• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. Hasil Penelitian. A. Pandangan Maqashid Syari ah Tentang Keadilan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB III. Hasil Penelitian. A. Pandangan Maqashid Syari ah Tentang Keadilan."

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

45 BAB III Hasil Penelitian A. Pandangan Maqashid Syari’ah Tentang Keadilan.

Hukum Islam adalah tata aturan yang digali para ulama dari sumber ajaran agama Islam yaitu al-Qur’an dan al-hadits, untuk membimbing dan mengarahkan umat Islam agar sesuai dengan tuntutan dan tuntunan ajaran Islam. Hukum Islam tersebut secara konkrit berwujud dari apa yang disebut fikih yaitu hukum-hukum Allah yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, yang digali dari dalil-dalil syara’

yang terperinci atau diartikan juga sebagai ilmu tentang syara’ yang amali.1

Salah satu karakteristik hukum Islam adalah bercorak generalistik, yaitu untuk semua unsur manusia, yaitu menyatukan semua unsur manusia, menyatukan dalam ruang lingkup kebenaran dan memadukan dalam kebaikan yang biasa disebut dengan mashlahah. Hal tersebut ditujukan dengan tidak dibedakan suku, bangsa, bahasa, warna kulit, karena yang dipandang adalah ketakwaan dan amal baiknya.2 Hal ini dapat dipahami bahwa keadilan sosial Islam merupakan dasar penting bagi tegaknya syari’at, mercusuar utama yang akan menerangi alam. Keadilan sosial dalam sistem Islam sebagai syariat biasanya dimanifestasikan ke dalam konsep maqashid syari’ah.

Ibn ‘Asyur mendefinisikan maqashid syari’ah sebagai berikut:

1 Qurrotul Ainiyah, Keadilan Gender dalam Islam Konvensi PBB dalam Perspektif Mazhab Syafi’i, (Malang: Intrans Publishing, 2015), hlm. 26

2 Qurrotul Ainiyah, Keadilan Gender dalam Islam Konvensi PBB dalam Perspektif Mazhab Syafi’i, (Malang: Intrans Publishing, 2015), hlm. 32

(2)

46

Makna-makna dan hikmah-hikmah yang diperhatikan dan dipelihara oleh Syari’ dalam setiap bentuk penentuan hukum-Nya. Hal ini tidak hanya berlaku pada jenis-jenis tertentu sehingga masuklah dalam cakupannya segala sifat, tujuan umum, dan makna syari’ah yang terkandung dalam hukum serta masuk pula di dalamnya makna-makna hukum yang tidak diperhatikan secara keseluruhan tetapi dijaga dalam banyak bentuk hukum.3

Ulama maqashidiyyun sepakat akan adanya maksud dan tujuan di balik setiap ketentuan syari’ah. Betapa pun mereka berbeda dalam menguraikan makna maqashid syari’ah, semuanya menuju satu muara, yakni terciptanya kemaslahatan dan hilangnya kemafsadatan.

Pemikiran yang mendasari maqashid syari’ah sebagai epistemologi dalam menggali nilai keadilan dalam hukum adalah tujuan ditetapkannya hukum Islam.

Maqashid syari’ah sangat penting untuk dipahami sebagai basis ijtihad, karena dengannya wawasan kita terkait hukum Islam menjadi komprehensif. Hal yang wajar ketika Yusuf Qardhawi berpendapat “bahwa seseorang tidak dapat dikatakan mampu menetapkan hukum dalam Islam, sebelum iya benar-benar memahami tentang maqashid syari’ah.4

Dalam mengidentifikasi maqashid ada beberapa pendekatan yang perlu dicatat, sebagaimana akan dipaparkan di bawah ini5;

3 Ahmad Imam Mawardi, FIQH MINORITAS, Fiqh Al-Aqalliyat dan Evolusi Maqashid Al- Syari’ah dari Konsep ke Pendekatan, (Yogyakarta: LKiS, 2010), hlm. 182

4 Yusuf Qardhawi, Fiqh Maqashid Syari’ah, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007), hlm. 30

5 Mohammad Hasyim Kamali, Membumikan Syariah Pergulatan Mengaktualkan Islam, (Jakarta:

Mizan, 2008), hlm. 168-175

(3)

47

Pertama, pendekatan tekstual, yang membatasi identifikasi maqashid pada teks yang jelas, perintah dan larangan, yang merupakan pembawa maqashid.

Maqashid itu sendiri, menurut pendapat ini, tidak memiliki eksistensi di luar kerangka perintah yang jelas, selagi perintahnya eksplisit dan normatif dan menyampaikan tujuan pemberi hukum yang tegas. Larangan merupakan indikasi maqashid yang negatif, dan maksud perintah yang melarang adalah untuk menekan dan menghindari keburukan yang telah dijelaskan oleh teks dimaksud. Sebagian besar fuqaha’ mempertimbangkan baik teks maupun ‘Illah yang mendasari serta dasar pemikiran teks dimaksud.

Kedua, pendekatan berorientasi maqashid terhadap pengembangan syari’ah yang memiliki premis realisasi mashlahah dan pencegahan keburukan (mafsadah).

Hal ini menerima begitu saja rasionalitas hukum-hukum syari’ah yang berlaku universal untuk seluruh kasus. Dari premis dasar ini, yang perlu dipastikan oleh seorang fuqaha’ adalah kehadiran mashlahah dan apa yang dikenal sebagai hikmah (dasar pemikiran, kearifan) dalam setiap kasus dan ketetapan baru. Sehingga hikmah dari pelarangan minuman keras adalah melarang keburukan yang timbul dari hilangnya daya nalar.

Ketiga, pendekatan induksi (istiqra’). Bisa saja ada berbagai referensi tekstual untuk suatu pokok masalah, yang mungkin tak satu pun memiliki sifat perintah yang tegas, dengan kata lain, dapat ditarik dari banyak ragam ekspresi spekulatif. Karena di dalam Al-Qur’an tidak dapat ditemukan deklarasi spesifik yang mengatakan bahwa syari’ah diberlakukan untuk kemaslahatan masyarakat.

Namun ini menjadi kesimpulan definitif yang ditarik dari pembacaan kolektif

(4)

48

berbagai pernyataan tekstual. Maslahat (mashalih) harus dipahami dalam makna yang luas yang akan mencakup segala manfaat terkait dengan dunia ini dan akhirat, terkait individu dan masyarakat, material, moral dan spiritual.

Al-Juwaynî mengklasifikasikan maqâshid menjadi 3 kategori, yaitu dharûriyyât, hâjjiyyât, dan tahsîniyyât. Gagasan-gagasan Juwaynî dikembangkan lebih lanjut oleh muridnya, Abu Hamid Al-Ghazali. Al-Ghazali menjelaskan maqashid syariah secara umum mengaitkannya dalam pembahasan maslahat yang berorientasi untuk memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Kelima maslahat di atas bagi Al-Ghazali harus dilindungi sebagai prioritas yang absolut.6

Dengan kategorisasi itu al-Juwayni menggiring maqashid masuk ke fase baru, ia seorang yang istimewa dan genius, mengkonvergensi ilmu naqli dengan ilmu aqli. Terkadang ada orang bahkan kebanyakan, berasumsi bahwa ilmu fiqh murni ilmu naqli, tapi bagi imam al-Juwayni, ilmu fiqh memiliki ikatan kuat dengan ilmu aqli, terutama pada kristalisasi, argumentasi, ta’lil (causasi hukum), menghubungkan berbagai permasalahan dengan akarnya, mengembalikan al-furu’

kepada ushul-nya, mengontrol berbagai persamaan dan perbedaan dalam berbagai kasus, dan mengontrol ‘ilal (causa hukum) dan maqashid (tujuan hukum).7

Syathibi dalam kitab al-Muwafaqat menyusun kaidah-kaidah maqashid syari’ah yang harus dijadikan dasar dalam ijtihad dengan mendasarkan pada maqashid syari’ah. Seluruh kaidah-kaidah maqashid diklasifikasikan oleh Syathibi ke dalam tiga kategori besar: kaidah-kaidah yang berkaitan dengan tema maslahat

6 Mohammad Hasyim Kamali, Membumikan Syariah Pergulatan Mengaktualkan Islam, (Jakarta:

Mizan, 2008), hlm. 166

7 Tim Penulis UII, Pribumisasi Hukum Islam, PEMBACAAN KONTEMPORER HUKUM ISLAM DI INDONESIA, (Yogyakarta: PPs. FIAI UII, 2012), hlm. 131

(5)

49

dan mafsadat, kaidah-kaidah yang berkaitan dengan dasar penghilangan kesulitan, dan kaidah-kaidah yang berhubungan dengan akibat-akibat perbuatan dan tujuan orang-orang mukallaf.8 Kategori pertama menekankan pada realisasi kemaslahatan sebagai tujuan dari ketentuan hukum Islam. Termasuk ke dalam kategori ini adalah kaidah-kaidah sebagai berikut:

عضو عئارشلا امنا وه حلاصمل دابعلا ىف لجاعلا و لجلالا اعم Penentuan hukum-hukum syari’at adalah untuk kemaslahatan hamba, baik untuk saat ini maupun nanti.

موهفملا نم عضو عراشلا نا ةعاطلا وا ةيصعملا مظعت بسحب ماظع ةحلصملا وا ةدسفملا ةأشانلا اهنع Yang bisa dipahami dari penentuan Tuhan adalah bahwa ketaatan dan kemaksiatan diukur dengan tingkat kemaslahatan dan kemafsadatan yang ditimbulkannya.

رماولأا و يهاونلا نم ةهج ظفللا ىلع واست ىف ةللاد ءاضتقلاا و امنا فلاتخلاا نيب ام وه رما بوجو وا بدن و ام وه ىهن ميرحت وا ةهارك لا ملعت نم صوصنلا و ام لصح قرفلا لاا عابتاب يناعلا رظنلاو ىف حلاصملا و ىف يأ ةبترم عقت Perintah dan larangan dari sisi teks adalah sama dalam hal kekuatan dalilnya, perbedaan antara apakah ia berketetapan hukum wajib atau sunnah dan antara haram atau makruh tidak bisa diketahui dari nash, tetapi dari makna dan analisis dalam hal kemaslahatannya dan dalam tingkatan apa hal itu terjadi.

8 Ahmad Imam Mawardi, FIQH MINORITAS, Fiqh Al-Aqalliyat dan Evolusi Maqashid Al- Syari’ah dari Konsep ke Pendekatan, (Yogyakarta: LKiS, 2010), hlm. 213-217

(6)

50

نا ةحلصملا اذا تناك يه ةبلاغلا دنع اهرظانم عم ةدسملا ىف مكح دايتعلاا يهف ةدوصقملا اعرش و اهليصحتل عقو بلطلا ىلع دابعلا Kemaslahatan jika bersifat dominan dibandingkan kemafsadatan dalam hukum kebiasaan, maka kemaslahatan itulah sesungguhnya yang dikehendaki secara syara’ yang perlu diwujudkan.

Dari kaidah-kaidah kategorisasi pertama ini diketahui dengan jelas bahwa nilai, makna, dan eksistensi kemaslahatan menentukan suatu status hukum dan diposisikan di atas otoritas teks, yang dalam fiqh klasik memiliki otoritas sangat kuat.

Kategori kedua adalah kaidah-kaidah yang berhubungan dengan dasar berpikir maqashid untuk menghilangkan kesulitan atau kesukaran. Kaidah-kaidah yang masuk dalam kategorisasi kedua ini adalah:

نا عراشلا مل دصقي ىلا فيلكتلا قشلاب و تانعلا هيف Syari’ (Allah) memberikan beban taklif bukan bertujuan untuk menyulitkan dan menyengsarakan.

لا زنع ىف نا عراشلا دصاق ىلا فيلكتلا امب مزلي ةفلك و ةقشم و هنكل لا دصقي سفن ةقشملا لب دصقي ام ىف كلاذ نم حلاصملا ةدئاعلا ىلع نيفلكملا Tidak dipertentangkan bahwa Allah telah menetapkan hukum taklif yang di dalamnya terdapat beban dan kesulitan, tetapi bukanlah esensi kesulitan itu yang sesungguhnya dikehendaki, melainkan kemaslahatan yang akan kembali kepada orang mukallaf yang menjalankannya.

ةعيرشلا ةيراج ىف فيلكتلا اهاضتقمب ىلع قيرطلا طسولا لدعلأ ذخلأ نم نيفرطلا طصقب لا ليم هيف لخادلا تحت بسك دبعلا نم ريغ ةقشملا و لا للاحنا

(7)

51

Syari’at perlu dijalankan dengan cara yang moderat dan adil, mengambil dari dua sisi secara seimbang, yang bisa dilakukan oleh hamba tanpa kesulitan dan kelemahan.

نا لصلأ اذا ىدا لوفلا هلمحب ىلع همومع ىلا جرحلا وا ىلا ام لا نكمي لاقع وا اعرش وهف ريغ راج ىلع ةماقتسا و لا دارطا لاف رمتسي قلاطلاا Pada dasarnya, apabila pelaksanaan suatu pendapat akan mengarahkan pada kesulitan atau pada hal yang tidak mungkin secara logika dan syara’, maka hal tersebut tidak bisa dilakukan dengan istiqamah (tetap) sehingga tidak perlu diteruskan.

Kaidah-kaidah di atas menunjukkan bahwa ijtihad berbasis maqashid berpihak pada kemudahan dan kemampuan mukallaf sebagai pelaksana hukum.

Sementara itu, kategorisasi ketiga adalah sekelompok kaidah yang berhubungan dengan akibat akhir dari suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh mukallaf serta tujuan mukallaf itu sendiri, yaitu:

رظنلا ىف تلاام لامعلأا ربتعم دوصقم اعرش تناك لاعفلأا ةقفاوم وا ةفلاخم Menganalisis akibat akhir perbuatan hukum adalah diperintahkan oleh syara’, baik perbuatan itu sesuai dengan tujuan syara’ maupun bertentangan.

دهتجملل نا رظني ىف بابسلأا و اهتاببسم Mujtahid wajib menganalisis sebab-sebab dan akibat-akibat hukum.

Dari kategorisasi yang terakhir, bahwa ijtihad tidak hanya berfokus pada teks dalil, tapi juga pada konteks peristiwa atau perbuatan hukum dan pada sisi akibat sebagai upaya untuk mengetahui sisi maslahat dan mafsadat yang ditimbulkannya.

(8)

52

Dari ketiga kategorisasi di atas tersirat bahwa kemaslahatan, kemudahan, dan tujuan akhir suatu ketentuan hukum menjadi dasar utama yang hendak dicapai oleh maqashid syari’ah.

Sebagai pelengkap kategorisasi di atas yang menekankan pada hubungan teks dan konteks empiris perbuatan hukum, menarik untuk membaca pandangan al- Rasyuni yang lebih menekankan pada bagaimana cara memahami dalil nash dengan menggunakan pendekatan maqashid syari’ah. Menurut al-Rasyuni ada empat kaidah dasar yang harus diketahui dan disadari dalam proses ijtihad berbasis maqashid, yaitu9:

Kaidah pertama adalah لك ام ىف ةعيرشلا للعم و هل هدوصقم و هتحلصم (setiap ketentuan hukum syari’ah pasti memiliki ‘illat, maksud, dan kemaslahatan). ‘Illat, maksud, dan kemaslahatan ketentuan hukum dalam Islam pasti ada dan haruslah dicari dan ditemukan sehingga memberikan suatu ketenangan dalam melaksanakannya.

Kaidah kedua adalah لا ديصقت لاا ليلدب (penentuan maqashid syari’ah dalam suatu ketentuan hukum haruslah dengan dalil). Logika dari kaidah ini adalah bahwa menghubungkan maqashid syari’ah dengan ketentuan hukum Tuhan berarti menghubungkan suatu pernyataan atau hukum dengan Allah Swt. Sementara itu, Allah dalam segala ketentuan hukum-Nya telah menyertakan dalil-dalil. Oleh karena itu, penentuan maqashid syari’ah dalam setiap hukum harus didasarkan pada dalil.

9 Ahmad Imam Mawardi, FIQH MINORITAS, Fiqh Al-Aqalliyat dan Evolusi Maqashid Al- Syari’ah dari Konsep ke Pendekatan, (Yogyakarta: LKiS, 2010), hlm. 217-220

(9)

53

Kaidah ketiga adalah بيترت حلاصملا و دسافملا (urgensi menyusun secara hierarkis kemaslahatan dan kemafsadatan). Sebagai suatu pola berpikir ilmiah metodologis, ijtihad berbasis maqashid meniscayakan adanya penyusunan kemaslahatan dan kemafsadatan atas dasar tingkatan hierarkis dalam upaya memudahkan proses penentuan hukum dengan sekala prioritas.

Kaidah keempat adalah زييمتلا نيب دصاقملا و لئاسولا (perlunya pembedaan antara tujuan dan media menuju tujuan). Hal ini penting karena media perantara diperlukan eksistensinya sama seperti maqashid. Hanya saja, perantara ini diperlukan bukan karena esensinya, melainkan hanya sebagai perantara terwujudnya hal lain yang dibutuhkan keberadaannya, yaitu maqashid itu sendiri.

Dalam upaya untuk mewujudkan kemaslahatan dunia dan akhirat tersebut, oleh sebab itu para ulama maqashidiyyun merumuskan tujuan hukum Islam tersebut ke dalam lima misi, semua misi ini wajib dipelihara untuk menjamin terwujudnya kemaslahatan. Kelima misi ini atau yang biasa disebut dengan maqashid syari’ah adalah memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.

Dalam mewujudkan kelima unsur pokok tersebut untuk mencapai sebuah keadilan, para cendekiawan muslim modern melakukan pembaharuan terhadap dimensi-dimensi maqashid, guna memperbaiki kekurangan pada konsep maqashid tradisional, yaitu10:

a. Perbaikan Pada Jangkauan Maqashid

10 Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqashid Syari’ah, (Bandung: Mizan, 2008), hlm. 36-38.

(10)

54

Dalam rangka perbaikan jangkauan hukum yang dicakup oleh maqashid, klasifikasi kontemporer membagi maqashid menjadi tiga tingkatan:

1. Maqashid umum, maqashid ini dapat ditelaah di seluruh bagian hukum Islam, seperti keniscayaan dan kebutuham, ditambah usulan maqashid baru seperti keadilan dan kemudahan.

2. Maqashid khusus, maqashid ini dapat dilihat pada bab hukum Islam tertentu, seperti kesejahteraan anak pada hukum keluarga, perlindungan dari kejahatan dalam hukum kriminal, dan perlindungan dari monopoli dalam hukum ekonomi.

3. Maqashid parsial, maqashid ini adalah maksud-maksud di balik suatu nas atau hukum tertentu, seperti meringankan kesulitan, dalam membolehkan orang sakit untuk tidak berpuasa.

b. Perbaikan Pada Jangkauan Orang yang Diliputi Oleh Maqashid

Dalam upaya memperbaiki kekurangan teori maqashid klasik terkait jangkauan orang yang diliputi (yaitu individual) maka ide maqashid, oleh cendekiawan muslim modern diperluas hingga mencakup jangkauan manusia lebih luas, yakni masyarakat, bangsa dan umat manusia. Ibn ‘Asyur misalnya, memberikan prioritas pada maqashid yang berkaitan dengan kepentingan bangsa atau umat di atas maqashid kepentingan individual.

c. Perbaikan pada Sumber Induksi Maqashid dan Tingkatan Keumuman Maqashid.

Memperkenalkan teori maqashid umum baru yang secara langsung digali dari nas, mengingat bahwa teori klasik digali dari literatur fiqh dalam mazhab-

(11)

55

mazhab fiqh. Pendekatan ini, secara signifikan memungkinkan maqashid untuk melampaui historisitas keputusan fiqh serta merepresentasikan nilai dan prinsip universal dari nas.

Seperti yang dilakukan oleh Yusuf al-Qardhawi dalam mengkaji al-Qur’an dan menyimpulkan maqashid umum berikut: melestarikan keyakinan yang benar, menjaga harkat dan hak-hak asasi manusia, menyeru manusia untuk beribadah kepada Allah Swt., menyucikan jiwa, memperbaiki nilai moral, membangun keluarga harmonis, memperlakukan perempuan secara adil, membangun bangsa muslim yang kuat dan menyeru pada dunia yang kooperatif.

Keterkaitan antara maslahat dan keadilan tidak bisa dipungkiri lagi. Pada akhirnya, keadilan dapat diwujudkan atau dirasakan ketika kelima unsur pokok (maqashid syari’ah) ketika kemaslahatan dapat dirasakan oleh umat manusia. Yaitu dengan memenuhi segala bentuk hak-haknya, serta diseimbangi dengan pelaksanaan kewajibannya.

B. Pandangan CEDAW Tentang Keadilan

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) diproklamirkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948. Salah satu asas Hak Asasi Manusia dinyatakan dalam Mukadimah, yaitu; “Pengakuan bahwa martabat dan hak yang sama dan mutlak umat manusia adalah dasar dari kemerdekaan, keadilan dan perdamaian dunia”. Artinya, DUHAM merupakan standar umum pemajuan dan mendorong penghormatan pada hak dan kebebasan manusia sebagai landasan dari

(12)

56

keadilan, kebebasan dan kedamaian, tidak memandang suku, ras, agama, warna kulit, bahkan jenis kelamin.11

Salah satu bentuk kepedulian PBB terhadap perlindungan Hak Asasi Manusia adalah kepedulian terhadap segala bentuk diskriminasi. Hal ini diwujudkan oleh PBB dengan mengesahkan Konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, yang biasa disebut dengan istilah CEDAW.

CEDAW menetapkan prinsip-prinsip persamaan universal hak perempuan di semua bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, dan sipil terlepas dari status pernikahannya serta mendorong diberlakukannya undang-undang nasional yang melarang diskriminasi dan mengadopsi tindakan khusus untuk mempercepat kesetaraan de facto antara laki-laki dan perempuan, termasuk merubah praktik kebiasaan dan budaya yang berdasarkan inferioritas atau superioritas salah jenis kelamin atau peran stereotipe perempuan dan laki-laki.12

Konvensi ini menekankan pada kesetaraan (equality) dan keadilan (equity) laki-laki dan perempuan, yaitu persamaan hak dan kesempatan serta perlakuan di segala bidang dan kegiatan. CEDAW mengandung nilai-nilai keadilan dan pandangan masyarakat tentang keadilan serta dilihat dari sosiologis dapat diberlakukan dan diterima masyarakat sebagai pengguna hukum dikarenakan sesuai dengan rasa keadilan pada masyarakat, terutama kaum perempuan yang sangat menentukan aturan hukum yang melindungi hak-hak asasi mereka.

11 Archie Sudiarti Luhulima, Cedaw Menegakkan Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014), hlm. 4

12 Qurrotul Ainiyah, Keadilan Gender Dalam Islam Konvensi PBB Dalam Perspektif Mazhab Syafi’i, (Malang, Intrans Publishing, 2015), hlm. 159

(13)

57

Prinsip persamaan substantif mengartikan persamaan sebagai hak yang sama antara laki-laki dan perempuan yang didasarkan pada pemikiran bahwa perempuan mengalami ketidaksetaraan dengan laki-laki dalam berbagai hal, seperti kesempatan kerja, pengupahan, penikmatan pelayanan kesehatan, dan lain-lain.

Masalah akan timbul jika persamaan diartikan perempuan harus mendapat perlakuan yang sama dengan laki-laki, karena dapat berimplikasi perempuan akan mendapat perlakuan sesuai standar laki-laki. Prinsip ini harus mempertimbangkan adanya perbedaan biologis laki-laki dan perempuan yaitu perbedaan fungsi reproduksi dan perbedaan gender (fungsi sosial) yang apabila disamakan maka perempuan akan dirugikan karena pada kenyataannya ada perbedaan antara laki- laki dan perempuan.13

Persamaan substantif yang dimaksud oleh CEDAW adalah persamaan yang tidak hanya peduli pada kesempatan yang sama antara laki-laki dan perempuan tetapi juga pada persamaan dalam menikmati manfaat atau hasil-hasilnya. Pasal 4 CEDAW dalam mewujudkan kesetaraan, negara dituntut untuk mempercepat perbaikan kedudukan perempuan untuk mencapai kesetaraan de facto atau kesetaraan substantif dengan laki-laki, dan mengakibatkan perubahan-perubahan struktural, sosial dan budaya yang perlu untuk memperbaiki bentuk-bentuk diskriminasi terhadap perempuan, kini dan masa lalu, dan memberikan kompensasi bagi mereka. CEDAW juga menekankan untuk menciptakan kondisi yang menjamin pengembangan dan kemajuan perempuan sepenuhnya, serta menjamin

13 Qurrotul Ainiyah, Keadilan Gender Dalam Islam Konvensi PBB Dalam Perspektif Mazhab Syafi’i, (Malang, Intrans Publishing, 2015), hlm. 161

(14)

58

bahwa perempuan dapat menikmati haknya dan kebebasan pokok atas dasar kesetaraan dengan laki-laki (pasal 3 CEDAW).14

Prinsip CEDAW yang kedua dalam mencapai sebuah keadilan adalah prinsip non-diskriminasi. Yang tidak dianggap tindakan diskriminasi adalah tindakan yang dilakukan untuk mencapai kesetaraan dalam kesempatan dan perlakuan bagi perempuan dan laki-laki. Tindakan tersebut hanya sementara yang di mana jika kesetaraan dalam kesempatan dan perlakuan telah tercapai maka tindakan tersebut wajib dihentikan, tindakan tersebut biasa disebut dengan tindakan afirmasi (affirmative action) (pasal 4 CEDAW).15 Sebaliknya, tindakan proaktif seperti melarang perempuan yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok lainnya dapat dianggap sebagai tindakan diskriminasi. Dengan kata lain segala bentuk diskriminasi harus dihapuskan untuk mencapai persamaan substansi antara laki-laki dan perempuan.

Prinsip CEDAW yang ketiga adalah prinsip kewajiban negara, negara di sini meliputi semua instrumen ataupun lembaga/institusi pemerintah, mencakup bidang eksekutif, legislatif, yudikatif, dan struktur administrasi pemerintahan semua tingkatan dan juga unit-unit pemerintahan daerah atau lokal.16 Negara melalui hukum dan kebijakannya agar bisa menjamin hak-hak perempuan, yang dimaksud dengan kewajiban negara antara lain; mencegah dan melarang

14 Archie Sudiarti Luhulima, Cedaw Menegakkan Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014), hlm. 58

15 Archie Sudiarti Luhulima, Cedaw Menegakkan Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014), hlm. 59

16 Archie Sudiarti Luhulima, Cedaw Menegakkan Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014), hlm. 54

(15)

59

diskriminasi terhadap perempuan, melakukan identifikasi adanya diskriminasi terhadap perempuan dan melakukan langkah-langkah untuk memperbaikinya, melaksanakan sanksi atas adanya tindakan diskriminasi terhadap perempuan, memberikan dukungan, dorongan persamaan, kesetaraan dan keadilan pada penegakan hak perempuan melalui langkah-langkah proaktif, serta meningkatkan persamaan substansi antara laki-laku dan perempuan.17

Langkah-langkah kebijakan yang harus dilakukan oleh negara meliputi:18 1. Menurut pasal 2 CEDAW, negara wajib;

a. Mengutuk diskriminasi, melarang segara bentuk diskriminasi terhadap perempuan melalui peraturan perundang-undangan dan kebijakan serta pelaksanaannya,

b. Menegakkan perlindungan hukum terhadap perempuan melalui peradilan nasional yang kompeten dan badan-badan pemerintah lainnya, serta perlindungan yang efektif bagi perempuan dari setiap tindakan diskriminasi,

c. Mencabut semua aturan dan kebijakan, kebiasaan dan praktik yang diskriminatif terhadap perempuan,

d. Mencabut semua ketentuan pidana nasional yang diskriminatif terhadap perempuan,

17 Qurrotul Ainiyah, Keadilan Gender Dalam Islam Konvensi PBB Dalam Perspektif Mazhab Syafi’i, (Malang, Intrans Publishing, 2015), hlm. 162

18 Archie Sudiarti Luhulima, Cedaw Menegakkan Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014), hlm. 57-59

(16)

60

e. Menjamin bahwa pejabat-pejabat pemerintah dan lembaga-lembaga negara tidak melakukan tindakan atau praktik diskriminasi terhadap perempuan,

f. Melaksanakan langkah-tindak yang tepat untuk menghapus perlakuan diskriminatif terhadap perempuan oleh tiap orang, organisasi atau perusahaan.

2. Pasal 3 CEDAW, menentukan kewajiban negara untuk melaksanakan tindakan proaktif di semua bidang, khususnya di bidang politik, sosial, ekonomi dan budaya, serta menciptakan lingkungan yang kondusif yang menjamin pengembangan potensi perempuan.

3. Pasal 4 CEDAW, mewajibkan negara untuk melakukan tindakan sementara atau yang biasa disebut dengan affirmative action untuk mempercepat kesetaraan substantif antara laki-laki dan perempuan.

Dengan kata lain, prinsip keadilan dalam paradigma pemikiran CEDAW berorientasi kan keadilan duniawi yang tidak hanya menekankan kepada prinsip manfaat, tapi juga terhadap pemenuhan hak-hak perempuan, namun hal tersebut tidak dapat terealisasi tanpa adanya dukungan dari pemerintah sebagai lembaga yang memiliki otoritas dalam pembuatan sebuah kebijakan.

C. Konsep Keadilan Dalam Poligami Perspektif Maqashid Syari’ah Poligami sudah berlangsung sejak jauh sebelum datangnya Islam. Orang- orang Eropa yang sekarang disebut Rusia, Yugoslavia, Cekoslavia, Jerman, Belgia, Belanda, Denmark, Swedia, dan Inggris. Semuanya adalah bangsa-bangsa yang berpoligami. Demikian juga bangsa-bangsa timur seperti bangsa Ibrani dan Arab.

(17)

61

Mereka juga berpoligami, maka tidak benar apabila ada tuduhan bahwa Islamlah yang melahirkan aturan poligami dan tidaklah benar jika dikatakan praktik poligami hanya terjadi di negeri-negeri Islam, karena di negeri Afrika, India, Cina maupun Jepang juga terdapat praktik poligami.19

Poligami dalam Islam berdasarkan beberapa dalil Alquran:

َعَب ُر َو َثَلُث َو ىَنْثَم ِءاَسِ نلا َنِ م ْمُكَل َباَطاَم ا ْوُحِكْناَف ىَمَتَيلْا ىِف ا ْوُطِسْقُت َّلاَا ْمُتْف ِخ ْنِا َو َّلاَا ْمُتْف ِخ ْنِاَف

ْ.ا ْوُل ْوُعَت َ لاَا ىَنْدَا َكِلَذ مُكُناَمْيَا ْتَكَلَماَم ْوَا ًةَد ِحا َوَف ا ْوُلِدْعَت Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

(QS. An-nisa’: 3).20

Dalam ayat yang lain Allah Swt. juga berfirman, yang terkait tentang keadilan dalam Poligami:

َك اَه ْو ُرَذَتَف ِلْيَمْلا َّلُك ا ْوُلْيٍمَت َلاَف ْمُتْص َرَح ْوَل َو ِءاَسِ نلا َنْيَب ا ْوُلِدْعَت ْنَا ا ْوُعْيِطَتْسَت ْنَل َو ْنِا َو ِةَقَّلَعُمْلا

َو ا ْوُحِلْصُت اًمْي ِح َّر ا ًر ْوُفَغ َناَك َ َّاللَّ َّنِاَف ا ْوُقَّتَت

Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istrimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung- katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari

19 H.S.A. Al-Hamdani, Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam), (Jakarta : Pustaka Amani, 2011), hlm. 40

20 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang, Tanjung Mas Inti, 1992) hlm.

115

(18)

62

kecurangan), maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

(QS. An-nisa’[4]: 129).

Dua ayat di atas menerangkan bahwa batas maksimal seseorang melakukan poligami dibatasi maksimal empat. Sehingga ketika ada umat Islam yang menikahi perempuan lebih dari batas maksimal maka secara tegas hal itu tidak dibenarkan.

Kemudian pemahaman ayat di atas juga terkait tentang syarat poligami adalah mampu berbuat adil, hal inilah yang masih menjadi perbincangan hangat di tengah- tengah masyarakat terkait keadilan

Keadilan dalam poligami dilihat dari segi Maqashid Syari’ah nya:

Pertama: mampu berbuat adil dalam memberi nafkah kepada istri-istrinya.

Yang dimaksud dengan memberi nafkah di sini tidak hanya sekedar memberikan uang belanja secara merata kepada para istrinya. Namun, lebih dari itu yaitu suami harus mengangkat perekonomian para istrinya, baik dengan memberikan modal, agar para istri bisa melakukan aktivitas ekonominya dengan lancar, atau dengan cara yang lainnya. Dalam hal ini kemaslahatan yang diperoleh oleh perempuan (istri) adalah kemandirian dalam ekonomi. Dengan ini perempuan tidak akan lagi mengalami kekerasan dalam hal ekonomi. Dalam maqashid syari’ah, upaya-upaya tersebut sesuai dengan tujuan Islam yakni hifz al-māl (menjaga harta) karena dengan memberikan pekerjaan atau memberikan modal untuk usaha secara ekonomi para perempuan (istri) akan mandiri dan kesejahteraan ekonomi keluarga akan semakin membaik.

Kedua, mampu berbuat adil dalam memenuhi kebutuhan mendasar sang Istri. Seperti yang sudah dibahas pada bab sebelumnya, bahwa keadilan akan

(19)

63

terwujud bila segala bentuk kebutuhannya terpenuhi yang akan membawa kebahagiaan dalam kehidupan. Menurut Abraham Maslow bahwa macam-macam kebutuhan manusia ada lima: pertama, kebutuhan fisiologis seperti; makanan, minum, tidur, istirahat, seks, dan lain sebagainya. Kedua, kebutuhan keamanan seperti; mencakup perlindungan terhadap gangguan fisik dan kesehatan serta krisis ekonomi. Ketiga, kebutuhan sosial seperti; kecintaan seseorang kepada orang lain dan penerimaan terhadap orang lain, yang bisa diwujudkan dengan perbuatan silaturahim, cinta, kasih sayang, dan persahabatan. Keempat, kebutuhan akan penghargaan seperti; mencakup kebutuhan terhadap penghormatan dan pengakuan diri. Kelima, Kebutuhan aktualisasi diri seperti; Mencakup kebutuhan memberdayakan potensi diri.21 Apabila kebutuhan-kebutuhan tersebut makan berpengaruh terhadap eksistensi seseorang khususnya kepada sang istri,hal tersebut seuai dengan hifdz nafs dan hifdz ‘aql dalam maqashid syariah.

Ketiga, berbuat adil dalam memenuhi kebutuhan seksualitas para istrinya, menurut penemuan Rifka Annisa WCC22, sebanyak 18,9 % perempuan kerap kali mengalami kekerasan seksual dalam kehidupan poligami. Artinya, seorang suami dituntut untuk membagi giliran hubungan seksual secara adil diwujudkan dengan pembagian yang diundi misalnya. Karena dengan tidak adilnya seorang suami dalam memenuhi kebutuhan seksual para istri bisa mengakibatkan ketidakharmonisan dalam rumah tangga. Upaya-upaya tersebut sesuai dengan

21 Waryani Fajar Riyanto, “Pertingkatan Kebutuhan Dalam Maqashid Asy-Syari’ah (Perspektif Ilmu Ekonomi Islam Kontemporer)”. Jurnal Hukum Islam, Volume 8, Nomor 1, Juni 2010, hlm.

52

22 Rifka Annisa WCC (Women’s Crisis Center) Lembaga yang concern pada pendampingan perempuan korban kekerasan, bertempat di Yogyakarta.

(20)

64

tujuan Islam yakni hifz ad-din karena memenuhi kebutuhan seksualitas para istri, menjadi sebuah tujuan Islam dalam sebuah perkawinan yaitu untuk memperbanyak keturunan atau bisa kita sebut sebagai hifz nasab.

Keempat, semaksimal mungkin untuk berbuat adil dalam cinta. Cinta adalah sebuah bangunan tiga dimensi yang terdiri dari pikiran, emosi, dan daya tarik fisik.

Elemen pikiran adalah aspek dari cinta, termasuk bagaimana Anda berpikir mengenai hubungan secara umum, bagaimana Anda berpikir mengenai diri Anda sendiri dalam hubungan percintaan dan keintiman, serta apa yang Anda harapkan dari pasangan dan kekasih Anda. Elemen emosi cinta terbuat dari cara Anda merasakan diri sendiri dan pasangan, bagaimana Anda membuat hubungan emosi dan memutuskannya; ketakutan-ketakutan Anda mengenai hubungan; menjadi dekat, atau kehilangan seseorang; sejauh mana Anda menjadi pencemburu dan posesif. Aspek fisik menyertakan komponen seksual dari hubungan itu, setingkat kasih sayang satu sama lain, dan pernyataan hasrat dalam sebuah atmosfer saling menghormati dan peduli.23

Namun tidak bisa dipungkiri bahwa dalam kehidupan para istri yang dipoligami mengalami kecemburuan serta keresahan karena melihat suaminya terkesan lebih cinta kepada salah satu istrinya. Dalam kasus ini sang suami harus memiliki kemampuan-kemampuan untuk menciptakan kehidupan dan hubungan serta kecerdasan emosi. Kemampuan-kemampuan tersebut, yaitu24:

23 Mary Valentis dan John Valentis, Romantic Intelligence Agar Anda Lebih Cerdas Dalam Cinta, (Jakarta, Serambi, 2003), hlm. 26

24 Mary Valentis dan John Valentis, Romantic Intelligence Agar Anda Lebih Cerdas Dalam Cinta, (Jakarta, Serambi, 2003), hlm. 46-48

(21)

65

1. Pertama dan yang terutama adalah anda memiliki kesadaran diri, dalam pengertian Anda mengenali dengan utuh spektrum keadaan emosi diri serta bisa memahami apa yang kita rasakan dan apa yang memotivasi tindakan kita.

2. Mampu berempati, yaitu mempunyai kemampuan untuk mengesampingkan pikiran-pikiran dan kebutuhan-kebutuhan kita sendiri untuk sejenak, kita juga mampu mengenali dan merespons emosi-emosi orang lain. Kita tahu bagaimana mendengarkan secara aktif.

3. Kita adalah pengelola emosi yang baik. Kita mampu mengekang dan mengatur emosi-emosi kita. Kita memiliki keahlian membalik perasaan dan emosi negatif ke dalam tindakan yang berenergi dan memberdayakan diri sendiri.

4. Mahir memotivasi diri sendiri dan orang lain. Tujuan kita adalah memberikan yang terbaik yang ada di dalam diri kita dan orang lain. Itu artinya kita orang yang bersemangat, penuh gairah, serta mampu menyemangati orang lain dan diri sendiri.

5. Tidak menuruti dorongan hati dan tidak kehilangan kendali mengumbar perasaan tidak nyaman untuk kepuasan sekejap. Kita bisa tidur meski sedang ada masalah dan menganalisis masalah itu esok paginya atau bahkan pada hari berikutnya. Kita tidak membutuhkan menyelesaikan seketika karena kita bisa membiarkan ketidaktahuan dan kita baik-baik saja dan ambiguitas penantian.

(22)

66

6. Murah hati, mendahulukan kepentingan orang, dan memiliki pandangan positif. Bukan berarti anda tidak marah atau sedih, tapi anda memiliki alat untuk bekerja dengan emosi-emosi ini dan tetap bersama mereka. Kita tidak mengabaikan maupun menyangkal emosi-emosi ini dan kita tidak mencaci- maki orang karenanya. Kita melihat perasaan-perasaan negatif kita sebagai pesan yang bermanfaat karena kita rahu emosi-emosi ini memberi tanda akan sesuatu yang penting.

7. Yang terakhir gigih, kita tidak pernah menyerah pada mimpi-mimpi kita atau pada diri sendiri. Kita seorang petarung, tahu bagaimana bertahan dan kita melihat kegagalan sebagai bagian dari proses meraih keberhasilan. Kita mengerti bahwa kegagalan adalah bagian dari risiko yang diambil untuk mencapai sukses, dan semua orang sukses kadang-kadang gagal.

Tidak sedikit juga sebuah hubungan rumah tangga tidak harmonis dikarenakan sang istri tidak mampu mengontrol emosinya. Perlu kiranya para istri juga memiliki dasar-dasar kecerdasan emosi, agar terwujudnya suasana keluarga yang harmonis, dasar-dasar tersebut adalah25:

1. Terbuka

Wanita yang cerdas dalam hubungan cinta terbuka secara emosional.

Dia sadar akan kedalaman emosinya, demikian juga pasang surut seluruh perasaannya. Dia tidak mencoba lari dari kesedihannya karena dia mengerti itu adalah bagian dari sistem komunikasi yang sukar dipahami yang ada di

25 Mary Valentis dan John Valentis, Romantic Intelligence Agar Anda Lebih Cerdas Dalam Cinta, (Jakarta, Serambi, 2003), hlm. 49-54

(23)

67

dalam dirinya, dan merupakan bagian dari jaringan hubungannya dengan orang lain.

2. Tenang dan Tidak Mudah Gelisah

Wanita dengan RI tinggi mempunyai keterampilan sosial yang hebat dan kuat. Dia mengalirkan emosinya yang bermanfaat bagi dirinya bersama pasangannya dan orang lain. Dia hangat, terbuka, dan berkeinginan untuk melebarkan persahabatan dan pengalamannya. Bahkan dalam keadaan genting, ketika orang di sekelilingnya kebingungan atau kehilangan kendali, dia tetap positif, tetap ingin menyelesaikan masalah, dan bersikap tenang.

Jika suasana hatinya menggelap atau semangatnya menurun, dia tahu penyebabnya, dan mencoba memperbaiki masalahnya..

Selama konflik dengan pasangannya, dia mampu merendahkan ego serta gengsinya dan mendengarkan dengan sungguh-sungguh apa yang dikatakan pasangannya, meski pesan yang disampaikan pasangannya mungkin dikemas dalam sebuah ledakan emosi. Mungkin dia terdorong ingin berteriak, menjerit, memuntahkan sindiran tajam, atau berteriak memaki, tali dia tahu bagaimana mengendalikan gejolak hatinya dan tahu bagaimana membuyarkan kemarahan pasangannya.

3. Bisa Berkomitmen

Ketika wanita yang cerdas dalam hubungan cinta memutuskan untuk berkomitmen dengan seorang pasangan, dia melakukannya dengan sadar dan tanpa paksaan. Dia tidak pernah terikat dengan seseorang dalam posisi yang membutuhkan arau dalam keyakinan bahwa pasangannya akan

(24)

68

mampu memenuhi kebutuhan emosinya. Dia tahu seseorang tak pernah bisa memenuhi seluruh kebutuhan orang lain. Dia melihat kelemahan maupun kekuatan pasangannya, tetapi dia menghargai kebajikan dan sifat baik pasangannya di atas segalanya.

Ketika dia membuat sebuah komitmen, dia tahu apa yang sedang dijalaninya karena dia sudah memikirkannya dan telah mengamati pasangannya bersama keluarganya dalam beragam situasi. Dia juga tahu bahwa dia tidak bisa memenuhi seluruh kebutuhan pasangannya dan pasangannya mengerti hal ini.

4. Memiliki Ego yang Sehat Tapi Tidak Larut dalam Kepentingannya Wanita yang cerdas dalam hubungan cinta merasa nyaman dengan dirinya. Cinta diri dan egonya yang sehat menyiapkan dia dengan kapasitas untuk mencintai pasangannya sebagaimana adanya dan bukan sebagai laki- laki yang dia inginkan. Cintanya matang dan tidak diukur oleh kebutuhan- kebutuhan yang terpenuhi sebagai prasyarat untuk mencintai pasangannya.

Itu adalah cinta yang tidak mementingkan diri sendiri dan murah hati, tetapi tidak mengorbankan diri.

5. Menggairahkan dan Berpikiran Terbuka tentang Seks

Wanita yang cerdas dalam hubungan cinta terbuka dalam hal seks.

Dia terbuka untuk percobaan-percobaan dengan pasangannya. Dia mampu mengucapkan dengan jelas mengenai apa yang dibutuhkannya agar kebutuhan seksualnya terpenuhi. Dia mampu menyelaraskan diri dengan kebutuhan seks pasangannya dan, secara ideal, mampu menciptakan

(25)

69

permainan cinta yang berempati timbal balik, tarian keintiman yang memuaskan keduanya.

Dia tidak menghakimi seksualitas atau identitas seks orang lain, tetapi mengurus dirinya dengan memahami kesenangan dirinya dan pasangannya. Gairah seksnya adalah sebuah ekspresi dari perasaan dirinya yang kuat, tetapi bukan satu-satunya ekspresi kewanitaannya atau bukan sebagai pembuktian atas daya tarik seksualnya. Seksualitasnya yang kuat adalah produk dari gairahnya yang murni. Dia tahu bahwa bercinta tidak harus selalu sempurna dan dia menerima pergantian dari siklus seksual ilmiah, meningkat atau menurunnya gairah dan getaran sebagai bagian dari aliran natural hubungannya.

Sebuah keluarga yang berpoligami akan merasakan kebahagiaan dalam kehidupannya kala baik suami maupun para istrinya memiliki baik kemampuan atau dasar-dasar kecerdasan emosi, dan ini menjadi salah satu upaya suami untuk berlaku adil dalam perkawinan poligaminya.

Walaupun al-Qur’an dengan tegas mengatakan tidak mungkin untuk berlaku adil dalam dimensi rasa baik cinta maupun kasih sayang, kedua hal itu bisa terwujud dengan baik apabila intensitas pertemuan antara suami dan para istrinya sangat sering, sehingga mendapatkan timbal balik cinta dan kasih sayang.

Ibn Al-‘Arabi memberikan penjelasan serupa bagi cinta antara kaum pria dan kaum perempuan ketika dia menjelaskan mengapa para makrifat, yaitu para pria yang telah mencapai kesempurnaan, cenderung terhadap kaum perempuan:

(26)

70

Kerinduan (hanin) para makrifat terhadap kaum perempuan adalah kerinduan dari keseluruhan terhadap bagian dari dirinya, seperti kesunyian tempat tinggal yang mendambakan para penghuni yang memberi mereka kehidupan. Lagi pula, Tuhan mengisi tempat dalam diri kaum pria dari mana perempuan diambil dengan kecenderungan terhadapnya. Kerinduannya terhadap kaum perempuan adalah kerinduan dan kecenderungan dari yang besar terhadap yang kecil.26 Dengan kata lain Al-‘Arabi mengatakan, intensitas pertemuan akan mengakibatkan munculnya rasa rindu, bahkan sangat mempengaruhi keutuhan rasa cinta di antara keduanya.

Dipertegas lagi dengan gagasan Interaksionis Simbolis, yang cenderung setuju pada signifikansi kausal interaksi sosial.27 Jadi, kalau cinta atau rasa kasih sayang kita artikan sebagai makna, maka rasa keduanya tidak tumbuh dari proses mental soliter namun dari interaksi. Dengan kata lain interaksi seseorang memiliki dampak makna pada tindakan dan interaksi sosial.

Dari pemaparan di atas, proses poligami dalam kehidupan sehari-hari alangkah lebih baiknya sang suami mengumpulkan istri-istrinya dalam satu rumah agar terjalinnya hubungan yang terbuka antara istri yang satu dengan yang lainnya, yang tak kalah pentingnya juga terjaganya intensitas pertemuan sang suami dengan para istrinya, penulis rasa hal ini akan menciptakan hubungan yang harmonis dalam kehidupan rumah tangga tersebut.

26 Sachiko Murata, the Tao of Islam, Kitab Rujukan Tentang Relasi Gender Dalam Kosmologi dan Teologi Islam, (Bandung, Mizan, 1999), hlm. 244

27 George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern, (Bantul, Kreasi Wacana, 2014), hlm. 394

(27)

71

D. Konsep Keadilan Dalam Poligami Perspektif CEDAW

CEDAW sebagai konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita, dalam aturan-aturan yang termuat dalam pasal- pasalnya, secara eksplisit tidak membahas mengenai baik ketentuan poligami maupun konsep keadilan dalam poligami. Sebagai peserta konvensi, Indonesia telah meratifikasi CEDAW dengan undang-undang republik Indonesia no. 7 tahun 1984 hal ini memberikan ruang bagi CEDAW sebagai sumber hukum dalam arti formal di samping peraturan perundang-undangan, kebiasaan, yurisprudensi, dan doktrin yang berlaku di Indonesia.

Poligami adalah masalah yang sangat sering sekali diperdebatkan, dan perkara inilah yang sering menjadi isu besar orang-orang Barat “yang tidak senang dengan Islam” untuk mengatakan bahwa Islam adalah agama yang memerintahkan umatnya untuk berpoligami. Secara detail dan terperinci, CEDAW menjelaskan hak laki-laki dan perempuan dalam pernikahan pada pasal 16 dan dalam rekomendasinya dinyatakan negara peserta wajib melakukan langkah-langkah yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam semua urusan yang berhubungan dengan perkawinan dan hubungan keluarga atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan.

Poligami bertentangan dengan hak perempuan yang sama dengan hak laki- laki, dan dapat mengakibatkan konsekuensi emosional dan finansial bagi perempuan (istri) tersebut dan anak-anaknya. Hal itu bisa dilihat dalam rekomendasi umum No. 21, 1994, tentang kesetaraan dan keadilan dalam

(28)

72

perkawinan dan hukum keluarga.28 Serta komite hak asasi manusia menerangkan dalam komentar umum 28 bahwa poligami tidak sejalan dengan hak dalam perkawinan menurut kovenan tentang hak-hak sipil dan politik dan bahwa ia harus dihapuskan secara tuntas di mana pun ia diberlakukan.29 Dengan kata lain bahwa poligami dianggap membenarkan praktik yang berdasarkan inferioritas atau superioritas salah satu jenis kelamin.

Pada hakikatnya dalam perspektif CEDAW poligami dilarang, dalam pasal 16 ayat 3 dinyatakan adanya hak dan tanggung jawab yang sama dengan laki-laki selama perkawinan dan perceraian. Bunyi pasal ini mengandung pengertian bahwa antara laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama selama berlangsungnya perkawinan ataupun ketika terjadinya perceraian.

Pemahaman bunyi ayat ini adalah jika sang suami boleh mempunyai istri lebih dari satu maka istri juga boleh mempunyai suami lebih dari satu. Jika suami mempunyai hak untuk mencerai istrinya, maka istri juga mempunyai hak untuk mencerai suaminya. Jika suami meruju’ istrinya dan istri tidak setuju untuk diruju’, maka suami tidak boleh memaksa sebagaimana istri juga tidak boleh memaksa sang suami. Artinya segala macam perbuatan hukum yang dilakukan dalam perkawinan dan perceraian tidak boleh dilakukan secara sepihak tetapi harus atas persetujuan kedua belah pihak, karena antara suami dan istri mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama.

28 Archie Sudiarti Luhulima, Cedaw Menegakkan Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014), hlm. 97

29 Mashood A. Baderin, Hukum Internasional Hak Asasi Nasional & Hukum Islam, (Jakarta, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2010), hlm. 141

(29)

73

Oleh karena itu, terjadinya kebolehan perbuatan hukum yang berupa poligami, yaitu seorang suami diperbolehkan mempunyai istri lebih dari seorang istri, sedangkan si istri tidak boleh memiliki suami lebih dari satu adalah sebuah tindakan yang diskriminatif terhadap perempuan, yang tidak hanya menunjukkan pada perlakuan tidak adil atau diskriminatif, tetapi juga tindakan pelanggaran hak asasi manusia universal.

Namun, untuk menggunakan CEDAW sebagai kerangka standar dan tolak ukur untuk merumuskan sebuah konsepsi keadilan dalam poligami sebaiknya menggunakan prinsip-prinsip yang dianut oleh konvensi CEDAW. Prinsip-prinsip itu saling berkaitan dan tidak dapat dipisah-pisahkan. Prinsip-prinsip itu terjalin secara konseptual dalam pasal 1-16 konvensi CEDAW.30

Prinsip-prinsip tersebut bisa dijadikan sebagai kerangka dasar dalam menghasilkan suatu analisis yang dimaksud. Sebagai berikut:

1. Prinsip Persamaan (Kesetaraan dan Keadilan) Substantif.

Dari prinsip persamaan yang dijadikan landasan konvensi CEDAW yang sudah dijelaskan di atas dapat dipahami, bahwa yang dimaksud dengan kesetaraan dan keadilan substantif yaitu persamaan dalam hak, kesetaraan dalam kesempatan dan akses serta pemahaman hak untuk menikmati manfaat di segala bidang kehidupan dan segala kegiatan.

Sedangkan dalam kasus poligami, terdapat aturan untuk berlaku adil terhadap istri-istrinya bagi seseorang yang menginginkan poligami. Memang secara

30 Archie Sudiarti Luhulima, Cedaw Menegakkan Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014), hlm. 47

(30)

74

zahir terdapat perbedaan kesempatan antara perempuan dan laki-laki dalam peluang untuk menikah, sehingga dianggap bertentangan dengan salah satu butir pasal 16 konvensi CEDAW tentang perkawinan dan hubungan keluarga, bahwa:

“Negara-negara peserta mempunyai kewajiban untuk melakukan langkah tindak yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam semua urusan yang berhubungan dengan perkawinan dan hubungan keluarga atas dasar kesetaraan dan keadilan”.

Di antara hak-hak tersebut yang dijamin adalah poin: (a) hak yang sama untuk memasuki jenjang perkawinan, (b) hak dan tanggung jawab yang sama selama perkawinan dan pada pemutusan perkawinan.

Kembali dalam pembahasan prinsip persamaan, bahwa persamaan mengandung unsur kesetaraan dan keadilan. Dan langkah tindak yang diharapkan oleh CEDAW adalah merealisasikan hak perempuan untuk mengatasi adanya diskriminasi yang bisa merugikan perempuan.

Keadilan dalam poligami tidak bisa hanya dilihat dari satu sisi keterbatasan dalam kesempatan. Keadilan dalam poligami berlaku bukan sebatas utopis belaka, tetapi dengan ketentuan yang rinci termasuk hak istri untuk memasuki perkawinan, sehingga sang suami memiliki tanggungan atau kewajiban yang harus dipenuhi.

Keadilan dalam poligami menjaga hak suami serta hak istri secara bersamaan.

Sehingga tidak ada pihak yang dirugikan. Konsep keadilan dalam poligami adalah salah satu bentuk langkah tindak, sehingga tidak timbul diskriminasi sebagaimana banyak terjadi pada realitasnya.

(31)

75 2. Prinsip non Diskriminasi

Sesuai dengan namanya yang disandang oleh konvensi ini, CEDAW dalam pasal 1 langsung memberikan penjelasan mengenai definisi diskriminasi, yaitu:

“berarti setiap pembedaan, pengecualian atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil, atau apapun lainnya oleh perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar kesetaraan antara laki-laki dan perempuan”.

Adanya berlaku adil sebagai syarat poligami, sehingga melahirkan beberapa ketentuan yang harus dijalani selama berpoligami, baik berupa pemenuhan hak istri dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, maupun sipil. Walaupun tidak ada aturan yang membolehkan perempuan untuk poliandri, sehingga mengakibatkan perempuan tidak memiliki akses atau kesempatan yang sama dibandingkan laki- laki.

Ketika kita kembali merujuk definisi diskriminasi yaitu “yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok”. Maka diskriminasi yang dimaksud adalah yang mengurangi atau merugikan perempuan.

Sedangkan keadilan dalam poligami, hakikatnya adalah untuk melindungi hak-hak perempuan dari berbagai sisi, materil seperti nafkah, tempat tinggal, dan kebutuhan pokok lainnya, serta berusaha untuk berbuat adil dalam sektor immateri.

(32)

76

Menurut hemat peneliti, hal ini sudah sejalan dengan tujuan CEDAW yaitu untuk melindungi hak asasi perempuan.

Secara tekstual, CEDAW beranggapan bahwa tidak mungkin seseorang yang melakukan poligami mampu untuk berlaku adil. Seperti yang sudah dibahas pada bab sebelumnya, prinsip keadilan yang dianut oleh CEDAW adalah persamaan atau kesetaraan dalam hak dan kesempatan baik dalam bidang; ekonomi, sosial, budaya, sipil, dan politik. Kesetaraan hak dan kesempatan dalam bidang- bidang tersebut akan hilang ketika dalam proses poligami, hak-hak tersebut adalah:

1. Hak atas pekerjaan.

Dalam pasal 6 Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, Budaya (KIHESB), menjelaskan bahwa pekerjaan secara tradisional diakui sebagai sarana sah untuk mendapat mata pencaharian dalam semua masyarakat manusia, serta menunjukkan dengan benar bahwa pekerjaan adalah bagian esensial keadaan manusia melalui pekerjaanlah sumber pendapatan yang terhormat biasanya dijamin dan kesejahteraan material individu dan perkembangan seimbang bagi kepribadiannya bisa diwujudkan. Oleh karena itu, pasal 6 mengakui nilai pekerjaan sebagai unsur terpadu dalam pemeliharaan martabat dan harga diri individu.31

2. Hak atas jaminan sosial.

Setiap orang sebagai anggota masyarakat berhak atas jaminan sosial dan berhak melaksanakan dengan perantaraan usaha-usaha nasional, hak-

31 Mashood A. Baderin, Hukum Internasional Hak Asasi Nasional & Hukum Islam, (Jakarta, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2010), hlm. 181

(33)

77

hak ekonomi, sosial dan kebudayaan yang sangat diperlukan untuk martabat dan pertumbuhan bebas pribadinya. Artinya, hak-hak ekonomi, sosial dan kebudayaan tidak bisa diabaikan begitu saja bagi martabat dan pertumbuhan bebas pribadinya.32

3. Hak atas standar kehidupan yang layak.

Arti penting dari hak atas standar kehidupan yang layak yang diatur dalam KIHESB pasal 11 ia menegaskan kembali keseluruhan tujuan hak- hak ekonomi, sosial dan budaya, yakni perwujudan standar kehidupan yang layak bagi setiap manusia yang mencakup; sandang, papan, dan pangan, serta atas perbaikan secara terus menerus. Ini secara esensial ditafsirkan sebagai standar kehidupan yang layak yang menjamin martabat pribadi manusia. Yaitu, kemampuan antara lain setiap orang untuk menikmati kebutuhan-kebutuhan pokok kehidupan tanpa harus mengambil jalan yang merendahkan martabat dan mendehumanisasi dirinya.33

4. Hak untuk menikmati standar tertinggi kesehatan fisik dan mental.

Adagium ‘kesehatan dan kekayaan’ menjelaskan pentingnya kesehatan bagi kesejahteraan manusia. Di samping hak atas pangan, sandang dan papan, hak atas kesehatan dan perawatan medis juga secara

32 Mashood A. Baderin, Hukum Internasional Hak Asasi Nasional & Hukum Islam, (Jakarta, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2010), hlm. 193

33 Mashood A. Baderin, Hukum Internasional Hak Asasi Nasional & Hukum Islam, (Jakarta, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2010), hlm. 205

(34)

78

khusus disebutkan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia sebagai unsur-unsur standar kehidupan yang layak bagi individu dan keluarga.

Pasal 12 KIHESB menciptakan dua himpunan norma dalam kaitan dengan kesehatan manusia. Himpunan pertama ialah jaminan terhadap hak-hak individu untuk menikmati standar tertinggi kesehatan yang bisa dicapai, sedangkan yang kedua adalah perlindungan kesehatan publik sebagai langkah yang diperlukan bagi perwujudan himpunan yang pertama.

Adakalanya, kesehatan publik cenderung membatasi kemerdekaan dan kebebasan bergerak individu. Ini bisa terjadi untuk menanggulangi penyakit-penyakit menular atau akademik oleh negara menurut pasal 12.

Dengan demikian, pembatasan semacam itu harus semata-mata demi perlindungan kesehatan publik dan sejalan dengan hukum yang berlaku.34 5. Hak atas pendidikan.

Pendidikan merupakan kunci pembebasan mental yang membantu seseorang bukan saja dalam mengembangkan kepribadiannya semata tetapi juga dalam menjadikannya berguna bagi masyarakatnya. Pendidikan harus diarahkan pada pengembangan kepribadian manusia seutuhnya dan kesadaran akan harga dirinya, serta harus memperkuat penghormatan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan dasar dan pendidikan harus memungkinkan semua orang untuk berpartisipasi secara efektif dalam suatu masyarakat yang bebas.35

34 Mashood A. Baderin, Hukum Internasional Hak Asasi Nasional & Hukum Islam, (Jakarta, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2010), hlm. 213

35 Mashood A. Baderin, Hukum Internasional Hak Asasi Nasional & Hukum Islam, (Jakarta, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2010), hlm. 217.

(35)

79

6. Hak atas kehidupan budaya dan atas manfaat kemajuan ilmu pengetahuan.

Kehidupan budaya telah digambarkan sebagai segala sesuatu yang membuat hidup bernilai untuk dihidupi serta hal yang memisahkan manusia dari binatang dan kemudian berhubungan dekat dengan kehormatan manusia.

Faktor-faktor yang memungkinkannya bakal meliputi sejumlah hak-hak lain seperti kebebasan berserikat, kebebasan berpikir, kesadaran dan agama, kebebasan berekspresi, hak menentukan nasib sendiri, hak untuk berbeda, dan hak atas pendidikan. Kebudayaan merupakan salah satu faktor pembeda manusia, lingkup yang terkadang sangat susah untuk ditentukan. Ia bisa dipandang dari berbagai sisi. Kebudayaan sering dipergunakan untuk menggambarkan cara hidup suatu komunitas tertentu yang merujuk pada warisan adat, peradaban, spiritual, dan material mereka.

Dari pemaparan hak-hak perempuan di atas, CEDAW memberikan perlindungan terhadap hak-hak perempuan. Artinya, bahwa ketika seseorang laki- laki yang berpoligami mampu memenuhi hak-hak tersebut maka sudah bisa dikatakan bahwa laki-laki tersebut sudah berlaku adil, dan sesuai dengan tujuan CEDAW itu sendiri.

E. Perbandingan Konsep Maqashid Syari’ah dan CEDAW Terhadap Keadilan dalam Poligami.

Menggunakan maqashid syari’ah sebagai pisau analisa terhadap konsep keadilan dalam poligami, dengan perkembangan zaman dan perubahan sosial berarti tidak terlepas dari ruang lingkup kemaslahatan atau kemudaratan dampak

(36)

80

dirinya. Walaupun terdapat perkembangan pemahaman konsep maqashid syari’ah dari masa klasik hingga kontemporer, namun tetap dengan eksistensinya yaitu kemaslahatan.

Ketentuan poligami, yang juga merupakan contoh produk hukum yang ada sejak sebelum Islam dan dipertahankan hingga saat ini khususnya di Indonesia, menguatkan alasan bahwa perlunya pemerintah untuk menyusun payung hukum dalam mengatur unsur-unsur keadilan yang lebih rijid, serta dari beberapa kaidah yang ditawarkan oleh maqashid syari’ah, menitik beratkan tentang kemaslahatan dalam menjalankan rumah tangga, sebagai inti dari maqashid syari’ah yang mengantarkan pada kesimpulan kepada mencapai sebuah keadilan dalam proses poligami.

Apalagi beberapa kaidah dari konsep maqashid syari’ah yang ditawarkan, menyediakan ruang bagi HAM. Sehingga doktrin poligami dan konsep perlindungan perempuan yang termuat dalam CEDAW dapat berjalan beriringan.

Dengan catatan, tidak hanya memandang pada satu sisi, tetapi dari berbagai sisi atau pasal-pasal yang ditawarkan. Walaupun pada hakikatnya, CEDAW melarang keras terhadap praktik poligami, namun kita dapat mengambil spirit dalam CEDAW tersebut yaitu menjunjung tinggi hak asasi perempuan. Konsep keadilan dalam poligami bukan hanya menyentuh dimensi perlindungan terhadap perempuan, namun lebih luas lagi, yaitu keturunan, suami, keluarga sebagai unit sosial terkecil yang membentuk masyarakat.

Penggunaan maqashid syari’ah dalam analisis terhadap konsep keadilan poligami memiliki keunggulan tersendiri. Dengan maqashid syari’ah, dapat melihat

(37)

81

suatu hukum dalam dua sudut pandang, eksistensi kemurnian hukum Islam dan kedinamisan hukum Islam.

Adapun penggunaan CEDAW sebagai sudut pandang, hanya bisa mengungkap makna umum dari tujuan hukum poligami atau nilai yang terkandung di dalam persyariatannya. Pandangan kesetaraan gender yang ditawarkan CEDAW hanya bisa dikaitkan pada nilai manfaat hukum yang kembali kepada subyek hukum atau perempuan khususnya, tanpa menyentuh nilai ibadah yang terkandung di dalamnya.

Kaidah-kaidah yang ditawarkan dalam konsep maqashid syari’ah kontemporer, menunjukkan bahwa kesetaraan gender yang terdapat dalam CEDAW sebagai bagian dari HAM memiliki pengaruh dalam pertimbangan penetapan suatu hukum, namun dalam porsinya.

Konsep keadilan dalam poligami mengandung nilai ta’abbudi dan juga maslahat yang kembali kepada manusia. Kaidah “penentuan hukum-hukum syari’at adalah untuk kemaslahatan hamba baik untuk saat ini maupun nanti”, Di antara maslahat tersebut adalah sebagai penjagaan terhadap hak-hak perempuan. Hal ini sejalan dengan konsep perlindungan yang terkandung dalam CEDAW.

CEDAW sebagai salah satu konsep hukum yang lahir bukan dari wilayah konteks hukum Islam, atau bisa dikatakan sebagai produk Barat memiliki prinsip- prinsip dan asas-asas yang menjunjung tinggi keadilan dan kesetaraan. Konvensi CEDAW merupakan dokumen yang dinamis dan hidup, yang mengembangkan dan mendapatkan pengertian yang lebih luas dan mendalam tentang hak asasi

(38)

82

perempuan dari pengalaman melaksanakan, mengerjakan dan memperjuangkannya.

Hal ini tertuang dalam rekomendasi umum (General Recommendation) dan observasi penutup (Concluding Obsevation) dari komite CEDAW, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari konvensi CEDAW. Sebagai suatu konvensi yang dinamis, CEDAW memiliki keterbukaan dalam menghadapi suatu problem.

Sehingga pasal-pasal yang tertuang dalam pasal-pasal konvensi menjadi hukum yang hidup. Sehingga, baik maqashid syari’ah atau pun CEDAW memiliki persamaan berupa keterbukaan dalam merespon masalah hukum dalam porsinya masing-masing.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan efisiensi biaya, penggunaan umbi benih bawang merah berukuran sedang dapat digunakan untuk menghasilkan produksi yang tidak berbeda dengan penggunaan umbi

Kalatalouden toimialojen kokonaistuotot olivat 964 miljoonaa euroa, mikä on viisi miljoonaa euroa enemmän kuin vuonna 2017.. Koko kalatalouden ja- lostusarvo kasvoi

Tabel 4.3 Ringkasan uji BNJ 1% dari pengaruh lama pemberian tepung Lumbricus rubellus tingkat kerusakan vili usus halus pada Rattus novergicus yang terinfeksi Salmonella.

kecepatan kilat maka binatang kendaraan itu, begitu juga Nabi yang menaiki, akan terbakar dalam daerah atmosfir bumi, sebaliknya ketiadaan udara untuk bernafas dalam menempuh jarak

Dengan demikian hipotesis berbunyi model pembelajaran make a match efektif untuk meningkatkan prestasi belajar matematika pada siswa tunagrahita kelas V di SLB ABC

Oleh karena ini lah ia lebih dicintai dibandingkan peserta didik yang lain, dan tidak ada keraguan kepaanya bahwa suatu saat nanti ia termasuk dari orang-orang

Kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing

Tujuan pada penelitian yang akan dilakukan ini adalah untuk menguji pengaruh dari pengadopsian XBRL terhadap asimetri informasi pada perusahaan perbankan di