• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Pembentukan Mahkamah Konstitusi pada setiap negara memiliki latar. belakang yang beragam, tetapi secara umum pembentukan Mahkamah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Pembentukan Mahkamah Konstitusi pada setiap negara memiliki latar. belakang yang beragam, tetapi secara umum pembentukan Mahkamah"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

1 A. Latar Belakang Masalah

Pembentukan Mahkamah Konstitusi pada setiap negara memiliki latar belakang yang beragam, tetapi secara umum pembentukan Mahkamah Konstitusi berawal dari suatu proses perubahan politik kekuasan yang otoriter menuju demokrasi. Penolakan terhadap otoritarianisme berdampak pada tuntutan penyelenggaraan negara secara demokratis dan menghargai hak asasi manusia (HAM).

Fenomena keberadaan lembaga Mahkamah Konstitusi (constitutional court) dalam dunia ketatanegaraan dewasa ini, secara umum memang dapat

dikatakan merupakan sesuatu yang baru. Di seluruh negara di dunia, Mahkamah Konstitusi hanya dikenal di 45 negara. Sebagian besar negara- negara demokrasi yang sudah mapan, kecuali Jerman, tidak mengenal lembaga Mahkamah Konstitusi yang berdiri sendiri. Fungsinya biasanya dicakup dalam fungsi “Supreme Court” yang ada di setiap negara. Salah satu contohnya ialah Amerika Serikat. Fungsi-fungsi yang dapat dibayangkan sebagai fungsi Mahkamah Konstitusi seperti judicial review dalam rangka menguji konstitusionalisme materi suatu undang-undang dikaitkan dengan kewenangan Mahkamah Agung (Supreme Court). Di Inggris dan Perancis yang pada umumnya biasa dijadikan acuan berkenaan dengan sistem demokrasi modern, juga tidak dikenal adanya Mahkamah Konstitusi yang tersendiri. Yang agak

(3)

mirip dengan pengertian mahkamah ini di Perancis hanya Counsel Constitutionel (Constitutional Council) dan di Inggris Privy Council.1

Di beberapa negara lain seperti di Aljazair yang dikenal sangat dipengaruhi oleh Perancis juga dikenal adanya Dewan Konstitusi (Council Constitution) yang dapat dikaitkan dengan pengertian Mahkamah Konstitusi

yang dikembangkan di 45 negara tersebut. Karena itu, dalam arti luas, perkembangan pelembagaan gagasan Mahkamah Konstitusi itu di dunia cukup diterima, dan sampai sekarang sudah 45 negara yang menjadikannya sebagai elemen penting dalam sistem negara konstitusional modern.2

Menurut Jimly Asshiddiqie3, Mahkamah Konstitusi di banyak negara ditempatkan sebagai elemen penting dalam sistem negara konstitusional modern. Keberadaan Mahkamah Konstitusi ini lebih untuk menyelesaikan konflik antarlembaga negara, karena dalam proses perubahan menuju negara yang demokratis tak bisa dihindari munculnya “pertentangan” antarlembaga negara.

Gagasan pembentukan Mahkamah Konstitusi tidak lain merupakan dorongan dalam penyelenggaraan kekuasan dan ketatanegaraan yang lebih baik. Paling tidak ada empat hal yang melatarbelakangi dan menjadi pijakan dalam pembentukan Mahkamah Konstitusi, yaitu (1) sebagai implikasi dari paham konstitusionalisme; (2) mekanisme checks and balances; (3)

1 Ni’matul Huda, 2004, Politik Ketatanegaraan Indonesia, Kajian terhadap Dinamika Perubahan UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta, hlm. 222

2 Oemar Seno Adji, “Kekuasaan Kehakiman di Indonesia Sejak Kembali ke UUD 1945”, dalam Sri Soemantri dan Bintan R. Saragih (Penyunting), 1993, Ketatanegaraan Indonesia Dalam Kehidupan Politik Indonesia,Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 154

3 Kompas, “Mahkamah Konstitusi “Menara” Rumah Kedua Konstitusi”, 12 Agustus 2002

(4)

penyelenggaraan negara yang bersih; dan (4) perlindungan terhadap hak asasi manusia.4

Perubahan UUD 1945 melahirkan lembaga baru di bidang kekuasaan kehamikan yaitu Mahkamah Konstitusi, sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (2), yang berbunyi sebagai berikut : “Kekuasan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.

Berkenaan dengan tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi, Pasal 24C menegaskan bahwa “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Di samping itu, Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD. Perlu dicatat bahwa putusan ini sifatnya tidak final karena tunduk pada (subject to) putusan MPR, lembaga politik yang berwenang memberhentikan Presiden (Pasal 7A). Jadi berbeda dengan di Amerika Serikat yang mendahulukan proses politik daripada proses hukum.5

4 A. Fickar Hadjar, dkk (Tim Perumus/Penyusun), 2003, Pokok-Pokok Pikiran dan Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, KRHN dan Kemitraan, Jakarta, hlm. 3

5 Ni’matul Huda, Op. Cit., hlm. 195-200

(5)

Lembaga baru yang muncul melalui perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945 adalah Komisi Yudisial, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Sebenarnya ide tentang perlunya suatu komisi khusus untuk menjalankan fungsi-fungsi tertentu yang berhubungan dengan kekuasaan kehakiman bukanlah hal yang baru. Dalam pembahasan RUU tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sekitar tahun 1968, sempat diusulkan pembentukan lembaga yang diberi nama Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH). Majelis ini berfungsi memberikan pertimbangan dan mengambil keputusan terakhir mengenai saran-saran atau usul-usul yang berkenaan dengan pengangkatan, promosi, kepindahan, pemberhentian dan tindakan atau hukuman jabatan para hakim, yang diajukan baik oleh MA maupun Menteri Kehakiman.6

Untuk itu, Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 merumuskan kewenangan Komisi Yudisial sebagaimana tercantum dalam Pasal 24 B dengan rumusan sebagai berikut :

(1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim

(2) Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela

6 Rifqi Sjarief Assegaf, 2002, “Pengantar” dalam Wim Voermans, Komisi Yudisial di Beberapa Negara Uni Eropa, Lembaga Kajian dan Advokasi Untuk Independensi Peradilan (LeIP), Jakarta, hlm. v-vi

(6)

(3) Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan DPR

(4) Susunan, kedudukan dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang.

Melalui lembaga ini dapat diwujudkan lembaga peradilan yang sesuai dengan harapan rakyat sekaligus dapat diwujudkan penegakan hukum dan pencapaian keadilan melalui putusan hakim yang terjaga kehormatan dan keluhuran martabat serta perilakunya.

Sistem peradilan yang baik dapat diwujudkan, salah satunya apabila sumber daya manusia selaku hakim, termasuk hakim agung, mempunyai kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional dan berpengalaman di bidang hukum. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 24 A ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menentukan bahwa Hakim Agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional dan berpengalaman di bidang hukum. Oleh karena itu sistem perekrutan hakim harus dapat menjamin terrekrutnya pribadi-pribadi yang memiliki integritas yang dilakukan oleh pihak yang netral, mempunyai kompetensi, dijalankan secara transparan, adanya pengawasan secara efektif dalam proses perekrutan, dan adanya standar yang tepat.

Menurut A. Ahsin Thohari, kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak memihak mempunyai sedikitnya lima segi, yaitu pengangkutan terhadap pejabat lembaga peradilan yang tidak bersifat politik, masa jabatan dan gaji yang terjamin, tidak ada intervensi dari kekuasaan eksekutif dan legislatif

(7)

terhadap proses peradilan dan pengadilan, adanya otonomi secara administratif, dan adanya otonomi anggaran belanja.7

Selanjutnya menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman ditentukan bahwa peradilan harus dilakukan demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan, serta tidak adanya campur tangan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman. Pengertian dari sederhana adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan acara yang efisien dan efektif, sedangkan yang dimaksud dengan biaya ringan adalah biaya perkara yang dapat terpikul oleh rakyat.

Terdapat beberapa asumsi dasar yang dapat diajukan sebagai argumen utama bagi sebab wujudnya (raison d’etre) Komisi Yudisial di dalam suatu negara hukum baik dalam tradisi rechstaat maupun rule of law, yaitu :8

Pertama, Komisi Yudisial dibentuk agar dapat melakukan monitoring

yang intensif terhadap kekuasaan kehakiman dengan melibatkan unsur-unsur masyarakat dalam spektrum yang seluas-luasnya dan bukan hanya monitoring secara internal saja.

Kedua, Komisi Yudisial menjadi perantara (mediator) atau

penghubung antara kekuasaan pemerintah (executive power) dan kekuasaan kehakiman (judicial power) yang tujuan utamanya adalah untuk menjamin kemandirian kekuasaan kehakiman dari pengaruh kekuasaan apa pun juga khususnya kekuasaan pemerintah.

7 A. Ahsin Thohari, 2004, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, ELSAM, Jakarta, hlm. 53

8 Ibid, hlm. 15

(8)

Ketiga, dengan adanya Komisi Yudisial, tingkat efisiensi dan

efektivitas kekuasaan kehakiman (judicial power) akan semakin tinggi dalam banyak hal; baik yang menyangkut rekruitmen dan monitoring hakim agung maupun pengelolaan keuangan kekuasaan kehakiman.

Keempat, terjaganya konsistensi putusan lembaga peradilan, karena

setiap putusan selalu memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari sebuah lembaga khusus (Komisi Yudisial).

Kelima, dengan adanya Komisi Yudisial kemandirian kekuasaan

kehakiman (judicial power) dapat terus terjaga, karena politisasi terhadap perekrutan hakim agung dapat diminimalisasi dengan adanya Komisi Yudisial yang bukan merupakan lembaga politik, sehingga diasumsikan tidak mempunyai kepentingan politik.

Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menentukan bahwa Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

Berdasarkan ketentuan tersebut hal yang perlu dijabarkan adalah mengenai wewenang lain yang dimiliki oleh Komisi Yudisial. Sekalipun pengertian tersebut mengandung pengertian yang luas, namun secara jelas wewenang lain yang dimaksud pada ketentuan Pasal 24B ayat (1) tersebut ditujukan dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Oleh karenanya dalam mencari format yang ideal dalam menjalankan fungsi pengawasan perilaku hakim hendaknya berhati-hati agar

(9)

tidak terjadi kesalahpahaman dengan Mahkamah Agung selaku pelaksana kekuasaan kehakiman sebagaimana ditentukan dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.9

Wewenang pengawasan hakim yang sama-sama dimiliki oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial oleh sementara kalangan dipandang terdapat kewenangan yang tumpang tindih, perbedaannya adalah pengawasan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung sebagai pengawasan internal dan pengawasan Komisi Yudisial merupakan pengawasan eksternal, sedangkan esensi pengawasan hakim tersebut obyeknya adalah hakim dalam perilakunya.10

Salah satu isu penting yang berkaitan dengan pengawasan dan sekarang menjadi salah satu pokok utama “sengketa kewenangan” diantara Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) adalah cakupan kewenangan yang berkaitan dengan sikap dan perilaku yang ditujukan untuk menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat para hakim. Wewenang kedua yang telah dikemukakan secara implisit di dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 setelah perubahan ketiga oleh sebagian kalangan disebutkan masih membutuhkan pendefinisian. Kendati tujuan dari kewenangan Komisi Yudisial (KY) tersebut telah secara tegas dikemukakan, yaitu untuk “menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim”.

9 Gayus Lumbun, 2006, Mencari Format Hubungan Yang Ideal Antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial Melalui Produk Perundang-undangan, Makalah Pada Seminar Nasional Peran Komisi Yudisial Dalam Mengawal Penegakan Hukum di Indonesia : Mencari Pola Hubungan Ideal Antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung, Pusat Penelitian Agama dan Perubahan Sosial Budaya UIN Yogyakarta, hlm. 2

10 Ibid, hlm. 2-3

(10)

Mahkamah Agung (MA) di dalam buku cetak biru (blue print) Pembaruan Mahkamah Agung Republik Indonesia telah merumuskan dengan lebih tegas aspek-aspek di dalam berbagai obyek pengawasan yang telah dikemukakan di atas. Pada aspek teknis yudisial, hal-hal yang perlu diawasi meliputi ketentuan seperti : kemampuan teknis menangani perkara, penyusunan berita acara persidangan, tenggang waktu penyelesaian perkara, penyelesaian minutasi, kualitas putusan dan eksekusi. Sedangkan aspek administrasi peradilan meliputi hal-hal sebagai berikut : tertib prosedur penerimaan perkara, tertib registrasi perkara, tertib keuangan perkara, tertib pemeriksaan buku keuangan perkara, tertib kearsipan perkara, tertib pembuatan laporan perkara dan eksekusi putusan.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut yang berkaitan dengan eksistensi dari Mahkamah Konstitusi dengan judul “Eksistensi Mahkamah Konstitusi Sebagai Penyelenggara Kekuasaan Kehakiman Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia (Studi Terhadap Pelaksanaan Fungsi Mahkamah Konstitusi Tahun 2004-2009)”. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui pelaksanaan fungsi Mahkamah Konstitusi sejak berdiri pada tahun 2004 hingga tahun 2009. Dalam kurun waktu tersebut, apakah Mahkamah Konstitusi telah melaksanakan fungsinya sebagai salah satu penyelenggara kekuasaan kehakiman dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.

(11)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah tersebut di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut : 1. Bagaimana eksistensi Mahkamah Konstitusi sebagai penyelenggara

kekuasaan kehakiman dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia?

2. Bagaimana pelaksanaan dari kewenangan yang dimiliki Mahkamah Konstitusi dari tahun 2004 sampai tahun 2009?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui dan mengkaji eksistensi Mahkamah Konstitusi sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia

2. Untuk mengetahui dan mengkaji pelaksanaan dari kewenangan yang dimiliki Mahkamah Konstitusi dari tahun 2004 sampai tahun 2009.

D. Kerangka Teori

1. Teori Negara Hukum

Dalam kepustakaan Indonesia istilah negara hukum merupakan terjemahan langsung dari rechtstaat. Demikian juga ditemukan hasil survei yang sama dengan yang dilakukan oleh Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada tahun 1975. Respondennya terdiri dari kalangan praktisi, yaitu para pejabat dari lingkungan pemerintahan dan

(12)

teoretisi, yaitu para pakar di beberapa perguruan tinggi baik negeri maupun swasta.11 Hal yang sama juga dikemukakan oleh Notohamidjojo.

“Dengan timbulnya gagasan-gagasan pokok yang dirumuskan dalam konstitusi-konstitusi dari abad IX itu, maka timbul juga istilah negara hukum atau rechstaat.”

Adapun pendapat yang banyak pengikutnya, yaitu pendapat Djokosoetono, yang mengatakan: “Negara hukum yang demokratis sesungguhnya istilah ini adalah salah, sebab kalau kita bilangkan Democratische Rechtstaat, yang penting dan primair adalah rechtstaat”.

Selanjutnya ia mengatakan : “sekarang perkembangan daripada negara hukum yang dalam lapangan politik dan ilmu pengetahuan di Indonesia selalu diabaikan, tidak diketahui bahwa ada beberapa macam negara hukum. Ini adalah perkembangan daripada bangunan staat type rechtstaat dalam tiga tingkatan : formele rechstaat, liberale rechtstaat dan materiele rechstaat”.12

Dari beberapa pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa rechtstaat sama artinya dengan negara hukum. Selain istilah rechstaat,

sejak tahun 1966 dikenal pula istilah rule of law yang diartikan sama dengan negara hukum. Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh Sunaryati Hartono, yang mengatakan:13

11 Padmo Wahjono, 1984, Indonesia Negara Berdasarkan Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 193

12 Ibid, hlm. 67-69

13 Sunaryati Hartono, 1976, Apakah the Rule of Law, Alumni, Bandung, hlm. 35

(13)

“Oleh sebab itu, agar supaya tercipta suatu Negara Hukum yang membawa keadilan bagi seluruh rakyat yang bersangkutan, penegakan the rule of law itu harus diartikan dalam artinya yang materiil”.

Dalam kesempatan yang sama di bawah subjudul inti Rule of Law, ternyata yang dibahasnya adalah inti negara hukum.14

Demikian pula pendapat Sudargo Gautama15 yang menyatakan Rule of Law dengan negara hukum, katanya :

“Dan jika kita berbuat demikian, maka pertama-tama kita melihat bahwa dalam suatu negara hukum, terdapat pembatasan kekuasaan negara terhadap perseorangan. Negara tidak maha kuasa, tidak bertindak sewenang-wenang. Tindakan-tindakan negara terhadap warganya dibatasi oleh hukum. Inilah apa yang oleh ahli hukum Inggris dikenal sebagai rule of law”

Berikut ini pendapat Padmo Wahjono16 yang tidak berbeda dengan pendapat-pendapat yang telah dikemukakan terlebih dahulu :

“Di lingkungan negara-negara Anglo Saxon (Inggris, Amerika dan negara-negara lain yang mengikuti pola bernegaranya) menolak adanya suatu pengadilan khusus seperti halnya pengadilan administrasi dalam Negara Hukum (liberal). Mereka mengutamakan persamaan dalam hukum sehingga tidak perlu ada pembedaan dalam forum pengadilan. Konsepsi mereka dikenal dengan istilah teknis Rule of Law”.

Selain itu ada pula pendapat yang berbeda, yaitu dari Philipus M.

Hadjon yang tidak menyetujui istilah negara hukum disamakan dengan rechtstaat ataupun rule of law, lebih-lebih lagi kalau hal itu dikaitkan dengan konsep tentang pengakuan akan harkat dan martabat manusia. Ia

14 Ibid, hlm. 37

15 Sudargo Gautama, 1973, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria, Alumni, Bandung, hlm. 8

16 Padmo Wahjono, 1991, Membudayakan UUD 1945, Ind-Hill Co., Jakarta, hlm. 74

(14)

pun membedakan antara rechtstaat dengan rule of law berdasarkan latar belakang dan sistem hukum yang menopang kedua istilah tersebut.

Konsep rechtstaat lahir dari suatu perjuangan menentang absolutisme sehingga sifatnya revolusioner, sebaliknya konsep the rule of law berkembang secara evolusioner. Hal ini tampak dari isi atau kriteria rechtstaat dan kriteria the rule of law.

Konsep rechtstaat bertumpu atas sistem hukum kontinental yang disebut civil law, modern Roman Law, sedangkan konsep the rule of law bertumpu atas sistem hukum yang disebut common law.17

Penulis berpendapat bahwa secara formal istilah negara hukum dapat disamakan dengan rechtstaat ataupun rule of law, mengingat ketiga istilah tersebut mempunyai arah yang sama, yaitu mencegah kekuasaan absolut demi pengakuan dan perlindungan hak asasi.

Perbedaannya terletak pada arti materiil atau isi dari ketiga istilah tersebut yang disebabkan oleh latar belakang sejarah dan pandangan hidup suatu bangsa.

Hal yang sama dijumpai pula dalam istilah demokrasi yang mempunyai arti secara universal, akan tetapi secara materiil atau isi demokrasi suatu bangsa tidak sama dengan demokrasi pada bangsa yang lain. Hal itu dikarenakan perbedaan latar belakang sejarah dan pandangan hidup suatu bangsa.18

17 Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia, PT. Bina Ilmu, Surabaya, hlm. 72

18 Padmo Wahjono, 1991, Op. Cit, hlm. 161-162

(15)

Konstitusi RIS dan Undang-Undang dasar 1945 Sementara 1950 menyebutkan negara hukum, sedangkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 rechtstaat diartikan sama dengan negara berdasar atas hukum.

Sebagaimana telah disebutkan, bangsa Indonesia membentuk negaranya dengan proklamasi yang merupakan perwujudan dari kesepakatan satu tujuan. Dan negara yang bagaimana yang diinginkan oleh bangsa Indonesia? Jawabannya ditemukan dalam Pembukaan Undang- Undang Dasar 1945 alinea 2, yaitu : “…negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”.

Setelah diketahui negara yang bagaimana yang diinginkan dan bagaimana terbentuknya negara Indonesia, maka sampailah pada masalah, apakah hakikat negara menurut pandangan bangsa Indoensia? Menurut Padmo Wahjono19, negara adalah “kehidupan berkelompok bangsa Indonesia yang atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, didorong oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas”. Inilah hakikat negara yang terbentuk menurut cita negara Pancasila. Selanjutnya tinggal lagi mencari apa arti/rumusan “hukum”.

Untuk menemukan rumusan hukum menurut bangsa Indonesia, kita harus mencarinya dalam UUD 1945. Pada hakikatnya hukum adalah ketentuan-ketentuan yang dipilih oleh kelompok manusia yang akan memakai hukum tersebut untuk mengatur kehidupannya sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Di dalam kelompok manusia yang terkecil,

19 Ibid, hlm. 34

(16)

yaitu keluarga, sudah ada ketentuan yang dibuat oleh keluarga itu yang berlaku bagi anggota keluarga tersebut. Hal ini dimaksudkan supaya kehidupan dalam keluarga itu tertib dan sejahtera. Dalam lingkungan kelompok yang lebih besar, seperti desa atau persekutuan masyarakat adat juga ada ketentuan-ketentuan yang dibuat dan berlaku bagi anggota masyarakat tersebut, yang dikenal dengan nama Hukum Adat. Jadi bangsa Indonesia membuat ketentuan-ketentuan sendiri untuk mengatur kehidupan berkelompoknya.

Di bawah pemerintah Belanda kita terpaksa menerima hukum kolonial yang bukan bersumber pada kehendak dan kepribadian bangsa Indonesia. Hukum rasialis ini cukup lama berlaku, sehingga pengaruh politiknya cukup besar sampai hari ini.20

Jadi untuk mengetahui arti atau rumusan hukum menurut bangsa Indonesia, sama artinya dengan mencari ketentuan-ketentuan apa dan bagaimana yang diingini oleh bangsa Indonesia dalam kehidupan berkelompoknya, dalam hal ini kehidupan bernegaranya. Dan kehidupan bernegara bangsa Indonesia diatur dalam UUD 1945. Oleh karena itu untuk mencari arti hukum, haruslah dicari dalam UUD 1945.

Hukum mempunyai fungsi menegakkan kehidupan yang demokratis, yang berkeadilan sosial dan yang berperikemanusiaan, oleh Dr. Sahardjo disebutkan sebagai hukum yang berfungsi pengayoman

20 Daniel S Lev, 1990, The Transtation to Guided Democracy : Indonesian Politics 1957- 1959, Modern Indonesia Project, Ithaca, hlm. 126

(17)

dengan lambang pohon beringin. Inilah yang merupakan perwujudan cita hukum Pancasila.

Dengan demikian apabila kita gambarkan rumusan negara dan hukum itu, maka akan menghasilkan “negara hukum’, ialah : “keadaan kehidupan berkelompok bangsa Indonesia berdasarkan atas rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan didorong oleh keinginan luhur untuk suatu kehidupan kebangsaan yang bebas berdasarkan ketertiban dan kesejahteraan sosial’. Inilah arti negara hukum menurut cara pandang integralistik Indonesia, yang penulis sebutkan sebagai cita negara Pancasila.21

Selanjutnya sebagaimana telah diketahui, konsep negara hukum liberal maupun konsep rule of law mengutamakan hak-hak individu; hal ini menunjukkan bahwa kedua konsep tersebut tidak sesuai dengan pandangan hidup bangsa Indonesia dalam kehidupan bernegaranya yang berasaskan kekeluargaan. Oleh karena itu kedua konsep tersebut tidak menjadi pilihan bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia telah menentukan konsep formal negara hukumnya dalam UUD 1945, yang unsur-usnur utamanya ditemukan di dalamnya.

Setelah diketahui rumusan materiil Negara Hukum Indonesia, maka bagaimanakah hal tersebut dapat dicapai? Untuk mengetahui hal tersebut perlu dilihat rumusan formal atau aspek yuridis formal dari negara

21 Padmo Wahjono, 1991, Op. Cit., hlm. 41

(18)

Hukum Indonesia dan untuk menemukannya juga harus dicari dalam UUD 1945.

Inilah yang menjadi ciri atau unsur utama Negara Hukum Indonesia, yaitu hukum bersumber pada Pancasila. Di samping itu perlu pula diketahui bahwa Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia juga merupakan ideologi negara, artinya telah menumbuhkan keinginan bangsa Indonesia untuk mewujudkannya. Oleh karena itu perwujudannya tidak lain harus berpedoman atau bersumber pada pandangan hidup berkelompok bangsa Indonesia.

Bersumber pada Pancasila, berarti hukum yang Berketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, berpersatuan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perawkilan dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

a. Sistem Konstitusi

Di negara-negara Barat dikenal asas legalitas, artinya bahwa setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan undang-undang (wetmatigheid van het bestuur) yang kemudian berkembang menjadi berdasarkan hukum dan berdasarkan kegunaannya.

Wade22 yang tampaknya mengikuti pendapat Dicey tentang pemerintah berdasarkan hukum, menyatakan:

22 H.W.R Wade, 1986, Adminstrative Laws, English Language Book Society, Oxford, hlm. 22

(19)

“Setiap tindakan kekuasaan pemerintah, setiap tindakan yang mempengaruhi hak-hak, kewajiban atau kebebasan setiap orang, harus terbukti memiliki sumber hukum yang jelas”.

Dalam negara hukum liberal dikenal pemerintahan berdasar undang-undang, maka bangsa Indonesia berdasar pengamatannya telah melihat kelemahan ataupun kekakuan dari unsur pemerintahan berdasar undang-undang. Oleh karena itu Indonesia sebagai negara baru yang pasti akan mengalami perkembangan berusaha mengatasi kekakuan unsur ini. Bukanlah kita tidak dapat mengatur terlebih dulu semua yang akan terjadi dengan undang-undang? Bahkan apa yang akan terjadi besok pagi belum pasti kita ketahui.

Seperti telah dijelaskan, unsur asas legalitas ini mendapat reaksi, yang menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan secara terpaksa di Negara Belanda.

Berdasarkan pengamatan, maka bangsa Indonesia menganggap sudah cukup apabila kewenangan pemerintah diatur pokok-pokoknya saja, diatur kerangka dasarnya saja, sedangkan pengaturan selanjutnya (lebih rinci) dapat diatur kemudian, disesuaikan dengan perkembangan masyarakat. Oleh karena itu masalah-masalah pokok tersebut sebaiknya diatur dalam hukum dasar atau konstitusi saja.

Menurut Padmo Wahjono,23 sistem hukum dasar meliputi:

1) Cita-cita hukum (rechtsidee) yang menguasai hukum dasar tertulis dan hukum dasar tidak tertulis;

23 Padmo Wahjono, 1984, Op. Cit, hlm. 9-11

(20)

2) Hukum dasar Indonesia mengutamakan hukum dasar yang tertulis.

Di samping itu juga berlaku hukum dasar tidak tertulis;

3) Undang-Undang Dasar menciptakan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan ke dalam pasal-pasalnya;

4) Undang-Undang Dasar hanya memuat aturan pokok. Bersifat singkat dan supel, mudah mengikuti perkembangan dinamika kehidupan masyarakat dan negara Indonesia;

5) Mementingkan semangat para penyelenggara negara yang harus mengetahui, memahami, menghayati dan mengamalkan lebih lanjut cita-cita hukum Negara Republik Indonesia.

Jadi pemerintah berdasar atas sistem konstitusi atau sistem hukum dasar, secara formalnya ditentukan dalam Undang-Undang Dasar (hukum dasar tertulis). Dan apabila ditelusuri dalam UUD 1945 akan ditemukan sejumlah ketentuan susunan dan kedudukan pemerintah, hak dan kewajiban pemerintah dan pengawasan terhadap pemerintah.

Melihat hal di atas, maka jelaslah bahwa Negara Hukum Indonesia mengatur masalah pemerintahan dalam Undang-Undang Dasar atas hukum dasar tertulis. Dengan perkataan lain, pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi. Inilah unsur kedua dari negara Hukum Indonesia. Kalau dibanding dengan konsep pemerintahan berdasar atas undang-undang (konsep Barat), konsep Indonesia lebih menjamin stabilitas dan kemantapan pemerintah. Hal ini karena : pertama, UUD 1945 tidak mudah diubah; kedua, hanya diatur secara pokok-pokoknya saja, dengan demikian mudah mengikuti perkembangan masyarakat.

Dan pengaturannya lebih lanjut ditetapkan dengan peraturan perundangan yang lebih rendah. Bagi negara yang sedang berkembang hal ini lebih sesuai, karena dapat menampung perkembangan dan

(21)

dinamika kehidupan masyarakat dan negara. Kita harus senantiasa memperhatikan segala gerak-gerik kehidupan masyarakat dan negara Indonesia, berhubungan dengan itu janganlah tergesa-gesa memberi bentuk (gestaltung) kepada pikiran-pikiran yang masih berkembang.24 b. Kedaulatan Rakyat

Pakar kedaulatan ialah Jean Bodin (1530-1596), ia mengalihkan kekuasaan negara menjadi kedaulatan. Menurutnya, kedaulatan adalah kekuasan tertinggi tanpa pembatasan oleh hukum.

Hukum tidak lain dari kemauan raja (negara), karena rajalah yang membuat undang-undang (hukum). Kedaulatan dilengkapi dengan sifat tunggal, asli, langgeng, tidak terbatas.

1) Tunggal, artinya tidak dapat dibagi-bagi atau dipisahkan;

2) Asli, artinya ialah satu-satunya kekuasaan yang asli yang tertinggi, tidak ada yang dikecualikan dari kekuasaan ini;

3) Langgeng, artinya kedaulatan itu melekat pada negara selama negara itu ada;

4) Tidak terbatas, tidak dibatasi oleh kekuasaan apapun, tidak ada kekuasaan lain yang menyamainya, apalagi yang lebih tinggi di atasnya.

Dari keterangan itu terlihat bahwa Bodin mengartikan kedaulatan secara absolut dan kedaulatan adalah milik negara. Jadi ia berpaham kedaulatan negara, karena tidak dibedakannya antara raja dengan negara. Dalam bukunya Les Six Livres de la Republique yang

24 Ibid, hlm. 312

(22)

diterbitkan pada tahun 1583 mengatakan: “Kedaulatan adalah kekuasaan mutlak dan abadi dari negara. Dalam bahasa latin disebut Maiestatum artinya, kekuasaan tertinggi pemerintah”.

Negara merupakan kelompok manusia yang terorganisasi di suatu wilayah tertentu yang dilengkapi dengan suatu kekuasaan asli untuk memerintah. Adapun yang dimaksud dengan kekuasaan asli ialah kekuasaan tertinggi yang diatasnya tidak ada kekuasaan lainnya.

Kekuasaan tertinggi ini termasuk kekuasaan untuk membuat hukum.

Dan oleh karenanya negara hanya tunduk pada hukum atas kehendaknya sendiri, hal ini disebutnya sebagai selbstbindungstheorie.

Jellinek tergolong dalam penganut teori kedaulatan negara.

Teori kedaulatan mutlak mendapat sanggahan antara lain dari Harold J. Laski. Menurut pendapatnya, kedaulatan lainnya juga memiliki kedaulatan sebatas ruang lingkupnya. Organisasi sosial, politik dan profesi juga memiliki kedaulatan. Selain itu juga negara- negara bagian dari Negara Amerika juga memiliki kedaulatan untuk mengatur negaranya sendiri. Jadi menurut Laski, kedaulatan tidak lagi mutlak (absolut) ataupun tunggal, karena telah dibagi-bagi. Teori kedaulatan mutlak ini memang tidak sesuai dengan kenyataan sekarang karena kedaulatan negara ke dalam sudah dibatasi oleh hukum positif dari negara masing-masing. Sedangkan kedaulatan negara ke luar juga dibatasi oleh hukum internasional atau perjanjian antarnegara.

(23)

2. Sistem Peradilan

Konsep negara hukum dan negara demokrasi yang lahir sebagai saudara kembar menyusul zaman Renaissance di Eropa telah membawa prinsip pemisahan atau pembagian kekuasaan ke dalam organ-organ tersendiri yaitu : legislatif, eksekutif dan yudikatif. Pembagian kekuasaan ke dalam 3 (tiga) poros yang kemudian dikenal sebagai Trias Politika itu dimaksudkan untuk mendobrak absolutisme atau sistem pemerintahan yang otoriter.25

Jika analisis di atas diletakkan dalam konteks ajaran Montesqieu dalam ajaran Trias Politika murni, kekuasaan tidak hanya berbeda, tetapi juga merupakan suatu institusi yang harus terpisah satu sama lainnya di dalam melaksanakan kewenangannya.26

Menurut doktrin pemisahan kekuasaan tersebut, fungsi dari kekuasaan kehakiman adalah melakukan kongtrol terhadap kekuasaan negara guna mencegah terjadinya proses instrumentasi yang menempatkan hukum menjadi bagian dari kekuasaan.27 Telah jelas di sini bahwa lembaga peradilan memegang peranan penting dalam menjaga agar jangan terjadi penyalahgunaan kekuasaan.

Untuk dapat disebut sebagai lembaga peradilan haruslah memenuhi persyaratan tertentu, antara lain:

25 Moh. Mahfud MD., 1999, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Gramedia, Yogyakarta, hlm. 283

26 KRHN & LeIP, 1999, Menuju Independensi Kekuasaan Kehakiman, ICEL, Jakarta, hlm. x

27 Ibid, hlm. xi

(24)

a. Adanya suatu aturan hukum yang abstrak yang mengikat umum, yang dapat diterapkan pada suatu persoalan;

b. Adanya suatu perselisihan hukum yang konkret;

c. Ada sekurang-kurangnya 2 (dua) pihak;

d. Adanya suatu aparatur peradilan yang berwenang memutuskan perselisihan.28

Setelah melihat uraian tentang ajaran pemisahan kekuasaan tersebut di atas, tampak bahwa dalam setiap kekuasaan negara yang menyebut dirinya sebagai negara hukum, maka di dalamnya pasti terdapat kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman tersebut haruslah merupakan kekuasaan yang mandiri dan bebas dari intervensi dari pihak manapun. Berikut disampaikan keberadaan kekuasaan kehakiman di beberapa negara.

Amerika Serikat merupakan slaah satu dari negara Anglo Saxon.

Konstitusi Amerika Serikat mengatur mengenai kekuasaan kehakiman dalam Article III, yaitu bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Supreme Court dan lembaga-lembaga peradilan di bawahnya yang

ditentukan oleh kongres. Dinyatakan juga bahwa hakim, baik hakim dalam Supreme Court maupun lembaga peradilan lain di bawahnya, harus

melakukan tugasnya dengan kelakuan (behavior) yang baik dan akan menerima kompensasi atas pengabdiannya.29

28 Muchsan, 1998, Peradilan Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta, hlm. 9

29 KRHN & LeIP, Op. Cit, hlm. 25

(25)

Mengenai relasinya dengan lembaga negara lainnya, dalam Article II, Section 2, point 2 disebutkan bahwa hakim-hakim Supreme Court

dinominasikan oleh presiden atau ditunjuk oleh Presiden berdasarkan persetujuan senat.30

Prancis merupakan negara Eropa Kontinental. Konstitusi Prancis menyebutkan secara eksplisit akan pentingnya independensi kekuasaan kehakiman serta prinsip bahwa kekuasaan kehakiman berfungsi sebagai penjaga kemerdekaan individu.31

Konstitusi Prancis mengatur bahwa presiden harus menjamin independensi kekuasaan kehakiman. Dalam melaksanakan tugasnya itu, presiden dibantu oleh High Council of the Judiciary, yang memiliki 2 (dua) fungsi, yaitu:

a. Sebagai lembaga recruitment hakim;

b. Sebagai lembaga pengawasan hakim-hakim (Diciplinary Council for Judges).32

Di Indonesia menurut Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa:

“Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.

Ayat (2) menyebutkan:

30 Ibid

31 Ibid, hlm. 26

32 Ibid

(26)

“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan lain yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.

Dari rumusan pasal di atas dapat dilihat bahwa rechtsidee pembentukan Mahkamah Konstitusi adalah:

a. Kekuasan kehakiman merupakan kekuasan negara;33

b. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka;

c. Ruang lingkup kekuasaan kehakiman adalah menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan;

d. Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman.

Keberadaan Mahkamah Konstitusi yang telah diletakkan dalam bidang kekuasaan kehakiman, bisa dikatakan telah sejalan dengan perubahan paradigma ketatanegaraan yang terjadi dalam perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Perubahan yang telah menggeser paradigma pembagian kekuasaan (distribution of power) ke paradigma pemisahan kekuasaan secara jelas dan tegas (separation of power).34 Walaupun demikian, sebagian kalangan masih juga beranggapan bahwa Indonesia di bawah Undang-Undang Dasar 1945 teramandemen masih menganut sistem pembagian kekuasaan.

33 Mukti Arto, Konsepsi Ideal Mahkamah Agung, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 145

34 KRHN & Kemitraan, 2003, Pokok-Pokok Pikiran dan Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, ICEL, Jakarta, hlm. 7

(27)

Akan tetapi, hendaknya pengertian pembagian kekuasaan itu janganlah dicampuradukan dengan pengertian pemisahan kekuasaan di dalam lapangan peradilan, yang disebut kontrol yurisdiksional.35

Mengenai wewenangnya, secara teoritis, Mahkamah Konstitusi dibentuk dengan maksud agar berfungsi sebagai lembaga yang memiliki otoritas di dalam menafsirkan konstitusi, menyelesaikan sengketa antarlembaga negara yang sumber kewenangannya dari konstitusi dan memberi putusan mengenai pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden. Selain itu, Mahkamah Konstitusi juga berperan di dalam melakukan judicialization of politics.36

Realitasnya, ide dasar pembentukan Mahkamah Konstitusi tersebut ternyata tidak diakomodir seluruhnya, walaupun terdapat penambahan.

Hal tersebut tercermin dari rumusan Pasal 24C ayat (1) perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi:

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang- undang terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.

Di samping itu, berdasarkan Pasal 24C ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 teramandemen:

35 Soehino, 1995, Hukum Tata Negara : Negara Kesatuan Republik Indonesia Berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 adalah Negara Hukum, Liberty, Yogyakarta, hlm. 53

36 KRHN, Loc. Cit.

(28)

“Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan/atau wakil presiden menurut undang-undang dasar”.

Dari uraian tersebut telah jelas, betapa pentingnya lembaga kekuasaan kehakiman (Mahkamah Konstitusi) bagi suatu negara hukum yang demokratis konstitusional.

a. Menurut konsepsi negara hukum, unsur pokok dari negara hukum adalah adanya lembaga kekuasaan kehakiman (cq. Mahkamah Konstitusi). Apalagi dalam negara hukum modern.

b. Menurut konsepsi demokrasi, lembaga kekuasaan kehakiman (cq.

Mahkamah Konstitusi) memegang peranan penting untuk menjaga tetap terlaksananya kemauan rakyat selaku pemegang kedaulatan tertinggi dalam negara, yang dalam realisasinya, sebagian dilakukan oleh lembaga perwakilan.

c. Menurut konsepsi konstitusi, dalam suatu negara harus ada pembagian dan pembatasan kekuasaan negara untuk menjamin hak-hak asasi manusia. Kehadiran Mahkamah Konstitusi dapat mendorong penguatan terhadap dasar-dasar konstitusionalisme tersebut dan juga dapat melakukan kontrol terhadap konstitusionalitas pelaksanaan kekuatan politik yang ada agar jangan sampai menyimpang dari konstitusi.

Demikian pula dengan Negara Hukum Kesejahteraan Indonesia, keberadaan lembaga pengadilan sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka di Indonesia adalah sangat penting, karena:

(29)

a. Pengadilan merupakan pengawal konstitusi;37

b. Pengadilan yang bebas merupakan unsur negara demokratis38 c. Pengadilan merupakan akar negara hukum.39

Sedemikian pentingnya lembaga kekuasan kehakiman, terutama Mahkamah Konstitusi yang langsung bersentuhan dengan konstitusi dan pusat kekuasaan negara, maka perlu ditelaah kembali kedudukan dan wewenang Mahkamah Konstitusi yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945 teramandemen, agar sesuai dengan rechtsidee pembentukannya yang dimaksudkan untuk mendorong mekanisme checks and balances dalam pelaksanaan kekuasaan negara, sebagai implikasi dari

paham konstitusionalisme, penyelenggaraan negara yang bersih, dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia.

E. Metode Penelitian 1. Obyek Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan obyek eksistensi Mahkamah Konstitusi sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia (Studi Terhadap Pelaksanaan Fungsi Mahkamah Konstitusi Tahun 2004-2009).

37 Moh. Mahfud MD, 1998, Menegakkan Supremasi Hukum Melalui Demokrasi dalam Hukum dan Kekuasaan, FH UII, Yogyakarta, hlm. 66

38 Franz Magnis Suseno, 1995, Mencari Sosok Demokrasi, Gramedia, Jakarta, hlm. 9-10

39 SF. Marbun, 1997, Pengadilan Akarnya Negara Hukum, dalam Jurnal Hukum No. 9, Vol. 9, hlm. 9

(30)

2. Sumber Data

Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berupa bahan-bahan hukum yang terdiri dari:40

a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat yang terdiri dari :

1) Undang-Undang Dasar 1945

2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung 5) Peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan

penelitian ini.

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang bersifat menjelaskan terhadap bahan hukum primer, yang terdiri dari buku- buku literatur, hasil penelitian dan karya ilmiah lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini.

c. Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang terdiri dari :

1) Kamus Umum Bahasa Indonesia

40 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 13

(31)

2) Kamus Inggris – Indonesia 3) Kamus Istilah Hukum 4) Ensiklopedia

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan cara studi dokumen, yaitu mengkaji, menelaah dan mempelajari bahan-bahan hukum yang ada kaitannya dengan penelitian ini.

4. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis normatif, yaitu menganalisis permasalahan dalam penelitian ini dari sudut pandang atau menurut ketentuan hukum/perundang-undangan yang berlaku.

5. Analisis Data

Metode analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif, yaitu data yang diperoleh dari penelitian disajikan dan diolah secara kualitatif dengan langkah-langkah sebagai berikut :

a. Data yang diperoleh dari penelitian diklasifikasikan sesuai dengan permasalahan dalam penelitian

b. Hasil klasifikasi data selanjutnya disistematisasikan

c. Data yang telah disistematisasikan kemudian dianalisis untuk dijadikan dasar dalam pengambilan kesimpulan.

Referensi

Dokumen terkait

Analisis telah dilakukan bagi melihat kaitan antara aspek pembolehubah tingkah laku keibubapaan (penglibatan, pemberian autonomi psikologi dan ketegasan/ penyeliaan)

belum bisa mengisi kesepian dalam hati manusia. 1) Pesan Dakwah Lirik Keempat Lagu Lubang di Hati.. 94 Ketika kita sama-sama bertanya kepada akal, kita sering

Laporan Pendahuluan ini disusun sebagai salah satu bentuk persyaratan teknis kontrak pengadaan jasa konsultan perencana antara PT. CIPTA DIAN

Bagian terbawah umbi rambut adalah matriks rambut, yaitu daerah yang terdiri dari sel-sel yang membelah dengan cepat dan berperan dalam pembentukan batang rambut.. Dasar umbi

Menurut kepustakaan gambaran klinik meningioma foramen magnum sangat bervariasi dengan rata- rata waktu yang dibutuhkan dari timbulnya gejala pertama dengan

Pada era globalisasi saat ini, sistem informasi manajemen berbasis tehnologi sangat dibutuhkan sebuah institusi, terkhusus dalam hal peningkatan aliran informasi,

1. Pesan dakwah tentang aqidah dalam tradisi Mappadendang di Desa Kebo Kecamatan Lilirilau Kabupaten Soppeng. Adalah keimanan kepada Allah yang ditekankan pada sifatnya yang