KETIMPANGAN DISTRBUSI FASILTAS PENDIDIKAN MENGHAMBAT PROSES PEMBELAJARAN DI MALUKU Oleh Julius R. Latumaerissa
Dosen Fakultas Ekonomi Unitomo Surabaya dan Pemerhati Pembangunan di Maluku
Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen secara tegas menyatakan bahwa kedudukan guru sebagai tenaga profesional berfungsi meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru menyebutkan bahwa guru memiliki beban kerja paling sedikit 24 jam tatap muka dan sebanyak-banyaknya 40 jam tatap muka per minggu. Nafas yang terkandund di sini adalah bahwa mutu pendidikan ada di tangan guru, dengan seluruh stakeholders pendidikan yang ada.
Dengan demikian persosalan pendidikan yang di dalamnya terdapat guru seyogyanya di posisikan pada proporsi yang sesuai.
Di sisi lain terkonsentrasinya guru di perkotaan menyebabkan sekolah di perdesaan kekurangan guru, padahal rasio guru dengan murid di Indonesia sudah ideal karena jauh melampaui rasio guru murid di berapa negara maju seperti Korea Selatan, Jepang, dan Malaysia. Rasio guru murid di Indonesia 1:14, sedangkan Korsel 1:30, Malasya 1:25, dan Jepang 1:20. tetapi yang menjadi persoalan adalah distribusi yang tidak merata karena guru-guru menumpuk di sekolah perkotaan, sedangkan di perdesaan masih kekurangan guru. Akibat terlalu banyak guru di perkotaan menyebabkan sebagian dari mereka kekurangan jam mengajar yang seharusnya minimal 24 jam per minggu. Pemerataan sarana dan prasarana pendidikan merupakan suatu prasyarat awal dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan. Oleh karenanya, merupakan hal yang penting untuk mendapatkan gambaran kondisi pemerataan sarana dan prasarana pendidikan, agar kebijakan di bidang pendidikan khususnya di bidang sarana dan prasarana dapat lebih tepat arah dan tepat sasaran, yang di tandai dengan beberapa perhitungan rasio sebagai indicator dalam dunia pendidikan
1. PERBANDINGAN ANTAR JENJANG PENDIDIKAN (PAJ)
Perbandingan Antar Jenjang Pendidikan (PAJ) di definisikan sebagai perbandingan antara jumlah sekolah pada jenjang pendidikan tertentu dengan jumlah sekolah pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Dikalikan dengan 100. Ini digunakan untuk mengetahui kesenjangan antara jumlah sekolah pada jenjang lebih rendah dengan sekolah pada jenjang yang lebih tinggi, diman makin tinggi nilai perbandingan antar jenjang (PAJ) berarti makin besar kesenjangan antara sekolah jenjang pendidikan tertentu dengan jenjang yang lebih tinggi.
Tabel-1: Rasio Jenjang Pendidikan
Kabupaten/Kota Sekolah Rasio
SD SMP SMA SD/SMP SMP/SMA
Maluku Tenggara Barat 128 59 20 217 295
Maluku Barat Daya 152 52 18 292 288
MalukuTenggara 142 40 16 355 250
Maluku Tengah 376 108 49 348 220
Buru 124 33 16 375 225
Bur Selatan 84 26 12 323 217
Kepulauan Aru 136 32 11 425 291
Seram Bagian Barat 69 71 37 97 192
Seram Bagian Timur 132 46 20 287 230
Kota Ambon 183 47 43 389 109
Kota Tual 43 45 11 95 .96
Maluku 2.214 740 341 299 217
Sumber: Maluku Dalam Angka, 2014, data diolah kembali
Dengan memperhatikan Tabel-1 di atas terlihat bagaimana kesenjangan antara jenjang pendidikan setiap Kabupaten/Kota. Dengan membandingkan jumlah murid pada jenjang SD/SMP dan SMP/SMA di masing-masing Kabupaten/Kota dapat dijelaskan bahwa ada 6 Kabupaten/Kota dengan jenjang pendidikan tertinggi masing-masing Kepulauan Aru, Kota Ambon, Buru, Maluku Tenggara, Maluku Tengah dan Buru Selatan, sementara jenjang pendidikan terendah adalah Kabupaten SBB dan Kota Tual. Jenjang pendidikan seperti di atas menunjukkan bahwa tidak seluruhnya jumlah murid yang mengikuti jenjang pendidikan di SD/SMP yang melanjut ke SMP/SMA.
Secara umum jenjang pendidikan ini menggambarkan bahwa bila dibandingkan antara murid yang mengikuti jenjang pendidikan di tingkat SD/SMP dengan SMP/SMA, secara rata-rata jumlah murid di SD/SMP hampir 1,5 kali dari jumlah murid di jenjang SMP/SMA. Ukuran ini menunjukkan bahwa memang jumlah murid ini mengalami kesenjangan yang disebabkan alasan ekonomi karena di mana semakin tinggi jenjang pendidikan akan membutuhkan biaya yang semakin tinggi juga atau dikarenakan oleh preferensi usia sekolah mengikuti jenjang pendidikan lebih tinggi semakin menurun.
2. RASIO MURID TERHADAP SEKOLAH
Rasio murid per sekolah di definisikan sebagai perbandingan antar jumlah murid dengan jumlah sekolah pada jenjang pendidikan tertentu untuk mengetahui rata-rata besarnya kepadatan sekolah di suatu daerah. Semakin tinggi angka rasio, berarti tingkat kepadatan sekolah makin tinggi.
Pada umumnya terdapat suatu pola bahwa makin tinggi jenjang pendidikan makin padat jumlah murid di sekolah. Kondisi ini juga menunjukkan makin tinggi jenjang pendidikan, makin kurang jumlah sekolahnya
Tabel-2: Rasio Murid Terhadap Sekolah
Kabupaten /Kota
SD SMP SMA
S M Rasio
M/S S M Rasio
M/S S M Rasio
M/S
MTB 128 19.835 154.96 59 6888 116.75 20 3.915 195.75
MBD 152 13.413 88.24 52 4512 86.76 18 3.860 214.44
Mal.Tenggara 142 16.782 118.18 40 5772 144.30 16 4.162 260.13 Mal.Tengah 376 56.810 151.09 108 20.865 193.19 49 8.536 174.20
Buru 124 18.807 151.66 33 6398 193.87 16 3.455 215.94
Bursel 84 11.032 131.33 26 3817 146.80 12 3.986 332.17
Kep. Aru 136 15.458 113.66 32 4772 149.13 11 1.171 106.45
SBB 69 26.243 380.33 71 10.810 152.25 37 5.208 140.76
SBT 132 21.682 164.25 46 5676 123.39 20 2.163 108.15
Kota Ambon 183 38.634 211.11 47 16.692 355.15 43 21.177 492.49
Kota Tual 43 8.431 196.07 45 3900 86.67 11 2917 265.18
Maluku 2.214 318.233 143.74 740 92.213 123.61 341 83.395 244.56 Sumber: Maluku Dalam Angka, 2014, data diolah kembali
Catatan: S = Sekolah, M = Murid
Dari data Tabel-2 di atas dapat dikatakan bahwa rata-rata jumlah murid per sekolah untuk tingkat SD mencapai 144 orang. Akan tetapi di Kabupaten MBD mencapai rasio terendah dengan jumlah murid yang paling rendah sebesar 88 murid. Untuk tingkat SMP rata-rata murid per sekolah mencapai 124 orang, dengan jumlah murid per sekolah terendah di Kota Tual dan Kabupaten MBD sebesar 87 orang murid per sekolah. Untuk tingkat SMA rata-rata jumlah murid per sekolah mencapai 245 orang dengan jumlah murid terendah mencapai 108 murid per sekolah di Kabupaten SBT
Untuk jenjang pendidikan SD rata-rata jumlah murid adalah 144 orang saja, sementara semakin ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi jumlah murid semakin tinggi. Namun untuk Maluku untuk SMP jumlah rata-rata murid per sekolah lebih rendah dari SD yaitu 124 murid, tetapi untuk SMA angka rata-rata naik lebih besar dari SD dan SMP sebesar 245 murid per kelas. Dari gambaran jumlah murid
persekolah seperti ini dapat ditunjukkan bahwa semakin tinggi rasio murid dengan kelas maka semakin efisien PBM di satu sekolah karena semakin intensif pemakaian sumberdaya yang ada.
3. RASIO MURID TERHADAP KELAS
Rasio murid per kelas didefinisikan sebagai perbandingan antara jumlah murid dengan jumlah kelas pada jenjang pendidikan tertentu. Hal ini digunakan untuk mengetahui rata-rata besarnya kepadatan kelas di suatu sekolah atau daerah tertentu, di mana Semakin tinggi angka rasio, berarti tingkat kepadatan kelas makin tinggi
Tabel-3: Rasio Murid Terhadap Kelas
Kabupaten /Kota
SD SMP SMA
M K Rasio
M/K M K Rasio
M/K M K Rasio
M/K
MTB 19.835 756 26.23 6888 211 32.64 3.915 106 36.93
MBD 13.413 912 14.71 4512 250 18.05 3.860 80 48.25
Mal. Tenggara 16.782 852 19.70 5772 274 21.07 4.162 109 38.18 Mal .Tengah 56.810 2262 25.11 20.865 814 25.63 8.536 606 14.09
Buru 18.807 798 36.21 6398 233 27.46 3.455 70 49.36
Bursel 11.032 498 22.15 3817 210 18.18 3.986 47 84.81
Kep. Aru 15.458 822 18.81 4772 186 25.66 1.171 45 26.02
SBB 26.243 960 27.33 10.810 349 30.97 5.208 168 31.00
SBT 21.682 846 25.63 5676 254 22.35 2.163 81 26.70
Kota Ambon 38.634 1164 33.19 16.692 520 32.10 21.177 436 48.57
Kota Tual 8.431 288 29.27 3900 129 30.23 2917 52 56.10
Maluku 318.233 13.584 23.43 92.213 4.275 21.66 83.395 2.581 32.31 Sumber: Maluku Dalam Angka, 2014, data diolah kembali
Catatan: K = Kelas, M = Murid
Berdasarkan Tabel-3 di atas dapat dapat dikatakan bahwa untuk jenjang pendidikan SD rasio tertinggi ada di Kabupaten Buru sebesar 36,21 dan Kota Ambon sebesar 33,19, sedangkan rasio terendah di Kabupaten MBD sebesar 14,71 dan Kabupaten Maluku Tenggara. Untuk jenjang pendidikan SMP rasio tertinggi ada di Kabupaten MTB sebesar 32.64, Kota Ambon sebesar 32,10 dan Kota Tual sebesar 30,23, dan rasio terendah di Kabupaten MBD dan Kabupaten Buru Selatan masing-masing sebesar 18,05 dan 18.18. Untuk jenjang pendidikan SMA, rasio tertinggi di Kabupaten Buru Selatan, sebesar 84,81, di ikuti Kota Tual 56,10, Kabupaten Buru 49,36, Kota Ambon sebesar 48,57 dan Kabupaten MBD 48,25. Sedangkan rasio terendah di Kabupaten Maluku Tengah sebesar 14,09.
Dari angka-angka di atas dan membandingkan tingkat rasio murid per kelas maka dapat dijelaskan sebagai berikut: Untuk tingkat SD terlihat bahwa Kabupaten/Kota di Maluku yang memenuhi ketercukupan murid di kelas jika dibandingkan dengan rasio standar bahwa satu kelas dapat ditempati oleh 20 murid adalah Kabupaten MBD, Kabupaten Maluku Tenggara dan Kabupaten Kepulauan Aru, sedangkan 8 Kabupaten/Kota yang lain tidak memenuhi standar baku karena melebih 20 murid dalam satu kelas. Hal ini mengindikasikan bahwa pada delapan Kabupaten/Kota tersebut terjadi kekurangan ruang kelas sehingga terjadi kepadatan murid per kelas dan ini akan berimplikasi kepada mutu proses belajar mengajar. Sementara itu pada jenjang SMP Kabupaten/Kota yang memenuhi standar minimal 20 murid per kelas adalah Kabupaten MBD dan Kabupaten Buru Selatan, sedangkan sembilan Kabupaten/Kota yang lain telah melebihi batas standar 20 murid per kelas.
Hal ini menunjukan bahwa pada sembilan Kabupaten/Kota terdapat kekurangan ruang kelas sehingga berdampak pada kualitas dan efektifitas PBM. Selanjutnya untuk jenjang pendidikan SMA hanya 1 Kabupaten yang memenuhi standar baku 20 murid per kelas adalah Kabupaten Maluku Tengah, sedangkan 10 Kabupaten/Kota yang ada di Maluku memiliki tingkat kepadatan murid di kelas yang sangat tinggi dan pasti berdampak pada efektifitas pembelajaran. Kepadatan tersebut menunjukan
terjadi kekuarangan ruang kelas, sehingga perlu di bangun atau tambahan ruang kelas baru (RKB) agar dapat menbgurangi tingkat kepadatan murid per kelas. Kekurangan murid di sisi lain juga secara implisit menunjukkan adanya gejala kelebihan ruang yang mengakibatkan rasio murid dengan kelas rendah. Artinya ruang dan fasilitas yang juga dapat disebut sarana dan prasarana belum termanfaatkan secara maksimal.
4. RASIO MURID TERHADAP GURU
Rasio murid per guru dididefinisikan sebagai perbandingan antara jumlah murid dengan jumlah guru pada jenjang pendidikan tertentu dengan tujuan untuk mengetahui rata-rata jumlah guru yang dapat melayani murid di suatu sekolah pada daerah tertentu. Jika rasio tinggi, ini berarti satu orang guruharus melayani banyak murid. Banyaknya murid yang diajarkan akan mengurangi daya tangkap murid pada pelajaran yang diberikan atau mengurangi efektivitas pengajaran.
Tabel-4: Rasio Murid Terhadap Guru
Kabupaten /Kota
SD SMP SMA
M G Rasio
M/G M G Rasio
M/G Mrid Gru Rasio M/G
MTB 19.835 8325 2.38 6888 777 8.64 3.915 554 7.06
MBD 13.413 642 20.89 4512 420 10.74 3.860 413 9.34
Mal. Tenggara 16.782 1172 14.32 5772 584 9.88 4.162 347 11.99 Mal .Tengah 56.810 4460 12.74 20.865 1035 20.16 8.536 2.112 4.04
Buru 18.807 1267 14,84 6398 339 18.87 3.455 268 12.89
Bursel 11.032 509 21.67 3817 264 14.46 3.986 104 38.33
Kep. Aru 15.458 746 20.72 4772 487 9.80 1.171 145 8.07
SBB 26.243 2017 13.01 10.810 866 12.48 5.208 461 11.29
SBT 21.682 964 22.49 5676 440 1.90 2.163 152 14.23
Kota Ambon 38.634 2875 13.44 16.692 1696 9.84 21.177 1.102 19.21 Kota Tual 8.431 477 17.66 3900 272 14.33 2917 182 16.03 Maluku 318.233 20.414 15.49 92.213 9.133 10.10 83.395 8.058 10.35 Sumber: Maluku Dalam Angka, 2014, data diolah kembali
Catatan: G = Guru, M = Murid
Sebagaimana di katakana bahwa indikator rasio murid per guru menunjukan efektifitas seorang guru dibanding dengan jumlah murid yang di layani. Berdasarkan ketentuan standar bahwa efektifitas seorang guru dalam melayani murid di kelas sebsar 20 artinya seorang guru akan efektif dalam mengajar jika melayani 20 murid per kelas. Tabel-5 di atas menunjukan bahwa pada jenjang SD rasio terendah di Kabupaten MTB di mana seorang guru hanya melayani 2 murid di kelas. Hal ini menunjukan bahwa terjadi kekurangan murid SD dan terdapat kelebihan guru SD di MTB, sedangkan 10 Kabupaten yang lain hampir semua mendekati ketercukupan murid di kelas sesuai standard baku.
Untuk jenjang SMP semua Kabupaten/Kota menunjukan angka rasio di bawah 20 berarti masih belum memenuhi atau mendekati standar 20 murid per kelas. Angka di atas juga menu njukan bahwa terjadi kekuarangan murid pada jenjang SMP di beberapa Kabupaten/Kota di Maluku. Rasio terendah di kabupaten SBT di mana seorang guru hanya melayani 1 murid di kelas, di ikuti oleh Kabupaten MTB, Kepulauan Aru dan Maluku Tenggara, masing-masing sebesar 8 murid per kelas, 9 murid per kelas untuk Kepualauan Aru dan Maluku Tenggara.
Untuk jenjang pendidikan SMA hampir semua Kabupaten/Kota di Maluku belum atau mendekati standard 20 murid per kelas, kecuali Kabupaten Buru Selatan memili rasio paling tinggi dan melebihi angka standard yaitu 38 murid per kelas yang di layani oleh seorang guru. Kondisi tersebut menunjukan bahwa di Kabupaten Bursel terjadi kekuarang Guru SMA sehingga diperlukan penambahan guru SMA guna menunjang PBM. Sedangkan Kabupaten/Kota yang mengalami kelebihan guru SMA karena kekurangan murid SMA yang harus di layani adalah Kabupaten Maluku Tengah di mana seorang guru hanya melayani 4 murid di kelas, Kabupaten MTB seorang guru
melayani 7 murid per kelas, Kabupaten Kepulauan Aru seorang guru melayani 8 orang murid per kelas, dan Kabupaten MBD seorang guru melayani 9 murid per kelas.
Angka ini menggambarkan hal yang sama yaitu kurang efisien-nya praktek PBM di jenjang pendidikan SD, SMP dan SMA karena kelebihan guru dibanding dengan murid yang harus di layani.
Hal ini dapat terjadi karena kebijakan makro di satu sisi membangun sekolah dasar yang dilakukan tanpa memperhatikan potensi murid dan prediksi ke depan. Prediksi ini khususnya berkaitan dengan angka pertumbuhan penduduk yang cenderung terkendali akibatnya jumlah penduduk yang mengikuti pendidikan semakin berkurang.
5. RASIO KELAS TERHADAP GURU
Rasio Kelas per Guru didefinisikan sebagai perbandingan antara jumlah kelas dengan jumlah guru pada suatu jenjang pendidikan tertentu dengan tujuan untuk mengetahui kekurangan / kelebihan guru yang mengajar di kelas pada suatu daerah tertentu. Makin tinggi angka rasio, berarti makin banyak juga jumlah kelas yang harus di isi pelajaran oleh guru dan ini berarti juga konsentrasi mengajar guru makin terpecah.
Tabel-5: Rasio Kelas Terhadap Guru
Kabupaten /Kota
SD SMP SMA
K G Rasio
K/G K G Rasio
K/G K G Rasio K/G
MTB 756 8325 0.09 211 777 0.27 106 554 0.19
MBD 912 642 1.42 250 420 0.59 80 413 0.19
Mal. Tenggara 852 1172 0.72 274 584 0.47 109 347 0.31
Mal .Tengah 2262 4460 0.51 814 1035 0.79 606 2.112 0.29
Buru 798 1267 0.63 233 339 0.69 70 268 0.26
Bursel 498 509 0.97 210 264 0.79 47 104 0.45
Kep. Aru 822 746 1.10 186 487 0.38 45 145 0.31
SBB 960 2017 0.47 349 866 0.40 168 461 0.36
SBT 846 964 0.88 254 440 0.58 81 152 0.53
Kota Ambon 1164 2875 0.41 520 1696 0.30 436 1.102 0.40
Kota Tual 288 477 0.60 129 272 0.47 52 182 0.29
Maluku 13.584 20.414 0.67 4.275 9.133 0.47 2.581 8.058 0.32 Sumber: Maluku Dalam Angka, 2014, data diolah kembali
Catatan: K = Kelas, G = Guru
Dari data rasio pada Tabel-5 menunjukan bahwa rasio kelas terhadap guru pada jenjang SD di 9 Kabupaten/Kota memiliki angka rasio kelas terhadap guru di bawah 1 atau < 1. Sedangkan 2 Kabupaten lainnya memiliki rasio > 1, masing-masing Kabupaten MBD sebesar 1,42 dan Kepulauan Aru sebesar 1,10, dan hal ini menunjukan bahwa di kedua Kabupaten tersebut terdapat banyak kelas yang harus di isi mata pelajaran oleh guru yang ada, itu berarti bahwa kegiatan belajar tidak efektif karena terjadi kelangkaan guru. Sedangkan pada jenjang SMP dan SMA angka rasio kelas terhadap guru untuk semua Kabupaten/Kota di bawah 1 atau < 1. Kondisi ini menjelaskan bahwa pada jenjang SMP dan SMA di semua Kabupaten/Kota berjalan secara efektif
6. RASIO GURU TERHADAP SEKOLAH
Rasio Guruper Sekolah didefinisikan sebagai perbandingan antara jumlah gurudibandingkan dengan jumlah sekolah pada suatu jenjang pendidikan tertentu untuk mengetahui kekurangan/kelebihan guruyang mengajar di sekolah pada suatu daerah tertentu, di mana makin rendah angka rasio, berarti makin terbatas juga jumlah tenaga pengajar yang mengajar di suatu sekolah tertentu.
Tabel-6: Rasio Guru Terhadap Sekolah
Kabupaten /Kota
SD SMP SMA
S G Rasio
G/S S G Rasio
G/S S G Rasio G/S
MTB 128 8325 65.03 59 777 13.17 20 554 27.70
MBD 152 642 4.22 52 420 8.08 18 413 22.94
Mal. Tenggara 142 1172 8.25 40 584 14.60 16 347 21.69
Mal .Tengah 376 4460 11.86 108 1035 9.58 49 2.112 43.10
Buru 124 1267 1.22 33 339 10.27 16 268 16.75
Bursel 84 509 6.06 26 264 10.15 12 104 8.66
Kep. Aru 136 746 5.49 32 487 15.22 11 145 13.18
SBB 69 2017 29.23 71 866 12.20 37 461 12.46
SBT 132 964 7.30 46 440 9.57 20 152 7.60
Kota Ambon 183 2875 15.71 47 1696 36.09 43 1.102 25.63
Kota Tual 43 477 11.09 45 272 6.04 11 182 16.55
Maluku 2.214 20.414 9.22 740 9.133 12.34 341 8.058 23.71 Sumber: Maluku Dalam Angka, 2014, data diolah kembali
Catatan: S = Sekolah, G = Guru
Dari gambaran Tabel-6 di atas dapat di jelaskan bahwa untuk tingkat SD, rasio guru per sekolah rata- rata di Maluku adalah 9,22 dengan rasio terendah ada di Kabupaten Buru di mana secara rata-rata seorang guru hanya mengajar 1 orang murid, dan kedua ada di Kabupaten MBD, Kepulauan Aru, Buru Selatan, SBT dan Kabupaten Maluku Tenggara, masing-masing di mana seorang guru hanya mengajar 4 murid, 5 murid, 6 murid, 7 murid dan 8 murid. Hal ini berarti pada daerah-daerah tersebut terjadi kelangkaan guru SD. Keadaan di atas berbeda dengan keadaan di SMP di Maluku di mana rata-rata seorang guru mengajar 12 orang murid di mana rasio terendah di empat Kabupaten/Kota masing-masing Kota Tual seorang guru hanya mengajar 6 murid, MBD 8 murid, Maluku Tengah 9 murid dan SBT 9 murid, Untuk jenjang SMA rasio terendah di Kota Ambon dan Buru Selatan masing-masing sebesar 7 murid di layani seorang guru dan 8 murid.
Berdasarkan hasil perhitungan dan analisis rasio-rasio pendidikan di atas maka secara umum saya katakana bahwa terjadi ketimpangan distribusi sarana dan prasana pendidikan di berbagai Kabupaten/Kota di Maluku yang di indikasikan dengan ada beberapa Kabupaten/Kota yang memiliki kelebihan guru di bandingkan dengan ketersediaan sekolah dan murid menyebabkan INEFISIENSI anggaran/keuangan daerah dan SDM. Sebaliknya terjadi kelebihan murid atas sekolah dan guru karena pola perencanaan pembangunan sekolah tidak di dasarkan kepada perhitungan potensi siswa pada masing-masing daerah yang ada di masing-masing Kabupaten. Fenomena lain yang dapat di cermati adalah kekurangan guru di beberapa Kabupaten/Kota yang mengakibatkan proses belajar mengajar (PBM) pada sekolah-sekolah tertentu menjadi tidak efektif karena konsentrasi guru akan terpecah sehingga tidak mampu mengajar secara optimal
Persoalan lain yang spesifik menonjol di Maluku adalah banyak murid atau penduduk usia sekolah yang lulus pada jenjang SD tidak mampu melanjutkan pendidikannya di jenjang yang lebih tinggi SMP dan jenjang SMP ke SMA. Hal ini disebabkan alasan-alasan ekonomi masyarakat dalam proses pembiayaan, karena semakin tinggi jenjang pendidikan maka biaya pendidikan juga semakin besar.
Kondisi ini yang menyebabkan angka putus sekolah (APK) setiap Kabupaten/Kota di Maluku pada berbagai jenjang khususnya SD meningkat. Untuk semua hal tersebut di atas di perlukan perhatian dan penanganan pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota yang LEBIH CEPAT, dan TEPAT.
SEMOGA BERMANFAAT