ANALISIS KEBIJAKAN SWASEMBADA GULA DI INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian
Program Agribisnis
Oleh :
2014
MALIK KURDIANTO
NPM : 1024010024
Kepada
FAKULTAS PERTANIAN
SKRIPSI
ANALISIS KEBIJAKAN SWASEMBADA GULA DI INDONESIA
Disusun Oleh :
pada tanggal 10 Juli 2014 MALIK KURDIANTO
NPM : 1024010024
Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi
Fakultas Pertanian Jurusan Agribisnis
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur
Mengetahui : Pembimbing :
1. Pembimbing Utama :
Dr. Ir. Zainal Abidin, MS
2. Pembimbing Pendamping :
Ir. Sigit Dwi Nugroho, MSi
Tim Penguji :
1. Ketua
Dr. Ir. Zainal Abidin, MS 2. Sekretaris
Ir. Mubarokah, MTP 3. Anggota
Ir. Sigit Dwi Nugroho, MSi 4. Anggota
KETUA PROGRAM STUDI
AGRIBISNIS DEKAN
ANALISIS KEBIJAKAN SWASEMBADA GULA DI INDONESIA
POLICY ANALYSIS OF SELF SUFFICIENCY OF SUGAR IN INDONESIA
ABSTRAK
Gula merupakan komoditi penting bagi masyarakat Indonesia bahkan bagi masyarakat dunia. Manfaat gula sebagai sumber kalori bagi masyarakat selain dari beras, jagung dan umbi-umbian menjadikan gula sebagai salah satu bahan makanan pokok. mengalami peningkatan dengan laju masing-masing 1,2% dan 7,8%. Permintaan gula nasional terus meningkat selama kurun waktu 2005-2013. Secara umum, produksi gula mempunyai kecenderungan pola sama dengan permintaan gula namun jumlah produksi gula masih dibawah permintaan gula.
Penelitian ini membahas tentang swasembada gula di Indonesia, dengan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi swasembada gula di Indonesia, kebijakan ketentuan impor untuk keberhasilan swasembada gula di Indonesia, dan strategi untuk mencapai swasembada gula di Indonesia Lingkup penelitian ini meliputi pengolahan data gula secara nasional (makro) mulai tahun 2002-2012. Penelitian ini menggunakan model persamaan simultan estimasi Ordinary Least Squares (OLS) dengan program komputer Microsoft Excel 2007 dan Statistical Analysis Software/ Econometric Time Series (SAS/ETS) versi 9.1.
Faktor-faktor yang sangat berpengaruh terhadap tercapainya swasembada gula di Indonesia adalah rendemen gula, luas areal tebu, produksi tebu, harga pupuk nasional, curah hujan, pol tebu, produksi gula, impor gula dan ekspor gula, sedangkan yang tidak berpengaruh adalah harga gula pasir Nasional, luas areal tebu, GDP per kapita dan jumlah penduduk. Apabila terjadi kenaikan impor gula di Indonesia sebesar 50 persen, maka akan menurunkan produksi gula di Indonesia sebesar 5.10 persen, meningkatkan harga gula pasir nasional sebesar 20.1 persen, peningkatan konsumsi gula di Indonesia sebesar 0.35 persen. Kenaikan impor gula di Indonesia tersebut juga berdampak pada penurunan produksi tebu di Indonesia sebesar 3.19 persen dan rendemen gula domestik mengalami penurunan sebesar 200.39 persen. Produksi gula di Indonesia di pengaruhi oleh beberapa indikator yang diantaranya adalah rendemen gula domestik, untuk memperbaiki rendeman, maka yang bisa dilakukan adalah perbaikan varietas, optimalisasi waktu tanam, pupuk berimbang, pengendalian organisme pengganggu, serta perbaikan sistem tebang dan pengangkutandan revitalisasi pabrik gula dengan fokus pada peningkatan kapasitas terpasang dan rendemen minimal 10 persen, dimana produksi gula harus bisa mencukupi kebutuhan dalam negeri dan mempunyai persediaan gula dalam jumlah besar, sehingga kesempatan untuk ekspor gula juga besar dan bisa menekan impor gula.
ABSTRACT
Sugar is an essential commodity for the people of Indonesia and even for the world community. The benefits of sugar as a source of calories for people other than rice, corn and tubers make sugar as one of the staple food. have increased at a rate of 1.2%, respectively, and 7.8%. Domestic sugar demand continues to increase during the period 2005-2013. In general, sugar production pattern has the same tendency to demand the production of sugar, but the amount of sugar is still below the demand for sugar.
This study discusses self-sufficiency in Indonesia, by analyzing the factors that influence self-sufficiency in Indonesia, the policy provisions for the success of self-sufficiency in sugar imports in Indonesia, and strategies to achieve self-sufficiency in Indonesia The scope of this study includes data processing sugar national (macro ) beginning in 2002-2012. This study uses a simultaneous equation model estimated Ordinary Least Squares (OLS) with the computer program Microsoft Excel 2007 and Statistical Analysis Software / Econometric Time Series (SAS / ETS) version 9.1.
The factors that greatly affect the achievement of self-sufficiency in Indonesia is the yield of sugar, sugarcane acreage, the production of sugarcane, the price of the national fertilizer, rainfall, pol sugar cane, sugar production, sugar import and export of sugar, whereas no effect is the price of sugar national, sugarcane acreage, GDP per capita and population. If there is an increase sugar imports by 50 percent in Indonesia, it will lower sugar production in Indonesia by 5:10 percent, increase sugar prices nationally by 20.1 percent, increase in sugar consumption in Indonesia of 0.35 percent. The increase in sugar imports in Indonesia also have an impact on the decline in sugarcane production in Indonesia at 3:19 percent and domestic sugar yield decreased by 200.39 percent. Sugar production in Indonesia is influenced by several indicators that include domestic sugar yield, to improve rendeman, then that can be done is improved varieties, optimization of time of planting, balanced fertilizer, pest control, and harvesting and transport system improvements and revitalization of the sugar mills focus on increasing the installed capacity and yield at least 10 percent, where sugar production should be sufficient for the country and having a lot of sugar in bulk, so the opportunity to export sugar too large and could reduce imports of sugar.
telah memberikan berkat dan kasih-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
yang berjudul “ANALISIS KEBIJAKAN SWASEMBADA GULA DI INDONESIA”
Penyusunan proposal penelitian skripsi ini bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat
penyusunan skripsi strata-1 di Jurusan Agribisnis, Fakultas Pertanian UPN “Veteran” Jawa
Timur.
Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan
dorongan berbagai pihak. Untuk itu ijinkan pada kesempatan ini penulis sampaikan rasa
terima kasih dan penghargaan yang setulus-tulusnya kepada yang terhormat :
Dr. Ir. Zainal Abidin, MS. dan Ir. Sigit Dwi Nugroho, MSI selaku pembimbing utama
dan pembimbing pendamping yang sabar memberi arahan kepada penulis dalam penulisan
skripsi ini.
Moh. Syakur dan ibu Toyyibah, orang tua yang selalu memberi bantuan materiil,
spirituil dan selalu penuh kasih sayang.
Terima kasih juga kepada sahabat-sahabatku serta teman-teman Jurusan Agribisnis
2010, serta tak lupa juga kepada semua dosen Fakultas Pertanian khususnya Program
Studi Agribisnis yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
Akhirnya penulis menyadari bahwa karena keterbatasan penulis, tesis ini masih jauh
dari sempurna dan banyak kekurangan di sana sini. Oleh sebab itu segala kritik dan saran
penulis terima dengan senang hati. Penulis berharap, walau sekecil apapun tulisan ini dapat
bisa bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukannya.
Surabaya, Agustus 2014
DAFTAR ISI ... ii
DAFTAR TABEL ... vi
DAFTAR GAMBAR ... vii
DAFTAR LAMPIRAN ... viii
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah... 4
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5
1.3.1 Tujuan ... 5
1.3.2 Manfaat Penelitian ... 5
a. Bagi Mahasiswa ... 5
b. Bagi Universitas ... 5
1.4 Batasan Masalah ... 6
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7
2.1 Penelitian Terdahulu ... 7
2.2 Landasan Teori ... 10
2.2.1 Kriteria dan Kebijakan Swasembada Gula Di Indonesia ... 10
2.2.2 Sejarah Industri Gula di Indonesia ... 15
1. Permasalahan dan Kebijakan Pemerintah Industri Gula di Indonesia ... 17
2. Efisiensi Pabrik Gula ... 19
a. Mill Extraction (ME) ... 19
b. Boiling House Recovery (BHR) ... 20
c. Overall Recovery (OR) ... 20
d. Pol Tebu ... 21
2.2.3 Penawaran dan Permintaan Gula Domestik ... 22
3. Elastisitas Produksi ... 28
4. Variabel yang Mempengaruhi Produksi gula ... 29
a. Luas Areal (Tanah) ... 30
b. Rendemen ... 31
c. Ekspor dan Impor Gula di Indonesia ... 32
2.2.5 GDP Nasional ... 38
2.2.6 Curah Hujan ... 40
a. Jenis Pengukur Curah Hujan ... 41
b. Alat Pengukur Curah Hujan Otomatis ... 41
2.3 Kerangka Pemikiran dan Hipotesis Penelitian ... 41
2.3.1 Kerangka Pemikiran ... 41
III. METODE PENELITIAN ... 44
3.1 Lokasi dan Obyek Penelitian ... 44
3.2 Teknik Pengumpulan Data ... 44
3.3 Analisis Data ... 44
3.3.1 Koefisien Determinasi ... 45
3.3.2 Uji-F ... 45
3.3.3 Uji-t ... 47
3.3.4 Validasi Model ... 48
3.3.5 Simulasi Model ... 49
3.3.6 Model Ekonometrika ... 51
1. Produksi Gula di Indonesia ... 51
2. Produksi Tebu di Indonesia ... 51
3. Rendemen Gula Domestik ... 52
4. Konsumsi Gula di Indonesia ... 52
8. Swasembada Gula di Indonesia ... 55
3.4 Definisi Operasional Variabel ... 55
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 57
4.1 Gambaran Umum Pergulaan di Indonesia ... 57
4.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Swasembada Gula di Indonesia ... 61
4.2.1 Produksi Gula di Indonesia ... 63
4.2.2 Produksi Tebu di Indonesia ... 65
4.2.3 Rendemen Gula Domestik ... 67
4.2.4 Konsumsi Gula di Indonesia ... 69
4.2.5 Impor Gula di Indonesia ... 70
4.2.6 Ekspor Gula di Indonesia ... 72
4.2.7 Harga Gula Pasir Nasional ... 74
4.3 Kebijakan Impor untuk Keberhasilan Swasembada Gula di Indonesia ... 76
4.3.1 Hasil Validasi Model ... 76
4.3.2 Kebijkan Menaikkan Impor Gula Sebesar 50 Persen ... 78
4.3.3 Kebijakan Menurunkan Impor Gula Sebesar 50 Persen ... 79
4.3.4 Dampak Kebijakan Impor Gula yang Diterapkan Oleh Pemerintah Indonesia ... 81
4.4 Strategi Swasembada Gula di Indonesia ... 83
V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 88
5.1 Kesimpulan ... 88
5.2 Saran ... 89
DAFTAR PUSTAKA ... 90
1. Perkembangan Produksi, Konsumsi dan Impor Gula di Indonesia ... 2
2. Kebijakan Pergulaan di Indonesia ... 36
3. Dugaan Parameter Produksi Gula di Indonesia ... 63
4. Dugaan Parameter Produksi Tebu di Indonesia ... 65
5. Dugaan Parameter Rendemen Gula Domestik ... 67
6. Dugaan Parameter Konsumsi Gula di Indonesia ... 69
7. Dugaan Parameter Impor Gula di Indonesia ... 71
8. Dugaan Parameter Ekspor Gula di Indonesia ... 73
9. Dugaan Parameter Harga Gula Pasir Nasional ... 75
10. Validasi Model Faktor Swasembada Gula di Indonesia ... 77
11. Simulasi Kebijakan Menaikkan Impor Gula Sebesar 50 Persen ... 78
1. Data Faktor-Faktor Swasembada Gula di Indonesia ... 93
2. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Produksi Gula di Indonesia ... 95
3. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Produksi Tebu di Indonesia ... 96
4. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Rendemen Gula Domestik ... 97
5. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Konsumsi Gula di Indonesia ... 98
6. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Impor Gula di Indonesia ... 99
7. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Ekspor Gula di Indonesia ... 100
8. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Harga Gula Pasir Nasional ... 101
9. Hasil Validasi Faktor-Faktor Swasembada Gula di Indonesia ... 102
10. Hasil Simulasi Kebijakan Menaikkan Impor 50 Persen ... 104
1.1 LATAR BELAKANG
Gula merupakan komoditi penting bagi masyarakat Indonesia bahkan
bagi masyarakat dunia. Manfaat gula sebagai sumber kalori bagi masyarakat
selain dari beras, jagung dan umbi-umbian menjadikan gula sebagai salah
satu bahan makanan pokok. Kebutuhan akan gula dari setiap negara tidak
hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok, tetapi juga karena gula merupakan
bahan pemanis utama yang digunakan sebagai bahan baku pada industri
makanan dan minuman. Peranan gula semakin penting disebabkan oleh
belum tersedianya bahan pemanis buatan yang mampu menggantikan
keberadaan gula pasir. Kondisi geografis Indonesia yang cukup berpotensi
untuk menghasilkan tanaman tebu menjadikan Indonesia sebagai negara
yang berpotensi sebagai produsen gula terbesar di dunia (Meireni, 2012: 13).
Berkaitan dengan permintaan gula yang cenderung meningkat
sedangkan produksi gula mengalami fluktuasi, maka pemerintah memilih opsi
impor gula untuk memenuhi permintaan yang ada (Safrida, 2012). Data
perbandingan antara produksi, konsumsi, dan impor gula akan diperlihatkan
Tabel 1.1 Perkembangan Produksi, Konsumsi dan Impor Gula di Indonesia Tahun Produksi (ton) Impor (ton) Konsumsi (ton)
2005 Sumber : Sekretariat Dewan Gula Indonesia 2013
Grafik diatas, produksi gula nasional cenderung mengalami peningkatan.
Semenjak tahun 2005 hingga tahun 2008, penurunan terjadi tahun 2010 dan
mengalami peningkatan lagi semenjak tahun 2011 dan konsumsi gula nasional
cenderung meningkat semenjak tahun 2005 hingga tahun 2013. Untuk impor
cenderung meningkat dari tahun 2005 hingga 2007, kemudian dari tahun
2010-2013 kembali mengalami peningkatan yang cukup tinggi.
Pada periode 2005-2013, produksi gula nasional menurun dengan
laju -1,8 per tahun. Permintaan dan impor gula nasional sebaliknya
mengalami peningkatan dengan laju masing-masing 1,2% dan 7,8%.
Permintaan gula nasional terus meningkat selama kurun waktu 2005-2013.
Secara umum, produksi gula mempunyai kecenderungan pola sama dengan
permintaan gula namun jumlah produksi gula masih dibawah permintaan
gula
.
Swasembada gula yang ditargetkan tahun 2014 nampaknya makin sulit
dicapai karena target produksi 2,8 juta ton hanya tercapai 89,9% atau sebanyak
2,5 juta ton. Banyak faktor yang dijadikan alasan turunnya produksi gula
menurun. Program-program yang mendukung pencapaian swasembada tidak
berjalan maksimal, seperti ketersediaan lahan, revitalisasi pabrik gula (PG) dan
pembangunan PG baru. swasembada gula tahun 2014 dapat dicapai jika
program atau kegiatan satu sama lain berjalan dengan baik, seperti ketersediaan
lahan tebu seluas 350.000 hektare (ha), revitalisasi PG dan pembangunan PG
baru 10-15 unit (Nurwono, 2013).
Ketersediaan lahan 350.000 ha fakta aktual lahan itu tidak tersedia.
Begitu juga untuk pembangunan PG baru, baru terealiasi 1 unit. Sedangkan
untuk kegiatan revitalisasi PG hanya berjalan 10%. lahan seluas 350.000 ha
salah satunya untuk PG Rafinasi agar bisa membangun kebun baru. hal ini tidak
berjalan sebagaimana mestinya. Lahan itu sudah tersedia karena Kementerian
Kehutanan sudah melepas lahan tersebut. Meskipun sudah ada lahan, belum
tentu industri gula rafinasi mau membangun kebun tebu sendiri karena di
lapangan masalah lahan masih banyak. lahan yang dibebaskan Kemenhut itu
lokasinya terkadang ada rumah penduduk. Hal ini tentu berpotensi untuk
menimbulkan masalah. Akibatnya, pembangunan kebun baru seluas 350.000 ha
tidak terlaksana. Revitalisasi PG juga tidak berjalan seperti yang diharapkan,
sehingga roadmap swasembada gula 2014 direvisi, terutama target produksi dari 5,7 juta ton menjadi 3,1 juta ton. Dengan target produski 3,1 juta ton, tahun
depan produksi gula bisa mencapai target yang sudah ditentukan. Artinya,
meskipun kendala masih cukup banyak, namun swasembada gula 2014 tetap
tercapai. mencapai target produksi tersebut sebenarnya cukup dengan
meningkatkan rendemen rata-rata 8% dengan areal yang 454.990 ha dan
produktivitas mencapai 80 ton/ha, sehingga produksi bisa mencapai 3,5 juta ton.
masalah rendemen ini sangat tergantung dengan iklim. Jika curah hujan
berlebihan, maka rendemen akan turun. Penurunan rendemen tebu ini karena di
tebu bisa naik, tapi rendemen turun. Selain itu, lahan yang basah menjadi
hambatan dalam pengangkutan. Akibatnya, pabrik kurang pasokan tebu,
sehingga efisiensi PG terganggu (Nurwono, 2013).
Kebijakan pemerintah dalam meregulasi industri pergulaan tidak
mengembalikan posisi Indonesia seperti pada masa-masa keemasannya.
Produksi total dan produktivitas industri gula yang terus menurun yang tidak
seiring dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat akan gula mengakibatkan
ekspor gula berhenti sama sekali pada tahun 2005 (Mubyarto, 2012:12 ).
Berdasarkan surat Menteri Pertanian selaku Ketua Dewan Gula
Indonesia Nomor 59/PD.310/M/2/2012 tanggal 29 Februari 2012 perihal Usulan
HPP Gula Petani Tahun 2012, perlu menetapkan Harga Patokan Petani Gula
Kristal Putih. Penetapan HPP ini sebagai upaya untuk meningkatkan pendapatan
dan kesejahteraan petani dalam upaya meningkatkan produksi tebu dan
produktivitas lahan agar swasembada gula di dalam negeri tercapai, serta dapat
memenuhi kebutuhan gula bagi mayarakat dengan harga yang stabil dan
terjangkau.
1.2 Perumusan Masalah
Indonesia adalah negara yang sangat bagus untuk tanaman tebu dimana
lahannya luas dan pertumbuhan untuk bercocok tanam juga lumayan baik
dengan adanya permintaan gula yang sangat meningkat atau jumlah konsumsi
gula di Indonesia meningkat setiap tahunnya, dimana jumlah konsumsi gula tidak
seimbang dengan jumlah produksi, sebab jumlah produksi tidak bisa memenuhi
kebutuhan gula dalam negeri saat ini, maka impor gula juga meningkat di
Indonesia oleh karena itu peneliti menentukan judul “Analisis Kebijakan
Swasembada Gula Di Indonesia” dengan menentukan suatu perumusan
1. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi swasembada gula di Indonesia?
2. Apa kebijakan impor untuk keberhasilan swasembada gula di Indonesia?
3. Bagaimana strategi swasembada gula di Indonesia?
1.3 TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
1.3.1 Tujuan
a. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi swasembada gula di
Indonesia.
b. Menganalisis kebijakan impor untuk keberhasilan swasembada gula di
Indonesia.
c. Mengetahui strategi swasembada gula di Indonesia.
1.3.2 Manfaat Penelitian
a. Bagi Mahasiswa
Meningkatkan hasil belajar dan solidaritas Mahasiswa untuk
menemukan pengetahuan dan mengembangkan wawasan,
meningkatkan kemampuan menganalisis suatu masalah melalui
pembelajaran dengan model pembelajaran inovatif.
b. Bagi Universitas
Hasil penelitian ini dapat memberi sumbangan yang sangat berharga
pada perkembangan ilmu pendidikan, terutama pada penerapan
model-model pembelajaran untuk meningkatkan hasil proses pembelajaran
1.4 Batasan Masalah Penelitian :
Penelitian ini menggunakan data sekunder yang terdiri dari
produksi gula di Indonesia, konsumsi gula di Indonesia, produksi tebu di
Indonesia, impor gula di Indonesia, ekspor gula dan rendemen gula
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penelitian Terdahulu
Meiditha (2003), menganalisis mengenai efisiensi produksi gula pasir
di PG Kebon Agung. Dalam pendugaan modelnya produksi gula dipengaruhi
oleh tujuh factor produksi dan satu peubah dummy. Faktor produksi tersebut terdiri dari bahan baku tebu, rendemen tebu, jam mesin, tenaga kerja tetap,
tenaga kerja musiman, residu dan jumlah bahan pembantu. Sedangkan
variabel dummy ditambahkan untuk mengetahui pengaruh dari kebijakan tataniaga gula dan tataniaga impor terhadap produksi gula. Setelah dilakukan
analisis regresi dihasilkan lima variabel yang berpengaruh nyata, yaitu jumlah
tebu, rendemen, jam mesin, tenaga kerja tetap, dan tenaga kerja musiman
serta variabel dummy. 19 Analisis efisiensi yang dilakukan dengan membandingkan antara NPMxi dengan BKMxi hanya dapat menilai tiga faktor
produksi, yaitu tebu, tenaga kerja tetap, dan tenaga kerja musiman yang
ketiganya dinyatakan belum efisien secara ekonomis. Sedangkan dua faktor
produksi lainnya, yaitu rendemen dan jam mesin tidak dapat dilihat
efisiensinya karena tidak dapat diukur tingkat harganya.
Hidayat (2003), menganalisis kinerja produksi dan keuangan di PT
PG Rajawali II Unit PG Subang. Analisis yang dilakukan antara lain: Pertama,
analisis rasio untuk mengukur rentabilitas, aktivitas, dan leverage. Kedua,
analisis titik impas dan analisis profitabilitas untuk mengetahui hubungan
biaya produksi terhadap titik impas dan profitabilitas. Ketiga, analisis Du Pont
untuk melakukan identifikasi hubungan antara struktur biaya dengan kinerja
keuangan. Hasil analisis digunakan untuk merumuskan alternatif-alternatif
pada tahun 1999-2001 dan menurun pada tahun 2002 untuk rentabilitas dan
likuiditas.
Nurrofiq (2005), menganalisis mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi produksi gula di PG Djatiroto. Dalam analisisnya terdapat
enam faktor produksi yang diduga berpengaruh terhadap produksi gula di PG
Djatiroto, yaitu jumlah tebu, rendemen, tenaga kerja tetap, tenaga kerja
musiman, bahan pembantu, dan lama giling. Dari keenam peubah tersebut
hanya lima faktor produksi yang berpengaruh nyata terhadap model produksi
gula di PG Djatiroto, yaitu jumlah tebu, rendemen, tenaga kerja tetap, tenaga
kerja musiman, dan lama giling. Pengolahan kuantitatif dilakukan dengan
menggunakan model regresi yang menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi gula di PG Djatiroto serta rasio 20 NPM dan BKM untuk
melihat efisiensi alokatif pabrik tersebut. Untuk perumusan model produksi
gula dipergunakan model fungsi produksi linier berganda.
Wahyuni (2007), di dalam penelitiannya terdapat enam faktor produksi
yang diduga mempengaruhi produksi gula di PG Madukismo, Yogyakarta.
Faktor-faktor produksi tersebut antara lain: tenaga kerja tetap, tenaga kerja
tidak tetap, jumlah tebu, bahan pembantu, lama giling, dan jam mesin.
Namun setelah dianalisis menggunakan model regresi, ternyata hanya ada
lima faktor produksi yang berpengaruh nyata terhadap produksi gula, yaitu
tenaga kerja tetap, tenaga kerja tidak tetap, jumlah tebu, lama giling, dan jam
mesin. Kemudian faktorfaktor tersebut diukur tingkat efisiensinya dengan
melihat perbandingan antara nilai NPM dan BKM. Dalam penelitian ini,
faktor-faktor produksi yang diukur tingkat efisiensinya adalah jumlah tebu, tenaga
kerja tetap, dan tenaga kerja musiman karena ketiga faktor produksi tersebut
dapat diukur tingkat harganya. Dari nilai NPM dan BKM dari setiap faktor
faktor produksi belum optimal. Untuk perumusan model produksi gula
menggunakan model fungsi produksi linier berganda.
Penelitian-penelitian terdahulu, dapat disimpulkan faktor-faktor yang
diduga berpengaruh terhadap produksi gula dapat dilihat dari berbagai
karakteristik, yaitu usahatani, karakteristik dalam pabrik, keadaan pasar,
serta karakteristik kebijakan. Dalam segi usahatani faktor-faktor yang biasa
diduga berpengaruh terhadap produksi gula, yaitu jumlah tebu, dan tingkat
rendemen. Dalam pabrik faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap
produksi gula, yaitu jam mesin, tenaga kerja tetap, tenaga kerja musiman,
residu, jumlah bahan pembantu, dan lama giling. Sedangkan karakteristik di
pasar berupa harga gula di pasaran (domestik dan impor) serta kebijakan
pergulaan yang dikeluarkan pemerintah. Untuk penelitian yang dilakukan di
pabrik gula Pagottan faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap
produksi gula, yaitu jumlah tebu, rendemen, tenaga kerja tetap, tenaga kerja
musiman, bahan pembantu, jam mesin, serta lama giling. Pendugaan ini
berasal dari penelitian-penelitian terdahulu dan pengamatan yang dilakukan
di lapang. Dapat disimpulkan metode yang digunakan untuk melihat
faktor-faktor yang berpengaruh, yaitu metode OLS (Ordinary Least Square). Model fungsi produksi yang biasa digunakan yaitu model fungsi Cobb-Douglas dan
model fungsi Linier.
Penelitian ini digunakan metode OLS (Ordinary Least Square) dengan fungsi produksi Cobb-Douglas. Efisiensi merupakan hal penting yang perlu
diperhatikan dalam peningkatan produksi gula nasional. Efisiensi dapat
bermacam-macam, yaitu efisiensi teknis, efisiensi alokatif, dan efisiensi
ekonomis. Efisiensi teknis dapat diukur dengan melihat perbandingan antara
persentase kapasitas giling dengan kapasitas terpasangnya, atau dapat juga
Efisiensi alokatif dapat diukur dengan membandingkan antara NPM dan
BKM. Sedangkan efisiensi ekonomis dapat dilihat dari persentase harga
pokok dengan persentase harga provenue, nilai titik impas serta nilai kemampuan laba. Dalam penelitian ini akan dicari tingkat efisien alokatifnya.
Dengan efisiensi alokatif ini maka diketahui efisiensi dari faktor-faktor yang
diduga berpengaruh terhadap produksi gula, dimana efisiensi alokatif menilai
pengorbanan yang dibutuhkan untuk menambah suatu input terhadap hasil.
2.2 Landasan Teori
2.2.1 Kriteria dan Kebijakan Swasembada Gula di Indonesia
Kriteria swasembada gula di Indonesia adalah dimana konsumsi yang meningkat dalam negeri maka produksi harus lebih meningkat agar supaya kebutuhan gula dalam negeri terpenuhi dan mengurangi impor gula di Indonesia untuk mewujudkan swasembada gula di Indonesia harus juga meningkatkan efisiensi teknik pabrik agar supaya produksi gula di Indonesia lebih meningkat lagi dan mengekspor gula dan menekan impor gula di Indonesia. Dimana yang telah di tetapkan oleh Food and Agriculture Organization (FAO), suatu badan internasional yang berada di bawah PBB,
apabila produksi dalam negeri mencapai 90%, maka maksimal impor harus
10%.
Implementasi kebijakan gula masih lemah, kebijakan yang diputuskan
oleh berbagai kementerian/lembaga pemerintah kurang bersinergi.
Masing-masing lembaga belum mengacu ketujuan yang sama. Kebijakan PGR belum
diarahkan sehingga mampu mengurangi kandungan impor dan memakai
bahan baku dalam negeri. Pemerintah seharusnya menyusun strategi industri
yang mampu menyeimbangkan dan mensinergikan, diantaranya yang
di Jawa dan di luar Jawa, industri besar/asing dengan industri UKM. Kerjasama
perusahaan BUMN (PG BUMN, Perum BULOG, Bank Mandiri/BRI) belum
berjalan mulus, sehingga belum mampu melindungi petani produsen, dan
konsumen, dan mengoreksi struktur pasar oligopsoni/oligopoli. Peran
Kementerian BUMN belum optimal dalam mensinergikan mereka untuk
kepentingan jangka panjang, terutama untuk “memperlemah” peran pedagang
kuat, membuat perdagangan menjadi lebih adil dan kompetitif. PG BUMN
belum mampu mengelola industri pengolahan yang terkait erat dengan
usahatani. Pengelolaan usahatani tebu di tangan petani, sedangkan
pengelolaan penggilingan tebu ditangani PG, sehingga telah menyulitkan PG
dalam mengatur waktu tebang dan angkut, kualitas tebu, dan lain-lain,
sehingga telah berpengaruh buruk terhadap rendemen dan produktivitas gula.
Salah satu solusinya adalah merancang cara baru, seperti yang disarankan
IPB (2002) dan Sawitet al. (2004), yaitu petani menyerahkan lahan sebagai
saham petani agar dikelola oleh PG. Alternatif lain adalah pemerintah kembali
ke sistem sewa lahan, seperti yang pernah ditempuh sebelum era Tebu Rakyat
Indonesia (TRI). Indonesia belum merancang industri hilir tebu yang kuat
terintegrasi dengan PG, sehingga diversifikasi produksi belum terlaksana,
lambat dalam usaha untuk meningkatkan nilai tambah dan mengurangi risiko
insta bilitas harga. Hampir semua PG putih berkonsentrasi sebagai produsen
Tabel 2.1 Kebijakan Pergulaan di Indonesia
No. Kebijakan Perihal Tujuan
2.2.2 Sejarah Industri Gula Di Indonesia
Cerita mengenai indutri Gula di Indonesia memang tidak bisa terlepas
dari cerita sejarah kolonialisme. Ketika pulau Jawa pada awal abad ke XIX
secara resmi dikuasai oleh Pemerintah Kolonial Belanda, usaha penanaman
tebu terus berlangsung (Wasino,2008). Penanaman tebu ini salah satunya di
lembagakan oleh kebijkan culturstelsel untuk memacu produksi Gula yang dimulai di tahun 1830. Daerah perkebunan tebu selanjutnya tumbuh sejak
tahun 1840an dan berkembang sampai abad berikutnya adalah daerah
pesisir utara dari Cirebon hingga Semarang, di sebelah selatan Gunung
Muria hingga Juwana, daerah kerajaan (Vorstenlanden), Madiun, Kediri, Besuki, di sepanjang Probolinggo hingga Malang melalui Pasuruan, dari
Surabaya Barat Daya sampai ke Jombang (Poesponegoro &
Notosoesanto,1993). Pada masa itu pengusaha swasta dari kalangan bangsa
Cina da Eropa juga mengusahakan tanaman tebu di sekitar Batavia yang
diikuti dengan pendirian pabrik-pabrik gula (Mandere, 1928). Ketika sistem
tanam paksa secara resmi berakhir pada tahun 1870 lebih banyak orang
Jawa terlibat ke penanaman tebu,pelaku usahanya bergeser dari
pemerintaha kolonial ke pengusaha swasta (Wasino,2008). Walaupun cerita
mengenai culturstelseel dianggap sebagai salah satu catatan hitam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, namun sejarah Industri Gula yang juga
merupakan dari rangkaian kebijakan culturstelseel juga menyimpan kisah lain. Berkat keuntungan dari perdagang gula, beberapa kota di pulau Jawa
berkembang pesat seperti kota pelabuhan Semarang dan Surabaya serta
beberapa kota lainnya. Industri gula menyerap tenaga-tenaga terampil dari
Eropa dan juga buruh-buruh pribumi (Poesponegoro & Notosoesanto,1993).
Berdasarkan sejumlah riset tentang sistem Tanam Paksa di Jawa, Van Niel
kehancuran terhadap kehidupan social ekonomi dan tatanan sosial di daerah
pedesaan. Perkebunan tebu membawa pengaruh positif terhadap
pertumbuhan ekonomi dan perkembangan seluruh kelompok social di
pedesaan (Van Niel,2003) walaupun pertumbuhan ekonomi ini tidak di
nikmati secara merata dan tergantung ke dalam berbagai lapisan sosial
masyarakatnya. Industri ini juga membawa semacam aufklarung ekonomi untuk daerah sekitarnya.
Pergantian abad dan ambang pintu zaman malaise, perkebunan gula
tetap makmur tetapi jumlah nya tidak meningkat malah lambat laun
berkurang. Kemakmuran yang dinikmati oleh industri ini pada tiga dasawarsa
permulaan abad ke 20 secara mendadak berakhir pada pernulaan tahun
1930 pada saat malaise atau depresi mencekam seluruh dunia yang juga
menggilas produksi pulau Jawa terutama di pasar Hindia dan Cina. Kesulitan
tersebut mendorong perusahaan gula mengambil langkah penyelamatan,
yang sejalan dengan garis kebijakan pemerintahan yakni, memotong
produksi serta luas lahan penanaman tebu (Poesponegoro &
Notosoesanto,1993). Kini pabrik gula telah dikelola oleh negara, melalui
BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Banyak diantaranya yang telah
mengembangkankan usahanya, melakukan diversifikasi usaha maupun tetap
pada pakem usaha industri gula seperti sebelumnya. Salah satu pabrik gula yang melakukan diversifikasi usaha dan menggali potensi yang bisa
1. Permasalahan dan Kebijakan Pemerintah Industri Gula Di Indonesia
Permasalahan yang dihadapi Industri gula, antara lain:
1) Bahan baku
a) Rendahnya produktifitas lahan dan rendemen gula disebagian
PG-PG milik PTPN/PTRNI dibanding dengan PG-PG-PG-PG swasta.
b) Bahan baku raw sugar untuk industri gula rafinasi masih seluruhnya
diimpor Pengembangan industri raw sugar untuk memasok bahan
baku industri gula rafinasi dalam negeri belum juga terwujud.
2) Produksi
a) Mutu gula putih produksi dalam negeri masih belum memadai.
b) Produksi tebu dan gula masih terkonsentrasi di Pulau Jawa dan
Sumatera;
c) Pada umumnya mesin produksi perusahaan gula putih sudah tua,
sementara, program revitalisasi perusahaan gula belum berjalan
sebagaimana yang diharapkan.
Pemerintah pernah menerapkan berbagai kebijakan yang secara
langsung ataupun tidak langsung berpengaruh terhadap industri gula
Indonesia. Kebijakan pemerintah tersebut mempunyai dimensi yang
cukup luas dari kebijakan input dan produksi, distribusi dan kebijakan
harga. Kebijakan paling banyak berpengaruh adalah kebijakan
pengendalian impor. Berdasarkan pada beberapa rejim kebijakan
pergulaan di Indonesia yang telah ditetapkan tersebut, dalam penelitian
ini rejim yang digunakan adalah rejim tentang pengendalian impor melalui
Peraturan Menteri Keuangan No. 600/PMK.010/2004 tentang tarif bea
masuk gula putih ditetapkan menjadi sebesar Rp 790/kg dan gula mentah
Rp 550/kg yang berlaku mulai tanggal 1 Januari 2005. Pemilihan akan
peraturan atau rejim terbaru yang ditetapkan oleh pemerintah tentang
industri pergulaan Indonesia dan melihat pengaruhnya terhadap produksi
gula nasional di Indonesia. Penggunaan rejim tersebut dalam penelitian
ini juga bertujuan untuk dapat membedakan penelitian ini dari
penelitian-penelitian sebelumnya. Kebijakan merupakan sebuah bentuk regulasi
yang sangat mempengaruhi jumlah produksi gula. Pemerintah
menetapkan kebijakan tarif bea masuk impor gula putih bertujuan untuk
membatasi produk gula impor di pasar domestik.
Kebijakan pemberlakuan tarif impor sangat penting untuk
mengurangi masuknya gula impor ke dalam negeri dan menghidupkan
kembali industri pergulaan domestik. Semakin rendah bea masuk masuk
gula impor yang ditetapkan pemerintah maka akan semakin banyak gula
impor masuk dan semakin rendah harga gula impor di pasar domestik
yang mengakibatkan gula domestik kalah bersaing. Begitu pula jika
semakin tinggi standar kebijakan yang ditetapkan pemerintah dalam
menetapkan tarif bea masuk gula impor, maka gula impor akan semakin
sedikit masuk ke pasar domestik dan harga gula impor tidak terlalu murah
dibandingkan gula domestik. Hal ini mampu meningkatkan daya saing
gula domestik. Ketika daya saing gula domestik tinggi dan minat
masyarakat semakin tinggi membeli gula domestik, petani akan lebih
merasa diuntungkan dan semakin meningkatkan produksi gula yang
dihasilkan. Semakin membaiknya kondisi pergulaan tersebut maka akan
2. Efisiensi Pabrik Gula
1. Mill Extraction (ME)
Mill extraction (ME) suatu pabrik gula dinyatakan efisien apabila nilainya berada pada minimal efisiensi normalanya yaitu 95%, sehingga
semakin besar ME maka kinerja stasiun gilingan pada pabrik gula
tersebut semakin optimal. Pada PG Wringinanom nilai mill extraction (ME) selama tahun 2001 – 2010 masih dibawah 95% dan cenderung menurun. Artinya pada kemampuan ekstraksi pada stasiun penggilingan
masih belum efisien dalam mengambil pol nira mentah dari pol yang
berada dalam batang tebu.
Nilai mill extraction (ME) PG Wringinanom yang masih dibawah angka efisiensi normalnya, salah satunya disebabkan oleh kondisi mesin
pabrik yang sudah berumur tua dan tanpa adanya pembaharuan
teknologi, sehingga potensi henti giling tinggi yang berimplikasi terhadap
kehilangan pol dalam ampas yang tinggi (tabel 5). Secara garis besar,
kehilangan gula (pol) di ampas sangat yang sangat besar dipengaruhi
oleh beberapa hal yaitu, intensitas pencacahan tebu, intensitas imbibisi
dan intensitas pemerahan dari tandem gilingan. Semakin intensif
pencacahan, imbibisi dan pemerahan, dilakukan, semakin tinggi pula
ekstraksi yang dicapai dan semakin rendah kadar pol ampasnya
(kehilangan gulanya). Selama ini untuk mempertahankan kemampuan
kinerja mesin-mesin pabrik hanya dilakukan perawatan terhadap
2. Boiling House Recovery (BHR)
BHR yang telah dicapai PG Wringinanom selama sepuluh tahun
terakhir cenderung menurun, hal ini mengindikasikan bahwa pabrik gula
tersebut mengalami penurunan efisiensi di stasiun pengolahan sehingga
mengakibatkan menurunya kemampuan pabrik gula dalam mengolah nira
mentah menjadi gula kristal putih (GKP). Umur pabrik gula yang sudah
tua masih menjadi faktor utama atas kondisi demikian, akibatnya alat-alat
pada mesin pabrik menurun kemampuanya. Selain itu, juga tidak adanya
perbaharuan teknologi pada mesin- mesin dan perlatan pabrik. Dari
revitalisasi industri gula yang pernah dicanangkan pemerintah untuk
mendukung program swasembada gula Indonesia masih belum
menyentuh PG Wringinanom. Hal ini karena peningkatan produksi gula
pada pabrik gula sebagai upaya mendukung swasembada gula
dikonsentrasikan pada pabrik gula-pabrik gula yang memiliki kapasitas
besar kurang lebih > 3000 TCD. Artinya ke depan Pabrik Gula
Wringinanom masih sulit untuk bersaing dengan pabrik gula-pabrik gula
lainya dengan kondisi demikian.
Nilai boiling house recovery (BHR) yang cenderung semakin menurun selama sepuluh tahun terakhir menunjukkan bahwa telah terjadi
kehilangan pol yang semakin meningkat juga. Kondisi ini dapat dilihat dari
nilai persentase pol yang hilang di blotong, HK tetes dan pol yang hilang
tidak diketahui juga menunjukkan kecenderungan yang meningkat
(Purwono, 2003:56).
3. Overal Recovery (OR)
indikator efisiensi teknis yang merupakan penggabungan antara stasiun
penggilingan dan pengolahan, nilai OR sangat bergantung pada nilai ME
dan BHR. Semakin tinggi nilai OR maka menunjukkan pabrik gula
kinerjanya semakin baik, karena mampu menekan jumlah pol yang
hilang. Selama tahun 2001–2010 OR PG Wringinanom masih dibawah
85% dan cenderung menurun, artinya bahwa kinerja pabrik gula dalam
menghasilkan gula krisal putih dari tebu secara umum tidak efisien
karena kehilangan terhadap pol tinggi yaitu di atas 15% pol yang tidak
bisa diselamatkan, karena hilang terbawa ampas, blotong, tetes, atau
yang tidak diketahui. OR yang PG yang masih dibawah 85% merupakan
kewajaran, karena rata-rata OR nasional masih dibawah 80% sehingga
yang perlu dilakukan adalah meningkatkan OR (Purwono, 2003:56).
4. Pol Tebu
Selama tahun 2001-2010, pol tebu di Indonesia berkisar antara
8,28% – 9,46 %. Angka tersebut masih jauh dibawah angka efisiensi
normalnya sebesar 14%, artinya pol tebu yang dihasilkan di Indonesia
belum memiliki efisiensi teknis tanaman. Kondisi ini mengindikasikan dari
aspek kualitas bahan baku tebu yang digiling juga belum optimal dalam
pencapaian kadar sukrosanya. Hal ini dipengaruhi beberapa hal, seperti
faktor kemasakan tebu yang ditebang, manajemen terhadap tebu tebu
yang sudah ditebang, karena meskipun tingkat kemasakan tebu yang
ditebang tinggi tetapi tebu tersebut terlalu lama menunggu untuk digiling
oleh PG maka mengakibatkan kewayuan. Waktu tunggu tebu digiling
maksimal adalah 36 jam setelah ditebang, jika sudah melebihi waktu
tersebut belum digiling maka kandungan sukrosa dalam tebu menurun
2.2.3 Penawaran Dan Permintaan Gula Domestik
Produksi gula di Indonesia (white sugar dan refined sugar) 3,92 juta
ton (2008) dan diperkirakan menjadi 4,37 juta ton pada tahun 2009. Estimasi
pertumbuhan industri gula sebesar 6% setahun antara lain didasarkan pada
perkiraan peningkatan permintaan gula konsumsi dan gula rafinasi.
Tumbuhnya industri gula rafinasi untuk mengisi kebutuhan industri makanan,
minuman dan farmasi di dalam negeri. Realisasi produksi gula pada tahun
2008 sebesar 2,67 juta ton untuk gula konsumsi dan 1,256 juta ton gula
rafinasi, dengan penyerapan tenaga kerja sebesar 900 ribu orang. Raw sugar
yang diimpor dimanfaatkan oleh industri gula rafinasi dan pabrik GA/MSG, L
lysine HCL, Ionine Mono Phosphate (IMP) dan Gianine Mono Phosphate
(GMP).
Produksi Indonesia naik secara lambat sejak 2000, namun kembali
menurun sejak 2007-2008. Adapun target produksi gula Indonesia
ditetapkan sebesar 2,76 juta ton (BUMN, 2013). Selanjutnya juga
disampaikan bahwa pada 2013 suplai gula kristal putih diperkirakan sebesar
3,81 juta ton yang didapatkan dari stok awal Januari sebanyak 914.060 ton
dan produksi gula kristal putih dari raw sugar untuk idle capacity sebanyak
140.726 ton. Pengertian raw sugar adalah bentuk gula yang masih berwarna
kecoklatan dan idle capacity adalah waktu yang digunakan pada masa
produksi tetapi saat sedang tidak berproduksi. Sedangkan konsumsi gula
kristal putih diperkirakan sebanyak 2,43 juta ton dan pada akhir Desember
2013 diperkirakan masih ada stok gula kristal putih sebanyak 1,38 juta ton
(BUMN, 2013). Berkaitan dengan produksi gula, lanjutnya, dari data DGI
ditargetkan awal 2013 rendemen gula mencapai 8,27 % sementara
rendemen gula tertinggi akan dihasilkan oleh PT Sugar Grup sebesar 9,90 %,
gula milik PT Perkebunan Nusantara berkisar antara 6,36% hingga 8,31%
(BUMN, 2013). Selain itu, diungkapkannya luas areal tanaman perkebunan
tebu mencapai 451.558,3 hektare terdiri dari 284.597,3 hektare milik BUMN
dan 166.961,0 hektare milik swasta. Pambudy, Mardianto dan Syafa’at
(2005) menguraikan kemunduran produksi gula domestik yang disebabkan
oleh menurunnya produktivitas dan efisiensi industri gula secara
keseluruhan.
Konsumsi Indonesia yang tumbuh cepat dan pertumbuhan
pendapatan (Income) yang cukup besar mendorong pertumbuhan konsumsi
gula yang cepat pula. FAO (1997) mencatat pertumbuhan populasi sekitar 2
persen per tahun sejak 1970 meski pertumbuhan itu menurun sedikit setelah
tahun itu, namun pertumbuhan Income naik sangat cepat dengan ilustrasi
sejak 1970, total GDP riil tumbuh lebih dari 7 % setiap tahun sehingga tidak
mengherankan apabila konsumsi gula naik cukup tinggi oleh karena naiknya
consumer product berbahan gula seperti makanan dan minuman manis. Dalam catatan FAO(1997), 90 persen gula digunakan langsung oleh rumah
tangga dan 10 % sisanya digunakan oleh industri dan sementara itu impor
gula yang berupa gula rafinasi sebagian besar digunakan untuk industri.
Antara 1976 dan 1996, konsumsi gula total naik dari 1,8 juta ton menjadi 2,75
juta akibat dari banyaknya minuman jus konsentrat yang berbahan gula
cukup tinggi (FAO, 1997). Dalam kawasan Asia Tenggara, Indonesia
merupakan negara konsumen gula tertinggi (GBG, 2013).
Jumlah barang atau komoditas yang mampu dibeli oleh seorang
konsumen karena peningkatan pendapatan riil akan tergantung dari efek
substitusi dan efek pendapatannya. Kemampuan membeli meningkat atau
menurun tersebut akan tergantung dari sifat barang atau komoditas, apakah
inferior atau Giffen. Perubahan harga barang atau komoditas akan
mempengaruhi perubahan barang atau komoditas yang diminta pada
pergerakan sepanjang kurva. Perubahan faktor-faktor lain (preferensi
konsumen, pendapatan harga barang atau komoditas lain) akan
mempengaruhi perubahan barang atau komoditas yang diminta melalui
pergerakan atau pergeseran kurva permintaan. Elastisitas harga dapat
didefinisikan sebagai persentase perubahan kuantitas yang diminta yang
disebabkan satu persen perubahan harga. Permintaan adalah elastis bila ? h
<-1, inelastis bila -1.
Kurva penawaran individual sebenarnya dapat diturunkan dari kurva
biaya marjinal seorang pengusaha. Kurva penawaran agregat atau pasar
adalah merupakan penjumlahan secara horizontal kurva penawaran
individual di pasar. Kurva penawaran dapat didefinisikan sebagai kurva
tempat kedudukan hubungan antara jumlah barang atau komoditas yang
ditawarkan pada berbagai tingkat harga. Kurva penawaran mempunyai slope
positif. Elastisitas penawaran definisinya adalah persentase perubahan
barang yang ditawarkan di pasar sebagai akibat persentase perubahan harga
barang atau komoditas. Terdapat dua jenis elastisitas penawaran, yaitu: (1)
elastistas harga, sebagai akibat perubahan harga barang atau komoditas itu
sendiri, dan (2) elastisitas harga silang, sebagai akibat perubahan harga
barang atau komoditas terkait. Perubahan jumlah barang atau komoditas
yang ditawarkan di pasar dapat dilihat dari: (1) pergerakan sepanjang kurva
penawaran, pecerminan perubahan yang disebabkan karena perubahan
penawaran yang mencerminkan perubahan karena perubahan di luar harga
barang atau komoditas yang ditawarkan.
2.2.4 Teori Produksi
Produksi adalah menciptakan, menghasilkan, dan membuat. Kegiatan
produksi tidak akan dapat dilakukan kalau tidak ada bahan yang
memungkinkan dilakukannya proses produksi itu sendiri. Untuk bisa melakukan
produksi, orang memerlukan tenaga manusia, sumber-sumber alam, modal
dalam segala bentuknya, serta kecakapan. Semua unsur itu disebut
faktor-faktor produksi (factors of production). Jadi, semua unsur yang menopang usaha penciptaan nilai atau usaha memperbesar nilai barang disebut sebagai
faktor-faktor produksi. Pengertian produksi lainnya yaitu hasil akhir dari proses
atau aktivitas ekonomi dengan memanfaatkan beberapa masukan atau input.
Dengan pengertian ini dapat dipahami bahwa kegiatan produksi diartikan
sebagai aktivitas dalam menghasilkan output dengan menggunakan teknik
produksi tertentu untuk mengolah atau memproses input sedemikian rupa
(Sukirno, 2002:193). Elemen input dan output merupakan elemen yang paling
banyak mendapatkan perhatian dalam pembahasan teori produksi. Dalam teori
produksi, elemen input masih dapat diuraikan berdasarkan jenis ataupun
karakteristik input (Gaspersz, 1996:170-171). Secara umum input dalam sistem
produksi terdiri atas :
a. Tenaga kerja b. Modal atau capital
c. Bahan-bahan material atau bahan baku
d. Sumber energy
e. Tanah
g. Aspek manajerial atau kemampuan kewirausahawan
Teori produksi modern menambahkan unsur teknologi sebagai salah satu
bentuk dari elemen input (Pindyck dan Robert, 2007:199). Keseluruhan
unsurunsur dalam elemen input tadi selanjutnya dengan menggunakan
teknik-teknik atau cara-cara tertentu, diolah atau diproses sedemikian rupa untuk
menghasilkan sejumlah output tertentu.
Teori produksi akan membahas bagaimana penggunaan input untuk
menghasilkan sejumlah output tertentu. Hubungan antara input dan output
seperti yang diterangkan pada teori produksi akan dibahas lebih lanjut dengan
menggunakan fungsi produksi. Dalam hal ini, akan diketahui bagaimana
penambahan input sejumlah tertentu secara proporsional akan dapat dihasilkan
sejumlah output tertentu. Teori produksi dapat diterapkan pengertiannya untuk
menerangkan sistem produksi yang terdapat pada sektor pertanian. Dalam
system produksi yang berbasis pada pertanian berlaku pengertian input atau
output dan hubungan di antara keduanya sesuai dengan pengertian dan konsep
teori produksi.
1. Fungsi Produksi
Fungsi produksi adalah suatu persamaan yang menunjukkan jumlah
maksimum output yang dihasilkan dengan kombinasi input tertentu
(Ferguson dan Gould, 1975:345).
Fungsi produksi menunjukkan sifat hubungan di antara faktor-faktor
produksi dan tingkat produksi yang dihasilkan. Faktor-faktor produksi
dikenal pula dengan istilah input dan jumlah produksi selalu juga disebut sebagai output. Fungsi produksi selalu dinyatakan dalam rumus seperti berikut (Sukirno, 1997:194):
K adalah jumlah stok modal, L adalah jumlah tenaga kerja dan ini
meliputi berbagai jenis tenaga kerja dan keahlian kewirausahawan, R
adalah kekayaan alam, dan T adalah tingkat teknologi yang digunakan.
Sedangkan Q adalah jumlah produksi yang dihasilkan oleh berbagai jenis
faktor-faktor tersebut, yaitu secara bersama digunakan untuk memproduksi
barang yang sedang dianalisis sifat produksinya. Persamaan tersebut
merupakan suatu pernyataan matematik yang pada dasarnya berarti
bahwa tingkat produksi suatu barang tergantung kepada jumlah modal,
jumlah tenaga kerja, jumlah kekayaan alam, dan tingkat teknologi yang
digunakan.
Di dalam ekonomi, pengertian fungsi produksi lainnya yaitu suatu
fungsi yang menunjukkan hubungan antara hasil produksi fisik (output) dengan faktor – faktor produksi (input). Dalam bentuk matematika sederhana fungsi produksi ini dituliskan sebagai berikut (Mubyarto, 1989 :
239):
Y = f (x1, x2,…..xn)
Di mana :
Y = hasil produksi fisik
x1, x2,...xn = faktor – faktor produksi
2. Fungsi Produksi Cobb-Douglas
Fungsi produksi Cobb Douglas merupakan contoh produksi yang
homogen yang mempunyai substitusi yang konstan. Fungsi produksi Cobb
Douglas dapat dituliskan sebagai berikut (Nicholson, 1995:332) :
Q = AL a K b
Di mana :
Q =output
K=modal
L=tenaga kerja
a dan b = menunjukkan skala ke hasil
atau dengan menarik log dari kedua ruas persamaan fungsi produksi, maka :
logQ = logA + αlogK+ βlogL + ε ...(2.4)
Fungsi produksi Cobb Douglas mempunyai ciri-ciri : kombinasi
inputnya efisiensi secara teknis, ada input tetap, dan tunduk pada The Law of DiminishingReturn (Arsyad, 1991:116).
1. Return To Scale
Berdasarkan persamaan fungsi produksi Cobb-Douglas, terdapat tiga
situasi yang mungkin dalam tingkat pengembalian terhadap skala (Nicholson,
1995:332) :
Jika kenaikan yang proporsional dalam semua input sama dengan kenaikan yang proporsional dalam output (εp = 1 atau α + β = 1 ), maka tingkat pengembalian terhadap skala konstan (constant returns to scale).
Jika kenaikan yang proporsional dalam output kemungkinan lebih besar daripada kenaikan dalam input (εp > 1 atau α + β > 1 ), maka tingkat pengembalian terhadap skala meningkat (increasing returns to scale).
Jika kenaikan output lebih kecil dari proporsi kenaikan input (εp < 1 atau α + β < 1), maka tingkat pengembalian terhadap skala menurun
(decreasingreturns to scale). 3. Elastisitas Produksi
Elastisitas produksi dalam kaitannya dengan ilmu ekonomi untuk
mengukur seberapa sensitive perubahan produksi suatu barang terhadap perubahan jumlah faktor produksi. Dengan kata yang lebih mudah dipahami
elastisitas produksi adalah seberapa besar persentase perubahan yang
mengubah jumlah faktor produksi sekian persen. Ada dua elastisitas dalam
ekonomi produksi salah satunya adalah Elastisitas faktor (factor elasticity), berkenaan dengan perubahan yang hanya satu faktor yang berubah dan
faktor yang lain dianggap konstan. Secara matematis elastisitas produksi
dapat ditulis sebagai berikut (Beattie, 1994:32):
Persentase perubahan output Ep =--- Persentase perubahan input
Ep merupakan ukuran persentase perubahan output sebagai akibat
atas perubahan output dalam satu faktor tertentu yang faktor-faktor lainnya
dianggap tetap. Jika Ep lebih besar dari satu, suatu perubahan tingkat input
akan menghasilkan perubahan atau kenaikan output yang lebih besar, untuk
Ep lebih kecil dari satu kenaikan outputnya lebih kecil dari inputnya dan untuk
Ep sama dengan satu proporsi kenaikannya konstan.
4. Variabel-Variabel yang Mempengaruhi Produksi Gula
Tebu (Saccharum officinarum) termasuk keluarga rumput-rumputan. Mulai dari pangkal sampai ujung batangnya mengandung air gula dengan
kadar mencapai 20%. Air gula inilah yang kelak dibuat kristal-kristal gula atau
gula pasir. Di samping itu, tebu juga dapat menjadi bahan baku pembuatan
gula merah (Setyamidjaja dan Husaini, 1992:54). Gula sebagai hasil proses
asimilasi disimpan oleh tanaman di dalam cairan sel tebu, cairan ini di
lingkungan pabrik gula disebut nira. Selanjutnya mudah dimengerti bahwa di
dalam nira tanaman ini pasti gula tercampur dengan bahanbahan lain yang
diperlukan dalam pertumbuhannya (Soejardi, 2003:63). Beberapa faktor yang
a. Luas Areal (Tanah)
Lahan adalah tanah yang digunakan untuk usaha pertanian.
Penggunaan lahan sangat tergantung pada keadaan dan lingkungan lahan
berada (Daniel, 2004:66). Struktur tanah yang baik untuk pertanaman tebu
adalah tanah yang gembur sehingga aerasi udara dan perakaran
berkembang sempurna, oleh karena itu upaya pemecahan bongkahan tanah
atau agregat tanah menjadi partikelpartikel kecil akan memudahkan akar
menerobos. Jenis tanah atau lahan yang dapat ditanami tebu terdiri dari dua
jenis, yaitu lahan sawah dan lahan kering (lahan tegalan). Berdasarkan dua
jenis lahan tersebut, sistem penanaman tebu juga terdiri atas dua tipe cara
penanaman. Lahan sebagai sarana produksi merupakan bagian dari faktor
produksi. Luas penguasaan lahan pertanian merupakan sesuatu yang sangat
penting dalam proses produksi ataupun usaha tani dan usaha pertanian.
Dalam usaha tani misalnya pemilikan atau penguasaan lahan sempit sudah
pasti kurang efisien dibanding lahan yang lebih luas. Semakin sempit lahan
usaha, semakin tidak efisien usaha tani yang dilakukan (Daniel, 2004:56).
Luas areal atau lahan tebu mampu mempengaruhi jumlah produksi
gula. Semakin luas lahan atau areal yang ditanami tebu maka semakin
banyak jumlah gula yang diproduksi. Penggunaan dan pemanfaatan lahan
tebu yang efektif dan tepat baik dari sistem pengairan dan jenis varietas
tanaman tebu yang ditanam akan mampu menghasilkan jumlah produksi tebu
yang besar dan berkualitas tinggi. Jumlah produksi tebu yang dihasilkan
dalam jumlah yang besar dan memiliki kualitas tebu yang baik akan mampu
menghasilkan jumlah produksi gula yang tinggi dan berkualitas pula. Semakin
sedikit lahan yang dapat ditanami tebu dan semakin rendahnya system
pengelolahan lahan untuk ditanami tebu, dapat menyebabkan tebu yang
dihasilkan relative rendah sehingga jumlah produksi gula yang dihasilkan pun
sedikit. Jenis dan tipe lahan yang akan ditanami tebu harus sesuai dengan
jenis varietas tanaman tebu agar menghasilkan gula dalam jumlah yang
besar dan berkualitas tinggi.
b. Rendemen
Rendemen tebu merupakan kandungan yang terdapat pada tebu.
Dalam prosesnya ternyata rendemen yang dihasilkan oleh tanaman
dipengaruhi oleh keadaan tanaman dan proses penggilingan di pabrik. Untuk
mendapatkan rendemen yang tinggi, tanaman harus bermutu baik dan
ditebang pada saat yang tepat. Namun sebaik apapun mutu tebu, jika pabrik
sebagai sarana pengolahan tidak baik, hablur yang didapat akan berbeda
dengan kandungan sukrosa yang ada di batang. Oleh sebab itu sering terjadi
permasalahan dengan cara penentuan rendemen di pabrik. Berbagai kasus
yang mencuat dan bahkan menyebabkan konflik antara petani dan pabrik
gula adalah karena ketidakjelasan penentuan rendemen (Purwono, 2003:56).
Pengertian rendemen tebu lainnya juga dapat diartikan berupa kadar
kandungan gula di dalam batang tebu yang dinyatakan dengan persen. Bila
dikatakan rendemen tebu 10 %, artinya ialah bahwa dari 100 kg tebu yang
digilingkan di Pabrik Gula akan diperoleh gula sebanyak 10 kg. Hubungan
rendemen terhadap jumlah produksi gula sangat signifikan mempengaruhi.
Hal ini disebabkan oleh rendemen merupakan kandungan gula dalam batang
tebu yang nantinya akan menentukan jumlah produksi gula yang dihasilkan.
Semkain tinggi tingkat rendemen dalam tebu maka akan semakin tinggi pula
jumlah gula yang dihasilkan dari batang tebu. Kualitas dari rendemen yang
dihasilkan pun sangat menentukan kualitas gula yang akan dihasilkan.
berkualitas pula gula yang dihasilkan. Rendemen sangat dipengerahui oleh
proses penggilingan tebu, penebangan batang tebu dan tentunya faktor
varietas tebu yang ditanam. Jika proses penggilingan, penebangan dan
penanaman varietas tebu yang sesuai dan berkualitas, maka rendemen yang
dihasilkan pun akan semakin tinggi jumlahnya sehingga gula yang dihasilkan
pun akan lebih banyak dan berkualitas.
c. Ekspor Dan Impor Gula Di Indonesia
Indonesia pernah tercatat sebagai eksportir sekaligus produsen gula
kedua terbesar dunia pada 1930an ( GBG, 2013), meski setelah masa itu,
produksi gula Indonesia terus menurun dan mulai impor gula sejak 1967 (
Dachliani dan Meireni, 2006). Menurut Spectrum (2013), eksportir gula
terbesar dunia dipegang oleh EU sebesar 10.140 metrik ton, menyusul Brazil
sebesar 6573 metrik ton. Dari informasi ini, perbandingan ekspor terbesar per
negara tidak dapat diketahui karena EU merupakan gabungan dari beberapa
negara dan bentuk gula yang dihasilkan adalah termasuk pula gula bit, maka
dalam hal ini, Brazil merupakan eksportir gula tebu terbesar dunia.
Indonesia sudah mulai menjadi net – importer gula sejak 1967 yang
terus berlanjut (Wahyuni, Supriyati,Sinuraya, 2009). Sejak pertengahan
tahun 80an, impor gula berkisar antara 50.000 – 350.000 ton, namun pada
1995 impor gula mencapai 570.000 ton ( FAO, 1997). Menurut USDA (2013),
Indonesia diramal akan meningkatkan impor bahan gula (raw sugar) hingga 3,4 juta metric ton, dan sebelum masa tanam 2011/2012 mencapai 2,8 juta
rafinasi, pabrik gula dan kebutuhan bagi konsumen di wilayah timur
Indonesia.
Zuhri (2011) menghitung realisasi impor Gula Kristal Putih (GKP)
hanya 143.479 ton, sementara Kementerian Perdagangan memberikan izin
impor GKP pada 2011 sebesar 450.000 ton yakni kepada PTPN IX 70.000
ton, PTPN X 90.000 ton, PTPN XI 90.000 ton, PT Rajawali Nusantara
Indonesia 50.000 ton, PT Perusahaan Perdagangan Indonesia 90.000 ton
serta BULOG 60.000 ton. Menurutnya, untuk memenuhi kebutuhan konsumsi
langsung gula Januari - Mei 2012, diperlukan 1,1 juta ton gula, sedangkan
stok awal tahun berikutnya hanya 744.306 ton, sehingga masih ada
kekurangan 260.618 ton yang harus diimpor.
Hadi dan Nuryanti (2005) mengevaluasi dampak kebijakan proteksi
terhadap ekonomi gula Indonesia mengingat sejak diberlakukannya
perjanjian pertanian WTO tanggal 1 Januari 1995, perekonomian gula
Indonesia makin terpuruk karena membanjirnya impor, terutama sejak krisis
ekonomi 1997. Menurutnya, harga dunia yang terlalu rendah telah
mengimbas ke pasar dalam negeri sehingga industry gula nasional semakin
tidak kompetetif. Dijelaskannya, Pemerintah kemudian menempuh kebijakan
proteksi yang terdiri dari kebijakan tariff dan nontariff dengan perincian : pada
2003, tingkat tariff impor adalah Rp.550 / kg untuk gula kasar (raw sugar) dan Rp.700 / kg untuk gula putih (white sugar), sedangkan kebijakan nontariff adalah pengaturan, pengawasan dan pembatasan impor. ditemukannya
dampak kebijakan tariff dan nontariff terhadap perekonomian gula nasional di
tingkat makro agregat dan tingkat mikro usahatani dan disimpulkannya
bahwa kebijakan proteksi telah berhasil secara signifikan menurunkan impor
pendapatan petani. Menurutnya, penghapusan salah satu kebijakan tersebut
akan menyebabkan industry gula nasional terpuruk kembali dan
menyarankan agar Pemerintah tetap mempertahankan kebijakan proteksi
yang ada dan terus berjuang bersama negara-negara lain untuk menekan
negara-negara maju agar mau menurunkan subsidi ekspor dan bantuan
domestik sehingga harga gula dunia meningkat serta terus mengupayakan
perbaikan efisiensi usahatani tebu dan pabrik gula untuk meningkatkan daya
saing. produksi gula Indonesia menunjukkan kecenderungan impor gula
yang semakin meningkat sejak 2007. GBG (2013) menyebutkan bahwa
Indonesia tercatat sebagai importir gula terbesar ketiga dunia, terutama gula
kasar (raw sugar).
Kegiatan ekspor adalah sistem perdagangan dengan cara
mengeluarkan barang-barang dari dalam negeri keluar negeri dengan
memenuhi ketentuan yang berlaku. Ekspor merupakan total barang dan jasa
yang dijual oleh sebuah negara ke negara lain, termasuk diantara
barang-barang, asuransi, dan jasa-jasa pada suatu tahun tertentu (Priadi, 2000).
Fungsi penting komponen ekspor dari perdagangan luar negeri adalah
negara memperoleh keuntungan dan pendapatan nasional naik, yang pada
gilirannya menaikkan jumlah output dan laju pertumbuhan ekonomi. Dengan tingkat output yang lebih tinggi lingkaran setan kemiskinan dapat dipatahkan dan pembangunan ekonomi dapat ditingkatkan (Jhingan, 2000). Ekspor
adalah berbagai macam barang dan jasa yang diproduksi di dalam negeri lalu
dijual di luar negeri (Mankiw, 2006). Ditinjau dari sudut pengeluaran, ekspor
merupakan salah satu faktor terpenting dari Gross Nasional Product (GNP), sehingga dengan berubahnya nilai ekspor maka pendapatan masyarakat
ekspor suatunegara akan menyebabkan perekonomian tersebut akan sangat
sensitif terhadap keguncangan-keguncangan atau fluktuasi yang terjadi di
pasaran internasional maupun di perekonomian dunia (Irham dan Yogi,
2003). Suatu negara dapat mengekspor barang produksinya ke negara lain
apabila barang tersebut diperlukan negara lain dan mereka tidak dapat
memproduksi barang tersebut atau produksinya tidak dapat memenuhi
keperluan dalam negeri. Faktor yang lebih penting lagi adalah kemampuan
dari negara tersebut untuk mengeluarkan barang-barang yang dapat
bersaing dalam pasaran luar negeri. Maksudnya, mutu dan harga barang
yang diekspor tersebut haruslah paling sedikit sama baiknya dengan yang
diperjualbelikan dalam pasaran luar negeri. Cita rasa masyarakat di luar
negeri terhadap barang yang dapat diekspor ke luar negara sangat penting
peranannya dalam menentukan ekspor sesuatu negara. Secara umum boleh
dikatakan bahwa semakin banyak jenis barang yang mempunyai
keistimewaan yang sedemikian yang dihasilkan oleh suatu negara, semakin
banyak ekspor yang dapat dilakukan (Sukirno, 2008). Menurut Mankiw
(2006), berbagai faktor yang dapat mempengaruhi ekspor,impor, dan ekspor
neto suatu negara, meliputi:
1. Selera konsumen terhadap barang-barang produksi dalam negeri dan luar negeri.
2. Harga barang-barang di dalam dan di luar negeri.
3. Kurs yang menentukan jumlah mata uang domestik yang dibutuhkan untukmembeli mata uang asing.
4. Pendapatan konsumen di dalam negeri dan luar negri 5. Ongkos angkutan barang antarnegara.
Berdasarkan UU No 17 tahun 2006 tentang kepabeanan Impor adalah Kegiatan memasukan barang ke dalam Daerah Pabean.
Sesuai dengan UU No 17 tahun 2006 tentang kepabeanan daerah pabean ialah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang Kepabeanan.
Berdasarkan UU No 17 tahun 2006 tentang kepabeanan kawasan pabean adalah kawasan dengan batas-batas tertentu di pelabuhan laut,Bandar udara, atau tempat lain yang ditetapkan untuk lalu lintas barang yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Importir adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha baik berbentuk badan hukum / bukan badan hukum yang melakukan kegiatan impor dalam wilayah hukum RI.( UU No 17 tahun 2006).
Kegiatan impor membawa banyak manfaat bagi masyarakat. Berikut ini beberapa manfaat kegiatan impor:
a. Memperoleh Barang dan Jasa yang Tidak Bisa Dihasilkan
memproduksi mesin-mesin berat. Oleh karena itu, Indonesia melakukan perdagangan dengan Amerika, Jepang, Cina dan Korea Selatan dalam pengadaan alat-alat tersebut.
b. Memperoleh Teknologi Modern
Proses produksi dapat dipermudah dengan adanya teknologi modern. Misalnya, penggunaan mesin las pada pabrik perakitan sepeda motor. Mesin ini mempermudah proses penyambungan kerangka motor. Contoh lainnya adalah mesin fotokopi laser. Mesin ini bisa menggandakan dokumen dengan lebih cepat dan jelas. Tingkat teknologi di negara kita umumnya masih sederhana. Pengembangan teknologi masih lambat karena rendahnya kualitas sumber daya manusia. Untuk mendukung kegiatan produksi, kita dapat mengimpor teknologi dari luar negeri. Perdagangan antarnegara juga memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk mempelajari teknologi dari negara lain. Dalam perdagangan biasanya terjadi pertukaran informasi. Dari saling bertukar informasi ini, Indonesia dapat belajar teknik produksi baru dan pemanfaatan teknologi modern.
c. Memperoleh Bahan Baku
2.2.5 GDP Nasional
Produk domestik bruto (PDB) adalah nilai pasar semua barang dan jasa
yang diproduksi oleh suatu negara pada periode tertentu. PDB merupakan
salah satu metode untuk menghitung pendapatan nasional.
PDB diartikan sebagai nilai keseluruhan semua barang dan jasa yang
diproduksi di dalam wilayah tersebut dalam jangka waktu tertentu (biasanya
per tahun). PDB berbeda dari produk nasional bruto karena memasukkan
pendapatan faktor produksi dari luar negeri yang bekerja di negara tersebut.
Sehingga PDB hanya menghitung total produksi dari suatu negara tanpa
memperhitungkan apakah produksi itu dilakukan dengan memakai faktor
produksi dalam negeri atau tidak. Sebaliknya, PNB memperhatikan asal usul
faktor produksi yang digunakan. PDB Nominal merujuk kepada nilai PDB tanpa
memperhatikan pengaruh harga. Sedangkan PDB riil (atau disebut PDB Atas
Dasar Harga Konstan)--> mengoreksi angka PDB nominal dengan
memasukkan pengaruh dari harga. PDB dapat dihitung dengan memakai dua
pendekatan, yaitu pendekatan pengeluaran dan pendekatan pendapatan.
Rumus umum untuk PDB dengan pendekatan pengeluaran adalah:
PDB = konsumsi + investasi + pengeluaran pemerintah + (ekspor - impor)
Konsumsi adalah pengeluaran yang dilakukan oleh rumah tangga,
investasi oleh sektor usaha, pengeluaran pemerintah oleh pemerintah, dan
ekspor dan impor melibatkan sektor luar negeri. Sementara pendekatan
pendapatan menghitung pendapatan yang diterima faktor produksi:
Sewa adalah pendapatan pemilik faktor produksi tetap seperti tanah,
upah untuk tenaga kerja, bunga untuk pemilik modal, dan laba untuk
pengusaha. Secara teori, PDB dengan pendekatan pengeluaran dan
pendapatan harus menghasilkan angka yang sama. Namun karena dalam
praktek menghitung PDB dengan pendekatan pendapatan sulit dilakukan,
maka yang sering digunakan adalah dengan pendekatan pengeluaran.
Perbandingan antar-negara PDB negara yang berbeda dapat dibandingkan
dengan menukar nilainya dalam mata uang lokal menurut: nilai tukar mata
uang saat ini: PDB dihitung sesuai dengan nilai tukar yang sedang digunakan
dalam pasar mata uang internasional, atau nilai tukar keseimbangan
kemampuan berbelanja: PDB dihitung sesuai keseimbangan kemampuan
berbelanja setiap mata uang relatif kepada standar yang telah ditentukan
(biasanya dolar AS). Peringkat relatif negara-negara dapat berbeda jauh antara
satu metode dengan metode lainnya. Rumus Menghitung PDB, PNB, PNN,
Pendapatan Nasional, Individu Dan Pendapatan Dapat Dibelanjakan. Di bawah
ini adalah rumus untuk menghitung secara agregat Produk Domestik Bruto
(PDB), Produk Nasional Bruto (PNB), Produk Nasional Netto (PNN),
Pendapatan Nasional (PN), Pendapatan Individu dan Pendapatan Yang Dapat
Bibelanjakan. Semua disertai arti definisi / pengertian masing-masing istilah.
a. Menghitung Produk Domestik Bruto
Pengertian Produk Domestik Bruto atau PDB adalah hasil output
produksi dalam suatu perekonomian dengan tidak memperhitungkan pemilik
faktor produksi dan hanya menghitung total produksi dalam suatu
perekonomian saja. Rumusnya adalah
PDB = C + G + I + ( X - M )