• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2019

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2019"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

PENGGUNAAN OBAT ANTIINFLAMASI PADA PENYAKIT RHEUMATOID ARTHRITIS PADA PASIEN RAWAT JALAN UNIT

PELAKSANAAN TEKNIS DAERAH (UPTD) PUSKESMAS JULI BIREUEN

SKRIPSI

OLEH:

ZULFA SAFRINA NIM111501143

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

(2)

PENGGUNAAN OBAT ANTIINFLAMASI PADA PENYAKIT RHEUMATOID ARTHRITIS PADA PASIEN RAWAT JALAN UNIT

PELAKSANAAN TEKNIS DAERAH (UPTD) PUSKESMAS JULI BIREUEN

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

ZULFA SAFRINA NIM 111501143

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

(3)
(4)

KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul Penggunaan Obat Antiinflamasi Pada Penyakit Rheumatoid Artritis Pada Pasien Rawat Jalan Unit Pelaksanaan Teknis Daerah (UPTD) Puskesmas Juli Bireuen.Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi di Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini dengan kerendahan hati, penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada Ibu Prof. Dr. Masfria, M.S., Apt.,selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Ibu Yuandani, M.Si., Ph.D., Apt., selaku dosen pembimbing yang telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran selama penelitian hingga selesainya penulisan skripsi ini.

Penulis juga berterima kasih kepada Ibu Khairunnisa, S.Si, M.Pharm., Ph.D., Apt.

Dan Ibu Dr.Aminah Dalimunthe,M.Si., Apt., sebagai tim penguji yang sangat banyak memberikan masukan dan saran atas skripsi ini.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Sumaiyah, M.Si., Apt.,sebagai dosen penasihat akademik, beserta seluruh dosen pengajar di Fakultas Farmasi atas arahan, bimbingan, dan ilmu yang diberikan kepada penulis selama duduk di bangku perkuliahan.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ayahanda Syamsuddin Ahmad dan Ibunda Almarhumah Herlina, Ibunda Yurika Sanger,Adik-adik Gadis Putri

(5)

Andhika, Dara Putri Andhika, Heri Junanda,serta yang selalu memberikan doa dan dukungan penuh kepada penulis tanpa henti selama ini.

Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada sahabat-sahabat Sylvi Haydiani Utami,S.Farm, Nadia Savira,S.Farm, Febi Juliana,S.Farm, dan adik – adik tercinta Mira,S.Farm, Wan Nurul,S.Farm Mulia,S.Farm dan sahabat lainnya atas segala bantuan dan dukungan serta canda tawanya dalam proses pengerjaan skripsi ini.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan balasan yang berlipat ganda atas kebaikan yang telah diberikan. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, 15 April, 2019

Penulis,

Zulfa Safrina

NIM 111501143

(6)
(7)

PENGGUNAAN OBAT ANTIINFLAMASI PADA PENYAKIT RHEUMATOID ARTHRITIS PASIEN RAWAT JALAN UNIT PELAKSANAAN TEKNIS DAERAH (UPTD) PUSKESMAS JULI

BIREUEN ABSTRAK

Latar Belakang: Rheumatoid Arthriti (RA) adalah penyakit inflamasi sistemik kronik yang penyebabnya tidak diketahui. Gejala yang timbul berupa nyeri sendi, pembengkakan sendi, kerusakan sinovial sendi, hingga hilangnya fungsi sendi dan dapat menyebabkan kematian dini.

Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana penggunaan obat antiinflamasi pada penyakit rheumatoid arthritis dan rasionalitas obat.

Metode: Penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan metode retrospektif. Data diperoleh melalui instalasi rekam medik pada periode Mei – Juli 2017. Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan persentase, dengan kriteria inklusi semua obat antiinflamasi pada rheumatoid arthritis dan kriteria ekslusi seluruh data rekam medik pasien rheumatoid arthritis yang tidak lengkap.

Analisi data berdasarkan penggolongan umur dan rasionalitas obat dilihat dari tepat diagnosis, tepat indikasi, tepat obat, tepat dosis.

Hasil: Hasil penelitian menunjukan bahwa selama periode Mei – Juli 2017 terdapat 50 pasien rawat jalan yang didiagnosis rheumatoid arthritis. Pasien yang paling banyak terkena penyakit rheumatoid arthritis berjenis kelamin perempuan (70%) dibandingkan dengan pasien laki – laki (30%). Penggunaan obat antiinflamasi RA golongan AINS COX-2 preferensial sediaan oral lebih banyak digunakan. Dari hasil rasionalitas obat yang diperoleh adalah 100% tepat diagnosis, 100% tepat indikasi, 88% tepat obat dan 12% tidak tepat obat, 82%

tepat dosis.

Kesimpulan: Penggunaan obat antiinflamasi pada penyakit rheumatoid arthritis pasien rawat jalan unit pelaksanaan teknis daerah (UPTD) Puskesmas Juli Bireuen sebagian besar sudah rasional.

Kata kunci: Rheumatoid arthritis, obat antiinflamasi.

(8)

USE OF ANTIINFLAMATION DRUGS IN RHEUMATOID ARTHRITIS DISEASE PATIENTS OF REGIONAL WELFARE REGIONAL TECHNICAL IMPLEMENTATION UNIT (UPTD) PUSKESMAS JULI

BIREUEN ABSTRACT

Background: Rheumatoid Arthritis (RA) is a chronic systemic inflammatory disease whose cause is unknown. Symptoms include joint pain, joint swelling, joint synovial damage, to loss of joint function and can cause premature death.

The purpose of this study was to determine how to use anti-inflammatory drugs in rheumatoid arthritis and drug rationality.

Objective: The purpose of this study was to find out how to use anti- inflammatory drugs in rheumatoid arthritis and drug rationality.

Method: This study is descriptive using the retrospective method. Data was obtained through medical record installations in the period May - July 2017. The data obtained were presented in table and percentage forms, with the inclusion criteria for all anti-inflammatory drugs in rheumatoid arthritis and exclusion criteria for incomplete medical record data of patients with rheumatoid arthritis.

Data analysis based on age classification and drug rationality seen from the right diagnosis, right indication, right drug, right dose.

Results: The results showed that during the period May - July 2017 there were 50 outpatients diagnosed with rheumatoid arthritis. Patients most affected by rheumatoid arthritis were female (70%) compared to male patients (30%). The use of RA antiinflammatory drugs preferential COX-2 NSAIDs is more widely used.

From the results of rationality the drugs obtained were 100% precise diagnosis, 100% exact indication, 88% right medicine and 12% inappropriate drug, 82%

right dose.

Conclusion: The use of anti-inflammatory drugs in rheumatoid arthritis patients in outpatient technical implementation units (UPTD) of the July Bireuen Health Center is mostly rational.

Keywords: Rheumatoid arthritis, anti-inflammatory drugs

(9)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR.... ... iv

SURAT PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Permasalahan ... 5

1.3 Hipotesis ... 6

1.4 Tujuan ... 6

1.5 Manfaat Penelitian ... 6

1.6 Kerangka Pikir Penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1 Pengertian Obat ... 8

2.2 Pengertian Resep ... 8

2.3 Pembagian Obat Antiinflamasi ... 9

2.4 Rheumatoid Artritis ... 10

2.4.1 Definisi Rheumatoid Artritis ... 10

2.4.2 Klasifikasi Rheumatoid Artritis ... 10

2.4.3 Etiologi ... 11

2.4.4 Patofisiologi ... 13

2.4.5 Sendi – Sendi Yang Terkena Rematik ... 15

2.4.6 Diagnosa ... 16

2.4.7 Pengobatan Farmakologi ... 17

2.4.8 Terapi Non Farmakologi ... 18

BAB III METODELOGI PENELITIAN ... 20

3.1 Jenis Penelitian ... 20

3.2 Populasi dan Sampel Penelitian ... 20

3.2.1 Populasi ... 20

3.2.2 Sampel ... 20

3.3 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... 20

3.3.1 Kriteria Inklusi ... 20

3.3.2 Kriteria Eksklusi ... 21

3.4 Tempat dan Waktu Penelitian ... 21

3.5 Definisi Operasional ... 21

3.6 Instrumen Penelitian... 22

3.6.1 Sumber Data ... 22

3.6.2 Teknik Pengumpulan Data ... 22

3.7 Analisis Data ... 22

3.8 Langkah Penelitian ... 23

(10)

BAB IV Hasil dan Pembahasan ... 24

4.1 Karakteristik Pasien Rheumatoid Arthritis Berdasarkan Jenis Kelamin dan Usia ... 24

4.2 Persentase Penggunaan Obat Antiinflamasi Berdasarkan Generik Dan Non Generik ... 25

4.3 Persentase Penggunaan Obat Antiinflamasi Pada Rheumatoid Arthritis Berdarkan Bentuk Sediaan ... 26

4.4 Persentase Penggunaan Obat Antiinflamasi Pada Pasien Rheumatoid Arthritis Berdasarkan klasifikasi Obat AINS ... 27

4.5 Persentase Penggunaan Obat Antiinflamasi Berdasarkan Lama Pemberian ... 28

4.6 Persentase Penggunaan Obat Antiinflamasi Berdasarkan Dosis Obat ... 29

4.7 Analisis Kerasionalan ... 30

4.7.1 Tepat Diagnosis ... 31

4.7.2 Tepat Indikasi ... 31

4.7.3 Tepat Obat ... 31

4.7.4 Tepat Dosis ... 32

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 34

5.1 Kesimpulan ... 34

5.2 Saran ... 35

DAFTAR PUSTAKA ... 36

LAMPIRAN ... 41

(11)

DAFTAR TABEL

3.1 Karakteristik Pasien Rheumatoid Arthritis Berdasarkan Jenis

Kelamin dan Usia ... 24 3.2 Persentase Penggunaan Jenis Obat Antiinflamasi Berdasarkan

Generik dan Non Generik ... 26 3.3 Persentase Penggunaan Obat Antiinflamasi Berdasarkan

Bentuk Sediaan ... 26 3.4 Persentase Penggunaan Obat Antiinflamasi Pada Rheumatoid

Arthritis Berdasrkan Klasifikasi Obat AINS ... 27 3.5 Persentase Penggunaan Obat Antiinflamasi Pada Pasien

Rheumatoiud Arthritis Berdasarkan Lama Pemberian Obat ... 28 3.6 Persentase Penggunaan Obat Antiinflamasi Pada Rheumatoid

Arthritis Berdasarkan Dosis Obatnya ... 29 3.7 Analisis Kerasionalan ... 30

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Surat Penunjukan Dosen Pembimbing dan Judul Penelitian ... 38

2 Surat Pernyataan Selesai Melakukan Penelitian ... 39

3 Etical Clirens ... 40

4 Data Pasien Rheumatoid Arthtritis ... 41

(13)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Rheumatoid Arthritis adalah penyakit inflamasi sistemik kronik yang penyebabnya tidak diketahui. Adanya pemicu eksternal seperi merokok, infeksi,atau trauma yang memicu reaksi autoimun dapat menyebabkan hipertrofi sinovial dan peradangan sendi kronis. Hal ini terjadi pada individu yang rentan secara genetik, dan banyak dialami mulai dari usia 20 maupun usia 30. Gejala yang timbul berupa nyeri sendi, pembengkakan sendi, kerusakan sinovial sendi, hingga hilangnya fungsi sendi dan dapat menyebabkan kematian dini (Arthritis Foundation, 2015).

Penyakit tidak menular merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas dinegara yang sedang berkembang termasuk Indonesia. Menurut WHO (World Health Organization) pada tahun 2007 proporsi kematian di dunia akibat penyakit tidak menular sebesar 60% dan proporsi kesakitan sebesar 47% dan kejadian ini akan terus meningkat diperkirakan pada tahun 2020 menjadi 73%

kematian dan 60% kesakitan yang disebabkan penyakit tidak menular (Depkes RI, 2006).

Organisasi kesehatan dunia WHO melaporkan bahwa 20% penduduk dunia terserang penyakit rheumatoid arthritis, dimana 5-10% adalah mereka yang berusia 5-20 tahun dan 20% mereka yang berusia 55 tahun. Menurut WHO tahun 2010 lebih dari 355 juta orang di dunia menderita penyakit rheumatoid arthritis sementara di Indonesia sendiri kejadian penyakit ini lebih rendah dibandingkan dengan negara maju seperti Amerika. Prevalensi kasus rheumatoid arthritis di

(14)

Indonesia berkisar 0,1% sampai 0,3% sementara di Amerika mencapai 3%

(Wiyono, 2010).

Penyakit rematik adalah penyakit yang menyerang persendian dan struktur di sekitarnya. Penyakit rematik sering sekali dihubungkan dengan Terminologi Arthritis yang berhubungan dengan lebih dari 100 penyakit termasuk Rheumatoid Arthritis, Osteoarthritis, Gouty Arthritis, Spondiloartritis, Lupus Eritematosus Sistemik, Skleroderma, dan lain-lain (Kalim, 2014). Penyakit ini menyebabkan inflamasi, kekakuan, pembengkakan, dan rasa sakit pada sendi, otot, tendon, ligamen, dan tulang. Penyakit ini dapat dikategorikan secara luas berupa penyakit sendi, keterbatasan fisik, gangguan tulang belakang, dan kondisi yang disebabkan oleh trauma (WHO, 2015).

Penyakit rematik memiliki dampak yang besar terhadap individu maupun terhadap masyarakat. Penyakit ini juga berdampak terhadap ekonomi dari individu, masyarakat, hingga negara. Namun, penyakit rematik sering disepelekan oleh masyarakat pada umumnya karena tidak menimbulkan kematian. Padahal, apabila tidak ditangani dengan tepat, penyakit rematik dapat mengakibatkan gangguan fungsi bahkan kelumpuhan (Nainggolan, 2009).

Tatalaksana pengobatan terdiri dari non-farmakologis rheumatoid arthritis yaitu rehabilitasi yang bertujuan untuk mengembalikan kemampuan pasien seperti semula, secara khusus yaitu mengurangi rasa nyeri, mencegah terjadinya kelemahan otot, atau dengan pengubahan gaya hidup dengan cara istirahat dan latihan serta dengan perawatan sendi atau dengan cara diet sehat, dengan terapi pembedahan dilakukan pada keadaan kronis bila ada nyeri berat dengan kerusakan

(15)

sendi. Sedangkan untuk terapi farmakologisnya yaitu dengan cara menggunakan obat untuk menghilangkan atau mengurangi rasa sakit (Suarjana, 2009).

Rasionalitas obat merupakan penilaian yang sesuai dengan beberapa aspek ketepatan, yaitu diantaranya tepat indikasi, tepat dosis, tepat obat, tepat pasien,tepat cara pemberian. Pasien dapat dikatakan rasional apabila memenuhi evaluasi penilaian ketepatan tersebut. Jika terdapat salah satu yang tepat diantaranya, maka pasien tidak dapat memenuhi evaluasi ketepatan. Sehingga pasien dapat dikatakan tidak mendapatkan terapi pengobatan Rheumatoid Arthritis secara rasional. Pasien dapat dikatakan telah mendapatkan obat AINS secara rasional jika telah memenuhi kriteria evaluasi ketepatan dan tidak ada satupun obat AINS yang diberikan tidak memenuhi evaluasi ketepatan pemberian obat AINS (Kumolosari, dkk., 2001).

Etiologi rheumatoid arthritis belum diketahui dengan pasti. Namun, kejadiannya dikorelasikan dengan interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan lingkungan. Faktor resiko dalam peningkatan terjadinya rheumatoid arthritis antara lain yaitu jenis kelamin perempuan, ada riwayat keluarga yang menderita rheumatoid arthritis, umur lebih tua, merokok, resiko juga mungkin terjadi akibat konsumsi kopi lebih dari tiga cangkir sehari, dan obesitas juga merupakan faktor resiko (Suarjana, 2009).

Berdasarkan hasil penelitian terakhir dari Qing (2008) prevalensi nyeri rematik di beberapa negara Asean adalah, 26,3% Bangladesh, 18,2% India, 23,6- 31,3% Indonesia, 16,3% Filipina, dan 14,9% Vietnam. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (2013) menunjukkan bahwa kecenderungan prevalensi rheumatoid arthritis di Indonesia tahun 2007-2013 pada usia lebih sama dengan

(16)

15 tahun terdapat 30,3 % pada tahun 2007, dan mengalami penurunan pada tahun 2013 yaitu menjadi 24,7%. Sedangkan data penderita rematik di Indonesia berdasarkan jenis kelamin cenderung terjadi pada perempuan dengan prevalensi 34%. Perempuan dengan hormon ekstrogenya lebih berpeluang terserang rheumatoid arthritis dibandingkan dengan pria. Hormon esktrogen sangat penting untuk menjaga kepadatan tulang, kekurangan hormon ektrogen mengakibatkan lebih banyak penghancuran tulan dari pada pembentukan tulang (Zeng, 2008).

Penelitian ini juga telah dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan dengan hasil penggunaan obat antiinflamasi pada rheumatoid arthritis bahwa menejemen awal pengobatan pasien rheumatoid arthritis, obat meloxikam golongan AINS merupakan obat yang paling banyak diresepkan.

AINS diberikan sebagai terapi awal untuk mengurangi nyeri dan inflamasi. Efek terapi dan efek samping AINS berhubungan dengan mekanisme kerja sediaan ini pada enzim cyclooxygenase-1 (COX-1) dan cyclooxygenase-2 (COX-2) yang dibutuhkan dalam biosintesis prostaglandin. Pertimbangan farmakologi dalam pemilihan AINS sebagai antiinflamasi pada rheumatoid arthritis secara rasional yaitu AINS terabsorbsi cepat dan terdistribusi kedalam sinovium (Lelo, 2004).

Sebagian besar pasien yang hanya karena merasa cocok dengan obat yang tadinya diresepkan oleh dokternya, sehingga ketika merasakan sakit kembali mereka membeli obat yang pernah diresepkan di warung atau toko obat tanpa merasa perlu berkonsultasi dahulu dengan dokter. Padahal penggunaan obat rematik yang tidak tepat bisa menyebabkan efek samping kerusakan lambung atau saluran cerna (Makmun, 2009).

(17)

Saat ini belum didapatkan suatu cara pencegahan dan pengobatan rheumatoid arthritis yang sempurna. Namun diketahui konsep pengobatan dari rheumatoid arthritis diantaranya yaitu menghilangkan gejala inflamasi aktif baik lokal maupun sistemik, mencegah terjadinya destruksi jaringan, mencegah terjadinya deformitas dan memelihara fungsi persendian agar tetap dalam keadaan baik, serta mengembalikan kelainan fungsi organ dan persendian yang terlibat agar sedapat mungkin menjadi normal kembali (Daud, 2001).

Berdasarkan latar belakang diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui penggunaan obat antiinflamasi mengenai Rasionalitas Penggunaan Obat Anti-Inflamasi Non-steroid pada pasien RA rawat jalan di Unit Pelaksanaan Teknis Daerah (UPTD) Puskesmas Juli Bireuen.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, maka rumusan masalah penelitian ini apakah penggunaan obat antiinflamasi pada penyakit rheumatoid arthritis pada pasien rawat jalan unit pelaksanaan teknis daerah (UPTD) puskesmas Juli Bireuen berdasarkan karakteristik pasien (usia dan jenis kelamin) dan karakteristik obat (jumlah obat, lama pemberian obat, cara pemberian obat, golongan obat, bentuk sediaan obat, dan dosis obat) dan rasionalitas obat yang di tinjau dari Ketepatan Diagnosis, Ketepatan Indikasi, Ketepatan Obat, Ketepatan Dosis, Tepat Pasien.

(18)

1.3 Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka hipotesis penelitian ini adalah penggunaan obat antiinflamasi pada penyakit rheumatoid arthritis UPTD Puskesmas Juli Bireuen berdasarkan karakteristik pasien (usia dan jenis kelamin) dan karakteristik obat ( jumlah obat, lama pemberian obat, cara pemberian obat, golongan obat, bentuk sediaan obat, dan dosis obat) dan rasionalitas obat yang di tinjau dari Ketepatan Diagnosis, Ketepatan Indikasi, Ketepatan Obat, Ketepatan Dosis, Tepat Pasien.

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penlitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana penggunaan obat antiinflamasi pada penyakit rheumatoid arthritis berdasarkan (jenis kelamim, usia, jenis obat generik atau non generik), golongan obat, jumlah obat, lama pemberian obat, bentuk sediaan obat, dosis obat, cara pemberian obat antiinflamasi) dan rasionalitas obat yang di tinjau dari Ketepatan Diagnosis, Ketepatan Indikasi, Ketepatan Obat, Ketepatan Dosis, Tepat Pasien.

1.5 Manfaat Penelitian

a. Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini ialah menambah ilmu b. pengetahuan dan pemahaman peneliti dan tenaga kesehatan mengenai

penggunaan obat antiinflamasi yang efektif dan rasional dalam praktek sehari- hari di UPTD Puskesmas Juli Bireuen dalam penggunaan obat dosis obat, lama pemberian obat, pemilihan jenis obat yang maksimal tanpa efek samping atau dengan efek samping yang seminimal mungkin.

(19)

c. Menjadi bahan rujukan untuk penelitian-penelitian berikutnya.

d. Menjadi wadah untuk mengembangkan kemampuan peneliti dalam menulis Karya Tulis Ilmiah serta daya analisa peneliti.

1.6 Kerangka Pikir Penelitian

Penelitian ini mengkaji tentang penggunaan obat antiinflamasi pada pasien rheumatoid arthritis di UPTD Puskesmas Juli Bireuen dan mengidentifikasi obat- obat antiinflamasi yang sering digunakan dalam pengobatan rheumatoid arthritis.

Dalam hal ini yang merupakan variabel pengamatan adalah karakteristik pasien (usia dan jenis kelamin) dan karakteristik obat (jumlah obat, lama pemberian, cara pemberian, bentuk sediaan, dosis obat) dan rasionalitas obat yang di tinjau dari Ketepatan Diagnosis, Ketepatan Indikasi, Ketepatan Obat, Ketepatan Dosis, Tepat Pasien. Adapun selengkapnya mengenai gambaran kerangka pikir peneliti ini ditunjukkan pada gambar berikut :

Variabel bebas Variabel terikat Parameter

Obat antiinflamasi Rheumatoid arthritis

a Jenis kelamin dan usia b Jenis obat (generik dan

non generik c Golongan obat

d Lama pemberian obat e Bentuk sediaan dan

cara pemakaian obat f Dosis obat

Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian

(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Obat

Menurut Undang-Undang Kesehatan No. 36 tahun 2009, obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia. Dalam penggunaannya, obat akan bersifat sebagai obat apabila tepat digunakan dalam pengobatan suatu penyakit dengan dosis dan waktu yang tepat dan obat akan bersifat racun apabila salah dalam penggunaannya atau dengan dosis yang berlebih, namun apabila dosisnya kurang juga tidak memperoleh penyembuhan (Anief, 2004).

2.2 Pengertian Resep

Menurut Permenkes (2014), resep adalah permintaan tertulis dokter atau dokter gigi kepada apoteker, baik dalam bentuk tulisan maupun elektronik untuk menyediakan dan menyerahkan obat kepada pasien sesuai dengan peraturan yang berlaku (Depkes RI, 2014). Resep selalu dimulai dengan tanda R/ yang artinya recipe yaitu ambillah, dibelakang tanda ini biasanya baru tertera nama dan jumlah obat. Resep harus ditulis secara jelas dan lengkap, apabila resep tidak bisa dibaca dengan jelas dan tidak lengkap, apoteker atau asisten apoteker harus menanyakannnya kepada dokter penulis resep. Resep asli tidak boleh diberikan kembali setelah obatnya diambil oleh pasien, hanya diberikan copy resep atau salinan resepnya ( Syamsuni, 2006).

(21)

2.3 Pembagian Obat Antiinflamasi

Obat antiinflamasi dibagi menjadi dua, yaitu obat antiinflamasi steroid dan obat antiinflamasi non steroid atau yang lebih dikenal dengan sebutan NSAID (Non Steroid Anti-inflammatory Drugs)/AINS adalah suatu golongan obat yang memiliki khasiat analgesik (pereda nyeri), antipiretik (penurun panas), dan antiinflamasi (anti radang). NSAID merupakan obat yang heterogen, bahkan beberapa obat sangat berbeda secara kimiawi. Walaupun demikian, obat-obat ini ternyata memiliki banyak persamaan dalam efek terapi maupun efek samping.

Obat golongan NSAID dinyatakan sebagai obat anti inflamasi non steroid,karena ada obat golongan steroid yang juga berfungsi sebagai anti inflamasi.Obat golongan steroid bekerja di sistem yang lebih tinggi dibanding NSAID, mekanisme kerja obat antiinflamasi steroid yaitu menghambat enzim fosfolipase menjadi asam arakidonat melalui penghambatan terhadap enzim fosfolipase sehingga menghambat pembentukan prostaglandin maupun leukotrien.

Penggunaan obat antiinflamasi steroid dalam jangka waktu lama tidak boleh dihentikan secara tiba-tiba, efek sampingnya cukup banyak yaitu dapat menimbulkan tukak lambung, osteoporosis, retensi cairan dan gangguan elektrolit.

Obat antiinfamasi steroid diantaranya, hidrokortison, deksametason, metil prednisolon, kortison asetat, betametason, triamsinolon, prednison, fuosinolon asetonid, prednisolon, triamsinolon asetonid dan fuokortolon (Daud, 2001).

(22)

2.4 Rheumatoid Arthritis (RA) 2.4.1 Defenisi Rheumatoid Arthritis

Rheumatoid arthritis (RA) merupakan penyakit kelainan autoimun, ditandai dengan adanya inflamasi sendi dan dapat berlangsung secara kronik. RA ditandai dengan peradangan pada lapisan sinovium sendi yang dapat menyerang persendian kecil hampir 90% keluhan utamanya adalah sendi terasa kaku.

Penderita rheumatoid arthritis akan mengalami beberapa gejala seperti nyeri, inflamasi, kekakuan sendi di pagi hari dan kesulitan bergerak. Rheumatoid Arthritis juga menyebabkan gangguan fungsional yang ditandai dengan kelelahan, nafsu makan berkurang dan menurunnya berat badan.Rheumatoid Arthritis stadium lanjut akan menyebabkan terganggunya aktivitas sehari-hari. Penyebab penyakit rheumatoidarthritis masih belum diketahui secara pasti, namun meningkatnya resiko penyakit ini dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan faktor genetik (Rubenstein, 2003).

2.4.2 Klasifikasi Rheumatoid Arthritis (RA)

Journal Of The Royal Society Of Medicine membagi 4 (empat)onset, yaitu : 1) Polymyalgic Onset

Biasanya dialami oleh usia lanjut dan merupakan penyakitakut. Dengan kekakuan disekitar bahu dan lingkar panggul. Tingkat ESR (Erythrocyte Sedimentation Rate) biasanya tinggi. Pengobatan yang paling umum biasanya menggunakan kortikosteroid dosis rendah (Prednisolon 15 – 20 mg per hari).

2) Palindromic Onset

Pasien mengalami nyeri berulang, pembengkakan dankemerahan yang mempengaruhi salah satu sendi atau lebih pada satuwaktu, masing-masing

(23)

berlangsung hanya satu atau dua hari. Kemudian pasien bisa mengalami gejala yang terus menerus.

3) Systemic Onset

Keluhan pertama biasanya seperti penurunan berat badan, kelelahan, depresi, demam, atau bisa berhubungan dengan fitur ekstra artikular seperti radang pada paru-paru (serositis) atau radang pada pembuluh darah (vaskulitis).

4) Persistent Monoarthritis

Biasanya pasien megalami gejala arthritis persisten yangmempengaruhi satu sendi besar seperti lutut, bahu, pergelangan kakiatau pergelangan tangan (Suresh, 2004).

2.4.3 Etiologi

Rheumatoid arthritis merupakan penyakit kelainan autoimun yang berlangsung secara kronis yangditandai dengan peradangan, nyeri, kekakuan dan kerusakan sendi yangterus meningkat. Selain tingginya rasa nyeri dan angka kematian, penderitarheumatoid arthritis mengalamimasalah penurunan produktivitas, keuangan, emosional dan keadaan sosial yangmempengaruhi kualitas hidup mereka (Bykerk dkk., 2011). Ada beberapa faktor resiko yang dapat menyebabkan seseorang menderita rheumatoid arthritis, yaitu :

1) Genetik

Pada penyakit rheumatoid arthritis faktor genetik sangatberpengaruh.Gen- gen tertentu yang terletak di komplekshistokompatibilitas utama (MHC) pada kromosom 6 telah terlibatpredisposisi dan tingkat keparahan rheumatoid arthritis.

Pendudukasli Amerika dengan gen polimorfik HLA-DR9 memiliki resiko 3,5lebih besar terkena rheumatoid arthritis bawaan.

(24)

2) Infeksi

Agen penginfeksi yang terkait pada rheumatoid arthritis antaralain mycoplasma, mycobacterium, parvovirus, virusEpstein-Barr,dan retrovirus. Agen penginfeksi ini menginfeksi pasien melaluiinfeksi sinovial.

3) Usia dan jenis kelamin

Penyakit rheumatoid arthritis lebih banyak dialami olehwanita daripada laki-laki dengan rasio 2:1 hingga 3:1. Perbedaanini dipengaruh dari hormon namun data inimasih dalam penelitian.Wanita memiliki hormon estrogen sehinggadapat memicu sistem imun.penyakit rheumatoid arthritis biasanya terjadi pada usia kurang lebih 40 tahun.

4) Obesitas

Secara statistik perempuan memiliki body mass index (BMI)diatas rata- rata dimana kategori BMI pada perempuan Asiamenurut jurnal American Clinical Nutrition adalah antara 24 sampaidengan 26,9kg/m2.BMI di atas rata-rata mengakibatkan terjadinyapenumpukan lemak pada sendi sehingga meningkatkan tekananmekanik pada sendi penahan beban tubuh, khususnya lutut.

5) Lingkungan

Banyak faktor lingkungan yang mempengaruhipada penyakit rheumatoid arthritis, meskipun tidak ada objek spesifikyang diidentifikasikan sebagai masalah utama. Merokok adalah salahsatu faktor resiko dari keparahan rheumatoid arthritis pada populasitertentu.Tetapi alasan pengaruh rokok terhadap sinovitis belumsepenuhnya didefinisikan, tetapi rokok dapat mempengaruhi sistemkekebalan bawaan di jalan nafas (Firestein dkk., 2005).

(25)

2.4.4 Patofisiologi

Rheumatoid arthritis sering disebut radang selaput sinovial. Penyebab dari rheumatoid arthritis masih belum jelas, tetapi produksifaktor rheumatoid (RFS) oleh sel-sel plasma dalam sinovium dan pembentukan lokal kompleks imun sering berperan dalam peradangan. Sinovium normal tipis dan terdiri dari lapisan-lapisan fibroblastsynoviocytes dan makrofag. Pada penderita rheumatoid arthritis sinovium menjadi sangat tebal dan terasa sebagai pembengkakan di sekitar sendi dan tendon. Sinovium berproliferasi ke dalam lipatan, lipatan ini kemudian dipengaruhi oleh berbagai sel inflamasi diantaranya polimorf yang berpindah melalui jaringan ke dalam sel sendi, limfosit dan plasma sel.Lapisan sel sinovium menjadi menebal dan hiperplastik, kejadian ini adalah tanda proliferasi vaskuler awal rheumatoid arthritis. Peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan lapisan sinovial menyebabkan efusi sendi yang mengandung limfosit dan polimorf yang hampir mati (Kumar dan Clark, 2009).

Sinovium hiperplastik menyebar dari daerah sendi ke permukaan tulang rawan. Penyebaran ini menyebabkan kerusakan pada sinovium dan tulang rawan mengalami peradangan, kejadian ini menghalangi masuknya gizi ke dalam sendi sehingga tulang rawan menjadi menipis.Fibroblast dari sinovium berkembang dan tumbuh di sepanjang pembuluh darah antara margin sinovial dan rongga tulang epifis dan dapat merusak tulang (Kumar dan Clark, 2009).

Sistem kekebalan tubuh memiliki dua fungsi yaitu fungsi humoral dan sel dimediasi.Komponen humoral diperlukan untuk pembentukan anti bodi.Antibodi ini diproduksi oleh sel-sel plasma yang berasal dari limfosit B. Faktor rheumatoid sendiri belum di identifikasikan sebagai patogen, jumlah antibodi yang beredar

(26)

selalu berkolerasi dengan aktivitas penyakit. Imunoglobulin dapat mengaktifkan sistem komplemen. Sistem komplemen menguatkan respon imun dengan mendorong kemotaksis, fagositosis, dan pelepasan limfokin oleh sel mononuklear yang kemudian dijabarkan ke dalam T limfosit (Dipiro dkk., 2008)

Proses awalnya, antigen (bakteri, mikroplasma atau virus)menginfeksi sendi akibatnya terjadi kerusakan lapisan sendi yaitu pada membran sinovial dan terjadi peradangan yang berlangsung terus-menerus. Peradangan ini akan menyebar ke tulang rawan kapsul fibromaligament tendon. Kemudian terjadi penimbunan sel darah putih dan pembentukan pada jaringan parut sehingga membran sinovium menjadi membesar dan menebal.Terjadinya pembesaran dan penebalan ini menyebabkan aliran darah yang masuk ke dalam sendi menjadi terhambat. Keadaan seperti ini akan mengakibatkan terjadinya nekrosis(rusaknya jaringan sendi), nyeri hebat dan deformitas (perubahan bentuk) (Dipiro dkk., 2008).

Sendi yang paling sering terkena rheumatoid arthritis adalah sendi pada tangan, pergelangan tangan dan kaki. Selain itu, siku, bahu, pinggang,lutut dan pergelangan kaki. Peradangan kronis dengan kurangnya program latihan yang memadai bisa berpengaruh pada hilangnya rentang gerak, pengecilan jaringan otot, kelemahan dan perubahan bentuk. Keterlibatan tangan dan pergelangan tangan adalah umum pada pasien rheumatoid arthritis. Keterlibatan tangan d imanifestasikan dengan nyeri,pembengkakan, ketidakstabilan, dan pengecilan jaringan otot dalam fase kronis. Kesulitan fungsional ditandai dengan berkurangnya gerakan motorik halus. Perubahan bentuk tangan dapat dilihat dengan peradangan kronis, perubahan ini dapat mengubah mekanisme fungsi

(27)

tangan dan mengurangi kekuatan pegangan, hal ini membuat sulit untuk melakukan aktivitas sehari-hari (Dipiro dkk., 2008).

2.4.5 Sendi-sendi yang Terkena Rheumatoid Arthritis

Beberapa sendi yang sering terkena pada pasien rheumatoid arthritis adalah sebagai berikut :

a. Tangan dan Pergelangan Tangan

Dampak rheumatoid arthritis pada tangan sangat parah, Padaawal gejala jari menjadi bengkak, nyeri dan kaku. Radang pada otot yang menyebabkan tungkai atau bagian lain menekuk sehingga meningkatkan gangguan fungsional.

b. Bahu

Rheumatoid arthritis juga mempengarui bahu.Awal gejala nyeri pada lengan atas yang terjadi dimalam hari. Sebagian sendi menjadi terganggu dan kaku. Hal ini bisa mengganggu pada saat berpakaian, makan dan di toilet.

c. Siku

Sinovitis pada siku menyebabkan pembengkakan dan pergerakan siku terganggu. Pasien juga mengalami kesulitan makan jika dikombinasikan dengan bahu, tangan dan pergelangan tangan yang cacat.

d. Kaki

Salah satu manifestasi awal rheumatoid arthritis adalah pembengkakan.

Kaki terlihat menjadi lebih besar yang diakibatkan dari pembengkakan yang menyebabkan rasa sakit.

e. Lutut

Sebagian besar sinovitis dan penumpukan cairan terjadi di lutut.

(28)

f. Pinggul

Pinggul jarang terkena pada awal rheumatoid arthritis.

g. Tulang Belakang Pada Leher

Kekakuan dan nyeri di leher pada rheumatoid arthritis bisa karena otot leher (Kumar and Clark, 2009).

Gambar 2.1 Sendi-sendi Yang Terkena Rheumatoid Arthritis (Kumar dan Clark, 2009).

2.4.6 Diagnosa

Pada kasus rheumatoid arthritis gejala cukup bervariasi dan sulit diprediksi pada setiap individu. Pendekatan terapi pada awal-awal diagnosa dapat mengurangi gejala seperti peradangan sendi, cacat,kerusakan sendi dan kematian.

Secara klasik, kebanyakan pasien mengalami kerusakan sendi tetapi berfluktuasi, disertai dengan tingkat kerusakan sendi dan gangguan fungsional. Pada usia 10-20 tahun, <20%pasien tidak mengalami kecacatan dan kelainan sendi. Harapan hidup rata-rata orang dengan rheumatoid arthritis diperpendek 3-7 tahun. Pasien dengan rheumatoid arthritis mengalami peningkatan angka kematian 2,5 kali lebih tinggi.

Angka kematian meningkat dikarenakan infeksi dan pendarahan pada

(29)

gastrointestinal dan resiko penyakit kardiovaskuler. Faktor terkait dengan kematian dini termasuk cacat, durasi penyakit ataukeparahan, peradangan persisten, penggunaan glukokortikoid, usia, danstatus sosial ekonomi atau pendidikan yang rendah (Daud, 2001).

2.4.7 Penggolongan Obat Antiinflamasi

Salisilat dan obat serupa lainnya yang digunakan untuk mengobati penyakit rheumatoid arthritis mempunyai kemampuan untuk menekan tanda dan gejala peradangan. Obat-obat ini juga mempunyai efek antipiretik dan analgesik, tetapi efekinflamasi yang membuat obat-obat ini bermanfaatdalam tata laksana kelainan disertai nyeri yang berhubungandengan intensitas proses peradangan.

a. Meloksikam

Meloksikam adalah suatu enolkarboksamida yangberkaitan dengan piroxikam dan terbukti lebih menghambatCOX-2 dari pada COX-1, khususnya pada dosis rendahyakni 7,5 mg/hari. Meloksikam menyebabkan lebih sedikitgejala dan komplikasi pada saluran cerna.

b. Diklofenak

Diklofenak adalah suatu turunan asam fenilasetat yangrelatif tidak selektif sebagai penghambat COX. Efeksamping terjadi 20% pasien dan meliputi gangguan salurancerna, pendarahan samar saluran cerna, dan ulkus lambung,meskipun ulkus lebih jarang terjadi dari pada OAINSlainnya.

c. Ibuprofen

Merupakan turunan sederhana asam fenilpropioat. Pada dosis sekitar 2.400 mg per hari efek inflamasi ibuprofen setara dengan 4 gram aspirin. Pemberian ibuprofen mengkatagoniskan inhibisi trombosit ireversibel yang dipicu oleh

(30)

aspirin. Oleh karena itu, terapi dengan ibuprofen pada pasien dengan peningkatan resiko kardiovaskuler dapat membatasi efek kardioprotektif milik aspirin.

d. Asam Mefenamat

Cara kerja asam mefenamat adalah seperti OAINS (Obat Anti-Inflamasi Non-Steroid atau NSAID) lain yaitu menghambat sintesa prostaglandin dengan menghambat kerja enzim cyclooxygenase (COX-1 & COX-2). Asam mefenamat mempunyai efek antiinflamasi, analgetik (antinyeri) dan antipiretik.

2.4.8 Terapi Non Farmakologi a) Latihan

Rheumatoid arthritis dapat mengurangi aktivitas fisikkarena sakit atau disfungsi sendi. Sebuah studi baru-baru initelah mengidentifikasi bahwa peningkatan latihan aerobik(intensitas sedang sampai tinggi, 3 kali seminggu selama 30sampai 60 menit) memperkuat latihan (2 sampai 3 kali seminggu) akan menghasilkanhasil yang lebih baik bagi pasien dengan rheumatoid arthritis (Kumar dan Clark, 2009).

b) Diet

Peran diet masih kontroversial tetapi bukti terbarumenunjukkan bahwa beberapa modifikasi diet dapat mengurangiaktivitas penyakit.Yang menarik adalah penelitian kecilmenunjukkan bahwa diet mediterania (konsumsi banyak buah-buahan, sayuran, sereal, kacang-kacangan, daging merah kecil,lebih banyak ikan, minyak zaitun, asupan anggur) dapatmengurangi aktivitas penyakit pada pasien rheumatoid arthritis (Kumar dan Clark, 2009).

c) Pendidikan

(31)

Pasien dengan rheumatoid arthritis yang memiliki tingkatketidakberdayaan yang berkaitan dengan penyakit merekamemiliki hasil yang lebih buruk bila dibandingkan denganmereka yang mampu mengatasi informasi ini adalah dasar untukmengembangkan berbagai program pendidikan yang dirancanguntuk mengurangi ketidakberdayaan dengan meningkatkanpengetahuan pasien (Kumar dan Clark, 2009).

d) Istirahat

Istirahat merupakan terapinonfarmakologi rheumatoid arthritis.Istirahat dapatmenyembuhkan stres dari sendi yang mengalami peradangandan mencegah kerusakan sendi yang lebih parah.Akan tetapi,terlalu banyak istirahat (berdiam diri) juga dapat menyebabkanimobilitas, sehingga dapat menurunkan rentang gerak danmenimbulkan atrofi otot.Pasien hendaknya tetap menjagagerakan dan tidak berdiam diri terlalu lama.Dalam kondisi yangmengharuskan pasien duduk lama, pasien mungkin dapatberistirahat sejenak setiap jam, berjalan-jalan sambilmeregangkan dan melenturkan sendi (Schuna dkk., 2008).

e) Pembedahan

Jika terapi obat gagal mencegah atau memperlamba tkerusakan sendi, tindakan pembedahan mungkin dapat dipertimbangkan untuk memperbaiki sendi yang rusak. Pembedahan dapat membantu mengembalikan kemampuan penggunaan sendi, mengurangi rasa sakit, dan mengurangi kecacatan (Kumar and Clark, 2009).

(32)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif yaitu analisis yang bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai subjek penelitian, yang diarahkan pada penyajian informasi mengenai data yang diperoleh melalui proses penelitian.

Pengambilan data dilakukan secara retrospektif yaitu meneliti kembali dengan menggunakan data sekunder.

3.2 Populasi dan Sampel Penelitian 3.2.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh data rekam medik pasien rawat jalan yang didiagnosis penyakit rheumatoid arthritis di Unit Pelaksanaan Teknis Daerah (UPTD) Puskesmas Juli Bireuen periode Mei – Juli 2017.

3.2.2 Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh data rekam medik pasien rheumatoid arthritis yang termasuk dalam kriteria inklusi di UPTD Puskesmas Juli Bireuen pada tahun 2017 periode Mei – Juli sebanyak 50 data rekam medik pasien.

3.3 Kriteria Inklusi dan Eksklusi 3.3.1 Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah :

a. Data Rekam medis pasien yang didiagnosa rheumatoid arthritis b. Data Rekam medis yang memuat data lengkap

(33)

3.3.2 Kriteria Eksklusi

Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah semua resep yang tidak lengkap dan resep yang untuk penyakit rheumatoid arthritis yang tidak terdapat obat NSAID.

3.4 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di divisi rekam medis UPTD Puskesmas Juli Bireuen dalam jangka waktu penelitian ini selama bulan September – Oktober 2017.

3.5 Definisi Operasional

Definisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Penggunaan obat antiinflamasi pada penyakit rheumatoid arthritis yang dinilai berrdasarkan jenis kelamin, usia, jenis obat (generik atau non generik), bentuk sediaan, cara pemakaian, golongan obat, dosis obat yang diberikan.

b. Usia adalah total lama waktu hidup objek sejak tanggal kelahiran hingga saat dilakukan pengobatan di puskesmas.

c. Jenis kelamin adalah gender dari objek penelitian.

d. Bentuk sediaan obat adalah bentuk sediaan yang mengandung bahan berkhasiat, bahan tambahan yang diperlukan untuk formulasi obat, dengan dosis serta volume dan bentuk sediaan tertentu, langsung dapat digunakan untuk terapi.

(34)

3.6 Instrumen Penelitian 3.6.1 Sumber Data

Sumber data yang diperlukan untuk pemeriksaan adalah sebagai berikut : a. Status rekam medik (Medical Record) pasien yang telah didiagnosis

rheumatoid arthritis.

b. Resep pasien yang didiagnosis rheumatoid arthritis 3.6.2 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan secara retrospektif yaitu penelitian kembali dengan menggunakan data sekunder untuk melihat apakah ada hubungan atau tidak antara penyakit dan faktor resiko penggobatan antiinflamasi dari rekam medik pasien rawat jalan penyakit RA di UPTD Puskesmas Juli Bireuen pada periode Mei – Juli 2017 dilakukan seleksi berdasarkan jenis kelamin, usia, jenis obat (generik atau non generik), golongan obat antiinflamasi, jumlah obat antiinflamasi perpasien, lama pemberian obat antiinflamasi, bentuk sediaan obat antiinflamasi, dosis obat antiinflamasi, cara pemakaian antiiflamsi Ketepatan Diagnosis, Ketepatan Indikasi, Ketepatan Obat, Ketepatan Dosis, Tepat Pasien dan Ketepatan Cara pemberian.

3.7 Analisis Data

Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan program Microsoft Excel, kemudian disajikan dalam persentase dan tabel, analisa data berdasarkan jenis kelamin dan usia, jenis obat, golongan obat, jumlah obat, lama pemakaian, bentuk sediaan, dosis obat, cara pemakain obat antiinflamasidan rasionalitas obat

(35)

yang di tinjau dari Ketepatan Diagnosis, Ketepatan Indikasi,m Ketepatan Obat, Ketepatan Dosis, Tepat Pasien dan Ketepatan Cara pemberian.

3.8 Langkah Penelitian

Langkah cara pengambilan data yang dilakukan untuk mengumpulkan data rekam medis pasien :

a. Meminta rekomendasi Dekan Fakultas Farmasi USU untuk dapat melakukan penelitian di UPTD Puskesmaas Juli Bireuen.

b. Meminta izin pihak Puskesmas Juli Bireuen untuk melakukan penelitian dibagian rekam medik.

c. Mengambil data pasien rawat jalan rheumatoid arthritis.

d. Menganalisis data dan informasi yang diperoleh, hingga diperoleh suatu kesimpulan dan menganalisis data menggunakan Micrsoft Excel.

(36)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan di Unit Pelaksanaan Teknis Daerah (UPTD) Puskesmas Juli Bireuen untuk mengetahui proporsi penggunaan obat antiinflamasi pada rheumatoid arthritis pasien rawat jalan periode Mei – Juli 2017. Berdasarkan data rekam medik pasien rawat jalan penyakit rheumatoid arthritis diperoleh sebanyak 50 data rekam medik pasien rawat jalan yang memenuhi kriteria inklusi sebagai objek penelitian yang meliputi penggunaan obat antiinflamasi berdasarkan karakteristik pasien (usia dan jenis kelamin) dan karakteristik obat (jumlah obat, lama pemberian, cara pemberian, golongan obat, bentuk sediaan, dan dosis obat).

4.1 Karakteristik Pasien Rheumatoid Arthritis Berdasarkan Jenis Kelamin dan Usia

Hasil penelitian dari 50 data rekam medik yang diteliti diperoleh jenis kelamin perempuan lebih banyak sebesar 35 pasien (70%), pasien terbanyak yang terkena rheumatoid arthritis yaitu pada usia yang sangat produktif 36 – 45 tahun dan 46 – 55 tahun (22.0%). Kemudian disusul pada kategori produktif yaitu 56 – 65 tahun (13,0%) dan yang paling sedikit terdiagnosis rheumatoid arthritis usia >

65 tahun (4,0%). Jenis kelamin laki – laki diperoleh 15 pasien rheumatoid arthritis, pasien terbanyak pada usia 56 – 65 tahun (12,0%). Kemudian disusul pada usia 36 – 45 tahun dan 46 – 55 tahun (6,0%). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang pernah dilakukan di salah satu rumah sakit di kota bandar lampung periode Juli 2012 – Juni 2013 pasien rheumatoid arthritis paling banyak berjenis kelamin perempuan (55,9%) dengan usia yang sangat produktif 15 – 49

(37)

tahun yaitu 38(76%) pasien. Studi rheumatoid arthritis di Amerika Latin dan Afrika menunjukan angka kejadian pada perempuan lebih besar dari pada laki – laki dengan rasio 8:1. Hal ini dipengaruhi populasi perempuan saat ini lebih banyak dibandingkan laki – laki, faktor aktifitas dan gaya hidup sehari – hari juga mempengaruhi kejadian suatu penyakit pada semua kelompok usia (Longo, 2012).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap penggunaan obat antiinflamasi pasien rheumatoid arthritis rawat jalan di UPTD Puskesmas Juli Bireuen berdasarkan jenis kelamin dan usia dapat dilihat pada Tabel 4.1

Tabel 4.1 Karakteristik pasien rheumatoid arthritis berdasarkan jenis kelamin dan usia

No Jenis Kelamin Usia Jumlah Pasien Persentase (%)

1 Perempuan

0 – 16 0 0

17 – 25 1 2,0

26 – 35 4 8,0

36 – 45 11 22,0

46 – 55 11 22,0

56 – 65 6 12,0

> 65 2 4,0

2 Laki – laki

0 – 16 0 0

17 – 25 0 0

26 – 35 0 0

36 – 45 3 6,0

46 – 55 3 6,0

56 – 65 6 12,0

> 65 3 6,0

Total 50 100

(Depkes RI, 2009).

4.2 Persentase Penggunaan Jenis Obat Antiinflamasi Nonsteroid (AINS) Berdasarkan Generik dan Non Generik

Berdasarkan penelitian penggunaan obat AINS yang dilakukan pasien rheumatoid arthritis pada pasien rawat jalan di UPTD Puskesmas Juli Bireuen.

(38)

Persentase jumlah pasien penggunaan obat berdasarkan penggolongan obat generiki dan non generik dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Karakteristik RA pada pasien rawat jalan UPTD Puskesmas Juli Bireuen berdasarkan penggunaan obat generik dan non generik.

No Jenis Jumlah Persentase (%)

1 Obat Generik 48 96,0

2 Obat Non Generik 2 4,0

Total 50 100

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh penggunaan jenis obat generik sangat tinggi yaitu 48 obat (96,0%) dan obat non generik yaitu berjumlah 2 obat (4,0%). Regulasi mengenai obat generik merupakan peraturan Menteri Kesehatan No HK.02.02/Menkes/068/1/2010 tentang kewajiban menggunakan obat generik difasilitasi pelayanan kesehatan bagi semua masyarakat Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa penggunaan obat di UPTD Puskesmas Juli Bireuen lebih banyak menggunakan obat generik dari pada menggunakan obat non generik, hal ini di karenakan UPTD Puskesmas Juli Bireuen merupakan puskesmas pemerintah yang harus mengikuti Menteri Kesehatan yang mengharuskan penggunaan obat generik.

4.3 Persentase Penggunaan Obat AINS Berdasarkan Bentuk Sediaan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap penggunaan obat AINS pada penyakit rheumatoid arthritis pasien rawat jalan UPTD Puskesmas Juli Bireuen berdasarkan bentuk sediaan dapat dilihat pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3 Karakteristik obat antiinflamasi pada rheumatoid arthritis berdasarkan bentuk sediaan

Bentuk sediaan Jumlah Cara pemberian Persentase (%)

Tablet 50 Oral 100

(39)

Berdasarkan hasil data yang diperoleh menunjukan bentuk sediaan yang digunakan dalam resep rheumatoid arthritis pasien rawat jalan sebanyak 50 orang pasien (100%). Pada umumnya penggunaan obat secara oral lebih banyak digunakan, karena penggunaannya paling menyenangkan, mudah dan aman (Anief , 2004).

4.4 Persentase Penggunaan Obat Antiinflamasi Pada Rheumatoid Arthritis Berdasarkan Klasifikasi Obat AINS

Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap penggunaan obat AINS pasien rheumatoid arthritis rawat jalan UPTD Puskesmas Juli Bireuen berdasarkan klasifikasi obat AINS dapat dilihat pada Tabel 4.4

Tabel 4.4 Karakteristik Rheumatoid Arthritis Pada Pasien Rawat Jalan di UPTD Puskesmas Juli Bireuen Berdasarkan Klasifikasi Obat AINS

No Golongan Obat Nama Obat Jumlah Persentase (%) 1 AINS Cox – Non

Selektif

Ibuprofen 16 32,0

Piroxikam 3 6,0

Parasetamol 6 12,0

2 AINS Cox – 2 Preferensial

Meloxikam 2 4,0

Na Diklofenak 23 46,0

Total 50 100

Berdasarkan hasil data yang diperoleh menunjukan penggunaan obat yang paling banyak pada managemen awal pasien RA dalam penelitian ini adalah natrium diklofenak 23 obat (46,0%), ibuprofen dengan jumlah 16 obat (32,0 %), parasetamol dengan jumlah 6 obat (12,0), piroxikam dengan jumlah obat (6,0%), meloxikam dengan jumlah 2 obat (4,0). Pemberian terapi NSAID jenis natrium diklofenak menjadi obat yang paling banyak digunakan dalam penelitian ini. Hal ini disebabkan karena natrium diklofenak akan diakumulasi di dalam cairan sinovial sendi sehingga memiliki efek terapi yang lebih lama dari waktu paruhnya.

(40)

Selain itu, natrium diklofenak juga cukup aman apabila diberikan pada pasien lanjut usia. Natrium diklofenak tidak hanya efektif diberikan pada pasien lanjut usia, tetapi juga dapat ditoleransi oleh pasien yang berisiko terhadap efek samping NSAID (Wilmana, 2012).

4.5 Persentase Penggunaan Obat AINS Pada Pasien Rheumatoid Arthritis Berdasarkan Lama Pemberian Obat

Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap penggunaan obat AINS pasien rheumatoid arthritis rawat jalan UPTD Puskesmas Juli Bireuen berdasarkan lama pemberian obat dapat dilihat pada Tabel 4.5

Tabel 4.5 Karakteristik Rheumatoid Arthritis Berdasarkan Lama Pemberian Obat Rawat Jalan UPTD Puskesmas Juli Bireuen

Golongan Obat

Nama Obat Lama Pemberian

Jumlah Persentase (%) Golongan

Profen

Ibuprofen 3 hari 4 8,0

7 hari 7 14,0

14 hari 5 10,0

Golongan As.

Arilalkanoat (asetat)

Natrium Diklofenak

6 hari 6 12,0

7 hari 12 24,0

14 hari 6 12,0

NSAID Parasetamol 3 hari 6 12,0

Golongan Oksikam

Meloxikam 3 hari 2 4,0

Golongan Oksikam

Piroxikam 3 hari 3 6,0

Total 50 100

Berdasarkan hasil data yang diperoleh lama pemberian obat pada manejemen awal rheumatoid arthritis pada penelitian ini bervariasi yaitu pada natrium diklofenak 14 hari (12,0%), 7 hari ( 24,0%), 3 hari ( 6,0%). Ibuprofen 14 hari (10,0%), 7 hari (14,0%), 3 hari (8,0%). Parasetamol 3 hari (12,0%).

Piroxikam (6,0%). Meloxikam (4,0%). Pemberian terapi NSAID jenis natrium diklofenak menjadi obat yang paling banyak digunakan dalam penelitian ini. Hal

(41)

ini disebabkan karena natrium diklofenak akan diakumulasi di dalam cairan sinovial sendi sehingga memiliki efek terapi yang lebih lama dari waktu paruhnya.

Selain itu, natrium diklofenak juga cukup aman apabila diberikan pada pasien lanjut usia. Natrium diklofenak tidak hanya efektif diberikan pada pasien lanjut usia, tetapi juga dapat ditoleransi oleh pasien yang berisiko terhadap efek samping NSAID (Wilmana, 2012).

4.6 Persentase Penggunaan Obat AINS Pada Rheumatoid Arthritis Berdasarkan Dosis Obatnya.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap penggunaan obat AINS pasien rheumatoid arthritis rawat jalan UPTD Puskesmas Juli Bireuen berdasarkan dosis obatnya dapat dilihat pada Tabel 4.6

Tabel 4.6 Karakteristik Pasien Rheumatoid Arthritis Berdasarkan Dosis Obatnya Golongan

Obat

Nama Obat Dosis Jumlah Persentase (%) Golongan

Profen

Ibuprofen 2 x 200 mg 9 18,0

3 x 200 mg 7 14,0

Golongan As.

Arilalkanoat (asetat)

Natrium Diklofenak

2 x 50 mg 11 22,0

3 x 25 mg 7 14,0

2 x 25 mg 5 10,0

NSAID 3 x 1 tab 6 12,0

Golongan Oksikam

Parasetamol Meloxikam

1 x 15 mg 1 2,0

1 x 20 mg 1 2,0

Golongan Oksikam

Piroxikam 2 x 20 mg 2 4,0

3 x 20 mg 1 2,0

Total 50 100

Berdasarkan hasil data yang diperoleh dosis pemberian obat disesuaikan dengan nama obat dan keadaan pasien. Dari nama obat yang paling banyak diresepkan yaitu natrium diklofenak diberikan dengan dosis beragam yaitu 2 x 50 mg (22,0), 3 x 25 mg (10,0), 2 x 25 (10,0), ibuprofen 2 x 200 mg (18,0). 3 x 200

(42)

(14,0), parasetamol 3 x 1 tab (12,0), piroxikam 2 x 20 mg (4,0), 3 x 20 (2,0), renadinac 3 x 1 tab (4,0), meloxikam 1 x 15 mg (2,0), 1 x 20 mg (2,0).

4.7 Analisis Kerasionalan

Pemberian obat AINS yang tepat merupakan hal yang sangat penting mengingat begitu tingginya angka kejadian serta pentingnya penanganan secara tepat terhadap Rheumatoid Arthritis dan komplikasi yang ditimbulkannya. Maka terapi Rheumatoid Arthritis harus dilakukan secara rasional baik secara farmakologi atau non-farmakologi. Ketepatan terapi dipengaruhi oleh proses diagnosis, pemilihan terapi,pemberian terapi, serta evaluasi terapi. Evaluasi penggunaan obat merupakan suatu proses jaminan mutu yang terstruktur dan dilakukan secara terus-menerus untuk menjamin agar obat-obat yang digunakan tepat, aman, dan efisien(Kumolosari, dkk, 2001).

Rasionalitas obat merupakan penilaian yang sesuai dengan beberapa aspek ketepatan, yaitu diantaranya tepat indikasi, tepat dosis, tepat obat, tepat pasien,tepat cara pemberian. Pasien dapat dikatakan rasional apabila memenuhi evaluasi penilaian ketepatan tersebut. Jika terdapat salah satu yang tepat diantaranya, maka pasien tidak dapat memenuhi evaluasi ketepatan. Sehingga pasien dapat dikatakan tidak mendapatkan terapi pengobatan Rheumatoid Arthritis secara rasional. Pasien dapat dikatakan telah mendapatkan obat AINS secara rasional jika telah memenuhi kriteria evaluasi ketepatan dan tidak ada satupun obat AINS yang diberikan tidak memenuhi evaluasi ketepatan pemberian obat AINS.

(43)

4.7.1 Tepat Diagnosis

Tepat diagnosis adalah ketepatan penegakkan diagnosis penyakit yang diderita oleh pasien. Pada penelitian ini pengukuran penegakkan diagnosis berdasarkan yang tercantum pada rekam medis pasien. Karena penegakkan diagnosis dilakukan oleh dokter yang memberikan terapi. Terdapat jumlah obat AINS tepat indikasi sebesar 100 %. Ketepatan diagnosis obat AINS terhadap pasien yang tercantum dalam rekam medis dapat dilihat pada tabel 4.7

Tabel 4.7 Tepat Diagnosis

Jumlah Persentase (%)

Tepat 50 100

4.7.2 Tepat Indikasi

Tepat indikasi adalah ketepatan penggunaan obat AINS atas dasar diagnosisyang ditegakkan, sesuai dengan diagnosis yang tercantum di rekammedis. Terdapat jumlah obat AINS tepat indikasi sebesar 100 %. Ketepatan indikasi obat AINS terhadap pasien terjadi apabila obat AINS yang diberikan sesuai dengan indikasi kondisi yang dialami pasien dapat dilihat pada tabel 4.8.

Tabel 4.8 Tepat Indikasi

Jumlah Persentase (%)

Tepat 50 100

4.7.3 Tepat Obat

Ketapatan obat adalah kesesuaian pemilihan suatu obat antara beberapa jenis obat yang mempunyi indikasi untuk penyakit rrheumatoid arthtritis.

Pemilihan obat secara teapt ditentukan dari diagnosa yang ditegakkan oleh dokter.

Dalam penelitian ini obat AINS yang digunakan sebagai terapi farmakologi untuk penyakit Rheumatoid Arthtritis adalah Ibuprofen, Piroksikam, Paracetamol, Meloksikam, Na Diklofenak, obat AINS yang digunakan sebagai Rheumatoid

(44)

Arthtritis adalah Aspirin, Celecoxib, Diklofenak, Diflunisal, Nabumetaone, Naproxen, Piroksikam, sedangkan Parasetamol tidak termasuk dalam pengobatan untuk Rheumatoid Arthtritis (Dipiro dkk,2008). Persentase pemberian obat yang tepat pada pasien yang dapat dilihat pada tabel 4.9

Tabel 4.9 Tabel Persentase Pemberian Obat Yang Tepat Pada Pasien

Jumlah Persentase (%)

Tepat 44 88

Tidak tepat 6 12

Total 50 100

4.7.4 Tepat dosis

Dosis merupakan salah satu hal yang menjadi pertimbangan pada penilian ketepatan. Dosis yang diberikan harus sesuai dengan keadaan pasien dan dosis yang sudah ditetapkan di literature (MIMS, 2016). Hasil analisis penilaian ketepatan dosis obat AINS berdasarkan jumlah pemberin obat AINS pada pasien, terdapat pemberian obat AINS yang sudah tepat dosis 82% dan 18% tidak tepat dosis. Penilian ketepatan dosis pasien didasarkan pada dosis regimen yang diberikan. Menurut MIMS tahun 2016. Parasetamol tidak termasuk obat terapi untuk Rheumatoid Arthtritis dan Piroxicam dosis yang diberikan adalah 10 – 20 mg/hari dengan dosis tunggal, sedangkan dari hasil pengamatan penelitian dosis Piroxicam yang diberikan kepada pasien adalah dua kali sehari dengan dosis 20 mg. Persentase dosis obat yang diberikan pada pasien dapat dilihat pada tabel 4.10 Tabel 4.10. Tabel Persentase Dosis Obat Yang Diberikan Pada Pasien

Jumlah Persentase (%)

Tepat 41 82

Tidak Tepat 9 18

Total 50 100

Penelitian sebelumnya yang dilakukan di salah satu Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan menunjukan hasil penggunaan obat meloxicam

(45)

paling banyak diresepkan dengan dosis yaitu 1 x 7,5 mg/hari. Berdasarkan hasil penelitian di UPTD Puskesmas Juli Bireuen ini menunjukan hasil penggunaan obat natrium diklofenak paling banyak diresepkan dengan dosis yaitu 2 x 50 mg/hari. Natrium diklofenak merupakan turunan dari asam fenil asetat dan merupakan nonselektif inhibitor COX. Natrium diklofenak mempunyai waktu paruh 1,1 jam. Pemakaian natrium diklofenak dengan dosis harian 200 mg dibandingkan dengan ibuprofen dengan dosis 400 mg cenderung lebih menunjukan efek terapi pada diklofenak yang mampu mengurangi nyeri dan kekakuan pagi hari. Secara umum natrium diklofenak diminum 2 – 3 kali sehari, Hal ini didasarkan pada waktu paruh dan durasi kerja obat. Secara umum natrium diklofenak diminum sesudah makan. Dikarenakan obat ini dapat mengiritasi lambung, sehingga diminum setelah makan untuk mengurangi efek merugikan pada lambung. Obat diminum setelah makan dan jangan lebih dari 2 jam. Jika lebih dari 2 jam setelah makan, perut akan dianggap telah kosong kembali. Dosis awal natrium diklofenak yaitu 150 mg/hari dalam dosis 2–3 kali sehari, sedangkan dosis lazim natrium diklofenak adalah 100–200 mg/hari dalam dosis 2-3 kali sehari (maksimum 225 mg) sesudah makan (Meinicke and Dannaskiold,2013).

(46)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, dapat ditarik kesimpulan bahwa penggunaan obat antiinflamasi pada penyakit rheumatoid arthritis di Unit Pelaksanaan Teknis Daerah(UPTD) Puskesmas Juli Bireuen pada pasien rheumatoid arthritis yang menggunakan obat antiinflamasi lebih banyak adalah pasien perempuan dengan jumlah 35 orang (70%) dibanding dengan pasien laki – laki berjumlah 15 orang (30%), dengan usia terbanyak 36 – 45 tahun dan 45 – 66 tahun (22,0%).

Berdasarkan analisis rasionalitas obatnya di peroleh hasil pada tepat diagnosis 100% tepat, pada tepat indikasi 100% tepat, tepat obat 88% tepat dan 12% tidak tepat dikarenakan terdapat obat yang tidak termasuk obat terapi untuk penyakit RA.

Pada tepat dosis terdapat 82% dosis yang diberikan sudah sesuai dengan regimen dosis yang diberikan. Penggunaan obat antiinflamasi berdasarkan karakteristik obat (jumlah obat, lama pemberian obat, cara pemberian obat, golongan obat, bentuk sediaan, dan dosis obat) dapat disimpulkan bahwa jumlah penggunaan obat antiinflamasi pada penyakit rheumatoid artritis sebanyak 50 obat dengan bentuk sediaan tablet dan pemakaian secara oral. Golongan AINS COX–2 paling banyak digunakan dalam pengobatan RA yaitu pada obat natrium diklofenak dengan jumlah 23 pasien dengan persentase (46,0%) .

(47)

5.2 Saran

Untuk peneliti selanjutnya sebaiknya dapat melakukan penelitian penggnaan obat pada pasien rheumatoid artritis pasien rawat inap di rumah sakit atau pelayanan kesehatan lainnya, dan dapat mengetahui lebih jauh pengobatan terhadap pasien rheumatoid artritis sudah tepat, sehingga diperoleh efek terapiyang tepat membantu dan dapat meningkatkan kualitas hidup pasien rheumatoid arthritis.

(48)

DAFTAR PUSTAKA

Anief, M. (2004). Prinsip Umum dan Dasar Farmakologi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Halaman : 19-24.

Arthritis Foundation, (2015). Arthritis Foundation Scientific Strategy 2015-2020, http://www.arthritis.org /Documents/arthritis - foundation - scientific- strategy.pdf.

Bykerk, V. P., Pooneh, A., Glen S. H., Orit S., and Anne Dooley.(2011).

Canadian Rheumatology Association recommendations for pharmacological management of rheumatoid arthritis with traditional and biologic disease-modifyingantir rheumatic drugs, Journal of Rheumatology. Halaman :111-121.

Daud, R. A. N. (2001). Arthritis Rheumatoid.Buku Ajar Ilmu Penyakit DalamJilid I Edisi 3,Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Halaman:

342-239.

Depkes RI. (2006). Health Statistic. Dipublikasi 2007 dari www.depkes.go.id.

Depkes RI. (2009). Profil Kesehatan Indonesia. Dipublikasi November 2010 dari www.depkes.go.id.

Depkes RI. (2014). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek. Jakarta.

Dipiro, J. T., Robert, L. T., Gary R., Matzke, B. G., (2008). Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach, Seventh Edition, The McGraw-hill Companies, United States of America. Halaman : 432-441.

Firestein, G. S., Painne M.M., Littman B. H. (2005). Kelley’s Texbook of Rheumatology, Philadelphia indonesia. Halaman :221-223

Kalim H. (2014). Diagnosis dan Pengelolaan Artritis Rheumatoid. Perhimpunan Rheumatologi Indonesia. Halaman : 2.

Kumar, Parveen, and Michael, C. (2009). Clinical Medicine. Seventh Edition, Saunders Elsever, British. Halaman : 97.

Kumolosari, E., Susiani, C.J.., Amalia, L., dan Puspawati, F., (2001). Studi Pola PenggunaanAntibiotika Betalaktam di ruang PerawatanBedah di Sebuah Rumah Sakit di Bandung. Bandung: Institut TeknologiBandung.

Lelo A. (2004). Penggunaan Anti-Inflamasi Non-Steroid yang rasional pada penanggulangan nyeri rematik. FK Universitas Sumatera Utara, Medan.

Halaman: 13-23.

(49)

Longo., Dan L. MD., Kasper, Dennis L. MD., (2012). Rheumatoid Artritis Harrison’s Principle of Internal Medicine ed.18 Chapter 231:. McGraw- Hill Companies,Inc. USA, Pages: 231 – 233.

Meinicke and Danneskiold, (2013). Diclofenac sodium (Voltaren) and ibuprofen in rheumatoid arthritis. A randomized double-blind study, National Institut of Health,35, 1-8.

Naingolan, O. (2009). Prevalensi dan Determinan Penyakit Rematik di Indonesia, Majalah Kedokteran Indonesia, Jakarta. Halaman: 19

Rubenstein, D., Wayne, D.,Bradley, J. (2003). Lecture Notes Kedokteran Klinis.

6th ed. Jakarta : Erlangga halaman : 212.

Schuna, A. A. (2008). In Rheumatoid Arthritis. Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach, Seventh Edition, McGraw Hill, Medical Publishing Division, New York. Halaman 1505-1515.

Suarjana, I Nyoman. (2009). Artritis Reumatoid Ilmu Penyakit Dalam Edisi V.

Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, Idrus, et al. Internal Publishing.

Jakarta. Halaman :45.

Suresh, E., (2004), Rheumatoid Arthritis, Journal Of The Royal Society Of Medicine. Halaman: 34.

Syamsuni, H.A. (2006). Ilmu Resep. Penerbit buku kedokteran ECG. Halaman:14, 18-19.

WHO,(2015).ChronicRheumaticConditions.Availableon:http//www.who.int/chp/t opics/rheumatic/en/[Accessed at 10 Mei 2015]

Wiyono.(2010). Epidemiologi Rematik Pada Lansia. http://epidemiologi.

wordprees.com//2013/11/22/epidemiologi – rematik – pada-lansia.

Wilmana, P. F., & Gunawan, S. G. (2012). Analgesik Antipiretik, Analgesik Anti- lnflamasi Non steroid, dan Obat Gangguan Sendi Lainnya. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas lndonesia;.

Zeng, Q.Y., Chen, R., Darmawan, J., (2008). Rheumatic Diseases in China.

Arthritis Research & Therapy volume 10 pharmacocinetic. Jilid 5:

Halaman 369 lengkap: Temu Ilmiah Rematologi 2001. (eds. Setyohadi B, Kasjmir YI),Ikatan Reumatologi Indonesia, Jakarta, Halaman:96-98

(50)
(51)
(52)

Gambar

Gambar 1.1  Kerangka pikir penelitian
Gambar 2.1 Sendi-sendi Yang Terkena Rheumatoid Arthritis  (Kumar dan Clark, 2009).
Tabel  4.1  Karakteristik  pasien  rheumatoid  arthritis  berdasarkan  jenis  kelamin  dan         usia
Tabel 4.2 Karakteristik RA pada pasien rawat jalan UPTD Puskesmas Juli Bireuen   berdasarkan penggunaan obat generik dan non generik
+5

Referensi

Dokumen terkait

“Kemudian disertakan juga untuk kode negaranya Pak Dinar 961, Pak Dinar yah, kemudian Pak Dinar dimasukan terlebih dahulu untuk file-nya, kemudian di sini kami

Begitu pula dengan kasus yang menjadi per- hatian dalam penelitian ini, putusan pengadilan melalui jalur litigasi yang di lakukan oleh pihak TPI dapat pula dibatalkan karena pihak

Area Cakupan Supply Chain Management dalam suatu perusahaan secara umum meliputi semua kegiatan yang terkait dengan pengembangan produk ( product development ), kegiatan

Dalam Bagan II.2 terdapat mekanisme operasional, sebagai berikut: (1) semua kebijakan PEMDA NTT harus berorientasi pada peningkatan pendapatan ekonomi masyarakat, pendidikan

Tujuan dalam penelitian ini adalah mengetahui Peran Inkubator Bisnis Universitas dalam menumbuhkembangkan Jaringan Kewirausahaan dan ICT Tenant di Lingkungan Lembaga

[r]

Namun demikian, dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan penyerapan tenaga kerja nasional, pertumbuhan penyerapan tenaga kerja sektor ekonomi kreatif masih lebih tinggi

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan pada latar belakang, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Kemitraan Bidan Desa dan Dukun Bayi Dalam Menekan