• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ion Nikel dan Kromium yang Terlepas dari Braket Ortodonti Stainless Steel Pada Perendaman Dalam Saliva Buatan (in Vitro)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Ion Nikel dan Kromium yang Terlepas dari Braket Ortodonti Stainless Steel Pada Perendaman Dalam Saliva Buatan (in Vitro)"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Maloklusi dan deformitas dentofasial dianggap merupakan variasi dari

perkembangan normal. Evaluasi yang dilakukan untuk mengatasinya memerlukan

sejumlah alat-alat yang tepat sehingga didapatkan hasil perawatan yang maksimal.

Perawatan ortodonti pada maloklusi dan deformitas dentofasial melibatkan alat

ekstraoral maupun intraoral dalam jangka waktu perawatan yang panjang. Oleh sebab

itu para peneliti berusaha untuk menemukan alat yang terbaik, aman dan nyaman bagi

pasien. Alat intraoral yang digunakan dalam perawatan ortodonti meliputi kawat,

band dan braket. Material dari alat intraoral ini beragam antara lain plastik, seramik

dan logam (Profit, 2007; Bhalajhi, 2003; Bishara, 2001; Craig, 2002).

Braket merupakan salah satu komponen penting pada perawatan ortodonti yang

berguna menghantarkan gaya tertentu pada gigi. Penggunaan braket logam pada

perawatan ortodonti telah dilakukan sejak awal tahun 1900. Umumnya logam yang

digunakan adalah logam mulia seperti emas dengan alasan sifatnya yang tahan lama

dan anggapan bahwa pemakaian logam mulia menunjukkan status sosial yang lebih

tinggi. Tetapi proses pembentukan emas sebagai alat untuk perawatan ortodonti

tidaklah mudah, sehingga para peneliti mulai mencari material lain yang lebih mudah

dibentuk, tahan lama dan nyaman untuk perawatan ortodonti. Pada tahun 1929, SS

pertama kali digunakan untuk menggantikan emas (Annusavice, 2003; Noort, 2007;

(2)

2.1 Logam Stainless Steel dalam bidang Ortodonti

SS pertama sekali ditemukan pada tahun 1913 oleh ahli metalurgi Inggris

bernama Harry Brearly. Penemuan ini awalnya tidak sengaja menambahkan

kromium pada baja rendah karbon dan menyebabkan baja tersebut menjadi tahan

karat. Penelitian terhadap SS terus berkembang dan tahun 1930-an mulai diproduksi.

SS dalam metalurgi adalah alloy besi dengan kandungan kromium 10,5 % - 11 %.

Penambahan kromium (Cr) bertujuan meningkatkan ketahanan korosi dengan

membentuk lapisan oksida ( Cr2O3) di permukaan logam SS. Unsur lain selain besi,

karbon dan kromium yaitu Nikel, Molybdenum dan Titanium dengan komposisi yang

berbeda-beda sehingga menghasilkan variasi sifat mekanis dari beberapa produk SS

yang beredar di pasar (Noort, 2007; Barret dkk., 1993).

Steel didefinisikan sebagai alloy yang terbentuk dari besi dan karbon dengan

konsentrasi antara 0.5 % - 2 %. SS adalah suatu steel yang mengandung lebih dari 11

% kromium, biasanya antara 11,5% - 27%, dan bisa juga mengandung nikel,

vanadium, molybdenum dan niobium dalam jumlah terbatas (O’Brien, 2002).

SS banyak diaplikasikan dalam berbagai bidang kehidupan, contohnya industri,

peralatan rumah tangga, medis dan alat kedokteran gigi, salah satunya bidang

ortodonti. Sebelum SS ditemukan, bahan dasar kawat, ligatur dan braket ortodonti

terbuat dari emas 14-18 karat. Emas memiliki ketahanan korosi yang tinggi tetapi

harganya sangat mahal. SS mulai digunakan dalam bidang ortodonti pada tahun 1933,

ketika Archi Brusse menjelaskan mengenai sifat SS untuk bidang ortodonti pada

(3)

meningkat di kalangan ortodontis karena memiliki kombinasi sifat mekanis yang

baik, tahan korosi dan harga ekonomis. SS digunakan dalam bidang ortodonti sebagai

bahan dasar braket, kawat. molar tube, band. Pegas dan lain-lain. Komposisi dan

manufaktur SS yang berbeda-beda menghasilkan beberapa jenis SS dan

diklasifikasikan oleh American Iron and Steel Institute (AISI) (Proffit, 1992; Kusy,

2002).

2.1.1 Klasifikasi dan komposisi Stainless Steel

Klasifikasi SS didasarkan pada struktur metalurginya, yaitu Austenitik, Ferritik,

Martensitik, Duplek dan Precipitation Hardening (Atlas Steel, 2013; Annusavice,

2003; Covert dan Tuthill, 2000).

1. Austenitik Stainless Steel

Austenitik SS memiliki mikrostruktur face centre cubic. Penambahan 8 % nikel

pada alloy ini mencegah transformasi austenit ke martensit saat pendinginan,

sehingga austenit lebih stabil walaupun pada suhu kamar. Austenit SS banyak

digunakan secara luas dalam bidang kedokteran gigi khususnya ortodonti karena

sifatnya yang tahan korosi. Tipe AISI 304 L SS dan 303 banyak digunakan sebagai

bahan dasar braket ortodonti dengan komposisi 18- 20 % kromium (Cr), 8-10 %

nikel, sedikit mangan, silikon dan karbon 0,003 %. AISI 303 adalah tipe austenitik SS

pertama yang merupakan campuran 18 % kromium dan 8 % nikel dan sedikit

selenium. Sedangkan tipe 316L SS memiliki kandungan nikel lebih tinggi 2-3 %,

molybdenum dan karbon yang lebih rendah untuk menambah resistensi terhadap

(4)

nikel dan 0,08 % karbon biasanya digunakan untuk kawat ortodonti (Graber dkk.,

2004).

2. Ferritik Stainless Steel

Alloy ini adalah tipe AISI 400 dengan sifat ketahanan korosi yang cukup baik

walaupun tidak sebaik austenitik SS disebabkan kandungan kromium yang lebih

rendah. Komposisi kromium 11,5 – 27 %, karbon 0,20 % dan tanpa nikel. Pada

perubahan temperatur, jenis alloy ini tidak menimbulkan perubahan fase ke keadaan

padat, maka logam ini tidak mengeras dengan pemanasan. Walaupun banyak

digunakan dalam bidang industri, tetapi alloy ini jarang digunakan dalam bidang

kedokteran gigi.

3. Martensitik Stainless Steel

Sama halnya dengan jenis Ferritik SS, jenis Martensitik juga dikategorikan

tipe AISI 400. Akan tetapi sifat Martensitik berbeda dengan tipe Ferritik. Tipe

Martensitik dapat dikeraskan dengan cara dipanaskan (heat treatment) sehingga

memiliki sifat kekerasan yang baik tetapi ketahanan korosi paling rendah

dibandingkan dengan tipe Austenitik dan Ferritik SS. Komposisinya mengandung

kromium 12-14 %, molybdenum 0,2-1 %, nikel 0-2 % dan karbon 0,1 – 1 %.

4. Precipitation HardeningStainless Steel

Precipitation Hardening (PH) SS adalah kombinasi optimal dari sifat-sifat

martensitik dan austenitik yaitu lebih kuat dan ketahanan korosi yang baik.

Kekuatan (tensile strength) yang tinggi disebabkan oleh proses pemanasan yang

(5)

titanium, niobium dan molybdenum yang memang ditambahkan ke dalam alloy SS.

Alloy ini digunakan bila diperlukan kombinasi kekuatan tinggi dan resistensi korosi.

Salah satu pemakaian Precipitation Hardening SS yang paling dikenal adalah untuk

kepala pemukul stik golf.

5. Duplek Stainless Steel

Duplek SS memiliki bentuk mikrostruktur campuran austenitik dan ferritik.

Kombinasi dari kedua tipe tersebut menghasilkan kekuatan dua kali lipat lebih baik

daripada austenitik dan tidak mudah fraktur dibandingkan dengan ferritik SS. Selain

itu, sifat tahan korosi dalam mulut terutama korosi karena gaya/tekan (stress

corrosion cracking) lebih baik daripada austenitik SS. Komposisinya mengandung

kromium yang tinggi 18-30 %, molybdenum yang tinggi 0,1-4,5 % dan nikel lebih

rendah 1,3- 6%, tembaga dan besi. Nitrogen ditambahkan untuk menambah

kekuatan dan tahan korosi. Tipe 2304 dan 2205 Duplek SS digunakan sebagai

bahan dasar braket ortodonti dan indikasi untuk pasien yang alergi nikel. Penelitian

Plat dkk. melaporkan bahwa 2205 Duplek SS lebih tahan korosi dibandingkan tipe

AISI 316 L sebagai bahan dasar braket ortodonti.

Potensi korosi dan pelepasan nikel dari alloy SS austenitik AISI tipe 316L yang

saat ini digunakan untuk braket ortodonti telah menimbulkan pertimbangan alternatif

SS. Sebagai contoh, alloy SS 2205, yang mengandung separuh kadar nikel yang

ditemukan dalam alloy 316L, telah dikemukakan untuk pembuatan braket ortodonti.

SS ini memiliki mikrostrukur duplek yang terdiri dari fase austenitik dan delta-ferritik

(6)

yang secara signifikan lebih sedikit dibanding alloy 316L ketika disertai dengan

archwire nikel titanium, beta titanium atau SS in vitro (Graber dkk., 2004).

Penelitian telah menunjukkan bahwa lapisan permukaan yang dibentuk oleh

krom juga mengandung besi, nikel dan molybdenum. Pada lingkungan aqueous,

lapisan ini terdiri dari lapisan oksida dalam dan lapisan hidroksida luar. Lapisan pasif

krom oksida pada SS tidak sestabil titanium oksida pada titanium dan alloynya,

sehingga resistensi korosi SS lebih rendah relatif terhadap titanium dan alloynya (Lin

dkk., 2006; Luft dkk., 2009).

2.1.2. Sifat fisis Stainless Steel

SS 18-8 merupakan type SS yang paling resisten terhadap korosi, ini

merupakan efek passivity dari kromium yang membentuk suatu oxida film (oxyde

layer) yang sangat tipis dan transparan tetapi kuat dan kedap air. Lapisan ini bisa

berbentuk Cr2O3 atau FeCr2O3 yang mencegah terjadinya tarnish dan korosi

(O’Brien, 2002; Philips, 2009).

Faktor yang mempengaruhi resisten terhadap korosi yaitu :

- Adanya sifat passivity dari kromium.

- Resistensi makin tinggi dengan makin banyaknya kadar kromium pada SS

tersebut.

- Nikel dapat menambah resistensi terhadap korosi.

2.1.3. Sifat mekanis Stainless Steel

(7)

- Modulus elastisity 200 GN / m2

- Tensile strength 1700MN/m2

- Yield strength 1500 MM/m2

- Ductility 5%

Hal-hal yang dapat mempengaruhi sifat SS :

Pemanasan pada temperatur 400°C - 900°C menyebabkan ion karbon

bermigrasi ke permukaan, kemudian diikuti ion kromium sehingga kromium akan

bersenyawa dengan karbon pada permukaan SS membentuk endapan kromium

karbida (Cr23C6). Dengan berkurangnya kromium maka akan menyebabkan pula

berkurangnya resistensi SS terhadap tarnish dan korosi. Efek pemanasan yang

menyebabkan berkurangnya resistensi korosi ini disebut weld-decay (O,Brien,

2002).

Weld-decay dapat dikurangi dengan 2 cara :

1. Mengurangi kadar karbon pada SS.

2. Menambah logam lain, mis : Titanium dan Miobium.

Menurut Philips (2009), ada beberapa hal yang harus diperhatikan pada SS yaitu:

1. Korosi

SS 18-8 dapat kehilangan ketahanannya terhadap korosi jika dipanaskan

antara 400° C sampai 9000C, temperatur yang pasti tergantung dari kandungan

karbonnya.

(8)

Walaupun berbeda, penelitian menunjukkan biokompatibilitas SS yang sangat

baik pada rongga mulut akan tetapi berdasarkan dari penelitian yang dilakukan oleh

Eliades dkk terjadi pelepasan ion bebas dari SS selama pemakaian yang bersifat

cytotoxitas.

2.2 Saliva dan Saliva Buatan

Kavitas mulut memiliki suatu kondisi lingkungan yang dipengaruhi oleh

temperatur, kualitas dan kuantitas saliva, pH saliva, plak, jumlah protein pada

saliva, sifat fisika dan kimia makanan maupun minuman, kondisi kesehatan umum

maupun mulut, kadar klorida pada saliva dan frekuensi makan (Chung, 2001).

Kondisi di atas mempengaruhi kestabilan ion logam pada braket yaitu menyebabkan

terjadinya pelepasan logam. Bila pelepasan ion terjadi dengan cepat maka braket

akan korosi yaitu disintegrasi logam yang menyebabkan kerusakan pada braket

tersebut (Gursoy dan Acar, 2007; Grimsdottir dkk., 1992).

Dalam mulut seorang pasien sering terjadi variasi konsentrasi elektrolit karena

adanya akumulasi makanan pada area interproksimal sedangkan pada area lain

dialiri saliva normal, sehingga posisi braket SS di dalam mulut pasien turut berperan

terhadap terjadinya korosi pada braket tersebut. Secara natural kondisi intraoral

sangat korosif sehingga sangat berpengaruh terhadap mikrostruktur braket yang

berada dalam mulut pasien secara terus menerus dalam waktu yang lama (Gursoy

dan Acar, 2007; Kao dkk., 2007).

Saliva yang disebut juga cairan mulut adalah suatu cairan yang dikeluarkan

(9)

diproduksi oleh kelenjar parotis sebanyak ± 90 % submandibula, sublingual dan

kelenjar pada palatum lunak dan pada permukaan dalam bibir dan pipi. Saliva

buatan mengandung komponen yang sama dengan saliva asli, tetapi tidak

mengandung enzim. Saliva buatan dapat dibuat dengan berbagai macam metode

pencampuran komposisi. Salah satu metodenya adalah dengan komposisi

Fusayama, terdiri dari : NaCl (400mg/L), KCl (400mg/L), CaCl2.H2O(795 mg/L),

NaH2PO4.H2O(90 mg/L), KSCN(300 mg/L), Na2S.9H2O (5mg/L) dan urea(1000

mg/L) (Kuhta dkk., 2009; Preetha, 2005).

2.3 Braket dalam saliva

Saliva merupakan elektrolit yang memungkinkan adanya reaksi antara ion-ion

logam pada braket dengan saliva sehingga terjadi kerusakan secara elektrokimia

pada braket (Maijer dan Smith, 1986). Pada daerah yang kurang terpoles dengan

baik, yaitu daerah anoda terjadi reaksi oksidasi, yaitu pelepasan ion elektron ke

saliva yang menyebabkan daerah anoda merupakan daerah yang mudah mengalami

korosi. Sedangkan daerah katoda mengalami reaksi reduksi, dimana permukaan

katoda akan mengambil elektron bebas pada saliva yang diproduksi oleh anoda

(Chaturvedi, 2010).

Korosi dimulai dari terjadinya tarnish pada logam, kemudian berlanjut dengan

lepasnya ion-ion logam, akhirnya terjadilah korosi. Tarnish adalah berkurangnya

pewarnaan permukaan logam atau perubahan pada permukaan logam yang telah

dipoles. Tidak ada tanda yang jelas yang bisa menandai kapan mulai lepasnya

(10)

ion-ion logam. Sedangkan korosi merupakan suatu kegagalan struktur logam secara

mekanis dan berlangsung secara cepat akibat reaksi logam dengan lingkungannya.

Bila penyebab tarnish tidak dihilangkan maka warna logam akan semakin kusam,

yang berarti proses korosi terus berlanjut (Philips, 2009).

Penyebab tarnish adalah :

1. Air, oksigen dan ion klorida yang terdapat pada saliva

2. Deposit-deposit dalam mulut yang menempel pada permukaan logam

3. Stain yang disebabkan oleh bakteri

4. Pembentukan senyawa-senyawa tertentu seperti oksida, sulfida atau klorida.

SS bersifat menyalurkan panas dan listrik, sehingga terjadi mobilitas

elektron-elektron dalam logam. Elektron yang terletak di permukaan braket mudah

meninggalkan braket sehingga pada permukaan braket terbentuk ion positif yang

labil dan bersifat anoda. Elektron yang terlepas akan menghasilkan energi panas dan

listrik, sedangkan ion positif akan bersenyawa dengan ion lain. Kejadian seperti di

atas sering terjadi pada area braket yang rusak atau kasar, karena tidak terpoles

dengan baik. Interaksi ion-ion logam dengan lingkungan merupakan penyebab

korosi yang paling umum, tetapi biasanya korosi tidak disadari oleh ortodontis

sebelum braket mengalami kerusakan yang parah (Eliades dkk., 2002; Barret dkk.,

(11)

2.4 Korosi dan Pelepasan Ion Logam

Korosi adalah penurunan mutu logam akibat reaksi elektrokimia dengan

lingkungannya. Korosi terjadi pada saat adanya reaksi pelarutan (dissolution) logam

menjadi ion pada permukaan logam yang berkontak dengan lingkungan yang

mengandung cairan/air dan oksigen melalui reaksi kimia. Diawali dengan pelepasan

elektron oleh atom-atom logam sehingga atom-atom logam menjadi ion-ion (+)

yang larut dalam lingkungannya. Secara umum dapat dirumuskan dalam bentuk

persamaan :

M M Z+ + Ze - ... (2.1)

Dengan M = logam, MZ+ = ion logam, dan Ze- = muatan negatif elektron. Bilangan

bulat Z, biasanya mempunyai nilai 1,2 atau 3. Nilai Z yang lebih tinggi juga ada

tetapi jarang. Dari nilai Z yang dimungkinkan, 2 merupakan yang paling lazim.

Nilai Z ini disebut valensi, dan logam dapat mempunyai valensi lebih dari satu

(Budianto dkk., 2009; Perez 2004).

Korosi diklasifikasikan melalui banyak cara. Ada metode yang membagi

korosi menjadi korosi pada temperatur rendah dan temperatur tinggi. Metode

lainnya memisahkan korosi menjadi kombinasi lansung (atau oksidasi) dan korosi

elektrokimia. Klasifikasi yang lebih disukai adalah korosi basah (wet corrosion).

Korosi basah terjadi ketika adanya cairan. Biasanya melibatkan larutan yang

mengandung air atau elektrolit dan sejauh ini terhitung menjadi penyebab korosi

yang terbesar. Contoh yang paling umum adalah korosi pada baja yang disebabkan

(12)

embun lingkungan. Pada umumnya uap dan gas mengakibatkan terjadinya korosi.

Korosi kering paling sering dihubungkan dengan temperatur tinggi. Contohnya

korosi baja pada tungku perapian gas (Budianto dkk., 2009).

Meskipun SS dikenal sebagai campuran logam yang tahan korosi, namun

proses pembuatan yang berbeda-beda menghasilkan kualitas yang berbeda-beda

juga, sehingga akan mempengaruhi tingkat ketahanan korosi (Lin dkk., 2006).

Terdapat beberapa bentuk korosi, yaitu : (1) korosi homogen (uniform

corrosion), (2) korosi galvanis (galvanic corrosion), (3) korosi celah (crevice

corrosion), (4) korosi sumur (pitting corrosion), (5) korosi antar butir

(intergranular corrosion), (6) korosi selektif (selective corrosion), (7) korosi erosi

(erotion corrosion), dan (8) korosi tegangan (stress corrosion) (Budianto dkk.,

2009; Perez, 2004; Chaturvedi, 2010).

Korosi homogen (uniform corrosion), merupakan pelepasan logam yang

biasanya terjadi dan seragam. Ini merupakan bentuk korosi yang paling umum dan

biasanya terjadi. Pada korosi uniform, lingkungan korosif harus mempunyai akses

yang sama ke semua bagian permukaan, dan logam itu sendiri harus memiliki

metalurgi dan komposisi yang seragam. Logam mengalami reaksi redoks dengan

lingkungan sekelilingnya dan dapat tidak terdeteksi hingga mengenai sebagian

(13)

Gambar 2.1. Korosi homogen (Chaturvedi,2010)

Korosi galvanis (galvanic corrosion), terjadi pada saat dua atau lebih logam

bergabung dan ditempatkan di larutan saliva yang konduktif atau larutan elektrolit.

Korosi dapat terjadi karena perbedaan kekasaran permukaan dan keadaan pH pada

dua logam atau alloy yang berbeda (House dkk., 2008; Chaturvedi, 2010; Perez,

2004).

Gambar 2.2 Korosi galvanis (Chaturvedi,2010)

Korosi celah (crevice corrosion), terjadi diantara dua permukaan yang

berdekatan atau di dalam tempat yang sempit dimana pertukaran oksigen tidak dapat

terjadi. Penurunan pH dan peningkatan konsentrasi klorida merupakan dua faktor

penting yang paling sering menyebabkan korosi celah (Chaturvedi, 2010; Perez,

(14)

Korosi ini dapat terjadi pada pesawat lepasan bila kawat atau komponen sekrup

ekspansi memasuki akrilik. Diskolorasi kecoklatan dapat timbul di bawah

permukaan akrilik yang berkontak dengan logam. Hal ini diperkirakan disebabkan

oleh bakteri dan biofilm permukaan antara kawat dan akrilik, sehingga

mengakibatkan korosi celah dari logam (House dkk, 2003).

Gambar 2.3 Korosi celah (Chaturvedi,2010)

Korosi sumur (pitting corrosion), adalah bentuk korosi yang terlokasir, korosi

simetris dimana lubang-lubang terbentuk pada permukaan logam. Hal ini biasanya

terjadi pada logam dasar, yang dilindungi oleh sebuah lapisan film tipis yang

terbentuk secara alami dari oksida.

(15)

Korosi antar butir (intergranular corrosion), terjadi apabila daerah batas butir

terserang akibat adanya endapan di dalamnya. Batas butir sering menjadi tempat

yang lebih disukai untuk proses-proses pengendapan (presipitation) dan pemisahan

terdapat dalam struktur logam ada 2 macam yaitu logam antara (intermetallic) dan

senyawa. Logam antara adalah unsur-unsur yang terbentuk dari atom-atom logam

dan mempunyai rumus kimia yang mudah dikenali, contohnya krom karbida

(Cr23C6). Unsur ini bisa bersifat anoda atau katoda terhadap logam utama. Senyawa

adalah bahan yang tebentuk dari logam dan unsur-unsur bukan logam seperti

hidrogen, karbon, silikon, nitrogen maupun oksigen. Setiap logam yang

mengandung logam antara atau senyawa pada batas-batas butirnya akan rentan

terhadap korosi antar butir (intergranular corrosion) dan yang paling sering adalah

dialami oleh baja tahan karat austenitik (Budianto dkk., 2009; Perez, 2004;

Chaturvedi, 2010).

Gambar 2.5 Korosi antar butir

(Chaturvedi,2010)

Korosi tegangan (stress corrosion) terjadi karena logam fatique berada pada

lingkungan korosif. Hal ini biasa terjadi pada kawat ortodonti yang diligasi pada

gigi yang crowded berat sehingga menyebabkan reaktivitas alloy meningkat

(16)

Gambar 2.6 Korosi tegangan (Chaturvedi,2010)

2.5Alat Uji

2.5.1 X-Ray Fluoresence

Uji komposisi unsur dilakukan dengan menggunakan alat X-Ray Fluoresence

(XRF) tipe μEDX-1300. Uji XRF bertujuan menentukan jenis dan presentase

komponen unsur-unsur penyusun braket sebelum direndam dalam saliva buatan.

XRF merupakan teknik analisa non-destruktif yang digunakan untuk identifikasi

serta penentuan konsentrasi elemen yang ada pada sampel padat, bubuk ataupun cair.

XRF mampu mengukur elemen dari berilium (Be) hingga uranium pada level trace

element, bahkan di bawah level ppm. Secara umum, XRF spektrometer mengukur

panjang gelombang komponen material secara individu, dari emisi fluorosensi yang

(17)

.

Gambar 2.7 Pembagian panjang gelombang (Brouwer, 2003)

2.5.1.1 Prinsip kerja XRF

Apabila terjadi eksitasi sinar- X primer yang berasal dari tabung X-ray atau

sumber radioaktif mengenai sampel, sinar-X dapat diabsorpsi atau dihamburkan oleh

material. Proses dimana sinar-X diabsorpsi oleh atom dengan mentransfer energinya

pada elektron yang terdapat pada kulit yang lebih dalam disebut efek fotolistrik.

Selama proses ini, bila sinar-X primer memiliki cukup energi, elektron pindah dari

kulit yang di dalam menimbulkan kekosongan. Kekosongan ini menghasilkan

keadaan atom yang tidak stabil. Apabila atom kembali pada keadaan stabil, elektron

dari kulit yang lebih dalam dan proses ini menghasilkan energi sinar-X yang tertentu

dan berbeda antara dua energi ikatan pada kulit tersebut. Emisi sinar-X dihasilkan

dari proses yang disebut X-Ray Fluorescence (XRF). Proses deteksi dan analisa emisi

sinar-X disebut analisa XRF. Sehingga sering terdapat istilah Kα dan Kβ serta Lα dan

Lβ pada XRF. Jenis spektrum X-ray dari sampel yang diradiasi akan menggambarkan

puncak-puncak pada intensitas yang berbeda (Viklund, 2008)

Berikut gambar yang menjelaskan nomenclature yang terdapat pada XRF dan

(18)

Gambar 2.8 Transisi elektron (Broower, 2003)

Gambar 2.9 Prinsip Kerja XRF (Broower, 2003)

Metode XRF secara luas digunakan untuk menentukan komposisi unsur suatu

material. Karena metode ini cepat dan tidak merusak sampel, metode ini dipilih untuk

aplikasi di lapangan dan industri untuk kontrol material. Tergantung pada

(19)

eksitasi primer yang lain seperti partikel alfa, proton atau sumber elektron dengan

energi yang tinggi (Viklund, 2008).

2.5.1.2 Kelebihan dan kekurangan XRF

Kelebihan dari analisa ini adalah sampel yang dianalisis tidak perlu dirusak,

memiliki akurasi yang tinggi, dapat menentukan unsur dalam material tanpa adanya

standar, serta dapat menentukan kandungan mineral dalam bahan biologik maupun

dalam tubuh secara langsung. Kekurangan dari metode XRF adalah tidak cocok untuk

analisa elemen yang ringan seperti H dan He (Jamaluddin, 2007).

Gambar 2.10 Mesin X-Ray Fluorescence (XRF) tipe μEDX 1300.

2.5.2 Inductively Coupled Plasma

Inductively Coupled Plasma (ICP) yang termasuk ke dalam Spektroskopi

Atomik adalah sebuah teknik analisis yang digunakan untuk mendeteksi jejak logam

dalam sampel dan untuk mendapatkan karakteristik unsur-unsur yang memancarkan

gelombang tertentu. ICP merupakan instrumen yang digunakan untuk menganalisis

(20)

spektrofotometer emisi. Spektrofotometer emisi adalah metode analisis yang

didasarkan pada pengukuran intensitas emisi pada panjang gelombang yang khas

untuk setiap unsur. Bahan yang akan dianalisis untuk alat ICP ini harus berwujud

larutan yang homogen (Thompson, 1983).

2.5.2.1 Prinsip kerja ICP

Prinsip umum pada ICP adalah mengukur intensitas energi yang dipancarkan

oleh unsur-unsur yang mengalami perubahan tingkat energi atom (eksitasi atau

ionisasi). Larutan sampel dihisap dan dialirkan melalui capillary tube ke Nebulizer.

Nebulizer merubah larutan sampel ke bentuk aerosol yang kemudian diinjeksikan

oleh ICP. Pada temperatur plasma, sampel-sampel akan teratomisasi dan tereksitasi.

Atom yang tereksitasi akan kembali ke keadaan awal (ground state) sambil

memancarkan sinar radiasi. Sinar radiasi ini didispersi oleh komponen optik. Sinar

yang terdispersi, secara berurutan muncul pada masing-masing panjang gelombang

unsur dan dirubah dalam bentuk sinyal listrik yang besarnya sebanding dengan sinar

yang dipancarkanoleh besarnya kosentrasi unsur. Sinyal ini kemudian diproses oleh

(21)

Gambar 2.11 Skema alat Inductively Coupled Plasma (Thompson, 1983)

(22)

2.6 Landasan Teori

Perawatan ortodonti menggunakan berbagai macam piranti baik itu piranti

cekat ataupun lepasan. Pada perawatan ortodonti cekat, braket merupakan salah satu

komponen utamanya. Braket yang paling umum digunakan adalah braket jenis SS

karena braket SS merupakan braket yang paling ekonomis dan mempunyai kekuatan

tinggi.

Dalam lingkungan mulut, braket terpapar oleh agen-agen bahan kimia dan

fisika yang berpotensi merusak dan dapat menyebabkan korosi logam. Korosi dapat

terjadi secara berkelanjutan dalam mulut, yang disebabkan oleh lepasnya ion-ion

karena abrasi oleh makanan, cairan dan penyikatan gigi. Terlepasnya ion-ion tersebut

akan diserap oleh tubuh.

Dalam bidang ortodonti, nikel merupakan logam yang paling umum

menyebabkan dermatitis kontak dengan kasus reaksi alergi lebih banyak daripada

logam lainnya. Pesawat ortodonti yang mengandung nikel berperan dalam reaksi

alergi yang merupakan respon imun hipersensitifitas tertunda tipe IV.

Ada beberapa pilihan braket non allergic terhadap pasien dengan sensitif

terhadap nikel. Diantaranya adalah braket seramik dengan kristal safir, braket

polikarbonat yang diproduksi dari polimer plastik, braket titanium dan braket berlapis

emas. Tetapi biaya dari bahan alternatif tersebut, dapat melebihi 3 kali lipat dari

biaya rata-rata. Alternatif lainnya yang lebih ekonomis adalah braket ss nickel-free

(komposisi nikel < 2 %), yang merupakan pengembangan dari braket tipe duplek

(23)

2.7 Kerangka Teori

Perawatan Ortodonti

Perawatan Ortodonti Perawatan Ortodonti

Cekat Lepasan

Band Braket Kawat

Braket SS Braket Ceramic Braket Plastik

(24)

2.8 Kerangka Konsep

Braket stainless steel

Braket stainless steel Braket stainless steel bernikel nickel free

Klorida dari saliva Celah yang bermuatan positip sebagai inisiator akan menarik ion klorida yang terjadinya korosi bermuatan negatif celah(crevice) dan meningkatkan keasaman sumur(pitting) elektrolit dalam celah

dari pH 6 pH 2-3

Ion Ni dan Cr terlepas

2.9 Hipotesis Penelitian

1. Tidak ada pelepasan ion nikel dari braket SS bernikel dan braket SS

nickel-free setelah dilakukan perendaman pada saliva buatan.

2. Tidak ada pelepasan ion kromium dari braket SS bernikel dan braket SS

nickel-free setelah dilakukan perendaman pada saliva buatan.

(25)

3. Tidak ada perbedaan pelepasan ion nikel dari braket SS bernikel dengan

braket SS nickel-free setelah dilakukan perendaman pada saliva buatan pada waktu

yang berbeda.

4. Tidak ada perbedaan pelepasan kromium dari braket SS bernikel dengan

Gambar

Gambar 2.6 Korosi tegangan (Chaturvedi,2010)
Gambar 2.8 Transisi elektron (Broower, 2003)
Gambar 2.10 Mesin X-Ray Fluorescence
Gambar 2.11 Skema alat  Inductively Coupled Plasma (Thompson, 1983)

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, minimnya penelitian mengenai pengaruh beberapa jenis teh terhadap pelepasan ion nikel pada kawat ortodonti

Kandungan dalam pasta gigi ortodonti maupun non-ortodonti yang ter- dapat juga dalam obat kumur membuat pasta gigi tersebut diduga dapat menye- babkan korosi pada

- Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan variasi konsentrasi yang berbeda dari ekstrak biji salak dalam menghambat pelepasan ion kromium (Cr) dan nikel (Ni) untuk

Penggunaan braket logam pada perawatan ortodonti telah dilakukan sejak awal tahun 1900 dan umumnya logam yang digunakan adalah logam mulia seperti emas dengan

Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan besar pelepasan ion nikel antara tiga merek braket stainless steel (p&lt;0,05), besar pelepasan ion nikel antara

Hasil penelitian ini serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Aryani tahun 2012 di Jakarta yang menunjukan terdapat pelepasan logam kromium dan nikel yang bervariasi pada

Hasil pengukuran pelepasan ion kromium dalam air laut setelah perendaman selama 48 jam menunjukkan terdapat pelepasan yang bervariasi pada masing- masing sampel braket,