Jurnal Teologi Gracia Deo, e-ISSN: 2655-6863 | 248
Menjadi Gereja yang Inklusif dalam Konteks Plural berdasarkan Injil Matius 8:5-13
Mefibosed Radjah Pono
Universitas Kristen Artha Wacana [email protected]
DOI: https://doi.org/10.46929/graciadeo.v4i2.97
Abstract: Exclusivity in religious groups, including Christianity, is a threat to a harmonious and peaceful life in the context of a pluralistic Indonesia. The church needs to be inclusive and reinterpret its presence in this context by learning from Jesus in his encounters with “others” as in the Gospel of Matthew 8:5-13. This study seeks to find the meaning of Jesus' attitude towards foreign officers and the healing that Jesus gave to officers' servants in the context of the Matthew congregation, as well as the kerygma for efforts to become an inclusive church in a pluralistic context in Indonesia. This study uses an interpretive description method with socio-historical interpretation. The result is that Matthew's Gospel demonstrates Jesus' inclusive attitude by accepting all people, not just Jews, to experience His love and salvation. The acceptance was not based on Jewish background, but because of faith in Jesus. Therefore, groups in Matthew's congregation must avoid exclusivity, mutual acceptance, and respect. The message for the church in Indonesia is that the church must stay away from exclusivity, Christianization efforts, but seek to reveal God's reign in the world. The church must be an inclusive church, loving and serving
“others”, hearing and knowing “others” in order to see God's work in them. The presence of the church is seen through its service to all people, especially to solve humanitarian problems.
Through her ministry, the church shows Christ to “others” so that they experience His saving works and believe in Him.
Keywords: church, inclusive, ministry, plural, others
Abstrak: Paham dan sikap eksklusif dalam kelompok agama, termasuk agama Kristen merupakan ancaman bagi hidup yang rukun dan damai di konteks Indonesia yang plural. Gereja perlu bersikap inklusif dan memaknai kembali kehadirannya dalam konteks seperti ini dengan belajar dari Yesus dalam perjumpaannya dengan “yang lain” seperti dalam Injil Matius 8:5-13. Penelitian ini berupaya untuk menemukan makna sikap Yesus terhadap perwira asing dan penyembuhan yang diberikan Yesus kepada hamba perwira dalam konteks jemaat Matius, serta kerygma bagi upaya menjadi gereja yang inklusif dalam konteks plural di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode deskripsi interpretatif dengan tafsir sosio historis. Hasilnya adalah, Injil Matius memper- lihatkan sikap Yesus yang inkusif dengan menerima semua orang, bukan hanya orang Yahudi saja, untuk mengalami kasih dan keselamatan dari-Nya. Penerimaan itu bukan berdasarkan latar belakang Yahudi, tetapi karena iman kepada Yesus. Oleh karena itu, kelompok dalam jemaat Matius harus menjauhi sikap ekslusif, saling menerima dan menghormati. Pesannya bagi gereja di Indonesia adalah gereja harus menjauhi paham dan sikap eksklusif, upaya kristenisasi tetapi berupaya menyatakan pemerintahan Allah dalam dunia. Gereja harus menjadi gereja yang inklusif, mengasihi dan melayani “yang lain”, mendengar dan mengenal “yang lain”agar dapat melihat karya Allah dalam diri mereka. Kehadiran gereja terlihat melalui pelayanannya bagi semua orang, terutama untuk menyelesaikan masalah kemanusiaan. Melalui pelayanannya gereja memperlihatkan Kristus kepada “yang lain” sehingga mereka mengalami perbuatan penyela- matan-Nya dan percaya kepada-Nya.
Kata kunci: gereja, inklusif, pelayanan, plural, yang lain
e-ISSN 2655-6863
Volume 4, No. 2, Januari 2022 (248-263) http://e-journal.sttbaptisjkt.ac.id/index.php/graciadeo
Jurnal Teologi Gracia Deo, e-ISSN: 2655-6863 | 249
Pendahuluan
Salah satu tugas gereja sesuai Amanat Agung (Mat.28:19-20) adalah membe- ritakan Injil ke seluruh dunia. Gereja memberitakan kabar baik tentang kasih Allah yang menyelamatkan dunia dan semua ciptaan, kepada semua makhluk. Gereja tidak bisa tinggal diam. Gereja tanpa penyampaian kabar baik, bukanlah gereja.1 Dunia yang dihadapi dan menjadi sasaran misi gereja, bukanlah dunia yang kosong. Gereja (orang Kristen) di Indonesia berhadapan dengan kenyataan masyarakat yang plural.
Hal ini terlihat dari masyarakatnya yang tersebar di 17.504 pulau yang hidup dalam berbagai budaya, bahasa, golongan, ras, gender, kelas sosial, tradisi, agama, nilai dan sebagainya. Pada tahun 2010, jumlah suku dan sub suku di Indonesia adalah sebanyak 1331. Terkait jumlah bahasa, Badan Bahasa pada tahun 2017 juga meme- takan dan memverifikasi 652 bahasa daerah di Indonesia, belum termasuk dialek dan sub-dialeknya. Mengenai agama, pemerintah mengakui enam agama, yakni: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Meski demikian, ada keyakinan dan kepercayaan keagamaan sebagian masyarakat Indonesia yang diekspresikan dalam ratusan agama leluhur dan penghayat kepercayaan. Jumlah kelompok penghayat kepercayaan, atau agama lokal di Indonesia bisa mencapai angka ratusan bahkan ribuan.2 Dengan demikian, pluralitas itu merupakan sesuatu yang natural di negara ini.
Dalam konteks kehidupan beragama yang plural seperti ini, bisa muncul kelompok masyarakat yang ekstrem, radikal, eksklusif dan berlebihan dalam beragama. Kelompok seperti ini sangat sulit ditekan. Misalnya dalam kalangan Islam, kelompok ini cenderung menolak untuk berdialog dengan alasan meyakini kebenaran yang mereka anut. Maka dari itu, mereka akan mudah mengkafirkan golongan yang tidak sepaham. Dasar pemikiran tersebut menjadi motivasi mereka untuk melakukan gerakan jihad yang berorientasi pada kekerasan.3 Di kalangan Kristen juga bisa muncul eksklusivisme yang beranggapan bahwa keselamatan dan kebenaran hanya ada pada agamanya sendiri, sedangkan di luar dirinya tidak ada lagi keselamatan dan kebenaran. Contohnya dalam ungkapan extra ecclesiam nula salus (di luar gereja tidak ada keselamatan).4 Paham seperti ini melahirkan sikap eksklusif yang cenderung menutup diri terhadap yang lain dan misi gereja diarahkan pada upaya kristenisasi dan mendirikan gereja baru (church planting).
Untuk mengatasi bahaya yang muncul dalam kehidupan beragama yang beragam, Kementrian Agama Republik Indonesia mencetuskan gerakan moderasi beragama yang diharapkan dapat menjadi kunci terciptanya kerukunan umat bera- gama. Moderasi beragama yang dimaksud adalah cara beragama jalan tengah, tidak
1 A.A Yewangoe, “Pelayanan Dalam Masyarakat Majemuk Indonesia,” in Allah Mengizinkan Manusia Mengalami Diri-Nya, ed. Andri A. Vonny, Veronica B.; Setiawan, 1st ed. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2018), 128.
2 Kementrian Agama RI, Moderasi Beragama, Pertama. (Jakarta Pusat: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Gedung Kementerian Agama RI, 2019).
3 Eka Prasetiawati, “Menanamkan Islam Moderat Upaya Menanggulangi Radikalisme Di Indonesia,” FIKRI Jurnal Agama Sosial dan Budaya 2, no. 2 (2017): 527.
4 John A. Titaley, “Menuju Teologi Agama-Agama Yang Kontekstual,” in Menuju Teologi Agama- Agama Yang Kontekstual, 1st ed. (Salatiga: UKSW, 2001), 8.
Jurnal Teologi Gracia Deo, Vol 4, No 2, Januari 2022
Jurnal Teologi Gracia Deo, e-ISSN: 2655-6863 | 250
ekstrem dan tidak berlebihan saat menjalankan ajaran agamanya.5 Moderasi mene- kankan sikap yang inklusif (terbuka) dan menerima semua orang. Meskipun ada pro kontra terhadap gerakan ini, namun upaya moderasi beragama dengan tujuan hidup yang damai dalam masyarakat yang plural, perlu didukung oleh gereja di Indonesia.
Dengan demikian, gereja harus menjadi gereja yang moderat dan inklusif saat hidup berdampingan dengan “yang lain” di negara Indonesia ini, dan dapat menjalankan misi Allah sebagai tugas gereja.
Sikap moderat dan inklusif ditunjukan oleh Yesus saat berjumpa dengan “yang lain” dalam menjalankan misi Allah di dunia ini. Dalam pelayanan-Nya, Yesus berte- mu bukan hanya dengan kelompok Yahudi tetapi juga dari berbagai orang atau kelompok masyarakat “yang lain” seperti orang non Yahudi (gentile). Salah satu kisah Yesus menarik tentang yang berjumpa dengan “yang lain” adalah Yesus menyembuhkan hamba seorang perwira di Kapernaum (Mat.8:5-13). Dalam kisah ini,
“yang lain” itu adalah seorang perwira, bukan Yahudi, datang kepada Yesus dan memohon kesembuhan bagi hambanya. Yesus memuji iman perwira asing dan yang menyembuhkan hambanya. Kisah ini bukan saja tentang mujizat penyembuhan yang dilakukan Yesus, tetapi tentang perjumpaan Yesus dengan “yang lain” yaitu orang bukan Yahudi. Yesus memberikan pelayanan kesembuhan bagi bangsa bukan Yahudi. Sikap Yesus sebagai orang Yahudi yang terbuka terhadap orang bukan Yahudi ini tentu berbeda dengan sikap eksklusif yang dimiliki orang Yahudi pada umumnya, yang menganggap diri sebagai bangsa pilihan Allah dan menganggap orang lain berdosa, tidak layak di hadapan Allah dan tidak mendapatkan kesela- matan. Menurut Singgih, ide bangsa Israel sebagai umat pilihan Allah ini memang menjadi tema yang sangat sentral dalam Perjanjian Lama dan mempunyai nilai negatif yang harus disingkirkan demi memutus rantai permusuhan agama-agama yaitu adanya nilai eksklusivisme.6 Yesus sendiri menjauhi eksklusivisme yang sempit seperti ini.
Kisah tentang Yesus menyembuhkan hamba seorang perwira ini juga ditulis dalam Lukas 7:1-10 dengan versi yang sedikit berbeda. Saya memilih teks Matius dengan pertimbangan ada kekhususan dalam Injil Matius terkait relasi dengan bangsa lain. Menurut Adi Putra, masuknya unsur gentile (bangsa lain) dalam Injil Matius menjadi salah satu keunikan Injil Matius, dan ini sangat erat hubungannya dengan berita keselamatan dalam Kristus yang ternyata juga memasukkan bangsa- bangsa lain sebagai bagian yang tidak terpisahkan darinya, sehingga nuansa soteriologis sangat jelas terlihat di dalam tujuannya.7 Karena itu, saya tertarik untuk mengkaji lebih jauh: dalam konteks jemaat Matius, apa makna sikap Yesus terhadap perwira asing dan penyembuhan yang diberikan Yesus kepada hamba perwira tersebut? Apa pesan yang dapat diambil dari teks tersebut bagi gereja di Indonesia yang hidup dalam konteks yang plural? Bahasan ini menjadi penting agar dapat
5 Kementrian Agama RI, Tanya Jawab Moderasi Beragama, Pertama. (Jakarta Pusat: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Gedung Kementerian Agama RI, 2019).
6 E.G. Singgih, “Ide Umat Terpilih Dalam Perjanjian Lama: Positif Atau Negatif,” in Iman Dan Politik Dalam Era Reformasi, 1st ed. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), 127–130.
7 Adi Putra, “Memahami Bangsa-Bangsa Lain Dalam Injil Matius” 1, no. 2 (2018): 45–51.
Jurnal Teologi Gracia Deo, e-ISSN: 2655-6863 | 251
ditemukan maknanya sehingga sikap Yesus tersebut dapat menjadi dasar bagi gereja (orang Kristen) Indonesia dalam membangun moderasi beragama dalam konteks yang plural di Indonesia.
Metode
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif inter- pretatif. Penulis akan menafsirkan teks Matius 8:5-13 dengan menggunakan metode penafsiran sosio historis. Metode ini dipilih karena teks-teks Alkitab, termasuk Injil Matius merupakan kesaksian para penulis Alkitab yang ditulis bagi jemaat / orang Kristen yang berada dalam konteks sosial historis tertentu, yang berbeda dengan keadaan orang Kristen masa kini. Menurut Tridarmanto yang dikutip Wenno, metode ini dapat mendeskripsikan dan masuk kembali ke dalam dunia sosial Alkitab untuk memahami berita yang hendak disampaikan. Untuk memahami teks dengan meng- gunakan model ini, maka perlu diperhatikan analisa karakter sosial seperti latar belakang sosial historis, struktur kelompok dan stratifikasi sosial dari kebudaya- annya.8 Menurut Patty dan Muskita, pendekatan sosio historis bersfiat holistik, baik aspek tekstualnya, historis keagamaan, situasi sosial kemasyarakatan (sosial politik dan ekonomi). Karena pendekatan sosial ini mendeteksi dimensi sosial kemasya- rakatan, maka teks Alkitab yang ditafsir akan menjadi “fungsional” bagi pembaca masa kini.9 Dengan demikian agar pesan teks Matius 8:5-13 dapat berguna bagi upaya menjadi gereja yang inklusif sebagai upaya moderasi beragama, pendekatan sosio historis ini menjadi tepat untuk digunakan.
Hasil dan Pembahasan
Konteks Sosial Historis, Keagamaan dan Kemasyarakatan Injil Matius
Banyak ahli memiliki pendapat Injil Matius ditulis di Siria, sebuah daerah yang dekat dengan Palestina. Ketika orang Yahudi dan orang Kristen yang berada di Palestina ditindas oleh penjajah Romawi, maka banyak di antara mereka yang tersebar di daerah-daerah sekitarnya yaitu di Yudea dan Samaria (bdk. Kis.8:1) dan mungkin sampai di Siria. Tentang daerah Siria, Wijngaards mengutip informasi dari Flavius Josephus (sejarahwan Yahudi) tentang pemukiman orang Yahudi di Siria.
Mereka tersebar bersama penduduk asli dan jumlah mereka sangat banyak di Siria, khususnya di Anthiokia.10 Anthiokia adalah lembah yang subur, kota datang yang ramai serta tempat pertemuan orang Yahudi, dan orang non Yahudi. Di daerah ini mereka melangsungkan kehidupan dan memelihara tradisi Yahudi. Karena itu di daerah ini, misi bagi orang kafir sangat keras dikumandangkan.
Jika memperhatikan isi Injil Matius, maka ada dugaan kuat bahwa injil ini ditu- jukan kepada jemaat dengan latar belakang Yahudi yang mengenal adat istiadat
8 Vincent Kalvin Wenno, “Persoalan Pengudusan Pasangan Dalam Pernikahan Beda Agama:
Kritik Sosio- Historis 1 Korintus 7:12-16,” Dunamis: Jurnal teologi dan Pendidikan Kristiani 5, no. 2 (2021):
212, https://sttintheos.ac.id/e-journal/index.php/dunamis/article/view/314/196.
9 Elrianton Patty, Febby Nancy; Muskita, “Tafsir Sosio-Historis Terhadap Ulangan 15:1-18 Dan Kontribusinya Bagi Masyarakat Kepulauan,” Kenosis: Jurnal Kajian Teologi 5, no. 1 (2019): 25–26.
10 J Wijngaards, Persaudaraan Bersama Yesus, ed. A Wydiamartaya, 2nd ed. (Yogyakarta: Kanisius, 1993).
Jurnal Teologi Gracia Deo, Vol 4, No 2, Januari 2022
Jurnal Teologi Gracia Deo, e-ISSN: 2655-6863 | 252
Yahudi dan peraturan Yahudi. Mereka sudah terlepas dari persekutuan sinagoge, namun masih memiliki kontak dengan sesama Yahudi.11 Hal ini terlihat dari isi Injil yang mengandaikan pengetahuan tentang pemikiran, sejarah dan tradisi-tradisi Yahudi, pada satu pihak dan keterbukaan terhadap orang-orang bangsa lain di pihak lain. Kingsbury12 melihat beberapa istilah penting yang sangat khas Yahudi yang digunakan dalam Injil Matius. Istilah itu seperti, seperti Kerajaan Sorga sebagai pengganti Kerajaan Allah yang dipakai dalam Injil Markus dan Lukas. Istilah lainnya adalah Allah sering disebut Bapa sorgawimu atau Bapamu yang ada di sorga, para murid disebut sebagai anak-anak Allah atau anak-anak kerajaan, dan sebagainya.
Demikian pula sikap Yesus terhadap Torah Musa dan tradisi para tua-tua, memper- lihatkan paguyuban Kristen yang unsur keyahudiannya sangat kuat. Torah tetap memiliki keabsahannya sampai akhir zaman hanyalah Torah yang ditafsirkan oleh Yesus, namun Torah itu sendiri tidak dikesampingkan (Mat.5:17-20). Meskipun Yesus berpolemik dengan para tua-tua, Ia tidak membuangnya begitu saja (Mat.5:1-1-9).
Stendhal yang dikutip Bosch mengklaim bahwa Matius telah mengatur injilnya sedemikian rupa sehingga injil ini mirip dengan lima Kitab Taurat Musa dalam Perjanjian Lama. Hal ini nampak dalam kelima khotbah dalam Injil Matius yaitu tentang kemuridan (pasal 5-7), misi para rasul (pasal 10), bagaimana pemerintahan Allah datang (pasal 13), disiplin gereja (pasal 18), serta para guru palsu dan akhir zaman (pasal 23-25).13 Jadi pada saat menuliskan injilnya dengan memakai sumber Q dan sumber Markus, Matius seperti meyahudikan kembali tradisi yang diturunkan kepadanya.
Di samping jemaat Yahudi, ada juga jemaat non Yahudi yang telah menjadi Kristen yang ada dalam komunitas jemaat Matius. Kuatnya unsur misi pemberitaan injil kepada bangsa lain menunjukan injil ini juga ditulis kepada orang non Yahudi.
Dari awal sampai akhir kisah dalam injil ini ditemukan “pengaruh kafir”. Dalam silsilah Yesus Kristus disebutkan empat orang perempuan bukan Israel yaitu Tamar, Rahab, Rut dan Betsyeba (Mat. 1:3-6). Ada juga orang mujizat yang dilakukan Yesus kepada orang bukan Yahudi (Mat. 8:5-13).14 Di akhir injil ini, perintah untuk men- jadikan semua bangsa menjadi murid Yesus menunjukan misi kepada bangsa lain menjadi tugas jemaat Matius.
Hubungan antara orang Yahudi Kristen dan non Yahudi Kristen dalam jemaat Matius rupanya tidak ada persoalan. Ada kelonggaran bagi orang non Yahudi untuk menjadi Kristen yaitu adanya perintah untuk baptis, bukan sunat (Mat. 28:19-20).
Aturan najis sudah dilonggarkan (Mat. 15:11). Dengan demikian, halangan terbesar tersebut sudah tidak lagi menjadi tantangan bagi orang bukan Yahudi untuk mene- rima dan merasakan keselamatan dari Allah dalam Yesus, yang sebelumnya diklaim oleh orang Yahudi sebagai milik mereka sendiri (sikap eksklusif). Meski di dalam
11 B.E Drewes, Satu Injil Tiga Pekabar, ed. Staf Redaksi BPK Gunung Mulia, 7th ed. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006).
12 Jack Dean Kingsbury, Injil Matius Sebagai Cerita, ed. Staf Redaksi BPK Gunung Mulia, 2nd ed.
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012).
13 D.J Bosch, Transformasi Misi Kristen, ed. S Suleeman, 2nd ed. (Jakarta, 1999).
14 Kingsbury, Injil Matius Sebagai Cerita,
Jurnal Teologi Gracia Deo, e-ISSN: 2655-6863 | 253
jemaat cenderung aman, namun ada ketegangan antara jemaat dengan para pemim- pin agama Yahudi. Orang Yahudi sendiri menganggap diri sebagai bangsa yang istimewa. Mereka mempunyai beberapa kelompok seperti Farisi, Zelot, Saduki, Ahli Taurat, Eseni. Matius menuliskan tentang Yesus yang mengecam para ahli Taurat dan orang Farisi (Mat. 23) sebagai petunjuk adanya polemik dengan pemimpin agama Yahudi. Pada masa itu, pemimpin agama Yahudi memiliki kekuasaan untuk menindas orang Kristen. Pemerintah Romawi memiliki kebijakan yang memberikan hak istimewa kepada orang Yahudi untuk mengatur masalah khusus yang berhubu- ngan dengan kelompok mereka. Mereka membuat perlakuan kasar secara verbal (Mat. 5:11), maupun secara fisik, termasuk pemukulan di dalam sinagoge dan diadili kemudian diusir atau bahkan dibunuh (Mat. 10:17,23, 23:24).15 Selain orang Yahudi, ada juga bangsa lain yang memusuhi mereka. Mereka dibawa ke pengadilan oleh para penguasa kafir, dibenci oleh semua orang dan malah dibunuh (bdk. Mat. 10:18, 22; 13:21; 24:9)
Secara sosial ekonomi, dalam jemaat Matius terdapat yang cukup mapan.
Matius tidak menyebut semua jenis mata uang terkecil (lepton) yang disebutkan dalam injil dibandingkan Markus, tetapi menyebutkan mata uang yang lebih besar mulai dari kodrantes (1/8 sen) sampai mata uang emas. Istilah perak, emas dan talenta disebutkan 28 kali. Terhadap latar belakang kemakmuran ini, Matius menuliskan peringatan Yesus tentang orang kaya yang sulit masuk ke dalam kerajaan Allah (Mat.19:23).16 Meski demikian, tentu ada juga kelompok yang tidak mapan.
Pemerintah Romawi memberlakukan pajak pertambahan nilai atas harta benda di wilayah jajahannya. Di wilayah Galilea, orang membayarnya kepada Herodes Antipas. Hal ini membuat orang Yahudi sangat membencinya. Pemberlakuan pajak ini dilakukan pihak Romawi untuk memenuhi kebutuhan pembangunan besar- besaran di Roma.17Akibatnya dalam wilayah kekaisaran Romawi muncul pembagian kelas sosial yaitu pertama, kaum ningrat yaitu kelompok pengusaha dan pemilik modal yang bekerja sama dengan pemerintah Romawi; kedua kelas menengah (pedagang dan tukang) yang nyaris tersingkir karena tidak mampu bersaing dengan kelas atas; ketiga, rakyat jelata yang merupakan kelompok dengan keadaan yang memprihatikan; keempat, kaum budak dan penjahat yang sebagaian besar tidak memiliki kewarganegaraan ataupun hak-hak lainnya.18
Yesus Menyebuhkan Hamba Sang Perwira:
Perjumpaan Yesus dengan “Yang Lain”
Perjumpaan Yesus dengan perwira asing ini terjadi ketika Yesus masuk ke kota Kapernaum, yang terletak di tepi Laut Galilea dan merupakan pusat pekerjaan Yesus di Galilea. Kapernaum merupakan sebuah kota pos bea cukai yang penting sehingga petugas militer ditempatkan di kota penting ini.19 Saat itu sang perwira datang dan memohon agar Yesus menyembuhkan hambanya yang sakit. Kata perwira dalam
15 Ibid.
16 Kingsbury, Injil Matius Sebagai Cerita.
17 F Free, Joseph. P ; Vos, Howard, Arkeologi Dan Sejarah Alkitab (Malang: Gandum Mas, 1999).
18 Merril C. Tenney, Survey Perjanjian Baru (Malang: Gandum Mas, 2013).
19 David Hill, The Gospel of Matthew (London: Oliphants, 1975).
Jurnal Teologi Gracia Deo, Vol 4, No 2, Januari 2022
Jurnal Teologi Gracia Deo, e-ISSN: 2655-6863 | 254
naskah asli Yunani adalah ἑκατόνταρχος (ekatontarchos) yang berarti kepala atas seratus serdadu. Istilah ini sama dengan kenturio dalam tentara Romawi, yang juga berarti kepala atas seratus serdadu. Namun demikian, kemungkinan perwira ini tidak berasal dari dinas Kekaisaran Romawi, melainkan dari dinas Herodes Antipas, karena Kapernaum merupakan bagian dari Kerajaan Herodes Antipas.20 Para penguasa yang ditunjuk oleh Roma, seperti Herodes Antipas, diharapkan dapat memberikan duku- ngan militer kepada Roma jika diperlukan. Mereka akan menjaga daerah kekuasaan yang dipimpin. Calvin yang menyatakan bahwa tidak ada keraguan ketika pasukan ditempatkan dalam sebuah kota, biasanya untuk menjaga kota tersebut.21
Tidak dapat dipastikan dari mana perwira ini berasal. Apakah orang Romawi atau dari golongan penduduk lainnya (mis. Dari Siria atau Asia Kecil), namun kemungkinan ia bukanlah orang Yahudi dan barangkali bukan juga proselit yaitu orang bukan Yahudi yang masuk agama Yahudi.22 Kalau merujuk pada pernyataan Yesus pada ayat 10-12, ia bukanlah orang Israel dan ia termasuk orang kafir.23 Pada masa itu orang Yahudi dibebaskan dari wajib militer dan kemungkinan Herodes Antipas memakai orang-orang bukan Yahudi. Menurut Esler, selain memiliki kekua- tan militer, perwira juga memiliki kekayaan dan properti di daerah tempat mereka tinggal yang merupakan hasil dari peminjaman uang dengan bunga yang tinggi, dan mengambil barang milik peminjam kalau mereka tidak mampu mengembalikannya.24 Kemungkinan mereka juga melakukan pemerasan terhadap para peminjam uang, Meski demikian menurut Esler, mereka juga sering dimintai bantuan jika ada yang kesulitan misalnya berhadapan dengan orang yang kejam, pemungut pajak yang terlalu keras, dan sebagainya.25
Kisah dalam Injil Matius sedikit berbeda dengan yang disaksikan Injil Lukas.
Lukas menceritakan bahwa perwira itu tidak datang sendiri tetapi menggunakan perantara yaitu beberapa tua-tua Yahudi yang dimintanya menyampaikan kepada Yesus untuk datang menyembuhkan hambanya (Luk. 7:3). Sedangkan Matius menga- takan bahwa perwira itu sendiri yang datang memohon kepada Yesus. Menurut Carson, salah satu alasan Matius tidak menggunakan perantara mungkin karena mereka (jemaatnya) adalah orang Yahudi dan dia tidak mau mengaburkan perbedaan ras dalam kisah ini.26 Demikian pula Gundry berpendapat bahwa Matius hendak memberikan perhatian lebih utama kepada perwira tersebut dan mengenyampingkan
20 J.J de Heer, Tafsiran Alkitab Injil Matius, ed. Staf Redaksi BPK Gunung Mulia, 12th ed. (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2013).
21 John Calvin, Commentary on a Harmony of The Evangelist Matthew, Mark, Luke, 1st ed. (Michigan:
Baker Book House, 1984).
22 P.S Boland, B.J ; Naipospos, Tafsiran Alkitab Injil Lukas, ed. Staf Redaksi BPK Gunung Mulia, 12th ed. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012).
23 de Heer, Tafsiran Alkitab Injil Matius.
24 Philip F. Esler, “Reading Matthew by the Dead Sea: Matthew 8:5–13 in Light of P. Yadin 11,”
HTS Teologiese Studies / Theological Studies 70, no. 1 (2014): e1–e12.
25 Ibid.
26 D.A Carson, “Matthew,” in The Expositor’s Bible Commentary, Vol.8, ed. Frank E. Gaebelin (Michigan: Regency Reference Library Zondervan Publishing House, n.d.), 200.
Jurnal Teologi Gracia Deo, e-ISSN: 2655-6863 | 255
peran orang Yahudi. Hal ini memberi ruang dan peran bagi orang non Yahudi sesuai maksud Injil ini yaitu Kerajaan Allah juga diberikan kepada bangsa lain.27
Perwira yang memiliki kedudukan, kekayaan, dan merupakan orang asing ini datang memohon bantuan kepada Yesus, seorang Yahudi yang tidak memiliki keka- yaan atau status yang jelas seperti dirinya. Ia menyebut Yesus sebagai kurioς (kurios) yang berarti Tuhan. Apa yang menggerakannya untuk berbicara demikian kepada Yesus, padahal Yesus baru saja memulai pelayanan-Nya? Ia mungkin sudah men- dengar tentang Yesus dari orang banyak, apalagi dalam kisah sebelumnya diceritakan bahwa Yesus menyembuhkan seorang yang sakit kusta (Mat.8:1-4). Namun tentu ia belum mengerti sepenunya tentang Yesus sebagai Tuhan. Menurut Calvin, perwira ini memiliki keyakinan bahwa kuasa Tuhan dinyatakan dalam Yesus dan Yesus sudah menerima tugas menyatakan kehadiran Allah melalui mujizat. Karena itu, ia meminta Yesus untuk menyembuhkan hambanya.28 Dengan kerendahan hati, ia yang biasa dimintai bantuan, kini meminta bantuan kepada Yesus. Perwira ini mengha- rapkan Yesus menyembuhkan hambanya yang terbaring di rumahnya karena sakit lumpuh dan hambanya itu sangat menderita.
Istilah hamba yang dipakai pada ayat 6 (juga ayat 8) adalah paiς (pais). Secara arti kata, paiς (pais) diartikan sebagai anak atau anak laki-laki.29 Beberapa versi Alkitab bahasa Inggris seperti NRSV, NIV, TNIV, NAB menerjemahkannya dengan servant (pelayan). Jika kata ini diterjemahkan dengan “anak” maka kita bisa mema- hami bahwa perwira ini tentunya sangat peduli terhadap kesembuhan anaknya.
Namun jika diterjamahkan dengan “pelayan atau hamba”, ini berarti dan perwira tersebut sangat kuatir terhadap hamba atau pelayannya yang sedang menderita, sehingga kita bisa menilai bahwa perwira ini adalah tuan yang sangat baik.30
Di dalam kitab injil Matius, kata paiς (pais) diterjemahkan dengan arti “anak”
(Mat. 2:16; 17:18; 21:15). Sedangkan terjamahan kata paiς (pais) sebagai “hamba” ter- dapat dalam beberapa bagian yaitu Mat.12:18; 14:12. Namun jika kita memperhatikan konteks Mat.8:5-13, dalam ayat 9 perwira itu menjelaskan bahwa dia mempunya kuasa, dan meski ia juga adalah bawahan namun ada prajurit di bawahnya yang dapat ia perintahkan, dan juga hamba (douloς, doulos; artinya hamba) yang dapat ia suruh untuk mengerjakan sesuatu. Dalam narasi ini, tidak sama seperti kiasan tentang prajurit yang digambarkan berada di bawah kuasa perwira itu. Kata hamba (douloς, doulos) secara gramatikal sebagai milik perwira itu, yang disebutnya “hambaku”.
Sebagai tambahan, prajurit secara gramatikal bersifat jamak, sedangkan hamba (douloς, doulos) bersifat tunggal. Persamaan elemen linguistik ini diulangi ketika perwira ini mengacu pada paiς (pais) dua kali sebagai paiς µou (pais mou, artinya hamba kepunyaanku). Ini menunjukan bahwa paiς (pais) bukan hanya hamba atau
27 Robert H. Gundry, Matthew, A Commentary on His Literaly and Theological Art (Michigan: WM. B.
Eermands Printing Company, 1983).
28 John Calvin, Commentary on a Harmony of The Evangelist Mathhew, Mark, Luke (Michigan: Baker Book House, 1984).
29 E.A Louw, P ; Nida, ed., Greek-English Lexicon of the New Testament: Based on Semantic Domains, 2nd ed. (New York: United Bible Society, 1989).
30 Carlos Olivares, “The Identity of The Centurion’s Pais in Matthew 8:5-13 : A Narrative Approach,” Journal of Asia Adventis Seminary 13, no. 2 (2010): 103–112.
Jurnal Teologi Gracia Deo, Vol 4, No 2, Januari 2022
Jurnal Teologi Gracia Deo, e-ISSN: 2655-6863 | 256
pelayan tetapi juga pelayan atau hamba yang sangat spesial.31 Agar para hamba menjadi sangat spesial dan para tuan memperhatikan kehidupan mereka, maka para hamba perlu memiliki ketekunan atau kesetiaan yang luar biasa kepada tuannya, atau perbuatan baik lainnya.32
Implikasi dari penerjemahan kata paiς (pais) sebagai pelayan atau hamba adalah menggambarkan perwira itu sebagai tuan yang baik yang menjaga mereka yang bekerja baginya.33 Ia memiliki hati yang penuh belas kasih kepada hambanya, seka- lipun ia adalah tuan, seorang pemimpin yang memiliki kuasa, dan dalam lingkungan sosial, perwira terkadang dipandang buruk karena meminjamkan uang dan terka- dang berlaku kasar terhadap mereka yang berhutang kepadanya (merampas barang orang yang berhutang). Sikap ini terbalik dari sikap para tuan atau majikan kepada hamba atau bawahannya pada masa itu. Apalagi dalam kekaisaran Romawi, tidak ada tempat dan harga sama sekali bagi seorang budak. Tidak ada orang yang akan memperhatikan budak yang sakit, hidup atau mati.34 Di sini Matius memperlihatkan sikap inklusif dan moderat dari perwira tersebut dalam berelasi dengan “yang lain”
yaitu hambanya. Ia yang dipandang kafir, justru memiliki kebaikan yang luar biasa.
Ini yang patut dipelajari oleh orang Yahudi. Perwira itu mengesampingkan kemung- kinan penolakan yang dia bisa terima sebagai orang bukan Yahudi saat meminta kepada Yesus, yang tentu saja merendahkan dirinya sebagai orang yang memiliki kuasa. Namun ia tetap memperlihatkan sikap yang tidak biasa. Meminta kesembuhan bagi seorang anak sendiri adalah hal yang lumrah terjadi, tetapi memintanya bagi seorang hamba adalah sesuatu yang luar biasa yang dilakukan seorang tuan.
Tidak ada keterangan yang pasti tentang asal usul hamba atau pelayan ini, entah orang Yahudi atau non-Yahudi, namun yang pasti bahwa perwira itu menga- takan hambanya sakit lumpuh dan sangat menderita. paralutikoς (paralutikos yang berarti lumpuh) yang dideritanya sebagai akibat dari penyakit yang menyerang beberapa otot dan organ. Lumpuh ini tidak hanya menyebabkan sakit secara fisik, tetapi juga secara mental, dan dapat menyebabkan seseorang tidak mampu bergerak dan tidak melakukan apa-apa selain terbaring kaku.35 Menurut Henry, penyakit lumpuh yang diderita hamba tersebut bukan penyakit lumpuh biasa melainkan penyakit lumpuh yang membuatnya merasa kesakitan yang luar biasa, di mana ada ketakutan tuannya dapat mengusirnya karena posisinya sebagai hamba, dan tidak dapat bekerja bagi tuannya yang sangat mengasihinya.36
Ketika mendengar permohonan hamba tersebut, Yesus mengatakan: Aku akan datang menyembuhkannya (ayat 7). Pada masa itu, para rabi Yahudi sering diundang untuk berdoa bagi orang sakit. Namun dalam kisah ini, perwira tidak meminta doa
31 Bdk. Robert Horton Gundry, Matthew: A Commentary on His Handbook for a MIxed Church under Persecution, 2nd ed. (Grand Rapids: Eermans, 1994).
32 John Calvin, Commentary on a Harmony of the Evangelist Matthew, Mark, Luke, 1st ed. (Michigan:
Baker Book House, 1984).
33 Olivares, “The Identity of The Centurion’s Pais in Matthew 8:5-13 : A Narrative Approach.”
34 TIM IVP, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini JIlid I (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2013).
35 Everett F. Pfeiffer, Cahrles F. ; Harrison, Tafsiran Alkitab Wycliffe Volume 3 Perjanjian Baru (Malang: Gandum Mas, 2008).
36 Matthew Henry, Tafsiran Injil Matius 1-14 (Surabaya: Momentum, 2014).
Jurnal Teologi Gracia Deo, e-ISSN: 2655-6863 | 257
tetapi secara implisit meminta kesembuhan. Istilah qerapeusw (therapeuso; saya menyembuhkan) memiliki ciri khas yaitu ungkapan hati sesorang yang mau mela- yani, juga menyembuhkan, bukan perawatan secara medis yang bisa gagal tetapi penyembuhan secara nyata yakni kuasa penuh dari Mesias untuk menyembuhkan yang sakit. Kuasa yang dimaksud adalah kuasa Yesus sebagai Mesias. Karena tidak ada penyakit atau kelemahan yang tidak Yesus kuasai. Melalui Firman-Nya, Ia menyembuhkan penyakit.37 Di sini, Yesus memperlihatkan otoritasnya sebagai Tuhan yang menyembuhkan kepada perwira itu. Perkataan Yesus kepada perwira ini menunjukan juga sikap Yesus yang berbeda dengan kebanyakan orang Yahudi yang beranggapan bahwa najis jika mereka bergaul dan masuk ke rumah orang non Yahudi. Namun anggapan tersebut tidak mempengaruhi dan membatasi kasih dan pelayanan Yesus kepada orang yang menderita. Ini menunjukan kasih Yesus yang universal, yang berbelas kasih kepada orang yang lemah. Ia tidak mempersoalkan asal usul orang yang lemah tersebut. Ia tidak mengasihi dan melayani suku bangsa tertentu saja atau karena kedudukan.
Mengenai perkataan Yesus pada ayat 6, ada yang menafsirkannya sebagai sebu- ah pertanyaan, yang seolah Yesus berkata: Haruskah saya (yang menyatakan ego sebagai orang Yahudi) datang ke rumahmu dan menyembuhkannya? Hal ini mung- kin paralel dengan kisah Perempuan Kanaan yang percaya (Mat. 15:21-28). Menurut Carson, tanggapan Yesus tersebut tentu bukan karena pembatasan pelayanannya kepada orang Israel/Yahudi, tetapi kemungkinan ia mau mencari tahu apa sebenar- nya yang diinginkan perwira itu dibalik permintaannya yang ambigu tersebut38 yaitu menyembuhkan seorang hamba.
Setelah mendengar perkataan Yesus, perwira itu mengungkapkan ketidaklaya- kannya menerima Yesus di rumahnya (ayat 8). Perwira itu mungkin sudah menge- tahui aturan orang Yahudi tentang larangan masuk ke rumah orang non Yahudi, sehingga ia tidak mau memasukan Yesus ke dalam masalah.39 Ia mau agar Yesus cukup mengucapkan kata dari jauh saja dan hambanya menjadi sembuh. Ini adalah pernyataan kerendahan hati dan iman akan kuasa Yesus yang dapat menyembuhkan.
Perwira ini menjadi seorang bukan Yahudi yang pertama dalam Injil Matius yang mengakui akan kuasa Yesus.40
Ungkapan ketidaklayakan perwira ini menunjukan perasaan tidak layak di hadapan otoritas Yesus. Ia mengandaikan otoritas kaisar Romawi yang ada padanya untuk menyatakan penghormatannya kepada otoritas Yesus dan menempatkan diri di bawah otoritas Yesus. Ketika ia berkata kepada prajuritnya, maka mereka akan mengikuti perintahnya, sebab seorang prajurit yang tidak mengikuti perintahnya, bu- kan saja melawan perintahnya tetapi juga melawan kaisar. Sebagai seorang prajurit, ia
37 Beyer, Theological Dictionary of The New Testament, ed. Gerhard Kittel, 8th ed. (Michigan: WM. B.
Eermands Printing Company, 1981).
38 Carson, “Matthew.”
39 William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari Injil Matius Pasal 1-10 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011).
40 R.E Nixon, “Matius,” in Tafsiran Alkitab Masa Kini 3 Matius - Wahyu, ed. dkk Guthrie, D, 2nd ed.
(Jakarta: OMF / Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 1982), 82.
Jurnal Teologi Gracia Deo, Vol 4, No 2, Januari 2022
Jurnal Teologi Gracia Deo, e-ISSN: 2655-6863 | 258
tahu kekuatan dari perintah lisan dalam suatu pasukan yang baik. Dengan demikian ia percaya bahwa perkataan Yesus cukup berkuasa menyembuhkan hambanya.41
Perkataan perwira itu membuat Yesus heran. Keheranan Yesus bukan karena perwira itu meminta kepada-Nya untuk cukup dengan berkata saja maka hambanya akan sembuh, namun lebih kepada perwira tersebut bukan orang Israel atau Yahudi.
Imannya jauh melebih iman umat pilihan Allah. Pujian terhadap imannya ini menjadi sindiran terhadap kurangnya iman Israel.42 Orang Yahudi mesti belajar dari orang non Yahudi dalam hal iman. Menurut Henry, pengakuan Yesus terhadap iman perwira ini mengajarkan tentang sikap seorang saksi Kristus yang dalam kehidupan- nya berdampingan dengan sesama yang berbeda, perlu memiliki sikap menerima, mengasihi, mengakui keberadaan orang lain seperti Yesus memperlakukan sikap kasih universal.43
Setelah memuji iman perwira itu, Yesus memberikan pernyataan yang cukup mencengangkan bagi orang Yahudi. Orang-orang yang datang dari berbagai tempat yang akan duduk makan bersama dengan Abraham, Ishak dan Yakub dalam Kerajaan Sorga, dan anak-anak Kerajaan itu akan dicampakan dalam kegelapan yang paling gelap (ayat 11-12). Pernyataan Yesus ini menjadi peringatan bagi orang Yahudi bahwa banyak orang kafir atau bukan Yahudi yang kelak akan mendapat tempat di antara umat Allah dalam perjamuan surgawi. Sebaliknya banyak orang Yahudi yang akan dikucilkan dan disingkirkan karena tidak percaya kepada Yesus.44 Di sini muncul gagasan baru bahwa keselamatan itu pada akhirnya akan menjadi milik semua orang yang memiliki iman kepada Yesus, bukan hanya milik Israel atau Yahudi. Status anak kerajaan yang dulu hanya bergantung pada keturunan secara darah, kini telah diberi arti dan definisi yang baru.45
Mereka yang beriman kepada Yesus akan dihimpun dan menikmati perjamuan surgawi. Perjamuan yang dihadiri oleh berbagai orang dari berbagai penjuru mata angin menunjukan bahwa persekutuan itu menjadi persekutuan yang terbuka, bebas dan akrab. Kata anakliqhsontai (anaklithesontai: duduk melingkar) yang dipakai dalam ayat 11 untuk menggambarkan perjamuan itu memiliki makna kiasan. Kita tahu bahwa kehidupan sorga bukan soal makan dan minum, sehingga frasa ini sama artinya dengan: mereka akan menikmati kehidupan yang sama.46 Mereka akan makan duduk sejajar dengan Abraham, Ishak dan Yakub sebagai bapa leluhur orang Yahudi.47 Dengan demikian dalam iman kepada Kristus, tidak ada perbedaan lagi antara orang Yahudi dan non Yahudi.
Dalam komunitas jemaat Matius yang terdiri dari orang Yahudi dan non Yahudi ini berarti orang Yahudi harus mengakui keberadaan non Yahudi dan menyambut mereka sebagai bagian dari komunitas yang beriman kepada Yesus. Mereka akan
41 Daniel J. Harington, “Matius,” in Tafsir Alkitab Perjanjian Baru, ed. Diane & Karris Robet J.
Bergant, 20th ed. (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 46.
42 Hill, The Gospel of Matthew.
43 Matthew Henry, Tafsiran Injil Matius 1-14 (Surabaya: Momentum, 2014).
44 Elisa B Surbakti, Benarkah Yesus Juruselamat Universal (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008).
45 Nixon, “Matius.”
46 Calvin, Commentary on a Harmony of The Evangelist Mathhew, Mark, Luke.
47 Nixon, “Matius.”
Jurnal Teologi Gracia Deo, e-ISSN: 2655-6863 | 259
menikmati keselamatan yang sama tanpa ada perbedaan, bukan karena melakukan hukum Taurat ataupun berdasarkan garis keturunan Abraham. Dengan demikian, jemaat Matius yang terdiri dari orang Yahudi dan non Yahudi, harus saling menerima dan menyatakan kasih kepada semua orang.
Pernyataan Yesus ini tentu mengejutkan bagi orang Yahudi. Mereka yang sangat yakin dengan status sebagai umat terpilih yang pasti mendapatkan kesela- matan, justru banyak yang akan dibuang dalam kegelapan. Di sini, keegoisan mereka diluruhkan. Menurut Barclay, hal ini mau memperlihatkan kepada orang Yahudi bahwa syarat untuk masuk dalam perjamuan surgawi itu pertama-tama bukanlah status umat pilihan, tetapi iman kepada Allah dalam Yesus Kristus. Siapapun dapat mengimani Yesus dalam hati dan tindakannya, karena Yesus bukanlah milik suku bangsa tertentu, melainkan milik semua orang yang di dalam hatinya ada iman.48
Pada akhir cerita, Yesus menyatakan kepada perwira itu, “pulanglah dan jadilah kepadamu seperti yang engkau percaya”. Pada saat itu juga hamba perwira itu men- jadi sembuh (ayat 13). Karena iman perwira itu, tanpa memandang latar belakangnya, Yesus menyatakan kesembuhan bagi hambanya. Yang menarik pada akhir kisah ini adalah Yesus tidak menyuruh perwira itu untuk mengikut-Nya atau menjadi murid- Nya agar hambanya menjadi sembuh. Anugerah kesembuhan itu diberikan Yesus semata karena iman, bukan karena kepentingan pribadi Yesus yaitu memiliki banyak pengikut.
Menjadi Gereja yang Inklusif dalam Konteks Plural di Indonesia
Berdasarkan tafsiran terhadap teks Matius 8:5-13 di atas, maka dapat dijabarkan hal-hal penting terkait kehidupan bergereja dalam perjumpaan dengan “yang lain”
dalam konteks Indonesia yang plural. Gereja harus menyadari bahwa dirinya tidak sendiri di Indonesia tetapi ada “yang lain” yaitu agama lain yang juga memiliki kebe- naran yang mereka pegang teguh. Karena itu, gereja tidak boleh terjebak dalam sikap eksklusif dan primodial. Gereja perlu mengoreksi pandangan eksklusif yang berle- bihan terutama “sindrom anak tunggal”49 yang menganggap agama sendiri sebagai sebagai satu-satunya pemegang monopoli kebenaran dan jalan keselamatan. Gereja perlu menggantikannya dengan sikap inklusif yaitu terbuka kepada semua orang.
Implikasi dari sikap inklusif ini adalah gereja tidak mencap “yang lain” itu sebagai yang kafir sebab cap tersebut sama artinya dengan meremehkan karya Allah pada yang lain. Perwira asing itu memiliki iman kepada Yesus dan memiliki kebaikan serta kepedulian kepada hambanya. Ini menjadi tanda bahwa di dalamnya Allah turut berkarya. Allah tidak membatasi karyanya hanya di dalam gereja. Allah bekerja dalam dunia ini bahkan dalam semua agama untuk menghadirkan karya keselama- tan, kepada semua orang tanpa kecuali.
Dalam berjumpa dengan “yang lain” gereja juga perlu mendengar suara mereka dan mengenal mereka dengan baik bahkan belajar dari mereka. Dari situ, gereja akan
48 William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari Injil Matius 1-10 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011).
49 Eka Darmaputera, Pergulatan Kehadiran Kristen Di Indonesia: Teks-Teks Terpilih Eka Darmaputera, 1st ed. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001).
Jurnal Teologi Gracia Deo, Vol 4, No 2, Januari 2022
Jurnal Teologi Gracia Deo, e-ISSN: 2655-6863 | 260
melihat Injil dalam pengalaman mereka yang membuat gereja menjadi heran seperti Yesus yang heran terhadap iman perwira itu. Dalam konteks Indonesia, ada penga- laman Don Rochardson yang memberitakan Injil di Papua yaitu di kalangan orang Sawi, salah satu suku kanibal. Suku ini mengenal ritus perdamaian di mana seorang anak akan diserahkan kepada pihak lawan. Selama anak ini masih hidup, maka di antara mereka tidak boleh ada permusuhan.50 Kisah ini mirip dengan kisah Yesus, Sang Korban Pendamaian manusia dengan Allah. Kisah ini memperlihatkan bahwa Injil ada dalam kehidupan “yang lain”.
Dalam hidup bersama “yang lain”, gereja kembali melihat hal utama yang harus dilakukannya (misi) bukan lagi kristenisasi, pendirian gereja baru atau sekedar pembuktian kekristenan sebagai agama yang paling benar.51 Misi gereja adalah menghadirkan syalom Allah atau pemerintahan Allah dalam dunia ini. Di sinilah makna “presensia” gereja yaitu hadir secara bertanggung jawab di dalam masyarakat yang majemuk seperti di Indonesia saat ini.52 Gereja hadir menyelesaikan berbagai persoalan kemanusiaan seperti ketidakadilan, kemiskinan, radikalisme, lingkungan hidup dan lain sebagainya. Arah pelayanan (diakonia) gereja bukan lagi karikatif tetapi transformasi, yang mengubah kehidupan menjadi lebih baik.
Sasaran pelayanan gereja, tentu bukan untuk dirinya sendiri sebab gereja hadir untuk semua orang. Gereja tidak membangun sekat-sekat pemisah dalam melayani orang lain. Panggilan kemanusiaan lebih utama daripada persoalan asal dan latar belakang agama mereka yang membutuhkan pertolongan. Ketika orang membangun tembok-tembok terhadap sesama yang berbeda, Yesus justru menaruh hormat dan melayani siapapun. Yesus tahu bahwa setiap manusia berbeda. Tetapi semuanya adalah anak Allah yang dikasihi-Nya. Penghormatan Yesus terhadap siapapun menunjukan agama bukanlah sekat pemisah dengan sesama. Sebaliknya agama mendorong aksi nyata yang menghargai atau membantu siapapun, termasuk mereka yang berbeda.53 Gereja harus memanfaatkan semua potensi dan karunia yang dimiliki untuk pelayanan bukan bagi dirinya sendiri tetapi bagi semua orang yang membutuhkan pertolongan, tanpa memandang latar belakang. Melalui kesaksian dan pelayanannya tersebut, gereja terus menyaksikan tentang Kristus kepada “yang lain”
dan berharap mereka akan melihat dan mengalami perbuatan penyelamatan-Nya sehingga mereka dapat percaya kepada-Nya.
Kesimpulan
Dari penelitian ini, saya dapat dapat ditarik kesimpulan bahwa makna dari sikap Yesus terhadap perwira asing dan penyembuhan bagi hambanya, dalam konteks jemaat Matius adalah Matius hendak memperlihatkan keterbukaan Yesus
50 William A. Cutts, Yang Lemah Di Tanah Moni: Kisah Pelayanan Bill Dan Gracie Cutts (Bandung:
Kalam Hidup, 2000).
51 A.A Yewangoe, “Keprihatinan Mastra Terhadap Relasi Umat Beragama,” in Gereja Memasuki Milenium III, ed. Ayub K Suyaga (Malang: Yayasan Persekutuan Pekabaran Injil Indonesia, 2001), 19.
52 A.A Yewangoe, “Pelayanan Dalam Masyarakat Majemuk Di Indonesia,” in Allah Mengizinkan Manusia Mengalami Diri-Nya, 1st ed. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2018), 120.
53 Albertus M. Patty, No Title, ed. S.B S, Nancy & Santoso, 1st ed. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2021).
Jurnal Teologi Gracia Deo, e-ISSN: 2655-6863 | 261
terhadap bangsa lain. Keselamatan yang disediakan Allah di dalam Yesus adalah bagi semua orang termasuk orang-orang bukan Yahudi, bukan hanya bagi orang Yahudi.
Syarat utama keselamatan dan diterima dalam persekutuan, bukan lagi berdasarkan hubungan darah dengan nenek moyang bangsa Yahudi melainkan berdasarkan iman kepada Yesus. Yesus telah menghancurkan tembok pemisah dan batas-batas yang diciptakan manusia, agar semua orang mengalami kasih-Nya dan membuka kesem- patan bagi semua orang untuk diterima masuk dalam perjamuan sorgawi. Dengan demikian, jemaat Matius yang terdiri dari orang Yahudi dan non Yahudi, harus menjadi komunitas yang inklusif, yang saling menerima dan menyatakan kasih kepada semua orang.
Makna yang bisa diambil dari kisah Matius 8:5-13 bagi gereja di Indonesia yang hidup dalam konteks yang plural adalah sebagai bukti iman gereja kepada Yesus Kristus, gereja harus menjadi gereja yang memiliki sikap terbuka atau inklusif, mengasihi dan melayani semua orang, tanpa memandang latar belakang, status, aga- ma atau semua perbedaan. Gereja perlu menjauhi padangan dan sikap eksklusif, menghormati “yang lain” dengan mau mendengar dan memahami mereka agar dapat melihat karya Allah yang tak terbatas juga ada dalam diri mereka, serta menyatakan kasih Allah. Misi gereja bukan lagi mengarah kepada kristenisasi tetapi pada penyataan kehadirannya yang menyatakan pemerintahan Allah dalam dunia ini.
Referensi
Barclay, William. Pemahaman Alkitab Setiap Hari Injil Matius 1-10. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011.
Beyer. Theological Dictionary of The New Testament. Edited by Gerhard Kittel. 8th ed.
Michigan: WM. B. Eermands Printing Company, 1981.
Boland, B.J ; Naipospos, P.S. Tafsiran Alkitab Injil Lukas. Edited by Staf Redaksi BPK Gunung Mulia. 12th ed. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012.
Bosch, D.J. Transformasi Misi Kristen. Edited by S Suleeman. 2nd ed. Jakarta, 1999.
Calvin, John. Commentary on a Harmony of The Evangelist Mathhew, Mark, Luke.
Michigan: Baker Book House, 1984.
Carson, D.A. “Matthew.” In The Expositor’s Bible Commentary, Vol.8, edited by Frank E.
Gaebelin, 200. Michigan: Regency Reference Library Zondervan Publishing House, n.d.
Cutts, William A. Yang Lemah Di Tanah Moni: Kisah Pelayanan Bill Dan Gracie Cutts.
Bandung: Kalam Hidup, 2000.
Darmaputera, Eka. Pergulatan Kehadiran Kristen Di Indonesia: Teks-Teks Terpilih Eka Darmaputera. 1st ed. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001.
Drewes, B.E. Satu Injil Tiga Pekabar. Edited by Staf Redaksi BPK Gunung Mulia. 7th ed.
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006.
Esler, Philip F. “Reading Matthew by the Dead Sea: Matthew 8:5–13 in Light of P.
Yadin 11.” HTS Teologiese Studies / Theological Studies 70, no. 1 (2014): e1–e12.
Free, Joseph. P ; Vos, Howard, F. Arkeologi Dan Sejarah Alkitab. Malang: Gandum Mas, 1999.
Gundry, Cf. Robert Horton. Matthew: A Commentary on His Handbook for a MIxed Church under Persecution. 2nd ed. Grand Rapids: Eermans, 1994.
Jurnal Teologi Gracia Deo, Vol 4, No 2, Januari 2022
Jurnal Teologi Gracia Deo, e-ISSN: 2655-6863 | 262
Gundry, Robert H. Matthew, A Commentary on His Literaly and Theological Art.
Michigan: WM. B. Eermands Printing Company, 1983.
Harington, Daniel J. “Matius.” In Tafsir Alkitab Perjanjian Baru, edited by Diane &
Karris Robet J. Bergant, 46. 20th ed. Yogyakarta: Kanisius, 2002.
de Heer, J.J. Tafsiran Alkitab Injil Matius. Edited by Staf Redaksi BPK Gunung Mulia.
12th ed. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2013.
Henry, Matthew. Tafsiran Injil Matius 1-14. Surabaya: Momentum, 2014.
Hill, David. The Gospel of Matthew. London: Oliphants, 1975.
Kingsbury, Jack Dean. Injil Matius Sebagai Cerita. Edited by Staf Redaksi BPK Gunung Mulia. 2nd ed. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012.
Louw, P ; Nida, E.A, ed. Greek-English Lexicon of the New Testament: Based on Semantic Domains. 2nd ed. New York: United Bible Society, 1989.
Nixon, R.E. “Matius.” In Tafsiran Alkitab Masa Kini 3 Matius - Wahyu, edited by dkk Guthrie, D, 82. 2nd ed. Jakarta: OMF / Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 1982.
Olivares, Carlos. “The Identity of The Centurion’s Pais in Matthew 8:5-13 : A
Narrative Approach.” Journal of Asia Adventis Seminary 13, no. 2 (2010): 103–112.
Patty, Febby Nancy; Muskita, Elrianton. “Tafsir Sosio-Historis Terhadap Ulangan 15:1-18 Dan Kontribusinya Bagi Masyarakat Kepulauan.” Kenosis: Jurnal Kajian Teologi 5, no. 1 (2019): 25–26.
Patty, Albertus M. No Title. Edited by S.B S, Nancy & Santoso. 1st ed. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2021.
Pfeiffer, Cahrles F. ; Harrison, Everett F. Tafsiran Alkitab Wycliffe Volume 3 Perjanjian Baru. Malang: Gandum Mas, 2008.
Prasetiawati, Eka. “Menanamkan Islam Moderat Upaya Menanggulangi Radikalisme Di Indonesia.” FIKRI Jurnal Agama Sosial dan Budaya 2, no. 2 (2017): 527.
Putra, Adi. “Memahami Bangsa-Bangsa Lain Dalam Injil Matius” 1, no. 2 (2018): 45–
RI, Kementrian Agama. Moderasi Beragama. Pertama. Jakarta Pusat: Badan Litbang dan 51.
Diklat Kementerian Agama RI Gedung Kementerian Agama RI, 2019.
———. Tanya Jawab Moderasi Beragama. Pertama. Jakarta Pusat: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Gedung Kementerian Agama RI, 2019.
Singgih, E.G. “Ide Umat Terpilih Dalam Perjanjian Lama: Positif Atau Negatif.” In Iman Dan Politik Dalam Era Reformasi, 127–130. 1st ed. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004.
Surbakti, Elisa B. Benarkah Yesus Juruselamat Universal. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008.
Tenney, Merril C. Survey Perjanjian Baru. Malang: Gandum Mas, 2013.
TIM IVP. Ensiklopedi Alkitab Masa Kini JIlid I. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2013.
Titaley, John A. “Menuju Teologi Agama-Agama Yang Kontekstual.” In Menuju Teologi Agama-Agama Yang Kontekstual, 8. 1st ed. Salatiga: UKSW, 2001.
Wenno, Vincent Kalvin. “Persoalan Pengudusan Pasangan Dalam Pernikahan Beda Agama: Kritik Sosio- Historis 1 Korintus 7:12-16.” Dunamis: Jurnal teologi dan Pendidikan Kristiani 5, no. 2 (2021): 212. https://sttintheos.ac.id/e-
journal/index.php/dunamis/article/view/314/196.
Jurnal Teologi Gracia Deo, e-ISSN: 2655-6863 | 263
Wijngaards, J. Persaudaraan Bersama Yesus. Edited by A Wydiamartaya. 2nd ed.
Yogyakarta: Kanisius, 1993.
Yewangoe, A.A. “Keprihatinan Mastra Terhadap Relasi Umat Beragama.” In Gereja Memasuki Milenium III, edited by Ayub K Suyaga, 19. Malang: Yayasan
Persekutuan Pekabaran Injil Indonesia, 2001.
———. “Pelayanan Dalam Masyarakat Majemuk Indonesia.” In Allah Mengizinkan Manusia Mengalami Diri-Nya, edited by Andri A. Vonny, Veronica B.; Setiawan.
1st ed. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2018.