• Tidak ada hasil yang ditemukan

Volume XV, No.9 September 2021 ISSN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Volume XV, No.9 September 2021 ISSN"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

Sosial

Memantau Perkembangan Kabupaten/Kota Layak Anak 

Hukum

Integrasi RUU PDP dengan Rancangan Revisi UU ITE 

Ekonomi

Membicarakan Utang (Kembali)

Menakar Sanksi Pelanggaran Etik Pimpinan KPK 

Laporan Utama:

Urgensi Menghidupkan Kembali Haluan Negara

Pro Kontra Pembelajaran Tatap Muka 

Politik

Melihat Polemik Masa Jabatan Presiden Tiga Periode 

Stop Perkawinan Anak: Jangan Lagi Korbankan Masa Depan Mereka 

Tinjauan Bulanan Ekonomi, Hukum, Keamanan, Politik, dan Sosial

Volume XV, No.9 – September 2021

ISSN 1979-1984

(2)

KATA PENGANTAR ...

1

LAPORAN UTAMA

Urgensi Menghidupkan Kembali Haluan Negara

3

EKONOMI Membicarakan Utang (Kembali) ...

11

HUKUM Integrasi RUU PDP dengan Rancangan Revisi UU ITE ...

15

Menakar Sanksi Pelanggaran Etik Pimpinan KPK ...

19

POLITIK Melihat Polemik Masa Jabatan Presiden Tiga Periode ...

23

SOSIAL Memantau Perkembangan Kabupaten/Kota Layak Anak ...

27

Pro Kontra Pembelajaran Tatap Muka ...

32

PROFIL INSTITUSI ...

36

PROGRAM RISET ...

38

SURVEI BIDANG POLITIK ...

42

EVALUASI KEGIATAN ...

43

DISKUSI PUBLIK ...

44

FASILITASI DAN ADVOKASI ...

45

DAFTAR ISI

ISSN 1979-1984

(3)

KATA PENGANTAR

Update Indonesia edisi September 2021 mengangkat laporan utama mengenai rencana Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk menghidupkan kembali haluan negara yang kini bernama Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Hal ini tentunya menjadi kemunduran, dimana Indonesia pernah menjalankan pola pembangunan berjangka melalui GBHN yang dibentuk oleh MPR. Dan dalam sejarahnya, GBHN dapat dijadikan alasan untuk memakzulkan presiden. Dengan begitu, maka peluang pengulangan sejarah melalui pemakzulan Presiden besar kemungkinan bisa terjadi lagi.

Di bidang ekonomi, Update Indonesia membahas tentang defisit anggaran dan membengkaknya utang pemerintah. Dalam hal ini, stimulus yang telah diberikan dan pembayaran utang, serta tambahan beban bagi wajib pajak adalah beberapa konsekuensi yang harus ditanggung. Negara-negara juga harus siap menambal sulam anggaran belanjanya.

Di bidang hukum, Update Indonesia mengangkat tentang RUU Perlindungan Data Pribadi (PDP) yang seharusnya mampu memberikan perlindungan terhadap data pribadi masyarakat, dan bukannya berubah menjadi alat pemenjaraan seperti yang terjadi akibat pasal multitafsir dalam UU ITE. Selanjutnya, kami membahas tentang sanksi pelanggaran etik terhadap pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Di bidang politik, Update Indonesia mengangkat tentang wacana mengubah masa jabatan presiden menjadi tiga periode. Padahal di Pasal 7 Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dinyatakan bahwa presiden dan wakil presiden hanya dapat menjabat maksimal dua periode. Hal ini tentunya menjadi perbincangan publik yang hangat.

Di bidang sosial, Update Indonesia mengangkat tentang pemenuhan hak-hak anak. Hal tersebut salah satunya dilakukan dengan mewujudkan lingkungan yang layak anak. Selanjutnya, kami membahas tentang keputusan pemerintah untuk melakukan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) di masa pandemi yang menimbulkan berbagai pro dan kontra di masyarakat. Publikasi bulanan Update Indonesia dengan tema-tema aktual diharapkan dapat membantu para pembuat kebijakan di lembaga pemerintah maupun bisnis – juga kalangan akademik, think tank, dan elemen masyarakat sipil, baik dalam maupun luar negeri, untuk mendapatkan informasi aktual

(4)

dan analisis kontekstual tentang kondisi ekonomi, politik, sosial, maupun hukum di Indonesia, serta pemahaman tentang kebijakan publik di Indonesia.

(5)

Urgensi Menghidupkan Kembali Haluan Negara

Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI), Bambang Soesatyo, secara terang-terangan menyatakan keinginannya untuk menghidupkan kembali haluan negara yang kini bernama Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Bambang Soesatyo menyatakan hal tersebut dalam sidang tahunan MPR pada 16 Agustus 2021. Menurut Bambang Soesatyo perlu perubahan terbatas terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), khususnya penambahan wewenang MPR untuk menetapkan PPHN (cnnindonesia.com, 23/08/2021).

Partai politik di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pun ikut menyoroti wacana menghidupkan kembali haluan negara ini. Seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) melalui ketua fraksi, Ahmad Basarah, menyatakan bahwa PDIP hanya ingin melakukan amendemen terbatas UUD 1945, yaitu pada perubahan kewenangan MPR untuk menetapkan PPHN. Partai Gerindra pun melalui Ahmad Muzani juga menyetujui menghidupkan kembali haluan negara. Menurutnya, PPHN merupakan suatu cara agar terjadi keberlanjutan pembangunan dari satu pemerintah ke pemerintahan lainnya. Selain itu, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) juga membuka jalan untuk adanya amendemen UUD 1945. Namun, Arsul Sani yang merupakan Wakil Ketua MPR mengatakan bahwa perlu untuk membuka lebar setiap prosesnya (Medcom.id, 28/08/2021).

Berbeda dengan sikap kedua partai yang telah menyetujui amendemen UUD 1945, beberapa partai politik justru menolak wacana tersebut. Seperti partai Nasdem melalui Sekretaris Fraksinya Syarief Alkadrie mengatakan bahwa PPHN sebaiknya dimasukan ke dalam undang-undang saja sehingga tidak perlu mengamendemen UUD 1945. Sikap dan pernyataan yang sama juga ditunjukan oleh Partai Demokrat melalui wakil ketua MPR Syarief Hassan. Selain itu, ketua DPP Partai Amanan Nasional (PAN),

Laporan Utama

(6)

Saleh Partaonan Daulay, meminta sebaiknya wacana amendemen UUD 1945 untuk ditunda (Medcom.id, 28/08/2021).

Ada pula partai yang masih ragu-ragu dalam bersikap. Seperti partai Golkar melalui ketua fraksinya, Idris Leana, yang menyatakan bahwa partai Golkar sangat berhati-hati dalam menyikapi isu amendemen UUD 1945. Golkar memandang bahwa isu ini sangat sensitif dan dapat disusupi oleh kepentingan suatu kelompok. PKB juga memiliki pandangan yang sama, yaitu masih belum menentukan sikap terkait amendemen UUD 1945 (Medcom.id, 28/08/2021).

Kehati-hatian partai politik dalam bersikap dinilai wajar. Sebab, jika salah langkah tentu akan berdampak fatal mengingat partai politik saat ini sudah mulai memanaskan mesin politiknya jelang pemilu 2024. Apalagi, amendemen UUD 1945 sering kali dikaitkan dengan wacana tiga periode presiden. Untuk itu, penting untuk melihat kembali seberapa urgensinya dilakukan amendemen UUD 1945 sebagai upaya dalam menghidupkan kembali haluan negara.

Dari GBHN Menjadi RPJPN

Sebelum ada istilah PPHN, Indonesia lebih mengenal istilah GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara). Dalam sejarahnya, meskipun dalam Pasal 3 UUD 1945 (sebelum amendemen) telah diterangkan adanya GBHN yang ditetapkan oleh MPR, pada kenyataannya sampai tahun 1960 dokumen GBHN tidak pernah dibuat dan ditetapkan karena MPR belum terbentuk. Barulah pada tahun 1960, Dokumen GBHN pertama kali ditetapkan oleh Presiden Soekarno melalui Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 1960 tentang Garis-Garis Besar daripada Haluan Negara. Perpres ini kemudian diperkuat lagi melalui Tap MPRS No. I/MPRS/1960 tanggal 19 November 1960 tentang “Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai Garis-garis Besar daripada Haluan Negara” (Subkhan, 2014).

Saat kejatuhan orde lama pimpinan Presiden Soekarno, Indonesia saat itu sedang berada di masa krisis. Presiden Soeharto dengan dibantu oleh para ekonom mulai menyusun berbagai strategi rencana pembangunan untuk memulihkan kondisi ekonomi. Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presidium Kabinet Nomor 15/ EK/IN/1967 yang menugaskan Bappenas untuk membuat rencana pemulihan ekonomi. Badan Perencanaan Nasional (Bappenas) kemudian menghasilkan dokumen yang dinamakan Rencana Pembangunan Lima Tahun I (Repelita I), untuk kurun waktu tahun

Laporan Utama

(7)

1969 sampai dengan tahun 1973. Era Repelita telah berlangsung sampai dengan Repelita ke VI yang berakhir pada tahun 1998. Proses perencanaan pada era Repelita selalu didasarkan kepada GBHN yang dihasilkan oleh MPR yang bersidang lima tahun sekali (Subkhan, 2014).

Pasca kejatuhan Orde Baru, sempat terjadi kevakuman pelaksanaan pembangunan karena adanya proses transisi politik tahun 1998-1999. Dalam GBHN yang ditetapkan oleh MPR tahun 1998, semestinya pada tahun tersebut Indonesia sudah memasuki Repelita VII. Namun krisis ekonomi yang dialami Indonesia membuat rencana pembangunan yang telah disusun sejak masa awal Orde Baru terhenti. Presiden Habibie yang memerintah dalam waktu singkat lebih memfokuskan pada pemulihan ekonomi dengan mengimplementasikan paket kebijakan reformasi ekonomi yang disyaratkan oleh IMF MPR RI hasil pemilu 1999 masih menghasilkan dokumen GBHN yang merupakan GBHN penghabisan dalam sejarah Indonesia melalui Tap MPR Nomor IV/MPR/1999 Tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999 – 2004 (Subkhan, 2014).

Sampai akhirnya, GBHN dihapuskan berdasarkan amendemen ketiga pada tahun 2001. Sepanjang sejarahnya, UUD 1945 telah mengalami empat kali amendemen dari tahun 1999 hingga 2002. Amendemen pertama UUD 1945 dilakukan dalam sidang umum MPR 14-21 Oktober 1999 dan mengubah 9 pasal. Amendemen Kedua UUD 1945 dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR pada 7-18 Agustus 2000 meliputi lima Bab dan 25 Pasal. Adapun Amendemen UUD 1945 ketiga dalam Sidang Tahunan MPR 1-9 November 2001 mencakup beberapa pasal dan bab mengenai Bentuk dan Kedaulatan Negara, Kewenangan MPR, Kepresidenan, Impeachment, Keuangan Negara, Kekuasaan Kehakiman, dan lainnya. Terakhir, Amendemen UUD 1945 keempat yang dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR 1-11 Agustus 2002 menyempurnakan penyesuaian untuk perubahan-perubahan sebelumnya termasuk penghapusan atau penambahan pasal atau bab (tirto.id, 1/12/2020).

Theo L. Sambuaga dari Golkar pada sidang MPR tanggal 5 Juli 2001 menyampaikan pandangannya terkait perlunya penghapusan GBHN. Menurutnya, ketika presiden dipilih langusng oleh rakyat, maka janji-janji, program, dan komitmen presiden itulah yang akan menjadi program pemerintah. Sehingga, MPR tidak perlu lagi membuat dan menetapkan GBHN (Subkhan, 2014). Artinya, alasan

Laporan Utama

(8)

Laporan Utama

untuk menghapuskan GBHN memiliki korelasi dengan perubahan ketentuan pemilihan presiden, dimana presiden dan wakil presiden yang semula dipilih oleh MPR dan kini dipilih langsung oleh rakyat. Setelah GBHN dihapuskan, maka dokumen yang menggantikan GBHN adalah dokumen Rencana Pembanganan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 yang ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007. Pembuatan dokumen ini bertujuan untuk memberikan arah sekaligus menjadi acuan bagi seluruh komponen bangsa (pemerintah, masyarakat dan dunia usaha) dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional sesuai dengan visi, misi, dan arah pembangunan yang disepakati bersama sehingga seluruh upaya yang dilakukan bersifat sinergis, koordinatif dan saling melengkapi satu dengan lainnya. RPJPN kemudian diturunkan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan rencana pembangunan tahunan yang disebut Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Dokumen ini yang menjadi dasar penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) (Subkhan, 2014).

Kini, MPR RI sedang mewacanakan untuk menghidupkan kembali haluan negara yang diberi nama PPHN. Menurut Bambang Soesatyo, Ketua MPR RI, bahwa PPHN akan menjadi payung ideologi dan konstitusional atas pembangunan negara. PPHN akan menjadi arah pembangunan dalam jangka 25 hingga 50 tahun mendatang, sedangkan RPJPN dan RPJMN akan menjawab terkait apa yang harus dilakukan negara untuk mencapai tujuan pembangunan nasional (MPR.go.id, 20/01/2021).

Terkait isu menghidupkan kembali haluan negara, Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) telah membuat survei yang dilakukan pada 21-28 Mei 2021. Hasil survei tersebut mengatakan bahwa 80% responden menilai bahwa negara Indonesia sekarang sedang bergerak ke arah yang benar, sementara 13% menilai bergerak ke arah yang salah dan sisanya menjawab tidak tahu (SMRC, 2021) Selain itu, survei SMRC juga menampilkan fakta bahwa mayoritas responden yaitu 74.7%, lebih setuju pendapat bahwa “Presiden

bekerja sesuai dengan janji-janjinya kepada rakyat pada masa kampanye pemilihan presiden dan harus bertanggung jawab pada rakyat karena presiden dipilih oleh rakyat” dibandingkan dengan

“Presiden bekerja menurut Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN)

(9)

Laporan Utama

itu presiden harus bertanggung jawab pada MPR” yaitu sebanyak

18,4% responden (SMRC, 2021).

Dari kedua poin hasil survei SMRC ini, dapat dikatakan bahwa mayoritas publik saat ini menilai tidak perlu untuk menghidupkan kembali haluan negara. Sebab, publik menilai bahwa pembangunan negara sudah berada di jalur yang benar dan publik lebih setuju jika Presiden bekerja sesuai dengan janjinya pada masa kampanye dibandingkan dengan presiden bekerja berdasarkan GBHN.

Memastikan Ibu Kota Baru

Saat ini, asumsi mengapa perlu menghidupkan kembali haluan negara adalah karena tidak adanya pedoman yang jelas dalam hal pembangunan. Namun, hal ini nampaknya tidaklah tepat. Dalam RPJPN, seperti halnya dalam GBHN, dijelaskan arah dan tahapan pembangunan yang ingin dicapai dalam jangka panjang atau 20 tahun mendatang yang kemudian dirinci dalam RPJMN untuk lima tahun dan RKP untuk jangka waktu satu tahun. Masing-masing tahapan dalam lima tahun memiliki sasaran strategisnya. Dari sini dapat dikatakan bahwa menghidupkan kembali haluan negara masih perlu dikaji lebih dalam lagi. Sebab, jika argumennya adalah keberlanjutan pembangunan, maka hal tersebut tidaklah relevan mengingat bahwa Indonesia memiliki RPJPN.

Namun demikian, pelaksanaan RPJPN tidaklah seefektif pelaksanaan GBHN. Hal ini disebabkan karena perubahan sistem politk di Indonesia yang semakin demokratis dan terdesentralisasi. Kepala daerah (Gubernur, Bupati dan Walikota) saat ini dipilih langsung oleh rakyat dan mereka memiliki kewenangan sendiri dalam mengelola daerahnya. Dalam pengelolaan tersebut, seringkali tidak sejalan dengan pemerintah pusat. Selain itu, Pemerintah pusat juga tidak memiliki kontrol yang kuat terhadap pemerintah daerah untuk menjalankan kebijakannya. Bahkan kebijakan pemerintah daerah seringkali berbenturan dengan kebijakan pemerintah pusat (Subkhan, 2014).

Menurut penulis, urgensi dari menghidupkan kembali haluan negara lebih condong ke arah memastikan agar pemerintahan selanjutnya tetap melanjutkan proses pemindahan ibu kota baru. Tanpa adanya PPHN, maka tidak ada jaminan jika pemerintahan selanjutnya akan melanjutkan proyek ibu kota baru. Jika hal ini tidak dilanjutkan, maka akan penjadi proyek mangkrak dan sangat merugikan.

(10)

Laporan Utama

Yang menjadi persoalan sebenarnya adalah jika presiden tidak menjalankan haluan negara. Pada saat presiden dipilih oleh MPR, jika presiden tidak menjalankan GBHN, maka presiden dapat dijatuhkan oleh MPR. Sedangkan saat ini, tidak ada aturan yang jelas jika presiden tidak menjalankan haluan negara. MPR tidak memiliki kekuatan hukum untuk menindak presiden yang kini dipilih langsung oleh rakyat.

Argumen Penolakan Terkait Menghidupkan Kembali Haluan Negara

Mengutip dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) mengatakan bahwa setidaknya ada lima argumen penolakan terhadap penghidupan kembali haluan negara melalui amendemen UUD 1945. Pertama, merusak sistem presidensial di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan kewenangan MPR jika presiden tidak menjalankan haluan negara (PSHK, 2019).

Kedua, melawan arus sejarah. Indonesia pernah menjalankan pola pembangunan berjangka melalui GBHN yang dibentuk oleh MPR. Dan dalam sejarahnya, GBHN dapat dijadikan alasan untuk memakzulkan presiden. Dengan begitu, maka peluang pengulangan sejarah melalui pemakzulan Presiden besar kemungkinan bisa terjadi lagi. Dengan model GBHN, Presiden hanya diposisikan sebagai pelaksana tugas sehingga esensi Presiden sebagai pemegang arah dan komando pembangunan menjadi hilang (PSHK, 2019).

Ketiga, memperburuk kinerja parlemen. Amendemen UUD 1945 menjadi upaya satu-satunya untuk melahirkan kembali haluan negara. Melakukan amendemen UUD 1945 adalah agenda kompleks yang memerlukan waktu panjang dan padat. Sehingga, hal ini akan menyita banyak waktu anggota MPR yang terdiri dari gabungan anggota DPR dan DPD periode 2019-2024. Padahal, peran dan keberadaan DPR diperlukan untuk melaksanakan berbagai fungsinya, yaitu legislasi, pengawasan, dan anggaran. Waktu kerja yang tersita berpotensi memperburuk kinerja DPR, khususnya dalam fungsi legislasi (PSHK, 2019).

Keempat, melawan komitmen arah pembangunan. Sejak GBHN tidak lagi diberlakukan, perencanaan pembangunan di Indonesia adalah berdasarkan RPJPN. RPJPN kemudian didukung oleh serangkaian Rencana RPJMN. Apabila para elite politik memang serius untuk memperbaiki arah pembangunan nasional, maka tidak

(11)

Laporan Utama

perlu menempuh jalur amendemen konstitusi dengan melahirkan kembali haluan negara. Cukup dengan serius mengikuti proses penyusunan RPJMN. Upaya lain yang dapat dilakukan untuk memaksimalkan tenaga dan waktu yang ada adalah dengan melakukan evaluasi terhadap RPJPN yang telah berjalan, dan menjadikan hasil evaluasi tersebut untuk menyusun RPJPN tahap berikutnya (PSHK, 2019).

Kelima, melawan prinsip partisipasi publik dalam pemerintahan. Dinamika melahirkan kembali haluan negara melalui amendemen UUD 1945 yang saat ini terjadi bersifat elitis dan tidak mengakar pada kebutuhan masyarakat (PSHK, 2019).

Pentingnya Membuat Kerangka Hukum dan Aturan yang Jelas

Jika memang haluan negara tetap dihidupkan kembali, maka terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan. Pertama adalah penting untuk mengkaji kembali dampak dari menghidupkan kembali haluan negara. Hal ini mengingat bahwa sebenarnya Indonesia telah memiliki RPJPN. Selain itu, data dari SMRC juga memperlihatkan bahwa mayoritas responden mengatakan bahwa Indonesia sudah berada di jalan yang tepat lebih setuju jika Presiden bekerja sesuai dengan janjinya pada masa kampanye dibandingkan dengan presiden bekerja berdasarkan GBHN.

Kedua, penting untuk membuat kerangka hukum yang efektif. Jika melihat bahwa salah satu permasalahan pembangunan di Indonesia adalah ketidak sinambungan antara pusat dan daerah, maka perlu untuk membuat kerangka hukum yang mensinergikan antara haluan negara dengan pembangunan di daerah.

Ketiga, penting pula untuk membuat aturan yang jelas seandainya presiden tidak menjalankan haluan negara. Sebab, pada masa orde baru MPR masih memiliki kekuatan hukum terhadap presiden karena sistem yang digunakan adalah semi-parlementer. Sedangkan sistem yang digunakan saat ini adalah presidensial. Dengan begitu, jalan satu-satunya jika ingin haluan negara efektif adalah mengembalikan sistem seperti Orde Baru.

Keempat, penting untuk setiap kandidat di pemilihan presiden 2024 mendatang untuk menjadikan isu pembangunan sebagai isu yang kampanyekan, termasuk isu ibu kota baru. Dengan begitu, pemilih

(12)

Laporan Utama

dapat calon presiden mana yang pro dan berkomitmen dalam menlanjutkan pembangunan ibu kota baru dan calon presiden mana yang menolak pembangunan ibu kota baru.

- Ahmad Hidayah - Yang menjadi persoalan adalah bagaimana jika presiden tidak menjalankan haluan negara. Untuk itu, perlu membuat aturan yang jelas terkait hal tersebut.

(13)

Membicarakan Utang (Kembali)

Di tengah pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19), banyak pemerintah di berbagai negara mendapatkan beban ganda berupa penyelesaian uupaya untuk memperbaiki keadaan kesehatan dan juga memulihkan kembali keadaan perekonomian. Topik kesehatan masih berkutat soal penanganan pandemi dan juga distribusi vaksin. Sementara, dari sisi ekonomi, ada satu topik perbincangan yang tidak pernah usang dibicarakan, yaitu mengenai defisit anggaran dan membengkaknya utang pemerintah. Tulisan ini akan lebih banyak menyoroti persoalan ekonomi, khususnya yang dialami pemerintah Indonesia terkait utang.

Kita perlu memahami bahwa kontraksi ekonomi akibat pandemi mengakibatkan penurunan penerimaan pajak hingga 16,88 persen. Sementara, di sisi yang bersamaan, peran pemerintah melalui belanja harus diperbesar guna menyanggah laju perekonomian agar tidak semakin memburuk. Akibatnya, opsi utang tidak dapat terhindarkan guna membiayai belanja negara. Berdasarkan catatan Kementerian Keuangan/Kemenkeu (2021), posisi utang pemerintah per bulan Juli 2021 sudah berada di angka Rp6.570,17 triliun dengan rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 40,51 persen (APBN Kita, 2021). Pada prinsipnya, rasio ini masih dapat ditolerir sebab masih berada di bawah ketentuan Undang Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang mengatur batasan nominal total utang Pemerintah dalam satu periode, yaitu tidak boleh melebihi 60 persen terhadap PDB.

Namun, Pemerintah harus tetap berhati-hati dalam mengelola utangnya terlebih di tengah pandemic, yang membuat pertumbuhan PDB Indonesia dapat merosot sewaktu-waktu. Jika PDB lebih kecil, maka sebagai akibatnya dapat membuat rasio utang terhadap PDB melonjak tajam. Selain itu, konsekuensi nyata yang harus dihadapi adalah adanya beban pembayaran bunga utang akan sangat jelas terasa hingga 10 tahun ke depan (Kuncoro, 2021). Selain itu,

International Monetary Fund/IMF (2021) juga mencatat bahwa

(14)

dalam kondisi skenario paling buruk, ketika pertumbuhan ekonomi, nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS menurun, dan tingkat bunga naik, rasio utang terhadap PDB akan naik mencapai 48,4 persen. Konsekuensi Ekspansi Fiskal dan Membengkaknya Utang Kita sama-sama sepakat dengan Kaleckian Model bahwa kebijakan ekspansi belanja negara memang dapat mendorong perekonomian. Namun, ada harga yang juga harus ditanggung. Sebagaimana yang dikatakan Basri (2021), stimulus dapat diibaratkan nasi Padang di siang hari yang dapat mengisi perut yang kelaparan, namun memiliki implikasi yang kurang baik jika dikonsumsi terus-menerus. Begitu pula dengan ekspansi belanja negara di tengah kemerosotan pendapatan negara, yang dapat menyebabkan defisit anggaran, yang harus ditambal sulam dengan utang.

Pada putaran akhirnya, secara politik, utang melahirkan risiko negara-negara akan menjadi terikat dengan negara debiturnya. Misalnya, Pakistan, sejauh ini adalah negara terbesar yang berisiko tinggi, saat ini memproyeksikan tambahan utang sekitar 62 miliar dollar AS, di mana dilaporkan utang China 80 persen dari jumlah tersebut. Di tambah proyek-proyek BRI yang besar dan suku bunga yang relatif tinggi yang dikenakan oleh China ikut menambah risiko kesulitan utang Pakistan. Kemudian, salah satu negara termiskin di Asia, Tajikistan telah dinilai oleh IMF dan Bank Dunia berada pada “risiko tinggi” terkait kesulitan utang. Meski begitu, negara ini berencana menambah utang luar negeri untuk membiayai investasi infrastruktur di sektor kelistrikan dan transportasi. Utang ke Cina, adalah kreditor tunggal terbesar Tajikistan, yang menyumbang hampir 80 persen dari total peningkatan hutang luar negeri Tajikistan selama periode 2007-2016 (IMF dan Bank Dunia, 2020).

Bagi negara-negara miskin atau berkembang, saat ini posisi utang telah meningkat tajam, khususnya untuk menghadapi COVID-19. Guna menangani persoalan utang yang membengkak, negara-negara yang tergabung dalam G-20 menawarkan dukungan keuangan yang substansial dengan menangguhkan pembayaran utang. Namun, sebagian besar pembiayaan pinjaman baru (meskipun dengan ketentuan konsesi) akan ditambahkan ke neraca ekonomi negara-negara berkembang tersebut dalam jangka menengah. Tidak hanya itu, perlu diingat dalam konteks pandemi COVID-19 ini, paket bantuan utang yang ditawarkan adalah penundaan, bukan penghapusan. Artinya, pembayaran utang akan tetap berjalan dan penghitungan bunga pun juga akan terus bertambah seiring berjalannya waktu.

(15)

Oleh sebab itu, banyak negara yang diramalkan akan menghadapi krisis ekonomi akibat COVID-19 ini, bahkan dengan jumlah utang yang lebih besar dan tekanan finansial yang lebih dalam. Hal Ini akan menimbulkan kekhawatiran tentang kemampuan negara-negara tersebut untuk membayar utang luar dengan baik. Kemudian, risiko gagal bayar negara mungkin memang tidak akan terjadi pada tahun ini maupun 2-3 tahun ke depan, tetapi kemungkinan besar terjadi dalam jangka menengah dan panjang. Dengan demikian, apa yang dikatakan oleh Keynes “in the long run we are all dead”, mungkin akan terjadi akibat banyak negara yang tercekik dengan besarnya beban utang.

Maka pada putaran akhirnya, negara-negara pun dituntut untuk mencari pendapatannya guna membayar beban utang tersebut. Salah satu jalan pintas yang ditempuh mau tidak mau adalah dengan meningkatkan penerimaan pajak. Di Indonesia, sinyal kenaikan pajak sudah mulai terasa, misalnya ketika beberapa waktu yang lalu Menteri Keuangan memutuskan kembali mewacanakan pengenaan cukai terhadap minuman berpemanis. Selain itu, terdapat pula usulan cukai kantong plastik yang sudah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Baru-baru ini pemerintah juga menggulirkan peraturan mengenai Pajak Penghasilan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) terkait dengan penjualan pulsa, kartu perdana, hingga token listrik.

Basri et al. (2019) menunjukkan sensitivitas pendapatan kena pajak (PKP) terhadap perubahan tarif pajak (elasticity of taxable

income/ETI) Indonesia menunjukkan angka sebesar 0,59. Artinya,

memang ada ruang bagi pemerintah untuk menaikkan penerimaan pajak melalui kenaikan tarif pajak. Namun, hal ini akan berdampak terhadap tambahan beban bagi wajib pajak. Masih dalam studi yang sama, setiap rupiah kenaikan penerimaan pajak, akan menimbulkan tambahan beban bagi wajib pajak sebesar 0,51 rupiah. Inilah harga yang harus dibayar oleh rakyat setelah menikmati kucuran stimulus yang diberikan oleh pemerintah.

Konfigurasi hal-hal di atas seolah mengamini pepatah ekonomi klasik yang dikatakan oleh Adam Smith “there’s no free lunch”. Artinya, tidak ada makan siang yang gratis, sehingga semua stimulus yang diibaratkan makan siang yang sudah disajikan beserta konsekuensi utang yang membumbung harus segera dibayar. Entah melalui kenaikan pajak, maupun risiko-risiko pembayaran utang lainnya yang mendesak negara-negara harus menambal sulam anggaran belanjanya.

(16)

Rekomendasi

Dalam konteks Indonesia, ada beberapa rekomendasi yang dapat dilakukan, diantaranya:

1. Kementerian Keuangan perlu melakukan evaluasi kebijakan utang, misalnya sejauh mana pemanfaatan utang untuk penanganan COVID-19 selama ini. Kementerian Keuangan harus memprioritaskan pos-pos belanja yang mampu menjungkit perekonomian secara cepat dan berkelanjutan.

2. Dibandingkan memilih opsi menaikkan penerimaan pajak, maka Kementerian Keuangan dalam jangka menengah harus terus melakukan kebijakan reformasi administrasi perpajakan. Misalnya, dengan memindahkan pelayanan pajak badan usaha dari kantor pajak reguler ke Kantor Pajak Madya (KPP Madya). Adanya jumlah staf yang lebih banyak di KPP Madya perlakuan terhadap badan usaha menjadi lebih seragam. Beban pajak tak hanya ditanggung beberapa perusahaan yang besar yang selama ini difokuskan oleh KPP Reguler.

3. Kementerian Koordinator bidang Perekonomian dan Kementerian Keuangan perlu memikirkan alternatif pembiayaan selain melalui pos utang yang selama ini dilakukan. Perlu adanya proses pemetaan potensi dari sumber lain untuk dijadikan sumber pembiayaan.

M. Rifki Fadilah

-Di masa pandemi ini, salah satu topik perbincangan yang tidak pernah usang dibicarakan, yaitu mengenai defisit anggaran dan

membengkaknya utang pemerintah. Dalam hal ini, stimulus yang telah diberikan dan pembayaran utang, serta tambahan beban bagi wajib pajak adalah beberapa konsekuensi yang harus ditanggung. Negara-negara juga harus siap menambal sulam anggaran belanjanya.

(17)

Integrasi RUU PDP dengan Rancangan Revisi UU ITE

Hingga hari ini, pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) tidak kunjung diselesaikan dan disahkan. Salah satu faktor yang mengganjal pengesahan salah satu undang-undang krusial ini adalah perbedaan persepsi tentang otoritas perlindungan data pribadi (OPDP). Perdebatan yang terjadi antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah membuat pembahasan RUU PDP makin berlarut-larut dan tidak kunjung menemukan titik terang.

Terkait dengan pembentukan OPDP, pemerintah menginginkan agar otoritas yang akan dibentuk tersebut berada di bawah Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) atau secara langsung berada di bawah Presiden. Sementara itu, DPR meminta agar lembaga tersebut bersifat independen agar lepas dari intervensi lembaga negara atau cabang kekuasaan lainnya (hukumonline. com, 2/7/2021). Perdebatan tentang OPDP ini sebenarnya dapat diselesaikan dengan mudah ketika pemerintah sudi untuk berlaku objektif dalam melihat persoalan data pribadi yang pernah terjadi sebelumnya.

Setidaknya dalam waktu yang berdekatan, pemerintah mengalami dua kali kebocoran data pribadi masyarakat. Pertama, kebocoran data nasabah BRI Life yang merupakan perusahaan asuransi dari anak perusahaan salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pada bulan Juli 2021 (tempo.co, 29/7/2021). Kedua, data 1,3 juta pengguna aplikasi Electronic Health Alert Card (eHAC) dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) diduga mengalami kebocoran. Dari penelusuran sementara, Kemenkes menyebut dugaan kebocoran terjadi pada eHAC lama yang sudah dinonaktifkan sejak 2 Juli 2021 (tempo.co, 31/8/2021). Melihat dua kasus kebocoran data pribadi tersebut, maka seharusnya pemerintah terlebih dahulu membenahi pengelolaan dan perlindungan data pribadi masyarakat yang berada dalam penguasaannya. Bukannya bersitegang untuk memaksakan pembentukan OPDP berada di bawah salah satu lembaga pemerintah.

(18)

Pembentukan OPDP sebagai sebuah lembaga independen merupakan pilihan logis untuk saat ini. Hal tersebut bertujuan agar OPDP independen dapat bekerja tanpa ada campur tangan dari lembaga lain yang berada di atasnya, serta mampu berlaku objektif ketika melakukan investigasi suatu kasus seperti kebocoran data pribadi. Dengan demikian dalam ketentuan undang-undang perlindungan data pribadi harus secara tegas dan eksplisit merumuskan bahwa otoritas tersebut merupakan lembaga negara yang mandiri dan bebas dari intervensi dan kepentingan individu, bisnis, dan lembaga negara lain.

Selain sengkarut pembahasan tentang OPDP antara DPR dan pemerintah, sebenarnya terdapat persoalan yang lebih penting untuk dibahas oleh pembentuk undang-undang. Mengharmonisasikan RUU PDP dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) merupakan salah satu hal yang harus dibicarakan. Pertautan subtansi hukum antar dua regulasi hukum digital harus diselaraskan agar dua produk hukum ini dapat saling melengkapi dan tidak bertentangan antara satu dengan yang lainnya.

Menyelaraskan RUU PDP dan UU ITE

Selama RUU PDP masih mengalami kebuntuan dalam proses pembahasannya, maka regulasi hukum perlindungan data masyarakat masih akan tersebar dalam beberapa undang-undang yang berbeda. Seperti dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang memberikan perlindungan data pribadi secara umum. Sementara untuk perlindungan data yang bersifat khusus dalam bentuk elektronik terdapat dalam UU ITE. Kesamaan antara produk-produk hukum tersebut adalah minimnya pengaturan secara khusus tentang perlindungan data pribadi, baik itu mekanisme pengumpulan, pengendalian, permohonan, hingga sanksi ketika terjadi pelanggaran terhadap data pribadi.

Secara khusus, perlindungan data masyarakat dalam bentuk elektronik diatur dalam Pasal 26 ayat (1) UU ITE yang menjelaskan bahwa, “penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang

menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan orang yang bersangkutan.” Lebih lanjut, ketika terjadi pelanggaran

maka dapat diajukan gugatan atas kerugian yang ditimbulkan berdasarkan undang-undang ini. UU ITE menyediakan mekanisme penyelesaian sengketa gugatan perdata dengan pilihan melalui jalur

Hukum

(19)

Mekanisme yang disediakan oleh UU ITE tidak cukup untuk memberikan perlindungan paripurna terhadap data pribadi masyarakat di ruang digital. Salah satunya adalah minimnya pengaturan tentang jalur yang dapat ditempuh oleh masyarakat ketika terjadi pelanggaran terhadap data pribadinya, karena jalan yang dapat ditempuh hanyalah dalam ruang lingkup keperdataan. Sementara, institusi atau badan hukum yang menyimpan data tersebut yang akhirnya mengalami kebocoran tidak mendapatkan sanksi apapun.

Persoalan tersebut telah coba diselesaikan oleh RUU PDP yang memberikan ancaman sanksi administratif ketika terjadi masalah terkait data pribadi, termasuk dalam hal terjadi kebocoran. Bentuk sanksi administratif yang terdapat pada RUU PDP berupa peringatan tertulis; penghentian sementara kegiatan pemrosesan data pribadi; penghapusan atau pemusnahan data pribadi; ganti kerugian; dan/ atau denda administratif. Artinya RUU PDP dapat memberikan efek jera terhadap pelaku, baik itu perorangan maupun badan hukum, dan bukan hanya ganti kerugian dalam konteks peradilan perdata. Harus diingat bahwa rancangan undang-undang a quo tidak hanya memberikan perlindungan terhadap data pribadi dalam sistem elektronik, namun juga data non elektronik. Akan tetapi, karena masih terdapat pengaturan terkait dengan data pribadi yang terdapat dalam UU ITE, maka ini akan mampu untuk menjadi pintu masuk dalam mengupayakan revisi terhadap persoalan yang terdapat dalam undang-undang a quo.

Harmonisasi terhadap RUU PDP dan revisi UU ITE merupakan hal yang mutlak untuk dilakukan. Terdapat beberapa muatan isi yang akan tumpang-tindih (overlapping) ketika RUU PDP disahkan tanpa diiringi dengan revisi terhadap UU ITE, seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Pengaturan terkait dengan perlindungan data pribadi di ruang digital telah diatur dalam UU ITE, walaupun tidak komprehensif, akan tetapi dapat menimbulkan kerancuan seperti ancaman dan mekanisme penjatuhan sanksinya. Oleh karena itu, terdapat tiga hal yang harus dilakukan oleh DPR bersama dengan pemerintah selaku pembentuk undang-undang.

Pertama, revisi terhadap UU ITE dibutuhkan untuk memaksimalkan

fungsi dari RUU PDP yang akan menjadi undang-undang khusus terkait dengan perlindungan terhadap data pribadi dalam bentuk elektronik. UU ITE harus dikembalikan pada tujuan awalnya, yaitu perlindungan terhadap transaksi elektronik. Melalui langkah pengintegrasian tersebut, maka tidak seluruh persoalan di ruang digital menggunakan UU ITE sebagai satu-satunya dasar hukum.

Hukum

(20)

Kedua, ketentuan terkait dengan perlindungan data pribadi di ruang

digital cukup diatur dalam UU PDP ketika nantinya disahkan. Artinya, ketentuan tentang data pribadi dalam Pasal 26 UU ITE dapat dihapuskan. Selain karena tidak memberikan pengaturan dan perlindungan yang jelas, pasal a quo juga berpotensi menimbulkan kerancuan dengan perlindungan data pribadi elektronik yang sejauh ini terdapat dalam RUU PDP. Integrasi dapat berjalan dengan baik ketika RUU PDP diiringi dengan pembahasan revisi terhadap UU ITE.

Ketiga, membahas RUU PDP dan revisi terhadap UU ITE dalam

kerangka perubahan undang-undang melalui omnibus legislative

technique yang dipadukan dengan sistem kodifikasi dapat dijadikan

sebagai alternatif pilihan. Pembahasan undang-undang dalam rumpun digital dapat dijadikan sebagai medium untuk menghapus serta mencegah munculnya pasal-pasal multitafsir di UU ITE dan RUU PDP. Hal tersebut untuk memutus rantai pemenjaraan yang selama ini menjadi salah satu persoalan utama dalam UU ITE. Hemi Lavour Febrinandez

-Hukum

RUU PDP harus mampu memberikan perlindungan terhadap data pribadi masyarakat, dan bukannya

berubah menjadi alat pemenjaraan seperti yang terjadi akibat pasal multitafsir dalam UU ITE. Harmonisasi atas seluruh regulasi hukum di rumpun digital menjadi hal yang penting untuk mencegah munculnya ambiguitas dalam menafsirkan dan mengimplementasikan-nya.

(21)

Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) memutuskan bahwa Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar bersalah dalam sidang etik pada perkara Wali Kota Tanjungbalai. Dewas KPK memberikan sanksi berupaya pemotongan gaji pokok sebesar 40 persen selama dua belas bulan. Sebagai pimpinan KPK, Lili Pintauli telah melanggar dua hal, yaitu penyalahgunaan pengaruh untuk kepentingan pribadi dan berhubungan dengan seseorang yang sedang diperiksa perkaranya oleh KPK. Lili melanggar Pasal 4 ayat (2) huruf b dan a dalam Peraturan Dewan Pengawas Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK (kompas.com, 31/8/2021).

Pasal terkait dengan kode etik yang dilanggar oleh Lili Patauli secara langsung melanggar nilai integritas dalam peraturan dewan pengawas

a quo. Secara khusus, ketentuan tersebut melarang bagi setiap insan

KPK untuk mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka, terdakwa, terpidana, atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang perkaranya sedang ditangani oleh KPK, kecuali dalam rangka pelaksanaan tugas dan sepengetahuan pimpinan atau atasan langsung. Kemudian, juga terdapat larangan untuk menyalahgunakan jabatan dan/atau kewenangan yang dimiliki termasuk menyalahgunakan pengaruh, baik dalam pelaksanaan tugas, maupun kepentingan pribadi.

Pengaturan terkait dengan kode etik bagi setiap insan KPK, baik itu pegawai hingga pimpinan menjadi hal yang penting untuk diimplementasikan dan ditegakkan. Hal tersebut diperlukan karena lembaga anti rasuah yang bekerja untuk memberantas korupsi harus diisi oleh orang-orang berintegritas dan mampu mengenyampingkan kepentingan pribadi demi upaya untuk melakukan pemberantasan korupsi. Hal yang mengkhawatirkan ketika malah pimpinan KPK yang merebahkan integritas lembaga tersebut.

Pelanggaran terhadap kode etik yang dilakukan oleh Pimpinan KPK periode 2019-2023 bukan pertama kali terjadi. Pada tahun 2020,

Menakar Sanksi Pelanggaran Etik Pimpinan KPK

(22)

Ketua KPK Firli Bahuri dinyatakan melanggar kode etik mengenai gaya hidup mewah oleh Dewas KPK. Diketahui, bahwa Firli Bahuri menggunakan helikoper milik perusahaan swasta dalam perjalanan pribadi dari Palembang ke Baturaja. Dewas KPK menilai bahwa Firli Bahuri terbukti melanggar ketentuan Pasal 4 Ayat (1) huruf n dan Pasal 8 Ayat (1) huruf f Peraturan Dewan Pengawas KPK Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK. Atas putusan tersebut, Firli Bahuri dijatuhi sanksi ringan berupa teguran tertulis II oleh Dewas KPK (kompas.com, 24/9/2021).

Pelanggaran etik yang dilakukan oleh Firli Bahuri dan Lili Patauli membuat kedua pimpinan KPK tersebut tidak lagi memenuhi persyaratan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Pasal 29 undang-undang a quo mensyaratkan untuk dapat diangkat sebagai Pimpinan KPK harus cakap, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi, dan memiliki reputasi yang baik, serta tidak pernah melakukan perbuatan tercela. Kemudian, pimpinan KPK dapat diberhentikan apabila melakukan perbuatan tercela, sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 32 ayat (1) UU KPK.

Pelanggaran etik yang terbukti dilakukan oleh kedua pimpinan KPK tersebut merupakan tindakan yang tidak mencerminkan integritas, bahkan dapat dikategorikan sebagi sebuah perbuatan koruptif. Comtohnya tindakan yang dilakukan oleh Lili Patauli terbukti membahas perkara dengan Wali Kota nonaktif Tanjungbalai, M Syahrial. Pada perkembangan, KPK menetapkan M Syahrial sebagai tersangka dugaan tindak pidana korupsi terkait lelang mutasi jabatan di Kota Tanjung Balai pada 2019 (mediaindonesia.com, 27/8/2021). Perbuatan yang dilakukan oleh kedua pimpinan KPK tersebut tidak lagi merupakan pelanggaran etik biasa, namun dapat dikategorikan sebagai perbuatan tercela yang dapat dijatuhi hukuman terberat, yaitu sanksi pemberhentian. KPK sebagai sebuah lembaga yang bertugas untuk melakukan upaya pemberantasan korupsi harus memberikan contoh terkait dengan integritas dan kepribadian yang tidak tercela kepada lembaga negara lainnya. Namun, dua pelanggaran etik tersebut meruntuhkan muruah kelembagaan KPK di hadapan publik.

Tergerusnya Integritas KPK

Pimpinan KPK periode 2019-2023 memang penuh dengan kontroversi, bahkan sejak awal pemilihannya. Terdapat beberapa

Hukum

(23)

persoalan yang diungkap dan dibahas pada saat dilakukannya fit and

proper test oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), seperti dugaan

konflik kepentingan yang dilakukan oleh Firli Bahuri, saat menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK pada tahun 2018, karena bertemu dengan Tuanku Guru Bajang ketika menjabat sebagai Gubernur Nusa Tenggara Barat. Pada saat itu, KPK sedang mengusut kasus divestasi PT Newmont Nusa Tenggara yang diduga melibatkan sang gubernur (tirto.id, 13/9/2019). Persoalan lainnya ialah jumlah harta Lili ini sempat disorot karena sempat tertulis berjumlah Rp70 juta. Namun Lili mengatakan jumlah yang sempat tertulis itu salah dan sudah diklarifikasi ke KPK jumlah sebenarnya Rp781 juta (detik. com, 16/9/2019).

Sejak awal, pimpinan KPK yang saat itu dipilih oleh DPR telah menabung masalah dan akhirnya makin menumpuk pada saat mereka telah menjalani masa bakti di lembaga anti rasuah tersebut. Pelanggaran etik yang dilakukan oleh Pimpinan KPK sama sekali tidak dapat dimaklumi. Sebagai lembaga percontohan dalam pengelolaan lembaga yang bersih dan berintegritas, maka KPK telah gagal dalam menunaikan tugas tersebut. Seharusnya, Dewas KPK mampu menjadi kekuatan yang digunakan untuk menjaga muruah lembaga anti rasuah tersebut.

Sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 37B ayat (1) UU KPK, Dewas KPK harus melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan wewenang serta menegakkan aturan terkait dengan kode etik di internal lembaga tersebut. Putusan Dewas KPK terhadap dua pelanggaran etik yang dilakukan oleh Pimpinan KPK terlihat seperti melindungi dan mewajarkan sebuah perbuatan yang salah. Padahal, kedua pimpinan pelanggar etik tersebut tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana yang terdapat pada Pasal 29 UU KPK, karena tidak memiliki integritas dan telah melakukan perbuatan tercela. Atas dasar tersebut, sanksi pemberhentian dapat dijatuhkan.

Kian tergerusnya kelembagaan KPK menjadi tanda bahaya bagi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Oleh karena itu, terdapat dua rekomendasi yang dapat dilakukan untuk mengembalikan KPK sebagai salah satu kekuatan utama untuk membersihkan Indonesia dari Korupsi. Pertama, peninjauan ulang dua pelanggaran etik yang dilakukan pimpinan oleh Dewas KPK. Hal tersebut dibutuhkan untuk menyelamatkan muruah KPK dihadapan publik. Ketika integritas KPK kian tergerus oleh sikap buruk pimpinannya, maka cita Indonesia yang bebas dari korupsi hanya akan berakhir menjadi sekadar jargon belaka.

(24)

Hukum

Kedua, Dewas KPK dapat melakukan perubahan terhadap

pengaturan sanksi pelanggaran etik yang terdapat dalam Pasal 10 Peraturan Dewan Pengawas KPK Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK. Sebenarnya sanksi pemotongan gaji tidak dibutuhkan ketika Pimpinan maupuan Dewas KPK telah terbukti melakukan pelanggaran etik berat. Jenis sanksi berat cukup dengan permintaan untuk mengajukan permohonan pengunduran diri dan dijadikan sebagai pertimbangan oleh Presiden untuk melakukan pemberhentian secara tidak hormat.

Hemi Lavour Febrinandez

-Menciptakan

Indonesia yang bersih dari korupsi hanya akan berakhir menjadi jargon semata ketika tidak diiringi dengan teladan sikap jujur, berintegritas, dan berkepribadian tidak tercela para Pimpinan KPK sebagai wajah dari lembaga anti rasuah tersebut.

(25)

Melihat Polemik Masa Jabatan Presiden Tiga Periode

Wacana mengubah masa jabatan presiden menjadi tiga periode kembali bergulir dalam beberapa waktu terakhir. Wacana tersebut kembali disuarakan oleh komunitas bernama Jokowi-Prabowo (Jok-Pro) 2024 yang menginginkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto berpasangan dalam Pemilihan Presiden 2024.

Padahal di Pasal 7 Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dinyatakan bahwa presiden dan wakil presiden hanya dapat menjabat maksimal dua periode. Hal ini tentunya menjadi perbincangan publik yang hangat, terutama dari para pemangku kepentingan seperti partai politik hingga kelompok masyarakat sipil. Tulisan ini mencoba mengulas tentang polemik tersebut berdasarkan pandangan-pandangan para aktor politik tersebut yang beredar di media massa selama empat bulan terakhir.

Alasan Wacana Tiga Periode

Komunitas Jok-Pro 2024 yang diinisiasi oleh Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari yang menyatakan bahwa sebagian besar masyarakat menginginkan Jokowi kembali maju dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 berpasangan dengan Prabowo. Qodari mengklaim hal tersebut berdasarkan hasil dari sejumlah survei yang menyatakan bahwa publik setuju dengan diusungnya pasangan Jokowi dan Prabowo di pilpres 2024. Salah satu survei yang menjadi rujukan Qodari adalah hasil survei Saiful Munjani Research and Consulting (SMRC) yang menunjukkan 40 persen responden setuju dengan diusungnya pasangan Jokowi-Prabowo di Pilpres 2024. Adapun, survei sebelumnya adalah survei Parameter yang memperlihatkan terdapat 27 persen responden setuju dengan rencana tersebut (bisnis.com, 27/6/2021).

Qodari juga mengungkapkan beberapa alasannya dibalik dukungan kepada pasangan Jokowi-Prabowo di Pilpres 2024. Alasan yang paling kuat menurutnya adalah menurunkan tensi politik di Tanah Air

Politik

(26)

yang memanas sejak Pilpres 2014. Diharapkan dengan diusungnya Jokowi-Prabowo di Pilpres 2024 potensi gesekan atau konflik di tengah masyarakat bisa jauh berkurang (bisnis.com, 27/6/2021). Persepsi Publik Terhadap Wacana Tiga Periode

Hangatnya perbicangan terkait masa jabatan presiden menjadi tiga periode menjadi perhatian publik. Namun, berdasarkan sejumlah hasil survei persepsi publik, ternyata sebagian besar masyarakat menolak dilakukannya perpanjangan masa jabatan presiden tersebut. Berikut ini sejumlah hasil survei yang mengkonfirmasi penolakan wacana tersebut. Pertama, hasil survei SMRC yang menyatakan sebanyak 74 persen responden setuju masa jabatan presiden tetap dua periode. Sedangkan 13 persen respoden menyatakan harus diubah (kompas.com, 22/6/2021).

Selanjutnya, hasil survei lembaga Fixpoll menemukan mayoritas masyarakat Indonesia menolak perpanjangan jabatan presiden dari segi jumlah masa jabatan atau durasi per sekali menjabat. Hasil survei Fixpoll menyatakan terdapat 57,5 persen masyarakat tidak setuju jika masa jabatan presiden diubah menjadi lebih dari dua periode. Namun, terdapat 11,4 persen menyatakan setuju. Sedangkan 12,6 menjawab tidak tahu (republika.co.id, 23/8/2021).

Kemudian, hasil survei Center for Indonesia Strategic Actions (CISA) menunjukan mayoritas responden juga menolak penambahan masa jabatan dan masa kerja presiden. Berdasarkan hasil survei CISA, 58,25 persen responden menyatakan tidak setuju jika masa jabatan presiden menjadi tiga periode. Sebanyak 28,83 persen responden menyatakan setuju dengan wacana presiden 3 periode. Selanjutnya sangat tidak setuju sebanyak 8,25 persen, Tidak Tahu/ Tidak Menjawab 2,58 persen dan Sangat Tidak Setuju terdapat 2,09 persen responden (republika.co.id, 23/8/2021). Berdasarkan hasil-hasil survei tersebut, maka dapat dikatakan bahwa masyarakat menolak untuk dilakukannya perpanjangan masa jabatan presiden untuk tiga periode. Lantas, bagaimana dengan pandangan dari partai politik. Bagian berikut ulasannya.

Respon Partai Politik

Partai politik merupakan aktor utama dalam sistem politik kontemporer. Berbagai jabatan publik, tidak terkecuali presiden dan wakil presiden diisi oleh seseorang yang berasal atau direkomendasikan oleh partai politik. Karena itu, dalam polemik masa jabatan presiden, pandangan-pandangan dari partai politik

Politik

(27)

menjadi penting untuk disimak.

Pandangan pertama muncul dari partai-partai di koalisi pemerintahan. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), melalui Ahmad Basarah selaku Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDIP mengungkapkan partainya menolak adanya gagasan masa jabatan presiden tiga periode. Bahkan, kata Basarah, Presiden Jokowi selaku kader PDIP tidak pernah berpikir bisa menjadi presiden tiga periode. Jokowi menganggap bahwa orang-orang yang memunculkan gagasan tiga periode, mau cari muka (tempo. co, 20/6/2021).

Selanjutnya, dari Partai Golkar, berdasarkan pernyataan Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Ahmad Doli Kurnia Tanjung menilai, masyarakat tidak ingin kembali ke belakang ketika masa jabatan presiden dapat lebih dari dua periode (kompas.com, 21/6/2021). Selain itu, tidak jauh berbeda dengan PDIP dan Golkar, Partai Gerindra melalui Sufmi Dasco Ahmad selaku Ketua Harian menyatakan, wacana presiden tiga periode bukan merupakan hal yang mendesak untuk dibicarakan. Menurut Dasco, isu tersebut justru dapat menciptakan kegaduhan sementara saat ini seluruh pihak semestinya fokus menekan laju penularan Covid-19 yang melonjak dalam beberapa waktu terakhir (kompas.com, 21/6/2021). Sementara itu, dari partai di luar koalisi pemerintahan seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) melalui Mardani Ali Sera selaku Ketua DPP berpendapat, perpanjangan masa jabatan presiden tiga merupakan ide yang berbahaya dan perlu ditolak. Mardani menilai, kekuasaan yang terlalu lama dapat membuka potensi penympangan serta menutup pintu bagi pergantian kekuasaan (tempo.co, 19/6/2021). Sedangkan Kepala Badan Komunikasi Strategis Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra menilai Indonesia memiliki banyak sosok yang berpotensi menjadi pemimpin di masa depan. Partai Demokrat pun menolak gagasan untuk menduetkan Jokowi dan Prabowo Subianto sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden pada Pemilihan Presiden 2024 mendatang (kompas.com, 22/6/2021). Tarik Menarik Kepentingan Menuju Pemilu 2024

Polemik terkait pembahasan masa jabatan presiden tiga periode disebabkan perbedaan kepentingan dari para aktor yang tergambarkan dalam ulasan sebelumnya.

(28)

Perbedaan ini tentunya menjadi krusial untuk dilihat dalam perdebatan para aktor yang menyatakan perlu atau tidaknya kebijakan untuk merubah masa jabatan presiden hingga tiga periode. William Dunn (1988) menjelaskan bahwa pembuatan kebijakan melibatkan keterkaitan tiga elemen, yakni kebijakan publik; aktor atau pemangku kepentingan, dan lingkungan kebijakan. Dimana ketiga hal tersebut saling mempengaruhi.

Berdasarkan pendapat Dunn di atas, aktor-aktor yang berpengaruh dalam perdebatan ini yaitu partai politik yang memiliki perwakilannya di pemerintahan dan DPR, serta tentunya komunitas Jok-Pro 2024 sebagai bagian dari kelompok masyarakat. Tentunya para aktor ini memiliki beragam kepentingan terkait dengan masa jabatan presiden tiga periode.

Di sisi lain, para pemangku kepentingan ini pun tidak dapat serta-merta mengesampingkan faktor lingkungan kebijakan dalam proses pembuatan kebijakan. Alasan yang digaungkan oleh komunitas Jok-Pro 2024 misalnya dengan tajamnya polarisasi di masyarakat akibat persaingan politik Pemilu 2014 dan 2019, merupakan bagian dari refleksi dinamika lingkungan kebijakan yang memang tengah berkembang di Indonesia saat ini.

Berdasarkan pendapat dari partai politik baik di partai koalisi dan non koalisi menolak wacana masa jabatan tiga periode hal ini pun sejalan dengan persepsi publik terkait hal tersebut. Namun, melihat bergulirnya wacana jabatan presiden tiga periode ini selama empat bulan terakhir, nampaknya para aktor ini akan berusaha untuk terus saling mempengaruhi.

Tarik menarik kepentingan (interestplay) para aktor tentunya akan mendorong jalan tengah untuk berkompromi dan mengakomodir berbagai kepentingan hingga jelang pemilu 2024. Dimana salah satu isu yang menjadi tawar menawar salah satunya adalah masa jabatan presiden.

Alasan saat ini dari para aktor untuk tidak menambah masa periode mungkin saja dapat berubah jika para aktor ini menemukan jalan tengah yang mengakodasi kepentingan mereka. Jika ‘political

resultant’ dari para aktor tersebut adalah mengakomodasi masa

jabatan tiga periode, maka hal tersebut tidak dapat lagi dikatakan sebagai wacana.

Arfianto Purbolaksono

-Politik

Jika ‘political resultant’ dari para aktor tersebut adalah mengakomodasi masa jabatan tiga periode, maka hal tersebut tidak dapat lagi dikatakan sebagai wacana.

(29)

Memantau Perkembangan Kabupaten/Kota Layak Anak

Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 36 tahun 1990. Maka dari itu, negara wajib untuk memenuhi hak-hak anak. Hal tersebut salah satunya dilakukan dengan mewujudkan lingkungan yang layak anak. Pemerintah menargetkan Indonesia menjadi negara layak anak (Indonesia Layak Anak/Idola) pada tahun 2030. Target tersebut dicapai dengan mewujudkan kabupaten/kota layak anak (KLA). Maka dari itu, tulisan ini hendak menganalisis seberapa jauh perkembangan KLA di Indonesia, serta melihat apakah kabupaten/ kota yang telah masuk dalam kategori KLA sudah benar-benar layak untuk perkembangan anak.

Perkembangan KLA dan Indikatornya

Suatu kabupaten/kota dapat disebut sebagai KLA apabila seluruh kecamatan di dalamnya telah layak anak. Begitu pula dengan kecamatan dan desa dapat dikategorikan layak anak jika lingkup terkecil di dalamnya juga sudah layak anak. Dengan demikian, keluarga adalah lingkup terkecil dalam masyarakat yang menjadi kunci bagi terwujudnya KLA.

KLA telah dikembangkan sejak tahun 2006. Pada tahun itu, KLA diujicobakan pada lima kabupaten/kota, dan bertambah menjadi dua puluh kabupaten/kota di tahun 2010. Di tahun 2010 KLA juga menjadi salah satu program prioritas presiden yang tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2010, dimana Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) merupakan instansi yang bertanggung jawab atas terlaksananya KLA.

Hingga saat ini terdapat 275 kabupaten/kota dari total 514 kabupaten/kota, yang tergolong kedalam KLA (Kompas.com, 29/07/2021). Pada tahun 2015, jumlah KLA di Indonesia sebanyak 264 kabupaten/kota. Perkembangan jumlah KLA dari tahun 2015 hingga tahun 2021 termasuk lambat jika dibandingkan dengan perkembangan tahun-tahun sebelumnya. Dalam kurun waktu

Sosial

(30)

enam tahun, jumlah KLA hanya bertambah sebelas 11 kabupaten/ kota. Antara tahun 2012 hingga tahun 2013 bahkan jumlah KLA bertambah lebih dari 100 kabupaten/kota (Kemen PPPA, 2015). Dari 275 KLA di tahun 2021, empat kota termasuk dalam kategori utama, 38 kabupaten/kota termasuk dalam kategori nindya, seratus kabupaten/kota masuk dalam kategori madya, dan 133 kabupaten masuk dalam kategori pratama. Belum ada kabupaten/kota yang masuk dalam kategori KLA tertinggi, yakni kategori KLA. Penetapan kategori tersebut dilakukan melalui penilaian pencapaian indikator KLA di kabupaten/kota.

Terdapat 25 indikator untuk mengetahui apakah suatu kabupaten/ kota dapat dikategorikan sebagai KLA (Kemen PPPA, 2015). Indikator-indikator tersebut kemudian dikelompokkan kedalam lima klaster hak anak, seperti dalam tabel di bawah ini.

(31)
(32)

Sumber: Kemen PPPA, 2015

Dari indikator-indikator tersebut, kita tahu bahwa pekerjaan rumah kita masih banyak. Misalnya saja pada indikator kepemilikan akta kelahiran. Pada tahun 2020 saja, 11,89 persen anak belum memiliki akta kelahiran (BPS, 2021). Lalu pada indikator usia perkawinan pertama anak, pada tahun 2020 angka perkawinan anak juga meningkat. Catatan Komnas Perempuan (2021) menunjukkan bahwa angka dispensasi kawin tahun 2020 melonjak tiga kali lipat dibanding tahun sebelumnya. Begitu juga dengan indikator-indikator lainnya juga masih harus mendapat perbaikan.

Provinsi Layak Anak

Dari 34 provinsi di Indonesia, pada tahun 2021, hanya enam provinsi yang sudah masuk dalam kategori layak anak (Kemen PPPA, 2021). Provinsi tersebut diantaranya yakni Kepulauan Seribu, Banten, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Semua kabupaten/kota di provinsi tersebut telah masuk dalam kategori KLA. Walaupun pengkategorian sebagai KLA tersebut dapat dipertanyakan dan harus terus dipantau agar kabupaten/kota di provinsi-provinsi tersebut benar-benar layak untuk anak.

Data menunjukkan bahwa mayoritas anak di Suku Baduy, Banten belum memiliki akta kelahiran (01/07/2020). Kita tahu bahwa akta kelahiran merupakan salah satu indikator KLA. Sedangkan Banten saat ini telah tergolong kedalam provinsi layak anak, padahal masih ada anak yang belum mendapat hak sipil (kepemilikan akta) di provinsi tersebut.

Lebih lanjut lagi, pada provinsi yang belum tergolong layak anak, di Provinsi Papua dan Papua Barat, belum ada kabupaten/kota di sana yang telah tergolong sebagai KLA. Di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Tengah, dan Kalimantan Utara, baru satu kabupaten/kota di masing-masing provinsi tersebut yang sudah masuk dalam KLA.

Rekomendasi

KLA merupakan kebijakan yang sangat penting bagi proses pembangunan yang ramah anak. KLA juga merupakan salah satu program prioritas presiden. Maka dari itu, Kementerian PPPA dan semua pemangku kepentingan yang berkaitan dengan indikator-indikator KLA harus memaksimalkan perbaikan kebijakan tersebut. Kementerian PPPA harus memperkuat sinergi antara

Sosial

(33)

berbagai pihak seperti Kementerian Kesehatan, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Komnas Perempuan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek), dan pihak-pihak lain yang berkaitan dengan KLA.

Kementerian PPPA harus memberikan perlakuan khusus untuk percepatan kabupaten/kota di Papua dan Papua Barat dalam mencapai KLA. Perlakuan khusus ini penting mengingat belum ada kabupaten/kota di provinsi-provinsi tersebut yang masuk dalam kategori KLA. Kementerian PPPA, Pemerintah Daerah di Papua dan Papua Barat, serta pemangku kepentingan lain dapat bekerja sama untuk memaksimalkan penggunaan dana otonomi khusus yang dimiliki oleh provinsi tersebut.

Kementerian PPPA juga harus berhati-hati dalam menentukan apakah suatu kabupaten/kota sudah dapat dikategorikan sebagai KLA. Mengingat fakta bahwa mayoritas anak di Suku Baduy, Banten belum memiliki akta kelahiran, namun provinsi tersebut telah dikategorikan kedalam KLA. Kementerian PPPA dan berbagai pihak yang berkepentingan juga harus terus memantau dan mengevaluasi kabupaten/kota baik itu yang belum tergolong dalam KLA maupun yang sudah tergolong dalam KLA. Hal tersebut penting agar KLA tidak hanya sekedar menjadi titel untuk suatu kabupaten/ kota, namun anak-anak di kabupaten/kota tersebut benar-benar mendapat lingkungan yang layak untuk perkembangan mereka. Terakhir, kaitannya dengan keluarga sebagai lingkup terkecil dan terdekat dengan perkembangan anak, Kementerian PPPA, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak, serta Perangkat Desa harus bekerja sama untuk memberikan sosialisasi mengenai kepengasuhan yang baik untuk orang tua, tidak hanya ibu saja, namun juga bapak. Hal tersebut penting mengingat bahwa mayoritas orang tua di Indonesia belum mengetahui cara pengasuhan anak yang berkualitas. Kemen PPPA juga dapat menggandeng influencer untuk mengkampanyekan cara-cara pengasuhan yang baik melalui media sosial ataupun media mainstream seperti televisi dan radio.

Nisaaul Muthiah

-Untuk mewujudkan Indonesia layak anak, Kementerian PPPA dan berbagai pemangku kepentingan harus memperkuat sinergi untuk memperbaiki indikator-indikator KLA. Kementerian PPPA juga harus memberi perhatian lebih bagi provinsi yang sama sekali belum memiliki KLA.

(34)

Pro Kontra Pembelajaran Tatap Muka

Dalam Intruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) Nomor 34 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 4, Level 3, dan Level 2 Corona Virus

Disease 2019 (COVID-19) di Wilayah Jawa dan Bali tertulis bahwa

pada kabupaten dan kota di Wilayah Jawa dan Bali dengan kriteria PPPKM Level 3 dapat menerapkan pelaksanaan pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas atau pembelajaran jarak jauh berdasar pengaturan dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Empat Menteri tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran di Masa Pandemi COVID-19.

Menindaklanjuti Inmendagri tersebut, beberapa provinsi di Wilayah Jawa dan Bali telah memutuskan untuk menggelar PTM terbatas mulai 30 Agustus 2021 lalu. Diantaranya yakni Provinsi DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Banten. Begitu juga dengan wilayah luar Jawa dan Bali. Di Papua misalnya. Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pendidikan, Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Papua, Protasius Lobya, mengatakan jika kabupaten/kota di Wilayah Papua telah masuk zona hijau, maka sekolah dapat menerapkan PTM terbatas. Namun jika kabupaten/kota tersebut masih dalam zona merah, pembelajaran masih dilakukan dengan jarak jauh (Pembelajaran Jarak Jauh/PJJ).

Keputusan Pemerintah untuk melakukan PTM di masa pandemi tersebut tentu menimbulkan berbagai pro dan kontra di masyarakat. Maka dari itu, tulisan ini hendak mengulas lebih lanjut mengenai pro dan kontra tersebut. Tulisan ini juga hendak menawarkan solusi lebih lanjut bagi perbaikan kualitas pembelajaran anak kedepannya. Pro dan Kontra

Menurut Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbud-Ristek), Nadiem Makarim dalam wawancaranya dengan berbagai media, mengatakan bahwa PTM terbatas saat ini penting dilakukan untuk meminimalisir adanya learning loss,

Sosial

(35)

meminimalisir gangguan kesehatan mental, dan mengurangi jumlah anak putus sekolah yang meningkat akibat tidak dapat melakukan PJJ.

Gupta dan Khairina (2020) menemukan adanya kesulitan yang dialami oleh orang tua dalam membimbing anak saat melakukan PJJ. Salah seorang informan dalam studi tersebut yang merupakan seorang petani mengaku kesulitan dalam memahami materi yang dipelajari oleh anaknya. Selain kesulitan dalam memahami materi, terbatasnya jaringan internet juga menjadi penghambat PJJ. Saat ini, keterbatasan jaringan internet masih terjadi di wilayah Jawa dan luar Jawa.

Terkait dengan permasalahan kesehatan mental anak saat PJJ, survei yang diadakan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) kepada lebih dari 3.200 anak SD hingga SMA pada bulan Juli 2020 lalu menunjukkan bahwa 13 persen responden mengalami gejala yang mengarah pada gangguan depresi ringan hingga berat selama masa kenormalan baru. Gejala emosi yang paling banyak dirasakan responden adalah sedih dan mudah marah.

Orang tua murid di Masohi, Maluku Tengah, Desy Lekahena (dalam bbc.com, 18/02/2021), menyebutkan bahwa emosi anaknya tidak stabil saat melakukan PJJ. Hal tersebut karena adanya tekanan untuk belajar dan juga kurangnya sosialisasi. Orang tua murid di Jakarta Timur, Ida Sulasti (dalam narasi, 02/09/2021), juga mengungkapkan bahwa PJJ yang membuat anak harus terus menerus menatap layar gawai memiliki efek buruk pada kesehatan mata anaknya.

Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI, 2020) juga mencatat adanya peningkatan aduan permasalahan di bidang pendidikan, yakni sebesar 1567 kasus. Padahal pada tahun 2019, aduan pemasalahan di bidang pendidikan hanya sebesar 321 kasus. Situasi belajar dari rumah merupakan salah satu penyebab adanya peningkatan permasalahan tersebut.

Di sisi lain, ada pula pihak menyayangkan keputusan pemerintah untuk menggelar PTM terbatas, karena jumlah anak usia 12 hingga 17 tahun yang telah divaksin masih sangat minim. Ditambah lagi, belum tersedia vaksin bagi anak di bawah usia 12 tahun. PTM terbatas juga ditakutkan akan menjadi klaster baru penularan COVID-19.

(36)

Catatan untuk Proses Pembelajaran

Penerapan PTM terbatas atau PJJ tidak dapat disamaratakan di seluruh Indonesia. Pada daerah dengan tingkat penularan COVID-19 yang rendah dan angka vaksinasi yang tinggi, mendukung berlangsungnya PTM terbatas rasanya adalah hal yang tepat. Saat ini, semua kota/kabupaten di DKI Jakarta telah masuk dalam zona kuning, yang artinya memiliki risiko penularan virus yang rendah. Capaian vaksinasi dosis pertama di DKI Jakarta juga telah mencapai 115,97 persen, dan dosis kedua mencapai 68,87 persen (vaksin.kemkes.go.id, 31/8/2021). Maka, kebijakan PTM terbatas yang mulai dijalankan pada akhir bulan Agustus 2021 lalu di DKI Jakarta adalah keputusan yang tepat.

Hal tersebut tentu harus dilakukan atas dasar persetujuan orang tua dan anak itu sendiri. Orang tua dan anak adalah pelaku dari PJJ. Mereka adalah pihak yang paling mengetahui bagaimana kendala dan kelebihan yang dialami saat PJJ.

Selanjutnya, di provinsi lain seperti Jawa Tengah yang juga tengah merencanakan untuk melakukan PTM terbatas, proses vaksinasi di daerah tersebut harus dipercepat. Saat ini, tingkat vaksinasi dosis pertama di Jawa Tengah masih 25,62 persen, dan dosis kedua masih 14,81 persen. Provinsi tersebut juga masih memiliki beberapa kabupaten/kota yang masih dalam kategori zona oranye (risiko penularan sedang) (covid19.go.id, 9/9/2021). Dinas Pendidikan di provinsi tersebut sebaiknya mengutamakan kabupaten/kota yang masuk dalam zona kuning untuk melakukan PTM terbatas terlebih dahulu.

Untuk wilayah yang telah masuk dalam zona hijau, seperti Kabupaten Pegunungan Arfak, sebaiknya PTM terbatas mulai dilakukan di wilayah tersebut. Namun, Dinas Kesehatan di sana juga tetap harus mempercepat proses vaksinasi, karena tingkat vaksinasi di sana juga masih rendah.

Lebih lanjut, Kemendikbud-Ristek, Dinas Pendidikan, dan guru sebaiknya mendorong anak-anak yang tidak memiliki peralatan dan akses untuk melakukan PJJ agar melakukan PTM terbatas. Anak-anak tersebut penting untuk mendapat perlakuan khusus agar mereka tidak mengalami ketertinggalan.

(37)

Kemendikbud-Ristek juga harus mengembangkan sistem pembelajaran daring yang terpadu. Hal ini penting agar guru dan murid kedepannya dapat siap untuk melakukan pembelajaran daring. Bagaimanapun juga, metode pembelajaran tersebut tetap akan menjadi bagian dari proses belajar dan tidak boleh ditinggalkan. Lalu, terkait dengan kendala jaringan internet yang dialami oleh guru dan anak selama PJJ, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) harus segera melakukan pemerataan jaringan internet. Terakhir, baik itu dalam PTM terbatas, PJJ, maupun pembelajaran campuran, pedagogi pembelajaran dalam proses-proses tersebut harus tetap diperhatikan. Murid tidak boleh hanya menjadi konsumen dalam proses belajar. Harus ada dialog yang aktif antara guru dengan murid, baik PTM, PJJ, maupun pembelajaran campuran kedepannya. Dengan begitu, harapannya kualitas pembelajaran anak dapat meningkat.

Nisaaul Muthiah

-Sosial

PTM terbatas penting untuk dilakukan, utamanya di kabupaten/kota dengan risiko penularan COVID-19 yang rendah dan tingkat vaksinasi tinggi, juga bagi anak yang tidak memiliki peralatan dan akses untuk melakukan PJJ. Selain itu, baik PTM, PJJ, maupun pembelajaran campuran kedepannya, pedadogi pembelajaran yang diterapkan harus mengutamakan dialog aktif antara anak dengan guru.

(38)

Profil Institusi

The Indonesian Institute (TII) adalah lembaga penelitian kebijakan publik (Center for Public Policy Research) yang resmi didirikan sejak 21 Oktober 2004 oleh sekelompok aktivis dan intelektual muda yang dinamis. TII merupakan lembaga yang independen, nonpartisan, dan nirlaba yang sumber dana utamanya berasal dari hibah dan sumbangan dari yayasan-yayasan, perusahaan-perusahaan, dan perorangan.

TII bertujuan untuk menjadi pusat penelitian utama di Indonesia untuk masalah-masalah kebijakan publik dan berkomitmen untuk memberikan sumbangan kepada debat-debat kebijakan publik dan memperbaiki kualitas pembuatan dan hasil-hasil kebijakan publik lewat penerapan tata kelola pemerintahan yang baik dan partisipasi masyarakat dalam proses kebijakan di Indonesia.

Visi TII adalah terwujudnya kebijakan publik yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan penegakan hukum, serta melibatkan partisipasi beragam pemangku kepentingan dan menerapkan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang demokratis.

Misi TII adalah untuk melaksanakan penelitian yang dapat diandalkan, independen, dan nonpartisan, serta menyalurkan hasil-hasil penelitian kepada para pembuat kebijakan, kalangan bisnis, dan masyarakat sipil dalam rangka memperbaiki kualitas kebijakan publik di Indonesia.

TII juga mempunyai misi untuk mendidik masyarakat dalam masalah-masalah kebijakan yang mempengaruhi hajat hidup mereka. Dengan kata lain, TII memiliki posisi mendukung proses demokratisasi dan reformasi kebijakan publik, serta mengambil bagian penting dan aktif dalam proses itu.

Ruang lingkup penelitian dan kajian kebijakan publik yang dilakukan oleh TII meliputi bidang ekonomi, sosial, politik, dan hukum. Kegiatan utama yang dilakukan dalam rangka mencapai visi dan

(39)

misi TII antara lain adalah penelitian, survei, fasilitasi dan advokasi melalui pelatihan dan kelompok kerja (working group), diskusi publik, pendidikan publik, penulisan editorial mingguan (Wacana), penerbitan kajian bulanan (Update Indonesia dalam bahasa Indonesia dan The Indonesian Update, dalam Bahasa Inggris), kajian kebijakan tengah tahun (Policy Assessment), laporan tahunan (Indonesia Report), serta forum diskusi bulanan (The Indonesian Forum).

Alamat kontak:

The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research Jl. HOS. Cokroaminoto No. 92,

Menteng, Jakarta Pusat - 10310 Ph. (021) 315-8032

contact@theindonesianinstitute.com www.theindonesianinstitute.com

Profil Institusi

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Bagaimana ketentuan remisi yang terdapat dalam Keppres RI No 174 tahun 1999 dan Bagaimana tinjauan hukum pidana Islam terhadap

Pengertian desentraliasi menurut Bratakusumah dan Riady (2010:7) merupakan “kebijakan pemerintah pusat dimana pemerintah daerah diberikan wewenang dalam mengatur dan

penyusutan kalmar apabila PT XYZ ingin membebankan penyusutan kalmar ke dalam laporan keuangan fiskal maka langkah yang sebaiknya diambil adalah dengan membebankan

Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan desain dari Passive Direct Methanol Fuel Cell (DMFC) dalam ukuran kecil dan juga kinerja dari Passive DMFC dilihat dari voltase,

Hambatan-hambatan yang dialami oleh Dinas Kesehatan dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan untuk menangani produsen makanan yang terbukti melanggar Pasal 8 ayat

Teknik Anyaman berarti menyilang – nyilangkan lembaran pita lidi atau bahan lainnya secara teratur dan berulang – ulang (BBKB,1983). Anyaman merupakan salah satu hasil

 Kamera digital sebagai sensor visual menangkap citra mata dan citra layar monitor. Setelah komputer menerima citra, kedua citra tersebut akan diolah dengan pengolahan citra

Djombang Baru dalam memproduksi gula masih memiliki kendala, yaitu belum adanya lahan tanam tebu sendiri untuk menanam tebu maka untuk memenuhi kebutuhan bahan baku tebu tersebut