• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lampiran 1: Berita Acara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Lampiran 1: Berita Acara"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

145

Lampiran 1: Berita Acara

(2)

146

Lampiran 2: Karakteristik Material

(3)

147

Lampiran 2: Karakteristik Material (Sambungan)

(4)

148

Lampiran 2: Karakteristik Material (Sambungan)

(5)

149

Lampiran 3: Program Kebutuhan Ruang

(6)

150

Lampiran 3: Program Kebutuhan Ruang (Sambungan)

(7)

151

Lampiran 4: Hubungan Antar Ruang

(8)

152

Lampiran 5: Artikel “754 Bocah Disabilitas tak Sekolah”

754 Bocah Disabilitas tak Sekolah

37 Sekolah Baru Layani 748 Bocah

Padang Ekspres • Berita Pendidikan • Senin, 18/02/2013 12:15 WIB • FAJAR RILLAH VESKY • Payakumbuh, Padek—Sebanyak 754 bocah penyandang disabilitas di Payakumbuh, Sumbar, ti- dak memperoleh akses pendidikan di sekolah formal. Bocah-bocah itu umumnya menderita tunanetra (tidak dapat melihat), tunarungu (tidak dapat mendengar), tunawicara (bisu), tunadaksa (cacat tubuh), tunalaras fisik (cacat suara), tunalaras mental (sukar mengendalikan emosi), tunagrahita (lemah daya tangkap), serta tunaganda (cacat fisik dan mental).

”Kami sudah melakukan pendataan ulang, terhadap jumlah anak berkebutuhan khusus di Paya- kumbuh. Ternyata, saat ini terdapat 754 anak berkebutuhan khusus, terutama penyandang disabilitas, yang tidak memperoleh akses pendidikan di sekolah formal,” kata Kepala Pusat Sumber Regional untuk Inklusi dan Pendidikan Luar Biasa Sumatera Barat Dewi Marza kepada Padang Ekspres, Minggu (17/2) siang.

Dewi yang dipercaya Pemko Payakumbuh sebagai Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Pendidikan Inklusif Payakumbuh menuturkan, dari 754 anak-anak berkebutuhan khusus, atau bocah penyandang disabilitas yang tidak memperoleh akses pendidikan di sekolah formal tersebut, sebanyak 260 anak yang benar-benar belum pernah mengecap pendidikan sama-sekali.

”Sedangkan, 494 anak, pernah bersekolah pada semua tingkatan pendidikan. Tapi karena kekura- ngan biaya dan dukungan orang tua keluarga serta pemahaman guru di sekolah, dan dianggap nakal, mereka drop out (DO) dari sekolah. Padahal, mereka sebenarnya masih bisa sekolah,” sebut Dewi Marza.

Melihat fakta tersebut, Dewi yang sering diundang sebagai pembicara forum pendidikan inklusif tingkat dunia dan Indonesia, mengaku sangat prihatin. ”Kita sangat prihatin, melihat 754 anak ber- kebutuhan, terutama penyandang disabilitas, tidak memperoleh akses pendidikan di sekolah formal, seperti anak-anak lain seusia mereka. Padahal, pendidikan itu untuk semua,” ucap Dewi.

Karena itu, anak-anak tersebut akan diberi kesempatan belajar dengan teman-teman mereka. ”Kita sudah kumpulkan orang tua mereka. Kita beri mereka pemahaman, bahwa di negeri ini, pemerintah sudah memberi kesempatan sama kepada semua anak, untuk mendapatkan pendidikan layak,” ujar Dewi.

Setelah memberi pemahaman kepada seluruh orang tua, tahun ajaran baru nanti, sebanyak 754 bocah penyandang disabilitas itu akan diberi kesempatan belajar di sekolah umum. ”Untuk pembe- lajaran mereka, kita akan terapkan pendidikan inklusif atau pendidikan yang memberi kesempatan kepada anak berkebutuhan khusus untuk belajar bersama anak-anak normal, sesuai UU RI Nomor 20/2003 tentang Sisdiknas dan Permendiknas RI Nomor 70 Tahun 2009,” ujar Dewi.

Dewi juga minta orang tua anak-anak penyandang disabilitas, agar tidak khawatir akan kemam- puan anak-anak mereka saat belajar di sekolah umum. Sebab, untuk anak-anak berkebutuhan khusus, sekolah menyediakan guru khusus, sekaligus diberi wewenanag memodifikasi strategi pembelajaran dan jenis penilaian.

(9)

153

Lampiran 5: Artikel “754 Bocah Disabilitas tak Sekolah” (Sambungan)

Dewi juga berharap, masyarakat dapat menerima anak-anak penyandang disabilitas, untuk menim- ba ilmu di sekolah umum. ”Kita tidak boleh lagi berpikir, bahwa pendidikan anak-anak penyandang disabilitas dengan anak-anak normal, harus dipisahkan. Karena itu merupakan kebijakan dan praktik kaku dalam sistem pendidikan mainstream, sekaligus mencederai hak asasi manusia dan keadilan sosial,” tegas Dewi Marza.

Dewi yakin, masyarakat dan wali murid di Payakumbuh sudah bisa menerima hal itu. Sebab, pen- didikan inklusif sudah diterapkan di Payakumbuh sejak 10 tahun silam. Payakumbuh tidak hanya menjadi kota pelopor pendidikan inklusif pertama di Indonesia, bahkan dunia. Tapi juga memiliki 37 SD, SMP, SMA, MA, dan SMK di Payakumbuh yang mengembangkan pendidikan inklusif.

Kepala Dinas Pendidikan Payakumbuh Hasan Basri, mengapresiasi kerja keras Pokja Pendidikan Inklusif, dalam melakukan pendataan anak-anak berkebutuhan khusus yang tidak memperoleh akses pendidikan. Hasan mendorong, Pokja segera menangani anak-anak tersebut.

”Kita yakin, sebanyak 754 bocah penyandang disabilitas yang tidak memperoleh akses pendidikan itu, akan bisa bersekolah dengan anak-anak yang terlahir normal. Apalagi, saat ini sudah terdapat 37 SD, SMP, SMA, SMK dan MA yang mengembangkan pendidikan inklusif,” kata Hasan Basri kepada Padang Ekspres, Minggu sore (17/2).

Hasan menyebut, sebanyak 37 SD, SMP, SMA, SMK dan MA yang telah mengembangkan pendidikan inklusif di Payakumuh, telah melayani 748 anak berkebutuhan khusus. Dimana, sebanyak 666 merupakan pelajar SD, 10 pelajar Madrasah Ibtidaiyah, 62 pelajar SLTP, 3 pelajar SMAN, 3 SMKN, dan 2 pelajar Madrasyah Aliyah.

”Jika ditambah dengan 754 anak yang belum mendapatkan akses pendidikan, maka tahun ajaran 2013/2014 mendatang, akan ada 1.502 anak-anak berkebutuhan khusus yang akan belajar pada 37 sekolah inklusif di Payakumbuh.

Ini menandakan, kita serius melaksanakan amanat Undang-Undang Pendidikan Nasional, UU RI Nomor 4/1997 tentang Penyandang Cacat, UU RI Nomor 23/2003 tentang Perlindungan Hak Anak, Deklarasi Universal HAM 1948, dan Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas,” sebut Hasan Basri. (*)

[ Red/Administrator ]

Sumber: http://padangekspres.co.id/?news=berita&id=40631

(10)

154

Lampiran 6: Artikel “PBB menetapkan tgl 2 April sebagai Hari Peduli Autisme Sedunia”

PBB menetapkan tgl 2 April sebagai Hari Peduli Autisme Sedunia

Negara negara di dunia sudah seharusnya berusaha menghilangkan kesan yang ada di masyarakat bahwa mempunyai anak penyandang autisme adalah “sesuatu yang memalukan”.

Jumlah penyandang autisme di seluruh dunia telah mencapai 35 juta jiwa. Karena itu sudah waktunya bagi negara negara di dunia untuk bahu membahu meningkatkan kepedulian terhadap masalah autisme.

Wakil delegasi PBB dari Qatar, Nassir Abdelaziz Al-Nassir yang dikenal di negaranya sebagai aktivis pembela hak azasi individu penyandang cacat telah berhasil mengangkat masalah autisme sebagai salah satu agenda tahunan PBB. Beliau telah berhasil mendapatkan dukungan suara bulat dari 50 negara anggota PBB dengan menetapkan tanggal 2 April sebagai Hari Peduli Autisme Sedunia. Agenda yang akan dibahas adalah penanggulangan autisme di bidang diagnosa, riset, intervensi perilaku pada usia dini dan pengobatan.

Berbagai event penting telah dijadwalkan di kantor pusat PBB sehubungan dengan hari Autisme Sedunia ini antara lain Pameran Lukisan, Diskusi Panel bersama para ahli neurology dan wakil dari World Health Organization (WHO) untuk menanggulangi masalah autisme. Tema yang diangkat adalah “Tantangan, Tanggung Jawab dan Tindak Lanjut untuk meningkatkan kepedulian akanmasalahautisme.”

Berbagai negara di dunia masih tidak mengakui bahwa autisme adalah gangguan perkembangan jiwa (neurological disorder) sehingga berdampak luas pada kurangnya usaha terpadu untuk menanggulangi masalah autisme. PBB telah memasukkan masalah autisme ke dalam kategori krisis dan akan mendapatkan prioritas utama untuk penanggulangannya. Seluruh anggota PBB sepakat untuk menindaklanjuti masalah autisme. Kenyataan bahwa usaha untuk menindak lanjuti pencegahan, pengobatan dan penyembuhan autisme dinilai sudah tidak efektif karena autisme adalah gangguan perkembangan neurology yang paling cepat pertambahan jumlah penyandangnya di seluruh dunia.

Sumber: <http://mscc-indo.com/main/content/view/13/26/>

(11)

155

Lampiran 7: Artikel mengenai Kisah Orangtua dengan Anak Penderita Autisme

Setiap orangtua pasti menginginkan yang terbaik bagi anak- anaknya, terutama dalam pendidikan. Tetapi, jika anaknya berkebutuhan khusus bagaimana ??

Sebagai orangtua, kami juga menginginkan hal yang sama bagi anak – anak kami. Setelah anak kami yang pertama, Justin, didiagnosa sebagai penyandang autis saat berumur 2 tahun, kami belum berpikir mengenai pendidikan Justin. Kami hanya berusaha dan berusaha agar Justin bisa menjadi lebih baik kondisinya. Dengan berbagai terapi dan diet yang dijalaninya, Justin menjadi lebih baik. Saat berumur hampir 4 tahun, baru kami menyadari …….. Bagaimana sekolah untuk Justin ?

Karena kemajuan yang dialaminya, terapis – terapisnya memberi masukan bahwa Justin bisa dimasukkan ke sekolah umum. Jadi, kami mencoba memasukan Justin di sekolah umum swasta dekat rumah kami. Justin masuk Kelompok Bermain saat berumur 4 tahun. Di saat – saat pertama Justin memang sulit diatur, karena suasana ramai sehingga membuat Justin ‘overload’, hal ini membuat guru – guru kelasnya bingung. Karena kerjasama antar kami dan guru bisa terjalin dengan baik, Justin bisa dihadapi selama 1 semester pertama. Begitu memasuki semester kedua, Justin kami berikan guru pendamping (helper) yang bertujuan untuk mendampingi Justin selama berada di kelas. Hal ini kami lakukan karena Justin masih belum bisa duduk tenang dan konsentrasi di dalam kelas. Helper ini yang menjadi ‘jembatan’ antara Justin dan guru kelasnya serta berusaha untuk mengajarkan kemandirian bagi Justin.

Pendampingan ini terus berlangsung sampai di TKB. Karena Justin akan masuk SD, maka kami mulai mencari sekolah umum …….. Banyak sekolah yang menolak untuk menerima Justin, dikarenakan Justin yang belum bisa mandiri dan mengikuti kurikulum sekolah. Padahal kami memberikan alternatif bahwa kami akan memberikan guru pendamping di dalam kelas. Kami mencari mulai dari sekolah swasta sampai sekolah international, dan tidak ada satupun sekolah yang mau menerima Justin. Kami bahkan mulai berpikir untuk memasukkan Justin ke sekolah khusus. Tetapi hal ini tidak kami lakukan karena kami mau Justin bersosialisasi dengan anak – anak seumurannya.

Setelah mencari selama beberapa bulan, akhirnya kami menemukan sekolah yang mau menerima Justin, setelah berbicara dengan kepala sekolah, ternyata kami memiliki visi dan misi yang sama mengenai anak2 berkebutuhan khusus, hal inilah yang membuat kami memutuskan untuk memasukkan Justin ke sekolah tersebut, dengan tetap didampingi oleh helpernya.

Walau menggunakan kurikulum yang sama dengan anak2 kelas regular lainnya, tetapi anak-anak berkebutuhan khusus ini diberikan kelonggaran dalam mengikuti pelajarannya. Guru – guru sekolah pun cukup kooperatif dengan kami dan helpernya serta mau membantu Justin sehingga bisa lebih mandiri dalam belajar. Dengan pengetahuan mereka yang masih terbatas mengenai anak – anak berkebutuhan khusus ini, para guru berusaha untuk membuat Justin nyaman di sekolahnya.

Sekarang Justin sudah duduk di kelas 2 dan menikmati sekolahnya ini.

Sekolah – sekolah inklusi memang masih belum banyak di Jakarta, apalagi seIndonesia. Hal inilah yang membuat kesulitan para orangtua dalam memberikan pendidikan terbaik bagi anak – anak mereka yang berkebutuhan khusus. Apalagi dengan makin bertambahnya jumlah anak – anak yang berkebutuhan khusus. Pandangan – pandangan negatif mengenai anak – anak ini yang masih banyak di kalangan masyarakat yang membuat anak – anak ini sulit untuk mendapatkan perlakuan yang sama dengan anak – anak normal lain.

(12)

156

Lampiran 7: Artikel mengenai Kisah Orangtua dengan Anak Penderita Autisme (Sambungan)

Selain itu, masih ada hal – hal lain yang perlu diperhatikan dalam mendirikan suatu sekolah inklusi. Mulai dari fasilitas sekolah, tenaga ahli sampai kurikulum yang disesuaikan dengan anak.

Apa yang bisa kita lakukan sebagai orangtua dan orang – orang yang peduli dengan anak – anak kita ini ?

Penanganan yang dilakukan

Agar anak dapat 'keluar' dari gangguan ini, diperlukan intervensi. Bentuk intervensi itu macam- macam, tergantung dari metode yang dianut oleh pusat penanggulangan masalah perilaku atau perkembangan anak. Salah satu penanganan anak dengan gangguan spektrum autisme adalah terapi perkembangan terpadu

Terapi ini terdiri dari terapi okupasi dengan penekanan pada terapi Sensory Integration (Integrasi Sensorik) yang dipadukan dengan metode Floor Time, dimana bentuk terapi ini diberikan setelah anak diketahui menyandang gangguan semua spektrum autisme, dengan tujuan meningkatkan kemampuan anak dalam bersosialisasi dan berkomunikasi. Namun bila anak memerlukan, masih ditambah lagi dengan Strategi Visual yang baru diberikan bila anak sudah benar-benar siap menerima terapi ini.

Apakah Floor Time ? Secara harafiah, Floor Time adalah bermain di lantai. Metode bermain interaktif yang spontan dan menyenangkan bagi anak ini yang bertujuan mengembangkan interaksi dan komunikasi si kecil. Floor Time bisa dilakukan oleh siapapun yang merupakan orang-orang terdekat si kecil, mulai dari orang tua, terapis, kakek, nenek, maupun pengasuh si kecil.

Bagaimana bentuk permainannnya ? Bisa apa saja, yang penting permainannya interaktif dan komunikatif. Misal bermain pura-pura (orang tua menjadi singa, si kecil jadi mangsa) Sebaiknya metode ini dilakukan 6-10 kali sehari, masing-masing selama 20-30 menit. Lawan main anak harus sabar dan santai dalam melaksanakan metode ini. Sebab Floor Time bertujuan untuk membentuk komunikasi dua arah antara anak dan lawan bicaranya, serta mendorong munculnya ide dan membantu anak mampu berpikir logis. Agar bisa melakukan Floor Time dengan baik, orang tua perlu bimbingan psikolog yang paham dan berpengalaman dengan metode ini.

Lalu bagaimana dengan Strategi Visual ? Umumnya penyandang autisme lebih mampu berpikir secara visual. Jadi, ia lebih mudah mengerti apa yang dilihatnya daripada apa yang didengarnya.

Oleh karena itu, Strategi Visual dipilih agar anak lebih mudah memahami berbagai hal yang ingin anda sampaikan. Biasanya, ia akan diperkenalkan pada berbagai aktivitas keseharian, larangan- aturan, jadwal, dan sebagainya lewat gambar-gambar. Misalnya, gambar urutan dari cara menggosok gigi, mencuci tangan, dan sebagainya.

Dengan Strategi Visual, diharapkan anak memahami situasi, aturan, mengatasi rasa cemas, serta mengantisipasi kondisi yang akan terjadi. Dengan cara ini, berbagai perilaku yang seringkali menyulitkan, seperti sulit berpindah dari satu aktivitas ke aktivitas lain, sulit memahami urutan suatu aktivitas, rasa takut atau cemas jika tidak tahu apa yang akan dikerjakan atau yang terjadi, dan sebagainya bisa diminimalkan. Anak pun akan menunjukkan perilaku yang lebih sesuai dengan lingkungannya.

(13)

157

Lampiran 7: Artikel mengenai Kisah Orangtua dengan Anak Penderita Autisme (Sambungan)

Diperlukan kerjasama dari semua pihak

Supaya gangguan spektrum autisme bisa diatasi secara optimal, diperlukan kerjasam yang erat antara orangtua, terapis, dokter, psikolog, serta guru di sekolah, jika anak bersekolah. Guru juga perlu tahu kalau penanganan anak autistik sangat berbeda dengan anak normal lainnya. Dengan demikian penanganan anak bisa lebih baik lagi.

Dalam kerja sama tim ini, orangtua adalah anggota tim yang paling memegang peranan terbesar.

Karena orangtua adalah orang yang terdekat dengan anak. Untuk mencapai hasil yang diharapkan, semua ini sangat tergantung dari usaha orangtua.

Sumber: <http://mscc-indo.com/main/content/view/13/26/>

(14)

158 Lampiran 8: Artikel “Mitos Autisme”

AUTIS TODAY adalah jendela infomasi khusus membahas seputar anak berkebutuhan khusus / autis, seperti info terbaru tentang makanan, pengobatan, terapi dsb yang diharapkan dapat sangat membantu bagi para orangtua / pemerhati dan semua pihak yang concern terhadap masalah ini.

Mitos Autisme

KELIRU: Autisme disebabkan cara pengasuhan yang salah dari orangtua

BENAR: Autisme BUKAN kondisi emosional dimana anak menjauh dari orang tuanya tetapi merupakan akibat perkembangan neurobiologist di otak dan karena itu TIDAK disebabkan oleh cara pengasuhan yang salah.

KELIRU: individu autistik tidak bisa merasakan dan menyalurkan emosi mereka, kecuali emosi marah atau senang.

BENAR: Individu autistik TIDAK kehilangan kemampuan untuk mempunyai hubungan emosional dan bisa diharapkan untuk mengembangkan kepekaan emosional seperti individu lain pada umumnya.

KELIRU: Semua individu autistik sebaiknya mengikuti terapi xxx, xxx. Kalau tidak autisme mereka akan makin parah.

BENAR: TIDAK ada satu pun terapi yang dapat dipakai untuk memperbaiki SEMUA gejala pada SEMUA individu. Penanganan harus disesuaikan dengan kebutuhan masing- masing individu, sehingga penanganan pada setiap individu tidak dapat disama-ratakan.

KELIRU: Setiap individu autistik pasti punya kemampuan khusus yang melebihi individu lain pada umumnya.

BENAR: Individu autistik TIDAK selalu mempunyai kemampuan jenius. Mereka berkembang seperti individu lain pada umumnya, dengan kecerdasan yang bervariasi, bakat yang berbeda-beda, dan kesempatan yang tidak sama.

KELIRU: Autisme adalah sebuah penyakit mental.

BENAR: Autisme BUKAN penyakit mental dan penyandang autis TIDAK cacat mental.

Posted by Autis Today at 10:17 AM

(15)

159 Lampiran 9: Artikel Seputar Autisme

1. Apa itu autisme?

Autisme adalah gangguan perkembangan kompleks yang gejalanya harus sudah muncul sebelum anak berusia 3 tahun. Gangguan neurologi pervasif ini terjadi pada aspek neurobiologis otak dan mempengaruhi proses perkembangan anak.

Akibat gangguan ini sang anak tidak dapat secara otomatis belajar untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan lingkungan sekitarnya, sehingga ia seolah- olah hidup dalam dunianya sendiri.

2. Apa saja gejalanya?

Gejala individu autistik yang harus muncul (salah satu atau kesemuanya) adalah gangguan interaksi kualitatif, gangguan komunikasi yang tidak diusahakan diatasi dengan kemampuan komunikasi non-verbal, dan perilaku repetitif terbatas dengan pola minat, perilaku dan aktifitas berulang.

3. Bagaimana mendiagnosa autisme?

Walaupun tidak ada satu tes khusus yang tersedia untuk mendiagnosa gangguan perkembangan ini, melalui observasi kriteria-kriteria spesifik dapat ditegakkan satu diagnosa konsensus.

4. Siapa yang berwenang menegakkan diagnosis bahwa seseorang itu autistik?

Apakah seseorang dapat dinyatakan sebagai individu autistik atau tidak, ditentukan melalui tahapan wawancara mendalam dengan orang-orang yang mengasuh anak dan paham akan perkembangan anak di tiga tahun pertama kehidupannya, observasi serta interaksi dengan anak tersebut.

Dokter dan psikolog biasanya adalah profesi-profesi yang dijadikan ujung tombak penanganan individu autistik. Profesi lain seperti guru, terapis, maupun pihak saudara, serta orangtuanya sendiri dan anggota masyarakat umum memegang peranan penting dalam memberikan data mengenai kondisi anak sehari-hari secara detil.

5. Apa penyebab autisme?

Sampai saat ini, apa yang menjadi penyebab gangguan spektrum autisme ini

belum dapat ditetapkan. Negara-negara adikuasa yang sanggup melakukan

penelitian menyatakan bahwa penyebab gangguan perkembangan ini merupakan

interaksi antara faktor genetik dan berbagai paparan negatif yang didapat dari

lingkungan.

(16)

160

Lampiran 9: Artikel Seputar Autisme (Sambungan)

6. Apa saja penanganan yang tersedia bagi individu autistik di Indonesia?

Berbagai terapi terbukti membantu meningkatkan kualitas hidup individu autistik.

Penanganan yang sudah tersedia di Indonesia antara lain adalah terapi perilaku, terapi wicara, terapi komunikasi, terapi okupasi, terapi sensori integrasi, pendidikan khusus, penanganan medikasi dan biomedis, diet khusus. Penanganan lain seperti integrasi auditori, oxygen hiperbarik, pemberian suplemen tertentu, sampai terapi dengan lumba-lumba juga sudah tersedia di beberapa kota besar.

7. Apa saja kemungkinan pendidikan bagi mereka?

Individu autistik tidak berbeda dengan individu lain non-autistik. Artinya, kecerdasan setiap individu sangat bervariasi.. Karena tingkat kecerdasan setiap individu berbeda, intensitas gejala autistik yang ada pada setiap individu juga tidak sama, maka kemungkinan pendidikan bagi individu autistik bervariasi dari

‘bisa mencapai pendidikan setinggi-tinggi mungkin’, sampai ‘tidak bisa dididik tetapi hanya dapat dilatih saja’.Setiap individu berbeda.

8. Bagaimana prognosa bagi individu autistik?

Prognosa dan hasil akhir tergantung banyak aspek, antara lain: jumlah dan intensitas gejala, usia deteksi, jenis dan intensitas penanganan, serta peranan orang tua dalam generalisasi penanganan ke dalam kehidupan sehari-hari.

Hasil akhir penanganan, tidak dapat diprediksi karena merupakan interaksi banyak sekali faktor. Penanganan merupakan perjuangan panjang dan perlu kerja keras tak terputus sebelum memberikan hasil yang efektif efisien.

9. Adakah kemungkinan bagi individu autistik untuk “sembuh”?

Karena autisme merupakan gangguan perkembangan dan bukan suatu penyakit, penggunaan istilah “sembuh“ menjadi kurang tepat. Yang lebih tepat adalah bahwa individu autistik dapat ditatalaksana agar bisa berbaur dengan individu lain di masyarakat luas semaksimal mungkin, dan pada akhirnya dapat beradaptasi dengan berbagai situasi yang juga dihadapi orang lain pada umumnya.

10. Apakah penggunaan istilah ‘penderita autisme’ sudah tepat?

Istilah ‘penderita’ untuk menggambarkan masing-masing anak, jelas kurang bijak.

Anak-anak ini tidak sedang menderita.

(17)

161

Lampiran 9: Artikel Seputar Autisme (Sambungan)

Lebih bijak bila kita mengacu pada ‘perbedaan individual’ setiap anak dan pada akhirnya atas dasar melihat ciri-ciri unik setiap anak tersebut kemudian menyebut mereka sebagai ‘individu autistik’.

11. Ada berapa orang individu autistik di Indonesia saat ini di tahun 2008?

Indonesia belum pernah melakukan survei berkaitan dengan jumlah individu autistik, karena alasan biaya dan tenaga kerja. Akibat belum dilakukannya survei tersebut, tentu saja kita tidak bisa memastikan berapa jumlah prevalensi individu autistik di Indonesia. Belum ada satu pun lembaga resmi di Indonesia yang memiliki angka prevalensi kejadian individu autistik di Indonesia di tahun 2008 sesuai fakta di lapangan.

12. Apakah betul terjadi peningkatan jumlah individu autistik?

Di Amerika, Inggris, Australia, pemerintah setempat sudah melaksanakan survei untuk mengetahui jumlah individu autistik dari tahun ke tahun. Di Indonesia, indikator peningkatan baru dapat diperoleh dari catatan praktek dokter – yang dari menangani 3-5 pasien baru per tahun, kini menangani 3 pasien baru setiap hari dan itu pun dibatasi – dan catatan penerimaan siswa di sekolah-sekolah. Sulit mendapatkan angka di Indonesia mengingat bahwa belum ada sensus secara resmi, belum meratanya diagnosis bagi anak-anak ini, dan keengganan sebagian orangtua mengakui bahwa putra/i-nya adalah individu autistik.

13. Di keluarga saya tidak ada yang autistik, jadi kami sebaiknya berbuat apa?

Mengetahui adanya gangguan perkembangan dan memahami ciri khas mereka ini akan sangat membantu individu autistik dan keluarganya dalam beradaptasi dengan lingkungan masyarakat umum.

14. Apa yang keluarga dengan anak autistik harapkan dari masyarakat dan lingkungan?

Keluarga dengan individu autistik sejak anak masih balita sudah mengalami banyak kesulitan dalam kehidupan sehari-hari, penyesuaian, menghadapi tuntutan masyarakat. Tingginya biaya penanganan dan sulitnya mendapatkan kesempatan pendidikan juga merupakan tekanan bagi orangtua.

Keluarga sangat mengharapkan lingkungan dan masyarakat dapat bersikap lebih

empatik terhadap perjuangan mereka mendapatkan kehidupan yang lebih baik

bagi anak-anaknya, memahami kesulitan mereka, sehingga tidak mengolok-olok

perilaku individu autistik atau menyalahkan orangtua bila individu autistik

bersikap tidak seharusnya.

(18)

162

Semua orang tidak pernah meminta untuk dilahirkan, apalagi dilahirkan sebagai individu autistik.

Semua orangtua mengharapkan anaknya lahir sempurna, tetapi ketika putra/i-nya ternyata tidak sempurna, orangtua juga tidak bisa berbuat lain selain melanjutkan kehidupan sebaik mungkin.

Keluarga dengan individu autistik membutuhkan pengertian dan kesempatan, bukan belas kasihan ataupun umpatan.

Posted by Autis Today at 10:14 AM

(19)

163

Lampiran 10: Catatan Bukti Asistensi

(20)

164

Lampiran 10: Catatan Bukti Asistensi (Sambungan)

(21)

165

Lampiran 10: Catatan Bukti Asistensi (Sambungan)

(22)

166

Lampiran 10: Catatan Bukti Asistensi (Sambungan)

(23)

167

Lampiran 10: Catatan Bukti Asistensi (Sambungan)

(24)

168

Lampiran 10: Catatan Bukti Asistensi (Sambungan)

(25)

169 Lampiran 11: Foto Maket

Tampak Keseluruhan Perancangan

Tampak Depan Main Entrance

Tampak Ruang Bakat Minat (Segi 8) , WC

Putri, Snoeselen, Terapi 1 in 1 & Kelas

(26)

170 Lampiran 11: Foto Maket (Sambungan)

Tampak Lobby, Perpustakaan, Galeri, Ruang Tunggu dan Area Konsultasi

Tampak Ruang Tunggu dan Security Area

Referensi

Dokumen terkait

Setelah melakukan serangkaian kegiatan penelitian mulai dari pengumpulan hingga interpretasi data di lapangan, studi ini mengajukan beberapa temuan berkaitan dengan

Kemampuan literasi matematika mahasiswa setelah menggunakan model Problem Based Learning melalui during sebesar 71,15% dengan kategori sedang, dan untuk

Destinasi wisata yang erat kaitannya dengan media sosial, didalamnya terdapat satu istilah yang memiliki makna dan peran penting yaitu Online engagement yang

daerah daerah yang sangat jauh letaknya dari awal agama islam diajarkan, sedangkan dari sisi keburukannya adalah, dalam penaklukan yang dilakukan dinasti umayah,

Intelegensi pola umumnya dapat diartikan sebagai kemampuan psiko-fisik untuk mereaksi rangsangan atau menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan cara yang

Astaxanthin, tepung wortel dan spirulina merupakan sumber beta karoten alami yang dapat meningkatkan kualitas dan kecerahan warna pada ikan hias.. Sejauh ini belum

[r]

Beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari Tugas Akhir ini adalah: 1. b) Perbandingan antara FEM Kanavalli dengan FEM present terdapat perbedaan rata-rata sekitar 10,41%.