SIFAT KIMIA BAMBU BELANGKE (Gigantochloa pruriens)
SKRIPSI
ELVARA WINDRA MADYARATRI 151201129
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2019
SIFAT KIMIA BAMBU BELANGKE (Gigantochloa pruriens)
SKRIPSI
Oleh :
ELVARA WINDRA MADYARATRI 151201129
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar sarjana di Fakultas Kehutanan
Universitas Sumatera Utara
PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019
ABSTRAK
ELVARA WINDRA MADYARATRI: Sifat Kimia Bambu Belangke (Gigantochloa pruriens), dibimbing oleh APRI HERI ISWANTO.
Bambu belangke (Gigantochloa pruriens) merupakan jenis bambu yang berasal dari Sumatera yang penyebarannya di wilayah Karo dan Gayo. Informasi mengenai karasteristik kimia bambu belangke berdasarkan arah aksial batang belum tersedia. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi sifat kimia bambu belangke bedasarkan arah aksial batang.
Sampel yang diuji dibagi menjadi tiga bagian batang yaitu pangkal, tengah dan ujung. Komponen kimia yang diuji meliputi komposisi kimia struktural antara lain holoselulosa, α-selulosa, hemiselulosa, ASL (Acid Soluble Lignin) dan AIL (Acid Isoluble Lignin), serta komposisi kimia non-struktural seperti ekstraktif dengan ethanol benzene 1:2 dan kadar abu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya variasi nilai terhadap sifat kimia bambu belangke berdasarkan perbedaan posisi batang. Komposisi kimia struktural tertinggi bambu belangke yaitu Acid Isoluble Lignin (AIL) senilai 29,96% (pangkal), Acid Soluble Lignin (ASL) senilai 4,73%
(tengah), holoselulosa senilai 70,74% (ujung), α-selulosa senilai 46,04% (ujung) dan hemiselulosa senilai 27,68% (tengah). Komposisi kimia non-struktural tertinggi bambu belangke yaitu zat ekstraktif dalam ethanol benzene 1:2 senilai 4,26% (ujung) dan kadar abu senilai 3,03% (pangkal).
Kata kunci : aksial batang, Gigantochloa pruriens, sifat kimia
ABSTRACT
ELVARA WINDRA MADYARATRI: Chemical Properties of Belangke Bamboo (Gigantochloa pruriens), supervised by APRI HERI ISWANTO.
Belangke bamboo (Gigantochloa pruriens) is a type of bamboo originating from Sumatera, which spreads in the Karo and Gayo. Information on chemical characteristic belangke bamboo by the axial direction is not yet available.
Therefore, the aim of this study was to explore the chemical properties of the belangke bamboo based on axial direction of the stem. The samples tested were divided into three parts, namely the stem base, middle and end. The chemical components were tested includes structural chemical composition among others holoselulosa, α-cellulose, hemicellulose, ASL (Acid Soluble Lignin) and AIL (Isoluble Acid Lignin), as well as the chemical composition of the non-structural as with ethanol extractive benzene 1: 2 and ash. The results showed that the variation of the value of the chemical properties of the belangke bamboo based on different positions. The highest structural chemical composition of belangke bamboo are 29.96% Acid Isoluble Lignin (base of stem),4.73% Acid Soluble Lignin (middle of stem), 70.74% holocellulose (end of stem ), 46.04% α-cellulose (end of stem) and 27.68% hemicellulose (middle of stem). The highest non- structural chemical composition of belangke bmboo is 4.26% extractive substances in benzene ethanol 1:2 (end of stem) and 3.03% ash content (base of stem).
Keywords : axial stem, Gigantochloa pruriens, chemical properties
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 29 Agustus 1997. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara oleh pasangan Bapak Drs. Hendra Wijaya dan Ibu Dra. Tarsetyaning Hesti Winahyu.
Penulis memulai pendidikan di SD Swasta Pertiwi Medan pada tahun 2003-2009, pendidikan tingkat Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 7 Medan pada tahun 2009-2012, pendidikan tingkat Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 3 Medan pada tahun 2012-2015. Pada tahun 2015, penulis lulus di Fakultas Kehutanan USU melalui jalur ujian tulis (mandiri). Penulis memilih minat Departemen Teknologi Hasil Hutan.
Semasa kuliah penulis merupakan anggota organisasi Rain Forest USU.
Penulis telah mengikuti Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Pondok Buluh pada tahun 2017. Pada tahun 2018 penulis juga telah menyelesaikan Praktik Kerja Lapang (PKL) di Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC). Pada awal tahun 2018 penulis melaksanakan penelitian dengan judul Sifat Kimia Bambu Belangke (Gigantochloa pruriens) di bawah bimbingan Dr. Apri Heri Iswanto, S.Hut., M.Si.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas Rahmat dan Karunia- Nya Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini berjudul “Sifat Kimia Bambu Belangke (Gigantochloa pruriens)”. Penulisan skripsi ini merupakan tugas akhir dalam pendidikan Strata-1 dan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana pada Program Studi Kehutanan, Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara.
Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, dukungan, dan bimbingan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:
1. Kedua orang tua, Bapak Drs. Hendra Wijaya dan Ibu Dra. T. Hesti Winahyu, atas dukungan dari segi moril maupun materil serta kasih sayang dan doa yang tulus. Setiap hal yang diberikan kedua orang tua kepada penulis merupakan semangat dalam perjuangan menyelesaikan skripsi ini.
2. Dr.Apri Heri Iswanto, S.Hut., M.Si selaku Dosen Pembimbing yang senantiasa meluangkan waktu untuk membimbing dan memberikan ilmu, serta memberikan kritik dan saran terhadap penulisan skripsi ini.
3. Dekan Fakultas Kehutanan Ibu Siti Latifah, S.Hut., M.Si., Ph.D dan Ketua Departemen Teknologi Hasil Hutan Bapak Arif Nuryawan, S.Hut., M.Si., Ph.D serta dosen-dosen lainnya yang telah memberi ilmu selama masa perkuliahan.
4. Rekan tim penelitian terutama Anggara Ridho Putra, Nicko Septuari Hutabarat dan Bernando Syaputra Lumban Raja yang telah membantu pelaksanaan dan menyumbangkan semangat serta kerjasama yang baik saat penelitian, serta teman-teman mahasiswa/i Fakultas Kehutanan USU khususnya di Teknologi Hasil Hutan angkatan 2015.
Terakhir, penulis hendak menyapa setiap nama yang tidak dapat penulis cantumkan satu per satu, terimakasih atas doa dan dukungan yang senantiasa mengalir tanpa sepengetahuan penulis. Terimakasih kepada orang-orang yang turut bersuka cita atas keberhasilan penulis menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa pembuatan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari segi materi maupun teknik penulisan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca demi penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya bidang kehutanan.
Medan, Juli 2019
Elvara Windra Madyaratri
DAFTAR ISI
Hal.
LEMBAR PENGESAHAN ... i
PERNYATAAN ORIGINALITAS ... ii
ABSTRAK ... iii
ABSTRACT ... iv
RIWAYAT HIDUP ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR GAMBAR ... x
PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1
Tujuan Penelitian ... 2
Kegunaan Penelitian... 2
TINJAUAN PUSTAKA A. Deskripsi Bambu Belangke ... 3
A.1. Taksonomi Bambu Belangke ... 3
A.2. Morfologi Bambu Belangke ... 3
A.3. Habitat dan Penyebaran Bambu Belangke ... 3
B. Komponen Kimia ... 3
B.1. Komposisi Kimia Struktural ... 4
B.1.1. Selulosa ... 4
B.1.2. Hemiselulosa ... 4
B.1.3. Lignin ... 5
B.2. Komposisi Kimia Non-Struktural ... 5
B.2.1. Ekstraktif ... 5
B.2.2. Abu ... 6
C. Review Hasil Penelitian Tentang Sifat Kimia Bambu ... 7
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat ... 9
Bahan dan Alat ... 9
Prosedur Penelitian... 9
Persiapan Sampel ... 9
Kadar Lignin Klason ... 10
Kadar Lignin Terlarut Asam ... 10
Kadar Holoselulosa ... 10
Kadar α-Selulosa ... 11
Kadar Ekstraktif dalam Ethanol Benzena (1:2) ... 12
Kadar Abu ... 13
HASIL DAN PEMBAHASAN Komponen Kimia Struktural Bambu Belangke (Gigantochloa pruriens) ... 14
Lignin AIL dan ASL ... 14
Holoselulosa ... 16
α-Selulosa ... 18 Hemiselulosa ... 19 Komponen Kimia Non-Struktural Bambu Belangke (Gigantochloa pruriens) .... 20 Kelarutan Ekstraktif dalam Ethanol Benzena (1:2) ... 20 Kadar Abu ... 21 KESIMPULAN
Kesimpulan ... 23 DAFTAR PUSTAKA ... 24
DAFTAR TABEL
No. Teks Hal.
1. Komponen Kimia Sepuluh Jenis Bambu ... 7 2. Komponen Kimia Sepuluh Jenis Bambu dari Jawa Timur ... 8 3. Komposisi Kimia Struktur Bambu Belangke Berdasarkan Posisi
Pada Batang ...14 4. Komposisi Kimia Non-Struktural Bambu Belangke Berdasarkan
Posisi Pada Batang ...20
DAFTAR GAMBAR
No. Teks Hal.
1. Kadar Lignin ASL (Acid Soluble Lignin) dan AIL (Acid Insoluble
Lignin) Berdasarkan Posisi Batang. ... 15
2. Kadar Holoselulosa Berdasarkan Posisi Batang ... 17
3. Kadar α-Selulosa Berdasarkan Posisi Batang ... 18
4. Kadar Hemiselulosa Berdasarkan Posisi Batang ... 19
5. Kadar Ekstraktif Berdasarkan Posisi Batang ... 20
6. Kadar Abu Berdasarkan Posisi Batang ... 22
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hutan memiliki peranan penting bagi manusia mulai dari sisi ekologis, sosial budaya dan ekonomis (Kamilia dan Nawiyanto, 2015). Eksploitasi hutan secara berlebihan memperparah terjadinya kerusakan hutan. Hal ini akan berdampak terhadap suplai kayu pada industri perkayuan. Kedepannya perlu sumber alternatif bahan berlignoselulosa pengganti kayu yang memiliki ketersediaan cukup. Dari sekian banyak bahan berlignoselulosa bukan kayu adalah bambu. Menurut Widjaja (2006) bahwa di Indonesia terdapat 156 jenis bambu dan 88 jenis (jadi 56% dari jumlah jenis yang ada di Indonesia) merupakan jenis yang endemik artinya hanya tumbuh di kawasan Indonesia. Bambu tersebar pada daerah tropis, sub tropis dan daerah beriklim sedang. Bambu dapat tumbuh mulai dari iklim kering sampai tropika basah, tanah subur maupun tidak subur, dataran rendah sampai dataran tinggi 4000 meter di atas permukaan laut dan pada daerah tanah datar maupun lereng-lereng gunung atau tebing-tebing sungai (Kencana et al., 2012).
Salah satu jenis bambu yang hanya di jumpai di Sumatera adalah bambu belangke. Menurut Manalu (2008) dalam Alamsyah (2013) bambu belangke merupakan bambu yang hanya dijumpai di Sumatera. Penyebaran bambu belangke (Gigantochloa pruriens) hanya terdapat di wilayah Karo dan Gayo (Dirjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, 1997).
Pemanfaatan bambu belangke (Gigantochloa pruriens) sebagai bahan baku suatu produk bagi sektor industri kehutanan tidak terlepas dari sifat dasarnya yaitu fisis, mekanis, kimia, anatomi dan lainnya. Fokus penelitian ini mengkaji sifat kimia bambu belangke. Sifat kimia lignoselulosa terdiri atas komponen struktural dan non-struktural. Analisis kimia yang dapat dilakukan yaitu penetapan kadar selulosa, lignin, abu, kelarutan dalam air dingin atau air panas serta alkohol benzen (Gusmailina dan Sumadiwangsa, 1988).
Menurut Sutardi et al. (2015) bahwa analisis sifat kimia bambu berpengaruh terhadap penggunaan bambu yang optimal. Bambu wulung, tutul, mayan dan petung bagus untuk konstruksi ringan, furnitur/mebel dan kerajinan
anyaman. Bambu andong atau gomleh dan mayan baik untuk konstruksi berat, jembatan dan bambu lamina. Menurut Loiwatu dan Manuhuwa (2008) bahwa posisi batang bambu petung, sero dan tui yang berasal dari Seram, Maluku berpengaruh nyata terhadap komposisi kimia bambu. Semua jenis bambu yang diteliti sangat rentan terhadap organisme perusak, namun sangat mudah diawetkan. Atas dasar uraian tersebut, data dari sifat kimia bambu belangke (Gigantochloa pruriens) belum ada. Penelitian ini dilakukan untuk mengatasi terjadinya gap pada variabilitas sifat kimia bambu belangke.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data sifat kimia Bambu Belangke (Gigantochloa pruriens) berdasarkan arah aksial batang.
Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dasar mengenai sifat kimia Bambu Belangke (Gigantochloa pruriens) terkait dengan penggunaan bambu untuk kepentingan lebih lanjut.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Deskripsi Bambu Belangke A.1. Taksonomi Bambu Belangke
Menurut Anonim (2019) taksonomi bambu belangke (Gigantochloa pruriens Widjaja) sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Angiospermae Klas : Monocots Ordo : Poales Famili : Poaceae Genus : Gigantochloa
Spesies : Gigantochloa pruriens W A.2. Morfologi Bambu Belangke
Bambu belangke memiliki batang berwarna hijau. Batang bambu yang berkembang dari rebung dapat tumbuh cepat bahkan dapat mencapai tinggi maksimum 12 m dalam waktu 9 – 10 minggu. Diameter batang bambu sekitar 4,67-5,10 cm. Panjang buku pada buluh muda sekitar 12 – 15 cm sedangkan pada buluh tua sekitar 26 – 34 cm. Bambu memiliki cabang pada batang utama yang
dapat tumbuh ketika bambu berumur lebih dari 10 minggu (Suprihatno et al., 2012).
A.3. Habitat dan Penyebaran Bambu Belangke
Bambu belangke termasuk bambu khas dari Sumatera karena hanya ditemukan pada daerah Karo dan Gayo. Potensi ketersediaan bambu belangke pada hutan rakyat di Sumatera Utara dengan luas hutan rakyat bambu sekitar 8,16 ha, dengan total rumpun bambu sebesar 676 rumpun. Dari total luasan tanaman bambu tersebut terdapat 83 rumpun/ha, dengan banyak batang bambu dalam satu hektar sebesar 4,047 batang/ha (Alamsyah et al., 2013).
B. Komponen Kimia
Kandungan kimia yang ada pada bambu dengan genus Gigantochloa perlu
dipelajari untuk mengetahui persentase kandungan ekstraksi, kandungan
α-selulosa, lignin dan abu. Pengetahuan tentang kandungan kimia pada bambu akan memudahkan penggunaan bahan untuk industri dalam bidang kehutanan dan pemanfaatan industri kimia (Wahab et al., 2013). Menurut Fazita et al. (2016) bahwa komposisi kimiawi bambu diketahui mirip dengan kayu.
Komponen kimia digunakan sebagai pengenal ketahanan bahan baku terhadap organisme perusak, serta untuk menentukan pengolahan dan pengerjaan dengan hasil yang maksimal. Pada umumnya, komponen kimia terdiri dari unsur karbohidrat yaitu selulosa dan hemiselulosa, unsur non-karbohidrat yaitu lignin dan zat ekstraktif yaitu unsur yang diendapkan kayu ketika proses pertumbuhan (Dumanauw, 2001).
B.1. Komposisi Kimia Struktural
Komposisi kimia struktural terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin.
Menurut Li et al. (2014) bahwa selulosa, hemiselulosa dan lignin adalah tiga komposisi kimia utama dan mereka terkait erat dalam struktur yang kompleks.
Mereka berkontribusi sekitar 90% dari total total massa bambu (Azeez dan Orege, 2018).
B.1.1. Selulosa
Selulosa merupakan senyawa organik polisakarida yang tersusun dari beberapa ratus hinga lebih dari sepuluh ribu unit D-glukosa dalam bentuk rantai linier. Selulosa berbentuk lebih kristalin dibandingkan dengan pati. Selulosa memerlukan suhu 320oC dan tekanan 25 MPa untuk merubahnya menjadi amorf dalam air. Selulosa yang dilarutkan dalam asam pekat dengan suhu tinggi dapat terbagi secara kimia ke dalam unit-unit glukosa (Ismanto dan Baharudin, 2011).
Alpha Cellulose (α- Selulosa) adalah selulosa berantai panjang, tidak larut dalam larutan NaOH 17,5% atau larutan basa kuat dengan DP (Derajat Polimerisasi) 600 – 15000. Alpha selulosa dipakai sebagai penduga dan atau tingkat kemurnian selulosa. Semakin tinggi kadar alfa selulosa, maka semakin baik mutu bahannya (Sumada et al., 2011).
B.1.2. Hemiselulosa
Hemiselulosa adalah susunan molekul heksosa, pentosa, asam uronik dan turunannya yang termasuk polisakarida non-selulosa. Hemiselulosa tidak memiliki fungsi yang jelas seperti selulosa, nama keberadaannya sama dengan
selulosa di dalam dinding sekunder sel kayu (Muladi, 2013). Hemiselulosa yang tinggi menyebatkan serat lebih fleksibel, mudah mengembang dan plastis karena daya serap air tinggi. Serat yang plastis menyebabkan luas permukaan yang tinggi (Fatriasari dan Hermiati, 2008).
Kandungan hemiselulosa baik secara kuantitatif dan kualitatif berbeda pada berbagai spesies, komponen utamanya adalah O-asetil-4-O-metil glukorono- β-D-xilan, kadang-kadang disebut glukoroxilan. Tergantung pada spesies, kandungan xilan bervariasi dalam batas 1-30% dari kondisi kering (Sjostrom, 1995).
Kandungan hemiselulosa (pati) dapat menentukan kerentanan bambu terhadap mikroorganisme perusak (rayap dan kumbang). Semakin tinggi pati maka semakin rentan terhadap mikroorganisme perusak (Febrianto et al., 2014).
B.1.3. Lignin
Lignin merupakan komponen dinding sel ketiga yang terdiri dari polimerisasi tiga dimensi yang terbentuk dari fenilpropan yang tersusun secara rumit. Lignin berfungsi sebagai semen di atara serat kayu dan zat penguat.
Biasanya di dalam produksi pulp, lignin dilarutkan dengan berbagai proses kimia (Wahab et al., 2013).
Lignin merupakan suatu bagian dari dinding sel berkayu. Lignin merupakan suatu polimer amorphous yang dikenal sebagai protolignin.
Protolignin dapat bersifat termoplastik yang memegang peranan penting dalam mengikat serabut satu sama lain. Protolignin sukar larut dan rendah sifat higroskopisnya. Lignin ini bersifat sebagai bahan pengisi dan mengurangi perubahan dalam dimensi dinding sel akibat dari perubahan kadar air (Tellu, 2008).
B.2. Komposisi Kimia Non-Struktural Bambu B.2.1. Ekstraktif
Zat ekstraktif merupakan salah satu komponen kimia yang berpengaruh terhadap sifatnya seperti bau, warna, keawetan dan lainnya. Keawetan secara alami ditentukan oleh jenis dan banyaknya zat ekstraktif yang bersifat racun terhadap organisme perusak. Keawetan alami bervariasi antar spesies tetapi juga di dalam batang yang sama (Tsoumis, 1991).
Ekstraktif pada umumnya terdiri dari senyawa-senyawa tunggal tipe lipofil maupun hidrofil. Ekstraktif merupakan konstituen yang tidak terstruktur, hampir seluruhnya terbentuk dari senyawa-senyawa ekstraseluler dan berat molekul rendah. Biasanya bagian yang berbeda dari pohon yang sama seperti batang, cabang, kulit kayu mempunyai kandungan ekstraktif yang berbeda (Sjostrom, 1995).
B.2.2. Abu
Abu menunjukkan kandungan bahan anorganik kayu yang merupakan sisa setelah pembakaran bahan organik. Abu dapat ditelusuri karena adanya senyawa yang tidak terbakar yang mengandung unsur-unsur seperti kalsium, kalium, magnesium, mangan dan silikon (Haygreen dan Bowyer, 1989).
C. Review Hasil Penelitian Tentang Sifat Kimia Bambu
Menurut Sutardi et al. (2015) bahwa analisis sifat kimia bambu berpengaruh terhadap kemungkinan penggunaan bambu yang optimal. Berikut adalah komponen kimia sepuluh jenis bambu.
Tabel 1. Komponen Kimia Sepuluh Jenis Bambu Jenis
Komponen Kimia (%)
Selulosa Hemiselulosa Lignin Ekstraktif
NaOH Ethanol Benzen Air Panas Air Dingin
Wulung (Gigantochloa atroviolacea) 42,32 21,00 32,35 17,42 2,24 5,14 3,41
Tutul (Bambusa maculata) 46,36 27,00 36,35 19,52 3,68 6,54 1,05
Apus (Gigantochloa apus) 61,29 - 31,45 17,75 1,82 5,19 3,60
Andong (Gigantochloa pseudoarundinaceae) 59,58 - 31,42 18,43 2,73 3,74 2,50
Mayan (Gigantochloa robusta) 57,55 5,77 31,66 23,95 3,24 9,63 6,68
Betung (Dendrocalamus asper) 55,10 8,22 32,35 19,12 2,24 3,91 2,15
Ampel (Bambusa vulgaris) 44,79 - 28,01 31,19 4,32 9,16 2,55
Ater (Gigantochloa atter) 44,29 - 36,08 26,6 3,95 11,39 8,17
Duri (Bambusa blumeana) 47,81 15,51 24,43 29,62 9,68 13,96 11,39
Temen (Gigantochloa verticillata) 47,81 15,51 24,43 29,62 9,68 13,96 11,39
Sumber : Sutardi et al. (2015)
Menurut Gusmailina (1988) bahwa komponen kimia bambu memiliki nilai yang relatif sama dengan kayu. Berikut adalah tabel komponen kimia sepuluh jenis bambu dari Jawa Timur.
Tabel 2. Komponen Kimia Sepuluh Jenis Bambu dari Jawa Timur Jenis
Komponen Kimia (%)
Selulosa Pentosan Lignin Ekstraktif
NaOH Ethanol Benzen Air Panas Air Dingin
Madake (Phyllostachys bambusoides) 48,3 21,2 22,2 24,5 4,3 9,4 5,3
Petung (Dendrocalamus asper) 52,9 18,8 24,8 22,2 0,9 6,1 4,5
Apus (Gigantochloa apus) 52,1 19,3 24,9 25,1 1,4 6,4 5,2
Batu (Gigantochloa nigrociliata) 52,2 19,2 26,6 23,1 2,5 5,3 4,6
Peting (Gigantochloa verticiliata) 49,5 17,8 23,9 28,0 6,9 10,7 9,9
Ampel (Bambusa vulgaris) 45,3 20,4 25,6 29,8 5,2 9,4 8,3
Bambos (Bambusa bambos) 50,8 20,5 23,5 24,8 2,0 6,3 4,6
Kyathaung (Bambusa polymorpha) 53,8 17,7 20,8 22,4 1,9 6,9 4,9
Tinwa (Chepalostachyum pergraciles) 48,7 17,5 19,8 29,3 6,7 11,8 9,8
Melocanna bambusoides 42,4 21,5 24,7 28,4 4,0 9,7 7,3
Sumber : Gusmailina et al. (1988)
METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari sampai Oktober 2018.
Rangkaian kegiatan mulai dari pengambilan bambu, persiapan bambu menjadi serbuk dan penelitian serbuk bambu. Penelitian dilakukan di Laboratorium LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia).
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah serbuk bambu belangke, akuades, air panas, air dingin, ethanol benzene1:2, NaOH 17 dan 8,3%, asam asetat 10%, H2SO4 72%, NaClO2 25% dan aseton.
Alat yang digunakan oven 105°C, timbangan, kertas saring, benang kasur, kapas, wadah kaca, desikator, crussible porcelain, electric muffle furnace, labu didih, kokon, rangkaian alat ekstraksi, botol vial, filter funnel 1G3, botol duran 100 ml, stirrer plate, magnetic stirrer, botol dan pompa vakum, tabung centrifuge, vortex mixer, spektrofotometer UV-Vis, kuvet kuarsa, erlenmeyer, gelas ukur, waterbath shaker, pipet ukur dan spatula.
Prosedur Penelitian Persiapan Sampel
Persiapan sampel dilakukan berdasarkan standar Technical Association of the Pulp and Paper Industry (TAPPI) T 257 cm-02 dan TAPPI T 264 cm-97.
Dalam persiapan sampel, sampel bambu/biomassa yang digunakan untuk pengujian komposisi kimia bambu diusahakan dapat mewakili keseluruhan sampel yang ada. Sampel dibagi menjadi 3 bagian yaitu Pangkal (P), Tengah (T) dan Ujung (U). Kemudian dihaluskan menggunakan ring flaker/hammer mill/disk mill hingga seluruhnya lolos pada ayakan No. 40 Mesh. Apabila sampel dalam keadaan basah, sampel dapat dikeringkan diudara bebas atau dimasukkan kedalam oven dengan temperatur maksimal 40°C. Sampel diaduk dan disimpan dalam plastik/kontainer kedap udara untuk pengujian selanjutnya.
Kadar Lignin Klason (Acid Insoluble Lignin)
Pengujian ini dilakukan berdasarkan standar National Renewable Energy Laboratory (NREL) Laboratory Analytical Procedure (LAP) 003. Dikeringkan filter funnel 1G3 kosong dalam oven bersuhu 105°C minimal 4 jam sebelum pengujian. Kemudian didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang berat kering ovennya. Sampel bebas ekstraktif ditimbang sebanyak 0,3 gr (dicatat beratnya) dan dimasukkan dalam botol vial kecil mulut lebar ±20 ml. Pada saat yang bersamaan, sampel diukur kadar airnya seperti pada prosedur 2. Sampel ditambahkan H2SO4 72% sebanyak 3 ml. Kemudian diaduk menggunakan magnetic stirrer selama 2 jam pada suhu ruang (dikondisikan mengunakan cawan petri yang berisi air). Sampel tersebut dipindahkan kedalam botol duran 100 ml dan diencerkan menggunakan aquades sebanyak 84 ml hingga konsentrasi akhir H2SO4 sebesar 4%. Botol duran yang berisi sampel ditutup rapat dan diautoklaf dengan suhu 121°C selama 1 jam. Kemudian sampel disaring menggunakan gelas filter 1G3 dengan bantuan vakum, filtrasi sebanyak ±10 ml dan disimpan untuk pengukuran lignin terlarut asam. Sampel dalam filter funnel 1G3 dicuci dengan air panas minimum 50 ml dan dikeringkan dalam oven bersuhu 105°C selama 24 jam. Setelah itu sampel dikeluarkan dari oven dan didinginkan dalam desikator selama 30 menit, kemudian ditimbang beratnya.
Kadar Lignin Terlarut Asam (Acid Soluble Lignin)
Pengujian ini dilakukan berdasarkan standar NREL LAP 003. Sampel filtrat hasil hidrolisis dan H2SO4 diencerkan sebanyak yang diperlukan dalam tabung centrifuge atau wadah lain. Blangko H2SO4 yang telah diencerkan digunakan untuk men-auto zero-kan absorbansi spektrofotometer yang telah disetting pada panjang gelombang 205 nm. Kemudian sampel diukur absorbansinya dan harus berada dalam rentang 0,2-0,8, bila absorbansinya berada diluar rentang ini maka dilakukan pengenceran dengan blangko H2SO4.
Kadar Holoselulosa
Pengujian ini dilakukan berdasarkan Paper Trade J oleh Wise et al., 1946.
Dikeringkan filter funnel 1G3 kosong dalam oven bersuhu 105°C minimal 4 jam sebelum pengujian. Kemudian didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang berat kering ovennya. Sampel bebas ekstraktif ditimbang sebanyak
1,0 gr (dicatat beratnya) dan dimasukkan ke dalam erlenmenyer ukuran 100 ml.
Pada saat yang bersamaan, sampel diukur kadar airnya seperti pada prosedur 2, ditambahkan aquades sebanyak 40 ml pada sampel. Lalu tambahkan 1,5 ml NaClO2 25% dan 0,125 ml asam asetat glasial 100%. Kemudian diaduk dan ditutup rapat menggunakan plastik tahan panas dan diikat kuat menggunakan karet gelang. Sampel tersebut dipanaskan dalam waterbath selama 1 jam pada suhu 80°C diulang 3 kali. Kemudian sampel didinginkan dalam icebath, dan sampel disaring menggunakan kertas saring 1G3 yang telah ditimbang. Sampel kemudian dicuci dengan air dingin sebanyak 100 ml dan terakhir menggunakan aseton sebanyak 25 ml. Kemudian sampel dikeringkan dalam oven 105°C selama 24 jam. Setela itu sampel dikeluarkan dari oven dan didinginkan dalam desikator selama 30 menit, kemudian ditimbang beratnya.
Kadar α-Selulosa
Pengujian ini dilakukan berdasarkan Chemical Rubber Company (CRC) Press oleh Rowell tahun 2005. Dikeringkan filter funnel 1G3 kosong dalam oven bersuhu 105°C minimal 4 jam sebelum pengujian. Kemudian didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang berat kering ovennya. Sampel holoselulosa ditimbang sebanyak 0,5 gr (dicatat beratnya) dan dimasukkan ke dalam botol vial mulut lebar ±20 ml. Pada saat yang bersamaan, sampel diukur kadar airnya seperti pada prosedur 2. Sampel ditambahkan NaOH 17% sebanyak 6,25 ml, pastikan seluruh sampel telah terbasahi dengan reagennya, lalu sampel diaduk menggunakan magnetic stirrer selama 15 menit, dan dibiarkan tanpa pengadukan selama 30 menit. Lalu tambahkan 8,25 ml ke dalam campuran dan diaduk menggunakan magnetic stirrer selama 5 menit dan dibiarkan tanpa pengadukan selama 1 jam. Kemudian disaring menggunakan gelas saring 1G3 dan dibilas menggunakan NaOH 8,3% sebanyak 25 ml, dan dicuci menggunakan aquades sebanyak 100 ml. Cabut selang vakum yang menempel ke botol vakum.
Lalu sampel dalam 1G3 ditambahkan dalam asam aseton 10% sebanyak 10 ml (biarkan terendam selama 3 menit), kemudian sambungkan kembali selang vakum dan biarkan hingga seluruh larutannya terhisap. Bilas dengan aquades hingga netral kemudian sampel dikeringkan dalam oven bersuhu 105°C selama 24 jam.
Setelah itu sampel dikeluarkan dari oven dan didinginkan dalam desikator selama 30 menit, kemudian ditimbang beratnya.
Kadar Ekstraktif dalam Ethanol Benzene (1:2)
Pengujian ini dilakukan berdasarkan standar TAPPI T 204 cm-97. Labu didih dikeringkan dalam oven bersuhu 105°C selama minimal 4 jam, kemudian didinginkan di desikator selama 30 menit. Labu didih kosong ditimbang berat kering oven. Selanjutnya sampel ditimbang sebanyak 3 gr (catat berat yang ditimbang), lalu dimasukkan dan dibungkus ke dalam kertas saring yang diberi kapas pada kedua ujungnya dan diikat menggunakan benang kasur. Kadar air sampel dihitung (Prosedur 2) bersamaan pada saat penimbangan sampel untuk ekstraktif. Alat ekstraktif disusun dan dinyalakan dimasukkan ethanol-benzene (1:2) sebanyak 150 ml ke dalam labu didih. Sampel diekstraktif tidak lebih dari 24 siklus selama 4-5 jam hingga seluruh zat ekstraktif terlarut dalam larutan pengekstrak (ditandai dengan larutan pengekstrak dalam sokhlet tidak berwarna), kemudian sampel dikeluarkan dari sokhlet. Larutan pengekstrak dalam labu didih dalam oven suhu 40°C dan disimpan untuk pengujian selanjutnya (holoselulosa dan lignin). Labu didih yang berisi pelarut yang mengandung zat ekstraktif kemudian diuapkan pelarutnya hingg bersisa sekitar 5 ml, lalu dikeringkan dalam oven bersuhu 105°C selama 24 jam. Kemudian didinginkan dalam desikator selama 30 menit. Labu didih yang berisi zat ekstraktif ditimbang berat akhirnya.
Blangko larutan pengekstrak diukur dengan metode yang sama, hanya tanpa menggunakan sampel. Dihitung kadar ekstraktifnya dengan rumus
Kadar Ekstraktif (%) = (C − A) − (E − D)
B × 100%
Dimana
A : Berat kering oven labu didih kosong untuk sampel (gr) B : Berat sampel tanpa kandungan air (gr)
C : Berat kering oven labu didih dan zat ekstraktif (gr) D : Berat kering oven labu didih kosong untuk blangko (gr)
E : Berat kering oven labu didih dan pelarut ekstraktif /blangko (gr)
Kadar Abu
Pengujian ini dilakukan berdasarkan standar TAPPI T 211 cm-02.
Dikeringkan crucible porcelain dalam tanur selama 30-60 menit dengan suhu 525±25°C, kemudian didinginkan selama 30-60 menit dalam desikator dan dicatat beratnya. Serbuk bambu kering sebanyak 1 gr ditimbang dalam crucible porcelain yang sudah diketahui beratnya, kemudian dimasukkan kedalam tanur bersuhu 525±25°C selama 6 jam. Setelah itu sampel dikeluarkan dari tanur dan didinginkan dalam desikator selama 30-60 menit dan ditimbang beratnya.
Blangko selulosa diukur dengan metode yang sama, dengan menggunakan kertas saring kering whatman bebas abu. Dihitung kadar abu dalam sampel dengan rumus:
Kadar Abu (%) = (C − A) − (E − D)
B × 100%
Dimana
A : Berat kering oven crucible porcelain kosong untuk sampel (gr) B : Berat sampel tanpa kandungan air (gr)
C : Berat kering oven crucible porcelain dan abu (gr)
D : Berat kering oven crucible porcelain kosong untuk blangko (gr) E : Berat kering oven crucible porcelain dan blangko selulosa (gr)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sifat kimia bambu belangke (Gigantochloa pruriens) yang diperoleh melalui batang bagian pangkal, tengah dan ujung diketahui melalui komposisi komponen kimia baik komponen kimia struktural maupun komponen kimia non- struktural. Menurut Dumanauw (2001) bahwa secara umum, komponen kimia terbagi menjadi unsur karbohidrat (selulosa dan hemiselulosa) dan non- karbohidrat (lignin) serta zat ekstraktif yang berasal dari pengendapan saat proses pertumbuhan. Pengetahuan terhadap kadar komposisi kimia tersebut dapat berpengaruh terhadap penggunaan bambu.
Komponen Kimia Struktural Bambu Belangke (Gigantochloa pruriens) Hasil analisis komponen kimia struktural seperti yang tercantum di dalam Tabel 3 menunjukkan bahwa komposisi kimia bambu yang terdapat di dalam bagian-bagian bambu baik pada bagian pangkal, tengah dan ujung bervariasi. Data selengkapnya disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi Kimia Struktural Bambu Belangke Berdasarkan Posisi Batang Bambu
Be- langke
Acid Insoluble Lignin (%)
Acid Soluble Lignin (%)
Holoselulosa (%)
α-Selulosa (%)
Hemiselulosa (%) Posisi Rata
rata St.Dv Rata rata
St.
Dv
Rata
rata St. Dv Rata rata
St.
Dv
Rata
rata St. Dv P 29,96 0,48 3,42 0,08 69,11 1,16 43,16 0,39 25,95 0,76 T 28,25 1,10 4,73 0,85 70,47 0,74 42,79 0,21 27,68 0,52 U 26,79 0,50 2,85 0,21 70,74 0,12 46,04 0,44 24,70 0,32 Rata-
rata 28,33 0,69 3,67 0,38 70,11 0,67 44,00 0,35 26,11 0,53 Keterangan: P = Pangkal
T = Tengah U = Ujung
St.Dv = Standar Deviasi
Lignin AIL (Acid Insoluble Lignin) dan ASL (Acid Soluble Lignin)
Menurut Loiwatu dan Manuhuwa (2008) bahwa salah satu komponen kimia utama dinding sel serat adalah lignin, yang memiliki fungsi sebagai perekat antara sel sehingga lignin bersifat kaku. Bambu memiliki sifat termoplastik, yaitu dapat lunak atau berubah bentuk jika dipanaskan dan mengeras kembali setelah dingin. Jadi karena bambu memiliki lignin, untuk memudahkan bambu dalam
penggunaannya biasanya bambu dipanaskan terlebih dahulu agar mudah dibentuk tetapi setelah bambu mendingin maka perubahan bentuk bambu tersebut tidak dapat kembali ke bentuknya yang semula.
Menurut Ismanto dan Baharudin (2010) bahwa tidak semua lignin dapat larut dalam pelarut organik. Dalam penggunaan metode Klason untuk menentukan kadar lignin menghasilkan lignin tidak terlarut asam (lignin Klason atau AIL) dan lignin terlarut asam (ASL). Dari hasil penelitian, diperoleh persentase kandungan lignin pada bambu belangke berdasarkan letak pada batang baik lignin ASL (Acid Soluble Lignin) dan AIL (Acid Insoluble Lignin) dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
Gambar 1. Kadar Lignin ASL (Acid Soluble Lignin) dan AIL (Acid Insoluble Lignin) Berdasarkan Posisi Batang
Dari Gambar 1. dapat dilihat bahwa kandungan lignin pada bambu belangke (Gigantochloa pruriens) berdasarkan arah aksial batang menunjukkan adanya variasi dalam persentase nilainya. Kandungan lignin ASL (Acid Soluble Lignin) pada bambu belangke tertinggi berada pada bagian tengah sebesar 4,73%
selanjutnya bagian pangkal sebesar 3,42% dan terkecil pada bagian ujung sebesar 2,85%. Hasil penelitian ini sesuai dengan pernyataan Easty dan Thompson (1991) dalam Iswanto et al. (2019) bahwa kadar ASL atau lignin terlarut asam dalam kayu berkisar antara 3 hingga 5%.
Kandungan lignin AIL (Acid Insoluble Lignin) pada bambu belangke tertinggi berada pada bagian pangkal sebesar 29,96% selanjutnya bagian tengah sebesar 28,25% dan terkecil pada bagian ujung sebesar 26,79%. Hal ini didukung oleh pernyataan Casey (1960) bahwa lignin merupakan salah satu unsur terbanyak kedua di kayu dengan persentase mulai dari 17 hingga 32%. Hasil penelitian ini
29.96 28.25 26.79
3.42 4.73 2.85
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50
Pangkal Tengah Ujung
Lignin (%)
Posisi dalam batang
AIL ASL
sesuai dengan penelitian Fatimah et al. (2013) bahwa kadar lignin pada kayu berkisar antara 22,12-36,61%.
Hasil pengamatan ini sebanding dengan penelitian Hermawan et al. (2014) yang menyatakan bahwa adanya pengaruh jumlah kadar lignin berdasarkan ketinggian suatu batang. Hal tersebut menyebabkan komposisi lignin tertinggi berada pada bagian pangkal, tengah lalu mengalami penurunan pada bagian ujung.
Kadar lignin juga berpengaruh terhadap warna ikatan pembuluh, sehingga pada bagian atas lebih terang dibandingkan ikatan pembuluh pada bagian bawah batang.
Kandungan lignin yang rendah menunjukkan bahwa pada bagian tersebut belum terjadi proses lignifikasi, yaitu penebalan dinding sel oleh senyawa lignin yang disebabkan oleh adanya perubahan senyawa kimia. Menurut Tsoumis (1991) bagian pangkal yang memiliki kandungan lignin tertinggi dapat terjadi karena sel- sel telah mengalami lignifikasi sehingga lignin tidak saja terdapat pada lamella tengah tetapi juga pada dinding sel primer dan sekunder. Dinding sel yang belum berlignifikasi akan mengkerut lebih besar dibandingkan dinding sel yang telah delignifikasi.
Pada penelitian ini menunjukkan bahwa kandungan lignin dan holoselulosa pada bambu memiliki nilai yang berbanding terbalik. Hal ini sesuai dengan pernyataan Fengel dan Wegener (1984) bawah rendahnya kandungan lignin pada bagian ujung jika dibandingkan dengan bagian pangkal diduga disebabkan karena pada bagian ujung bambu memiliki kadar holoselulosa yang lebih tinggi dibandingkan bagian lainnya.
Peningkatan kadar lignin bambu juga memiliki hubungan erat dengan tingkat keawetan bambu sehingga pada bagian pangkal keawetan bambunya lebih tahan lama dibandingkan pada bagian lainnya. Seperti yang dikatakan Loiwatu dan Manuhuwa (2008) bahwa lignin bersifat sulit dicerna oleh rayap sehingga banyaknya lignin dalam batang memungkinkan bambu lebih tahan terhadap kerusakan.
Holoselulosa
Tingginya kadar holoselulosa pada bagian ujung batang disebabkan oleh rendahnya kadar α-selulosa pada bagian ujung batang. Seperti yang dikatakan
Bahtiar et al. (2016) bahwa holoselulosa merupakan gabungan antara selulosa (alpha selulosa) dan hemiselulosa.
Gambar 2. Kadar Holoselulosa Berdasarkan Posisi Batang
Dari Gambar 2. di atas dapat dilihat bahwa adanya peningkatan kadar holoselulosa pada bambu belangke dari bagian pangkal hingga ke ujung. Kadar holoselulosa tertinggi berada pada bagian ujung sebesar 70,74% selanjutnya pada bagian tengah sebesar 70,47% dan terkecil pada bagian pangkal sebesar 69,11%.
Kandungan holoselulosa pada hasil penelitian ini sesuai dengan pernyataan Rowell (2005) bahwa pada umumnya kadar holoselulosa berdasarkan berat kering sebesar 65 hingga 70%. Adanya perbedaan kadar holoselulosa pada setiap bagian batang pada penelitian ini juga didukung oleh pernyataan Li (2004) bahwa setiap bagian pada batang berpengaruh terhadap jumlah kadar holoselulosa. Bagian atas batang memiliki nilai kadar holoselulosa tertinggi, sedangkan bagian bawah batang memiliki nilai kadar holoselulosa terendah.
Pada penelitian ini kadar holoselulosa pada bagian pangkal ke ujung mengalami kenaikan. Hal ini tidak sesuai yang dikatakan Panshin dan de Zeuw (1980) bahwa kadar holoselulosa pada bagian pangkal memiliki nilai tertinggi dan menuju ke bagian ujung mengalami penurunan disebabkan karena adanya pertumbuhan meninggi yang ditentukan oleh jaringan meristem.
Tinggi rendahnya kadar holoselulosa berpengaruh terhadap jumlah lignin di dalam bambu. Kadar holoselulosa pada umumnya berbanding terbalik dengan besarnya lignin. Pada penelitian ini kadar nilai holoselulosa terendah pada bagian pangkal, maka nilai lignin tertingginya pada bagian pangkal. Hal tersebut sesuai
69.11 70.47 70.74
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Pangkal Tengah Ujung
Holoselulosa (%)
Posisi dalam batang
dengan pernyataan Junaidi dan Yunus (2009) bawa tingginya kadar holoselulosa pada kayu menyebabkan rendahnya kadar lignin.
Alpha-Selulosa (α-selulosa)
Menurut Sumada et al. (2011) bahwa alpha cellulose (α-selulosa) merupaka selulosa berantai panjang yang tidak larut dalam larutan basa kuat seperti larutan NaOH 17,5% atau larutan dengan DP (Derajat Polimerisasi) 600 hingga 1500. Jenis bahan dan metode yang digunakan dapat mempengaruhi persentase jumlah alpha selulosa yang dihasilkan. Persentase kadar alpha selulosa dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Kadar α-selulosa Berdasarkan Posisi Batang
Menurut Loiwatu dan Manuhuwa (2008) bahwa kandungan kimia utama pada bamby adalah selulosa. Pada penelitian ini diperoleh kadar α-selulosa bambu belangke berdasarkan posisi batang memiliki nilai tertinggi pada bagian ujung sebesar 46,04% selanjutnya pada bagian pangkal sebesar 43,16% dan terkecil pada bagian tengah sebesar 42,79%. Nilai α-selulosa pada penelitian ini sesuai dengan pernyataan Li (2004) bahwa persentase kadar alpha-cellulose pada bambu berkisar 40 hingga 55%.
Kadar selulosa pada bambu belangke mempunyai nilai yang bervariasi pada setiap bagian. Pada bagian ujung memiliki nilai tertinggi dan pada bagian tengah memiliki nilai terendah. Kandungan selulosa pada satu batang bambu memiliki nilai yang berbeda pada arah aksial batang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Haygreen and Bowyer (1996) bahwa adanya variasi jumlah selulosa pada kayu, dimana dalam pembentukannya banyak faktor-faktor dari pohon tersebut maupun lingkungan tempat tumbuhnya yang menyebabkan adanya
43.16 42.79 46.04
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50
Pangkal Tengah Ujung
α-selulosa (%)
Posisi dalam batang
variasi dalam tipe, jumlah, ukuran, bentuk, struktur fisik, dan susunan kimia elemen-elemen kayu.
Hemiselulosa
Menurut Achmadi (1990) bahwa polimer amorf yang berasosiasi dengan selulosa dan lignin disebut dengan hemiselulosa, yang bersifatnya mudah mengalami depolimerisasi, hidrolisis oleh asam, basa, dan mudah larut air serta memiliki ikatan dengan lignin lebih kuat dari pada ikatan dengan selulosa dan mudah mengikat air. Persentase kadar hemiselulosa pada bambu belangke di setiap bagian batang dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Kadar Hemiselulosa Berdasarkan Posisi Batang
Pada penelitian ini kandungan hemiselulosa bambu belangke memiliki nilai tertinggi pada bagian tengah batang yaitu sebesar 27,68 % selanjutnya pada bagian pangkal batang sebesar 25,95% dan terendah diperoleh pada bagian ujung batang sebesar 24,7%. Nilai kadar hemiselulosa tersebut didukung oleh pernyataan Panshin dan de Zeuw (1980) bahwa sekitar 40 hingga 80% dalam kayu tergolong kadar hemiselulosa. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa kandungan hemiselulosa pada bambu belangke sangat rendah.
Tingginya kadar hemiselulosa pada bagian tengah batang bambu menyebabkan seratnya lebih fleksibel dari pada bagian pangkal dan ujung bambu.
Hal ini seperti yang dikatakan Fatriasari dan Hermiati (2008) bahwa tingginya kadar hemiselulosa dapat menyebabkan pada bagian tersebut terdapat serat yang lebih fleksibel, lebih mudah mengembang dan plastis karena daya serap airnya lebih tinggi.
25.95 27.68 24.7
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50
Pangkal Tengah Ujung
Hemiselulosa (%)
Posisi dalam batang
Komponen Kimia Non-Struktural Bambu Belangke (Gigantochloa pruriens) Dari hasil yang diperoleh dari analisis komponen kimia non-struktural yang tertera pada tabel 4 menunjukkan bahwa komposisi komponen kimia non- struktural kayu yang terdapat di dalam bagian-bagian kayu baik di pangkal, tengah maupun ujungnya bervariasi.
Tabel 4. Komposisi Kimia Non-Struktural Bambu Belangke Berdasarkan Posisi Batang
Sampel Posisi
Ekstraktif (%) Abu (%)
Rata- rata
Standar Deviasi
Rata- rata
Standar Deviasi Bambu
Belangke
Pangkal 3,35 0,66 3,03 0,18
Tengah 2,36 0,25 2,63 0,27
Ujung 4,27 0,34 1,75 0,03
Rata-rata 3,32 0,41 2,47 0,16
Kelarutan Ekstraktif dalam Etanol Benzene (1:2)
Menurut Dumanaw (2001) bahwa zat ekstraktif terdapat dalam rongga sel.
Banyak arti penting yang disebabkan oleh keberadaan zat ekstrakif di dalam kayu seperti dapat mempengaruhi warna, bau, dan rasa suatu jenis kayu, mempermudah dalam mengenal suatu jenis kayu, sebagai bahan industri dan menghindari kesulitan dalam pengerjaan dan kerusakan pada alat serta penentu dalam keawetan kayu.
Gambar 5. Kadar Ekstraktif Berdasarkan Posisi Batang
Pada penelitian ini kandungan zat ekstraktif bambu belangke memiliki nilai tertinggi pada bagian ujung batang yaitu sebesar 4,26 % selanjutnya pada bagian pangkal batang sebesar 3,35% dan terendah diperoleh pada bagian tengah batang sebesar 2,36%. Nilai tersebut sesuai dengan pernyataan Dumanauw (2001) bahwa secara umum persentase kadar zat ekstraktif dalam kondisi kering tanur
3.35
2.36
4.26
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Pangkal Tengah Ujung
Ekstraktif (%)
Posisi dalam batang
berkisar 3 hingga 8%. Didukung oleh pernyataan Tolessa et al. (2017) bahwa bambu memiliki kadar zat ekstraktif sebesar 3 hingga 5%. Dapat disimpulkan kadar ekstraktif bambu belangke pada penelitian ini termasuk relatif sedikit menurut FAO (1980) dalam Setiadi et al. (2015) bahwa kadar ekstraktif dapat dikatakan rendah jika memiliki kandungan zat ekstraktif <5%.
Kadar ekstraktif pada bambu belangke memiliki nilai yang bervariasi di setiap bagian batangnya. Hal ini seperti yang dikatakan Tsoumis (1991) bahwa variasi kandungan zat ekstraktif tidak hanya terdapat pada spesies yang berbeda, melainkan juga terdapat pada satu pohon yang sama. Pada Gambar 5.
menunjukkan bahwa nilai tertinggi terdapat pada bagian ujung. Hal ini sesuai yang dikatakan Li (2004) bahwa ketinggian batang mempengaruhi jumlah kandungan ekstraktif pada bambu sehingga bagian ujung bambu memiliki nilai tertinggi daripada bagian tengah dan bawah. Sedangkan kadar ekstraktif terendah pada bagian tengah. Rendahnya kadar ekstraktif diduga karena susunan pori tempat menyimpan zat ekstraktifnya lebih kecil, sebaliknya tingginya kadar ekstraktif disebabkan pembentukan zat ekstraktif yang berasal dari glukosa (hasil fotosintesa) masih diendapkan (Aryati, 2009).
Tingginya jumlah ekstraktif pada suatu bagian batang tidak menjamin bagian tersebut lebih awet daripada bagian lainnya, tetapi ada atau tidaknya kandungan racun dalam ekstraktif tersebut. Keawetan bambu tergantung pada adanya sifat racun didalam ekstraktif. Ekstraktif yang dikandung bambu pada umumnya tidak beracun sehingga pada umumnya semua jenis bambu harus diawetkan karena mudah diserang kumbang bubuk, cendawan dan rayap dibandingkan kayu (Loiwatu dan Manuhuwa, 2008).
Kadar Abu
Abu adalah residu anorganik yang tersisa setelah pengapian pada suhu tinggi (Pettersen, 1984). Kadar abu adalah persentase dari zat-zat yang tersisa dari proses pembakaran dan tidak memiliki unsur karbon (Karim et al., 2014).
Komponen dalam kadar abu adalah K2O, MgO, CaO dan Na2O (Sokanandi et al., 2014). Persentase kadar abu berdasarkan posisi batang dapat
dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Kadar Abu Berdasarkan Posisi Batang
Pada Gambar 6. menunjukkan persentase nilai kadar abu pada bambu belangke. Pada penelitian ini kandungan kadar abu bambu belangke memiliki nilai tertinggi pada bagian pangkal batang yaitu sebesar 3,03% dilanjutkan pada bagian tengah batang sebesar 2,63% dan terendah diperoleh pada bagian ujung batang sebesar 1,75%. Dapat dilihat bahwa adanya variasi kadar abu pada bambu belangke yang disebabkan oleh kondisi lingkungan dan bagian pada batang (Fengel dan Wegener, 1995 dalam Lukmandaru et al., 2016).
Kadar abu pada bambu belangke mengalami penurunan dari bagian pangkal ke ujung batang. Hal ini tidak sesuai pernyataan Yunanta (2014) dalam Gusmailina dan Hartoyo (1991) bahwa kadar abu cenderung meningkat dari pangkal ke ujung. Kemungkinan ini karena posisi teratas memiliki porsi awal kayu dan gubal yang tinggi. Gubal adalah bagian hidup dari kayu yang masih melakukan aktivitas fisiologis sehingga ada bahan anorganik dari tanah yang disimpan di dinding sel gubal.
Kadar abu tertinggi pada bagian pangkal, sehingga pada bagian tersebut menunjukkan tingginya bahan anorganik pada bambu. Bowyer et al. (2003) mengatakan bahwa bahan abu menunjukkan kandungan bahan anorganik dari kayu, yang tersisa setelah proses pembakaran bahan organik. Abu dapat dilacak karena adanya senyawa yang tidak terbakar yang mengandung unsur-unsur seperti kalsium, kalium, magnesium, mangan, dan silikon.
3.03 2.63
1.75
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Pangkal Tengah Ujung
Kadar Abu (%)
Posisi dalam batang
KESIMPULAN
Komposisi kimia struktural Bambu Belangke (Gigantochloa pruriens) yaitu Acid Isoluble Lignin (AIL) tertinggi bagian pangkal batang (29,96%), Acid Soluble Lignin (ASL) tertinggi bagian tengah batang (4,73%), holoselulosa tertinggi bagian ujung batang (70,74%), α-selulosa tertinggi bagian ujung batang (46,04%) dan hemiselulosa tertinggi bagian tengah batang (27,68%). Komposisi kimia kayu non struktural Bambu Belangke (Gigantochloa pruriens) yaitu zat ekstraktif dalam ethanol benzene 1:2 tertinggi bagian ujung batang (4,26%) dan kadar abu tertinggi bagian pangkal batang (3,03%).
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi S. 1990. Kimia Kayu. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas. Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor.
Alamsyah R, Afandi O, Batubara R. 2013. Analisis Potensi Ketersediaan dan Pemasaran Bambu Belangke (Gigantochloa pruriens Widjaja) di Hutan Rakyat Bambu Desa Timbang Lawan Kecamatan Bahorok Kabupaten Langkat Dalam Industri Dupa Bambu. Peronema Forestry Science Journal, 2(2):137-142.
Anonim. 2019. Plantamor.
http://plantamor.com/species/info/gigantochloa/pruriens. Diakses pada 6 Agustus 2019.
Aryati H. 2009. Analisis Kimia Kayu Batang, Cabang dan Kulit Kayu Jenis Kayu Leda (Eucalyptus deglupta Blume). Hutan Tropis Borneo, 10:258- 261.
Azeez MA, Orege JI. 2018. Bamboo, Its Chemical Modification and Products.
http://dx.doi.org/10.5772/intechopen.76359. Diakses pada 2 Februari 2019.
Bahtiar ET, Nugroho N, Surjokusumo S, Karlinasari L, Nawawi DS, Lestari DP.
2016. Pengaruh Komponen Kimia dan Ikatan Pembuluh Terhadap Kekuatan Tarik Bambu. Jurnal Teoretis dan Terapan Bidang Rekayasa Sipil, 23(1):31-40.
Batubara R. 2002. Pemanfaatan Bambu di Indonesia. USU digital library.
Sumatera Utara.
Casey JP. 1960. Pulp and Paper Chemistry and Chemical Technology. Volume I Pulping and Bleaching. Interscience, New York, USA.
Direktoral Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan. 1997. Petunjuk Teknik Pembibitan Bambu. www:digilib.unila.ac.id [31 Januari 2019].
Dumanauw JF. 2001. Mengenal Kayu. Kanisius. Yogyakarta.
Fatriasari W, Hermiati E. 2008. Analisis Morfologi Serat dan Sifat Fisis-Kimia pada Enam Jenis Bambu Sebagai Bahan Baku Pulp dan Kertas. Jurnal Ilmu Dan Teknologi Hasil Hutan, 1(2):67-72.
Fazita MR, Jayaraman K, Bhattacharyya D, Haafiz MK, Saurabh CK, Hussin MH, Khalil A. 2016. Green Composites Made ff Bamboo Fabric and Poly(Lactic) Acid for Packaging Applications—A Review. Materials, 9(6):435.
Febrianto F, Gumilang A, Maulana S, Busyra I, Purwaningsih A. Keawetan Alami Lima Jenis Bambu Terhadap Serangan Rayap dan Bubuk Kayu Kering. Jurnal Ilmu Teknologi Kayu Tropis, 12(2):146-156.
Fengel D, Wegener G. 1984. Wood, Chemistry, Ultrastructure, Reactions.
Waster and Grugter, New York.
Gusmailina, Hartoyo. 1991. Analisis Kimia Batang Aren (Arenga pinnata merr) yang Berasal dari Cianjur dan Analisis Pendahuluan Kayu Aren yang Berasal dari Sumatera Barat. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 9(5):177- 182.
Gusmailina, Sumadiwangsa S. 1988. Analisis Kimia Sepuluh Jenis Bambu dari Jawa Timur. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 5(5):290-293.
Haygreen JG, Bowyer JL. 1989. Hasil Hutan Dan Ilmu Kayu : Suatu Pengantar.
Gadjah Mada University. Yogyakarta.
Hermawan A, Diba F, Mariani Y, Setyawati D, Nurhaida. 2014. Sifat Kimia Batang Kelapa Sawit (Elaeis Guinensis Jacq) Berdasarkan Letak Ketinggian dan Kedalaman Batang. Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura Pontianak.
Ismanto A, Baharudin RH. 2011. Analisis Kadar Pati, Lignin, dan Selulosa pada Bambu Ampel (Bambusa Vulgaris Schrad.) yang Direndam dalam Lumpur. Prosiding Seminar Nasional Kimia Dan Pendidikan Kimia III.
Iswanto A, Siregar YS, Susilowati A, Darwis A, Hartono R, Wirjosentono B, Rachmat HH, Hidayat A, Fatriasari W. 2019. Short Communication:
Variation in Chemical Constituent of Styrax sumatrana Wood Growing at Different Cultivation Site in North Sumatra, Indonesia. Biodiversitas, 20(2):448-452.
Junaidi AB, Yunus R. 2009. Kajian Potensi Tumbuhan Gelam (Melaleuca cajuputi Powell) Untuk Bahan Baku Industri Pulp: Aspek
Kandungan Kimia Kayu. Jurnal Hutan Tropis, 10(28):248-291.
Kamilia I, Nawiyanto. 2015. Kerusakan Hutan dan Munculnya Gerakan Konservasi di Lereng Gunung Lamongan, Klakah 1999-2013. Publika Budaya, 1(3):72-85.
Karim MA, Ariyanto E, Firmansyah A. 2014. Biobriket Enceng Gondok (Eichhornia crassipes) Sebagai Bahan Bakar Energy Terbarukan.
Reaktor, 15(1):59-63
Kencana P, Widia W, Antara NS. 2012. Praktek Baik Budidaya Bambu Rebung Tabah (Gigantochloa nigrociliata BUSE-KURZ). Team UNUD-USAID- TPC Project. Denpasar.
Li Q, Song J, Peng S, Wang JP, Qu G-Z, Sederoff RR, Chiang VL. 2014. Plant Biotechnology for Lignocellulosic Biofuel Production. Plant Biotechnology Journal, 12(9):1174-1192.
Li X. 2004. Physical, Chemical, and Mechanical Properties of Bamboo and Its Utilization Potential for Fiberboard Manufacturing. LSU Digital Commons. Louisiana State University.
Loiwatu M, Manuhuwa E. 2008. Kompnen Kimia dan Anatomi Tiga Jenis Bambu dari Seram, Maluku. Agritech, 28(2):76-83.
Lukmandaru G, Mohammad AR, Wargono P, Prasetyo VE. 2016. Studi Mutu Kayu Jati di Hutan Rakyat Gunung Kidul. Jurnal Ilmu Kehutanan, 10(2):108-118.
Muladi S. 2013. Kimia Kayu dan Teknologi Pembuatan Pulp. Diktat Kuliah Teknologi Kimia Lanjutan. Samarinda.
Panshin AJ, Carl De Zeuw. 1980. Textbook of Wood Technology. Mc. Graw-Hill Book Company, New York.
Pettersen R. 1984. The Chemical Composition of Wood. American Chemical Society. U.S. Department of Agriculture, Madison.
Rowel RM. 2005. Handbook of Wood Chemistry and Wood Composite. CRC Press, Boca Raton, USA.
Setiadi D, Susanto MA, Fauzi M. 2015. Analisa Kimia Kayu pada Tanaman Araucaria cunninghamii Aiton ex D.Don untuk Bahan Baku Pulp. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan, 9(1):53-60.
Sjostrom E. 1995. Kimia Kayu: Dasar-Dasar dan Penggunaan Edisi Kedua.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Sokanandi A, Pari G, Setiawan D, Saepuloh. 2014. Komponen Kimia Sepuluh Jenis Kayu Kurang Dikenal: Kemungkinan Penggunaan Sebagai Bahan Baku Pembuatan Bioetanol. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 32(3):209- 220.
Sumada K, Tamara PE, Alqani F. 2011. Kajian Proses Isolasi α-Selulosa Dari Limbah Batang Tanaman Manihot Esculenta Crantz yang Efisien. Jurnal Teknik Kimia, 5(2):434-438.
Suprihatno B, Hamidy R, Amin B. 2012. Analisis Biomassa dan Cadangan Karbon Tanaman Bambu Belangke (Gigantochloa pruriens). Journal of Environmental Science, 6(1):82-92.
Sutardi RS, Nadjib N, Muslichm M, Jasni, Sulastiningsih IM, Komaryati S, Suprapti S, Abdurrahman, Efrida B. 2015. Informasi Sifat Dasar dan Kemungkinan Penggunaan 10 Jenis Bambu. IPB Press, Bogor.
Tellu AT. 2008. Sifat Kimia Jenis-Jenis Rotan yang Diperdagangkan di Provinsi Sulawesi Tengah. Biodiversitas, 9(2):108-111.
Tolessa A, Woldeyes B, Feleke S. 2017. Chemical Composition of Lowland Bamboo (Oxytenanthera abyssinica) Grown Around Asossa Town, Ethiopia. World Scientific News, 74:141-151.
Tsoumis G. 1991. Science and Technoloy of Wood: Structure, Properties, Utilization. New York: Van Vostrand Reinhold.
Wahab R, Mustafa MT, Salam MA, Sudin M, Samsi HW, Mat Rasat MS. 2013.
Chemical Composition Four Cultivated Tropical Bamboo in Genus Gigantochloa. Journal of Agricultural Science, 5(8):66-75.
Wonlele T, Dewi SM, Nurlina S. 2013. Penerapan Bambu Sebagai Tulangan dalam Struktur Rangka Batang Beton Bertulang. Jurnal Rekayasa Sipil, 7(1):1-12.
Widjaja EA. 2006. Pelajaran Terpetik dari Mendalami Bambu Indonesia Untuk Pengembangannya di Masa Depan. Berita Biologi, 8(3):153-162.