BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. DEMENSIA II.1.1. Definisi
Demensia adalah suatu sindroma penurunan kemampuan
intelektual progresif yang menyebabkan deteriorasi kognisi dan fungsional,
sehingga mengakibatkan gangguan fungsi sosial, pekerjaan
dan aktivitas sehari-hari (Asosiasi Alzheimer Indonesia, 2003).
Demensia adalah sindrom penurunan fungsi intelektual dibanding
sebelumnya yang cukup berat sehingga mengganggu aktivitas sosial dan
profesional yang tercermin dalam aktivitas hidup keseharian, biasanya
ditemukan juga perubahan perilaku dan tidak disebabkan oleh delirium
maupun gangguan psikiatri mayor (Ong dkk, 2015).
II.1.2. Epidemiologi
Pada umumnya 40% penderita demensia berada di atas usia 65
tahun dengan angka insidens 187/100.000/tahunnya. Untuk demensia
tidak ada perbedaan antara pria dan wanita sedangkan untuk demensia
Alzheimer lebih banyak wanita dengan rasio 1,6. Insiden demensia
Alzheimer sangat berkaitan dengan umur, 5% dari populasi berusia di atas
65 tahun di Amerika dan Eropa merupakan penderita Alzheimer, dan ini
Eropa, maka makin tua populasinya makin banyak kasus AD, dimana
pada populasi berusia 80 tahun didapati 50% penderita AD (Sjahrir,1999).
Konsensus Delphi mempublikasi bahwa terdapat peningkatan
prevalensi demensia sebanyak 10% dibandingkan dengan publikasi yang
sebelumnya. Diperkirakan terdapat 35,6 juta orang dengan demensia pada
tahun 2010 dengan peningkatan dua kali lipat setiap 20 tahun, menjadi
65,7 juta di tahun 2030 dan 115,4 juta di tahun 2050. Di Asia Tenggara
jumlah orang dengan demensia diperkirakan meningkat dari 2,48% di
tahun 2010 menjadi 5,3% pada tahun 2030 (Ferri dkk, 2005).
Data dari BAPPENAS 2013, angka harapan hidup di Indonesia
(laki-laki dan perempuan) naik dari 70,1 tahun pada periode 2010-2015
menjadi 72,2 tahun pada periode 2030-2035. Hasil proyeksi juga
menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia selama 25 tahun ke
depan akan mengalami peningkatan dari 238,5 juta pada tahun 2010
menjadi 305,8 juta pada tahun 2035. Jumlah penduduk berusia 65 tahun
keatas akan meningkat dari 5,0% menjadi 10,8% pada tahun 2035.
II.1.3. Klasifikasi Demensia (Sjahrir, 1999) Demensia terbagi atas 2 dimensi:
1. Menurut umur, terbagi atas:
a. Demensia senilis, onset > 65 tahun
b. Demensia presenilis, onset < 65 tahun
2. Menurut level kortikal:
b. Demensia subkortikal
Klasifikasi lain berdasarkan korelasi gejala klinik dengan
patologi-anatomisnya:
1. Anterior : Frontal premotor cortex
Perubahan behavior, kehilangan kontrol, anti sosial, reaksi
lambat.
2. Posterior: lobus parietal dan temporal
Gangguan kognitif: memori dan bahasa, akan tetapi
behaviour relatif baik.
3. Subkortikal: apatis, forgetful, lamban, adanya gangguan
gerak.
4. Kortikal: gangguan fungsi luhur; afasia, agnosia, apraksia.
II.1.3.1. Subtipe Demensia (Ong dkk, 2015) 1. Penyakit Alzheimer
Penyakit Alzheimer masih merupakan penyakit
neurodegeneratif yang tersering ditemukan (60-80%).
Karakteristik klinis berupa penurunan progresif memori
episodik dan fungsi kortikal lain. Gangguan motorik tidak
ditemukan kecuali pada tahap akhir penyakit. Gangguan
perilaku dan ketergantungan dalam aktivitas hidup
keseharian menyusul gangguan memori episodik
terutama lansia (>65 tahun) walaupun dapat ditemukan pada
usia yang lebih muda. Diagnosis klinis dapat dibuat dengan
akurat pada sebagian besar kasus (90%) walaupun
diagnosis pasti tetap membutuhkan biopsi otak yang
menunjukkan adanya plak neuritik (deposit β-amiloid40 dan β
-amiloid42) serta neurofibrilary tangle (hyperphosphorylated
protein tau). Saat ini terdapat kecenderungan melibatkan
pemeriksaan biomarka pencitraan Magnetic Resonance
Imaging (MRI) struktural dan fungsional serta pemeriksaan
cairan otak (β-amiloid dan protein tau) untuk menambah
akurasi diagnosis (Ong dkk, 2015).
2. Demensia Vaskuler
Vascular Cognitive Impairment (VCI) merupakan terminologi
yang memuat defisit kognisi yang luas mulai dari gangguan
kognisi ringan sampai demensia yang dihubungkan dengan
faktor risiko vaskuler (Ong dkk, 2015).
Demensia vaskuler adalah penyakit heterogen dengan
patologi vaskuler yang luas termasuk infark tunggal,
demensia multi-infark, lesi kortikal iskemik, stroke
perdarahan, gangguan hipoperfusi, gangguan hipoksik dan
demensia tipe campuran (penyakit Alzheimer dan stroke/lesi
vaskuler). Faktor risiko mayor kardiovaskuler berhubungan
vaskuler ini juga memacu terjadinya stroke akut yang
merupakan faktor risiko untuk terjadinya VaD. Cerebral
Autosomal Dominant Arteriopathy with Subcortical Infarcts
and Leucoensefalopathy (CADASIL), adalah bentuk small
vessel disease usia dini dengan lesi iskemik luas pada white
matter dan stroke lakuner yang bersifat herediter (Ong dkk,
2015).
3. Demensia Lewy Body dan Demensia Penyakit Parkinson
Demensia Lewy Body (DLB) adalah jenis demensia yang
sering ditemukan. Sekitar 15-25% dari kasus autopsi
demensia menemui kriteria demensia ini. Gejala inti
demensia ini berupa demensia dengan fluktuasi kognisi,
halusinasi visual yang nyata (vivid) dan terjadi pada awal
perjalanan penyakit orang dengan Parkinsonism. Gejala
yang mendukung diagnosis berupa kejadian jatuh berulang
dan sinkope, sensitif terhadap neuroleptik, delusi, dan atau
halusinasi modalitas lain yang sistematik. Juga terdapat
tumpang tindih dengan temuan patologi antara DLB dengan
penyakit Alzheimer. Namun secara klinis orang dengan DLB
cenderung mengalami gangguan fungsi eksekutif dan
visuospasial sedangkan performa memori verbalnya relatif
baik jika dibanding penyakit Alzheimer yang terutama
Demensia Penyakit Parkinson/Parkinson Disease Dementia
(PDD) adalah bentuk demensia yang juga sering ditemukan.
Prevalensi demensia pada penyakit Parkinson 23-32% enam
kali lipat dibanding populasi umum (3-4%). Secara klinis, sulit
membedakan antara DLB dan PDD. Pada DLB, awitan
demensia dan Parkinsonism harus terjadi dalam satu tahun
sedangkan pada PDD gangguan fungsi motorik terjadi
bertahun-tahun sebelum demensia (10-15 tahun) (Ong dkk,
2015).
4. Demensia Frontotemporal
Demensia Frontotemporal/Frontotemporal Dementia (FTD)
adalah jenis tersering dari Demensia Lobus Frontotemporal/
Frontotemporal Lobar Dementia (FTLD). Terjadi pada usia
muda (early onset dementia/EOD) sebelum umur 65 tahun
dengan rerata usia adalah 52,8–56 tahun. Karakteristik klinis
berupa perburukan progresif perilaku dan atau kognisi pada
observasi atau riwayat penyakit. Gejala yang menyokong
yaitu pada tahap dini (3 tahun pertama) terjadi perilaku
disinhibisi, apati atau inersia, kehilangan simpati/empati,
perseverasi, stereotipi atau perilaku kompulsif/ritual,
hiperoralitas/perubahan diet dan gangguan fungsi eksekutif
tanpa gangguan memori dan visuospasial pada pemeriksaan
Pada pemeriksaan Computed Tomography (CT) atau MRI
ditemukan atrofi lobus frontal dan atau anterior temporal dan
hipoperfusi frontal atau hipometabolisme pada Single-photon
Emmision Tomography (SPECT) atau Positron Emission
Tomography (PET). Dua jenis FTLD lain yaitu Demensia
Semantik dan Primary Non-Fluent Aphasia (PNFA), dimana
gambaran disfungsi bahasa adalah dominan disertai
gangguan perilaku lainnya. Kejadian FTD dan Demensia
Semantik masing-masing adalah 40% dan kejadian PNFA
sebanyak 20% dari total FTLD (Ong dkk, 2015).
5. Demensia Tipe Campuran
Koeksistensi patologi vaskular pada penyakit Alzheimer
sering terjadi. Dilaporkan sekitar 24-28% orang dengan
penyakit Alzheimer dari klinik demensia yang diautopsi. Pada
umumnya pasien demensia tipe campuran ini lebih tua
dengan penyakit komorbid yang lebih sering. Patologi
penyakit Parkinson ditemukan pada 20% orang dengan
penyakit Alzheimer dan 50% orang dengan DLB memiliki
patologi penyakit Alzheimer (Ong dkk, 2015).
II.1.4. Tahapan Demensia
Stadium I / awal : Berlangsung 2-4 tahun dan disebut stadium
amnestik dengan gejala gangguan memori, berhitung dan aktivitas
atau lupa hal baru yang dialami, dan tidak menggangu aktivitas rutin dalam
keluarga (Stanley, 2007).
Stadium II / pertengahan : Berlangsung 2-10 tahun dan disebut fase
demensia. Gejalanya antara lain, disorientasi, gangguan bahasa (afasia).
Penderita mudah bingung, penurunan fungsi memori lebih berat sehingga
penderita tidak dapat melakukan kegiatan sampai selesai, gangguan
kemampuan merawat diri yang sangat besar, gangguan siklus tidur, mulai
terjadi inkontinensia, tidak mengenal anggota keluarganya, tidak ingat
sudah melakukan suatu tindakan sehingga mengulanginya lagi. Dan ada
gangguan visuospasial yang menyebabkan penderita mudah tersesat di
lingkungan (Stanley, 2007).
Stadium III / akhir : Berlangsung 6-12 tahun. Penderita menjadi
vegetatif, tidak bergerak dengan gangguan komunikasi yang parah
(membisu), ketidakmampuan untuk mengenali keluarga dan teman-teman,
gangguan mobilisasi dengan hilangnya kemampuan untuk berjalan, kaku
otot, gangguan siklus tidur-bangun, dengan peningkatan waktu tidur, tidak
bisa mengendalikan buang air besar atau kecil. Kegiatan sehari-hari
membutuhkan bantuan orang lain dan kematian terjadi akibat infeksi atau
trauma (Stanley, 2007).
II.1.5. Skrining dan Diagnosis II.1.5.1. Skrining
Individu yang harus dievaluasi untuk demensia adalah individu
suatu demensia serta pasien yang walaupun belum memiliki keluhan
subjektif, tetapi pengasuh atau dokter mencurigainya sebagai suatu
gangguan kognitif (Ong dkk, 2015).
Saat ini sudah ada bukti yang cukup untuk skrining orang dengan
demensia pada usia lanjut. Atas dasar itu US Preventive Services Task
Force (USPSTF) dan UK National Institute for Health and Clinical and
Health Excellence merekomendasikan untuk menskrining demensia pada
populasi (Boustani dkk, 2003).
Evaluasi demensia terutama ditujukan pada orang dengan
kecurigaan gangguan kognitif yaitu dalam keadaan sebagai berikut:
– Subjek dengan gangguan memori dan gangguan kognitif, baik yang
dilaporkan oleh pasien itu sendiri maupun oleh yang lainnya.
– Gejala pikun yang progresif.
– Subjek yang dicurigai memiliki gangguan perilaku saat dilakukan
pemeriksaan oleh dokter pada saat pemeriksaan, walaupun subjek
tidak mengeluhkan adanya keluhan kognitif atau memori.
– Subjek yang memiliki risiko tinggi demensia (adanya riwayat
keluarga dengan demensia) (Ong dkk, 2015).
II.5.1.2. Penilaian Demensia
Penilaian demensia harus dilakukan melalui evaluasi yang
komprehensif. Pendekatan yang dilakukan bertujuan untuk diagnosis dini
demensia, penilaian komplikasi dan penegakan penyebab demensia (Ong
II.5.1.3. Diagnosis
Pada orang yang diduga memiliki gangguan kognitif, diagnosa
harus dibuat berdasarkan kriteria Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders-IV (DSM-IV) untuk demensia dengan anamnesis yang
didapatkan dari sumber yang terpercaya. Hal ini harus didukung dengan
penilaian objektif melalui bedside cognitive tests dan/atau penilaian
neuropsikologis (Ong dkk, 2015).
Pedoman DSM-IV sering digunakan sebagai gold standart untuk
diagnosis klinis demensia. Kriteria ini termasuk adanya gangguan kognitif
memori dan tidak adanya salah satu dari gangguan kognitif seperti afasia,
apraksia, agnosia dan gangguan fungsi eksekutif (Ong dkk, 2015).
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders-V (DSM-V)
memakai kata Neurocognitive Disorder (gangguan neurokognisi) dengan
dua derajat keparahan yaitu gangguan neurokognisi mayor untuk
demensia dan gangguan neurokognisi ringan untuk gangguan kognisi
tidak demensia (Ong dkk, 2015; Frances dkk, 2000).
Pemeriksaan klinis yang komprehensif meliputi ketiga domain
kognisi, perilaku dan fungsi diperlukan pada mereka yang dicurigai
demensia, dengan tujuan membuat diagnosis dini, mengakses komplikasi
Tabel 1. Kriteria Klinis Diagnosis Demensia Berdasarkan DSM-IV
Dikutip dari: Ong, P.A., Muis, A., Widjojo, F.S., Rambe, A., Laksmidewi, A.A.A., Pramono, A., et al. 2015. Diagnosis dan Penatalaksanaan Demensia. Panduan Nasional Praktik Klinik. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Jakarta.
II.1.6. Faktor Risiko dan Prevensi Demensia
Tindakan preventif harus dikerjakan karena diperkirakan bahwa
menunda awitan demensia selama lima tahun dapat menurunkan
setengah dari insiden demensia. Oleh sebab itu perlu pengetahuan
II.1.6.1. Faktor yang Tidak Dapat Dimodifikasi
Usia, jenis kelamin, genetik, dan riwayat penyakit keluarga, disabilitas
intelektual dan sindroma Down adalah faktor risiko yang tidak dapat
dimodifikasi (Ong dkk, 2015).
1) Usia
Risiko terjadinya penyakit Alzheimer meningkat secara nyata dengan
meningkatnya usia, meningkat dua kali lipat setiap 5 tahun pada
individu diatas 65 tahun dan 50% individu diatas 85 tahun mengalami
demensia. Dalam studi pupolasi, usia diatas 65 tahun risiko untuk
semua demensia adalah OR=1,1 dan untuk penyakit Alzheimer
OR=1,2 (Ong dkk, 2015).
2) Jenis Kelamin
Beberapa studi prevalensi menunjukkan bahwa penyakit Alzheimer
lebih tinggi pada wanita dibanding pria. Angka harapan hidup yang
lebih tinggi dan tingginya prevalensi AD pada wanita yang tua dan
sangat tua dibanding pria. Risiko untuk semua jenis demensia dan
penyakit Alzheimer untuk wanita adalah OR=1,7 dan OR=2,0. Kejadian
demensia vaskular lebih tingggi pada pria secara umum walaupun
menjadi seimbang pada wanita yang lebih tua (Ong dkk, 2015).
3) Riwayat Keluarga dan Faktor Genetik
Penyakit Alzheimer Awitan Dini (Early Onset Alzheimer
Disease/EOAD) terjadi sebelum usia 60 tahun, kelompok ini
EOAD ini memperlihatkan transmisi autosomal dominan. Tiga mutasi
gen yang teridentifikasi untuk kelompok ini adalah amiloid-β protein
precursor pada kromosom 14 ditemukan pada 30-70% kasus,
presenilin pada kromosom 1 ditemukan pada kurang dari 5% kasus.
Sampai saat ini tidak ada mutasi genetik tunggal yang teridentifikasi
untuk Penyakit Alzheimer Awitan Lambat. Diduga faktor genetik dan
lingkungan saling berpengaruh. Diantara semua faktor genetik, gen
Apolipoprotein E (APOE E) yang paling banyak diteliti. Telaah secara
sistematik studi populasi menerangkan bahwa APOE E4 signifikan
meningkatkan risiko demensia penyakit Alzheimer terutama pada
wanita dan populasi antara 55-56 tahun, pengaruh ini berkurang pada
usia yang lebih tua (Ong dkk, 2015).
Sampai saat ini tidak ada studi yang menyebutkan perlunya tes genetik
untuk pasien demensia atau keluarganya. Apabila dicurigai autosomal
dominan, maka tes ini dapat dilakukan hanya setelah dengan informed
consent yang jelas atau untuk keperluan penelitian (Ong dkk, 2015).
II.1.6.2. Faktor Risiko yang Dapat Dimodifikasi (Ong dkk, 2015) II.1.6.2.1. Faktor Risiko Kardiovaskular
Berbagai studi kohort dan tinjauan sistematis menunjukkan bahwa
faktor risiko vaskular berkontribusi terhadap meningkatnya risiko demensia
dan Alzheimer. Secara khusus, hipertensi usia pertengahan (R.R
mellitus (R.R 1,39-1,47) dan stroke semuanya telah terbukti berhubungan
dengan peningkatan risiko kejadian demensia (Ong dkk, 2015).
1) Hipertensi
Pasien dengan hipertensi yang disertai dengan penurunan kognisi,
maka perlu dilakukan pemeriksaan CT scan/MRI otak untuk
mendeteksi adanya silent infarct, microbleed atau white matter
lesion (Ong dkk, 2015).
2) Asam folat dan Vitamin B
Suplemen asam folat dan vitamin B tidak direkomendasikan untuk
pencegahan dalam pengobatan pasien dengan demensia yang
bukan disebabkan karena defisiensi vitamin B12 (Ong dkk, 2015).
3) Statin
Terapi statin direkomendasikan untuk prevensi atau rutin diberikan
pada pasien Alzheimer (Ong dkk, 2015).
II.2. GANGGUAN TIDUR II.2.1. Definisi Tidur
Tidur adalah keadaan dimana terjadi perubahan kesadaran atau
ketidaksadaran parsial dimana seorang individu dapat dibangunkan
(Tortora dan Derrickson, 2009). Tidur juga dapat diartikan sebagai periode
istirahat untuk tubuh dan pikiran, yang selama masa ini kemauan dan
kesadaran ditangguhkan sebagian atau seluruhnya dan fungsi-fungsi
sebagai status tingkah laku yang ditandai dengan posisi tak bergerak yang
khas dan sensitivitas reversibel yang menurun, tetapi siaga terhadap
rangsangan dari luar (Dorland, 2002).
II.2.2. Tahapan dan Siklus Tidur
Selama malam hari, seseorang melalui dua stadium tidur yang
saling bergantian, yaitu tidur paradoksikal atau tidur Rapid Eye Movement
(REM) dan tidur gelombang lambat atau tidur Non-Rapid Eye Movement
(NREM). Keseluruhan tidur yang terjadi adalah tidur gelombang lambat
yang dialami pada jam pertama tidur setelah bangun selama berjam-jam
sedangkan tidur paradoksikal terjadi pada 25% dari waktu tidur yang
berulang secara periodik setiap 90 menit. Tipe tidur ini umumnya disertai
dengan mimpi (Guyton dan Hall, 2006).
Tidur NREM terdiri dari 4 tahap yaitu : (Guyton dan Hall, 2006)
1. Tahap 1 adalah tahap transisi antara keadaan bangun (terjaga) dan
tidur, yang dalam keadaan normal berlangsung antara 1-7 menit.
Dalam tahap ini, orang dalam keadaan relaksasi dengan mata tertutup
dan pikiran yang belum tidur sepenuhnya. Apabila orang ini
dibangunkan pada tahap ini, maka mereka akan mengatakan bahwa
mereka belum tertidur (Guyton dan Hall, 2006).
2. Tahap 2 atau tidur ringan adalah tahap pertama orang dalam keadaan
benar-benar tertidur (Guyton dan Hall, 2006).
3. Tahap 3 adalah periode tidur dalam yang sedang. Suhu tubuh dan
ini berlangsung kira-kira 20 menit setelah tertidur (Guyton dan Hall,
2006).
4. Tahap 4 adalah level terdalam dari tidur. Meskipun metabolisme otak
menurun secara signifikan dan suhu tubuh menurun sedikit pada tahap
ini, kebanyakan refleks masih terjadi, dan hanya terjadi sedikit
penurunan tonus otot (Tortora dan Derrickson, 2009).
Pada tahap ini orang akan sangat sulit dibangunkan, hanya suara yang
sangat keras yang dapat membangunkan orang tersebut. Apabila pada
tahap keempat orang ini dibangunkan, maka orang tersebut akan
terlihat grogi dan bingung (Carlson, 2005).
Tahap 1 ditandai dengan aktivitas gelombang theta pada
elektroensefalografi (EEG). Aktivitas theta adalah aktivitas EEG dgn
frekuensi 3,5-7,5 Hz yang terjadi secara intermiten selama tahap awal tidur
NREM dan REM. Setelah kira-kira 10 menit, maka akan memasuki tahap 2
tidur NREM yang ditandai dengan aktivitas theta, sleep spindles dan K
kompleks. Sleep spindles adalah gelombang pendek dengan frekuensi
12-14 Hz yang berlangsung sekitar dua hingga lima kali per menit yang
ditemukan selama tahap 1 hingga tahap 4 tidur NREM. Sleep spindles ini
diyakini merepresentasikan aktivitas dari mekanisme yang terlibat menjaga
orang agar tetap dalam keadaan tertidur. K kompleks adalah gelombang
tajam, tejadi secara tiba-tiba, terjadi kira-kira satu kali dalam satu menit,
biasanya dipicu oleh suara bising, dan hanya terdapat pada tahap kedua
ketiga dan keempat ditandai oleh aktivitas delta beramplitudo tinggi serta
berfrekuensi lebih kecil dari 3,5 Hz. Perbedaan tahap ketiga dan keempat
tidur NREM hanya ditentukan dari jumlah gelombang delta, pada tahap
ketiga, aktivitas delta yang ditemukan sekitar 20-50 persen, sedangkan
pada tahap keempat lebih dari 50 persen. Oleh karena ditemukan
gelombang delta pada tahap ketiga dan keempat tidur NREM, maka tahap
ketiga dan keempat inilah yang sering disebut sebagai tidur gelombang
lambat (Carlson, 2005).
Setelah tahap keempat tidur NREM, maka tidur akan memasuki
tahap tidur REM, demikian yang akan terus berlangsung secara
bergantian dan terus-menerus sepanjang tidur berlangsung. Satu siklus
berlangsung selama 90 menit, dengan tidur REM hanya berlangsung
sekitar 20-30 menit saja. Normalnya tidur REM harus didahului oleh tidur
gelombang lambat. Gambaran EEG tidur REM mirip dengan gambaran
EEG tahap 1 tidur NREM, hanya saja selain terdiri dari aktivitas theta
seperti pada tahap 1 tidur NREM, pada tidur REM juga dijumpai adanya
aktivitas beta pada EEG. Aktifitas beta adalah aktifitas listrik irregular
13-30 Hz yang direkam dari otak, yang biasanya dijumpai pada keadaan
sadar (awake). Apabila orang sudah memasuki tidur REM, orang tersebut
bahkan sudah tidak respon terhadap suara bising, tetapi dapat dengan
mudah dibangunkan dengan rangsangan yang bermakna, seperti
memanggil nama orang tersebut. Dan, ketika orang tersebut bangun, akan
Tidur REM, ditandai dengan hilangnya ketegangan otot batang tubuh, dan
EEG desinkronisasi (cepat dan gelombang tidak teratur). Aktivitas serebral
(konsumsi oksigen, aliran darah, dan perangsangan neural) meningkat
pada banyak struktur otak, dan secara umum terjadi peningkatan pada
aktivitas sistem saraf otonom (tekanan darah, denyut nadi dan
pernafasan). Selain itu, selalu dijumpai juga ereksi klitoris atau penis
dengan tingkatan tertentu, serta ditemukan juga pergerakan bola mata
secara cepat dengan kondisi mata tertutup (bola mata di bawah kelopak
mata). Juga ditemukan korelasi yang sangat kuat antara tidur REM
dengan mimpi (Pinel, 2009). Fungsi dari tidur gelombang lambat adalah
untuk memberi waktu kepada otak untuk beristirahat, sedangkan fungsi
dari tidur REM adalah untuk perkembangan otak dan proses pembelajaran
(Carlson, 2005). Tidur adalah proses aktif, bukan sekedar tidak terjaga.
Tingkat aktivitas otak keseluruhan tidak berkurang selama tidur. Selama
stadium-stadium tidur tertentu, penyerapan oksigen oleh otak bahkan
meningkat melebihi tingkat terjaga normal. Siklus tidur-bangun adalah
variasi siklus normal dalam kesadaran mengenai keadaan sekitar.
Berbeda dengan keadaan terjaga, orang yang sedang tidur tidak secara
sadar waspada akan dunia luar, tetapi tetap memiliki pengalaman
kesadaran dalam batin seperti mimpi. Selain itu, mereka dapat
dibangunkan oleh rangsangan eksternal, misalnya bunyi alarm (Sherwood,
II.2.3. Mekanisme Tidur Bangun
Mekanisme pengaturan tidur dan bangun diatur oleh beberapa
mekanisme, diantaranya:
1. Kontrol sistem kimia dari tidur
Suatu neurotransmiter nukleosida, adenosine, mempunyai peranan
yang penting dalam pengaturan tidur. Nutrien utama dari otak adalah
glukosa, yang diangkut oleh darah ke otak. Suplai darah yang cukup
biasanya akan memberikan jumlah glukosa yang cukup, tetapi bila
beberapa daerah di otak menjadi lebih aktif, sel-sel yang berada pada
bagian itu akan mengkonsumsi glukosa lebih cepat daripada yang disuplai
darah. Pada kasus demikian, nutrien glukosa yang kekurangan ini akan
disuplai oleh astrosit dengan cara memecah glikogen yang terdapat pada
astrosit tersebut. Metabolisme dari glikogen akan meningkatkan level
adenosine, sebuah neuromodulator yang mempunyai efek inhibisi.
Akumulasi dari adenosine akan meningkatkan aktivitas delta pada saat
tidur pada malam berikutnya. Setelah itu sel di daerah otak itu akan
beristirahat, dan astrosit akan memperbaharui stok glikogennya. Oleh
karena itu, jelas bahwa adenosine berpengaruh terhadap tidur. Kafein
(antagonis adenosine) yang terdapat pada kopi akan menghambat
adenosine sehingga akan menghilangkan efek tidur dan meningkatkan
2. Kontrol sistem saraf dari keadaan bangun
Ada sedikitnya lima sistem neuron berbeda yang penting dalam
mengatur keadaan bangun (terjaga) yaitu: sistem asetilkolinergik dari area
peribrachial pons dan basal forebrain, sistem noradrenergik dari locus
coeruleus, sistem serotonergik dari raphe nuclei, neuron histaminergik dari
nukleus tuberomammilari dan sistem hipokretinergik dari lateral
hipotalamus. Tidur tipe gelombang lambat terjadi ketika neuron di
ventrolateral preoptic area (VLPA) aktif. Neuron-neuron ini menginhibisi
neuron-neuron histaminergik dari nukleus tuberomammilari, neuron
noradrenergik dari locus coeruleus, dan neuron-neuron serotonergik dari
raphe nuclei. Sedangkan, VLPA diinhibisi oleh area yang merangsang
keadaan bangun di otak, sehingga akan terjadi hubungan timbal balik (
flip-flop) yang akan membuat kita sadar atau jatuh tertidur. Akumulasi dari
adenosine juga dapat menginisiasi tidur dengan cara menghambat
neuron-neuron asetilkolinergik di basal forebrain dan mengaktifkan
neuron-neuron VLPA. Adenosine juga terbukti menghambat sistem
hipokretinergik yang berfungsi membuat orang dalam keadaan terjaga
(Carlson, 2005).
Pengaruh hormon terhadap siklus tidur juga dipengaruhi oleh
beberapa hormon seperti Adrenal Corticotropin Hormone (ACTH), Growth
Hormone (GH) dan Luteneizing Hormone (LH). Hormon-hormon ini secara
teratur disekresi oleh kelenjar hipofisis anterior melalui jalur hipotalamus.
neurotransmiter serotonin, histamin, noradrenalin yang sangat
berpengaruh mengatur siklus bangun dan tidur (Carlson, 2005).
II.2.4. Kualitas Tidur
Kualitas tidur merupakan fenomena yang sangat kompleks yang
melibatkan berbagai domain, antara lain penilaian terhadap lama waktu
tidur, gangguan tidur, masa laten tidur, disfungsi tidur pada siang hari,
efisiensi tidur dan penggunaan obat tidur. Jadi apabila salah satu dari
domain tersebut terganggu maka akan mengakibatkan terjadinya
penurunan kualitas tidur (Buysee,1989).
Pada penilaian terhadap lama waktu tidur yang dinilai adalah waktu
dari tidur yang sebenarnya yang dialami seseorang pada malam hari.
Penilaian ini dibedakan dengan waktu yang dihabiskan di ranjang. Pada
penilaian terhadap gangguan tidur dinilai apakah seseorang terbangun
tidur pada tengah malam atau bangun pagi terlalu cepat, bangun untuk
pergi ke kamar mandi, sulit bernafas secara nyaman, batuk atau
mendengkur keras, merasa kedinginan, merasa kepanasan, mengalami
mimpi buruk, merasa sakit, dan alasan lain yang mengganggu tidur.
Penilaian terhadap masa laten tidur dinilai berapa menit yang dihabiskan
seseorang di tempat tidur sebelum akhirnya dapat tertidur dan apakah
orang tersebut tidak dapat tidur selama 30 menit. Selanjutnya, penilaian
terhadap disfungsi tidur pada siang hari dinilai apakah selama sebulan
yang lalu, seberapa sering timbul masalah yang mengganggu anda tetap
serta dinilai juga berapa banyak masalah yang membuat seseorang tidak
antusias untuk menyelesaikannya dalam sebulan. Pada penilaian terhadap
efisiensi tidur dinilai waktu seseorang biasanya mulai tidur pada malam
hari selama sebulan, dan waktu seseorang biasanya bangun pada pagi
hari selama sebulan, serta dinilai juga waktu seseorang tertidur pulas pada
malam hari selama sebulan. Pada penilaian terhadap kualitas tidur dinilai
bagaimana seseorang menilai rata-rata kualitas tidurnya. Penilaian
terhadap penggunaan kualitas tidur hanya ditujukan pada penilaian
seberapa sering seseorang mengkonsumsi obat-obat untuk membantu
tidur dalam sebulan yang lalu (Buysee,1989).
II.2.5. Etiologi Gangguan Tidur
Terdapat tiga penyebab utama yang paling berpengaruh
menyebabkan gangguan tidur yaitu: (Lubit, 2012)
1. Kondisi medis
Berbagai kondisi medis yang buruk dari seseorang dapat
menyebabkan seseorang mengalami gangguan tidur. Misalnya gangguan
pada paru yang menyebabkan gangguan nafas seperti asma dan penyakit
paru obstruktif kronis. Akibat gangguan pernafasan yang dialami, maka
seseorang tentunya saja akan mengalami gangguan tidur. Kondisi jantung
yang juga berpengaruh meyebabkan gangguan tidur pada seseorang
seperti iskemia dan gagal jantung kongestif. Berbagai penyakit neurologis
seperti stroke, kerusakan saraf perifer, apnea tidur tipe sentral dan
menstruasi, hipertiroid juga dapat menyebabkan gangguan tidur. Selain
itu, kondisi gastrointestinal yang sangat mengganggu tidur yaitu
gastroesophageal reflux disease (GERD) karena asam lambung yang naik
ke esofagus akan menyebabkan rasa yang mengganggu (Lubit, 2012).
2. Kondisi psikiatri
Kondisi psikiatri seperti depresi dapat menyebabkan gangguan tidur
tipe REM. Stres pasca trauma sering menyebabkan gangguan tidur pada
malam hari. Selain itu, gangguan ansietas, panic disorder paling sering
menyebabkan insomnia atau sulit tidur pada banyak pasien. Selain itu,
perlu diketahui bahwa, penggunaan obat-obatan pada kondisi psikiatri
seperti antidepresan dapat mengganggu pola tidur REM. Obat-obat
benzodiazepin yang terlalu sering digunakan dan dalam dosis yang tinggi
dapat menyebabkan rebound insomnia (gangguan untuk tertidur akibat
pemakaian obat sehingga apabila obat dihentikan, pasien menjadi merasa
sulit tertidur) (Lubit, 2012).
3. Kondisi lingkungan
Gangguan tidur sering disebabkan lingkungan yang bising atau oleh
karena suhu lingkungan yang tidak nyaman. Pertukaran jam kerja yang
tidak teratur sering menyebabkan gangguan siklus tidur, seperti halnya
yang juga terjadi pada jetlag akibat bepergian ke tempat yang mempunyai
waktu yang tidak cocok dengan daerah asal. Pergantian ketinggian yang
II.2.6. Skala Tidur dari The Medical Outcome Study
Skala tidur dari The Medical Outcome Study merupakan suatu skala
yang dibuat dengan tujuan untuk menilai sejauh mana masalah tidur.
Skala ini mengukur enam dimensi tidur, yaitu inisiasi, maintenance
(misalnya: tetap tertidur), kuantitas, kecukupan, somnolens (misalnya: rasa
mengantuk) dan gangguan pernapasan (misalnya: mendengkur). Skala
tidur ini berupa kuesioner yang terdiri dari 12-item pertanyaan, dimana
setiap pertanyaan memiliki kemungkinan skor 1-6. Tidur yang terganggu
memiliki dampak besar pada kualitas hidup dan sering merupakan gejala
umum dari banyak kondisi kronis lainnya (Allen dkk, 2008).
Reliabilitas dan validitas skala tidur The Medical Outcome Study
telah dievaluasi terhadap sejumlah penyakit, termasuk nyeri neuropatik,
restless leg syndrome, overactive bladder dan rheumatoid arthritis. Skala
Ini juga telah dievaluasi pada populasi umum di Amerika Serikat (Allen
dkk, 2008).
Pada restless leg syndrome, penilaian psikometri dari empat
domain tidur The Medical Outcome Study, menunjukkan validitas yang
memuaskan (r> 0.40). Semua item domain melampaui standar untuk
validitas pada uji ke dua. The Medical Outcome Study menunjukkan
konsistensi reliabilitas yang baik. Disimpulkan bahwa skala tidur The
Medical Outcome Study merupakan tool yang handal dan valid untuk
menilai perubahan dalam tidur pada subjek dengan gangguan tidur
kondisi lain yang menyebabkan gangguan tidur telah dianjurkan (Allen dkk,
2008).
II.2.7. Klasifikasi Gangguan Tidur
Pembagian gangguan tidur menurut American Academy of Sleep
Medicine Classification of Sleep Disorder, terdiri atas: (Purnomo dan
Islamiyah, 2014)
1. Insomnia
2. Sleep Related Breathing Disorders
3. Hypersomnias of Central Origin Not Due to a Circadian Rhythm Sleep
Disorder, Sleep Related Breathing Disorder, or Other Cause of
Disturbed Nocturnal Sleep
4. Circadian Rhythm Sleep Disorders
5. Parasomnias
6. Sleep Related Movement Disorders
7. Isolated Symptoms, Apparently Normal Variants and Unresolved
Issues
8. Other Sleep Disorders
II.3. TEKANAN DARAH II.3.1. Definisi
Tekanan darah adalah tekanan yang ditimbulkan pada dinding
arteri. Tekanan puncak terjadi saat ventrikel berkontraksi dan disebut
saat ventrikel beristirahat dan mengisi ruangannya. Tekanan darah
biasanya digambarkan sebagai rasio tekanan sistolik terhadap tekanan
diastolik (Oxford, 2003).
Berdasarkan Joint National Committe VIII, tekanan darah pada usia
dewasa ( ≥18 tahun) diklasifikasikan menjadi: (James dkk, 2013)
1. Normal: tekanan darah <120/<80 mmHg
2. Prehipertensi: tekanan darah dari 120/80 mmHg sampai 139/89
mmHg.
3. Hipertensi tingkat I: tekanan darah dari 140/90 mmHg sampai
159/99 mmHg.
4. Hipertensi tingkat II: tekanan darah ≥ 160/100 mmHg.
II.3.2. Faktor yang Mempengaruhi Tekanan Darah
Menurut Kozier dkk (2009), ada beberapa hal yang dapat
mempengaruhi tekanan darah, diantaranya adalah:
1. Umur
Bayi yang baru lahir memiliki tekanan sistolik rata-rata 73 mmHg.
Tekanan sistolik dan diastolik meningkat secara bertahap sesuai usia
hingga dewasa. Pada orang lanjut usia, arterinya lebih keras dan
kurang fleksibel terhadap darah. Hal ini mengakibatkan peningkatan
tekanan sistolik. Tekanan diastolik juga meningkat karena dinding
pembuluh darah tidak lagi retraksi secara fleksibel pada penurunan
tekanan darah.
Berdasarkan Journal of Clinical Hypertension, perubahan hormonal
yang sering terjadi pada wanita menyebabkan wanita lebih cenderung
memiliki tekanan darah tinggi. Hal ini juga menyebabkan risiko wanita
untuk terkena penyakit jantung menjadi lebih tinggi.
3. Olahraga
Aktivitas fisik meningkatkan tekanan darah.
4. Obat-obatan
Banyak obat-obatan yang dapat meningkatkan atau menurunkan
tekanan darah.
5. Ras
Pria Amerika-Afrika berusia di atas 35 tahun memiliki tekanan darah
yang lebih tinggi daripada pria Amerika-Eropa dengan usia yang sama.
6. Obesitas
Obesitas, baik pada masa anak-anak maupun dewasa, merupakan
faktor predisposisi hipertensi.
II.3.3. Dasar Pengukuran Tekanan Darah
Kecepatan aliran (velocity) suatu cairan dalam pembuluh akan
bergantung kepada isi aliran (flow) dan luas penampang pembuluh (area).
Dalam hal ini, kecepatan yang dimaksud adalah kecepatan linier yang
mempunyai rumus V= Q/A dengan V adalah kecepatan, Q adalah aliran,
dan A adalah luas penampang. Berdasarkan rumus di atas, dapat
diketahui bahwa perubahan pada luas penampang, misalnya penyempitan
Apabila dikaji lebih jauh, kecepatan aliran berpengaruh pada
tekanan sisi (lateral pressure) pembuluh. Tekanan dalam pipa merupakan
jumlah tekanan sisi ditambah energi kinetik. Energi ini dapat dihitung
berdasarkan viskositas cairan dan kecepatan aliran (1/2 PV2 dengan P
adalah viskositas cairan dan V adalah kecepatan aliran). Kecepatan aliran
yang berubah akan mempengaruhi energi kinetik dan perubahan pada
energi ini akan mempengaruhi tekanan sisi pembuluh. Hal ini dikemukakan
karena pada hakikatnya yang diukur pada pengukuran tekanan darah
secara tidak langsung adalah tekanan sisi pembuluh darah (Singgih,
1989).
II.3.4. Alat Ukur Tekanan Darah
Hingga saat ini, alat ukur yang masih diandalkan untuk mengukur
tekanan darah secara tidak langsung ialah sfigmomanometer air raksa.
Kadang-kadang dijumpai sfigmomanometer dengan pipa air raksa yang
letaknya miring terhadap bidang horisontal (permukaan air) dengan
maksud untuk memudahkan pembacaan hasil pengukuran oleh
pemeriksa. Untuk sfigmomanometer jenis ini, perlu dilakukan koreksi skala
ukurannya karena seharusnya pipa air raksa tegak lurus terhadap
permukaan air (Singgih, 1989).
Menurut laporan World Health Organization (WHO), yang penting
ialah lebar kantong udara dalam manset harus cukup lebar untuk menutupi
2/3 panjang lengan atas. Demikian pula, panjang manset harus cukup
bertujuan agar tekanan udara dalam manset yang ditera dengan tinggi
kolom air raksa, benar-benar seimbang dengan tekanan sisi pembuluh
darah yang akan diukur (Singgih, 1989).
II.3.5. Hal yang Diperhatikan pada Pengukuran
Menurut Singgih (1989), ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
dalam pengukuran tekanan darah agar hasil pengukurannya lebih akurat,
yaitu:
1. Ruang pemeriksaan
Suhu ruang dan ketenangan ruang periksa yang nyaman harus
diperhatikan. Suhu ruang yang terlalu dingin dapat meningkatkan tekanan
darah.
2. Alat
Alat yang sebaiknya digunakan adalah sfigmomanometer dengan pipa air
raksa yang tegak lurus dengan bidang horisontal. Hindarkan paralaks
sewaktu membaca permukaan air raksa. Gunakan manset dengan lebar
yang dapat mencakup 2/3 panjang lengan atas serta panjang yang dapat
mencakup 2/3 lingkar lengan. Penggunaan manset yang lebih kecil akan
menghasilkan nilai yang lebih tinggi daripada yang sebenarnya.
3. Persiapan
Apabila diperlukan dan keadaan pasien memungkinkan, sebaiknya
dipersiapkan dalam keadaan basal karena biasanya hanya diperlukan nilai
tekanan darah sewaktu, maka pengaruh kerja jasmani, makan, merokok
4. Jumlah pengukuran
Apabila memungkinkan, dilakukan pengukuran sebanyak tiga kali untuk
diambil nilai rata-ratanya. Apabila pasien menderita hipertensi, dianjurkan
untuk mengukur dalam 3 hari berturut-turut.
5. Tempat pengukuran
Pengukuran dilakukan pada lengan kanan dan kiri bila dicurigai terdapat
peningkatan tekanan darah. Kesenjangan nilai lengan kanan dan kiri dapat
ditimbulkan karena coarctatio aorta. Posisi orang yang diperiksa sebaiknya
dalam posisi duduk. Dalam keadaan ini, lengan bawah sedikit fleksi dan
lengan atas setinggi jantung. Hindarkan posisi duduk yang menekan perut,
terutama pada orang yang gemuk. Untuk pasien hipertensi, terutama yang
sedang dalam pengobatan, perlu diukur dalam posisi berbaring dan pada
waktu 1-5 menit setelah berdiri.
6. Pemompaan dan pengempesan manset
Manset seharusnya dipompa dan dikempeskan sebelum mengukur
tekanan darah pasien. Hal ini untuk menghindarkan kesalahan nilai karena
rangsang atau reaksi obstruksi sirkulasi darah. Pemompaan dilakukan
dengan cepat hingga 20-30 mmHg di atas tekanan pada waktu denyut
arteri radialis tidak teraba. Pengempesan dilakukan dengan kecepatan
yang tetap (konstan) 2-3 mmHg tiap detik. Pengempesan yang terlalu
cepat akan mengakibatkan nilai diastolik yang lebih rendah daripada yang
II.4. Hubungan Gangguan Tidur dengan Demensia
Pada berbagai studi, telah dinilai hubungan antara self-reported
sleep problems dan insiden demensia, dengan jumlah sampel yang besar
pada individu lanjut usia. Peningkatan rasa kantuk siang hari dan tidur
yang inadekuat berhubungan dengan peningkatan risiko insiden
demensia. Beberapa penjelasan yang mungkin untuk hal ini telah
dipaparkan. Diduga hal ini disebabkan bahwa tidur yang tidak cukup
menyebabkan neurodegerasi dengan mencetuskan neuroinflamasi dan
mengganggu proses neurogenesis, terutama pada area seperti
hipokampus, suatu regio yang berperan penting untuk memori. Degenerasi
pada regio ini berhubungan dengan kemampunan belajar, yang dapat
menjelaskan kenapa tidur yang inadekuat dan peningkatan rasa kantuk
siang hari berhubungan dengan insiden demensia (Benedict dkk, 2015).
Terdapat juga hubungan yang potensial antara tidur, β-amyloid
(Aβ), dan demensia. Suatu studi pada lanjut usia mendapati bahwa durasi
tidur yang dilaporkan rendah dan peningkatan kesulitan untuk tertidur
berhubungan dengan kadar Aβ yang tinggi di area kortikal dan precuneus,
suatu area yang berhubungan dengan kognisi dan demensia. Kualitas
tidur yang rendah juga berhubungan dengan deposisi Aβ di precuneus.
Studi yang lain memaparkan bahwa peningkatan yang stabil pada kadar
Aβ menyebabkan gangguan untuk tidur dan menyebabkan stres. Karena
deposisi Aβ, yang berperan dalam perkembangan demensia (Tsapanou
dkk, 2015).
Kemungkinan penjelasan lain mengenai hubungan antara masalah
tidur dan demensia mungkin bahwa rasa kantuk yang berlebihan pada
siang hari dan tidur yang tidak adekuat berhubungan dengan irama
sirkadian. Ini mendukung studi sebelumnya yang menunjukkan bahwa
keseluruhan masalah tidur berhubungan dengan terganggunya irama
sirkadian. Menurunnya aktivitas amplitudo irama dan sirkadian robustness
telah diduga berkaitan dengan insiden demensia. Karena itu, mungkin ada
mekanisme biologis yang menghubungkan masalah tidur dengan
demensia. Walaupun masalah tidur mungkin merupakan faktor risiko
demensia, kemungkinan hubungan terbalik sebab akibat masih belum bisa
dieksklusikan. Terdapat literatur yang mendukung hubungan antara AD
dan gangguan tidur, terutama gangguan tidur malam hari dan gangguan
dari irama sirkadian dasar tidur-bangun. Beberapa menyatakan bahwa AD
tidak hanya sebagai penyakit penuaan, tetapi juga sebagai suatu penyakit
yang berkembang seiring sepanjang waktu kehidupan (Tsapanou dkk,
2015).
Ada kemungkinan bahwa masalah tidur mungkin merupakan tanda
proses neurodegenerasi yang sedang berjalan dibandingkan sebagai
suatu faktor risiko. Penelitian lanjutan pada populasi bukan demensia,
fungsi kognitif baik, dan bahkan partisipan yang secara biologis dengan
lebih menjelaskan mekanisme yang mendasari hal ini (Benedict dkk,
2015).
II.5. Hubungan Tekanan Darah dengan Demensia
Studi prospektif longitudinal menawarkan metodologi terbaik untuk
meneliti hubungan kausal antara tekanan darah dan kejadian demensia.
Mengingat adanya fase panjang antara adanya hipertensi dan kejadian
demensia, studi potong lintang mungkin akan melewatkan adanya
hubungan (Kennelly dkk, 2009).
II.5.1. Hipertensi Usia Pertengahan (≤69 tahun) dan Kejadian Demensia
Beberapa studi telah meneliti hubungan antara tekanan darah di
usia pertengahan (usia 40-64 tahun) dan timbulnya demensia dan AD di
kemudian hari. Penelitian Honolulu Asia Aging mempelajari hubungan ini
pada 3.703 individu Jepang-Amerika yang berusia 45-68 tahun, diteliti
secara prospektif selama 26 tahun di Honolulu. Dari total sampel, 5,9%
memiliki SBP ≤160 mmHg. Cognitive Abilities Screening Instrument (CASI)
digunakan untuk menilai status kognitif mereka. Vascular Alzheimer
Disese (VaD) dan AD didiagnosis menurut DSM-III-R. Diantara individu
yang tidak diobati untuk tekanan darah tinggi (57% dari sampel), terdapat
hubungan kuat antara hipertensi dengan AD dan VaD ketika 160/95
mmHg digunakan sebagai cut-off. Suatu hubungan lebih kuat, meskipun
yang mendapat antihipertensi, tidak terdapat hubungan antara tekanan
darah tinggi dan demensia (Launer dkk, 2000). Pemeriksaan autopsi dari
243 pasien menunjukkan bahwa SBP yang tinggi di usia pertengahan
berkaitan dengan perubahan vasculopathic, berat otak yang lebih rendah
dan jumlah plak neuritik (β-amyloid) yang lebih banyak baik di neokorteks
dan hipokampus. Diastolic Blood Pressure (DBP) dikaitkan dengan jumlah
neurofibrillary tangles (protein tau) di hipokampus. Neurofibrillary tangles
dan plak neuritik, dapat terjadi sebagaifitur neuropatologi proses penuaan,
yang berkaitan dengan AD (Petrovitch dkk, 2000). Suatu penelitian
neuroimaging menunjukkan hubungan antara hipertensi yang tidak diobati
dan atrofi hipokampus (OR 1,98; 95% CI 0,89-4,39). Meskipun atrofi
hipokampus dapat terjadi pada VaD ataupun AD, hal itu tetap dianggap
sebagai ciri radiologis AD. Studi menemukan bahwa sistolik dan/atau
diastolik pada usia pertengahan berhubungan dengan peningkatan AD
dan VaD. Sistolic Blood Pressure yang tinggi dan kadar kolesterol yang
tinggi, meningkatkan risiko AD atau VAD (Korf dkk, 2004). Adult Health
Study di Jepang merupakan satu-satunya studi yang menghubungkan
hipertensi sistolik usia pertengahan dan VaD usia lanjut (OR 1,33; 95% CI
1,14-1,56). Secara keseluruhan terdapat bukti substansial efek tekanan
darah tinggi usia pertengahan dan perkembangan akhir demensia
II.5.2. Perubahan Tekanan Darah pada Lanjut Usia dan Demensia Walaupun beberapa penelitian longitudinal telah mengetahui
masalah ini, tetapi hanya dua studi Swedia mengidentifikasi hubungan
antara hipertensi pada usia lanjut dan demensia. Pada penelitian
Kungsholmen, studi berbasis cohort pada 1.270 partisipan (usia 75 tahun)
yang diikuti selama periode 6 tahun, didapati sebanyak 339 subjek
terdiagnosa demensia berdasarkan kriteria DSM-IV, 256 subjek dengan
AD. Subjek dengan SBP yang sangat tinggi (>180mmHg) memiliki
adjusted relative risk 1,5 untuk AD (95% CI 1,0–2,3), dan 1,6 (95% CI 1,1–
2,2) untuk demensia. Diastolic Blood Pressure yang tinggi (>90mmHg)
tidak mempunyai hubungan dengan peningkatan risiko. Diastolic Blood
Pressure yang rendah (<65mmHg) berhubungan dengan adjusted relative
risk 1,7 untuk berkembangnya AD (95% CI 1,1–2,4), dan 1,5 untuk
demensia (95% CI 1,1–2,1) (Qiu dkk, 2003). Hanya satu studi
mendeskripsikan asosiasi antara peningkatan tekanan darah sistolik dan
diastolik dengan AD atau demensia. Pada 382 subjek (usia 70 tahun),
yang diikuti selama periode 15 tahun, didapati jumlah partisipan yang
mengalami demensia pada usia 79–85 tahun memiliki SBP dan DBP yang
lebih tinggi pada usia 70 tahun dibandingkan partisipan yang tidak
demensia. Diastolic Blood Pressure yang lebih tinggi pada usia 70 dan 75
tahun berhubungan dengan insiden yang lebih tinggi dengan AD dan VaD
Baru-baru ini, Adult Changes in Thought Study menilai hubungan
antara tekanan darah dan risiko AD dan demensia yang melalui spektrum
usia lebih tua dan memeriksa perubahan tekanan darah sebelum onset
demensia. Sebanyak 2.356 partisipan bukan demensia, berusia >65
tahun, dikelompokkan menjadi 3 kategori berdasarkan usia (65–74 tahun,
75–84 tahun dan >85 tahun) dan dikuti selama 8 tahun, fungsi kognitif
dinilai menggunakan Cognitive Abilities Screening Instrument (CASI).
Tekanan darah diukur pada saat pendaftaran dan setiap pemeriksaan dua
tahun sekali. Systolic Blood Pressure dibagi menjadi tiga kategori; tinggi
(>160 mmHg), menengah (140–159 mmHg), dan normal (<140 mmHg).
Begitu juga DBP, dibagi menjadi: tinggi (>90 mmHg), menengah (80–89
mmHg), dan normal (<80 mmHg). Selama follow-up, sebanyak 380 dari
2.356 partisipan didiagnosa demensia, dan 204 partisipan didiagnosa
probable AD. Setelah adjusmen untuk jenis kelamin, ras, lama pendidikan,
dan adanya allel APOE E4, kelompok usia termuda menunjukkan
hubungan yang signifikan antara SBP tinggi (>160mmHg) dan demensia
(HR 1,6; 95%CI 1,01–2,55). Hasil risiko didapati hampir sama walaupun
tidak signifikan secara statistika pada kelompok ini untuk terjadinya AD
(HR 1,38; 95% CI 0,71–2,71). Risiko yang dinilai untuk AD dan demensia
berhubungan dengan penurunan SBP seiring pertambahan usia. Didapati
adanya kecenderungan penurunan risiko AD dan demensia pada SBP
95% CI 0,25–1,95, HR untuk demensia 0,64; 95% CI 0,32–1,30) (Li dkk,
2007).
II.5.3. Hipotensi dan Risiko Demensia
Beberapa studi longitudinal juga mengidentifikasi bahwa tekanan
darah yang rendah juga merupakan faktor risiko terjadinya AD dan
demensia. Studi tersebut meneliti individu lanjut usia bukan demensia
secara kohort (>75 tahun), selama 21 tahun. Demensia didiagnosa
berdasarkan tes neuropsikologikal, pemeriksaan klinis dan neuroimaging.
Kasus ini kemudian didiskusikan pada pertemuan konsensus dan
didiagnosa berdasarkan kriteria DSM-III. Selama median follow-up 6,7
tahun, sebanyak 122 subjek mengalami demensia, dan sebanyak 65
subjek mengalami AD. Partisipan dengan DBP <70mmHg berisiko
mengalami AD dua kali lebih tinggi dibandingkan partisipan dengan DBP
>90mmHg. Risiko menjadi lebih tinggi pada individu dengan DBP yang
persisten rendah. Hubungan ini tidak dinilai untuk SBP, atau untuk
hubungan antara DBP rendah dengan VaD (Verghese dkk, 2003). Pada
Kungsholmen Project’s, studi longitudinal selama 6 tahun, dari 1.270
individu tanpa demensia, dilaporkan hasil yang serupa yaitu DBP rendah
(<65mmHg) pada saat awal berhubungan dengan adjusted relative risk
untuk AD 1,7 (95% CI 1,1–2,4), dan demensia secara umum 1,5 (95% CI
1,0–2,1). Hubungan ini terutama didapati pada subjek dengan
antihipertensi, atau individu dengan allel APOE- (Qiu dkk, 2003). Suatu
≥55 tahun), mendapati bahwa tekanan darah yang diukur secara
berkelanjutan berhubungan terbalik dengan risiko demensia (AD dan
VaD), pada pengguna obat antihipertensi (Ruitenberg dkk, 2001). Studi
berbasis populasi pada 599 individu (mean usia saat awal 82,8 tahun),
didapati SBP dan DBP rendah berhubungan dengan insiden AD yang lebih
tinggi, dimana SBP yang lebih tinggi berhubungan dengan fungsi kognitif
II.5. KERANGKA TEORI hipoksia gangguan sirkulasi & neuron otak demensia
Chengxuan dkk, 2003: tekanan gangg. pernapasan saat tidur
faktor risiko demensia
Xie dan Yung, 2012: Sleep
Disorder Breathing hipoksia
II.6. KERANGKA KONSEP
Untuk menggambarkan hubungan berbagai variabel penelitian,
maka dapat disusun kerangka pemikiran sebagai berikut:
Demensia Gangguan Tidur