• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. narkotika dimuat dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. narkotika dimuat dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

1 A. Latar Belakang Masalah

Salah satu tindak pidana adalah tindak pidana narkotika. Kejahatan narkotika dimuat dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika menentukan bahwa, yang dimaksud dengan narkotika adalah:

Zat atau obat yang berasal dari tanaman maupun bukan tanaman baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan yang di bedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini.

Tindak pidana narkotika agar tidak terus berkembang dan pelakunya jera untuk mengulangi perbuatannya maka perlu dilaksanakan ketentuan hukum pidana yang sebenar-benarnya dengan melarang tindak pidana narkotika dan diterapkannya pidana atas para pelakunya. Penjatuhan pidana yang dilakukan tentunya tidak terlepas dari etika tentang hukuman legal yaitu:

1. Hak moral untuk menghukum seseorang didasarkan semata-mata atas kenyataan bahwa ia telah terbukti melakukan suatu kesalahan atau kejahatan.

2. Kewajiban moral untuk menghukumpun secara eksklusif kokoh di atas landasan yang sama.

3. Demi keadilan retributive maka hukuman harus seimbang dengan bobot kesalahan yang telah dilakukan.

4. Dasar moral pemberian hukuman ialah hukuman merupakan

“pemutihan” terhadap kesalahan dan “reformasi” terhadap hukum yang dilawan, hukuman merupakan pola “hak” dari pelaku kejahatan.

(2)

5. Konsekuensi hukuman sebagai pencegahan agar di masa yang akan datang kejahatan terhukum tak akan terulang lagi.

6. Hukuman itu memberikan kepuasan baik kepada si korban maupun kepada orang lain.1

Penjatuhan pidana yang dilakukan terhadap pelaku tindak pidana narkotika akan mengacu pada stelsel sanksi. Stelsel sanksi adalah bagian dari permasalahan “pidana” yang merupakan salah satu dari tiga permasalahan pokok dalam membicarakan hukum pidana. Bahkan Muladi dan Achmad Ali mengatakan seperti yang dikutip oleh Andi Hamzah yaitu:

Sebagai hal yang sentral karena sanksi tersebut menggambarkan nilai- nilai sosial budaya bangsa dan seringkali tidak lepas pula dari format politik bangsa yang bersangkutan. Sanksi harus dipandang sebagai salah satu unsur yang esensial, bila kita melihat hukum sebagai kaedah. Hampir semua jenis yang berpandangan dogmatik, memandang hukum sebagai kaedah bersanksi yang didukung oleh otoritas tertinggi di dalam masyarakat.2

Berdasarkan apa yang dikemukakan di atas, agar tindak pidana narkotika tidak terus berkembang dan pelakunya jera untuk mengulangi perbuatannya maka perlu dilaksanakan ketentuan hukum pidana dengan melarang tindak pidana narkotika tersebut dan memidana para pelakunya.

Bentuk tindak pidana narkotika yang menghendaki adanya pemidanaan terhadap pelakunya adalah Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Balai Karimun Nomor 91/Pid.Sus/2017/PN.Tbk. Adapun kronologisnya dapat dikemukakan sebagai berikut:

Bahwa terdakwa Hamdani Als Jaka Bin Karim pada hari Selasa tanggal 06 Desember 2016 sekira pukul 17.30 wib atau setidak- tidaknya dalam bulan Desember tahun 2016 atau setidak-tidaknya

1Yong Ohoitimur, Teori Etika Tentang Hukuman Legal, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997, hlm. 17.

2Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Pradnya Paramitha, Jakarta, 1991, hlm. 2-3.

(3)

masih dalam tahun 2016, bertempat di Jl Bukit Senang Rt 003 Rw 003 Kelurahan Teluk Air Kecamatan Karimun Kabupaten Karimun atau setidak-tidaknya dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Tanjung Balai Karimun yang berwenang mengadili perkaranya, telah tanpa hak atau melawan hukum Menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I, perbuatan tersebut dilakukan dengan cara sebagai berikut:

1. Bahwa bermula pada hari Senin tanggal 05 Desember 2016 sekitar pukul 15.00 wib, teman terdakwa yang bernama sdr Hendrik (DPO) datang kerumah terdakwa yang baru pulang dari merawai atau menagkap ikan dan pada saat tersebut sdr Hendrik, selanjutnya terdakwa bersama sdr Hendrik mengeobrol di rumah terdakwa, sebelum sdr Hendrik pulang dari rumah terdakwa yang mengeluarkan 1 (satu) buah pipet kaca yang berisi narkotika diduga sabu, yang langsung menyerahkan kepada terdakwa untuk pakai kata sdr Hendrik, yang selanjutnya diterima oleh terdakwa yang di simpan didalam kantong celana terdakwa, pada keesokan harinya tanggal 06 Desember 2016 terdakwa ditangkap oleh anggota polisi yang telah di temukan 1 (satu) buah pipet yang berisikan narkotika jenis sabu di kantong celana sebelah kanan yang digunakan terdakwa;

2. Bahwa barang bukti berupa 1 (satu) buah pipet kaca yang diduga oleh kepolisian Karimun berisi Narkotika jenis sabu dengan berat bersih 0,1 (nol koma satu) gram sesuai dengan Berita Acara Penimbangan Nomor: 610/020600/2016 tanggal 10 Desember 2016 dari Perum Pegadaian Cabang Tanjung Balai Karimun yang ditanda tangani oleh Wendy Saputra, SE NIK 82298; Bahwa barang bukti berupa 1 (satu) plastik bening berisi kristal warna putih dengan berat netto 0,1 (nol koma satu) gram dan 1 (satu) plastik klip bening didalamnya terdapat 1 (satu) pipet kaca bekas digunakan tersebut adalah Positif Metamfetamina yang terdaftar dalam Gol I nomor urut 61 lampiran I Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika berdasarkan Berita Acara Analisis Laboratorium Barang Bukti Narkotika No.Lab: 1682/NNF/2017 tanggal 16 Februari 2017 yang ditanda tangani oleh Dra. Melta Tariga, M.Si AKBP Nrp 63100830;

3. Bahwa terdakwa Hamdani Als Jaka Bin Karim pada saat menerima narkotika Gol I jenis sabu yang di masukkan di dalam kaca pirek dari sdr. Hendrik tanpa izin dari pihak yang berwenang;

Terdakwa dijerat dengan dakwaan alternatif dengan mengacu pada ketentuan Pasal 114 Ayat (1) dan Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang

(4)

Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, menentukan: “Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman”. Pasal 114 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, menentukan:

“Perbuatan yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I”.

Apabila hakim menetapkan terdakwa bersalah melanggar ketentuan Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika maka seharusnya terdakwa dapat lepas dari tuntutan karena dakwaan tidak terbukti.

Sedangkan hakim tidak boleh menjerat terdakwa dengan dakwaan di luar dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Kalau mengacu pada Pasal 114 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, maka seharusnya hukuman pidana terdakwa adalah benar, yang salah itu hanyalah penerapan pasalnya saja.

Surat dakwaan merupakan dasar atau landasan pemeriksaan di dalam sidang pengadilan. Hakim dalam memeriksa suatu perkara tindak pidana tidak boleh menyimpang dari apa yang dirumuskan dalam surat dakwaan.

Seorang terdakwa yang dihadapkan ke sidang pengadilan hanya dapat dijatuhi hukuman oleh karena telah terbukti melakukan tindak pidana seperti yang disebutkan atau dinyatakan jaksa penuntut umum dalam surat dakwaannya.3

3Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana, Ghalia Indonesia, Balai Aksara, Yudhistira, 1985, hlm. 167.

(5)

Surat dakwaan dalam perkara pidana merupakan pedoman dasar dari keseluruhan proses pidana. Keseluruhan isi dalam surat dakwaan merupakan dasar bagi pemeriksaan dan dasar bagi putusan hakim.4 Menurut Andi Hamzah terdakwa hanya dapat dipidana jika terbukti telah melakukan delik yang disebut di dalam surat dakwaan. Jika terdakwa terbukti melakukan delik tetapi tidak disebut di dalam surat dakwaan, maka terhadap terdakwa tidak dapat dipidana.5

Surat dakwaan itu sangat besar gunanya bagi acara pidana, karena merupakan dasarnya. Surat dakwaan sebagai landasan pemeriksaan bagi hakim berarti sebagai titik tolak pemeriksaan terdakwa6, sedangkan surat dakwaan sebagai dasar pemeriksaan berarti hakim tidak boleh menyimpang dari apa yang dirumuskan dalam surat dakwaan.7

Surat dakwaan menentukan batas-batas bagi pemeriksaan hakim. Jauh lebih penting fungsi dari surat dakwaan adalah harus dapat memberikan penjelasan kepada terdakwa dan kepada hakim, atas perbuatan yang mana terdakwa didakwa.8

Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Balai Karimun Nomor 91/Pid.Sus/2017/PN.Tbk, terdakwa didakwa dengan dakwaan alternatif, kesatu perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 114 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, kedua Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 112 ayat

4Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2222 K/Pid/2012 tanggal 14 Mei 2013, hlm. 7.

5Andi Hamzah, Op. Cit., hlm. 168.

6Ibid.

7Ibid., hlm. 190.

8Putusan Mahkamah Agung, Op. Cit., hlm. 8.

(6)

(1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Tetapi majelis hakim menjatuhkan pidana berdasarkan Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Majelis Hakim Pengadilan Negeri tidak dibenarkan menyimpang dalam menjatuhkan pidana diluar pasal yang didakwakan yaitu menjatuhkan pidana dibawah minimal dengan mendasarkan Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang tidak didakwakan.

Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Balai Karimun Nomor 91/Pid.Sus/2017/PN.Tbk tersebut, hakim menjatuhkan putusan di luar dari yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum. Sedangkan menurut KUHAP, dalam menjatuhkan putusan hakim harus memperhatikan beberapa pertimbangan, seperti yang tercantum dalam Pasal 182 ayat (4) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana bahwa musyawarah hakim untuk menjatuhkan putusan harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang. Hakim yang menjatuhkan putusan di luar pasal yang tidak didakwakan oleh jaksa penuntut umum, maka hakim dianggap membuat dakwaan sendiri.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis merasa tertarik untuk mengangkatnya dalam bentuk skripsi dengan judul “Pemidanaan Di Luar Dakwaan Pada Putusan Pengadilan Terhadap Tindak Pidana Narkotika”.

(7)

B. Perumusan Masalah

Untuk mendapatkan suatu gambaran secara jelas dalam penulisan skripsi ini, serta untuk menghindari pembahasan yang menyimpang, maka dalam hal ini penulis merumuskan permasalahan dalam skripsi ini, yaitu:

1. Bagaimana pengaturan pemidanaan di luar dakwaan pada putusan pengadilan terhadap tindak pidana narkotika?

2. Bagaimana dasar pertimbangan hakim dalam melakukan pemidanaan di luar dakwaan pada putusan pengadilan terhadap tindak pidana narkotika?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan pemidanaan di luar dakwaan pada putusan pengadilan terhadap tindak pidana narkotika b. Untuk mengetahui dan menganalisis dasar pertimbangan hakim dalam

melakukan pemidanaan di luar dakwaan pada putusan pengadilan terhadap tindak pidana narkotika.

2. Manfaat Penelitian

Sedangkan dari tujuan penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

a. Sebagai masukan bagi para pihak dalam rangka pemidanaan di luar dakwaan pada putusan pengadilan terhadap tindak pidana narkotika.

(8)

b. Sebagai sumbang saran dari penulis kepada pihak-pihak yang berkompeten dalam memberikan hukuman kepada pelaku tindak pidana narkotika.

c. Penulisan ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dibidang hukum bagi penulis.

D. Kerangka Konseptual

Dalam penulisan skripsi ini penulis akan memberikan konsep-konsep yang tertera di dalamnya agar lebih jelas dan tidak terjadi simpang siur pengertian, adapun pengertian tersebut adalah:

1. Pemidanaan

Menurut Sudarto, perkataan pemidanaan itu adalah sinonim dengan perkataan penghukuman, yaitu:

Penghukuman itu berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumnya (berechten). Menetapkan hukum untuk suatu peristiwa itu tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja, akan tetapi juga hukum perdata. Oleh karena tulisan ini berkisar pada hukum pidana, maka istilah tersebut harus disempitkan artinya, yakni penghukuman dalam perkara pidana, yang kerapkali sinonim dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim. Penghukuman dalam hal ini mempunyai makna yang sama dengan sentence atau veroordeling.9

2. Dakwaan pada putusan pengadilan

Surat dakwaan merupakan dasar atau landasan pemeriksaan di dalam sidang pengadilan. Hakim dalam memeriksa suatu perkara tindak pidana tidak boleh menyimpang dari apa yang dirumuskan dalam surat dakwaan. Seorang terdakwa yang dihadapkan ke sidang pengadilan hanya

9Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1998, hlm. 71.

(9)

dapat dijatuhi hukuman oleh karena telah terbukti melakukan tindak pidana seperti yang disebutkan atau dinyatakan jaksa penuntut umum dalam surat dakwaannya.10

Di luar dakwaan, dalam istilahnya dikenal dengan ultra petita.

Ultra petita berasal dari bahasa latin, yakni ultra yang berarti sangat,

sekali, ekstrim, berlebihan dan petita yang berarti permohonan.3 Putusan ultra petita adalah suatu putusan atas perkara melebihi dari yang dituntut

atau diminta oleh jaksa penuntut umum. Ultra petita merupakan penjatuhan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih daripada yang diminta. Ultra petita menurut I.P.M. Ranuhandoko adalah melebihi yang diminta.11

3. Tindak pidana narkotika

Pengertian dari tindak pidana adalah “perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan ancaman pidana”.12 Menurut Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika menentukan bahwa, yang dimaksud dengan narkotika adalah:

Zat atau obat yang berasal dari tanaman maupun bukan tanaman baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan yang di bedakan kedalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini.

10Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana, Ghalia Indonesia, Balai Aksara, Yudhistira, 2000, hlm. 167.

11Rosalia Devi Kusumaningrum, “Putusan Ultra Petita Dalam Perkara Pidana”, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2017, hlm. 2-3.

12Hartono Hasoeprapto, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 2000, hlm. 107.

(10)

Berdasarkan pengertian tersebut di atas, dapatlah dikemukakan pengertian judul skripsi ini adalah menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumnya (berechten) hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku pelanggar perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan ancaman pidana tindak pidana narkotika dengan suatu kriteria yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

E. Landasan Teoretis

Sesuai dengan isu hukum yang telah dikemukakan dalam latar belakang, maka landasan teori yang akan penulis gunakan sebagai pisau analisis dalam penulisan skripsi ini adalah teori sistem peradilan pidana dan teori pemidanaan.

1. Teori sistem peradilan pidana

Sistem peradilan pidana dikenal dengan istilah (criminal justice system) menunjukan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan

yang menggunakan dasar pendekatan sistem. Pendekatan sistem adalah pendekatan yang menggunakan segenap unsur yang terlbat di dalamnya sebagai suatu kesatuan dan saling berhubungan (interelasi) dan saling mempengaruhi satu sama lain. Melalui pendekatan ini kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan merupakan unsur penting dan berkaitan satu sama lain. Dikatakan oleh Mardjono Reksodiputro:

Melalui pendekatan ini kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan merupakan unsur penting dan berkaitan satu sama lain. teknologi, serta subsistem-subsistem dari sistem peradilan pidana itu sendiri (subsystem of criminal justice system).

(11)

Sistem peradilan pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga kepolisian. Kejaksaan, pengadilan dan permasyarakatan terpidana.13

Dikemukakan pula oleh Romli Atmasasmita “sistem peradilan pidana (criminal justice system) adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan”.14 Muladi juga mengatakan “Sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materiil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksnaan pidana”.15

Dalam sistem peradilan pidana juga dikenal beberap asas yakni:

a. Asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan

Sebenarnya hal ini bukan merupakan barang baru dengan lahirnya KUHAP. Dari dahulu, sejak adanya HIR, sudah tersirat asas ini dengan kata-kata lebih konkret daripada yang dipakai di dalam KUHAP.

Pencantuman peradilan cepat (contante justitie; speedy trial) di dalam KUHAP cukup banyak yang diwujudkan dengan istilah “segera” itu.

Asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan yang dianut didalam KUHAP sebenarnya merupakan penjabaran Undang -Undang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.Peradilan cepat (terutama untuk menghindari penahanan yang lama sebelum ada putusan hakim) merupakan bagian dari hak asaasi manusia. Begitu pula dalam

13Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kepada Kejahatan Dan Penegakan Hukum Dalam Batas-Batas Toleransi), Fakultas Hukum Unversitas Indonesia, 1993, hlm. 1.

14Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana(Criminal Justice System) Perspektif Eksistensialisme Dan Abolisionalisme, Penerbit Bina Cipta, Jakarta, 1996, hlm. 15.

15Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1995, hlm. 18.

(12)

peradilan bebas, jujur, dan tidak memihak yang ditonjolkan dalam undang -undang tersebut.

b. Asas praduga tak bersalah (presumption of innocence)

Hakikat asas ini cukup fundamental sifatnya dalam hukum acara pidana. Ketentuan asas “praduga tak bersalah” eksistensinya tampak pada Pasal 8 ayat (1) Undang –Undang Nomor 48 Tahun 2009 dan penjelasannya umum angka 3 huruf c KUHAP yang menentukan bahwa “setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilaan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

c. Asas oportunitas

Asas oportunitas adalah “asas hukum yang memeberikan wewenang kepada penuntut umum untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan delik demi kepentingan umum.”

d. Asas pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum

Peradilan terbuka untuk umum. Dalam hal ini dapat diperhatikan pula Pasal 153 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP yang menentukan sebagai berikut: Ayat (3) “untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak”. Ayat (4), yaitu “Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (2) dan ayat (3)

(13)

mengakibatkan batalnya putusan demi hokum”. Pada penjelasan ayat (3) dinyatakan cukup jelas, dan untuk ayat (4) lebih dipertegas lagi, yaitu “Jaminan yang diatur dalam ayat (3) di atas diperkuat berlakunya, terbukti dengan timbulnya akibat hukum jika asas tersebut tidak dipenuhi”.

e. Asas semua orang diperlakukan sama di depan hakim

Dalam hukum acara pidana tidak mengenal forum priviligiatum atau perlakuan yang bersifat khusus, karena negara Indonesia sebagai negara hukum mengakui bahwa manusia sama di depan hukum (equality before the law). Sebagaimana ditentukan Pasal 4 Ayat (1)

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 dan penjelasan umum angka 3 huruf a KUHAP yaitu “pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”.

f. Asas tersangka/terdakwa berhak mendapat bantuan hukum

Dalam Pasal 69 sampai dengan Pasal 74 KUHAP diatur tentang bantuan hukum tersebut dimana tersangka/terdakwa mendapat kebebasan yang sangat luas.Asas pemeriksaan hakim yang langsung dan lisan Pada asasnya dalam praktik pemeriksaan perkara pidana di depan persidangan dilakukan hakim secara langsung kepada terdakwa dan saksi-saksi serta dilaksanakan dengan secara lisan dalam bahasa indonesia. Tegasnya hukum acara pidana Indonesia tidak mengenal pemeriksaan perkara pidana dengan acara mewakilkan dan pemeriksaan secara tertulis sebagaimana halnya dalam hukum perdata.

(14)

Implementasi asas ini lebih luas dapat dilihat dari penjelasan umum angka 3 huruf h, Pasal 153, Pasal 154, serta Pasal 155 KUHAP, dan seterusnya.

2. Teori Pemidanaan

Pandangan-pandangan tentang tujuan pemidanaan sesungguhnya tidak lepas dan erat kaitannya dengan perkembangan teori-teori pemidanaan.

Secara tradisional, teori-teori pemidanaan pada umumnya dapat dibagi dalam dua kelompok teori, yaitu Teori Absolut atau pembalasan (retributive), dan Teori Relatif atau Tujuan (Utilitarian). Kedua teori tersebut tidak luput pula dari pengaruh yang berkembang dari dua mazhab/aliran dalam hukum pidana.

Kedua pemikiran tersebut adalah pemikiran klasik dan positif.

Berkaitan dengan tujuan penjatuhan pidana terhadap terpidana, maka ada “tiga golongan utama teori untuk membenarkan penjatuhan pidana yaitu: teori pembalasan (absolute/

vergeldingstheorie); teori maksud atau tujuan (relatieve/doeltheorie);

dan teori gabungan (verenigingstheorie)”.16 a. Teori Absolut atau Teori Pembalasan

Menurut teori ini pidana dijatuhkan karena orang telah melakukan kejahatan. Pidana sebagai akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan.

Jadi dasar pembenarannya terletak pada adanya kejahatan itu sendiri.

Seperti dikemukakan Johanes Andenaes bahwa tujuan primer dari pidana menurut teori absolut ialah untuk memuaskan tuntutan keadilan. Sedang pengaruh yang menguntungkan adalah sekunder.

Tuntutan keadilan yang sifatnya absolut ini terlihat dari pendapat

16Bambang Waluyo, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 105.

(15)

Andi Hamzah mengemukakan bahwa teori pembalasan menyatakan bahwa:

Pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkan pidana, pidana secara mutlak ada, karena dilakukan suatu kejahatan. Tidaklah perlu memikirkan manfaat penjatuhan pidana.17

Apabila manfaat penjatuhan pidana ini tidak perlu dipikirkan sebagaimana dikemukakan oleh penganut teori absolut atau teori pembalasan ini, maka yang menjadi sasaran utama dari teori ini adalah balas dendam. Dengan mempertahankan teori pembalasan yang pada prinsipnya berpegang pada “pidana untuk pidana”, hal itu akan mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan.

b. Teori Relatif atau Teori Tujuan

Teori relatif atau teori tujuan juga disebut teori utilitarian, lahir sebagai reaksi terhadap teori absolut. Secara garis besar, tujuan pidana menurut teori relatif bukanlah sekedar pembalasan, akan tetapi untuk mewujudkan ketertiban di dalam masyarakat. Sebagaimana dikemukakan Koeswadji bahwa tujuan pokok dari pemidanaan yaitu:

1. Untuk mempertahankan ketertiban masyarakat (dehandhaving van de maatschappelijke orde);

2. Untuk memperbaiki kerugian yang diderita oleh masyarakat sebagai akibat dari terjadinya kejahatan. (het herstel van het doer de misdaad onstane maatschappelijke nadeel);

3. Untuk memperbaiki si penjahat (verbetering vande dader);

4. Untuk membinasakan si penjahat (onschadelijk maken van de misdadiger);

17Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 1993, hlm. 26.

(16)

5. Untuk mencegah kejahatan (tervoorkonning van de misdaad).18

Jadi tujuan pidana menurut teori relatif adalah untuk mencegah agar ketertiban di dalam masyarakat tidak terganggu.

Dengan kata lain, pidana yang dijatuhkan kepada si pelaku kejahatan bukanlah untuk membalas kejahatannya, melainkan untuk mempertahankan ketertiban umum.

c. Teori Gabungan

Menurut teori gabungan bahwa tujuan pidana itu selain membalas kesalahan penjahat juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat, dengan mewujudkan ketertiban. Teori ini menggunakan kedua teori tersebut di atas (teori absolut dan teori relatif) sebagai dasar pemidanaan, dengan pertimbangan bahwa kedua teori tersebut memiliki kelemahan-kelemahan yaitu:

1. Kelemahan teori absolut adalah menimbulkan ketidakadilan karena dalam penjatuhan hukuman perlu mempertimbangkan bukti-bukti yang ada dan pembalasan yang dimaksud tidak harus negara yang melaksanakan.

2. Kelemahan teori relatif yaitu dapat menimbulkan ketidakadilan karena pelaku tindak pidana ringan dapat dijatuhi hukum berat; kepuasan masyarakat diabaikan jika tujuannya untuk memperbaiki masyarakat; dan mencegah kejahatan dengan menakut-nakuti sulit dilaksanakan.19

Walaupun terdapat perbedaan pendapat di kalangan sarjana mengenai tujuan pidana itu, namun ada satu hal yang tidak dapat dibantah, yaitu bahwa pidana itu merupakan salah satu sarana untuk

18Koeswadji, Perkembangan Macam-macam Pidana Dalam Rangka Pembangunan Hukum Pidana, Cetakan I, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1995, hlm. 12.

19Ibid., hlm. 11-12.

(17)

mencegah kejahatan serta memperbaiki narapidana. Demikian juga halnya dengan pidana penjara merupakan sarana untuk memperbaiki narapidana agar menjadi manusia yang berguna di masyarakat. Teori integratif dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu:

a. Teori integratif yang menitikberatkan pembalasan, akan tetapi tidak boleh melampaui batas apa yang perlu dan sudah cukup untuk dapat mempertahankan tata tertib masyarakat.

b. Teori integratif yang menitikberatkan pada pertahanan tata tertib masyarakat, tetapi tidak boleh lebih berat dari suatu penderitaan yang beratnya sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh narapidana.

c. Teori integratif yang menganggap harus ada keseimbangan antara kedua hal di atas.20

Pada hakikatnya pidana adalah merupakan perlindungan terhadap masyarakat dan pembalasan terhadap perbuatan melanggar hukum. Di samping itu Roeslan Saleh juga mengemukakan bahwa: “pidana mengandung hal-hal lain, yaitu bahwa pidana diharapkan sebagai sesuatu yang akan membawa kerukunan dan pidana adalah suatu proses pendidikan untuk menjadikan orang dapat diterima kembali dalam masyarakat.21

Muladi mengajukan kombinasi tujuan pemidanaan yang dianggap cocok dengan pendekatan-pendekatan sosiologis, ideologis, dan yuridis filosofis dengan dilandasi oleh asumsi dasar bahwa:

Tindak pidana merupakan gangguan terhadap keseimbangan, keselarasan dan keserasian dalam kehidupan masyarakat, yang mengakibatkan kerusakan individual ataupun masyarakat.

Dengan demikian maka tujuan pemidanaan adalah untuk

20Prakoso dan Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-pendapat Mengenai Efektifitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa Ini, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, hlm. 24.

21Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hlm. 22.

(18)

memperbaiki kerusakan individual dan sosial yang diakibatkan oleh tindak pidana. Perangkat tujuan pemidanaan tersebut adalah: (a) pencegahan (umum dan khusus), (b) perlindungan masyarakat, (c)memelihara solidaritas masyarakat, (d)pengimbalan/ pengimbangan.22

Keputusan di dalam pemidanaan akan mempunyai konsekuensi yang luas, baik yang menyangkut langsung pelaku tindak pidana maupun masyarakat secara luas. Lebih-lebih jika keputusan pidana tersebut dianggap tidak tepat, maka akan menimbulkan kontroversial, sebab kebenaran di dalam hal ini sifatnya adalah relatif bergantung dari mana kita memandangnya.

Disparitas pidana merupakan bentuk dari diskresi hakim dalam menjatuhkan putusan, tapi disisi lain pemidanaan yang berbeda/disparitas pidana ini pun membawa ketidakpuasan bagi terpidana bahkan masyarakat pada umumnya. Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasar paancasila demi terselenggaraanya negara hukum Republik Indonesia.23

Dalam peradilan pidana yang masih kurang mendapat perhatian adalah mengenai penerapan pidana (pemidanaan), dengan demikian putusan hakim menempati posisi yang penting karena putusan yang berupa penjatuhan pidana mengandung konsekuensi yang sangat luas baik terhadap pelaku tindak pidana, korban maupun masyarakat. Sistem pemidanaan jika diartikan secara luas, dapat mencakup keseluruhan perundang-undangan yang mengatur bagaimana hukum pidana itu ditegakan dan dioperasikan secara konkrit sehingga seorang dijatuhi sanksi.

Hakim juga memiliki kebebasan untuk memilih berat atau ringannya pidana yang dijatuhkan, sebab aturan pemidanaan yang ada hanya

22Muladi, Op. Cit., hlm. 61.

23Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty Yogyakarta, 2007, hlm.135.

(19)

menentukan minimum umum, misalnya untuk pidana penjara kurungan minimum 1 (satu) hari (Pasal 12 dan 18 KUHP). Kemudian maksimum umumnya untuk pidana penjara 15 (lima belas) tahun, dapat menjadi 20 (dua puluh) tahun untuk hal-hal tertentu.

Selain itu masih ada lagi kebebasan bagi hakim untuk menentukan cara bagaimana pidana tersebut akan dilaksanakan, misalnya:

Dengan menerapkan Pasal 14a s/d Pasal 14a KUHP, yang mengatur pidana bersyarat voorwaardeelijke veroordeling, dalam batas-batas maksimal dan minimal tersebut Hakim mempunyai kebebasan bergerak, untuk mendapatkan pidana yang tepat, KUHP kita tidak memuat pedoman pemberian pidana yang umum, ialah suatu pedoman yang dibuat oleh pengundang-undang yang memuat asas-asas yang perlu diperhatikan oleh hakim sebelum menjatuhkan pidana. Yang ada hanya aturan pemberian pidana.24

Dalam masalah majelis hakim memutus di luar dakwaan menimbulkan kurangnya jaminan dan kepastian hukum, terdakwa tetap dipandang sebagai penjahat dan harus menjalani hukuman sebagai konsekuensi dari perbuatan yang dilakukannya, disisi lain terdakwa mempunyai hak untuk diberi hukuman secara adil pula. Hal ini tentunya menyalahi konsep perlindungan hukum terhadap seluruh warga negara, seperti dikemukakan oleh Dheny Wahyudhi bahwa: “Negara wajib melindungi setiap warga negaranya dari setiap perbuatan yang dapat merusak tatanan kehidupan dalam masyarakat

25

24Ibid. hlm.108.

25Dheny Wahyudhi, “Keseimbangan Perlindungan Hukum Terhadap Pelaku Dan Korban Tindak Pidana Dalam Kerangka Restorative Justice”, Forum Akademika Vol 25, No 1, http://online-journal.unja.ac.id/index.php/ForAk/article/view/2164. tanggal akses 20 Juli 2020.

(20)

Haryadi mengemukakan, bahwa:

Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki untuk menghadapi tindak pidana serta untuk menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya tersebut (The criminal sanction is the best availabledevice we have for dealing with gross and immadiate harms and treats of harm). Selain penggunaan sanksi pidana sebagai sarana untuk menanggulangi Tindak pidana dan menjaga ketertiban masyarakat, tujuan pemidanaan juga merupakan hal yang tidak kalah pentingnya guna mencari dasar pembenaran dari penggunaan pidana sehingga pidana menjadi lebih fungsional.26

Hal ini senada dengan pendapat yang dikemukakan oleh Usman dan Andi Najemi bahwa:

Dalam kenyataanya tidak jarang ditemui putusan yang lebih mementingkan kepastian hukum, sehingga mengenyampingkan keadailan dan kemanfaatan atau juga sebaliknya lebih mementingkan keadilan dan kemanfaatan tetapi mengenyampingkan kepastian hukum.

Dalam perkara pidana, seharusnya berlaku asas keadilan yang utama, sehingga dalam hal terjadi benturan nilai maka nilai keadilan yang harus dimenangkan.27

Bahder Johan Nasution mengemukakan:

Bahwa nilai keadilan melekat pada tujuan hukum. Ide keadilan dicerminkan oleh keputusan yang menentang dilakukannya hukuman yang kejam, melarang penghukuman untuk kedua kalinya terhadap kesalahan yang sama. Menolak diterapkannya peraturan hukum yang menjatuhkan pidana terhadap Tindakan yang dilakukan sebelum ada peraturan yang mengaturnya, menolak pembentukan undang-undang yang menghapus hak-hak dan harta benda seseorang.28

Senada dengan hal di atas, esensi putusan yang lebih mementingkan aspek kepastian hukum, Hafrida mengemukakan: “Putusan hakim merupakan

26Haryadi, Tinjauan Yuridis Perumusan Sanksi Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-undang No. 20 Tahun 2001 Dalam Perspektif Tujuan Pemidanaan, Jurnal Ilmu Hukum Universitas Jambi, Maret 2014, hlm.

139. https://scholar.google.co.id, hlm. 5.

27Usman dan Andi Najemi, Mediasi Penal di Indonesia: Keadilan, Kemanfaatan, dan Kepastian Hukumnya, Undang: Jurnal Hukum ISSN 2598-7933 (online); 2598-7941 (cetak), Vol.

1 No. 1 (2018): 65-83, DOI: 10.22437/ujh.1.1.65-83, https://scholar.google.co.id, hlm. 5.

28Bahder Johan Nasution, Kajian Filosofis Tentang Konsep Keadilan Dari Pemikiran Klasik Sampai Pemikiran Modern, Jurnal Yustisia Vol. 3 No.2 Mei - Agustus 2014 https://jurnal.uns.ac.id/yustisia/article/view/11106/9938, tanggal akses 22 Juni 2020.

(21)

muara dari penerapan aturan norma hukum pidana. Putusan hakim merupakan cerminan dalam penegakan hukum atas suatu perbuatan pidana”.29

Sahuri Lasmadi dan Elly Sudarti mengemukakan, bahwa: “Dengan terpenuhi semua unsur tindak pidana, maka seseorang dapat dijatuhi suatu sanksi pidana yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan”.30

Helmi Yunetri dan Abadi Darmo, mengemukakan;

Penerapan sanksi pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama lebih dikonsentrasikan kepada faktor yang melatar belakangi terjadinya putusan disparitas. Bahwa pertimbangan hukum yang menjadi dasar hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana yang berbeda terhadap objek perkara yang sama adalah hakim lebih menggunakan pertimbangan yang bersifat yuridis (fakta hukum yang terdapat dipersidangan), dari pada pertimbangan bersifat nonyuridis. Tidak adanya kesamaan pendapat hakim dalam menilai hal-hal yang memberatkan dan yang meringankan sanski pidana yang tercantum dalam pertimbangan hukum putusan tersebut serta tidak adanya formulasi yang jelas tentang penilaian tersebut. Hakim diperkenankan untuk menggali dan menafsirkan nilai–nilai dan rasa keadilan yang berkembang dalam masyarakat untuk menyelesaikan suatu perkara yang diajukan kepadanya.31

F. Metode Penelitian 1. Tipe Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif. Sahuri Lasmadi mengemukakan:

29Hafrida, Analisis Putusan Hakim Pengadilan Negeri Jambi Terhadap Pengguna/

Pemakai Narkotika Dalam Perspektif Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Di Kota Jambi, Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri Humaniora Volume 16, Nomor 1, Hal. 55-66 ISSN:0852-8349 Januari – Juni 2014, hlm. 59.

30Sahuri Lasmadi dan Elly Sudarti, Penyuluhan Hukum Tentang Merugikan Keuangan Negara Kepada Kepala Desa Se Kecamatan Pemayung Kabupaten Batang Hari Guna Pencegahan Korupsi Pada Pemerintahan Desa, Jurnal Karya Abdi Masyarakat Volume 3 Nomor 2 Desember 2019, p-ISSN:2580-1120 e-ISSN:2580-2178 LPPM Universitas Jambi, diakses melalui https://scholar.google.co.id , tanggal akses 10 Agustus 2020.

31Helmi Yunetri dan Abadi B Darmo, Disparitas Penjatuhan Hukuman Pidana Dalam Perkara Pencurian (362 KUHP) Di Pengadilan Negeri Jambi, Legalitas: Jurnal Hukum Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum Program Magister Ilmu Hukum Universitas Batanghari Jambi, Abstrak, Vol 1, No 1 (2009).

(22)

Hukum normatif atau yang sering juga disebut penelitian yuridis normatif. Sifat normatif penelitian hukum dikaitkan dengan karakter keilmuan hukum itu sendiri. Karena itu pemelihan metode penelitian senantiasa dibatasi oleh rumusan masalah, obyek yang diteliti dan tradisi keilmuan hukum itu sendiri.32

Penelitian yuridis normatif, kajiannya terfokus pada hukum positif dengan aspek sebagai berikut: “1) mempelajari aturan dari segi teknis, 2) berbicara tentang hukum, 3) berbicara hukum dari segi hukum, 4) berbicara problem hukum yang konkrit”.33

Tugas utama ilmu hukum normatif menurut D Meuwissen, adalah:

“1) deskripsi hukum positif, 2) sistematika hukum posotif, 3) intrepretasi hukum positif, 4) analisis hukum positif, dan 5) menilai hukum positif”.34

Dalam penelitian ini, penulis akan mengkaji Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Balai Karimun Nomor 91/Pid.Sus/2017/PN.Tbk tentang tindak pidana narkotika.

2. Pendekatan Penelitian

Peter Mahmud Marzuki menyatakan ada lima pendekatan dalam penelitian hukum, yaitu pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case law approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan perbandingan (comparative approach), dan

pendekatan konseptual (conceptual approach).35

Mengingat penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif, maka pendekatan-pendekatan yang dipergunakan di antaranya adalah:

32Sahuri Lasmadi, Pertanggungjawaban Korporasi dalam Perspektif Hukum Pidana Indonesia, Disertasi Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2003, hlm. 64.

33Ibid.,

34Ibid., hlm. 64-65.

35Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 93.

(23)

a. Pendekatan Perundang-undangan.

Bahder Johan Nasution, mengemukakan: “pendekatan undang- undang atau statuta approach dan sebagian ilmuwan hukum menyebutnya dengan pendekatan yuridis, yaitu penelitian terhadap produk-produk hukum”.36

Pendekatan perundang-undangan perlu juga dilakukan dengan melihat aturan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, kemudian aplikasinya dalam putusan hakim sebagai norma yang konkrit.

b. Pendekatan Konsep

Bahder Johan Nasution, mengemukakan:

Pendekatan konseptual, yaitu penelitian terhadap konsep- konsep hukum seperti: sumber hukum, fungsi hukum, lembaga hukum dan sebagainya. Konsep hukum ini berada pada tiga ranah atau tataran sesuai tingkatan ilmu hukum itu sendiri yaitu: tataran ilmu hukum dogmatik konsep hukumnya teknis yuridis, tataran teori hukum konsep hukumnya konsep umum, tataran filsafat hukumnya konsep dasar.37

Pendekatan konsep menurut pertimbangan penulis perlu dilakukan karena konsep-konsep yang dipergunakan setiap saat bisa berkembang dari waktu ke waktu. Konsep mengenai pemidanaan di luar dakwaan pada putusan pengadilan terhadap tindak pidana narkotika.

c. Pendekatan Kasus

Peter Mahmud Marzuki, mengemukakan: “pendekatan kasus, dalam menggunakan pendekatan kasus, yang perlu dipahami oleh

36Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2008, hlm. 92.

37Ibid.

(24)

peneliti adalah ratio decidendi, yaitu alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk sampai kepada putusannya”.38

Pendekatan kasus dengan mengkaji Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Balai Karimun Nomor 91/Pid.Sus/2017/PN.Tbk.

3. Pengumpulan Bahan Hukum a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer yaitu bahan hukum utama, berupa peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti yaitu Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Balai Karimun Nomor 91/Pid.Sus/2017/PN.Tbk.

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang berupa hasil penelitian, literatur hukum serta tulisan-tulisan lain yang berhubungan dengan masalah yang teliti.

c. Bahan tertier

Bahan hukum tertier yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder berupa Kamus Hukum dan Kamus Besar Bahasa Indonesia.

38Peter Mahmud Marzuki, Op. Cit., hlm. 119.

(25)

4. Analisis Bahan Hukum

Bahan hukum yang diperoleh dianalisis secara kualitatif yaitu data yang tersedia baik primer maupun data sekunder yang dikumpulkan. Hasil yang diperoleh ini disajikan dalam bentuk deskriptif menggambarkan sesuatu kenyataan yang terjadi mengenai pemidanaan di luar dakwaan pada putusan pengadilan terhadap tindak pidana narkotika.

G. Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan gambaran yang jelas dari pembahasan skripsi ini, maka perlu kiranya disusun secara sistematis. Adapun sistematika yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah terdiri dari 4 (empat) bab yang secara garis besarnya diuraikan sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini penulis akan menguraikan tentang latar belakang masalah yang merupakan titik tolak bagi penulis dalam penulisan skripsi ini, selain itu bab ini juga menguraikan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka konseptual dan landasan teoretis, metode penelitian dan diakhiri dengan sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN TENTANG PEMIDANAAN, PELAKU TINDAK PIDANA DAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA

Pada bab ini penulis akan menguraikan tentang pemidanaan, pelaku tindak pidana dan tindak pidana narkotika.

BAB III PEMIDANAAN DI LUAR DAKWAAN PADA PUTUSAN PENGADILAN TERHADAP TINDAK PIDANA NARKOTIKA.

(26)

Pada bab ini penulis akan menguraikan tentang pengaturan pemidanaan di luar dakwaan pada putusan pengadilan terhadap tindak pidana narkotika dan dasar pertimbangan hakim dalam melakukan pemidanaan di luar dakwaan pada putusan pengadilan terhadap tindak pidana narkotika.

BAB IV PENUTUP

Bab ini merupakan ringkasan dari seluruh uraian sebelumnya yang dimuat dalam beberapa kesimpulan dan diakhiri dengan saran yang diharapkan dapat bermanfaat.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Hasil penelitian dapat disimpul- kan sebagai berikut: tngkat pendidikan remaja yang marriage diusia muda mayoritas berpendidikan rendah, yaitu SD ke bawah, tingkat pendidikan orang

Survai pengumpulan data primer antara lain frekwensi, faktor muat kendaraan, jarak antara angkutan umum yang beroperasi, kecepatan kendaraan, pergantian moda

Pada studi-studi sebelumnya diperoleh hasil bahwa metode yang paling baik untuk menentukan ketebalan sedimen adalah metode Nakamura, sedangkan pada penelitian ini

Terdapat beberapa hal yang mempengaruhi tinggi rendahnya penghimpunan Dana Pihak Ketiga pada Perbankan Syariah, namun pada penelitian ini lebih difokuskan pada

Grafik 3 di atas terlihat batang untuk kategori baik adalah yang paling tinggi, yaitu pada angka 85,71%. Hal ini menunjukkan bahwa keterampilan siswa dalam berbicara

dan nilai Anti-image Correlation variabel- variabel yang diuji diatas 0,5. Pada analisis selanjutnya dari variabel- variabel preferensi konsumen dalam memilih buah durian,