• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

6 BAB II

KAJIAN PUSTAKA 2.1 Asma

2.1.1 Definisi Asma

Asma didefinisikan sebagai penyakit heterogen yang biasanya ditandai dengan peradangan saluran napas kronis. Asma memiliki gejala pernapasan yang bervariasi, seperti batuk, sesak napas, mengi dan keterbatasan aliran udara ekspirasi yang bervariasi. Asma berhubungan dengan hiperresponsifitas saluran napas terhadap rangsangan langsung atau tidak langsung. Hiperresponsifitas ini biasanya bertahan bahkan ketika gejala tidak ada atau fungsi paru-paru normal, tetapi dapat menjadi normal dengan pengobatan [3].

Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi saluran napas yang menyebabkan hiperreaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang ditandai dengan gejala episodik berulang berupa mengi, batuk, sesak napas dan rasa berat didada terutama pada malam dan/atau dini hari yang umumnya bersifat baik dengan atau tanpa pengobatan. Asma bersifat fluktuatif (hilang timbul) artinya dapat tenang tanpa gejala yang mengganggu aktivitas tetapi dapat eksaserbasi dengan gejala ringan sampai berat bahkan pada beberapa kasus dapat menyebabkan kematian [17].

Asma merupakan gangguan kronik saluran napas yang menimbulkan obstruksi berkaitan dengan hiperreaktivitas bronkus. Inflamasi saluran napas merupakan pusat dari patofisiologi asma yang berakibat disfungsi saluran napas melalui mekanisme pelepasan mediator-mediator inflamasi. Selain itu juga terjadi remodeling dinding saluran napas. Semakin berat penyakit maka semakin berat perubahan saluran napas berupa peradangan kronik. Peradangan kronik ini dapat berakibat pada meningkatnya kepekaan saluran napas terhadap berbagai rangsangan dari lingkungan seperti alergen dan polusi udara yang memicu peradangan berikutnya [10].

(2)

7 2.1.2 Klasifikasi Asma

Pengklasifikasian asma berdasarkan praktik klinis terbagi menjadi 3, yaitu berdasarkan derajat berat asma, tingkat keparahan, dan derajat berat eksaserbasi asma.

1. Derajat berat asma

Derajat berat asma ditentukan sebelum mendapatkan pengobatan yang didasarkan pada gejala asma, terbangun malam hari karena asma, gangguan aktivitas, nilai faal paru dan variabilitas [10].

Tabel 2.1 Derajat berat asma [10]

Intermiten Persisten Ringan

Persisten Sedang

Persisten Berat

Gejala

Bulanan:

 <1x sepekan

 Gejala (-) diluar serangan

 Serangan singkat

Mingguan:

 >1x sepekan

 <1x sehari

 Serangan menggangu aktivitas dan tidur

Harian:

 Setiap hari

 Butuh bronkodilator setiap hari

 Serangan mengganggu aktivitas dan tidur

Terus-menerus:

 Terus- menerus

 Sering kambuh

 Aktivitas fisik terbatas

Malam ≤2x sebulan >2x sebulan >1x sepekan Sering

VEP1 ≥80% prediksi ≥80% prediksi 60-80% prediksi ≤60% prediksi APE ≥80% terbaik ≥80% terbaik 60-80% terbaik ≤60% terbaik

Variabilitas <20% 20-30% >30% >30%

2. Tingkat keparahan

Tingkat keparahan asma dapat dinilai ketika pasien telah menjalani pengobatan pengontrol selama beberapa bulan, klasifikasinya sebagai berikut [3].

1) Asma ringan didefinisikan sebagai asma yang terkontrol dengan baik dengan pengobatan tahap 1 atau tahap 2. GINA tidak membedakan antara asma intermiten dan asma persisten ringan.

2) Asma sedang adalah asma yang terkontrol baik dengan pengobatan tahap 3 atau tahap 4.

3) Asma berat adalah asma yang tetap tidak terkontrol meskipun pengobatan dioptimalkan dengan ICS-LABA dosis tinggi atau yang membutuhkan ICS-LABA dosis tinggi untuk mencegahnya menjadi tidak terkontrol.

(3)

8 3. Derajat Berat Eksaserbasi Asma

Eksaserbasi (serangan) asma didefinisikan sebagai pasien yang memiliki setidaknya satu kejadian yang menunjukkan perburukan kontrol asma yang signifikan [18]. Perburukan kontrol asma ditandai dengan munculnya gejala- gejala asma berupa mengi, sesak, batuk dan dada terasa berat. Derajat berat eksaserbasi asma dinilai dari beberapa gejala dan tanda pada saat terjadi serangan asma [10].

Tabel 2.2 Derajat berat eksaserbasi asma [10]

Ringan-Sedang Berat Mengancam

Jiwa

Berbicara Frasa Kata-perkata

Penurunan kesadaran, silent

chest, pernapasan peradoksal

Posisi Duduk Duduk

membungkuk

Kesadaran Tidak agitasi Agitasi

Frekuensi napas Meningkat

<30x/menit >30x/menit

Otot bantu napas Tidak ada Ada

Frekuensi nadi 100-120x/menit >120x/menit

Saturasi <90-95% <90%

APE >50% nilai prediksi <50% nilai prediksi

2.1.3 Gejala Asma

Pola gejala yang dialami oleh pasien asma perlu digali lebih dalam karena gejala tersebut juga dapat disebabkan oleh gangguan saluran napas lain. Hal-hal yang perlu diperhatikan antara lain adalah saat pasien mengalami gejala tersebut untuk pertama kalinya, apakah gejala tersebut membaik secara spontan atau dengan pengobatan atau bila pasien sudah terdiagnosis asma sebelumnya (perlu ditanyakan kapan pasien mulai menggunakan terapi pengontrol). Gejala-gejala berikut merupakan karakteristik asma, antara lain:

1. Lebih dari 1 gejala (mengi, sesak, batuk dan dada terasa berat) terutama pada orang dewasa.

2. Gejala umumnya lebih berat pada malam atau awal pagi hari.

3. Gejala dicetuskan oleh aktivitas fisik, pajanan alergen, perubahan cuaca, emosi, serta iritan seperti asap rokok.

Gejala-gejala yang dapat mengurangi kecurigaan terhadap asma antara lain:

1. Batuk tanpa disertai gejala pernapasan lainnya

(4)

9 2. Produksi sputum kronik

3. Sesak berhubungan dengan rasa kantuk, kepala terasa ringan atau kesemutan 4. Nyeri dada

5. Inspirasi dengan suara napas yang cukup keras dan dipicu oleh aktivitas fisik [10].

2.1.4 Obat Pengontrol Asma

Tujuan utama dari tata laksana asma adalah mempertahankan penggunaan obat pelega seminimal mungkin dan juga untuk mengontrol penyakit menjadikan asma terkontrol. Oleh karena itu, perlu ditetapkan atau direncanakan pengobatan jangka panjang untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma yang terkontrol.

Pada dasarnya, dalam tata laksana asma terdiri dari 3 kategori, yaitu obat pelega (reliever), obat pengontrol (controller) dan add-on therapies. Ketiga obat tersebut memiliki kegunaan masing-masing. Dimana dari ketiga kategori obat tersebut, obat yang digunakan untuk mengontrol asma adalah obat pengontrol (controller) [10].

Obat pengontrol (controller) adalah obat yang digunakan pada terapi asma jangka panjang yang digunakan secara rutin setiap hari. Obat ini berguna untuk mengurangi inflamasi, mengontrol gejala dan mengurangi risiko eksaserbasi serta mengurangi penurunan fungsi paru. Jenis sediaan obat yang direkomendasikan untuk pasien asma adalah inhalasi karena dapat mencapai konsentrasi tinggi diparu, efek samping sistemik yang lebih sedikit dan lebih ditoleransi dibandingkan dengan bentuk sistemik [10]. Obat yang termasuk obat pengontrol yaitu sebagai berikut.

1. Inhaled cortikosteroid (ICS)

Obat kortikosteroid adalah obat jangka panjang yang paling efektif untuk mengontrol asma. Penggunaan ICS menghasilkan perbaikan faal paru, menurunkan hiperreaktivitas bronkus, mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan berat serangan serta memperbaiki kualitas hidup. Steroid inhalasi ditoleransi dengan baik dan aman pada dosis yang direkomendasikan [10].

(5)

10

Tabel 2.3 Dosis ICS pada remaja dan dewasa [10]

ICS Dosis (mcg)

Rendah Sedang Tinggi

Beklometason dipropionat (CFC) 200-500 >500-1000 >1000 Beklometason dipropionat (HFA) 100-200 >200-400 >400

Budesonid (DPI) 200-400 >400-800 >800

Siklesonid (HFA) 80-160 >160-320 >320 Flutikasonpropionat(DPI) 100-250 >250-500 >500 Flutikasonpropionate(HFA) 100-250 >250-500 >500

Mometason furoat 110-220 >220-440 >440

Triamsinolon asetonid 400-1000 >1000-2000 >2000

2. Long Acting β2 Agonist (LABA)

Penggunaan LABA berguna untuk merelaksasi otot polos, meningkatkan pembersihan mukosilier, menurunkan permeabilitas pembuluh darah dan memodulasi pelepasan mediator dari sel mast dan basofil. Inhalasi LABA yang diberikan jangka lama mempunyai efek protektif terhadap rangsang bronkokonstriktor dan mempunyai efek antiinflamasi meski kecil. Pemberian inhalasi agonis β2 kerja lama menghasilkan efek bronkodilatasi lebih baik dibandingkan preparat oral. LABA tunggal tidak boleh diberikan untuk pengobatan asma. Obat ini diberikan dalam bentuk kombinasi dengan inhalasi kortikosteroid (ICS) [10].

3. Leukotriene Receptor Antagonists (LTRA)

Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan pemberiannya melalui oral.

Mekanisme kerjanya menghambat 5-lipoksigenase sehingga memblok sintesis semua leukotrien (contohnya Zileuton) atau memblok reseptor-reseptor leukotrien sisteinil pada sel target (contohnya Montelukas, Pranlukas dan Zafirlukas). Mekanisme kerja tersebut menghasilkan efek bronkodilator minimal dan menurunkan bronkokonstriksi akibat alergen, sulfurdioksida dan latihan. Selain bersifat bronkodilator, leukotrien juga mempunyai efek antiinflamasi. Berbagai studi menunjukkan bahwa penambahan LTRA dapat menurunkan kebutuhan dosis glukokortikosteroid inhalasi pasien asma persisten sedang sampai berat, mengontrol asma pada pasien asma yang tidak terkontrol dengan glukokortikosteroid inhalasi. Sebagai terapi tambahan, LTRA tidak seefektif agonis β2 kerja lama. Kelebihan obat ini adalah bentuk

(6)

11

sediaannya dalam bentuk tablet (oral) sehingga mudah diberikan. Saat ini yang beredar di Indonesia adalah Zafirlukas (antagonis reseptor leukotrien sisteinil) dan Montelukas. Efek samping jarang ditemukan. Zileuton dihubungkan dengan toksisitas hati, sehingga pemantauan fungsi hati dianjurkan apabila diberikan terapi Zileuton [10].

Tabel 2.4 Sediaan dan dosis obat pengontrol asma (controller) di Indonesia [10]

Fungsi Nama

Generik Sediaan Obat Dosis Dewasa Keterangan

Obat Pengontrol

(Anti Inflamasi)

ICS + SABA

Flutikason propionat

+ Salmeterol

Diskus (DPI)

Dosis bergantung

tahapan pengobatan 100 µg

250 µg 500 µg

2×100 µg (dosis rendah) 2×250 µg (dosis sedang) 2×500 µg (dosis tinggi) IDT/MDI

125 µg/semprot

2×125 µg 2×250 µg 2×500 µg Budesonid

+ Formoterol

Turbuhaler (DPI)

2×160 µg (dosis rendah) 2×320 µg (dosis sedang) 2×640 µg (dosis tinggi)

Dosis bergantung

tahapan pengobatan ICS

Budesonid

Swinghaler (DPI) IDT/MDI

2×200 µg (dosis rendah) 2×400 µg (dosis sedang) 2×800 µg (dosis tinggi)

IDT sebaiknya

dengan spacer LABA

Prokaterol Inhalasi 2×10 µg

Harus dikombinasi

dengan ICS LTRA

Zafirlukas Montelukast

Tablet 20 mg Tablet 10 mg

2×20 mg 2×10 mg

Pemberian 1-2 jam sebelum makan Metilsantin lepas lambat

Teofilin lepas lambat

Tablet 125 mg 250 mg 300 mg

2× sehari 100-250 mg/kali

Pantau kadar obat dalam

darah

Alternatif terakhir

Glikokortikosteroid sistemik Metilpred-

sinolon/

Predsinolon

Tablet 4 mg

Setelah short course 24-30 mg/hari, turunkan

bertahap sampai 5 mg/hari atau 10 mg selang hari Triamsino-

lon Injeksi IM 40 mg setiap bulan

(7)

12

Penggunaan obat pengontrol dalam tata laksana asma jangka panjang disesuaikan pada tahapan pengobatan asma. Pada dasarnya, tahapan pengobatan asma dapat dilakukan berdasarkan status kontrol asma dan derajat berat asma [10].

1. Status Kontrol Asma

Gambar 2.1 Manajemen untuk mengontrol asma dan meminimalkan risiko dimasa mendatang

Status kontrol asma terdiri dari 5 tahap, yaitu tahap 1 sampai 5 seperti gambar diatas. Namun obat pengontrol yang didasarkan pada status kontrol asma, digunakan pada tahap 3 sampai 5 untuk jalur 1 dan tahap 2 sampai 5 untuk jalur 2. Hal ini dikarenakan tahap 1 dan 2 pada jalur 1 dan tahap 1 pada jalur 2 tidak diharuskan menggunakan obat penontrol. Oleh karena itu, untuk menilai kontrol gejala perlu ditanyakan hal-hal selama empat minggu terakhir, seperti frekuensi gejala asma (berapa hari dalam seminggu), terbangun dimalam hari karena asma atau keterbatasan aktivitas, dan frekuensi penggunaan pelega

(8)

13

untuk menghilangkan gejala. Komponen kedua untuk menilai pengendalian asma adalah mengidentifikasi apakah pasien berisiko buruk, terutama serangan, keterbatasan aliran udara yang menetap dan efek samping dari obat- obatan. Obat pengontrol berdasarkan status kontrol asma yang digunakan dalam pengobatan jangka panjang adalah sebagai berikut [10].

1) Obat pengontrol pada tahap 2 berupa ICS dosis rendah setiap hari dan dikombinasikan dengan SABA bila butuh, diperuntukkan untuk pasien yang memiliki kriteria sebagai berikut.

a. Pasien yang mempunyai gejala asma yang jarang tetapi pasien memiliki satu atau lebih faktor risiko serangan.

b. Pasien yang membutuhkan SABA lebih dua kali dalam seminggu.

c. Terbangun pada malam hari karena asma sekali atau lebih dalam sebulan.

2) Obat pengontrol pada tahap 3 berupa ICS dosis rendah-formoterol sebagai pengontrol dan pelega atau ICS-LABA dosis rendah ditambah SABA bila perlu diperuntukkan untuk pasien yang memiliki kriteria sebagai berikut.

a. Pasien yang mempunyai gejala asma yang hampir setiap hari.

b. Terbangun pada malam hari karena asma satu kali seminggu atau lebih.

c. Terutama pada pasien yang terdapat faktor risiko.

3) Obat pengontrol pada tahap 4 berupa ICS dosis sedang-formoterol sebagai pengontrol dan pelega atau ICS-LABA dosis sedang/tinggi ditambah SABA bila perlu, diperuntukkan untuk pasien yang memiliki kriteria sebagai berikut.

a. Pasien yang mempunyai gambaran awal asma berat yang tidak terkontrol atau eksaserbasi akut

b. Pasien yang menggunakan kortikosteroid oral jangka pendek.

4) Obat pengontrol pada tahap 5 berupa kombinasi ICS dosis tinggi-LABA, dapat ditambahkan teofilin, kortikosteroid dosis rendah, dan lain-lain yang merujuk pada fenotip diperuntukkan untuk pasien yang tidak memberikan respon adekuat dengan pengobatan tahap 4.

(9)

14 2. Derajat Berat Asma

Berdasarkan derajat berat asma dapat dibagi atas empat klasifikasi, yaitu intermiten, persisten ringan, persisten sedang dan persisten berat. Namun obat pengontrol yang didasarkan pada derajat berat asma hanya diperuntukkan untuk pasien persisten, yang mana didasarkan atas gejala klinis dan pemeriksaan faal paru. Obat pengontrol yang direkomendasikan adalah sebagai berikut [10].

1. Obat pengontrol berupa ICS dosis rendah diperuntukkan untuk asma persisten ringan.

2. Obat pengontrol berupa kombinasi ICS-LABA dosis sedang diperuntukkan untuk asma persisten sedang.

3. Obat pengontrol berupa kombinasi ICS-LABA dosis tinggi dan dapat pula ditambahkan OCS, LTRS, atau Teofilin lepas lambat diperuntukkan untuk asma persisten berat.

2.2 Kepatuhan Pengobatan

Kepatuhan merupakan salah satu komponen penting dalam pengobatan, terlebih lagi pada terapi jangka panjang pada penyakit kronis seperti asma [10]. Kepatuhan minum obat adalah langkah penting dalam pengobatan penyakit dan inkonsistensi pasien terhadap regimen dapat mengakibatkan kondisi kesehatan yang buruk, peningkatan biaya perawatan, dan waktu pemulihan yang lama [19]. Kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan menjadi faktor penting dalam tata laksana asma [3]. Kepatuhan pasien yang rendah berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas asma karena peningkatan kepatuhan sangat berpengaruh pada perbaikan fungsi paru-paru dan sebaliknya ketidakpatuhan akan mengurangi kualitas hidup dan meningkatkan biaya [9]. Kepatuhan pengobatan adalah suatu perilaku yang kompleks yang dipengaruhi oleh faktor-faktor selama menjalani rangkaian pengobatan, yang berhubungan dengan pasien, tenaga kesehatan, penyedia dan sistem kesehatan [19].

Mengatasi ketidakpatuhan obat adalah tugas yang sulit, dimana dimulai dengan mendeteksi ketidakpatuhan dalam praktik klinis. Ada beberapa cara berbeda untuk mengukur kepatuhan terhadap regimen pengobatan. Setiap pendekatan memiliki

(10)

15

kelebihan dan kekurangan. Pendekatan langsung, seperti pengukuran konsentrasi obat atau metabolitnya dalam darah, akan tetapi metode ini mahal dan memberatkan pasien. Oleh karena itu, metode tidak langsung seperti penggunaan kuesioner yang divalidasi lebih cocok untuk digunakan dalam praktik klinis. Salah satu kuesioner yang paling umum digunakan untuk menilai kepatuhan pengobatan adalah Morisky Medication Adherence Scale-8 (MMAS-8). Kuisioner ini awalnya dikembangkan untuk mengevaluasi kepatuhan pengobatan pada pasien hipertensi, namun sekarang telah banyak digunakan diberbagai populasi penyakit lainnya [18].

MMAS-8 sendiri telah diuji validitas dan realibilitasnya, hasilnya menunjukkan bahwa kuisoner MMAS-8 valid dan realibel [20]. Kelebihan kuesioner MMAS-8 dibandingkan kuisioner kepatuhan lain seperti MARS dan BMQ yaitu mampu mendokumentasikan alasan pasien tidak minum obat secara rinci, seperti mampu menunjukkan pasien tidak meminum obat jika gejala yang dirasakan membaik dan berhenti minum obat jika setelah meminumnya merasa lebih buruk [21].

MMAS-8 merupakan salah satu metode untuk mengukur kepatuhan pasien, yang terdiri dari 8 pertanyaan dimana masing-masing pertanyaan diberi skor 0 atau 1.

Pertanyaan nomor 1 sampai 4 dan 6 sampai 7 akan mendapat skor 1 jika menjawab tidak, sedangkan pertanyaan nomor 5 mendapat skor 1 jika menjawab ya dan pertanyaan nomor 8 mendapatkan skor 1 jika menjawab tidak pernah.

Kuesioner MMAS-8 berisi pertanyaan lupa mengonsumsi obat pada pertanyaan 1, 4, dan 8, serta tidak minum obat pada pertanyaan 2 dan 5. Pertanyaan berhenti minum obat pada nomor 3 dan 6, serta terganggu oleh jadwal minum obat pada pertanyaan 7 [9]. Kemudian skor yang diperoleh tersebut akan menentukan tingkat kepatuhan pasien. Dikatakan patuh bila memiliki skor >6 dan dikatakan tidak patuh bila skor ≤6 [22]. Sebuah penelitian yang dilakukan di DIY menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan sedang sebanyak 54%, kepatuhan rendah sebanyak 46%, dan tidak dijumpai pasien dengan kepatuhan tinggi [9].

(11)

16 2.3 Kontrol Asma

2.3.1 Definisi Kontrol Asma

Tingkat kontrol asma didefinisikan sejauh mana manifestasi asma dapat diamati pada pasien atau dapat dikurangi atau dihilangkan dengan pengobatan. Hal ini ditentukan oleh faktor latar belakang genetik pasien, proses penyakit yang mendasari, pengobatan yang diambil, lingkungan, dan faktor psikososial. Kontrol asma dikelompokkan menjadi 3 bagian, yaitu terkontrol penuh, terkontrol sebagian, dan tidak terkontrol. Kriteria ini didasarkan pada frekuensi gejala asma pada siang dan malam hari, kebutuhan pelega, faal paru, serta keterbatasan aktivitas fisik. Manajemen asma yang efektif memerlukan kerja sama antara penderita asma dengan penyedia layanan kesehatan. Hal ini memungkinkan penderita asma untuk mendapatkan pengetahuan, kepercayaan diri dan keterampilan untuk mengambil peran utama dalam pengendalian asma. Dengan self-management yang baik, morbiditas pada penderita asma dapat dikurangi [3].

Derajat kontrol asma dapat dinilai dari 4 pertanyaan berikut : 1. Apakah ada gejala siang hari > 2x/pekan?

2. Apakah pernah terbangun dimalam hari karena asma?

3. Apakah penggunaan pelega > 2x/pekan?

4. Apakah ada keterbatasan aktivitas akibat asma?

Pasien termasuk dalam kelompok terkontrol baik apabila tidak mengalami keempat hal tersebut. Terkontrol sebagian apabila mengalami hingga 2 hal dari pertanyaan tersebut dan tidak terkontrol bila mengalami 3 hingga 4 kondisi dari pertanyaan diatas. Selain derajat kontrol tersebut, ada beberapa faktor risiko yang dapat mengakibatkan kondisi tertentu pada pasien asma [10].

2.3.2 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kontrol Asma

Selain kepatuhan, terdapat faktor lain yang mempengaruhi kontrol asma yaitu sebagai berikut.

1. Usia

Salah satu faktor yang mempengaruhi kontrol asma adalah usia.

Meningkatnya usia seiring dengan terjadinya penurunan fungsi paru-paru dan

(12)

17

peradangan jalan nafas. Suatu penelitian menunjukkan bahwa kontrol asma pasien usia dewasa 3 kali lebih baik dibandingkan dengan lanjut usia. Fungsi paru pada lanjut usia umumnya sudah menurun dengan semakin lamanya menderita asma dan meningkatnya usia, akibat kakunya dinding paru, berkurangnya fungsi otot respirasi, dan terjadinya perubahan anatomi saluran nafas (airway wall remodeling) [23].

2. Jenis kelamin

Perempuan memiliki hubungan yang kuat dengan eksaserbasi asma. Hormon seks memiliki peranan dalam kesehatan sistem respirasi dan adanya fluktuasi hormon yang mempengaruhi eksaserbasi asma. Kekambuhan asma pada perempuan sering dikaitkan dengan siklus reproduksi. Fluktuasi hormon yang terjadi selama siklus menstruasi kemungkinan berperan penting dalam patofisiologi asma yang mengakibatkan perburukan gejala. Suatu penelitian mengatakan bahwa perubahan hormonal selama fase pre-ovulasi dan premenstruasi dapat menjadi faktor tambahan yang mencetuskan eksaserbasi asma selain faktor pencetus lainnya. Mekanismenya yaitu dengan adanya peningkatan respon inflamasi yang bertepatan dengan fluktuasi hormonal selama siklus menstruasi yang dibuktikan dengan peningkatan marker inflamasi seperti konsentrasi leukotriene dan jumlah eosinofil disputum.

Tercatat diantara orang dewasa yang berusia >18 tahun, sebesar 62%

perempuan lebih mungkin mengalami gejala asma dan angka prevalensinya sebesar 35% lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Selain itu mortalitas akibat asma pada pasien perempuan juga lebih tinggi [24].

3. Merokok

Morbiditas dan mortalitas pasien asma yang merokok lebih tinggi dibanding dengan pasien asma yang tidak merokok. Pasien asma yang merokok memiliki gejala asma yang lebih berat, membutuhkan pengobatan yang lebih banyak dan dapat memperburuk status kesehatan dibanding orang yang tidak merokok. Selain itu, merokok juga dapat mengakibatkan bronkokontriksi akut.

Pada pasien asma yang merokok, rata-rata membutuhkan perawatan di Rumah

(13)

18

Sakit dan cenderung terjadi peningkatan kunjungan ke Instalasi Gawat Darurat [25].

4. Indeks Massa Tubuh (IMT)

Salah satu faktor risiko penyebab asma adalah indeks massa tubuh (IMT).

IMT bersifat reversibel karena dapat dimodifikasi. Seseorang dengan IMT berlebih (over-weight obesitas) cenderung memiliki perubahan pada sistem tubuh yang menimbulkan perburukan pada asma sehingga menjadi tidak terkontrol. Pada obesitas terjadi peningkatan jaringan adiposa didinding dada dan dinding perut sehingga akan mensekresikan sitokin, leptin, TNF-ɑ dan IL- 6 secara berlebih dan mengakibatkan timbulnya efek pro-inflamasi pada saluran napas yang menyebabkan hiperresponsif sehingga menimbulkan obstruksi saluran napas. Hal ini membuat eksaserbasi semakin sering terjadi sehingga memperburuk status kontrol asma pasien [26].

IMT dapat dihitung menggunakan rumus :

IMT = Berat badan Kg Tinggi badan m 2

Hasil penghitungan IMT diklasifikasikan menjadi underweight, normal dan overweight, dengan rentang angka sebagai berikut:

Tabel 2.5 Klasifikasi kriteria IMT [27]

Klasifikasi IMT (Kg/m2) Underweight <18.5

Rentang Normal 1.8-22.9 Overweight

1. Beresiko 2. Obes I 3. Obes II

≥23 23-24.9 25-29.9

≥30

5. Komorbid

Beberapa komorbid seperti rinosinusitis dan refluks gastroesofagus biasanya sering ditemukan pada pasien asma, terutama pada asma berat. Komorbid dapat memperburuk gejala pernafasan, menurunkan kualitas hidup dan menyebabkan interaksi obat. Komorbid juga mempersulit terapi untuk menjadikan asma terkontrol. Oleh karenanya, usaha mengidentifikasi dan mengatasi komorbid sangat penting [10].

(14)

19 2.2.3 Instrumen Pengukur Kontrol Asma

Kontrol asma dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai parameter. Salah satu instrumen untuk mengukur kontrol asma yang sudah memiliki validitas adalah Asthma Control Test (ACT). ACT merupakan alat kontrol asma yang sederhana. Oleh karena itu, ACT dapat digunakan dalam praktek klinik sehari- hari. Kuesioner ACT dikeluarkan oleh American Lung Association (ALA).

Kuesioner ini bertujuan untuk memberikan kemudahan bagi dokter dan pasien untuk mengevaluasi penderita asma yang berusia diatas 12 tahun dan untuk menetapkan terapi pengontrolnya. Keunggulan dari kuesioner ini yaitu dapat diisi sendiri oleh penderita untuk mengontrol asmanya dan hasilnya memiliki ketepatan yang tinggi [28]. Selain itu, kuesioner ACT juga merupakan salah satu kuesioner yang direkomendasikan GINA dan PDPI untuk mengukur kontrol asma pasien [3],[10].

ACT merupakan suatu uji skrining berupa kuisioner tentang penilaian klinis seorang penderita asma untuk mengetahui asmanya terkontrol atau tidak. ACT terdiri dari 5 pertanyaan. Masing-masing pertanyaan mempunyai lima pilihan jawaban dengan skor 1 sampai 5. Kuesioner ACT berisi pertanyaan frekuensi tidak dapat beraktivitas, sesak nafas, dan terbangun dimalam hari karena asma pada pertanyaan 1, 2, dan 3, sedangkan penggunaan obat dan tingkat kontrol asma pada pertanyaan 4 dan 5 [9]. Nilai akhir kuesioner yang diperoleh dari nilai angka akumulasi digunakan untuk mengelompokkan derajat berat asma menjadi terkontrol baik jika nilai >19 dan tidak terkontrol jika nilai ≤19 [23].

ACT berguna untuk mengukur kontrol asma baik terkontrol maupun tidak terkontrol (buruk) [8]. ACT menilai tingkat kontrol asma secara subjektif namun validitasnya telah diuji dan dapat digunakan dengan mudah [29]. ACT valid, reliabel, dan responsif terhadap perubahan kontrol asma dari waktu ke waktu pada pasien yang sedang melakukan pengobatan khusus asma [30]. ACT telah dilakukan uji validitas dengan hasil r hitung sebesar 0,45 dan reliabel dengan nilai alpha cronchbach sebesar 0,83 [31]. ACT telah banyak digunakan, salah satunya telah digunakan pada penelitian di DIY yang menunjukkan sebanyak 74% pasien

(15)

20

tidak terkontrol, 26% pasien terkontrol sebagian, dan tidak ada pasien dengan kategori terkontrol penuh [32].

(16)

21 2.5 Kerangka Teori

Keterangan:

: Diteliti : Tidak diteliti

Gambar 2.2 Kerangka teori Pengobatan:

- Obat pengontrol

Kepatuhan pengobatan

Patuh Tidak patuh

Kontrol asma

Terkontrol baik Tidak terkontrol Asma

Status kontrol asma:

Gejala:

- Batuk - Sesak napas - Mengi

- Keterbatasan aliran udara

Derajat berat asma : - Intermiten - Persisten -

- Obat pelega - Add-on therapies

Faktor yang mempengaruhi:

- Usia

- Jenis kelamin - Status merokok - IMT

- Komorbid - Tahap 2

- Tahap 3 - Tahap 4 - Tahap 5 - Tahap 1

(17)

22 2.6 Kerangka Konsep

Keterangan:

: Dikendalikan

: Tidak dikendalikan

Gambar 2.3 Kerangka konsep Variabel bebas:

Kepatuhan penggunaan obat pengontrol diukur menggunakan MMAS-8

Variabel perancu:

- Usia

- Jenis kelamin - Merokok - IMT - Komorbid

Variabel terikat:

Kontrol asma pasien diukur menggunakan ACT

Referensi

Dokumen terkait

Kata hôpital (bahasa Prancis) yang penulisannya sedikit berbeda juga dapat dipahami siswa sebagai makna lain dari kata hospital (bahasa Inggris) yang berarti

Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan penelitian untuk mengetahui jenis fungi yang mampu berperan aktif merombak atau mendekomposisi serasah daun Macaranga

Melihat bagaimana proses kasasi mulai dari pengajuan sampai dengan Majelis Hakim membuat putusan dimana terdakwa meninggal dunia, apakah proses sudah dijalankan

Rendahnya pengaruh antara kinerja guru terhadap prestasi belajar siswa, pada dasarnya tidak dapat dihubungakan secara langsung dengan proses pembelajaran

Dari latar belakang pemikiran di atas, maka sangat menarik untuk dilakukan sebuah kajian tentang bagaimana strategi yang dilakukan partai-partai politik dalam

Regulasi • Belum adanya national policy yang terintegrasi di sektor logistik, regulasi dan kebijakan masih bersifat parsial dan sektoral dan law enforcement lemah.. Kelembagaan

Hasil Pemantauan Orientasi petugas untuk prosedur dan praktek keselamatan/keamanan kerja Hasil Pemantauan Pemenuhan persyaratan kompetensi petugas sesuai SPO.

Kami juga akan memberikan dukungan dan pantauan kepada yang bersangkutan dalam mengikuti dan memenuhi tugas-tugas selama pelaksanaan diklat online. Demikian