13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penelitian Terdahulu
Penelitian yang dilakukan oleh Efendi (2016)bertujuan untuk mengetahui penerapkan pertanian berkelanjutan dalam pertanian di Indonesia mendukung produksi tanaman. Penulisan ini menggunakan metode tinjauan literatur (library research). Dari pembahasan dapat disimpulkan bahwa kondisi pertanian sekarang belum berkelanjutan, karena hasil panen secara fisik merupakan ukuran keberhasilan kelestarian produksi pertanian. Pertanian organik merupakan salah satu teknologi alternatif yang memberikan berbagai hal positif, yang dapat diterapkan pada usaha tani produk-produk bernilai komersial tinggi dan tidak mengurangi produksi. Untuk menerapkan pertanian ramah lingkungan dan berkelanjutan, perlu dilakukan upaya sosialisasi pemasyarakatan mengenai pentingnya pertanian yang ramah lingkungan dan penggalakkan konsumsi produk hasil pertanian organik.
Penelitian berikutnya yaitu dilakukan oleh Dadi (2021) keberhasilan pembangunan pertanian selama ini telah memberikan dukungan yang sangat tinggi terhadap pemenuhan kebutuhan dan ketahanan pangan rakyat Indonesia, namun perlu disadari bahwa dibalik keberhasilan tersebut terdapat beberapa kelemahan-kelemahan yang perlu diperbaiki secara mendalam, melalui penerapan sistem pertanian berkelanjutan yang berbasis pada pertanian organik, di harapkan masyarakat Indonesia mampu meningkatkan pendapatan ekonomi secara berkelanjutan, sistem pertanian berkelanjutan sendiri dapat di artikan sebagai salah satu proses yang memfokuskan pada pengembangan usaha tani yang bersifat holistik, ramah lingkungan, serta dapat diterima oleh masyarakat secara menyeluruh, selain itu terdapat beberapa model sistem usaha tani yang sering di temukan di Indonesia, salah satunya pembangunan pertanian organik. Penelitian ini menggunakan metode studi kasus dengan pendekatan kualitatif serta analisis triangulasi data, hasil penelitian menjelaskan bahwa konsep usaha tani melalui pertanian organik bertumpu pada produktivitas hewan dan juga tumbuhan selain
14
itu prosesnya bergantung pada pemeliharaan sumber daya alam dalam jangka waktu yang panjang,pertanian organik sendiri merupakan suatu model yang di desain dan di kelola dengan sedemikian rupa, tujuannya berpusat pada pembatasan penggunaan pupuk anorganik serta mampu menyediakan hara bagi tanaman dan mampu memperbaiki kondisi lahan dan yang paling utama dapat menjaga keseimbangan ekosistem secara menyeluruh.
Penelitian yang dilakukan oleh Juansah et al., (2019) bertujuan untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan program desa pertanian organik yang dilakukan oleh Kelompok Tani Sarinah Organik dan kendala apa saja yang muncul selama pelaksanaan program. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan teknik pendekatan studi kasus. Dalam penelitian ini digunakan model analisis data Miles and Huberman. Hasil penelitian menunjukan bahwa kelompok tani Sarinah Organik telah melaksanakan semua tahapan program desa pertanian organik. Hal ini dilihat dari bertambah luasnya lahan sawah tersertifikasi sebanyak 18,337 hektar dan jumlah petani organik sebanyak 44 orang. Sementara itu, kendala yang muncul selama pelaksanaan program adalah kurangnya pengetahuan petani tentang sistem pertanian organik, kendala dalam menentukan calon petani organik, kendala dalam menentukan wilayah pengembangan organik, dan tidak berjalannya kegiatan pembuatan pupuk dan pestisida organik yang berkelanjutan.
Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Fatmawaty dkk., (2017) yang mempunyai tujuan jangka panjang dari kegiatan pengabdian pada masyarakat ini untuk mewujudkan kampung organik melalui pengelolaan dan pengembangan potensi pertanian organik dan agribisnis, sehingga diharapkan dapat meningkatan produksi tanaman pertanian yang ramah lingkungan. Secara garis besar, metode/pendekatan yang digunakan agar upaya mewujudkan kampung organik melalui pengembangan potensi pertanian organik dan sistem agribisnis secara menyeluruh dan simultan ke masyarakat tepat sasaran sehingga terjadi peningkatan kemampuan dan keterampilan masyarakat adalah partisipatif, Focus Group Discussion (FGD) dengan alat analisis Descriptive. Setiap kegiatan dimulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai dengan evaluasi, yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung, misalnya melalui gelar teknologi, temu aplikasi
15
paket teknologi, temu usaha/agribisnis, temu lapang (seperti penyuluhan secara berkelanjutan tentang pengelolaan dan pemanfaatan potensi pertanian organik).
Adapun hasil Kegiatan yang telah dilakukan antara lain: Pelatihan pembuatan pupuk organik dengan melibatkan warga sekitar menggunakan limbah organik dilingkungan rumah, sosialisasi dan pemanfaatan potensi dan limbah pertanian menjadi produk unggulan, kegiatan penanaman, sosialisasi dan pembuatan kebun percontohan kawasan rumah pangan lestari (KRPL) di pekarangan rumah dengan memanfaatkan barang bekas rumah tangga, pelatihan pembuatan kerajinan tangan dari cengkeh, dan sosialisasi pemanfaatan potensi desa pada usia remaja.
Penelitian yang dilakukan oleh Fadlina et al., (2013) bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis: 1) perencanaan pengembangan pertanian organik di Kota Batu; 2) strategi untuk mewujudkan keberlajutan perencanaan pengembangan pertanian organik di Kota Batu; 3) stakeholder dalam perencanaan pengembangan pertanian organik di Kota Batu; 4) faktor-faktor pendukung dan penghambat dalam perencanaan pengembangan pertanian organik di Kota Batu.
Hasil penelitian menunjukkan beberapa hal, yaitu: 1) perencanaan dilakukan dengan pendekatan politis, teknokratis, partisipatif, serta top down dan bottom up planning yang penerapannya disesuaikan dengan konteks perencanaan. Teknis perencanaan dan pelaksanaan dilakukan melalui koordinasi antar bidang dan antar anggota panitia pelaksana teknis; 2) belum ada keterpaduan antar sektor yang terkait pada kawasan pertanian organik di Kota Batu; 3) stakeholder yang terlibat meliputi unsur pemerintah, perguruan tinggi, praktisi dan petani. Masih ada stakeholder yang belun dilibatkan dalam perencanaan; 4) faktor pendukung diantaranya potensi SDA, dukungan sosial kemasyarakatan, dan pendukung lainnya seperti media massa. Faktor penghambat meliputi kendala teknis di lapangan; pola pikir petani yang cenderung konvensional; serta kendala administrasi.
B. Kerangka Teori 1. Kebijakan Publik
Istilah “kebijakan” atau “policy” dipergunakan untuk menunjuk perilaku seorang aktor (misalnya seorang pejabat,suatu kelompok maupun suatu badan
16
pemerintah) atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu. Pengertian kebijakan seperti ini dapat kita gunakan dan relatif memadai untuk keperluan pembicaraan-pembicaraan biasa, namun menjadi kurang memadai untuk pembicaraan-pembicaraan yang lebih bersifat ilmiah dan sistematis menyangkut analisis kebijakan publik.
Winarno (2008) menyebutkan secara umum istilah “kebijakan” atau “policy”
digunakan untuk menunjuk perilaku seorang aktor (misalnya seorang pejabat, suatu kelompok maupun suatu lembaga pemerintahan) atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu, pengertian kebijakan seperti ini dapat kita gunakan dan relatif memadai untuk pembicaraan-pembicaraan-pembicaraan biasa, namun menjadi kurang memadai untuk pembicaraan-pembicaraan yang kebih bersifat ilmiah dan sistematis menyangkut analisis kebijakan publik oleh karena itu diperlukan batasan atau konsep kebijakan publik yang lebih tepat.
Menurut Thomas R.Dye sebagaimana dikutip dalam Agustino (2006) yang mendefenisikan bahwa” kebijakan publik adalah apa yang dipilih oleh pemerintah untuk dikerjakan atau tidak dikerjakan”. Dalam defenisi yang diungkapkan Dye tersebut kita dapat memahami bahwa pemerintah merupakan selaku pemegang control akan keberlangsungan suatu negara, yang memiliki sikap dalam prakteknya apabila sikap tersebut diambil atau tidak diambil merupakan sebuah hasil daripada sebuah kebijakan yang dilakukan pemerintah.
Pendapat lain mengenai defenisi kebijakan Publik diungkapkan oleh Chandler dan Plano dalam (Pasolong, 2010:38) yang mendefenisikan bahwa” kebijakan publik adalah pemanfaatan strategi terhadap sumber-sumber daya yang ada untuk memecahkan masalah pemerintah”. Bahkan Chandler dan Plano dalam (Pasolong, 2013:38) beranggapan bahwa :
“kebijakan publik merupakan suatu bentuk investasi yang continue oleh pemerintah demi kepentingan orang-orang yang tidak berdaya dalam masyarakat, agar mereka dapat hidup dan berpartisipasi dalam pemerintahan”.
Kesimpulan kebijakan publik menurut peneliti yaitu kebijakan yang dalam prosesnya tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, dan harus sejalan dengan dinamika yang terjadi didalam masyarakat
17
untuk itu maka kebijakan publik tersebut akan mendapat esensi yang luar biasa saat diimplementasiakan. Sebaliknya suatu kebijakan publik harus mampu mengkoordinasi nilai-nilai dan praktik-praktik yang hidup dan berkembang dalam masyarakat pada program go-organic.
2. Tahapan Kebijakan
Kebijakan publik dalam prosesnya memerlukan sebuah tahapan yang kompleks karena menggunakan banyak sekali variable untuk mendukung kebijakan yang akan ditentukan, untuk itu banyak para ahli yang berkecimpung dalam dunia kebijakan melakukan sebuah kajian untuk menentukan cara tepat dalam melakukan proses kebijakan karena kebijakan publik memerlukan tahap- tahap dalam proses penyusunannya. Tahap-tahap kebijakan Publik menurut (Dunn, 2003: 24). Ialah sebagai berikut:
a) Tahap penyusunan agenda
Disini para pejabat yang dipilih dan diangkatmenempatkan masalah kebijakan pada agenda publik. Sebelumnya malah ini berkompetisi terlebih dahulu untuk masuk kedalam agenda kebijakan. Pada akhirnya, beberapa masalah masuk keagenda kebijakan pada perumusan kebijakan. Pada tahap ini mungkin suatu masalah tidak disentuh sama sekali, sementara masalah lain ditetapkan menjadi fokus pembahasan, atau adapula masalah karena alasan-alasan tertentu yang ditunda untuk waktu yang lama.
b) Tahap formulasi kebijakan
Masalah yang tidak masuk kedalam agenda kebijakan kemudian ditulis oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah yang tadi didefinisikan kemudian diberi pemecahan masalah terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan yang ada. Dalam perumusan kebijakan masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah. Dalam tahap ini masing-masing aktor dapat bersaing untuk mengusulkan pemecahan masalah terbaik.
c) Tahap Adopsi kebijakan
Pada tahap ini akan ada beberapa analisis dan peramalan untuk mendapatkan alternatif kebijakan. Pada akhirnya salah satu alternatif kebijakan tersebut
18
diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus antara direktur lembaga atau putusan peradilan
d) Tahap Implementasi kebijakan
Suatu program kebijakan apabila dalam prosesnya tidak sampai pada suatu titik program tersebut tidak diimplementasikan maka kebijakan tersebut tidaklah berarti. Karena kebijakan yang telah diambil harus dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang memobilisasikan sumber daya finansial dan manusia. Pada tahap implementasi ini berbagai kepentingan akan bersaing.
e) Tahap Penilaian kebijakan
Dalam tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi, untuk melihat seperti apa dampak kebijakan yang dibuat untuk hasil yang ditargetkan. Dalam prosesnya sebuah kebijakan publik memiliki sebuah tahapan yang saling terkait satu sama lainnya. Sehingga apabila tahapan tersebut hilang salah satunya. Maka tentunya akan mempengaruhi kebijakan publik itu sendiri.
Tahapan kebijakan publik yang digunakan dalam penelitian ini adalah tahapan implementasi kebijakan dan evaluasi kebijakan. Pemilihan tahapan kebijakan publik tersebut didasarkan pada kesesuaian dengan rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini. Tahap implementasi kebijakan akan membantu menilai tingkat kepatuhan, menemukan akibat-akibat yang tidak diinginkan dari kebijakan, mengidentifikasi hambatan dan rintangan implementasi, serta menentukan pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam setiap kebijakan.
Tahapan kebijakan publik berikutnya yaitu tahap evaluasi yang menghasilkan pengetahuan yang relevan mengenai ketidaksesuaian antara kinerja kebijakan yang diharapkan dengan yang dihasilkan, sehingga membantu pengambilan kebijakan pada tahap penilaian kebijakan untuk pembuatan kebijakan.
3. Evaluasi Kebijakan
Evaluasi adalah suatu alat atau prosedur yang digunakan untuk mengetahui dan mengukur sesuatu dalam suasana dengan cara dan aturan-aturan yang sudah ditentukan. Sedangkan evaluasi program adalah aktivitas investigasi yang sistematis tentang sesuatu yang berharga dan bernilai dari suatu objek. Evaluasi program merupakan suatu proses. Secara eksplisit evaluasi mengacu pada
19
pencapaian tujuan sedangkan secara implisit evaluasi harus membandingkan apa yang telah dicapai dari program dengan apa yang seharusnya dicapai berdasarkan standar yang telah ditetapkan (Muryadi, 2017). Evaluasi adalah penyelidikan atau proses pengumpulan informasi yang sistematis dari berbagai aspek pengembangan program profesional dan pelatihan untuk mengevaluasi kegunaan dan kemanfaatannya. Evaluasi sebagai riset untuk mengumpulkan, menganalisis, dan menyajikan informasi yang bermanfaat mengenai objek evaluasi, menilainya dengan membandingkannya dengan indikator dan hasilnya dipergunakan untuk mengambil keputusan mengenai objek evaluasi (Akbar et al., 2018).
Evaluasi program adalah proses melekatkan suatu nilai pada beberapa tujuan tertentu yang berdasarkan hal tersebut dapat ditentukan derajat keberhasilannya dalam mencapai nilai-nilai yang telah ditentukan sebelumnya.
Melalui proses evaluasi ini, dapat diukur sampai berapa jauh proses kebijakan tertentu berjalan baik dan sesuai rencana karena evaluasi ini dapat diperoleh perbandingan antara keluaran yang senyatanya dicapai dan keluaran yang diharapkan (Anderson dalam (Puspita, 2016). Evaluasi adalah suatu penilaian berkala terhadap relevansi, prestasi, efisiensi dan dampak proyek dalam konteks tujuan yang telah disepakati. Evaluasi memanfaatkan sistim informasi. Sistim tersebut termasuk fisik dasar, catatan keuangan, rincian, masukan dan pelayanan yang disediakan untuk para pemanfaat (misalnya kredit dan penyuluhan) tetapi dengan suatu pandangan terhadap perbandingannya dari waktu ke waktu terhadap informasi kontrol yang diperbandingkan (Makmur, 2015).
Evaluasi program bertujuan untuk mengumpulkan, menganalisis, dan menyajikan informasi yang bermanfaat mengenai objek evaluasi, menilainya dengan membandingkannya dengan indikator dan hasilnya dipergunakan untuk mengambil keputusan mengenai objek evaluasi (Munthe, 2015). Evaluasi dikenal adanya evaluasi program yang memiliki tujuan untuk mengetahui apakah tujuan program sudah dapat terealisasi (Andrian, 2018). Tujuan evaluasi bukanlah untuk menyelah-nyalahkan, melainkan untuk melihat seberapa besar kesenjangan antara pencapaian dan harapan suatu kebijakan publik. Tugas selanjutnya adalah bagaimana mengurangi atau menutup kesenjangan tersebut (Silitonga, 2018).
Evaluasi memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja
20
kebijakan, yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan telah dicapai melalui tindakan publik; evaluasi memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari pemilihan tujuan dan target; dan evaluasi memberi sumbangan pada aplikasi metode-metode analisis kebijakan lainnya, termasuk perumusan masalah dan rekomendasi (Dunn, 2003).
Lebih lanjut Suharsimi (2016) menjelaskan bahwa evaluasi program bertujuan untuk menyediakan data dan informasi serta rekomendasi bagi pengambil kebijakan untuk memutuskan apakah akan melanjutkan, memperbaiki atau menghentikan sebuah program. Pengambilan keputusan dapat dilakukan dengan tepat berdasar data yang lengkap, benar dan akurat mengenai hal-hal yang berkaitan dengan permasalahannya. Sehubungan dengan dilangsungkannya suatu program, pengambilan keputusan dapat memutuskan empat kemungkinan berikut ini:
1. Menghentikan program, karena dipandang bahwa program tersebut tidak ada manfaatnya, atau tidak dapat terlaksana sebagaimana diharapkan 2. Merevisi program, karena ada bagian-bagian yang kurang sesuai dengan
harapan (terdapat kesalahan tetapi hanya sedikit)
3. Melanjutkan program, karena pelaksanaan program menunjukkan bahwa segala sesuatu sudah berjalan sesuai dengan harapan dan memberikan hasil yang bermanfaat.
4. Menyebarluaskan program (melaksanakan program di tempat lain atau mengulangi program dilain waktu). Karena berhasil dengan baik maka sangat baik jika dilaksanakan lagi di tempat dan waktu yang lain.
Menurut William, N. Dunn (1999) dalam (Firyal Akbar & Kurniati Mohi, 2018), istilah evaluasi dapat disamakan dengan penaksiran (appraisal), pembagian angka (rating), dan penilaian (assesment). Evaluasi berkenaan dengan men.ghasilkan informasi yang valid dan manfaat hasil kebijakan. Evaluasi dapat memberikan informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan, yaitu seberapa valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan, yaitu seberapa valid kebutuhan, nilai, dan kesempatan telah mampu diraih melalui tindakan dari kebijakan publik; memberikan sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari pemilihan tujuan target; memberikan
21
sumbangan pada aplikasi metode-metode analisis kebijakan lainnya, termasuk juga perumusan masalah dan rekomendasi. Meskipun berkenaan dengan keseluruhan proses kebijakan, evaluasi lebih berkenaan dengan kinerja dari kebijakan, khususnya pada implementasi kebijakan (Firyal Akbar & Kurniati Mohi, 2018). Dunn menggambarkan kriteria-kriteria evaluasi kebijakan publik dengan tabel berikut:
Tabel 2. 1 Tipe- tipe Evaluasi Kebijakan Menurut Dunn
Tipe Kriteria Pertanyaan Ilustrasi
Efektivitas Apakah hasil yang diinginkan telah dicapai?
Unit pelayanan
Efisiensi Seberapa banyak usaha
diperlukan untuk mencapai hasil yang dinginkan?
Unit biaya, manfaat bersih, rasio cost benefit Kecukupan Seberapa jauh pencapaian
hasil yang diinginkan memecahkan masalah
Biaya tetap Efektivitas tetap
Perataan Apakah biaya manfaat
didistribusikan dengan merata kepada kelompokkelompok yang berbeda?
Kriteria Pareto, kriteria Kaldor-Hicks, kriteria Rawls
Responsivitas Apakah hasil kebijakan memuaskan kebutuhan, preferensi, atau nilai-nilai kelompok-kelompok
tertentu?
Konsistensi dengan survey warga negara
Ketepatan Apakah hasil (tujuan) yang diinginkan benar-benar berguna atau bernilai.
Program
Sumber : (Dunn, 2003:610)
Menurut Dunn kemudian, evaluasi kebijakan mempunyai dua aspek yang paling berhubungan, yaitu penggunaan berbagai macam metode untuk memantau hasil kebijakan publik dan program dan aplikasi serangkaian nilai untuk menentukan kegunaan hasil. Dunn selanjutnya membagi evaluasi kebijakan menjadi tiga berdasarkan waktu evaluasi, yaitu ‘’sebelum dilaksanakan’’, ‘’pada waktu dilaksanakan’’ dan ‘’sesudah dilaksanakan’’. Evaluasi pada waktu pelaksanaan umumnya disebut pula sebagai evaluasi proses, sementara evaluasi setelah kebijakan diimplementasikan, disebut sebagai evaluasi konsekuensi (output) kebijakan atau evaluasi dampak pengaruh (outcome) kebijakan, atau disebut juga sebagai evaluasi sumatif.
22
Dunn mengembangkan tiga pendekatan evaluasi implementasi kebijakan, yaitu evaluasi semu, evaluasi formal dan evaluasi keputusan teoritis. Di bawah ini adalah beberapa Pendekatan evaluasi kebijakan yang dikemukakan oleh Dunn:
Tabel 2. 2 Pendekatan-pendekatan dalam Evaluasi Kebijakan Pendekatan Tujuan Asumsi Bentuk-bentuk
utama
Teknik Evaluasi
semu
Menggunakan metode deskriptif untuk
menghasilkan informasi yang valid tentang hasil kebijakan
Ukuran manfaat atau nilai terbukti dengan sendirinya atau tidak kontroversial
1) Eksperimental sosial
2) Akuntansi sistem sosial 3) Pemeriksaan
sosial
4) Sintesis riset dan praktik
1. Sajian grafik 2. Tampilan
tabel
3. Angka indeks 4. Analisis seri
waktu terinterupsi 5. Analissis seri
terkontrol 6. Analisis
diskontinyu regresi.
Evaluasi formal
Menggunakan metode deskriptif untuk
menghasilkan informasi yang terpercaya dan valid mengenai hasil kebijakan secara formal diumumkan sebagai tujuan programkebijakan
Tujuan dan sasaran pengambil kebijakan dan
administrator yang secara resmi diumumkan merupakan ukuran yang tepat dari manfaat atau nilai
1) Evaluasi perkembanga n
2) Evaluasi eksperimental 3) Evaluasi
proses retrospektif (expost) 4) Evaluasi hasil
retrospektif.
1. Pemetaan sasaran 2. Klaridikasi
nilai 3. Kritik nilai 4. Pemetaan
hambatan 5. Analisis
dampaksilang 6. Discounting.
Evaluasi Keputusan teoritis
Menggunakan metode deskriptif untuk
menghasilkan informasi yang terpercaya dan valid mengenai hasil kebijakan yang secara eksplisit diinginkan oleh berbagai pelaku kebijakan.
Tujuan dan sasaran dari berbagai pelaku yang diumumkan secara formal mauapun diamdiam merupakan ukuran yang tepat dar manfaat atau nilai.
1) Penilaian tentang dapattidaknya di evaluasi 2) Analisis
utilitas multi atribut, yaitu serangkaian prosedu ryang diciptakan untuk men.gambil dari para pelaku
kebijakan yang banyak memiliki
1. Brainstorming 2. Analisis
argumentasi 3. Delphi
kebijakan 4. Analisis
surveipemakai, yaitu
serangkaian prosedur untuk mengumpulkan informasi dari calon pemakai dna pelaku- pelaku kebijakan lainnya
23
pandangan subjektif tentang probabilitas terjadinya sesuatu atau nilai dari hasil kebijakan
mengenai evaluabilitas suatu kebijakan atau program.
Sumber: (Firyal Akbar & Kurniati Mohi, 2018)
Pendekatan evaluasi kebijakan berdasarkan tabel di atas seperti yang dikemukakan oleh William Dunn terdiri dari evaluasi semu, evaluasi formal dan evaluasi keputusan teoritis:
1. Evaluasi Semu
Evaluasi semu (pseudo evaluation) adalah pendekatan yang menggunakan metode-metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid tentang hasil kebijakan, tanpa mempersoalkan lebih jauh tentang nilai dan manfaat dari hasil kebijakan tersebut bagi individu, kelompok sasaran, dan masyarakat dalam skala luas. Analis yang menggunakan pendekatan ini mengasumsikan bahwa nilai atau manfaat dari suatu hasil kebijakan akan terbukti dengan sendirinya serta akan diukur dan dirasakan secara langsung, baik oleh individu, kelompok, maupun masyarakat.
Metode-metode yang banyak digunakan dalam pendekatan evaluasi semu adalah rancangan quasieksperimen, kuesioner, random sampling, dan teknik- teknik statistik. Pendekatan evaluasi semu ini relevan dengan seluruh pendekatan pemantauan kebijakan
2. Evaluasi Formal
Evaluasi formal (formal evaluation) adalah pendekatan yang menggunakan metode-metode deskriptif untuk menghimpun informasi yang valid mengenai hasil kebijakan dengan tetap melakukan evaluasi atas hasil tersebut berdasarkan tujuan kebijakan yang telah ditetapkan dan diumumkan secara formal oleh pembuat kebijakan dan tenaga administratif kebijakan. Pendekatan ini memiliki asumsi bahwa tujuan dan target yang telah ditetapkan dan diumumkan secara formal merupakan ukuran yang paling tepat untuk mengevaluasi manfaat atau nilai suatu kebijakan.
24
Evaluasi formal terdiri dari evaluasi sumatif dan evaluasi formatif. Evaluasi yang bersifat sumatif adalah evaluasi yang dilakukan untuk mengukur pencapaian target atau tujuan segera setelah selesainya suatu kebijakan yang ditetapkan dalam jangka waktu tertentu yang biasanya bersifat pendek dan menengah. Sedangkan evaluasi formatif merupakan evaluasi yang dilakukan secara terus menerus dalam waktu yang relatif panjang untuk memantau pencapaian target dan tujuan suatu kebijakan. Evaluasi formal ini memiliki beberapa varian yaitu sebagai berikut:
a) Evaluasi Perkembangan
Evaluasi perkembangan adalah perkembangan adalah kegiatan penilaian yang secara eksplisit ditujukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari staf program.
b) Evaluasi Retrospektif
Evaluasi ini terdiri dari pemantauan dan evaluasi setelah suatu kebijakan dilaksanakan pada jangka waktu tertentu. Evaluasi varian ini tidak melakukan intervensi atau manipulasi secara langsung kepada input dan proses kebijakan. Evaluasi ini hanya mendasarkan diri pada informasi yang telah ada tentang kebijakan yang sedang berjalan, yang berhubungan secara langsung dengan hasil output dan dampak kebijakan.
c) Evaluasi Hasil Retrospektif
Evaluasi ini meliputi pemantauan dan evaluasi atas hasil kebijakan tanpa melakukan kontrol secara langsung terhadap input dan proses kebijakan.
Kalaupun dilakukan kontrol, itu hanya sebatas kontrol statistik, atau kontrol dengan metode kuantitatif, untuk mengeliminir pengaruh dari banyak faktor.
Evaluasi ini dapat dibagi lagi ke dalam dua bentuk, yakni studi inter sektoral dan studi longitudinal. Studi lintas sektoral adalah studi yang mengevalusi dua atau lebih kebijakan pada suatu jangka waktu tertentu.
Evaluasi ini dilaksanakan dengan tujuan untuk menemukan signifikan tidaknya perbedaan hasil kebijakan dan sekaligus mencari penjelasan atas perbedaan tersebut. Sedangkan studi longitudinal merupakan studi yang mengevaluasi satu atau lebih kebijakan pada dua jangka waktu atau lebih, dengan tujuan untuk mengetahui perubahan dari satu atau lebih kebijakan dari satu waktu ke waktu yang lain.
25 d) Evaluasi Eksperimental
Evaluasi ini hampir seluruh faktor dalam input dan proses dikontrol, dipertahankan secara konstan, dan diposisikan sebagai hipotesis kontrol yang bersifat logis.
3. Evaluasi Keputusan Teoritis
Evaluasi Keputusan Teoritis (Decision-Theoretic Evaluation) adalah pendekatan yang menggunakan metode-metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang dapat dipertanggung-jawabkan dan valid mengenai hasil-hasil kebijakan yang secara eksplisit dinilai oleh berbagai macam pelaku kebijakan.
Perbedaan pokok antara evaluasi teori keputusan di satu sisi, evaluasi semu dan evaluasi formal di sisi lainnya, adalah bahwa evaluasi keputusan teoritis berusaha untuk memunculkan dan membuat eksplisit tujuan dan target dari pelaku kebijakan baik yang tersembunyi atau dinyatakan. Ini berarti bahwa tujuan dan target dari para pembuat kebijakan dan administrator merupakan salah satu sumber nilai, karena semua pihak yang membuat andil dalam memformulasikan dan mengimplementasikan kebijakan (sebagai contoh, staf tingkat menengah dan bawah, pegawai pada badan-badan lainnya, kelompok klien) dilibatkan dalam merumuskan tujuan dan target dimana kinerja nantinya akan diukur.
Evaluasi keputusan teoritis merupakan cara untuk mengatasi beberapa kekurangan dari evaluasi semu dan evaluasi formal.
a) Kurang dan tidak dimanfaatkannya informasi kinerja
Sebagian besar informasi yang dihasilkan melalui evaluasi kurang digunakan atau tidak pernah digunakan untuk memperbaiki pembuatan kebijakan. Untuk sebagian, hal ini karena evaluasi tidak cukup responsive terhadap tujuan dan target dari pihak-pihak yang mempunyai andil dalam perumusan dan implementasi kebijakan dan program.
b) Ambiguitas kinerja tujuan
Banyak tujuan dan program publik yang kabur. Ini berarti bahwa tujuan umum yang sama misalnya untuknya meningkatkan kesehatan dan mendorong konservasi energy yang lebih baik dapat menghasilkan tujuan spesifik yang saling bertentangan satu terhadap lainnya. Ini dapat terjadi jika diingat bahwa tujuan yang sama (misalnya, perbaikan kesehatan) dapat
26
dioperasionalkan kedalam paling sedikit enam macam criteria evaluasi:
efektivitas, efisiensi, kecukupan, kesamaan, responsivitas dan kelayakan.
Salah satu tujuan dan evaluasi keputusan teoritis adalah untuk mengurangi kekaburan tujuan dan menciptakan konflik antar tujuan spesifik atau target.
c) Tujuan-tujuan yang saling bertentangan
Tujuan dan target kebijakan dan program-program public tidak dapat secara memuaskan diciptkan dengan memusatkkan pada nilai-nilai salah satu atau beberapa pihak (misalnya kongres, kelompok klien yang dominan atau kepala administrator). Dalam kenyataan, berbagai pelaku kebijakan dengan tujuan dan target yang saling berlawanan Nampak dalam hampir semua kondisi/situasi yang memerlukan evaluasi. Evaluasi keputusan-teoritis berusaha untuk mengidentifikasi berbagi pelaku kebijakan ini dan menampakkan tujuan-tujuan mereka.
Salah satu tujuan utama dari evaluasi teoritis keputusan adalah untuk menghubungkan informasi mengenai hasil-hasil kebijakan dengan nilai-nilai dari berbagai pelaku kebijakan. Asumsi dari evaluasi teoritis keputusan adalah bahwa tujuan dan sasaran dari pelaku kebijakan baik yang dinyatakan secara formal maupun secara tersembunyi merupakan aturan yang layak terhadap manfaat atau nilai kebijakan dan program. Dan bentuk utama dari evaluasi teoritis kebijakan adalah penaksiran evaluabilitas dan analisis utilitas multiatribut, keduanya berusaha menghubungkan informasi mengenai hasil kebijakan dengan nilai dari berbagi pelaku kebijakan.
C. Pertanian Organik
1. Pengertian Pertanian Organik
Pertanian organik merupakan salah satu alternatif menuju pembangunan pertanian yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Tujuan utama dari sistem pertanian organik adalah untuk menghasilkan produk bahan pangan yang aman bagi kesehatan produsen maupun konsumen dan tidak merusak lingkungan.
Pertanian organik merupakan salah satu upaya untuk bisa memenangkan persaingan dalam merebut pasar pada pascaperdagangan bebas Asean.
Peningkatan kemampuan penetrasi pasar dan daya saing produk pertanian organik
27
yang perlu mendapat perhatian yang lebih serius untuk lebih ditingkatkan lagi adalah penetapan produk hortikultura unggulan dan wilayah andalan untuk produk hortikultura, produk hortikultura organik, SDM berbudaya industri, teknologi, manajemen, harga yang bersaing, permodalan, promosi dan pemasaran, infrastruktur, dan penyediaan pupuk organik (Marwoto, 2012). Pertanian organik merupakan teknik pertanian yang tidak menggunakan bahan kimia (non sintetik), tetapi memakai bahan-bahan organik. Secara sederhana, pertanian organik didefinisikan sebagai sistem pertanian yang mendorong kesehatan tanah dan tanaman melalui berbagai praktek seperti pendaur ulangan unsur hara dari bahan- bahan organik, rotasi tanaman, pengolahan tanah yang tepat serta menghindarkan penggunaan pupuk dan pestisida sintetik (Smd, 2007).
Pertanian organik merupakan sistem pertanian berkelanjutan dengan menekankan pada kestabilan lingkungan yang dapat memberikan solusi terhadap masalah-masalah terkait adanya pertanian konvensional. Pertanian organik diartikan sebagai usaha budidaya pertanian yang bersifat dinamis dan cepat tumbuh dari industri pangan global. Hal tersebut karena penggunaan bahan-bahan alami, baik terhadap tanah maupun tanaman yang dapat mempengaruhi kesehatan (Aditama & Kurniawan, 2013). Pertanian organik merupakan pertanian yang berkelanjutan karena ikut melestarikan lingkungan dan memberikan keuntungan pada pembangunan pertanian (Mayrowani, 2012). Pertanian organik semakin berkembang seiring dengan kesadaran masyarakat akan gaya hidup sehat.
Masyarakat mulai sadar dampak negatif penggunaan bahan kimia an-organik pada produk pertanian. Munculnya kesadaran masyarakat akan bahaya kandungan zat kimia membuat masyarakat lebih selektif dalam memilih suatu produk terlebih untuk produk yang dikomsumsinya. Oleh karena itu, berbagai produk organik sayur organik, buah organik dan beras organik banyak tersedia dipasaran (Khorniawati, 2014).
2. Prinsip Pertanian Organik
Pertanian organik merupakan cara berproduksi dan memasarkan hasil produksi sesuai dengan standar yang diatur oleh undang undang atau kebijakan formal dan akibatnya memiliki kekuatan hukum. Penerapan pertanian organik
28
menekankan pada pengelolaan input internal (Arofi & Wahyudi, 2017). Prinsip mendasar pertanian organik lebih mengutamakan kesehatan lingkungan, ekologi, keadilan dan perlindungan(Lesmana & Margareta, 2017). Pertanian organik dipandang sebagai jawaban dari kegagalan sistem pertanian konvensional, dimana sistem pertanian konvensional hanya mengutamakan kegiatan peningkatan produksi pertanian dengan menggunakan teknologi yang tidak ramah lingkungan sehingga dalam pelaksanaannya mengabaikan prinsip ekologi dan kearifan lokal.
Berbeda halnya dengan pertanian organik yang dipandang sebagai suatu sistem pertanaman yang berasaskan daur ulang unsur hara secara hayati (Sutanto, 2002).
Prinsip kesehatan pada pertanian organik menurut IFOAM (2005) adalah bahwa pertanian organik harus melestarikan dan meningkatkan kesehatan tanah, tanaman, hewan, manusia, dan bumi sebagai satu kesatuan dan tak terpisahkan.
Prinsip ini menunjukkan bahwa kesehatan tiap individu dan komunitas tak dapat dipisahkan dari kesehatan ekosistem. Peran pertanian organik baik dalam produksi, pengolahan, distribusi, dan konsumsi bertujuan untuk melestarikan dan meningkatkan kesehatan ekosistem dan organisme, dari yang terkecil yang berada di dalam tanah hingga manusia, serta dimaksudkan untuk menghasilkan makanan bermutu tinggi dan bergizi yang mendukung pemeliharaan kesehatan dan kesejahteraan, sehingga harus dihindari penggunaan pupuk, pestisida, obat-obatan bagi hewan dan bahan aditif makanan yang dapat berefek merugikan kesehatan.
IFOAM (2005) menetapkan prinsip-prinsip dasar bagi pertumbuhan dan perkembangan pertanian organik. Prinsip-prinsip ini berisi tentang manfaat yang dapat diberikan pertanian organik bagi dunia, dan merupakan sebuah visi untuk meningkatkan keseluruhan aspek pertanian secara global. Prinsip-prinsip ini diterapkan dalam pertanian dengan pengertian luas, termasuk bagaimana manusia memelihara tanah, air, tanaman, dan hewan untuk menghasilkan, mempersiapkan, dan menyalurkan pangan dan produk lainnya. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut:
1. Prinsip Kesehatan
Pertanian organik harus melestarikan dan meningkatkan kesehatan tanah, tanaman, hewan, manusia, dan bumi sebagai satu kesatuan dan tak terpisahkan.
Prinsip ini menunjukkan bahwa kesehatan tiap individu dan komunitas tak dapat
29
dipisahkan dari kesehatan ekosistem. Tanah yang sehat akan menghasilkan tanaman sehat yang dapat mendukung kesehatan hewan dan manusia. Kesehatan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sistem kehidupan.hal ini tidak saja sekedar bebas dari penyakit, tetapi juga dengan memelihara kesejahteraan fisik, mental, sosial, dan ekologi. Ketahanan tubuh, keceriaan dan pembaharuan diri merupakan hal mendasar untuk menuju sehat
2. Prinsip Ekologi
Pertanian organik harus didasarkan pada sistem dan siklus ekologi kehidupan yang meletakkan pertanian organik dalam sistem ekologi kehidupan. Prinsip ekologi didasarkan pada proses dan daur ulang ekologis. Budidaya pertanian, peternakan, dan pemanenan produk liar organik haruslah sesuai dengan siklus dan keseimbangan ekologi di alam. Siklus-siklus ini bersifat universal tetapi pengoperasiannya bersifat spesifik-lokal. Pengelolaan organik harus disesuaikan dengan kondisi, ekologi, budaya, dan skala lokal. Bahan-bahan asupan sebaiknya dikurangi dengan cara dipakai kembali, didaur ulang dan dengan pengelolaan bahan-bahan dan energi secara efisien guna memelihara, meningkatkan kualitas, dan melindungi sumber daya alam.
3. Prinsip Keadilan
Pertanian organik harus membangun hubungan yang mampu menjamin keadilan terkait dengan lingkungan dan kesempatan hidup bersama. Keadilan dicirikan dengan kesetaraan, saling menghormati, berkeadilan dan pengelolaan dunia secara bersama, baik antar manusia dan dalam hubungannya dengan makhluk hidup yang lain. Prinsip ini menekankan bahwa mereka yang terlibat dalam pertanian organik harus membangun hubungan yang manusiawi untuk memastikan adanya keadilan bagi semua pihak di segala tingkatan seperti petani, pekerja, pemroses, penyalur, pedagang dan konsumen. Pertanian organik harus memberikan kualitas hidup yang baik bagi setiap orang yang terlibat, menyumbang bagi kedaulatan pangan dan pengurangan kemiskinan.
4. Prinsip Perlindungan
Prinsip ini menyatakan bahwa pencegahan dan tanggung jawab merupakan hal mendasar dalam pengelolaan, pengembangan dan pemilihan teknologi di pertanian organik. Ilmu pengetahuan diperlukan untuk menjamin bahwa
30
pertanian organik bersifat menyehatkan, aman dan ramah lingkungan. Tetapi pengetahuan ilmiah saja tidaklah cukup. Seiring waktu, pengalaman praktis yang dipadukan dengan kebijakan dan kearifan tradisional menjadi solusi tepat.
Pertanian organik harus mampu mencegah terjadinya resiko merugikan dengan menerapkan teknologi tepat guna dan menolak teknologi yang tak dapat diramalkan akibatnya, seperti rekayasa genetika (genetic engineering). Segala keputusan harus mempertimbangkan nilai-nilai dan kebutuhan dari semua aspek yang mungkin dapat terkena dampaknya, melalui proses-proses yang transparan dan partisipatif.
D. Regulasi Pemerintah tentang Pertanian Organik 1. Peraturan Menteri Pertanian
Peraturan menteri pertanian nomor 64/Permentan/OT.140/5/2013 tentang sistem pertanian organik (Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia, 2013),
a. Sistem pertanian organik adalah sistem manajemen produksi yang holistik untuk meningkatkan dan mengembangkan kesehatan agroekosistem, termasuk keragaman hayati, siklus biologi, dan aktivitas biologi tanah.
Pertanian organik menekankan penerapan praktek-praktek manajemen yang lebih mengutamakan penggunaan input dari limbah kegiatan budidaya di lahan, dengan mempertimbangkan daya adaptasi terhadap keadaan/kondisi setempat;
b. Peraturan ini dimaksudkan sebagai dasar hukum dalam pelaksanaan sistem pertanian organik yang berpedoman pada SNI Sistem Pangan Organik;
c. Tujuan ditetapkannya peraturan ini adalah untuk mengatur pengawasan organik Indonesia, memberikan penjaminan dan perlindungan kepada masyarakat dari peredaran produk yang tidak memenuhi persyaratan, memberikan kepastian usaha bagi produsen produk organik, membangun sistem produksi pertanian organik yang kredibel dan mampu telusur, memlihara ekosistem sehingga dapat berperan dalam pelestarian lingkungan, dan meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk pertanian.
31 2. Peraturan Walikota Batu
Peraturan Walikota Batu nomor 22 tahun 2014 tentang sistem pertanian organik (Walikota Batu, 2015),
a. Bahwa sistem pertanian konvensional dengan menggunakan pupuk dan pestisida sintetis lebih banyak menghasilkan dampak yang menimbulkan kerusakan lingkungan, residu pestisida dalam bahan makanan, berbahaya pada kesehatan manusia, dan peningkatan ketahanan hama terhadap pestisida, sehingga perlu adanya upaya terhadap pengembangan pertanian organik;
b. Bahwa dalam rangka mendukung pembangunan dan pengembangan pertanian organik di Kota Batu, perlu dibangun suatu sistem pertanian organik dengan menumbuhkembangkan dunia usaha dan memberdayakan masyarakat agar mampu menghasilkan produk organik yang memiliki jaminan atas integritas organik yang dihasilkan;
c. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Walikota Batu tentang Sistem Pertanian Organik;