• Tidak ada hasil yang ditemukan

ION NIKEL DAN KROMIUM YANG TERLEPAS DARI BRAKET ORTODONTI STAINLESS STEEL PADA PERENDAMAN DALAM SALIVA BUATAN (in Vitro)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ION NIKEL DAN KROMIUM YANG TERLEPAS DARI BRAKET ORTODONTI STAINLESS STEEL PADA PERENDAMAN DALAM SALIVA BUATAN (in Vitro)"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

ION NIKEL DAN KROMIUM YANG TERLEPAS DARI BRAKET ORTODONTI STAINLESS STEEL PADA

PERENDAMAN DALAM SALIVA BUATAN (in Vitro)

TESIS

DORTIA APRITA SILAEN 097160002

PROGRAM MAGISTER (S-2) ILMU KEDOKTERAN GIGI FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N

2 0 1 5

(2)

ION NIKEL DAN KROMIUM YANG TERLEPAS DARI BRAKET ORTODONTI STAINLESS STEEL PADA

PERENDAMAN DALAM SALIVA BUATAN (in Vitro)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister (MDSc)

Dalam Bidang Ilmu Kedokteran Gigi

Pada Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara

DORTIA APRITA SILAEN 097160002

PROGRAM MAGISTER (S-2) ILMU KEDOKTERAN GIGI FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N

2 0 1 5

(3)

Telah diuji dan dinilai Atas Kelayakan dan Kebenaran Isi Naskah Penelitian Tesis Pada Tanggal : 17 Desember 2015

PANITIA UJIAN AKHIR TESIS

KETUA : Dr. Ameta Primasari, drg., M.DSc., M.Kes Anggota : 1. Amalia Oeripto, drg., M.S., Sp.Ort. (K)

2. Dr. Saharman Gea, S.Si., M.Si 3. Sumadhi Sastrodihardjo, drg., Ph.D 4. Prof. Dr. Harry Agusnar, M.Sc., M.Phil.

(4)

PERNYATAAN

ION NIKEL DAN KROMIUM YANG TERLEPAS DARI BRAKET ORTODONTI STAINLESS STEEL PADA

PERENDAMAN DALAM SALIVA BUATAN (in Vitro)

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam Tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, 08 Desember 2015

( Dortia Aprita Silaen )

(5)

ABSTRAK

Braket selalu berada dalam rongga mulut selama perawatan ortodonti sehingga terjadi interaksi braket dengan lingkungannya. Salah satu kriteria yang harus dipenuhi oleh braket ortodonti adalah memiliki biokompabilitas yang baik dan daya tahan yang tinggi terhadap korosi. Produk utama hasil proses korosi yang paling merugikan bagi tubuh manusia adalah ion nikel dan kromium. Nikel merupakan penyebab paling umum dari dermatitis kontak alergi akibat logam. Braket SS nickel-free (komposisi Ni < 2%) dapat digunakan sebagai alternatif pasien ortodonti dengan alergi terhadap nikel. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur dan membedakan pelepasan ion nikel dan kromium antara braket SS bernikel (Protect, China) dan braket SS nickel-free (Orthoclassic, Jerman) setelah direndam di dalam saliva buatan. Penelitian ini menggunakan sampel sejumlah 200 buah braket yaitu braket SS bernikel sebanyak 100 buah dan braket SS nickel-free sebanyak 100 buah dengan komposisi braket yang berlainan. Masing-masing sampel dikelompokkan menjadi 4 kelompok waktu perendaman. Sampel direndam direndam dalam saliva buatan dengan pH 6,75 dan disimpan di dalam inkubator pada suhu 37°C selama periode waktu 1, 2, 3 dan 4 minggu. Pengukuran jumlah lepasan ion nikel dan kromium dilakukan pada saliva buatan dengan menggunakan alat Inductively Coupled Plasma (ICP Varian 715-ES).

Untuk melihat perbedaan signifikan antara waktu perendaman pada braket SS bernikel dan braket SS nickel-free dilakukan uji statistik ANOVA.Untuk melihat perbedaan ion nikel pada braket SS bernikel dengan braket SS nickel-free dan juga untuk melihat perbedaan ion kromium pada braket SS bernikel dengan braket SS nickel-free digunakan uji statistik T test. Hasil menunjukkan adanya pelepasan ion nikel dan kromium setelah dilakukan perendaman dalam saliva buatan dalam interval waktu tertentu. Nilai pelepasan ion nikel pada braket bernikel 0.13 ppm, 0.20 ppm, 0.24 ppm dan 0.26 ppm lebih tinggi dibandingkan braket SS nickel-free 0.01 ppm, 0.02 ppm, 0.03 ppm dan 0,3 ppm masing-masing setelah direndam selama 1,2,3, dan 4 minggu. Nilai pelepasan ion kromium pada braket bernikel 0.005 ppm, 0.013 ppm, 0.025 ppm dan 0.018 ppm lebih tinggi dibandingkan braket SS nickel-free sebesar 0.002 ppm, 0.008 ppm, 0.010 ppm dan 0.014 ppm masing-masing setelah direndam selama 1,2,3, dan 4 minggu. Hal ini menunjukkan bahwa semakin lama waktu perendaman, maka semakin banyak pula ion nikel dan kromium yang dilepaskan.

Kata kunci : braket, pelepasan ion, nikel, kromium, saliva buatan.

(6)

ABSTRACT

During the orthodontic treatment, bracket always contact with oral environment, so that there is an interaction between both of them. Therefore, orthodontic bracket should have a good biocompability to the oral environment as well as high resistancy to corrosion. Nickel and chromium ions are the main products of corrosion that could harm human body. Nickel is the most common metal to cause contact dermatitis in orthodontics. Nickel-free bracket (Ni content < 2%) seem to represent a viable alternative for orthodontic patient who are allergic to nickel. The aim of this study is to measure and distinguish the release of nickel and chromium ions between nickel stainless steel bracket (Protect, Chinese) and nickel- free stainless steel bracket (Orthoclassic, Germany) after immersion in artificial saliva. This study used a sample of 200 pieces brackets which 100 nickel SS brackets and 100 nickel-free SS brackets with composition different of bracket. Each sample was divided into 4 groups of immersion time. The samples were stored immersed in artificial saliva with pH 6.75 and stored in an incubator at 37 ° C for periods of 1, 2, 3 and 4 weeks. Measurement of the amount of nickel and chromium ion release was measured from artificial saliva by using Inductively Coupled Plasma (ICP Varian 715-ES). ANOVA analysis of variance was used to test difference time of immersion in the nickel stainless steel bracket and nickel-free stainless steel bracket. T-test analysis was used to compare of nickel and chromium ions release between nickel stainless steel bracket with nickel-free stainless steel bracket. The results indicate the presence of nickel and chromium ion release after immersion in artificial saliva of defined intervals. The value of the nickel ion release at nickel stainless steel bracket 0.13 ppm, 0.20 ppm, 0.24 ppm and 0.26 ppm the nickel-free stainless steel bracket 0.01 ppm, 0.02 ppm, 0.03 ppm and 0.3 ppm respectively after immersion for 1,2,3, and 4 weeks. The value release of chromium ions in the nickel stainless steel bracket 0.005 ppm, 0.013 ppm, 0.025 ppm and 0.018 ppm and nickel-free stainless steel bracket of 0.002 ppm, 0.008 ppm, 0.010 ppm and 0.014 ppm respectively after immersion for 1,2,3, and 4 weeks. It shows that the longer time of immersion, the more nickel and chromium ions are released. From this study it can be concluded that the nickel SS bracket and nickel-free SS bracket release nickel and chromium ion levels that can be measured and significantly different with immersion time (1,2,3 and 4 weeks)in artificial saliva and value of the nickel and chromium ion release from nickel SS bracket and nickel free SS bracket after immersion in artificial saliva for 1,2,3 and 4 weeks significantly different.

Key-words : stainless steel bracket, ion release, nickel, chromium, artificial saliva.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Dental Science (MDSc) dari Program Studi Magister (S2) Ilmu Kedokteran Gigi, Universitas Sumatera Utara.

Dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis ini, penulis telah banyak mendapatkan bimbingan, bantuan dan doa dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati dan penghargaan yang tulus, penulis ingin menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak drg. Sumadhi Sastrodihardjo, Ph.D selaku pembimbing pertama yang telah meluangkan banyak waktu dan pikiran, memberikan bimbingan, arahan dan dukungan kepada penulis sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan baik.

2. Bapak Prof. Dr. Harry Agusnar, M.Sc., M.Phil. selaku pembimbing anggota yang telah meluangkan banyak waktu, memberikan bimbingan, arahan dan dukungan kepada penulis sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan baik.

3. Bapak Prof. Nazruddin, drg. C.Ort., Ph.D., Sp.Ort. selaku Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Sumatera Utara.

4. Ibu Dr. Ameta Primasari, drg., MDSc., M.Kes selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Gigi

(8)

Universitas Sumatera Utara dan tim penguji yang telah memberikan bimbingan dan masukan kepada penulis dalam menyempurnakan tesis ini.

5. Ibu Amalia Oeripto, drg., MS., Sp.Ort(K) selaku tim penguji yang telah memberikan bimbingan dan masukan kepada penulis dalam menyempurnakan tesis ini.

6. Bapak Dr. Saharman Gea, S.Si., M.Si., selaku tim penguji yang telah memberikan bimbingan dan masukan kepada penulis dalam menyempurnakan tesis ini.

7. Ibu Nurhayati Harahap drg., Sp.Ort.(K), Erna Sulistyawati drg., Sp.Ort.(K), Bapak Muslim Yusuf drg., Sp.Ort.(K), selaku staf pengajar PPDGS Ortodonti yang telah memberikan bimbingan dan masukan kepada penulis.

8. Ibu Hj. Ernawaty Apt., selaku deputi manager teknik Laboratorium Kesehatan Daerah (BLK) Medan, dan Bapak Yusuf (Laboratorium Kimia Air) atas bantuannya dalam analisa ICP.

Teman – teman program Magister seangkatan yaitu Christian, Salvia, Sandra, Tannady, Ariyani, Putri, Yolanda dan Bestari dan teman-teman terbaik di PPDGS, Dewi Nalsalita, Aditya, Tanty, Qiqin, Teguh yang selalu memberikan dukungan dan semangat.

Ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya penulis sampaikan kepada kedua orang tua tercinta, yaitu Ayahanda (Alm.) A.D. Silaen dan Ibunda Turianna Sitorus yang telah membesarkan, memberikan kasih sayang yang tulus dan tak tergantikan,

(9)

yang tak henti-hentinya berdoa, bersabar memberi dukungan dan semangat kepada penulis.

Terima kasih dengan penuh keikhlasan penulis haturkan kepada suami tercinta, Erwin Partogi Gultom, ST., atas kesetiaan dan kasih sayangnya di dalam mendukung dan memberikan izin untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Kepada ketiga putra tersayang Alvin Gerardo Sebastian Gultom, Alvito Nathaniel Gultom, Albert Nicholas Gultom, atas kasih sayang dan kemandiriannya selama penulis menjalani pendidikan S2 dan menyelesaikan tesis ini.

Penulis menyadari bahwa dalam tesis ini masih terdapat banyak kekurangan, oleh karena itu penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya. Semoga tesis ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu kedokteran gigi.

Medan, 19 Desember 2015

Penulis

Dortia Aprita Silaen

NIM. 097160002

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... . i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP... vi

DAFTAR ISI………... viii

DAFTAR GAMBAR... x

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB 1 PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Permasalahan... 4

1.3 Rumusan Masalah... 6

1.4 Tujuan Penelitian... 6

1.5 Manfaat Penelitian... 7

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA... 8

2.1 Logam Stainless Steel dalam Bidang Ortodonti... 9

2.1.1 Klasifikasi dan komposisi stainless steel... 10

2.1.2 Sifat fisis stainless steel... 13

2.1.3 Sifat mekanis stainless steel... 14

(11)

2.2 Saliva dan Saliva Buatan... 15

2.3 Braket dalam Saliva... 16

2.4 Korosi dan Pelepasan Ion Logam... 18

2.5 Alat Uji... 23

2.5.1 Uji XRF....………... 23

2.5.2 Uji ICP...………... 24

2.6 Landasan Teori…... 29

2.7 Kerangka Teori…... 30

2.8 Kerangka Konsep ... 31

2.9 Hipotesis Penelitian…... 31

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN... 33

3.1 Jenis Penelitian... 33

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian... 33

3.2.1 Tempat Penelitian... 33

3.2.2 Waktu Penelitian... 33

3.3 Sampel dan Besar Sampel Penelitian... 33

3.3.1 Sampel Penelitian... 33

3.3.2 Besar Sampel Penelitian... 34

3.4 Variabel Penelitian... 35

3.4.1 Variabel Bebas... 35

3.4.2 Variabel Terikat... 35

3.4.3 Variabel Terkendali... 35

3.4.4 Variabel Tak Terkendali... 35

(12)

3.5 Definisi Operasional... 36

3.6 Alat dan Bahan Penelitian... 37

3.6.1 Alat Penelitian... 37

3.6.2 Bahan Penelitian... 37

3.7 Pelaksanaan Penelitian... 38

3.7.1 Persiapan Penelitian... 38

3.7.2 Tahap Uji menggunakan ICP ... 39

3.8 Analisis Data... 43

3.9 Jadwal Penelitian ... 44

BAB 4 HASIL PENELITIAN... 46

BAB 5 PEMBAHASAN... 56

5.1 Pelepasan Ion Nikel Setelah Perendaman Di Dalam Saliva Buatan Selama 1, 2, 3 dan 4 minggu... 56

5.2 Pelepasan Ion Kromium Setelah Perendaman Di Dalam Saliva Buatan Selama 1, 2, 3 dan 4 minggu... 61

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN... 65

6.1 Kesimpulan...…... 65

6.2 Saran... 66

DAFTAR PUSTAKA... 67

LAMPIRAN ... 72

(13)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

2.1 Korosi homogen... 20

2.2 Korosi galvanis... 20

2.3 Korosi celah... 21

2.4 Korosi sumur... 21

2.5 Korosi antar butir... 22

2.6 Korosi tegangan... 23

2.7 Pembagian panjang gelombang... 24

2.8 Transisi elektron... 25

2.9 Prinsip kerja XRF... 25

2.10 Mesin X-Ray Fluorescence (XRF) tipe μEDX 1300 ... 26

2.11 Skema alat Inductively Coupled Plasma (ICP)... 28

2.12 Inductively Coupled Plasma (ICP)... 28

3.1 Braket bernikel (Protect)... 37

3.2 Braket nickel-free (Orthoclassic) ... 37

3.3 Sampel dalam tabung reaksi dimasukkan ke inkubator... 38

4.1 Kurva kalibrasi larutan standar nikel... 47

4.2 Kurva kalibrasi larutan standar kromium... 48

5.1 Diagram pengujian analisa kandungan unsur braket SS bernikel dan braket SS nickel-free dengan XRF... 56

5.2 Diagram pelepasan ion nikel braket SS bernikel dan braket SS nickel-free pada 1, 2, 3 dan 4 minggu perendaman saliva buatan 58

5.3 Peranan klorida dalam memicu terjadinya korosi... 59

nickel-free pada 1, 2, 3 dan 4 minggu perendaman saliva buatan... 61

(14)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

3.1 Definisi operasional variabel penelitian... 36

3.2 Jadwal pelaksanaan proses penelitian... 44

4.1 Hasil pengujian analisa kandungan unsur braket dengan XRF... 46

4.2 Pengukuran larutan standar nikel... 47

4.3 Pengukuran larutan standar kromium... 47

4.4 Nilai rerata pelepasan ion nikel setelah perendaman pada minggu ke-1, 2, 3 dan 4 minggu dalam saliva buatan... 48

4.5 Nilai rerata pelepasan ion kromium setelah perendaman pada minggu ke-1, 2, 3 dan 4 minggu dalam saliva buatan... 49

4.6 Uji normalitas Shapiro-Wilk Test... 50

4.7 Perbedaan waktu pelepasan ion nikel dari braket SS bernikel dan braket SS nikel-free melalui uji Annova... 51

4.8 Analisis Post Hoc untuk mengetahui perbedaan waktu pelepasan ion nikel antara braket SS bernikel dan braket SS nikel-free pada perendaman saliva buatan... 52

(15)

4.9 Perbedaan waktu pelepasan ion kromium dari braket SS bernikel

dan braket SS nikel-free melalui uji Annova... 52

4.10 Analisis Post Hoc untuk mengetahui perbedaan relatif pelepasan ion kromium antara kelompok waktu perendaman pada braket

SS bernikel... 53

4.11 Analisis Post Hoc untuk mengetahui perbedaan relatif pelepasan kromium diantara kelompok waktu perendaman pada braket

SS nikel-free ... 54

4.12 Analisis T-test pelepasan ion nikel dari braket SS bernikel dan braket

SS nickel-free... 54

4.13 Analisis T-test pelepasan ion kromium dari braket SS bernikel dengan braket SS nickel-free... 55

(16)

ABSTRAK

Braket selalu berada dalam rongga mulut selama perawatan ortodonti sehingga terjadi interaksi braket dengan lingkungannya. Salah satu kriteria yang harus dipenuhi oleh braket ortodonti adalah memiliki biokompabilitas yang baik dan daya tahan yang tinggi terhadap korosi. Produk utama hasil proses korosi yang paling merugikan bagi tubuh manusia adalah ion nikel dan kromium. Nikel merupakan penyebab paling umum dari dermatitis kontak alergi akibat logam. Braket SS nickel-free (komposisi Ni < 2%) dapat digunakan sebagai alternatif pasien ortodonti dengan alergi terhadap nikel. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur dan membedakan pelepasan ion nikel dan kromium antara braket SS bernikel (Protect, China) dan braket SS nickel-free (Orthoclassic, Jerman) setelah direndam di dalam saliva buatan. Penelitian ini menggunakan sampel sejumlah 200 buah braket yaitu braket SS bernikel sebanyak 100 buah dan braket SS nickel-free sebanyak 100 buah dengan komposisi braket yang berlainan. Masing-masing sampel dikelompokkan menjadi 4 kelompok waktu perendaman. Sampel direndam direndam dalam saliva buatan dengan pH 6,75 dan disimpan di dalam inkubator pada suhu 37°C selama periode waktu 1, 2, 3 dan 4 minggu. Pengukuran jumlah lepasan ion nikel dan kromium dilakukan pada saliva buatan dengan menggunakan alat Inductively Coupled Plasma (ICP Varian 715-ES).

Untuk melihat perbedaan signifikan antara waktu perendaman pada braket SS bernikel dan braket SS nickel-free dilakukan uji statistik ANOVA.Untuk melihat perbedaan ion nikel pada braket SS bernikel dengan braket SS nickel-free dan juga untuk melihat perbedaan ion kromium pada braket SS bernikel dengan braket SS nickel-free digunakan uji statistik T test. Hasil menunjukkan adanya pelepasan ion nikel dan kromium setelah dilakukan perendaman dalam saliva buatan dalam interval waktu tertentu. Nilai pelepasan ion nikel pada braket bernikel 0.13 ppm, 0.20 ppm, 0.24 ppm dan 0.26 ppm lebih tinggi dibandingkan braket SS nickel-free 0.01 ppm, 0.02 ppm, 0.03 ppm dan 0,3 ppm masing-masing setelah direndam selama 1,2,3, dan 4 minggu. Nilai pelepasan ion kromium pada braket bernikel 0.005 ppm, 0.013 ppm, 0.025 ppm dan 0.018 ppm lebih tinggi dibandingkan braket SS nickel-free sebesar 0.002 ppm, 0.008 ppm, 0.010 ppm dan 0.014 ppm masing-masing setelah direndam selama 1,2,3, dan 4 minggu. Hal ini menunjukkan bahwa semakin lama waktu perendaman, maka semakin banyak pula ion nikel dan kromium yang dilepaskan.

Kata kunci : braket, pelepasan ion, nikel, kromium, saliva buatan.

(17)

ABSTRACT

During the orthodontic treatment, bracket always contact with oral environment, so that there is an interaction between both of them. Therefore, orthodontic bracket should have a good biocompability to the oral environment as well as high resistancy to corrosion. Nickel and chromium ions are the main products of corrosion that could harm human body. Nickel is the most common metal to cause contact dermatitis in orthodontics. Nickel-free bracket (Ni content < 2%) seem to represent a viable alternative for orthodontic patient who are allergic to nickel. The aim of this study is to measure and distinguish the release of nickel and chromium ions between nickel stainless steel bracket (Protect, Chinese) and nickel- free stainless steel bracket (Orthoclassic, Germany) after immersion in artificial saliva. This study used a sample of 200 pieces brackets which 100 nickel SS brackets and 100 nickel-free SS brackets with composition different of bracket. Each sample was divided into 4 groups of immersion time. The samples were stored immersed in artificial saliva with pH 6.75 and stored in an incubator at 37 ° C for periods of 1, 2, 3 and 4 weeks. Measurement of the amount of nickel and chromium ion release was measured from artificial saliva by using Inductively Coupled Plasma (ICP Varian 715-ES). ANOVA analysis of variance was used to test difference time of immersion in the nickel stainless steel bracket and nickel-free stainless steel bracket. T-test analysis was used to compare of nickel and chromium ions release between nickel stainless steel bracket with nickel-free stainless steel bracket. The results indicate the presence of nickel and chromium ion release after immersion in artificial saliva of defined intervals. The value of the nickel ion release at nickel stainless steel bracket 0.13 ppm, 0.20 ppm, 0.24 ppm and 0.26 ppm the nickel-free stainless steel bracket 0.01 ppm, 0.02 ppm, 0.03 ppm and 0.3 ppm respectively after immersion for 1,2,3, and 4 weeks. The value release of chromium ions in the nickel stainless steel bracket 0.005 ppm, 0.013 ppm, 0.025 ppm and 0.018 ppm and nickel-free stainless steel bracket of 0.002 ppm, 0.008 ppm, 0.010 ppm and 0.014 ppm respectively after immersion for 1,2,3, and 4 weeks. It shows that the longer time of immersion, the more nickel and chromium ions are released. From this study it can be concluded that the nickel SS bracket and nickel-free SS bracket release nickel and chromium ion levels that can be measured and significantly different with immersion time (1,2,3 and 4 weeks)in artificial saliva and value of the nickel and chromium ion release from nickel SS bracket and nickel free SS bracket after immersion in artificial saliva for 1,2,3 and 4 weeks significantly different.

Key-words : stainless steel bracket, ion release, nickel, chromium, artificial saliva.

(18)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Braket ortodonti merupakan salah satu komponen utama dalam perawatan ortodonti cekat yang berfungsi untuk menghantarkan gaya yang diperlukan gigi.

Kendala dalam perawatan ortodonti cekat adalah waktu perawatan yang relatif lama.

Oleh karena itu braket yang digunakan harus diproduksi dengan akurat, baik dari segi bentuk, tingkat kekuatan maupun tingkat ketahanan korosi serta biokompabilitas.

Berdasarkan bahan dasar braket ada bermacam-macam braket yang digunakan pada perawatan ortodonti yaitu braket plastik, seramik dan logam (O’Brien, 2002; Philips, 2009).

Umumnya braket ortodonti yang banyak digunakan terbuat dari Stainless Steel (SS) karena mempunyai kekuatan yang tinggi, tahan terhadap korosi, dan biaya relatif murah (Craig dan Powers, 2002). SS merupakan logam campuran dari besi (komponen utama), kromium 18%-20%, nikel 8%-10% dengan sejumlah kecil mangan, silikon dan karbon yang kadarnya kurang dari 0,1 % (Noort, 2007).

Kromium merupakan komponen tambahan yang berfungsi meningkatkan ketahanan terhadap korosi. Kromium pada permukaan logam bereaksi dengan oksigen membentuk kromium oksida yang tahan terhadap korosi. Nikel berfungsi untuk membantu ketahanan logam terhadap korosi serta memperkuat logam (Park dan Shearer, 1983).

(19)

Kavitas mulut memiliki suatu kondisi lingkungan yang dipengaruhi oleh temperatur, kualitas dan kuantitas saliva, pH saliva, plak, jumlah protein pada saliva, sifat fisika dan kimia makanan maupun minuman, kondisi kesehatan umum maupun mulut, kadar klorida pada saliva dan frekuensi makan (Chung dkk., 2001).

Kondisi di atas mempengaruhi kestabilan ion logam pada braket yaitu menyebabkan terjadinya pelepasan ion logam. Ion logam yang terlepas akan diabsorpsi oleh tubuh dan dapat menyebabkan efek lokal dan sistemik (Gursoy dan Acar, 2007; Graber dkk., 2004).

Pelepasan ion nikel dan kromium menjadi perhatian khusus, karena dapat berpotensi memberikan efek merugikan bagi kesehatan tubuh. Ion nikel dan kromium dapat menghasilkan reaksi alergi, toksik, asma dan karsinogenik. Sekitar 10% dari populasi umum menunjukkan adanya hipersensitif terhadap nikel. Nikel dikenal sebagai sensitizer imunologi yang kuat dan yang paling umum menyebabkan alergi dermatitis kontak, yang mana merupakan respon imun hipersensitif tipe IV delayed.

Penelitian in-vitro pada fibroblas gingiva manusia yang dikultur menunjukkan bahwa ion-ion yang dilepaskan dari alloy nikel dan kromium merubah fungsi selular (Messer dan Lucas, cit Huang dkk., 2004).

Paparan yang paling signifikan terhadap nikel dan kromium pada manusia terjadi melalui makanan. Rata-rata intake harian untuk logam ini diperkirakan antara 200-300 µg/hari untuk nikel dan 280 µg/hari untuk kromium (Agaoglu dkk., 2001).

Oleh sebab itu, kadar intake ion logam dari alloy dental kini semakin diperhatikan. Penelitian yang dilakukan oleh Faccioni dkk. (2004) pada 55 pasien

(20)

ortodonti cekat terdapat peningkatan nikel yang dapat merusak kerusakan DNA pada mukosa mulut. Penelitian Hafez dkk. (2011), menunjukkan adanya pelepasan ion nikel dan kromium oleh piranti ortodonti cekat yang mengakibatkan nilai viabilitas sel-sel mukosa bukal menurun dari 8.1 % pada pra-perawatan menjadi 6,4 % (bulan ke-3) dan 4,5 % (bulan ke-6). Kandungan nikel selular meningkat dari 0.52 menjadi 0.68 (bulan ke-3) dan 0.78 ng/ml (bulan ke-6), dan kandungan kromium meningkat dari 0.31 menjadi 0.41 (bulan ke-3) dan 0.78 ng/ml (bulan ke-6). Jika dibandingkan dengan grup kontrol, terdapat perbedaan yang signifikan terhadap kerusakan DNA dan kandungan kromium hanya dalam waktu 3 bulan.

Penelitian mengenai pelepasan ion lainnya dilakukan oleh Barrett dkk. (1993) menyebutkan bahwa pelepasan ion nikel pada archwire SS yang direndam dalam saliva buatan pH 6,75 ± 0,15 paling banyak terjadi setelah satu minggu perendaman.

Barret dkk. mempelajari tingkat korosi dari simulasi pesawat ortodonti dan membandingkan archwire SS dan NiTi. Grimsdottir dkk. (1992) dan Kerosuo dkk.

(1995) menganalisa kadar dan saat pembebasannya dari berbagai tipe pesawat dalam NaCl 0,9%. Park dan Lee (1989) mengukur kadar pelepasan dengan berbagai archwire dalam simulasi piranti ortodonti yang mencakup separuh lengkung mandibula. Kim dkk. (1995) mengukur kadar pelepasan setelah pelapisan titanium nitrida, dan Rhu dan Kim (1998) membandingkan pelepasan logam antara tipe pesawat ortodonti yang sama dan yang berlainan.

(21)

1.2 Permasalahan

Korosi dan pelepasan ion alat ortodonti pada lingkungan oral menjadi perhatian klinisi saat ini dimana perhatian ini mencakup dua hal. Pertama saat terjadi korosi dan pelepasan ion, produk korosi akan diabsorpsi oleh tubuh dan dapat menyebabkan efek lokal dan sistemik. Kedua, korosi pada metal tersebut dapat memberikan efek pada physical properties SS dan kemampuan klinis alat ortodonti (Luft dkk., 2008; Keun-Taek dkk., 2005).

Produk korosi utama dari stainless steel adalah besi, krom dan nikel.

Walaupun ketiga elemen tersebut memiliki efek samping, namun nikel dan kromium mendapat perhatian utama karena telah dilaporkan berpotensi terhadap terjadinya alergi, toksik dan reaksi karsinogenik (Graber dkk., 2004). Ion nikel yang lepas diketahui paling sering menyebabkan alergi berupa dermatitis kontak terutama pada wanita. Penelitian Kerosuo dkk. (1998) menunjukkan prevalensi alergi nikel pada remaja Filandia sebesar 30 % pada wanita dan 3% pada pria. Hal ini diperkirakan dipengaruhi oleh penindikan telinga sebagai penyebab utama sensitisasi terhadap nikel. Respon sistem imunitas terhadap nikel biasanya merupakan hipersensitifitas tertunda tipe IV (Nooble dkk., 2008).

Ada beberapa pilihan braket non allergic terhadap pasien dengan sensitif terhadap nikel. Diantaranya adalah braket seramik dengan kristal safir, braket polikarbonat yang diproduksi dari polimer plastik, braket titanium dan braket berlapis emas. Tetapi biaya dari bahan alternatif tersebut, dapat melebihi 3 kali lipat dari biaya rata-rata. Alternatif lainnya yang lebih ekonomis adalah braket SS nickel-free

(22)

(komposisi nikel < 2 %), yang merupakan pengembangan dari braket tipe duplek untuk perawatan ortodonti bagi pasien dengan potensi alergi yang rendah (Pazzini dkk., 2010).

Korosi yang terjadi pada permukaan metal juga dapat meningkatkan friksi pada dua permukaan metal yang berbeda. Hal ini menyebabkan pergerakan gigi pada perawatan ortodonti menjadi lambat dan adanya rasa tidak nyaman pada pasien, sehingga perawatan yang optimal tidak dapat dicapai (Keun-Teuk dkk., 2005;

Kocadereli dkk., 2000; Masahiro, 2010; Ramadan, 2004).

Dari uraian di atas terlihat pentingnya mengetahui pelepasan nikel dan kromium dari braket ortodonti. Penulis termotivasi untuk melakukan penelitian mengenai jumlah pelepasan ion nikel dan kromium dari braket SS bernikel dan braket SS nickel-free pada perendaman dalam saliva buatan serta jumlah ion nikel dan kromium yang terlepas dalam waktu berbeda.

Orientasi penelitian dilakukan untuk menentukan kandungan unsur logam dalam braket SS yang akan diteliti menggunakan X-Ray Fluorensence (XRF).

Adapun kandungan unsur nikel pada braket SS Protect (China)sebesar 4,44 ± 0,08 %, kandungan unsur nikel pada braket SS Orthoclassic (Jerman) sebesar 0,53 ± 0,03 %, dan kandungan unsur kromium pada braket SS Protect (China) sebesar 13,81 ± 0,09 %, kandungan unsur kromium pada braket SS Orthoclassic (Jerman) sebesar 17,31 ± 0,06 %.

(23)

1.3 Rumusan Masalah

Pada penelitian ini permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Berapakah jumlah ion nikel yang terlepas dari braket SS bernikel dan braket SS nickel-free pada waktu 1, 2, 3 dan 4 minggu setelah direndam dalam saliva buatan?

2. Berapakah jumlah ion kromium yang terlepas dari braket SS bernikel dan braket SS nickel-free pada waktu 1, 2, 3 dan 4 minggu setelah dilakukan perendaman pada saliva buatan?

3. Berapakah perbedaan jumlah ion nikel yang terlepas antara braket SS bernikel dengan braket SS nickel-free pada waktu 1, 2, 3 dan 4 minggu setelah dilakukan perendaman pada saliva buatan?

4. Berapakah perbedaan jumlah ion kromium yang terlepas antara braket SS bernikel dengan braket SS nickel-free pada waktu 1, 2, 3 dan 4 minggu setelah dilakukan perendaman pada saliva buatan?

1.4 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini untuk :

1. Mengetahui jumlah ion nikel yang terlepas dari braket SS bernikel dan braket SS nickel-free pada waktu 1, 2, 3 dan 4 minggu setelah direndam dalam saliva buatan.

(24)

2. Mengetahui jumlah ion kromium yang terlepas dari braket SS bernikel dan braket SS nickel-free pada waktu 1, 2, 3 dan 4 minggu setelah dilakukan perendaman pada saliva buatan.

3. Mengetahui perbedaan jumlah ion nikel yang terlepas antara braket SS bernikel dengan braket SS nickel-free pada waktu 1, 2, 3 dan 4 minggu setelah dilakukan perendaman pada saliva buatan.

4. Mengetahui perbedaan jumlah ion kromium yang terlepas antara braket SS bernikel dengan braket SS nickel-free pada waktu 1, 2, 3 dan 4 minggu setelah dilakukan perendaman pada saliva buatan.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Memberikan pengetahuan tambahan mengenai perbedaan jumlah ion nikel dan kromium yang dilepaskan dari braket SS bernikel dengan braket SS nickel-free setelah perendaman dalam saliva buatan.

2. Sebagai dasar penelitian lebih lanjut untuk meneliti pelepasan ion nikel dan kromium secara in vivo.

3. Sebagai bahan pertimbangan bagi dokter gigi dalam pemilihan braket ortodonti terutama bagi pasien yang mengalami hipersensitivitas terhadap bahan nikel dan kromium.

4. Menambah wawasan masyarakat terhadap efek dari pemakaian braket ortodonti.

(25)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Maloklusi dan deformitas dentofasial dianggap merupakan variasi dari perkembangan normal. Evaluasi yang dilakukan untuk mengatasinya memerlukan sejumlah alat-alat yang tepat sehingga didapatkan hasil perawatan yang maksimal.

Perawatan ortodonti pada maloklusi dan deformitas dentofasial melibatkan alat ekstraoral maupun intraoral dalam jangka waktu perawatan yang panjang. Oleh sebab itu para peneliti berusaha untuk menemukan alat yang terbaik, aman dan nyaman bagi pasien. Alat intraoral yang digunakan dalam perawatan ortodonti meliputi kawat, band dan braket. Material dari alat intraoral ini beragam antara lain plastik, seramik dan logam (Profit, 2007; Bhalajhi, 2003; Bishara, 2001; Craig, 2002).

Braket merupakan salah satu komponen penting pada perawatan ortodonti yang berguna menghantarkan gaya tertentu pada gigi. Penggunaan braket logam pada perawatan ortodonti telah dilakukan sejak awal tahun 1900. Umumnya logam yang digunakan adalah logam mulia seperti emas dengan alasan sifatnya yang tahan lama dan anggapan bahwa pemakaian logam mulia menunjukkan status sosial yang lebih tinggi. Tetapi proses pembentukan emas sebagai alat untuk perawatan ortodonti tidaklah mudah, sehingga para peneliti mulai mencari material lain yang lebih mudah dibentuk, tahan lama dan nyaman untuk perawatan ortodonti. Pada tahun 1929, SS pertama kali digunakan untuk menggantikan emas (Annusavice, 2003; Noort, 2007;

Singh, 2007)).

(26)

2.1 Logam Stainless Steel dalam bidang Ortodonti

SS pertama sekali ditemukan pada tahun 1913 oleh ahli metalurgi Inggris bernama Harry Brearly. Penemuan ini awalnya tidak sengaja menambahkan kromium pada baja rendah karbon dan menyebabkan baja tersebut menjadi tahan karat. Penelitian terhadap SS terus berkembang dan tahun 1930-an mulai diproduksi.

SS dalam metalurgi adalah alloy besi dengan kandungan kromium 10,5 % - 11 %.

Penambahan kromium (Cr) bertujuan meningkatkan ketahanan korosi dengan membentuk lapisan oksida ( Cr2O3) di permukaan logam SS. Unsur lain selain besi, karbon dan kromium yaitu Nikel, Molybdenum dan Titanium dengan komposisi yang berbeda-beda sehingga menghasilkan variasi sifat mekanis dari beberapa produk SS yang beredar di pasar (Noort, 2007; Barret dkk., 1993).

Steel didefinisikan sebagai alloy yang terbentuk dari besi dan karbon dengan konsentrasi antara 0.5 % - 2 %. SS adalah suatu steel yang mengandung lebih dari 11

% kromium, biasanya antara 11,5% - 27%, dan bisa juga mengandung nikel, vanadium, molybdenum dan niobium dalam jumlah terbatas (O’Brien, 2002).

SS banyak diaplikasikan dalam berbagai bidang kehidupan, contohnya industri, peralatan rumah tangga, medis dan alat kedokteran gigi, salah satunya bidang ortodonti. Sebelum SS ditemukan, bahan dasar kawat, ligatur dan braket ortodonti terbuat dari emas 14-18 karat. Emas memiliki ketahanan korosi yang tinggi tetapi harganya sangat mahal. SS mulai digunakan dalam bidang ortodonti pada tahun 1933, ketika Archi Brusse menjelaskan mengenai sifat SS untuk bidang ortodonti pada pertemuan American Society of Orthodontis (ASO). Kepopuleran SS semakin

(27)

meningkat di kalangan ortodontis karena memiliki kombinasi sifat mekanis yang baik, tahan korosi dan harga ekonomis. SS digunakan dalam bidang ortodonti sebagai bahan dasar braket, kawat. molar tube, band. Pegas dan lain-lain. Komposisi dan manufaktur SS yang berbeda-beda menghasilkan beberapa jenis SS dan diklasifikasikan oleh American Iron and Steel Institute (AISI) (Proffit, 1992; Kusy, 2002).

2.1.1 Klasifikasi dan komposisi Stainless Steel

Klasifikasi SS didasarkan pada struktur metalurginya, yaitu Austenitik, Ferritik, Martensitik, Duplek dan Precipitation Hardening (Atlas Steel, 2013; Annusavice, 2003; Covert dan Tuthill, 2000).

1. Austenitik Stainless Steel

Austenitik SS memiliki mikrostruktur face centre cubic. Penambahan 8 % nikel pada alloy ini mencegah transformasi austenit ke martensit saat pendinginan, sehingga austenit lebih stabil walaupun pada suhu kamar. Austenit SS banyak digunakan secara luas dalam bidang kedokteran gigi khususnya ortodonti karena sifatnya yang tahan korosi. Tipe AISI 304 L SS dan 303 banyak digunakan sebagai bahan dasar braket ortodonti dengan komposisi 18- 20 % kromium (Cr), 8-10 % nikel, sedikit mangan, silikon dan karbon 0,003 %. AISI 303 adalah tipe austenitik SS pertama yang merupakan campuran 18 % kromium dan 8 % nikel dan sedikit selenium. Sedangkan tipe 316L SS memiliki kandungan nikel lebih tinggi 2-3 %, molybdenum dan karbon yang lebih rendah untuk menambah resistensi terhadap korosi intergranular. Tipe AISI 302 dengan komposisi 17-19 % kromium, 8-10 %

(28)

nikel dan 0,08 % karbon biasanya digunakan untuk kawat ortodonti (Graber dkk., 2004).

2. Ferritik Stainless Steel

Alloy ini adalah tipe AISI 400 dengan sifat ketahanan korosi yang cukup baik walaupun tidak sebaik austenitik SS disebabkan kandungan kromium yang lebih rendah. Komposisi kromium 11,5 – 27 %, karbon 0,20 % dan tanpa nikel. Pada perubahan temperatur, jenis alloy ini tidak menimbulkan perubahan fase ke keadaan padat, maka logam ini tidak mengeras dengan pemanasan. Walaupun banyak digunakan dalam bidang industri, tetapi alloy ini jarang digunakan dalam bidang kedokteran gigi.

3. Martensitik Stainless Steel

Sama halnya dengan jenis Ferritik SS, jenis Martensitik juga dikategorikan tipe AISI 400. Akan tetapi sifat Martensitik berbeda dengan tipe Ferritik. Tipe Martensitik dapat dikeraskan dengan cara dipanaskan (heat treatment) sehingga memiliki sifat kekerasan yang baik tetapi ketahanan korosi paling rendah dibandingkan dengan tipe Austenitik dan Ferritik SS. Komposisinya mengandung kromium 12-14 %, molybdenum 0,2-1 %, nikel 0-2 % dan karbon 0,1 – 1 %.

4. Precipitation Hardening Stainless Steel

Precipitation Hardening (PH) SS adalah kombinasi optimal dari sifat-sifat martensitik dan austenitik yaitu lebih kuat dan ketahanan korosi yang baik.

Kekuatan (tensile strength) yang tinggi disebabkan oleh proses pemanasan yang menghasilkan endapan (presipitat) salah satu atau lebih copper, aluminium,

(29)

titanium, niobium dan molybdenum yang memang ditambahkan ke dalam alloy SS.

Alloy ini digunakan bila diperlukan kombinasi kekuatan tinggi dan resistensi korosi.

Salah satu pemakaian Precipitation Hardening SS yang paling dikenal adalah untuk kepala pemukul stik golf.

5. Duplek Stainless Steel

Duplek SS memiliki bentuk mikrostruktur campuran austenitik dan ferritik.

Kombinasi dari kedua tipe tersebut menghasilkan kekuatan dua kali lipat lebih baik daripada austenitik dan tidak mudah fraktur dibandingkan dengan ferritik SS. Selain itu, sifat tahan korosi dalam mulut terutama korosi karena gaya/tekan (stress corrosion cracking) lebih baik daripada austenitik SS. Komposisinya mengandung kromium yang tinggi 18-30 %, molybdenum yang tinggi 0,1-4,5 % dan nikel lebih rendah 1,3- 6%, tembaga dan besi. Nitrogen ditambahkan untuk menambah kekuatan dan tahan korosi. Tipe 2304 dan 2205 Duplek SS digunakan sebagai bahan dasar braket ortodonti dan indikasi untuk pasien yang alergi nikel. Penelitian Plat dkk. melaporkan bahwa 2205 Duplek SS lebih tahan korosi dibandingkan tipe AISI 316 L sebagai bahan dasar braket ortodonti.

Potensi korosi dan pelepasan nikel dari alloy SS austenitik AISI tipe 316L yang saat ini digunakan untuk braket ortodonti telah menimbulkan pertimbangan alternatif SS. Sebagai contoh, alloy SS 2205, yang mengandung separuh kadar nikel yang ditemukan dalam alloy 316L, telah dikemukakan untuk pembuatan braket ortodonti.

SS ini memiliki mikrostrukur duplek yang terdiri dari fase austenitik dan delta-ferritik dan lebih kuat dari alloy 316L. Selain itu alloy 2205 memperlihatkan korosi celah

(30)

yang secara signifikan lebih sedikit dibanding alloy 316L ketika disertai dengan archwire nikel titanium, beta titanium atau SS in vitro (Graber dkk., 2004).

Penelitian telah menunjukkan bahwa lapisan permukaan yang dibentuk oleh krom juga mengandung besi, nikel dan molybdenum. Pada lingkungan aqueous, lapisan ini terdiri dari lapisan oksida dalam dan lapisan hidroksida luar. Lapisan pasif krom oksida pada SS tidak sestabil titanium oksida pada titanium dan alloynya, sehingga resistensi korosi SS lebih rendah relatif terhadap titanium dan alloynya (Lin dkk., 2006; Luft dkk., 2009).

2.1.2. Sifat fisis Stainless Steel

SS 18-8 merupakan type SS yang paling resisten terhadap korosi, ini merupakan efek passivity dari kromium yang membentuk suatu oxida film (oxyde layer) yang sangat tipis dan transparan tetapi kuat dan kedap air. Lapisan ini bisa berbentuk Cr2O3 atau FeCr2O3 yang mencegah terjadinya tarnish dan korosi (O’Brien, 2002; Philips, 2009).

Faktor yang mempengaruhi resisten terhadap korosi yaitu : - Adanya sifat passivity dari kromium.

- Resistensi makin tinggi dengan makin banyaknya kadar kromium pada SS tersebut.

- Nikel dapat menambah resistensi terhadap korosi.

2.1.3. Sifat mekanis Stainless Steel - Hardness 100-200 BHN

(31)

- Modulus elastisity 200 GN / m2 - Tensile strength 1700MN/m2 - Yield strength 1500 MM/m2 - Ductility 5%

Hal-hal yang dapat mempengaruhi sifat SS :

Pemanasan pada temperatur 400°C - 900°C menyebabkan ion karbon bermigrasi ke permukaan, kemudian diikuti ion kromium sehingga kromium akan bersenyawa dengan karbon pada permukaan SS membentuk endapan kromium karbida (Cr23C6). Dengan berkurangnya kromium maka akan menyebabkan pula berkurangnya resistensi SS terhadap tarnish dan korosi. Efek pemanasan yang menyebabkan berkurangnya resistensi korosi ini disebut weld-decay (O,Brien, 2002).

Weld-decay dapat dikurangi dengan 2 cara : 1. Mengurangi kadar karbon pada SS.

2. Menambah logam lain, mis : Titanium dan Miobium.

Menurut Philips (2009), ada beberapa hal yang harus diperhatikan pada SS yaitu:

1. Korosi

SS 18-8 dapat kehilangan ketahanannya terhadap korosi jika dipanaskan antara 400° C sampai 9000C, temperatur yang pasti tergantung dari kandungan karbonnya.

2. Kompatibiliti

(32)

Walaupun berbeda, penelitian menunjukkan biokompatibilitas SS yang sangat baik pada rongga mulut akan tetapi berdasarkan dari penelitian yang dilakukan oleh Eliades dkk terjadi pelepasan ion bebas dari SS selama pemakaian yang bersifat cytotoxitas.

2.2 Saliva dan Saliva Buatan

Kavitas mulut memiliki suatu kondisi lingkungan yang dipengaruhi oleh temperatur, kualitas dan kuantitas saliva, pH saliva, plak, jumlah protein pada saliva, sifat fisika dan kimia makanan maupun minuman, kondisi kesehatan umum maupun mulut, kadar klorida pada saliva dan frekuensi makan (Chung, 2001).

Kondisi di atas mempengaruhi kestabilan ion logam pada braket yaitu menyebabkan terjadinya pelepasan logam. Bila pelepasan ion terjadi dengan cepat maka braket akan korosi yaitu disintegrasi logam yang menyebabkan kerusakan pada braket tersebut (Gursoy dan Acar, 2007; Grimsdottir dkk., 1992).

Dalam mulut seorang pasien sering terjadi variasi konsentrasi elektrolit karena adanya akumulasi makanan pada area interproksimal sedangkan pada area lain dialiri saliva normal, sehingga posisi braket SS di dalam mulut pasien turut berperan terhadap terjadinya korosi pada braket tersebut. Secara natural kondisi intraoral sangat korosif sehingga sangat berpengaruh terhadap mikrostruktur braket yang berada dalam mulut pasien secara terus menerus dalam waktu yang lama (Gursoy dan Acar, 2007; Kao dkk., 2007).

Saliva yang disebut juga cairan mulut adalah suatu cairan yang dikeluarkan kelenjar ludah di dalam rongga mulut. Saliva merupakan sekresi campuran yang

(33)

diproduksi oleh kelenjar parotis sebanyak ± 90 % submandibula, sublingual dan kelenjar pada palatum lunak dan pada permukaan dalam bibir dan pipi. Saliva buatan mengandung komponen yang sama dengan saliva asli, tetapi tidak mengandung enzim. Saliva buatan dapat dibuat dengan berbagai macam metode pencampuran komposisi. Salah satu metodenya adalah dengan komposisi Fusayama, terdiri dari : NaCl (400mg/L), KCl (400mg/L), CaCl2.H2O(795 mg/L), NaH2PO4.H2O(90 mg/L), KSCN(300 mg/L), Na2S.9H2O (5mg/L) dan urea(1000 mg/L) (Kuhta dkk., 2009; Preetha, 2005).

2.3 Braket dalam saliva

Saliva merupakan elektrolit yang memungkinkan adanya reaksi antara ion-ion logam pada braket dengan saliva sehingga terjadi kerusakan secara elektrokimia pada braket (Maijer dan Smith, 1986). Pada daerah yang kurang terpoles dengan baik, yaitu daerah anoda terjadi reaksi oksidasi, yaitu pelepasan ion elektron ke saliva yang menyebabkan daerah anoda merupakan daerah yang mudah mengalami korosi. Sedangkan daerah katoda mengalami reaksi reduksi, dimana permukaan katoda akan mengambil elektron bebas pada saliva yang diproduksi oleh anoda (Chaturvedi, 2010).

Korosi dimulai dari terjadinya tarnish pada logam, kemudian berlanjut dengan lepasnya ion-ion logam, akhirnya terjadilah korosi. Tarnish adalah berkurangnya pewarnaan permukaan logam atau perubahan pada permukaan logam yang telah dipoles. Tidak ada tanda yang jelas yang bisa menandai kapan mulai lepasnya ion- ion logam, tetapi bila proses tarnish tidak dihambat maka akan terjadi pelepasan

(34)

ion-ion logam. Sedangkan korosi merupakan suatu kegagalan struktur logam secara mekanis dan berlangsung secara cepat akibat reaksi logam dengan lingkungannya.

Bila penyebab tarnish tidak dihilangkan maka warna logam akan semakin kusam, yang berarti proses korosi terus berlanjut (Philips, 2009).

Penyebab tarnish adalah :

1. Air, oksigen dan ion klorida yang terdapat pada saliva

2. Deposit-deposit dalam mulut yang menempel pada permukaan logam 3. Stain yang disebabkan oleh bakteri

4. Pembentukan senyawa-senyawa tertentu seperti oksida, sulfida atau klorida.

SS bersifat menyalurkan panas dan listrik, sehingga terjadi mobilitas elektron-elektron dalam logam. Elektron yang terletak di permukaan braket mudah meninggalkan braket sehingga pada permukaan braket terbentuk ion positif yang labil dan bersifat anoda. Elektron yang terlepas akan menghasilkan energi panas dan listrik, sedangkan ion positif akan bersenyawa dengan ion lain. Kejadian seperti di atas sering terjadi pada area braket yang rusak atau kasar, karena tidak terpoles dengan baik. Interaksi ion-ion logam dengan lingkungan merupakan penyebab korosi yang paling umum, tetapi biasanya korosi tidak disadari oleh ortodontis sebelum braket mengalami kerusakan yang parah (Eliades dkk., 2002; Barret dkk., 1993).

(35)

2.4 Korosi dan Pelepasan Ion Logam

Korosi adalah penurunan mutu logam akibat reaksi elektrokimia dengan lingkungannya. Korosi terjadi pada saat adanya reaksi pelarutan (dissolution) logam menjadi ion pada permukaan logam yang berkontak dengan lingkungan yang mengandung cairan/air dan oksigen melalui reaksi kimia. Diawali dengan pelepasan elektron oleh atom-atom logam sehingga atom-atom logam menjadi ion-ion (+) yang larut dalam lingkungannya. Secara umum dapat dirumuskan dalam bentuk persamaan :

M M Z+ + Ze -

... (2.1)

Dengan M = logam, MZ+ = ion logam, dan Ze- = muatan negatif elektron. Bilangan bulat Z, biasanya mempunyai nilai 1,2 atau 3. Nilai Z yang lebih tinggi juga ada tetapi jarang. Dari nilai Z yang dimungkinkan, 2 merupakan yang paling lazim.

Nilai Z ini disebut valensi, dan logam dapat mempunyai valensi lebih dari satu (Budianto dkk., 2009; Perez 2004).

Korosi diklasifikasikan melalui banyak cara. Ada metode yang membagi korosi menjadi korosi pada temperatur rendah dan temperatur tinggi. Metode lainnya memisahkan korosi menjadi kombinasi lansung (atau oksidasi) dan korosi elektrokimia. Klasifikasi yang lebih disukai adalah korosi basah (wet corrosion).

Korosi basah terjadi ketika adanya cairan. Biasanya melibatkan larutan yang mengandung air atau elektrolit dan sejauh ini terhitung menjadi penyebab korosi yang terbesar. Contoh yang paling umum adalah korosi pada baja yang disebabkan oleh air. Korosi kering terjadi ketika tidak adanya fasa cair atau ketika di atas titik

(36)

embun lingkungan. Pada umumnya uap dan gas mengakibatkan terjadinya korosi.

Korosi kering paling sering dihubungkan dengan temperatur tinggi. Contohnya korosi baja pada tungku perapian gas (Budianto dkk., 2009).

Meskipun SS dikenal sebagai campuran logam yang tahan korosi, namun proses pembuatan yang berbeda-beda menghasilkan kualitas yang berbeda-beda juga, sehingga akan mempengaruhi tingkat ketahanan korosi (Lin dkk., 2006).

Terdapat beberapa bentuk korosi, yaitu : (1) korosi homogen (uniform corrosion), (2) korosi galvanis (galvanic corrosion), (3) korosi celah (crevice corrosion), (4) korosi sumur (pitting corrosion), (5) korosi antar butir (intergranular corrosion), (6) korosi selektif (selective corrosion), (7) korosi erosi (erotion corrosion), dan (8) korosi tegangan (stress corrosion) (Budianto dkk., 2009; Perez, 2004; Chaturvedi, 2010).

Korosi homogen (uniform corrosion), merupakan pelepasan logam yang biasanya terjadi dan seragam. Ini merupakan bentuk korosi yang paling umum dan biasanya terjadi. Pada korosi uniform, lingkungan korosif harus mempunyai akses yang sama ke semua bagian permukaan, dan logam itu sendiri harus memiliki metalurgi dan komposisi yang seragam. Logam mengalami reaksi redoks dengan lingkungan sekelilingnya dan dapat tidak terdeteksi hingga mengenai sebagian besar logam (House dkk., 2008; Chaturvedi, 2010; Perez, 2004).

(37)

Gambar 2.1. Korosi homogen (Chaturvedi,2010)

Korosi galvanis (galvanic corrosion), terjadi pada saat dua atau lebih logam bergabung dan ditempatkan di larutan saliva yang konduktif atau larutan elektrolit.

Korosi dapat terjadi karena perbedaan kekasaran permukaan dan keadaan pH pada dua logam atau alloy yang berbeda (House dkk., 2008; Chaturvedi, 2010; Perez, 2004).

Gambar 2.2 Korosi galvanis (Chaturvedi,2010)

Korosi celah (crevice corrosion), terjadi diantara dua permukaan yang berdekatan atau di dalam tempat yang sempit dimana pertukaran oksigen tidak dapat terjadi. Penurunan pH dan peningkatan konsentrasi klorida merupakan dua faktor penting yang paling sering menyebabkan korosi celah (Chaturvedi, 2010; Perez, 2004).

(38)

Korosi ini dapat terjadi pada pesawat lepasan bila kawat atau komponen sekrup ekspansi memasuki akrilik. Diskolorasi kecoklatan dapat timbul di bawah permukaan akrilik yang berkontak dengan logam. Hal ini diperkirakan disebabkan oleh bakteri dan biofilm permukaan antara kawat dan akrilik, sehingga mengakibatkan korosi celah dari logam (House dkk, 2003).

Gambar 2.3 Korosi celah (Chaturvedi,2010)

Korosi sumur (pitting corrosion), adalah bentuk korosi yang terlokasir, korosi simetris dimana lubang-lubang terbentuk pada permukaan logam. Hal ini biasanya terjadi pada logam dasar, yang dilindungi oleh sebuah lapisan film tipis yang terbentuk secara alami dari oksida.

Gambar 2.4 Korosi sumur (Chaturvedi,2010)

(39)

Korosi antar butir (intergranular corrosion), terjadi apabila daerah batas butir terserang akibat adanya endapan di dalamnya. Batas butir sering menjadi tempat yang lebih disukai untuk proses-proses pengendapan (presipitation) dan pemisahan terdapat dalam struktur logam ada 2 macam yaitu logam antara (intermetallic) dan senyawa. Logam antara adalah unsur-unsur yang terbentuk dari atom-atom logam dan mempunyai rumus kimia yang mudah dikenali, contohnya krom karbida (Cr23C6). Unsur ini bisa bersifat anoda atau katoda terhadap logam utama. Senyawa adalah bahan yang tebentuk dari logam dan unsur-unsur bukan logam seperti hidrogen, karbon, silikon, nitrogen maupun oksigen. Setiap logam yang mengandung logam antara atau senyawa pada batas-batas butirnya akan rentan terhadap korosi antar butir (intergranular corrosion) dan yang paling sering adalah dialami oleh baja tahan karat austenitik (Budianto dkk., 2009; Perez, 2004;

Chaturvedi, 2010).

Gambar 2.5 Korosi antar butir (Chaturvedi,2010)

Korosi tegangan (stress corrosion) terjadi karena logam fatique berada pada lingkungan korosif. Hal ini biasa terjadi pada kawat ortodonti yang diligasi pada gigi yang crowded berat sehingga menyebabkan reaktivitas alloy meningkat (Chaturvedi, 2010; Luft, 2009).

(40)

Gambar 2.6 Korosi tegangan (Chaturvedi,2010)

2.5 Alat Uji

2.5.1 X-Ray Fluoresence

Uji komposisi unsur dilakukan dengan menggunakan alat X-Ray Fluoresence (XRF) tipe μEDX-1300. Uji XRF bertujuan menentukan jenis dan presentase komponen unsur-unsur penyusun braket sebelum direndam dalam saliva buatan.

XRF merupakan teknik analisa non-destruktif yang digunakan untuk identifikasi serta penentuan konsentrasi elemen yang ada pada sampel padat, bubuk ataupun cair.

XRF mampu mengukur elemen dari berilium (Be) hingga uranium pada level trace element, bahkan di bawah level ppm. Secara umum, XRF spektrometer mengukur panjang gelombang komponen material secara individu, dari emisi fluorosensi yang dihasilkan sampel saat diradiasi dengan sinar-x (Gambar 2.7) (Broower, 2003).

(41)

.

Gambar 2.7 Pembagian panjang gelombang (Brouwer, 2003)

2.5.1.1 Prinsip kerja XRF

Apabila terjadi eksitasi sinar- X primer yang berasal dari tabung X-ray atau sumber radioaktif mengenai sampel, sinar-X dapat diabsorpsi atau dihamburkan oleh material. Proses dimana sinar-X diabsorpsi oleh atom dengan mentransfer energinya pada elektron yang terdapat pada kulit yang lebih dalam disebut efek fotolistrik.

Selama proses ini, bila sinar-X primer memiliki cukup energi, elektron pindah dari kulit yang di dalam menimbulkan kekosongan. Kekosongan ini menghasilkan keadaan atom yang tidak stabil. Apabila atom kembali pada keadaan stabil, elektron dari kulit yang lebih dalam dan proses ini menghasilkan energi sinar-X yang tertentu dan berbeda antara dua energi ikatan pada kulit tersebut. Emisi sinar-X dihasilkan dari proses yang disebut X-Ray Fluorescence (XRF). Proses deteksi dan analisa emisi sinar-X disebut analisa XRF. Sehingga sering terdapat istilah Kα dan Kβ serta Lα dan Lβ pada XRF. Jenis spektrum X-ray dari sampel yang diradiasi akan menggambarkan puncak-puncak pada intensitas yang berbeda (Viklund, 2008)

Berikut gambar yang menjelaskan nomenclature yang terdapat pada XRF dan cara kerjanya (Broower, 2003) :

(42)

Gambar 2.8 Transisi elektron (Broower, 2003)

Gambar 2.9 Prinsip Kerja XRF (Broower, 2003)

Metode XRF secara luas digunakan untuk menentukan komposisi unsur suatu material. Karena metode ini cepat dan tidak merusak sampel, metode ini dipilih untuk aplikasi di lapangan dan industri untuk kontrol material. Tergantung pada penggunaannya, XRF dapat dihasilkan tidak hanya oleh sinar-X tetapi juga sumber

(43)

eksitasi primer yang lain seperti partikel alfa, proton atau sumber elektron dengan energi yang tinggi (Viklund, 2008).

2.5.1.2 Kelebihan dan kekurangan XRF

Kelebihan dari analisa ini adalah sampel yang dianalisis tidak perlu dirusak, memiliki akurasi yang tinggi, dapat menentukan unsur dalam material tanpa adanya standar, serta dapat menentukan kandungan mineral dalam bahan biologik maupun dalam tubuh secara langsung. Kekurangan dari metode XRF adalah tidak cocok untuk analisa elemen yang ringan seperti H dan He (Jamaluddin, 2007).

Gambar 2.10 Mesin X-Ray Fluorescence (XRF) tipe μEDX 1300.

2.5.2 Inductively Coupled Plasma

Inductively Coupled Plasma (ICP) yang termasuk ke dalam Spektroskopi Atomik adalah sebuah teknik analisis yang digunakan untuk mendeteksi jejak logam dalam sampel dan untuk mendapatkan karakteristik unsur-unsur yang memancarkan gelombang tertentu. ICP merupakan instrumen yang digunakan untuk menganalisis kadar unsur-unsur logam dari suatu sampel dengan menggunakan metode

(44)

spektrofotometer emisi. Spektrofotometer emisi adalah metode analisis yang didasarkan pada pengukuran intensitas emisi pada panjang gelombang yang khas untuk setiap unsur. Bahan yang akan dianalisis untuk alat ICP ini harus berwujud larutan yang homogen (Thompson, 1983).

2.5.2.1 Prinsip kerja ICP

Prinsip umum pada ICP adalah mengukur intensitas energi yang dipancarkan oleh unsur-unsur yang mengalami perubahan tingkat energi atom (eksitasi atau ionisasi). Larutan sampel dihisap dan dialirkan melalui capillary tube ke Nebulizer.

Nebulizer merubah larutan sampel ke bentuk aerosol yang kemudian diinjeksikan oleh ICP. Pada temperatur plasma, sampel-sampel akan teratomisasi dan tereksitasi.

Atom yang tereksitasi akan kembali ke keadaan awal (ground state) sambil memancarkan sinar radiasi. Sinar radiasi ini didispersi oleh komponen optik. Sinar yang terdispersi, secara berurutan muncul pada masing-masing panjang gelombang unsur dan dirubah dalam bentuk sinyal listrik yang besarnya sebanding dengan sinar yang dipancarkanoleh besarnya kosentrasi unsur. Sinyal ini kemudian diproses oleh sistem pengolah data (gambar 2.11) (Nugroho, 2005; Manning dan Grow, 1997).

(45)

Gambar 2.11 Skema alat Inductively Coupled Plasma (Thompson, 1983)

Gambar 2.12 Inductively Coupled Plasma (ICP)

(46)

2.6 Landasan Teori

Perawatan ortodonti menggunakan berbagai macam piranti baik itu piranti cekat ataupun lepasan. Pada perawatan ortodonti cekat, braket merupakan salah satu komponen utamanya. Braket yang paling umum digunakan adalah braket jenis SS karena braket SS merupakan braket yang paling ekonomis dan mempunyai kekuatan tinggi.

Dalam lingkungan mulut, braket terpapar oleh agen-agen bahan kimia dan fisika yang berpotensi merusak dan dapat menyebabkan korosi logam. Korosi dapat terjadi secara berkelanjutan dalam mulut, yang disebabkan oleh lepasnya ion-ion karena abrasi oleh makanan, cairan dan penyikatan gigi. Terlepasnya ion-ion tersebut akan diserap oleh tubuh.

Dalam bidang ortodonti, nikel merupakan logam yang paling umum menyebabkan dermatitis kontak dengan kasus reaksi alergi lebih banyak daripada logam lainnya. Pesawat ortodonti yang mengandung nikel berperan dalam reaksi alergi yang merupakan respon imun hipersensitifitas tertunda tipe IV.

Ada beberapa pilihan braket non allergic terhadap pasien dengan sensitif terhadap nikel. Diantaranya adalah braket seramik dengan kristal safir, braket polikarbonat yang diproduksi dari polimer plastik, braket titanium dan braket berlapis emas. Tetapi biaya dari bahan alternatif tersebut, dapat melebihi 3 kali lipat dari biaya rata-rata. Alternatif lainnya yang lebih ekonomis adalah braket ss nickel-free (komposisi nikel < 2 %), yang merupakan pengembangan dari braket tipe duplek untuk perawatan ortodonti bagi pasien dengan potensi alergi yang lebih sedikit.

(47)

2.7 Kerangka Teori

Perawatan Ortodonti

Perawatan Ortodonti Perawatan Ortodonti Cekat Lepasan

Band Braket Kawat

Braket SS Braket Ceramic Braket Plastik

Braket SS Braket SS Bernikel nickel free

Dalam lingkungan Saliva rongga mulut

Pelepasan ion nikel dan kromium

- NaCl (400mg/L) - KCl (400mg/L) - CaCl2.H2O(795

mg/L)

- NaH2PO4.H2O(90 mg/L)

- KSCN(300 mg/L) - Na2S.9H2O (5mg/L)

urea(1000 mg/L)

(48)

2.8 Kerangka Konsep

Braket stainless steel

Braket stainless steel Braket stainless steel bernikel nickel free

Klorida dari saliva Celah yang bermuatan positip sebagai inisiator akan menarik ion klorida yang terjadinya korosi bermuatan negatif celah(crevice) dan meningkatkan keasaman sumur(pitting) elektrolit dalam celah

dari pH 6 pH 2-3

Ion Ni dan Cr terlepas

2.9 Hipotesis Penelitian

1. Tidak ada pelepasan ion nikel dari braket SS bernikel dan braket SS nickel- free setelah dilakukan perendaman pada saliva buatan.

2. Tidak ada pelepasan ion kromium dari braket SS bernikel dan braket SS nickel-free setelah dilakukan perendaman pada saliva buatan.

Simulasi dalam rongga mulut (perendaman dalam saliva buatan)

(49)

3. Tidak ada perbedaan pelepasan ion nikel dari braket SS bernikel dengan braket SS nickel-free setelah dilakukan perendaman pada saliva buatan pada waktu yang berbeda.

4. Tidak ada perbedaan pelepasan kromium dari braket SS bernikel dengan braket SS nickel-free setelah dilakukan perendaman pada saliva buatan

(50)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang dilakukan secara in vitro.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian 3.2.1 Tempat Penelitian

Pelaksanaan analisa kandungan unsur dari braket dengan XRF dilakukan di Laboratorium Sentra Teknologi Polimer (STP), Tangerang. Pelaksanaan proses perendaman dan pengujian menggunakan mesin ICP dilakukan di Laboratorium Kesehatan Daerah, Medan.

3.2.2 Waktu Penelitian

Pelaksanaan penelitian diperkirakan selama 6 bulan, dimulai dari bulan Mei sampai Oktober 2015.

3.3 Sampel dan Besar Sampel Penelitian 3.3.1 Sampel Penelitian

Sampel pada penelitian ini adalah braket SS setengah lengkung maksila (braket I1, I2, C, P1 dan P2) yaitu: braket SS bernikel (Protect, China) dan braket SS nickel- free (Orthoclassic, Jerman).

Kriteria inklusi dari sampel penelitian : 1. Sudah diuji komposisinya.

(51)

2. Braket belum pernah digunakan.

Kriteria eksklusi dari sampel penelitian : 1. Braket cacat/rusak

3.3.2 Besar Sampel

Pada penelitian ini digunakan perhitungan besar sampel mengikuti metode Frederer dengan rumus sebagai berikut berdasarkan rumus berikut (Hanafiah, 2003):

(t-1) (r-1) ≥ 15 Keterangan :

t = jumlah perlakuan r = jumlah ulangan

dalam rumus ini akan digunakan t = 8, karena menggunakan 8 kelompok perlakuan, maka jumlah sampel (r) minimal tiap kelompok ditentukan sebagai berikut:

(t-1) (r -1) ≥ 15 (7-1) (r -1) ≥ 15

7r ≥ 22 r ≥ 3,1

Dari hasil di atas, jumlah sampel minimal untuk tiap kelompok adalah sebanyak 3 sampel, pada penelitian ini diambil 5 sampel pada tiap kelompok, sehingga jumlah sampel 40 sampel.

(52)

3.4 Variabel Penelitian 3.4.1 Variabel Bebas

1. Braket SS bernikel (Protect, Cina) dan braket SS nickel-free (Orthoclassic, Jerman).

3.4.2 Variabel Terikat

1. Jumlah ion nikel yang terlepas 2. Jumlah ion kromium yang terlepas

3.4.3 Variabel Terkendali

1. Suhu perendaman saliva buatan (Inkubator 37 °C)

2. Waktu perendaman sampel braket dan pelepasan ion pada 1,2,3 dan 4 minggu

3. Saliva buatan dengan pH 6,75 4. Jenis braket

3.4.4 Variabel Tak Terkendali 1. Metode pembuatan braket

(53)

3.5 Definisi Operasional Variabel Penelitian

Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel Penelitian, Alat Ukur, dan Satuan Ukuran Variabel Defenisi Operasional Alat Ukur Skala

Ukur Variabel Bebas:

1. Braket SS bernikel (Protect, Cina) dan braket SS nickel-free (Orthoclassic, Jerman)

1.Braket SS yang terbuat dari logam SS yang digunakan dalam perawatan ortodonti.

Variabel Terikat:

1. Ion nikel yang terlepas.

2. Ion kromium yang terlepas.

1.Konsentrasi/ kadar ion nikel yang dilepaskan oleh braket SS bernikel dan nickel-free yang terlarut dalam saliva buatan.

2.Konsentrasi / kadar ion kromium yang dilepaskan oleh braket SS bernikel dan nickel- free yang terlarut dalam saliva buatan.

ICP

ICP

Numerik

Numerik

Variabel Terkendali:

1.Inkubator

2.Waktu perendaman

3. pH saliva buatan

4. Jenis braket

1.Suatu alat yang berbentuk kotak/kamar yang digunakan untuk menjaga agar suhu perendaman tetap pada kisaran 37 °C.

2.Waktu yang digunakan untuk merendam sampel ke dalam saliva buatan, yaitu 1, 2, 3 dan 4 minggu.

3.pH saliva buatan yang digunakan untuk merendam sampel, yaitu pH 6,75.

4.Jenis braket yang didasarkan pada bahan pembuat braket.

Minggu

pH meter

37 °C

1, 2, 3 dan

4 minggu

pH 6,75

Variabel Tak Terkendali:

1. Metode

pembuatan braket

1.Cara produsen dalam pembuatan braket ortodonti

(54)

3.6. Alat dan Bahan Penelitian 3.6.1 Alat Penelitian

1. Alat XRF untuk menguji komposisi kandungan unsur braket 2. pH meter

3. Pipet ukur 4. Tabung reaksi 5. Pinset

6. Inkubator dengan temperatur 37 °C 7. Alat ukur konsentrasi ion logam ICP

3.6.2 Bahan Penelitian

1. Braket SS setengah lengkung maksila (braket I1, I2, C, P1 dan P2).

2. Saliva buatan komposisi Fusayama (hal 16) dengan pH 6,75 3. Aluminium foil

Gambar 3.1 Braket bernikel (Protect)

Gambar 3.2 Braket nickel-free (Orthoclassic)

Referensi

Dokumen terkait

Bahwa telah terjadi tindakan melawan hukum yang dilakukan Termohon patut diduga bekerja sama dengan Pihak Terkait, yakni Pasangan Calon Nomor Urut 3 hingga Panwas Kabupaten

Dapat dilihat dari tahap pelaksanaan di atas, pencapaian pelaksanaan yaitu sebesar 77,8% dengan kriteria Baik (B), masih kurangnya dalam melaksanakan beberapa

pembelajaran secara proposional dan relevan dengan tujuan pembelajaran yang ingin di capai. Siswa tidak terlihat antusias dalam mengikuti pembelajaran. Ketergantungan

Berdasarkan fakta di atas, masalah nyeri punggung pada ibu hamil merupakan masalah penting yang erat hubungannya dengan ketidak nyamanan ibu hamil, maka pada

Yang dimaksudkan dengan Izin Usaha Pengangkutan dari Menteri adalah Izin Usaha yang diberikan Menteri kepada Badan Usaha untuk melakukan kegiatan pemindahan,

Based on the background and the result of needs analysis on the concept of global warming, the problem in this research is how is the development of

Algoritma Hebb-rule dan algoritma dapat digunakan pada pelatihan untuk menghasilkan bobot yang akan menentukan peranan dari masing-masing input variasi channel RGB

Pada pertambahan jumlah daun bibit karet, pemberian inokulan FMA pada setiap satu kali pengamatan tidak meberikan pengaruh yang signifikan terhadap semua pemberian