 ponska 7,04 71,85 3. O3K1 = 625 kompos + 0 ponska 9,61 90,11 4. O2K2 = 1250 kompos + 300 ponska 10,08 105,39 5. O1K3 = 1875 kompos + 225 ponska 9,63 97,20 6. O0K4 = 2500 kompos + 150 ponska 8,57 90,59

Gambar 4.1

Perbandingan visual pertumbuhan vegetatif maksimal tanaman padi pada sistem pertanian organik 4 tahun dan pertanian konvensional (tanpa pupuk dan dengan

pupuk 0 kompos + 75 kg ha-1 ponska)

(30)

22

Gambar 4.2

Perbandingan visual pertumbuhan vegetatif maksimal tanaman padi pada sistem pertanian organik 4 tahun dan pertanian konvensional (tanpa pupuk dan dengan

pupuk 2500 kg ha-1 kompos + 150 kg ha-1 ponska)

Gambar 4.3

Perbandingan visual pertumbuhan vegetatif maksimal tanaman padi pada sistem pertanian organik 4 tahun dan pertanian konvensional (tanpa pupuk dan dengan

pupuk 1250 kg ha-1 kompos + 300 kg ha-1 ponska)

(31)

23

Gambar 4.4

Perbandingan visual pertumbuhan vegetatif maksimal tanaman padi pada sistem pertanian organik 4 tahun dan pertanian konvensional (tanpa pupuk dan dengan

berbagai kombinasi puouk kompos + ponska)

Gambar 4.5

Kenampakan visual fase pertumbuhan generatif tanaman padi pada umur 128 HST sistem pertanian organik 4 tahun

(32)

24 Gambar 4.6

Kenampakan visual fase pertumbuhan generatif tanaman padi pada umur 128 HST sistem pertanian konvensional

Gambar 4.7

Kenampakan visual fase pertumbuhan generatif tanaman padi pada umur 154 HST (saat panen) sistem pertanian organik

(33)

25

Gambar 4.8

Kenampakan visual fase pertumbuhan generatif tanaman padi pada umur 154 HST (saat panen) sistem pertanian konvensional 4.3 Hasil Padi Varietas local Merah

Hasil pengamatan terhadap hasil padi varietas merah, dihitung berat kering bulir padi pada kadar air 12 %. Pengamatan dilakukan pada kedua jenis sistem pertanian organik dan konvensional. Berat kering bulir gabah padi pada sistem pertanian organik dan masing-masing perlakuan pemupukan pada sistem pertanian konvensional disajikan pada Tabel 4.3 dan 4.4.

Tabel 4.3

Berat kering bulir gabah padi pada sistem pertanian organik

No. Sampel pada pertanian organik

Berat rata-rata per hektar (ton ha-1)

1. Pertanian organik 4 tahun ulangan I 7,376 2 Pertanian organik 4 tahun ulangan II 7,845

(34)

26 Tabel 4.2

Berat kering bulir gabah padi pada sistem pertanian konvensional

No. Kode / perlakuan pemupukan (kompos + ponska) kg/ha

Berat rata-rata per hektar (ton ha-1)

1. O0K0 = tanpa pupuk 4,078

2. O4K0 = 0 kompos + 75 ponska 4,092 3. O3K1 = 625 kompos + 0 ponska 6,252 4. O2K2 = 1250 kompos + 300 ponska 6,440 5. O1K3 = 1875 kompos + 225 ponska 5,752 6. O0K4 = 25000 kompos + 150 ponska 5,010

Hasil tanaman padi pada sistem pertanian organik dan konvensional secara visual disajikan pada Gambar 4.9, 4.10, 4.11, 4.12, dan 4.13.

Gambar 4.9

Perbandingan visual hasil padi pada pertanian organik dan pertanian konvensional (tanpa pepumpukan)

(35)

27

Gambar 4.10

Perbandingan visual hasil padi pada pertanian organik dan pertanian konvensional (2500 kg ha-1 kompos + 150 kg ha-1 ponska)

Gambar 4.11

Perbandingan visual hasil padi pada pertanian organik dan pertanian konvensional ( 1875 kg ha-1 kompos + 225 kg ha-1 ponska)

(36)

28 Gambar 4.12

Perbandingan visual hasil padi pada pertanian organik dan pertanian konvensional ( tanpa pupuk dan 625 kg ha-1 kompos + 0 kg ha-1 ponska)

Gambar 4.13

Perbandingan visual hasil padi pada pertanian organik dan pertanian konvensional ( tanpa pupuk dan berbagai kombinasi kompos + ponska)

(37)

29 BAB V PEMBAHASAN

Pertumbuhan tanaman air kayu apu (Pistia Stratiotes L.) pada sistem perttanian organik dapat mencapai penutupan lahan antara 90 – 95 %, sedangkan pada sistem pertanian konvensional hampir tidak ada pertumbuhan kayu apu (Gambar 4.1 dan 4.2). Hal ini menunjukkan bahwa kondisi lahan pertanian organik lebih baik untuk media pertumbuhan kayu apu yang kemungkinan disebabkan oleh kandungan bahan organik mapun unsur hara lainnya lebih baik daripada pertanian konvensional. Dengan pertumbuhan tanaman kayu apu yang mencapai penutupan sampai 90 -95 % merupakan suatu indikasi bahwa tingkat kesuburan tanah akan semakin baik, karena setelah mencapai umur tertentu tanaman tersebut akan mati dan kembali ke tanah sebagai sumber bahan organik. Selain itu tanaman kayu apu merupakan salah satu tanaman air yang mampu berfungsi sebagai fitorimediasi, sehingga akan dapat memperbaiki kualitas air maupun tanah dari pencemaran. Secara fisiologis tumbuhan kayu apu (Pistia stratiotes L.) memiliki kemampuan untuk menyerap bahan radioaktif sehingga dapat digunakan untuk mengurangi limbah akibat pencemaran radioaktif di lingkungan karena kemampuannya tersebut, maka tumbuhan ini dapat digunakan sebagai fitoremidiasi. Bahan radioaktif tersebut diserap oleh akar, kemudian mengalami translokasi di dalam tumbuhan dan dilokasikan padan jaringan.

Menurut Ulfin (2001) kayu apu mengandung fitokelatin yaitu suatu protein yang terdiri dari atom belerang pada sistein yang berfungsi untuk

(38)

30

mengikat logam berat selanjutnya bila logam berat masuk ke dalam tanaman, maka akan dikelat oleh suatu protein yang ada dalam akar kemudian disimpan sebagian ke daun. Umumnya tanaman ini tahan terhadap unsur hara yang sangat rendah dalam air tetapi responnya terhadap kadar hara yang tinggi juga sangatlah besar. Kayu apu mampu menyerap logam berat seperti Pb dan Cd pada insudtri batik dengan waktu 12 hari (Kao et al., 2001) dan Cr di atas 2 mg/kg setelah 1 minggu (Zayed and Terry, 2003).

Selanjutnya pertumbuhan padi yang dicerminkan oleh berat akar dan jerami pada sistem pertanian organik secara umum lebih baik daripada pertanian konvensional. Berat rata-rata akar padi per rumpun pada pertanian organik dapat mencapai 9,86 gram/rumpun, dan berat jerami dapat mencapai 143,89 gram/rumpun. Berat jerami per rumpun pada pertanian konvensional tertinggi dicapai pada kombinasi pemupukan 1250 kg ha-1 kompos + 300 kg ha-1 ponska yang dapat mencapai 105,39 gram/rumpun. Jika dibandingkan dengan berat jerami pada sistem pertanian organik, maka terdapat peningkatan sebesar 35,58 %. Selanjutnya bila dilihat dari kombinasi penggunaan pupuk pada pertanian konvensional, maka ternyata penggunaan kombinasi pupuk 1250 kg ha-1 kompos + 300 kg ha-1 ponska memberikan perumbuhan akar dan jerami terbaik. Masing-masing mencapai 10,08 gram/rumpun dan 105,39 gram/rumpun, terdapat peningkatan berturut-turut sebesar 99,20 % dan 95,34 % dibandingkan dengan tanapa pupuk yang hanya mencapai 5,06 gram/rumpun dan 53,05 gram/rumpun. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat dinyatakan

(39)

31

bahwa sangat diperukan kombinasi pupuk organik dan organik dalam rangka meningkatkan produksi tanaman padi.

Hasil padi yang dicerminkan oleh berat kering bulir gabah, ternyata hasil gabah kering pada pertania organik lebih tinggi daripada pertanian konvensional. Hasil gabak kering pada pertanian organik sebesar 7,61 ton ha-1, sedangkan pada pertanian konvensional berkisar dari 4,078 ton ha-1 sampai 6,44 ton ha-1 sesuai dengan perlakuan kombinasi pupuk organik dan kimia yang diaplikasikan (Tabel 4.3 dan 4.4). hasil gabah kering tertinggi dicapai pada kombinasi pupuk 1250 kg ha-1 kompos + 300 kg ha-1 ponska yang dapat mencapai 6,44 ton ha-1 atau meningkat sebesar 57,92 % dibandingkan dengan tanpa pemberian pupuk yang hanya mencapai 4,078 ton ha-1.

Berdasarkan hasil penelitian ini kombinasi dosis pupuk 1250 kompos + 300 ponska yang diaplikasikan petani memberikan hasil gabah kering giling tertinggi. Perlakuan kombinasi pupuk(625 kompos + 0 ponska) dan kombinasi pupuk (1250 kompos + 300 ponska) dari dosis pupuk yang diaplikasikan petani in situ memberikan hasil gabah tertinggi, yaitu masing-masing 6,252 ton ha-1 dan 6,440 ton ha-1 yang berturut-turut 57,92% dan 53,31% lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa pupuk (4,078 ton ha-1). Hasil tersebut lebih tinggi sebesar 34,56% dan 36,49% jika dibandingkan perlakuan (25% kompos + 0 % ponska) (4,09 ton ha-1). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perlakuan kombinasi pupuk dosis pupuk yang diaplikasikan petani in situ (2500 kg ha-1

(40)

32

kompos dan 300 kg ha-1 ponska) memberikan hasil gabah tertinggi, yaitu masing-masing 6,25 dan 6,44 ton ha-1.

Data tersebut menunjukkan bahwa walaupun diberikan pupuk organik 100% dari dosis yang biasa diaplikasikan oleh petani pada daerah tersebut (2500 kg ha-1), jika tanpa pupuk anorganik (ponska), hasil gabah kering giling masih rendah terutama jika pupuk organik belum cukup lama diberikan (±158 hari). Efek positif dari pemberian pupuk organik 100% dalam meningkatkan hasil gabah mungkin baru dapat dilihat setelah lebih dari tiga tahun pemberian pupuk tersebut.

Oleh karena itu untuk memperoleh hasil gabah kering giling yang tinggi dalam waktu yang relatif singkat, maka akan lebih baik memilih menggunakan kombinasi pupuk (1250 kg ha-1 pupuk kompos + 300 kg ha-1 pupuk ponska), karena mengurangi penggunaan pupuk kimia dengan peningkatan penambahan pupuk organik untuk meningkatkan simpanan C-organik tanah dan memperbaiki kualitas tanah dalam jangka waktu yang lebih dari 4 tahun dapat tercapai.

(41)

33 BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini kesimpulan yang dapat ditarik adalah sebagai berikut:

1. Pertumbuhan kayu apu (Pistia stratiotes L.) jauh lebih baik pada sistem pertanian organik yang mencapai tutupan lahan berkisar 90 -95 % daripada pertanian konvensional yang hampir tidak terdapat kayu apu.

2. Pertumbuhan padi terbaik pada sistem pertanian konvensional dicapai pada kombinasi pemupukan 1250 kg ha-1 kompos + 300 kg ha-1 ponska yang dapat mencapai berat kering akar 10,08 gram/rumpun dan berat kering jerami 105,39 gram/rumpu.

3. Berat kering gabah lebih tinggi pada sistem pertanian organik dengan aplikasi 4 tahun sebesar 7,61 ton ha-1 dari pada sistem pertanian konvensional dengaan kisaran 4,078 ton ha-1 sampai 6,44 ton ha-1 sesuai dengan kombinasi pemupukan kompos dan ponska.

6.2. Saran

Dari hasil penelitian ini dapat disarankan bahwa perlu dilakukan pemupukan secara kombinasi antara pupuk organik dan anorganik untuk mencapai hasil padi yang tinggi dan pelestarian pertanian berkelanjutan.

(42)

34

DAFTAR PUSTAKA

Cong Tu, Frank, J.L., Nancy, G., Creamer, J., Mueller, P., Brownie, C., Fger, K., Melissa, B., and Shuijin, H. 2006. Responses of Soil Microbial Biomass and N Availability to Transition Strategies from Conventional to Organic Farming Systems. Agriculture, Ecosystems and Environment, 113:206-215.

Crews, T.E. and M.B. Peoples. 2004. Legume versus fertilizer sources of nitrogen:

Ecological tradeoffs and human needs. Agriculture Ecosystems & Environment 102:279-297.

Dekhane, S.S., D.J. Patel, P.B. Jadhav, A. Kireeti, N.B. Patil, and K.P. Jadhav.

2014. Effect of Organic and Inorganic Fertilizer on Growth and Yield of Paddy CV GR 11. International Journal of Information Researh and Review, 1(2):026-028.

Fraser, E.D.G., W. Mabee and F. Figge. 2005. A framework for assessing the vulnerability of food systems to future shocks. Futures 37:465-479.

Goetz, R.U. and D. Zilberman. 2000. The dynamics of spatial pollution: The case of phosphorus runoff from agricultural land. Journal of Economic Dynamics & Control 24:143-163.

Irsal, L., K. Subagyono, dan A.P. Setiyanto. 2006. Isu dan Pengelolaan Lingkungan dalam Revitalisasi Pertanian. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Petanian 25(3) : 173-193.

Kao, C.M., J.Y. Wang, H.Y. Lee, and C.K. Wen. 2001. Appl icat ion of a constructed wetland for non-point source pollution control. Journal Water Science & Technology 44(11-12): 585-590.

Lotter, D.W., Seidel, R., and Liebhart, W. 2003. The performance of organic and conventional cropping systems in an extreme climate year. American Journal of Alternative Agriculture 18 (3):146-154.

Maulana M. 2004. Peranan luas lahan, intensitas pertanian dan produktivitas lahan sawah sebagai sumber pertumbuhan padi sawah di Indonesia.

Jurnal Agro Ekonom, 22 (1) : 74-95.

Pimentel, D., P. Hepperly, J. Hanson, D. Douds and R. Seidel. 2005. Environmental, energetic, and economic comparisons of organic and conventional farming systems. BioScience 55:573-582.

(43)

35

Rochayati, Sri. 2011. Analisis Komparatif Sistem Pertanian Konvensional, PTT dan SRI di Lahan Sawah Irigasi Jawa Barat terhadap Keseimbangan Hara, Dinamika Biologi, Efisiensi Pupuk (>30%) dan Nilai Ekonomi Usahatani.

Balai Penelitian Tanah.

Scow, K.M., Somasco, O., Gunapala, N., Lau, S., Venette, R., Ferris, H., Miller, R., and Sennan, C. 1994. Transition from Conventional to Low-Input Agriculture Changes Soil Fertility and Biology. California Agriculutre, 48(5): 20-26.

Seufert, V., Ramankutty, V., and Foley, J.A. 2012. Comparing the yields of organic and conventional agriculture. Nature 48(5): 229-232.

Steven, R.T., Somasco, O.A., Mary, K., Friedman, D. 1994. Conventional Low-Input and Organic Farming Systems Compared. California agriculture, 48 (5):14-19.

Ulfin, I. 2001. Penyerapan Logam Berat Timbal dan Cadmium dalam Larutan oleh Kayu Apu (Pistia stratiotes, L). Kappa Jurnal Sains.

Zayed, A. and N. Terry. 2003. Chromium In The Environment : Factors affecting.

Gambar

Gambar 4.1 Pertumbuhan (penutupan) kayu apu (Pistia stratiotes L.) pada  sistem pertanian organik ulangan I
Gambar 4.2  Pertumbuhan (penutupan) kayu apu (Pistia stratiotes L.) pada  sistem pertanian organik  ulangan II

Referensi

Dokumen terkait

Tidak memiliki dukungan dana yang memadai, pemerintah Desa Grobogan tidak akan mampu membayai program-program pembangunan desa sesuai esensi masalah dan prioritas

Walau berbagai upaya telah dilakukan untuk menyajikan data dan/atau informasi seakurat mungkin, tim KKS Pengabdian UNG tidak bertanggung jawab atas segala kesalahan

menggambarkan tentang latar tempat di Masjid Pesantren Al Furqan. Saat azan berkumandang, Syamsul keluar dari kamar tempat ia istirahat. Ia ingin merasakan shalat berjamaah. Masjid

Penelitian yang dilakukan oleh yulianti (2004) misalnya, menemukan bukti empiris bahwa beban pajak tangguhan memiliki hubungan positif signifikan dengan probabilitas

** Daftar ** Daftar Puskesmas dan - Tenaga Perorangan (tenaga kesehatan dan (**minimal 60% dari pendapatan jaringannya Nominatif Nominatif jaringannya Kesehatan.

Sebagaimana watak Cempaka yang tidak mempunyai sebarang kekurangan dari aspek mendapatkan pakaian yang sempurna dalam novel Trilogi Cinta , keperluan mendapatkan pakaian

Upaya Dinas Kesehatan (Farmakmin) dalam memberantas kosmetik berbahaya teregister BPOM khususnya krim wajah telah dilakukan dengan cara mengundang para masyarakat

2010, kandungan metabolit sekunder yang terdapat dalam daun belimbing wuluh adalah saponin, tanin, alkaloid, dan flavonoid, yang merupakan senyawa aktif dalam tanaman dan