• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemanfaatan Tanah dari Bawah Tegakan Jati Muna di Sulawesi Tenggara sebagai Inokulum CMA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pemanfaatan Tanah dari Bawah Tegakan Jati Muna di Sulawesi Tenggara sebagai Inokulum CMA"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

PEMANFAATAN TANAH DARI BAWAH

TEGAKAN JATI MUNA DI SULAWESI TENGGARA

SEBAGAI

SUMBER INOKULUM CMA

Oleh

HARIYANTI NOVA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRAK

HARIYANTI NOVA. Pemanfaatan tanah dari bawah Tegakan Jati Muna di Sulawesi Tenggara sebagai Sumber Inokulum CMA. Dibimbing oleh IRDIKA MANSUR dan SRI WILARSO BUDI R.

Penelitian ini bertujuan: (1) mengetahui kemungkinan penggunaan inokulum tanah asal tegakan Jati Muna untuk penularan CMA pada bibit Jati (2) mengetahui efektivitas inokulum tanah dari berbagai lokasi tegakan Jati Muna.

Metode penelitian yang digunakan adalah (1) pengambilan contoh tanahuntuk bahan inokulum dari bawah tegakan jati, tepatnya di bawah pohon jati “Plus” yang tersebar di tiga Daerah Tk II di Sulawesi Tenggara yakni Kabu. Muna ( Matakidi, Raha dan Wakuru), Kab. Buton (Sampolawa) dan Kab. Konawe Selatan (Ewa), (2). Pemindahan semai dan inokulasi CMA. Parameter yang diamati adalah Pertumbuhan bibit, persentase infeksi akar, menghitung jumlah spora dan analisis kimia tanah. Akar jati telah diketahui bersimbiosis dengan cendawan mikoriza arbuskula (CMA) yang sangat menguntungkan bagi tanaman jati karena dapat membantu tanaman dalam penyerapan unsur hara (khususnya P), lebih tahan terhadap kekeringan dan patogen akar.

(3)

SURAT PENYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul

Pemanfaatan Tanah dari bawah Tegakan Jati Muna di Sulawesi Tenggara

sebagai sumber inokulum CMA.

Merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri dengan pembimbingan para Komisi Pembimbing, kecuali yang jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain.

Bogor, September 2005

(4)

PEMANFAATAN TANAH DARI BAWAH

TEGAKAN JATI MUNA DI SULAWESI TENGGARA

SEBAGAI SUMBER INOKULUM CMA

HARIYANTI NOVA

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)
(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat Nanggroe Aceh Darussalam pada tanggal 30 September 1972 sebagai anak ketiga dari pasangan Hasanuddin Ishak dan Nurbaiti Nasuha. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Manajemen Hutan, Sekolah Tinggi Ilmu Kehutanan Banda Aceh, lulus pada tahun 1995. Pada tahun 1996 penulis berkerja pada perusahaan swasta yaitu pada HPH. PT. Gunung Raya Utama Timber Industri pada bidang Tata Usaha kayu.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa, berkat rahmat dan karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian ini adalah Pemanfaatan Tanah Dari Bawah Tegakan Jati Muna di Sulawesi Tenggara Sebagai Sumber Inokulum CMA, yang disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Atas selesainya karya ilmiah ini, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dr.Ir. Irdika Mansur, M.For.Sc selaku Ketua Komisi Pembimbing, yang telah banyak memberikan bantuan moril dan nasihat dari mulai persiapan penelitian sampai tersusunnya karya ilmiah ini.

2. Dr.Ir. Sri Wilarso Budi.R.MS. selaku Anggota Komisi Pembimbing, atas pengarahan, saran dan bimbingan yang diberikan kepada penulis.

3. Kepada Depdiknas yang telah memberikan bantuan dana berupa beasiswa BPPS kepada penulis, saya sampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga. 4. Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, selaku Dekan Sekolah Pasca Sarjana IPB

yang dengan otoritasnya bisa menerima penulis untuk melanjutkan pendidikan di IPB.

5. Abu dan Mama serta Abang dan adik-adikku yang selalu mendorong penulis dalam menyelesaikan tugas yang mulia ini.

6. Suami tercinta Aboe.B.Saidi,S.Hut. dengan kesabarannya selalu menemani penulis dalam menyelesaikan tugas yang mulia ini.

(8)

8. Kepada Bapak Ir.Abimanyu Dipo Nusantara, MS dan Ibu Ir.Rr Yudhy Harini Bertham, MP. serta keluarga besar Laboratorium Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB Bogor.

9. Kepada semua pihak yang telah banyak membantu penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi penulis maupun yang berminat dalam pengembangan tanaman Jati di Indonesia. Kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat penulis hargai.

Bogor, September 2005

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 5

Manfaat Penelitian ... 5

Hipotesis ... 5

Kerangka Pemikiran ... 5

TINJAUAN PUSTAKA Jati (Tectona grandis L.f) Klasifikasi ... 8

Penyebaran dan Habitat ... 8

Morfologi Tanaman ... 9

Hama dan Penyakit ... 9

Kegunaan ... 10

Cendawan Mikoriza Arbuskula Beberapa Faktor Yang Mempengaruhi Kolonisasi dan Propagul CMA . ... ... 16 Peranan Mikoriza Terhadap Tanaman ... 18

Manfaat CMA Pada Tanaman Jati ... 19

Inokulum Tanah ... 19

Keadaan Umum Pengambilan Inokulum Tanah Letak Geografis dan Batas Wilayah … ... 21

Luas Wilayah ... 21

Topografi dan Kondisi Tanah ... 22

Status Kehutanan ... 23

BAHAN DAN METODE Metode Penelitian ... 25

Pengamatan dan Pengumpulan Data ... 28

Rancangan Penelitian ... 32

(10)

Tinggi Bibit Jati ... 36

Diameter Bibit Jati ... 40

Jumlah Daun ... 41

Berat Kering Total ... 41

Nisbah Pucuk Akar ... 41

Persentase Infeksi Akar ... 42

Jumlah Spora ... 45

Analisis Tanah ... 48

Pembahasan ... 51

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ... 63

Saran ... 63

DAFTAR PUSTAKA ... 64

(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kerangka pemikiran penelitian 7

2. Phylogeny perkembangan dan taksonomi ordo Glomales 12

3. Penampang longitudinal akar yang terinfeksi CMA 13

4. Perkecambahan Benih Jati (Tectona grandis L.f) 27

5. Persiapan Media Tanam 27

6. Pemeliharaan Bibit Jati Selama 8 minggu setelah diinokulasi 28

7. Perbandingan Pertumbuhan Bibit Jati Umur 8 Minggu Setelah Tanam berdasarkan Kelompok Asal Inokulum CMA

36

8. Rata-rata Tinggi Bibit Mingguan yang diinokulasikan CMA Dari Awal sampai dengan 8 Minggu Setelah Tanam

38

9. Bibit Jati Umur 8 Minggu Setelah Tanam (kiri) Perakaran Bibit Jati yang diinokulasikan CMA di Bawah Tegakan Jati Muna Dan Kontrol

39

10. Struktur Infeksi Akar CMA pada Bibit Jati 42

11. Perbandingan Rata-rata Persentase Infeksi Akar Bibit Jati Umur 8 Minggu Setelah Tanam

44

12. Perbandingan Inokulum CMA Terhadap Pertumbuhan Rata-

Rata Jumlah Daun Bibit Jati Umur 8 Minggu Setelah Tanam 46

13. Beberapa Contoh Spora CMA yang Ditemukan Dalam Media Semai Jati Muna Umur 8 Minggu Setelah Diinokulasi dengan CMA Tanah dari Bawah Tegakan Jati Muna.

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam pengaruh Pemberian Inokulum Tanah Terhadap Pertumbuhan Bibit Jati (Tectona grandis L.F)

33

2. Hasil Uji Jarak Berganda Duncan Terhadap Riap Tinggi , Riap Diameter, Jumlah Daun dan BKP

34

3. Hasil Uji Jarak Berganda Duncan Terhadap BKA, BKT, dan NPA.

35

4. Peningkatan Pertumbuhan Bibit Jati (Tectona grandis L.F) Akibat Pemberian Inokulum Tanah

39

5 Rekapitulasi Analisis Uji Duncan Pemberian Inokulum Tanah Terhadap Diversitas CMA yang Berasal dari Empat Lokasi Tegakan jati Muna (Tectona grandis L.F) di Propinsi Sulawesi Tenggara.

43

6. Koefisien Korelasi antar Persentase Infeksi Akar dan Jumlah Spora.

45

7. Model Hubungan Berat Kering Total dengan Persen Infeksi Akar

48

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Hasil pengolahan data menggunakan program SAS 6.12.

for Windows. 72

2. Gambar Hasil inokulasi Bibit Jati dibanding dengan Kontrol. 75

3. Morfologi Bibit Jati 85

4. Analisis Tanah 89

(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan tropis yang luas dan kaya akan keanekaragaman hayati tumbuhan, hewan dan mikroba (Primack

et al. 1998). Namun kekayaan ini menghadapi ancaman yang cukup serius karena dalam waktu tiga tahun terakhir ini laju deforestasi hutan indonesia diperkirakan melebihi 1,6 juta hektar per tahun (Badan Planologi Kehutanan 2002). Jati merupakan tanaman asli (endemik) di sebagian besar jazirah India, Myanmar, Thailand bagian barat, Indo Cina, sebagian Jawa, serta beberapa pulau kecil lainnya di Indonesia, seperti Muna (Sulawesi Tenggara). Pada awalnya potensi hutan jati yang ada di Propinsi Sulawesi Tenggara seluas ± 70.000 ha. Karena kondisi geoklimatologis Propinsi Sulawesi Tenggara yang cocok untuk pengembangan tanaman jati, maka pemerintah Hindia Belanda (kolonial) melakukan kegiatan budidaya yang dimulai pada awal abad ke 20. Berdasarkan data yang ada diperoleh luas hutan jati sekitar 1000 ha yang tersebar pada beberapa kawasan hutan, sampai saat ini sebahagian masih dapat disaksikan keberadaanya.

Adapun manfaat dari hutan jati merupakan komoditas kayu yang penting di Jawa dan Sulawesi Tenggara. Kayu jati termasuk kedalam golongan kayu mewah sehingga menjadi komoditas kayu ekspor yang sangat penting bagi Indonesia. Di dalam negeri pun kayu jati merupakan jenis kayu yang mahal. Kayu jati sangat cocok untuk berbagai keperluan seperti konstruksi rumah, jembatan, kusen pintu dan jendela, fornitur, lantai (Martawijaya et al. 1981), veneer muka kayu lapis (Ruhendi dan Widarmana 1983), sedangkan limbah kayu jati berupa cabang dan ranting, serta serbuk gergaji dapat diproses menjadi briket arang yang memiliki kalori tinggi (Sumana 2002).

(15)

ditebang pada umur 80 tahun, tetapi saat ini jati mulai ditebang pada umur 40-60 tahun. Di areal hutan rakyat, jati dapat ditebang pada umur yang jauh lebih muda yaitu 15-20 tahun dengan diameter antara 30-40 cm. Kelestarian hutan jati muna mulai mengkhawatirkan karena pengelolaan yang mengabaikan prinsip-prinsip kelestarian hutan sebagai sebuah bagian ekosistem yang sangat penting. Oleh karena itu perlu segera dilakukan rehabilitasi mengingat laju kerusakan hutan dari tahun ketahun semakin meningkat. Menurut Tim peneliti Universitas Gajah Mada tegakan jati masih potensial/produktif seluas 3,855 ha (Rencana Kegiatan Tahunan, Dinas kehutanan Kab. Muna 2000).

Seiring dengan perjalanan waktu dan kebutuhan manusia akan bahan baku kayu yang selalu meningkat, ketersediaan jati yang tumbuh secara alami jumlahnya semakin menurun. Akibatnya, persediaan bahan baku berupa kayu jati yang semula melimpah di hutan menjadi terbatas. Hal ini menyebabkan tanaman ini mulai banyak dibudidayakan. Akhir-akhir ini banyak yang mengusahakan penanaman bibit jati secara intensif, bahkan di luar daerah yang selama ini dikenal sebagai daerah sentra jati. Meskinpun demikian, penyebaran tanaman banyak menemui masalah karena sulitnya mendapatkan bibit yang bermutu baik dan dalam jumlah yang besar.

Untuk memecahkan masalah tersebut diatas perlu dicari terobosan baru. Salah satunya terobosan yang diharapkan mampu memecahkan masalah kesuburan tanah pada lahan marginal adalah aplikasi teknologi mikroba berupa pemanfaatan cendawan mikoriza arbuskula dalam bentuk pupuk hayati nampaknya merupakan strategi yang perlu dicoba.

Tanaman Jati merupakan salah satu jenis tanaman yang dapat berasosiasi dengan Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) (Rohayati dan Twn 2000) karena dalam fase pertumbuhannya jati membutuhkan unsur hara fosfat yang cukup banyak (0,222 – 0,108 %) (Sumarna 2003).

(16)

pakan ternak. Hal ini disebabkan CMA dapat berasosiasi dengan ± 90 % jenis tanaman sehingga sangat potensial untuk dikembangkan. Keunggulan yang diperoleh dengan pemanfaatan cendawan mikoriza arbuskula adalah pemakaiannya aman (tidak menyebabkan pencermaran lingkungan), berperan aktif dalam siklus hara dan sekali tanaman terinfeksi CMA maka manfaatnya akan diperoleh selama hidup tanaman tersebut.

Meskipun CMA berpotensi untuk dikembangkan sebagai pupuk hayati, khususnya untuk jati, tetapi belum digunakan dalam skala luas. Dua hal penting yang menyebabkan CMA belum digunakan secara luas adalah belum adanya bukti di lapangan (baru skala laboratorium) dan respon yang lambat dibandingkan dengan pupuk konvensional. Semestara itu mutu inokulum yang dihasilkan juga masih rendah sehingga inokulum yang dibutuhkan untuk menginfeksi tanaman harus dalam jumlah banyak. Sampai sekarang teknik yang masih dipakai dalam memperbanyak inokulum adalah menggunakan kultur pot dimana CMA yang telah diketahui efekstivitasnya diinokulusikan pada tanaman inang tertentu, inokulum yang digunakan selama ini adalah hasil produksi massal, kelemahannya adalah lama dan mahal.

Pada ektomikoriza inokulum tanah sudah lazim digunakan pada produksi semai tanaman kehutanan seperti (Pinus merkusii, P.kesiya, P.caribaea, Acacia mangium, Eucalytus camaldulensi, E. Deglupta). Teknik inokulasinya sangat sederhana yaitu dengan mencampur inokulum tanah dengan semai (lazim 5-10% volume media), diberikan disekeliling batang semai pada kedalaman 0,5-1 cm (Marx dan Keney, 1982; De la cruz et al. 1992).

(17)

Carling 1990). Kerugiannya adalah spesies yang ada di dalam tanah menjadi tidak dapat dikontrol, tidak ada jaminan tanahnya mengandung cendawan yang diinginkan, dan pengangkutan tanah dalam jumlah besar akan sulit dan mahal ongkosnya (Marx & Kenny 1982).

Sedangkan pada endomikoriza inokulum tanah belum pernah digunakan, dalam upaya pemanfaatan CMA guna mendukung program pembangunan tanaman jati di Sulawesi Tenggara, maka penelitian pemanfaatan tanah dari bawah tegakan Jati Muna di Sulawesi Tenggara sebagai sumber inokulum CMA pada daerah-daerah sentral Jati di Sulawesi Tenggara perlu dilakukan. Penelitian ini adalah langkah awal dari program pemanfaatan inokulum tanah di Sulawesi Tenggara.

Tujuan Penelitian

1. Mengetahui kemungkinan penggunaan inokulum tanah asal tegakan Jati Muna untuk penularan CMA pada bibit Jati.

2. Mengetahui efektivitas inokulum tanah dari lokasi tegakan Jati Muna yang berbeda.

Manfaat Penelitian.

Diharapkan dari penelitian diperoleh informasi mengenai kemungkinan penggunaan inokulum tanah untuk meningkatkan pertumbuhan bibit Jati dan selanjutnya dapat meningkatkan keberhasilan rehabilitasi dan produkstivitas hutan Jati di Propinsi Sulawesi Tenggara.

Hipotesis.

1. Pemberian inokulum tanah dari bawah tegakan Jati Muna berpengaruh terhadap pertumbuhan bibit Jati.

(18)

Kerangka Pemikiran

Jati diharapkan mampu dikatakan hidup pada kondisi lahan marginal dengan adanya bantuan CMA. CMA diharapkan dapat membantu penyerapan unsur hara terutama P dan unsur-unsur lainnya, membantu penyediaan hara dari yang tidak tersedia menjadi tersedia bagi tanaman, membantu tanaman untuk dapat bertahan pada kondisi kekeringan, dan sebagai proteksi dari serangan patogen akar (Brundrett

et al. 1994; Smith & Read 1998).

Dalam usaha mendapatkan hasil optimal dan infeksi yang intensif maka perlu adanya suatu isolat yang mampu hidup dan dapat beradaptasi dengan kondisi setempat sesuai dengan tanaman lokal tersebut. Mansur (2002) mengemukakan bahwa isolasi CMA dari tanaman lokal akan lebih efektif untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman lokal tersebut dari pada digunakan isolat dari luar daerah tersebut. Hal ini disebabkan karena CMA adalah mahluk hidup dengan daya adaptasi terhadap inang dan lingkungan yang relatif spesifik. Untuk mendapatkan hasil yang memuaskan sebaiknya digunakan isolat lokal terseleksi. Dilaporkan oleh Rajan et al.

(1996) bahwa penggunaan inokulum mikoriza yang telah diseleksi tidak hanya bermanfaat untuk menghemat biaya produksi di persemaian, tetapi juga meningkatkan vigor semai jati pada penanaman di lapangan.

Teknik aplikasi CMA dengan menggunakan inokulum tanah merupakan teknik yang sederhana dalam penerapannya terutama apabila letak persemaian dekat dengan tegakan sumber inokulum, sehingga tidak ada masalah berkaitan dengan pengambilan dan pengangkutan. Inokulum tanah merupakan inokulum yang alami paling murah harganya dan teknologinya paling sederhana.

(19)

-Kegagalan - Kualitas baik penanaman - Biaya mahal - Input tinggi

- SDA lokal - Murah

- Dapat diproduksi dilapangan

Belum tersedia

Inokulum CMA Jati Muna

-Tersedia melimpah

- Teknologi sederhana - Murah

Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian pemanfaatan tanah dari bawah tegakan Jati Muna di Sulawesi Tenggara

Rehabilitasi Deforestasi Hutan Jati Muna

Tanah Marginal Penyediaan bibit Jati Muna

Teknologi alternatif Aplikasi CMA Teknologi alternatif

Inokulum tanah

Bibit Jati :

- Kualitas baik - Biaya murah - Kegagalan

(20)

TINJAUAN PUSTAKA

JATI (TectonagrandisL.f)

Klasifikasi

Jati (Tectonagrandis L.f) termasuk ke dalam famili Verbenaceae, di beberapa daerah di Indonesia dikenal dengan nama yang berbeda-beda, diantaranya deleg, dodkan, jate, jatih, jatos, kiati dan kulidawa. Sedangkan di negara lain dikenal dengan

giati (Venezuala), teak (Birma, India, Thailand, USA, Jerman), teck (Perancis) dan

teca (Brazilia) (Martawijaya et al. 1981). Klasifikasi jati yaitu sebagai berikut :

Divisi : Spermathophyta Kelas : Angiospermae Sub-kelas : Dicotyledoneae Ordo : Verbenales Famili : Verbanaceae Genus : Tectona

Spesies : Tectona grandis Linn. F.

Penyebaran dan Habitat.

Jika dilihat dari penyebarannya, tanaman jati tersebar di garis lintang 9o LS hingga 25o LU, mulai benua Asia, Afrika, Amerika, dan Australia bahkan sampai ke Selandia Baru (Tini dan Amri 2002). Areal penyebaran alaminya terdapat di India, Myanmar, Thailand dan bagian barat Laos. Jati tersebar pada garis 70o – 100o BT. Di Indonesia, jati bukan tanaman asli, tetapi sudah tumbuh sejak beberapa abad lalu di Pulau Kangean, Muna, Sumbawa, dan Jawa (Rachmawati et al. 2002). Adapun persyaratan tempat tumbuhnya menurut Mahfudz (2002) adalah sebagai berikut : Curah hujan : 1500-2500 mm/tahun

Bulan kering : 2-4 bulan (Curah hujan 50 mm/bulan) Tinggi tempat : 10-1000 m dpl

(21)

pH Tanah : 4,5-8

Jenis Tanah : Lempung berpasir, mengandung kapur, bukan tanah becek /rawa dan cadas (solum cukup dalam ± 1,5 m).

Morfologi Tanaman.

Tinggi pohon antara 25-30 m, namun di daerah yang subur, tinggi pohon bisa mencapai 50 m dengan diameter ± 150 cm. Batang umumnya bulat dan lurus, kulit kayu agak tipis, beralur dalam sampai agak dalam (Departemen Kehutanan 1991).

Sedangkan menurur Rachmawati et al. (2002), pada tapak bagus, batang bebas cabang 15-20 m atau lebih, percabangan kurang dan rimbun. Daun lebar 15-35 cm, letak daun bersilang, bentuk daun ellips atau bulat telur. Bagian bawah berwarna abu-abu, tertutup bulu berkelenjer warna merah. Ukuran bunga kecil, diameter 6-8 mm, keputih-putihan dan berkelamin ganda terdiri dari benang sari dan putik yang terangkai dalan tandan besar. Benih terbentuk oval, ukuran kira-kira 6x4 mm. Buah jati keras, terbungkus kulit berdaging, lunak dan tidak merata. Ukuran buah bervariasi 5-20 mm, umumnya 11-17 mm. Struktur buah terdiri dari kulit luar tipis yang terbentuk dari kelopak, lapisan tengah (mesokarp) tebal seperti gabus, bagian dalamnya (endokarp) keras dan terbagi menjadi 4 ruang biji.

Bunga jati akan mulai terlihat saat masuk musim hujan, yaitu Juni-Agustus atau bahkan September. Buah jati yang merupakan proses lanjutan dari bunga akan masak pada bulan November-Januari, selama memasuki musim kemarau yaitu Febuari-April, buah akan jatuh secara bertahap. Buah jati mengandung jumlah biji yang variasi antara 1-6 butir. Namun, pada umumnya buah jati berisi 1-2 biji yang sempurna. Sehingga secara normal setiap buah jati pada dasarnya dapat diharapkan menghasilkan minimum satu anakan jati baru hasil pembibitan generatif (Tini dan Amri 2002).

Hama dan Penyakit.

(22)

Scarabidaeae). Selain menyerang bibit di persemaian, hama di atas juga menyerang tanaman umur 1-2 tahun. Tanaman yang terserang akan layu karena perakarannya terputus (Sumana 2003).

Di persemaian , semai diserang oleh lundi putih yang memakan bagian ujung tudung akar. Kerusakan yang cukup serius dapat menyebabkan kematian semai. Lundi putih dapart dikendalikan menggunakan insektisida Phorate (Thimet 10 g) atau

Carbofuron (Furadan 3 G) pada bagian yang terserang (Kerala Forest Research Institute 2000).

Sedangkan menurut Departemen Kehutanan (1991) hama yang menyerang tanaman jati adalah engkes-engkes (Monohamus rusticator F), uter-uter (Phasus damor Moore), oleng-oleng (Domitus ceramicus Wlk.), inger-inger (Veotermes tectonae Dam),busuk hati (Xyloborus destruen), Pyrausta machaeralis, entung jati (Hyblaea puera Cr).

Penyakit yang menyerang tanaman jati dapat dibagi berdasarkan bagian yang diserang, seperti penyakit akar, penyakit batang maupun penyakit daun. Jenis gangguan pada akar tanaman jati yang sering dijumpai adalah bakteri Pseudomonas tectonae. Penyakit ini ditandai adanya daun yang menguning dan kemudian berubah menjadi coklat. Jenis yang menyerang batang tanaman jati antaranya yaitu Corticium salmonicolor dan Nectri haematococca sebagai penyebab penyakit kanker batang. Jenis penyakit yang menyerang pucuk daun yaitu Stemphyllum sp. dan Phomopsis tectonae serta jenis Ganoderma applanatum dan Phelilinus lamoensis yang menyebabkan akar berwarna coklat (Sumana 2003). Penyakit ini dapat dikendalikan secara efektif dengan aplikasi kombinasi antara antibiotik, alantamycin dan pestisida

Phorate atau Carbofuron. Penyakit daun disebabkan Phomopsis dapat dikendalikan menggunakan Dithane M-45@ 0,05% dalam interval 2 minggu (Kerala Forest Research Institute 2000).

Kegunaan.

(23)

veneer, kereta, jembatan, bantalan kereta api dan perkakas rumah tangga. Daunnya oleh penduduk dimanfaatkan untuk membungkus makanan. Juga untuk memberi warna pada kulit telur rebus dan sayur nangka. Kulit akar dan daun mudanya dipergunakan untuk memberikan warna pada barang-barang anyaman, selain itu daunnya dapat dimanfaatkan pula untuk obat-obatan (Martawijaya et al. 1981).

Cendawan Mikoriza Arbuskula.

Mikoriza adalah suatu bentuk hubungan simbiosis mutualisme antara cendawan (myces) dan perakaran (rhiza) tanaman tingkat tinggi (Harley and Smith 1983). Dalam simbiosis ini cendawan memberikan keuntungan kepada tanaman (inang) berupa penyerapan unsur hara terutama P dan sebaliknya cendawan memperoleh karbohidrat dan faktor pertumbuhan lainnya dari tanaman inang (Imas et al. 1989).

Menurut cara infeksi dan struktur tumbuh maka mikoriza terbagi atas 2 (dua) golongan yaitu Endomikoriza dan Ektomikoriza. Secara umum Endomikoriza terbagi atas 6 (enam) sub tipe yaitu mikoriza arbuskula, ektendomikoriza, ericoid mikoriza, orchid mikoriza, arbutoid mikoriza dan monotropoid mikoriza (Setiadi 2003).

Mikoriza arbuskula merupakan salah satu tipe cendawan pembentuk mikoriza yang termasuk dalam Kelas Zygomicetes ordo Glomales yang memiliki lima famili yaitu Glomaceae, Acaulosporaceae, Archaeosporaceae, Paraglomaceae dan

Gigasporaceae dengan 6 (enam) genus yaitu Glomus, Sclerocystis, Acaulospora,

(24)

Gambar 2. Phylogeny perkembangan dan taksonomi ordo Glomales (Sumber: INVAM, 2003).

Menurut Setiadi (1989) mikoriza arbuskula dicirikan oleh karateristik sebagai berikut : (1) perakaran yang terkena infeksi tidak membesar (2) cendawan membentuk struktur lapisan hifa tipis pada permukaan akar (3) adanya struktur khusus berbentuk oval yang disebut vesikula dan sistim percabangan hifa yang disebut arbuskula (4) hifa masuk ke dalam sel korteks (Gambar 3).

Arbuskula diduga berperan sebagai organ transfer unsur hara di antara simbion-simbion. Vesikula merupakan struktur-struktur menggelembung yang dibentuk secara interkalar atau apikal pada hifa-hifa yang berfungsi sebagai organ penyimpanan cadangan makanan (Hudson 1988).

Mikoriza arbuskula telah diketahui memberikan sumbangan yang sangat besar terhadap pertumbuhan tanaman, serapan hara dan juga produksinya. Kendala utama dalam pemakaian mikoriza arbuskula dalam skala besar adalah perbanyakan inokulan dalam pemanfaatan secara komersial (De La Cruz 1978). Ada tiga macam inokulan yang digunakan yaitu tanah yang mengandung CMA, spora dari cendawan pembentuk mikoriza, potongan-potongan hifa dan akar terinfeksi CMA.

(25)

dan (3) faktor tanah (media). Kepekaan inang terhadap infeksi mikoriza arbuskula bersifat genetis.

(26)

Tanaman yang ketergantungan akan unsur fosfat tinggi akan cenderung berasosiasi dengan mikoriza. Cahaya dan temperatur merupakan unsur iklim yang sangat mempengaruhi proses infeksi mikoriza arbuskula. Temperatur optimum bagi perkembangan spora Gigaspora spp. adalah 34oC, sedang untuk Glomus spp. adalah 20oC. Sedangkan faktor tanah yang berpegaruh adalah keasaman tanah (pH) dan kandungan unsur hara terutama P dan N. Menurut Hudson (1988), kandungan unsur hara di dalam tanah sangat mempengaruhi pertumbuhan mikoriza arbuskula. Kandungan unsur P dan N yang tinggi atau terlalu rendah ternyata dapat menurunkan infeksi mikoriza.

Proses infeksi dan perkembangan mikoriza arbuskula tergantung pada suplai unsur hara (fosfat) dan keluaran eksudat akar, dan perlakuan-perlakuan seperti misalnya naungan dan pengguguran daun seringkali diketahui menghambat proses kolonisasi mikoriza arbuskula. Kandungan unsur hara khususnya fosfat adalah merupakan faktor penting yang mempengaruhi produksi spora jamur pembentuk mikoriza.

Menurut Powell and Bagyaraj (1984) bahwa semakin tinggi kandungan fosfat yag tersedia bagi tanaman maka akan menghambat pembentukan mikoriza karena akan terjadi peningkatan permiabilitas membran akar yang mengurangi asam amino dan eksudat akar.

Produksi spora dipengaruhi secara nyata oleh tempat (sebagai media) dan perlakuan inang (Allen and Boosalis 1990). Sporulasi Gigaspora margarita, Glomus clarum, Glomus mossae, dan Scutellospora heterogama telah meningkat secara nyata setelah dilakukan penanaman dalam pot bahiagrass yang telah diberi superfosfat (Sylvia and Scheck 1983 dalam Sagiman 1989).

(27)

perubahan dingin dan perubahan gelap tidak mempengaruhi jumlah spora secara nyata.

Menurut Imas (1989), bahwa mikoriza arbuskula terdapat pada kebanyakan angiosperma, pterydophyta, bryophyta dan beberapa Gymnospermae. Hanya terdapat beberapa saja tumbuhan yang tidak bermikoriza terutama tumbuhan yang hanya membentuk Ektomikoriza misalnya Pinnaceae. Selanjutnya Meyer (1973) dalam

Setiadi (1989) menambahkan mikoriza arbuskula ini mempunyai penyebaran yang luas, meliputi hutan hujan rapat, padang pasir, semi gurun dan jarang ditemukan dalam hutan temperate areal yang amat basah (didominasi oleh Ektomikoriza). Setiadi (1989) mengatakan kebanyakan tumbuhan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi seperti Graminae dan Leguminosae umumnya mengandung mikoriza arbuskula. Peranan mikoriza arbuskula sangat penting bagi pertumbuhan terutama pada tanah-tanah yang kandungan fosfornya rendah. Adanya perbaikan pertumbuhan tanaman karena mikoriza arbuskula sangat tergantung dari jumlah fosfor tersedia dalam tanah jenis tanamannnya. Perbedaan pertumbuhan terjadi karena tanaman yang tidak bermikoriza telah kekurangan fosfor (Hudson 1988).

Menurut Brundrett et al. (1996) manfaat dari CMA dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu manfaat bagi tanaman, manfaat dalam ekosistem, dan manfaatnya bagi manusia. Mikoriza secara umum memiliki manfaat yang sangat besar bagi tanaman, yaitu: dapat meningkatkan penyerapan unsur hara, khususnya P (Bolan 1991), N (Azcon and Barea 1992), Cu dan Zn (Tarafdar and Rao 1997); meningkatkan resistensi tanaman terhadap patogen akar (Liu 1995) dan kekeringan (Kling and Jacobsen 1998); meningkatkan toleransi tanaman terhadap logam berat (Hashem 1995) dan salinitas (Azcon and Al Atrash 1997).

(28)

ini sangat penting mengingat sebagian besar tanah-tanah di Indonesia bersifat asam, dimana fosfat diikat oleh Al dan Fe. Pada tanah-tanah kapur, fosfat diikat oleh Ca sehingga tidak tersedia bagi tanaman. Disamping membebaskan fosfat yang tidak tersedia, hifa mikoriza juga mengkonservasi unsur hara agar tidak hilang dari ekosistem.

Manfaat mikoriza secara langsung bagi manusia lebih banyak diperankan oleh ektomikoriza karena dapat membentuk tubuh buah yang mudah dikenali. Tubuh buah dari cendawan ektomikoriza ini dapat dijadikan sebagai bahan pangan (Scleroderma sinnamariense yang bersimbiosis dengan melinjo), bahan obat, untuk keindahan (tubuh buah cendawan ektomikoriza beraneka bentuk, ukuran dan warna). Keanekaragaman cendawan juga dapat dijadikan indikator kualitas lingkungan (Brundrett et al. 1996).

Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Kolonisasi dan Propagul CMA

Powell and Bagyaraj (1984) menjelaskan bahwa kolonisasi dan propagul CMA berkaitan dengan varietas tanaman, species CMA dan kondisi lingkungan misalnya cahaya matahari dan suhu. Lebih lanjut ditambahkan oleh (Furlan and Fortin, 1977; Daft and El Giahmi, 1978 dalam Smith and Read 1997) bahwa propagul dipengaruhi oleh pertumbuhan tanaman, aplikasi pemupukan dan intersitas cahaya.

Oksigen. Menurut Setiadi (1992) bahwa penurunan konsentrasi O2 dapat

menghambat perkecambahan spora CMA dan kolonisasi akar.

Suhu. Pada umumnya CMA memiliki kebutuhan suhu yang serupa, meskipun

ada beberapa perkecualian. Kebanyakan CMA memiliki suhu minimum 0-5oC, dan suhu optimum berkisar antara 15 dan 30oC (Moore-Landecker, 1972). Suhu dapat mempengaruhi pertumbuhan baik inang maupun simbionnya. Infeksi CMA yang optimal sangat bervariasi tergantung pada inangnya.

(29)

Cahaya dan Fotoperiodesitas. Intensitas cahaya dan hari panjang yang lama akan memperbaiki kolonisasi dan produksi spora pada Pueraria javanica, jagung dan lain-lain (Graham et al. 1982). Meningkatnya kolonisasi CMA adalah akibat meningkatnya proses fotosintesis yang berakibat pada meningkatnya konsentrasi karbohindrat di dalam akar atau meningkatnya senyawa-senyawa eksudat. Untuk memaksimumkan produksi inokulum CMA perlu memaksimumkan fotosintesis inang dan cahaya.

Aerasi dan Air. Kualitas inokulum CMA akan menurun pada kondisi terlalu

basah atau terlalu kering. Kolonisasi maksimal CMA terjadi pada takaran potensial air -0,2 bar. Kolonisasi CMA menurun sampai 50% dari maksimal pada waktu air dijenuhkan. Read (1971) melaporkan bahwa produksi spora CMA sangat baik jika tanaman disiram setiap hari. Pemberian air setiap minggu menurunkan perkecambahan spora sampai 90% dan pemberian air 2 kali sehari menurunkan pertumbuhan spora sampai 75%.

pH tanah. Selain sejumlah faktor-faktor tersebut diatas, ternyata kondisi pH tanah juga mempengaruhi kolonisasi cendawan mikoriza pada akar. Sieverding (1991) mengemukakan bahwa spora CMA di dalam tanah terjadi pada kisaran 3,8 – 8,0. Toleransi dan kemampuan tanaman tumbuh pada tanah yang masam ada kemungkinan karena asosiasi kolonisasi CMA dengan akar dan kemampuan CMA beradaptasi terhadap kondisi pH yang rendah (Clark 1997).

(30)

Peranan Mikoriza terhadap Tanaman

Imas et al. (1989) menyatakan beberapa manfaat yang dapat diperoleh tanaman inang dari adanya asosiasi mikoriza adalah sebagai berikut :

a. Meningkatkan penyerapan unsur hara

b. Meningkatkan ketahanan terhadap kekeringan. c. Tahan terhadap serangan patogen akar

d. Mikoriza dapat memproduksi hormon dan zat pengantur tumbuh.

Tanaman yang bermikoriza biasanya tumbuh lebih baik dari pada yang tidak bermikoriza. Salah satu sebab untuk hal ini adalah bahwa secara efektif mikoriza dapat meningkatkan penyerapan unsur hara makro dan beberapa unsur hara mikro. Selain itu akar yang bermikoriza dapat menyerap unsur hara dalam bentuk terikat dan tidak tersedia untuk tanaman (Serrano 1985 dalam Setiadi 1989).

Pada umumnya tanaman yang bermikoriza menunjukkan tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi dari pada tanaman yang tidak bermikoriza pada tanah dengan kadar P tersedia yang rendah (Sharma dan Johri 2002).

Fungsi dari semua system mikoriza tergantung pada kemampuan simbion cendawan dalam mengabsorpsi unsur hara yang tersedia dalam bentuk anorganik dan atau organik di tanah serta translokasi (metabolisme) dalam simbiotik akar melalui miselia vegetatif yang luas (Smith dan Read 1997).

Pengamatan terhadap keuntungan dari penggunaan mikoriza dalam meningkatkan perkembangan dan pertumbuhan tanaman disebabkan beberapa faktor (1) peningkatakan unsur hara dan penyerapan air disebabkan oleh peningkatan absorpsi area permukaan akibat dari adanya miselia yang menyebar dalam tanah di sekitar akar pendek; (2) peningkatkan mobilisasi unsur hara melalui perubahan yang merangsang secara biologi oleh simbiose jamur, dan (3) peningkatan kemampuan pemanjangan akar dengan adanya proses biologi yang menghambat infeksi patogen akar (Fisher dan Binkley 2000).

(31)

dan vitamin yang dapat merangsang tanaman inang (Kormanik, 1997 dalam Fisher dan Binkley 2000).

Manfaat CMA Pada Tanaman Jati.

Menurut Rajan et al. (2000), secara umum, inokulum CMA pada bibit jati dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi, diameter, luas daun dan berat kering total bibit dibandingkan dengan bibit yang tidak diinokulasikan CMA. Selain itu bibit jati yang terinokulasi CMA memiliki status nutrisi yang tinggi, seperti kandungan phosphor (P), seng (Zn) dan tembaga (Cu). Dalam penelitiannya Rajan et al. (2000) menginokulasikan sembilan jenis CMA, yaitu Acaulospora laevis, Glomus margarita, G. caledonium, G. fasciculatum, G. intraradices, G. intraradices, G. leptotichum, G. macrocarpum, G.mosseae dan Sclerocystis calospora.

Hasil penelitian inokulasi CMA Glomus etunicatum pada bibit jati pada umur 3 bulan setelah inokulasi menghasilkan rata-rata parameter pertumbuhan sebagai berikut : pertambahan tinggi 10,08 cm atau meningkat sebesar 35,9% terhadap kontrol (tanpa inokulum), diameter sebesar 4,0 mm atau meningkat sebesar 8,1 % terhadap control, berat kering total 3,2 gr atau meningkat sebesar 23,1% terhadap control dan nilai NPA terbaik sebesar 1,75 atau meningkat 21,5% terhadap control dengan presentase kolonisasi mikoriza sebesar 51,5% (Arifanti 1999).

Inokulum Tanah.

(32)

demikian terdapat beberapa kelemahan, yaitu : (a) inokulum tanah yang diambil dapat mengandung patogen yang dapat menyerang semai, (b) cendawan mikoriza dalam inokulum tidak dapat dikontrol, (c) tidak dapat dijamin bahwa inokulum mengandung jenis mikoriza yang sesuai bagi jenis pohon ataupun tempat pohon akan ditanam, (d) tidak ada jaminan konsistensi pembentukan mikoriza karena tergantung pada kualitas inokulum, waktu dan tempat koleksi serta penanganan inokulum selama pengangkutan dan penyimpanan, tidak praktis bila dilakukan dalam skala besar karena untuk pengumpulan inokulum serta inokulasinya diperlukan banyak tenaga kerja (Marx dan Keney 1982 De la Cruz et al. 1992). Kelemahan-kelemahan tersebut memicu upaya penggunaan inokulum dari cendawan mikoriza secara langsung. Melihat dari keuntungannya inokulum tanah dapat diproduksi sendiri dengan menggunakan sumberdaya yang tersedia di daerah tanpa bahan impor menggunakan prosedur yang relatif sederhana dan murah serta aman bagi lingkungan. Inokulum mikoriza terdapat dalam empat bentuk yaitu tanah terinfeksi, akar tanaman terinfeksi, kultur murni cendawan, dan spora (Mosse 1981). Ciri dan kemelimpahan propagul mikoriza dalam tanah akan berbeda-beda bergantung kepada kemampuannya dalam menanggapi perubahan yang terjadi pada tanah. Pada hutan alami, yang belum disentuh oleh manusia, dan pada kondisi iklim yang sama, jaringan hifa lebih cocok jika digunakan sebagai sumber kolonisasi mikoriza arbuskular (Jasper et al 1997) sedangkan spora cendawan mikoriza arbuskula lebih cocok sebagai sumber propagul dari tanah-tanah terdegradasi dan lokasi-lokasi yang kondisi iklimnya fluktualitif mengingat pada kondisi demikian jaringan hifa mengalami perusahaan secara teratur (Abbott & Robson 1981; Helm & Carling 1990; Abbot & Gazey 1994).

(33)
(34)

KEADAAN UMUM PENGAMBILAN INOKULUM TANAH

Letak Geografis dan Batas wilayah.

Propinsi Sulawesi Tenggara terletak di jazirah Tenggara Pulau Sulawesi. Secara geografis terletak di bagian Selatan garis Khatulistiwa, memanjang dari Utara ke Selatan di antara 3°-6o Lintang Selatan dan membentang dari Barat ke Timur di antara 120°45’-124°60’ Bujur Timur. Propinsi Sulawesi Tenggara di sebelah Utara berbatasan dengan Propinsi Sulawesi Selatan dan Propinsi Sulawesi Tengah, sebelah Selatan berbatasan dengan Propinsi NTT di Laut Flores, sebelah Timur berbatasan dengan Propinsi Maluku di Laut Banda dan sebelah Barat berbatasan dengan Propinsi Sulawesi Selatan di Teluk Bone.

Luas Wilayah.

Propinsi Sulawesi Tenggara mencakup daratan (jazirah) Pulau Sulawesi dan kepulauan yang memiliki wilayah daratan seluas 38.140 km2 atau 3.814.000 ha. Pada tahun 2004 terdiri atas delapan wilayah Kabupaten, yaitu Kabupaten Buton, Muna, Konawe, Kolaka, Konawe Selatan, Wakatobi, Bombana, Koloka Utara dan dua wilayah kota, yaitu Kota kendari serta Kota Bau-bau. Selain jazirah Tenggara Pulau Sulawesi yang terjadi daratan terluas Propinsi Sulawesi Tenggara, di propinsi ini juga terdapat pulau-pulau yang tersebar di masing-masing kabupaten. Kecamatan Sampolawa terdapat di Kabupaten Buton luas wilayah 7,01%, sedangkan pulau-pulau yang tersebar di Kebupaten Muna antara lain Matakidi, Wakuru, Raha dengan luas wilayah 12,81%, dan Ewa di Kabupaten Konawe Selatan dengan luas wilayah 11,84%.

Topografi dan Kondisi Tanah.

(35)

merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata kurang dari 100 meter di atas permukaan laut. Keadaan ini dijumpai mulai dari Timur ke Selatan kota Raha dan melandai ke Barat. Dataran rendah yang cukup luas dan subur adalah cekungan Lambale pada bagian Utara Pulau Buton.

Dari jenis tanah, Propinsi Sulawesi Tenggara memiliki enam jenis tanah, yaitu tanah Podzolik seluas 2.394.698 ha atau 62,99 % dari luas tanah Sulawesi Tenggara, tanah Mediteran seluas 839,078 ha (22,00 %), tanah Latosol seluas 330,182 ha (8,66 %), tanah Organosol seluas 111,923 ha (2,92 %), jenis tanah Alluvial seluas 117,830 ha (3,09 %) dan tanah Grumosol seluas 20,289 ha (0,53 %). Pada umunya wilayah Kabupaten Muna yang ada di Pulau Buton bagian Utara memiliki jenis tanah Mediteran, Rensina dan Litosol (BPS Sulawesi Tenggara Dalam Angka 2004).

Pada bagian wilayah yang ada di Utara Pulau Buton terdiri dari barisan pegunungan yang sedikit melengkung ke arah Utara-Selatan dengan ketinggian antara 300-800 meter di atas permukaan laut.

Beberapa sungai yang cukup besar dan telah melalui penelitian teknis terdapat pada sebahagian Pulau Buton bagian Utara dan Selatan daratan Pulau Muna antara lain :

a. Sungai Katangana dengan debit air 670 liter/detik

b. Sungai Wandosa bagian hulu dengan debit air 680 liter/detik c. Sungai Lanoumba 400 liter/detik

d. Sungai Tabangka Balano bagian hulu debit 1.270 liter/detik.

Kabupaten Muna meliputi wilayah perairan laut yang cukup potensial dan mengandung berbagai jenis kekayaan laut seperti ikan, kerang mutiara, rumput laut, teripang dan hasil laut lainnya.

(36)

mengandung banyak uap air yang menyebabkan terjadinya hujan di wilayah Indonesia. Sedangkan musim kemarau terjadi antara bulan Mei sampai bulan Oktober, pada bulan ini angin bertiup dari benua Australia yang sifatnya kering dan sedikit mengandung uap air.

Selama tahun 2004 terjadi hari hujan selama 94 hari dengan curah hujan sebesar 1.250 mm. Sedangkan tahun 2003 jumlah hari hujan sebanyak 124 hari dengan curah hujan sebesar 2323 mm. Curah hujan tertinggi tahun 2004 terjadi pada bulan Mei dengan hari hujan selama 17 hari dan curah hujan sebesar 298 mm. Sedangkan selama tahun 2004 hari hujan terbanyak terjadi pada bulan Desember sebesar 397 mm. Curah hujan terendah selama tahun 2004 terjadi pada bulan Agustus sampai dengan Nopember dimana pada bulan tersebut terjadi hujan yang relatif kecil.

Status Kehutanan

(37)

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Silvikultur dan Rumah Kaca Laboratorium Ekologi Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dimulai pada bulan April 2005 sampai dengan Juni 2005.

Bahan dan Alat

Bahan. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah contoh tanah untuk bahan inokulum dari lima lokasi (Wakuru, Raha, Matakidi di Kabupaten Muna, Ewa di Kabupaten Konawe Selatan dan Sampolawa di Kabupaten Buton) asal Sulawesi Tenggara, polibag ukuran 20 cm x 22 cm sebanyak 120 buah, aquades, tanah yang digunakan untuk media tanam kontrol adalah Alluvial yang di ambil dari persemaian Tlogoarto yang terletak di Desa Cihideung Ilir Kecamatan Ciampea dan tanah tersebut tidak di steril, larutan PVLG ( 8,33 gr polyvinyl alkohol, 50 ml air dan 50 ml lactat acid serta 5 ml glicerin) perwarna Melzer’s reagent (iodine 1,5 gram, potassium iodide 5 gram dan air 100 ml), glukosa 60% (v/w), KOH 2,5 %(v/w) dan HCl2% (v/v).asam asetit, alkohol 70 %, pewarna (staining: gliserol 400 ml, asam laktat 400 ml, dan trypan blue 0,05%).

Alat.Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah saringan spora (45

µm, 65 µm, 125 µm), mikroskop compound, mikroskop stereo, cawan petri, timbangan analitik, kaliper, pengaris besi, stik berwarna, tabung sentrifuse, gunting, kamera digital, cover glass, objek glass, tempat film, dan alat tulis.

Metode Penelitian Pengambilan contoh tanah

(38)

tanah) dan Ewa (5 sampel tanah), dan tanah untuk perlakuan kontrol (Alluvial) diambil dari kebun percobaan Persemaian Tlogoarto di Desa Cihideung Hilir Ciampea.

Persiapan benih.

Benih jati yang digunakan diperoleh dari Laboratorium Silvikultur Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Seleksi benih dilakukan dengan cara memisahkan benih dari kotoran dan benih yang rusak, cukup kering, tidak diserang hama penyakit (Kuswanto 1996). Sebelum penyemaian, benih jati dijemur kemudian direndam dalam larutan accu dan air dengan perbandingan 1:10. Perendaman dilakukan selama 7 menit kemudian benih ditiriskan dan benih siap disemai.

Persiapan media perkecambahan dan media tanam.

Media perkecambahan benih menggunakan pasir yang telah dikeringkan dan diayak. Media pasir ditempatkan pada bak-bak kecambah dengan ketebalan 10 cm. Selanjutnya benih jati ditanam satu persatu dengan pusar menghadap kebawah. Setelah itu benih ditutup dengan media pasir setebal 1 cm (Gambar 4 a dan b).

Tanah yang digunakan dalam penelitian adalah Alluvial yang diambil dari kebun percobaan Persemaian Tlogoarto yang terletak di Desa Cihideung Ilir Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Sebelum tanah dimasukan kedalam polibag, terlebih dahulu tanah-tanah dibersihkan dari akar-akar dan dan kemudian disaring dengan saringan kawat 4 mm x 4 mm. Tanah tersebut tidak disterilisasi. Selanjutnya media tanam ditempatkan kedalam kantong-kantong plastik (polybag) 22 cm x 22 cm (Gambar 5).

Penyapihan Jati.

(39)

tegakan Jati Muna, sebanyak 50 gram sesuai dengan perlakuan di sekitar akar semai Jati.

Gambar 4. Perkecambahan benih jati (a) bibit jati yang mulai berkecambah (b).

Gambar 5. Persiapan media tanam

Persiapan Inokulum CMA

Inokulum tanah yang berasal dari bawah tegakan Jati (Tectona grandis L.f) di Daerah Wakuru, Raha, Matakidi di Kabupaten Muna, Sampolawa di Kabupaten Buton dan Ewa di Kabupaten Konawe Selatan. Dari tanah hasil eksplorasi tersebut diambil sebanyak 50 gram tanah yang dijadikan sebagai inokulum CMA yang diinokulasikan pada bibit Jati.

(40)

Pemindahan Semai dan Inokulasi

Benih yang telah berkecambah dikecambahkan pada media tanah campur pasir yang steril. Setelah kecambah berumur dua minggu (2 daun pertama keluar) dipindahkan ke polybag sesuai dengan percobaan, sekaligus dengan pelakuan inokulasi mikoriza dengan tiap semai sebanyak 50 gram inokulum tanah

Pemeliharaan

Pemeliharaan tanaman meliputi kegiatan penyiraman yang dilakukan pada pagi hari secara teratur sesuai kebutuhan sampai kapasitas lapang, pencabutan rumput dan pemeliharaan semai dari gangguan hama penyakit juga dilakukan secara manual bila diperlukan. Pertumbuhan bibit Jati selama 8 minggu di Rumah Kaca Laboratorium Ekologi Hutan Fakultas Kehutanan (Gambar 6).

Gambar 6. Pemeliharaan bibit Jati selama 8 Minggu di rumah kaca

Pengamatandan Pengumpulan Data

Perhitungan jumlah daun

(41)

semua daun pada setiap saat pengamatan. Untuk menentukan pertambahan jumlah daun adalah dengan cara mengurangkan jumlah daun pada pengamatan kedua dengan jumlah daun pada pengamatan pertama.

Tinggi bibit jati.

Dalam pengukuran tinggi dilakukan setelah penyapihan, selanjutnya dilakukan setiap dua minggu sekali selama dua bulan pengamatan. Pengukuran tinggi dilakukan dengan menggunakan mistar mulai dari pangkal batang hingga ke titik tumbuh tunas pucuk semai.

Diameter bibit jati

Pengukuran diameter batang dilakukan dengan menggunakan kaliper, diukur pada ketinggian sekitar 1 cm di atas pangkal batang. Pengukuran dilakukan awal dan akhir penelitian selama 2 bulan.

Pengukuran berat kering total (BKT)

Pengukuran berat kering total dilakukan pada akhir penelitian, setiap tanaman dibagi menjadi bagian akar dan pucuk, lalu kedua bagian tersebut dioven dalam bungkus terpisah selama 24 jam pada suhu 70-80oC. Setelah dioven lalu dilakukan penimbangan. Berat kering total diperoleh dengan menambahkan berat akar dan berat kering pucuk (batang) dengan rumus :

Nisbah pucuk akar

Nisbah pucuk akar diperoleh dengan membandingkan berat kering pucuk dan berat kering akar, dengan rumus:

NPA = berat kering pucuk (gr) berat kering akar (gr)

(42)

Persentase akar yang terinfeksi.

Pengamatan persentase akar yang terinfeksi dengan CMA pada akar tanaman dilakukan melalui perwarnaan akar (staining ) dengan cara sebagai berikut (Setiadi et al. 1992):

1. Contoh akar dicuci dengan air biasa untuk melepaskan semua miselium luar. 2. Bagian akar yang muda (serabut) diambil dan dimasukan kedalam tabung

reaksi dan direndam dalam larutan KOH 2,5 %, dibiarkan selama satu malam atau sampai akar berwarna kuning bersih.

3. Setelah akar berwarna kuning bersih larutan KOH 2,5% dibuang dan akar dibilas dengan air.

4. Larutan HCl 2% ditambahkan dan dibiarkan sampai akar berwarna kuning jernih selama 24 jam.

5. HCl dibuang dan digantikan dengan larutan Staining (gliserol, Asam laktat dan aquades dengan perbandingan 2:2:1 (v/v/v) dan ditambah trypan blue

sebanyak 0,05%) dan dibiarkan semalam.

6. Larutan staining dibuang dan digantikan dengan larutan destaining (larutan

staining tanpa trypan blue dengan perbandingan gliserol, Asam laktat, dan aquades sebesar 2:2:1 (v/v/v)) dan dibiarkan semalam.

7. Akar-akar tersebut dipotong-potong sepanjang 1 cm, dan disusun pada gelas objek (1 gelas objek untuk 10 potong akar) dan diamati dengan mikroskop binokuler.

8. Persentase akar yang terinfeksi dihitung berdasarkan rumus.

% Infeksi akar = x 100%

Menghitung Jumlah Spora CMA.

(43)

berurutan dari atas ke bawah. Dari hasil saringan bagian atas disemprot dengan air kran untuk memudahkan bahan saringan lolos. Kemudian saringan paling atas lepas dan saringan kedua kembali disemprot dengan air kran. Setelah saringan kedua dilepas sejumlah tanah sisa yang tertinggal pada saringan terbawah dipindahkan ke dalam tabung sentrifuse sebanyak 20-25 ml.

Tanah sisa dan air hasil saringan terakhir pada proses teknik tuang-saring di dalam sentrifuse ditambah dengan glukosa 60%. Tabung sentrifuse ditutup rapat dan disentrifuse dengan kecepatan 2500 rpm selama 5 menit. Selanjutnya larutan supernatant tersebut disaring dalam saringan 45 µm, dicuci dengan air yang mengalir (air kran) untuk menghilangkan glukosa. Total jumlah spora dihitung dengan menggunakan mikroskop.

Pembuatan preparat spora menggunakan bahan pengawet Melzer dan pengawet PVLG yang diletakkan secara terpinsah pada satu kaca preparat. Spora-spora CMA yang diperoleh setelah dihitung jumlah diletakkan dalam larutan Melzer dan PLVG dan jenis spora CMA yang ada dikedua larutan ini sama. Selanjutnya spora-spora tersebut dipencahkan secara hati-hati dengan cara menekan kaca penutup preparat menggunakan ujung lidi. Perubahan warna spora dalam larutan Melzer adalah salah satu indikator untuk menentukkan tipe spora.

Rancangan Percobaan

(44)

Model umum rancangan percobaan yang digunakan adalah : Yij = µµ + ααi + εεij,

dimana :

i = 1,2,3,4,5,……….40. j = 1,2,3

Yij = nilai pengamatan perlakuan inokulum CMA taraf ke-i dan ulangan ke-j.

µ µ = nilai tengah umum.

αi = pengaruh inokulum CMA taraf ke-i.

εij = Galah atau nilai kesalahan percobaan perlakuan ke-i dan ulangan ke-k Data hasil percobaan dianalisis dengan analisis sidik ragam sesuai dengan rancangan yang digunakan pada taraf nyata 5%. Apabila dalam analisis sidik ragam tersebut ada pengaruh nyata terhadap nilai rata-rata perlakuan maka untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan dilakukan uji jarak berganda Duncan (Mattjik dan Sumertajaya 2000).

(45)

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL

Pertumbuhan bibit Jati.

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa inokulum tanah yang berasal dari lima lokasi berpengaruh sangat nyata terhadap parameter yang diamati yaitu : riap tinggi, riap diameter, riap jumlah daun, BKT (BKP, BKA), nisbah pucuk akar, persen infeksi dan jumlah spora. Hasil analisis statistik disajikan pada (Tabel 1) yang menunjukkan bahwa inokulum tanah berpengaruh nyata pada pertumbuhan tanaman jati.

Tabel 1 Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam Pengaruh Pemberian Inokulum Tanah Terhadap Pertumbuhan Bibit Jati (Tectona grandis L.f).

Parameter Sumber

Keragaman

RT RJD RD BKP BKA BKT NPA % infeksi JS

Perlakuan ** ** * ** ** ** * ** **

Keterangan : ** = Berpengaruh sangat nyata pada (P<0,01) * = Berpengaruh nyata (p<0,05)

RT = Riap Tinggi RD = Riap Diameter RJD = Riap Jumlah Daun JS = Jumlah Spora

BKA = Berat Kering Akar NPA = Nisbah Pucuk Akar BKT = Berat Kering Total BKP = Berat Kering Pucuk

(46)

Tabel 2 Hasil Uji Jarak berganda Duncan terhadap riap tinggi, riap jumlah daun, riap diameter batang, dan berat kering pucuk pada umur 8 minggu setelah tanam.

Parameter Perlakuan Riap Tinggi

(cm)

(47)

Tabel 3 Hasil Uji Jarak berganda Duncan terhadap berat kering akar, berat kering total, dan nisbah pucuk akar, pada umur 8 minggu setelah tanam.

Parameter

(48)

Pertambahan Tinggi Bibit Jati.

Hasil Sidik Ragam menunjukkan bahwa pemberian inokulum tanah berpengaruh sangat nyata terhadap pertambahan tinggi (Tabel 1). Hasil Uji Jarak Berganda Duncan terhadap pengaruh inokulum CMA menunjukkan bahwa jenis inokulum tanah asal Wakuru 2, Wakuru 1, wakuru 3, Matakidi 2, Raha 7, Sampolawa 5 dan Ewa 5 memberikan respon pertambahan yang tinggi dibandingkan dengan kontrol pada inokulum tanah yang berbeda. Meskipun demikian, inokulum masing-masing perlakuan mempunyai peningkatan tertinggi yaitu 147,37%; 143,96%; 142,82%; 134,42%; 93,49% terhadap kontrol. Untuk melihat pengaruh inokulum tanah terhadap pertambahan tinggi ditunjukkan pada Tabel 2 dan secara lebih jelas dalam bentuk histogram pada Gambar 7 dan Gambar lampiran 1 a, 2a, 3a, 4a dan 5a. Pengaruh inokulum tanah terhadap pertambahan tinggi bibit jati menunjukkan bahwa pada minggu ke-4 CMA sudah peningkatan pertambahan tinggi bila dibandingkan dengan kontrol. Untuk jelasnya dapat dilihat pada Gambar 8. Dari Gambar 8 terlihat bahwa laju pertambahan tinggi pada inokulum tanah dari Wakuru, Matakidi, Raha, Ewa dan Sampolawa lebih baik dibandingkan kontrol. Untuk lebih jelas hasil inokuluasi bibit jati dibanding dengan kontrol disajikan pada Gambar lampiran 7.

(49)

0 .0 0

Gambar 7. Perbandingan Pertumbuhan Bibit Jati (Tectona grandis L.f) Umur 8 Minggu Setelah Tanam Berdasarkan Kelompok Asal Inokulum CMA Wakuru (a), Matakidi (b), Raha (c), Sampolawa (d), dan Ewa (e).

b

c

d

(50)

0

Gambar 8 Rata-rata Tinggi Mingguan Bibit Jati (Tectona grandis L.F) yang diinokulasikan CMA dari Awal sampai dengan 8 Minggu Setelah Tanam.

Wakuru

(51)

Tabel 4 Pengaruh inokulum tanah terhadap peningkatan rata-rata parameter pertumbuhan bibit Jati

Parameter Kontrol Inokulum Tanah Peningkatan (%)

(52)

Tabel 4 Sambungan.

Parameter Kontrol Inokulum Tanah Peningkatan (%)

NPA

• Wakuru 0.63 6,25 892,06

• Matakidi 6,26 893,65

• Raha 7,09 1025,40

• Sampolawa 6,30 900,00

• Ewa 3,70 487,30

Persentase Infeksi Akar

• Wakuru 22,00 99,96 340,73

• Matakidi 92,25 319,32

• Raha 88,52 302,36

• Sampolawa 87,17 296,23

• Ewa 90,53 311.50

Jumlah Spora

• Wakuru 0,00 198 tak terhitung

• Matakidi 145 tak terhitung

• Raha 155 tak terhitung

• Sampolawa 109 tak terhitung

• Ewa 85 tak terhitung

Diameter Bibit Jati.

Hasil Analisis Sidik Ragam pertumbuhan riap diameter bibit jati menunjukkan pengaruh yang nyata taraf nyata 0,05% (Tabel 1). Hasil Uji Jarak Berganda Duncan menunjukkan inokulum dari (Wakuru 2) berbeda nyata dengan Wakuru 1, Matakidi 2, Raha 8, Matakidi 4 dan Ewa 2, tetapi tidak berbeda nyata dengan semua perlakuan (Tabel 3). Pertambahan diameter terbaik ditunjukkan oleh inokulum CMA asal Wakuru 2 dan diikuti oleh inokulum Wakuru 1, Matakidi 2. Pemberian inokulum tersebut memberikan peningkatan masing-masing 196%, 192%, 173%, 134%, 53,85% terhadap kontrol (Tabel 4).

(53)

baik dibandingkan kontrol. Respon pertambahan diameter terlihat jelas pada pengamatan terakhir yaitu minggu ke-8 setelah diinokulasi.

Jumlah Daun Bibit Jati.

Berdasarkan Analisis Sidik Ragam, parameter jumlah daun bibit jati berpengaruh sangat nyata (Tabel 1). Hasil Uji Jarak Berganda Duncan (Tabel 2) menunjukkan bahwa, inokulum CMA dari Matakidi, Wakuru, Raha, Sampolawa dan Ewa memberikan hasil terbaik dibandingkan kontrol.

Inokulasi CMA dengan inokulum dari Matakidi, Wakuru, Raha, Sampolawa dan Ewa memberikan peningkatan jumlah daun berturut-turut 95,60%; 77, 60%; 68,80%; 66,80% dan 60,00% dibandingkan kontrol (Tabel 3).

Nilai Berat Kering Total.

Berdasarkan Hasil Sidik Ragam menunjukkan bahwa pemberian inokulum tanah berpengaruh nyata terhadap berat kering total (Tabel 1). Berdasarkan Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa CMA asal (Wakuru 2, Wakuru 1, Matakidi 2, Raha 7, Sampolawa 5 dan Ewa 5), memberikan pengaruh yang terbaik dibandingkan kontrol. Pemberian inokulum tanah dari rizosfir jati mampu memberikan peningkatan berat kering total berturut-turut 140%, 117%, 109%, 112% dan 105% (Tabel 4).

Berat kering total rata-rata dari setiap kelompok perlakuan dapat dilihat pada Gambar 7 dan Gambar lampiran 1f, 2f,3f,4f dan 5f.

Nisbah Pucuk Akar

Nilai nisbah pucuk akar didapatkan dari perbandingan antara berat kering pucuk dengan berat kering akar. Inokulasi CMA pada tanaman jati umur 8 minggu berpengaruh nyata terhadap nilai nisbah pucuk akar (Tabel 1).

(54)

inokulum CMA asal Matakidi, Wakuru, Raha, Sampolawa dan Ewa berturut-turut 1025,40%; 900,00%; 893,65%; 892,06%, dan 487,30% dibandingkan kontrol (Tabel 4) dan secara ringkas pada Gambar 7 dan Gambar lampiran 1g, 2g, 3g, 4g dan 5g.

Nilai Persentase Infeksi Akar pada Bibit jati.

Tanda-tanda anatomis yang menunjukkan bahwa suatu tanaman terinfeksi oleh cendawan mikoriza adalah adanya vesikula, arbuskula, dan hifa.

Hasil Analisis Sidik Ragam menunjukkan bahwa semua inokulum tanah memberikan pengaruh sangat nyata terhadap kontrol (Tabel 1). Nilai infeksi akar diperoleh dari bibit jati yang diinokulasi dengan inokulum asal Raha 1 dan yang terendah inokulum asal Ewa 2. Persentase infeksi akar bibit jati yang diinokulasikan dengan inokulum tanah dari Matakidi, Wakuru, Raha, Sampolawa dan Ewa berturut-turut adalah 340,73%; 319,32%; 302,36%; 296,23% dan 311,50%. Gambar 10 menyajikan infeksi akar jati yang terinfeksi CMA.

(55)

Gambar 10. Struktur infeksi CMA pada bibit Jati (Tectona grandis L. f) pada umur 2 bulan setelah diinokulasi CMA Akar yang tidak terinfeksi (a), Hifa internal (b), Hifa eksternal (c) Vesikula (d) (Pembesaran 100x).

a

b

c

(56)

Tabel 5 Rekapitulasi hasil analisis uji lanjut Duncan Pemberian inokulum tanah terhadap Persen Infeksi Akar dan Jumlah Spora yang berasal dari lima lokasi tegakan Jati Muna (Tectona grandis L.f) di Propinsi Sulawesi Tenggara

Sampolawa 8 93,33 abcdefg 18 cdef

Matakidi 6 92,67 abcdefg 18 cdef

Raha 5 92,67 abcdefg 18 cdef

Raha 9 92,67 abcdefg 18 cdef

Sampolawa 1 92,67 abcdefg 17 cdef

Raha 1 92,67 abcdefg 17 cdef

Sampolawa 2 91,33 abcdefg 16 cdef

Wakuru 9 90,67 bcdefg 16 cdef

(57)

0 .0 0

(58)

Jumlah Spora

Hasil Analisis Sidik Ragam (Tabel 1) menunjukkan bahwa inokulum CMA memberi pengaruh sangat nyata terhadap jumlah spora pada inokulum CMA dari Wakuru, Matakidi, Raha, Sampolawa dan Ewa dari kelima daerah tersebut dan jumlah spora dari Wakuru memiliki nilai yang paling tinggi dan terendah inokulum dari Ewa.

Hasil Uji Jarak Berganda Duncan menunjukkan inokulum bahwa inokulum CMA memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap jumlah spora. Jumlah spora yang ditemukan dari inokulum tanah asal Wakuru sebanyak 198 spora, Raha 155 spora, Matakidi 148 spora, Sampolawa 109 spora sedangkan yang paling sedikit sporanya ditemukan dari Ewa sebanyak 85 spora. Histogram jumlah spora dari masing-masing lokasi disajikan pada Gambar 12a,b,c,d dan e, sedangkan contoh spora CMA yang ditemukan disajikan pada Gambar 13.

Hubungan korelasi antara persen infeksi akar dan jumlah spora dengan sifat-sifat tanah.

Berdasarkan hasil uji korelasi antara persen infeksi akar dan jumlah spora dengan peubah pertumbuhan tanaman dan sifat-sifat tanah diperoleh hasil seperti disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Koefisien korelasi antara Persen Infeksi Akar dan Jumlah Spora dengan peubah pertumbuhan tanaman

Riap tinggi Satuan Jumlah spora Persen kolonisasi

Riap tinggi cm 0,40 0,34

Riap jml daun buah 0,02 0,25

Riap diameter cm 0,13 0,21

Bobot kering akar g 0,56 0,35

Bobot kering total g 0,57 0,40

Nisbah pucuk akar - 0,18 0,06

(59)

0 . 0 0

(60)

Gambar 13 Beberapa contoh spora CMA yang ditemukan dalam media semai Jati Muna umur 8 minggu setelah diinokulasi dengan CMA tanah dari bawah tegakan Jati Muna.(Pembesaran 100x).

(61)

menunjukkan korelasi yang cukup kuat, sedangkan angka di bawah 0,50 menunjukkan korelasi yang lemah.

Berdasarkan pernyataan di atas, maka peubah yang berkorelasi nyata dengan jumlah spora adalah kandungan P tersedia. Hal ini menunjukkan bahwa adanya hubungan yang erat antara jumlah spora dan persentase infeksi akar dengan kandungan P yang tersedia, dimana ditunjukkan dengan nilai R2 = 0,99; 0,68 dan 0,55, disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Model hubungan berat kering tanaman dengan persen infeksi akar

Peubah y Model R2 p

Berat kering akar 1 – e–0.0142634511 x 0,68 < 0,01 Berat kering pucuk 1– e–0.0177362896 x 0,99 < 0,01

Berat kering total 1

0,21 2407152728,91 x

e

+ 0,55 < 0,01

(62)

25% lebih cahaya siang penuh dan status unsur hara dalam sedikit defesiensi dalam unsur N atau P, dimana disebutkannya ketersediaan N dan P yang tinggi akan dapat menurunkan produksi karbohidrat, sehingga dapat menurunkan pembentukan mikoriza.

Berdasarkan beberapa pernyataan di atas membuktikan adanya hubungan linier antara berat kering tanaman dengan persen infeksi akar dengan kandungan P di dalam tanah. Hal ini menunjukkan bahwa adanya hubungan yang erat antara infeksi akar dengan berat kering total dan kandungan P yang tersedia, dimana ditunjukan dengan nilai R2 = 0,55 dan P<0,05. Perbedaan persentase infeksi akar pada bibit yang diinokulasikan CMA dengan inokulum tanah di bawah tegakan Jati Muna yang bermikoriza dibandingkan dengan kontrol dapat dilihat dengan jelas persentase rata-rata infeksi akar pada Gambar 11a,b,c,d dan e.

Analisis Tanah

Hasil analisis beberapa sifat kimia tanah dari lima lokasi pengambilan contoh tanah disajikan pada Tabel 8. Data hasil dapat dilihat pada lampiran 4.

Tabel 8 Sifat kimia tanah pada masing-masing lokasi. Lokasi Peubah

Wakuru Matakidi Raha Sampolawa Ewa

pH (H2O) 4,9 6,2 5,8 7,9 4,8

(63)

(1995) menyebutkan pH tanah yang sangat masam akan menyebabkan sulitnya unsur hara diserap tanaman, adanya unsur-unsur beracun dan menggangu perkembangan mikroorganisme. Sedangkan kandungan C-organik untuk sumber inokulum Matakidi dan Sampolawa memiliki kandungan C-organik dalam kondisi yang sedang (cukup) sedangkan Raha, Wakuru dan Ewa dalam kondisi C-organik yang sangat rendah. Rendahnya kandungan C-organik dan pH pada sumber inokulum Raha dan Ewa juga mengakibatkan secara umum hara dari sumber inokulum yang berasal dari 2 (dua) lokasi ini relatif kurang baik jika dibandingkan dari 3 (tiga) sumber inokulum lainnya yaitu dari Matakidi, Wakuru dan Sampolawa, dimana hal ini ditunjukan pada Tabel 8 hara N, P tersedia dan KTK yang dimiliki dari ketiga lokasi tersebut lebih baik dari pada sumber inokulum dari Raha dan Ewa.

(64)

PEMBAHASAN

Inokulum cendawan mikoriza arbuskula yang diinokulasikan pada tanaman jati ini berasal dari lima lokasi yaitu Matakidi, Raha, Wakuru, Sampolawa dan Ewa. CMA tegakan jati merupakan CMA yang berasal dari bawah Tegakan Jati Muna di Sulawesi Tenggara. Cendawan yang diinokulasikan diasumsikan dapat meningkatkan pertumbuhan bibit jati, hal ini dapat dibuktikan pada hasil Analisis Sidik Ragam yang dilakukan.

(65)

dapat terjadi karena adanya hifa eksternal yang memperluas daerah penyerapan unsur hara dan air (Marschner 1992 dan Geroge et al. 1992, Abbott et al. 1992). Setiap jenis CMA mempunyai pengaruh yang bervariasi terhadap pertumbuhan tanaman (Mosse 1972, Abbott and Robson, 1978 and 1981 dalam Simanungkalit. 1993).

Cendawan mikoriza arbuskula juga menghasilkan zat pengatur tumbuh seperti auksin, sitokinin dan Giberelin (Setiadi 1989), terutama auksin (Cruz 1981). Secara fisiologi, auksin berfungsi dalam pemanjangan sel (Prawiranata et al. 1995 dalam

Widyati et al. 2002). Hormon auksin inilah yang diduga dapat meningkatkan pertambahan tinggi tanaman yang bermikoriza. Hanya dengan menambahkan 50 g inokulum tanah dari bawah rizosfir jati ke media tanam ternyata mampu meningkatkan pertumbuhan bibit jati umur 8 minggu pada lima lokasi yang berbeda ditunjukkan oleh inokulum CMA dari Matakidi, Wakuru, Raha, Sampolawa dan Ewa dengan nilai berturut-turut yaitu 147,37 %; 143,95%; 142,82%; 134,42%, dan 93,49 %. Peningkatan ini terjadi karena adanya penyerapan unsur hara pada tanaman yang dibantu oleh cendawan mikoriza. Salah satu dampak keberadaan CMA pada sistem perakaran tanaman ialah terjadinya peningkatan serapan hara makro (N, P, K, Ca, Mg) dan unsur mikro (Fe, Cu, Mn, Zn) (Paul dan Clark 1989). Inokulasi isolat CMA pada bibit jati dilaporkan dapat meningkatkan serapan unsur hara N sebesar 35,2 kali; unsur K sebesar 60 kali; unsur Ca sebesar 38,6%; unsur Mg sebesar 64,3 kali, Cu sebesar 574 kali dan Zn sebesar 44 kali lipat dibandingkan dengan kontrol (Suraya 2002).

(66)

akar dan pucuk yang berimplikasi pada peningkatan berat kering total suatu tanaman karena dapat meningkatkan penyerapan unsur hara dan penyimpanan air sehingga meningkatkan proses fotosintesis.

Tanaman yang bermikoriza mempunyai rata-rata fotosintesis yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan tanaman tanpa mikoriza (Eissentat et al. 1993 dan Gardeman, 1975 dalam Smith and Read, 1997). Peningkatan BKT tertinggi pada masing-masing perlakuan pada lima lokasi pengambilan inokulum CMA dipengaruhi oleh inokulum CMA asal Wakuru dengan peningkatan sebesar 139,74 % diikuti oleh inokulum CMA asal Matakidi dengan peningkatan sebesar 116,67 %, sedangkan pada perlakuan inokulum CMA asal Raha inokulum CMA asal Sampolawa dan inokulum Ewa BKT dengan peningkatan masing-masing sebesar 111,54 %; 108,97% dan 105,13 %, dibanding kontrol. Dari hasil peningkatan rata-rata BKP dan BKA pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa inokulum CMA pada anakan jati menghasilkan nilai BKP dan BKA yang relatif besar, hal ini diduga terjadi karena CMA menghasilkan konsentrasi auksin yang lebih tinggi dibandingkan dengan sitokinin. Konsentrasi auksin yang tinggi menghambat pertumbuhan akar, tetapi meningkatkan pertumbuhan tajuk tanaman (Prawiranata 1989).

(67)

diikuti oleh inokulum Sampolawa, Matakidi, Wakuru, dan Ewa masing-masing perlakuan sebesar 900,00%, 893,65%, 892,06%, dan 487,30%.

Adanya peningkatan pertumbuhan pada tanaman bermikoriza selalu dikaitkan dengan peran utama mikoriza dalam penyerapan unsur fosfor (Marschner 1992). Fosfor merupakan faktor pembatas terhadap pertumbuhan tanaman (Harley and smith, 1983. Hayman 1983, Marschner 1986 dan Bolan 1991 dalam Brundrett et al. 1996). Penyerapan unsur fosfor oleh tanaman bermikoriza dapat terjadi secara langsung melalui peran dari rambut akar sedangkan secara tidak langsung melalui jalinan hifa eksternal (Wayne et al. 2002).

Persentase peningkatan pertumbuhan bibit jati menunjukkan bahwa persentase infeksi akar rata-rata parameter berkisar antara 340,73 %; 319,32%; 311,50%; 302,36%; dan 296,23%, dengan persen tertinggi diperoleh pada inokulum dari Wakuru dan diikuti oleh inokulum dari Matakidi, Ewa, Raha dan Sampolawa dibandingkan kontrol.

Akar tanaman yang tidak diinokulasi mikoriza juga ditemukan adanya struktur CMA (terinfeksi CMA), hal ini diduga karena adanya cendawan asli yang berada dalam media tanam (Sieverding 1991) atau propagul lain yang terbawah oleh udara dan air (Allen 1991; Brundrett 1991; Claridge and May 1994; McGee and Baczocha 1994 dalam Brundrett et al. 1996).

Setiadi (1990) menjelaskan bahwa tanaman yang ketergantungan fosfatnya tinggi cenderung untuk berasosiasi dengan mikoriza. Salah satunya adalah tanaman jati (Tectona grandis L.f) (Sumarna 2003). Ditambahkan lebih lanjut oleh Setiadi (2003) bahwa tanaman Jati berdasarkan klasifikasi tingkat respon terhadap CMA maka termasuk kedalam kategori responsif tinggi terhadap CMA.

Gambar

Gambar 4. Perkecambahan benih jati  (a) bibit jati yang mulai  berkecambah  (b).
Tabel 2   Hasil Uji Jarak berganda Duncan terhadap riap tinggi, riap jumlah daun, riap diameter batang, dan berat kering pucuk  pada umur 8 minggu setelah tanam
Tabel 3  Hasil Uji Jarak berganda Duncan terhadap berat kering akar, berat kering      total, dan nisbah pucuk akar, pada umur 8 minggu setelah tanam
Gambar 7.  Perbandingan Pertumbuhan Bibit Jati (Tectona grandis L.f) Umur 8 Minggu Setelah Tanam  Berdasarkan Kelompok Asal Inokulum  CMA Wakuru (a), Matakidi (b), Raha (c), Sampolawa (d), dan Ewa (e)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Rahman Tamin, serta menyimpan dan menguasai sertifikat HGB tersebut adalah sebagai upaya dan tanggung jawab terdakwa untuk menjamin dapat terlaksananya jual

pengaruh masing-masing kriteria terhadap sub kriteria, dan tingkat pengaruh sub kriteria terhadap alternatif yang diberikan. 3) Dalam penentuan atribut sub kiteria

Kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian sistem informasi pembelajaran berbasis web pada SMA Bina Warga 1 Palembang yang dibangun dengan menggunakan metode iterasi,

Hasil penelitian menunjukkan bahwa saluran broiler pemasaran di Kota Kendari yang terlibat 4 jenis dengan dua lembaga pemasaran yang terlibat: pedagang pengumpul

Menurut hukum tentang jual beli, maka di antara kewajiban dari pihak penjual adalah menanggung bahwa barang obyek jual beli tersebut bebas dari cacat

Menurut Sund and Trowbridge (1973) dalam metode inkuiri dibagi menjadi tiga, yaitu inkuiri terbimbing (guided inquiry), inkuiry bebas (free inquiry), dan inkuiri bebas

Penetapan kadar asetosal dengan spektrofotometri UV memberikan kemungkinan hasil pengukuran yang kurang tepat karena asetosal mudah terurai menjadi asam salisilat dan asam

Pengamatan dan pencatatan suatu obyek dengan sistematika fenomena yang diselidiki. Observasi dapat dilakukan secara sesaat maupun secara berulang-kali. 10 Metode ini