• Tidak ada hasil yang ditemukan

Anemia hemolitik pada pasien kusta yang mendapat Multidrug Therapy di RSUP Haji Adam Malik Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Anemia hemolitik pada pasien kusta yang mendapat Multidrug Therapy di RSUP Haji Adam Malik Medan"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Kusta

2.1.1 Definisi

Penyakit kusta atau morbus Hansen merupakan infeksi granulomatosa kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae, terutama menyerang saraf perifer dan kulit, namun dapat juga mengenai organ lain, kecuali susunan saraf pusat.20-22

2.1.2 Epidemiologi

Pasien kusta dapat dijumpai di seluruh dunia. Sebagian besar kasus terdapat di daerah tropis dan subtropis. Penyakit kusta diduga berasal dari Afrika atau Asia Tengah yang kemudian menyebar keseluruh dunia oleh adanya perpindahan penduduk yang disebabkan karena perang, penjajahan, perdagangan antar benua dan antar pulau-pulau.23,24

(2)

Pada tahun 2015, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia melaporkan bahwa dari tahun 2011 hingga 2013 pasien kusta yang tinggi pada 14 propinsi (42,4%), sedangkan pasien kusta terendah terdapat pada 19 propinsi (57,6%) di Indonesia. Hampir seluruh propinsi di bagian timur Indonesia merupakan daerah dengan pasien kusta tertinggi.6 Adapun ke-14 propinsi tersebut ialah Aceh, Gorontalo, Sulawesi Utara, Maluku Utara, Papua Barat, Papua, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan DKI Jakarta. Propinsi Sumatera Utara dengan 170 kasus kusta baru, angka prevalensi 1,3 per 100.000 penduduk.4,6

2.1.3 Etiologi

Mycobacterium leprae merupakan kuman penyebab penyakit kusta yang pertama kali ditemukan oleh GH Armauer Hansen, seorang sarjana dari Norwegia pada tahun 1873. Kuman ini merupakan gram positif, obligat intraseluler, mikroaerofilik, bersifat tahan asam, berbentuk batang lurus dengan panjang sekitar 1 sampai 8 µm dan diameter 0,2 sampai 0,5 µm.1,2 Pada jaringan yang terinfeksi batang-batang bakteri ini sering menumpuk atau berkumpul di dalam globus. Kuman ini hidup di dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat dikultur dalam media buatan.2,3 Di bawah mikroskop elektron memperlihatkan basil dengan bentuk yang bervariasi.26

(3)

darah, dan pada binatang armadillo M. leprae bermultiplikasi di dalam hepatosit. Suhu optimum untuk pertumbuhan M. leprae adalah 30-330C.2,26,27

2.1.4 Penularan

Cara masuk M. leprae ke dalam tubuh masih belum diketahui dengan pasti, namun beberapa penelitian memperlihatkan bahwa yang tersering adalah melalui kontak kulit yang tidak utuh dan melalui mukosa nasal.3 Penularan penyakit kusta terjadi apabila kuman M. leprae yang utuh (hidup) keluar dari tubuh pasien dan masuk ke dalam tubuh orang lain. Penularan ini dapat terjadi melalui kontak yang lama dan erat dengan pasien. Seorang pasien yang sudah minum obat sesuai dengan regimen WHO tidak akan menjadi sumber penularan kepada orang lain.Penularan dan perkembangan penyakit kusta tergantung pada jumlah dan keganasan M. leprae serta daya tahan tubuh pasien. Terdapat 5-15% pasien kusta yang menularkan M. leprae, namun 95% manusia kebal terhadap kusta dan hanya 5% yang dapat ditulari. Dari sebagian kecil ini, 70% pasien dapat sembuh dan hanya 30% yang dapat menjadi sakit.2,28,29

2.1.5 Imunologi Kusta

(4)

Pertahanan terhadap patogen/agen eksternal mula-mula dipicu oleh reaksi imunitas bawaan, yang kemudian diikuti dengan reaksi imunitas yang didapat. Keduanya berfungsi melalui sel, dan juga faktor-faktor yang dapat larut. Semakin disadari bahwa reaksi imunitas bawaan dan didapat dapat terjadi secara tumpang-tindih.32

2.1.6 Gambaran klinis

Gejala klinis kusta merefleksikan patologi yang berubah tergantung pada keseimbangan antara multiplikasi basil dan respon kekebalan selularpada pejamu. Lesi kulit dapat berupa lesi tunggal atau beberapa lesi. Beberapa pasien mempunyai riwayat satu lesi yang timbul untuk beberapa tahun sebelum munculnya lesi–lesi yang lain atau lesi awal menghilang secara spontan beberapa bulan atau tahun sebelum lesi berikutnya timbul. Pada yang lainnya, penyakit menyebar secara cepat dari lesi primer. Sebagian pasien tidak memperhatikan lesinya sampai menjadi inflamasi pada waktu reaksi.33

Pada kusta tuberkuloid, penyakit terlokalisir di satu atau beberapa tempat pada kulit dan saraf periferal besar. Lesi kulit soliter dan mempunyai batas yang tegas. Saraf sebagian besar menebal karena infiltrasi selular yang hebat, tetapi tidak teratur atau fusiform, dan pola keterlibatan tidak simetris. Kerusakan saraf bisa cepat, terdapat anestesi pada distribusi saraf dan jika saraf yang terlibat mempunyai serabut saraf motorik, maka akan terjadi kelemahan dan disfungsi otot.3,33

(5)

bergabung (plak). Lesi tidak bersifat anastesi karena saraf tidak dirusak oleh infiltrasi seluler. Lesi dapat terinfiltrasi dan terbentuklah nodul.3

2.1.7 Diagnosis dan klasifikasi kusta

Diagnosis kusta dapat dibuat berdasarkan pemeriksaan klinis dan didukung oleh pemeriksaan apusan kulit. Kadang diperlukan pemeriksaan-pemeriksaan yang lain.34

Dalam penegakan diagnosis penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda kardinal (utama), yaitu:3,4

a. Adanya bercak kulit yang mati rasa

Kelainan kulit berupa bercak hipopigmentasi atau eritematosa, baik mendatar (makula) atau meninggi (plak). Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja terhadap rasa raba, rasa suhu dan rasa nyeri.

b. Ditemukan penebalan saraf tepi

Penebalan saraf dapat disertai rasa nyeri dan juga disertai gangguan fungsi saraf yang terkena, berupa gangguan fungsi sensoris (mati rasa), gangguan fungsi motoris (paresis atau paralisis), gangguan fungsi otonom (kulit kering, edema, pertumbuhan rambut yang terganggu).

c. Ditemukan kuman tahan asam (BTA)

Ini dilakukan kerokan pada jaringan kulit, dimana bahan pemeriksaan adalah apusan kulit cuping telinga dan lesi kulit pada bagian yang aktif, atau bahan dapat diperoleh dari biopsi kulit atau saraf.

(6)

tersangka kusta dan pasien perlu diamati dan diperiksa ulang setelah 3-6 bulan sampai diagnosis kusta dapat ditegakkan atau disingkirkan.3,4

Penyakit kusta dapat diklasifikasikan berdasarkan manifestasi klinis, hasil pemeriksaan bakteriologis, histopatologis dan imunologis. Terdapat banyak jenis klasifikasi penyakit kusta diantaranya adalah klasifikasi Madrid, klasifikasi Ridley – Jopling dan klasifikasi menurut WHO.3,4

a. Klasifikasi Internasional: klasifikasi Madrid (1953), yang terdiri dari dua kutub, satu kutub terdapat kusta tipe tuberkuloid (T) dan kutub lain tipe lepromatosa (L). Diantara kedua tipe ini terdapat tipe tengah yaitu tipe

borderline (B). Di samping itu ada tipe yang menjembatani disebut tipe

indeterminate borderline (I).3,4,35

b. Klasifikasi Ridley–Jopling, terdiri dari 5 kelas tipe kusta yaitu: tuberkuloid (TT), borderline tuberkuloid (BT), mid-borderline (BB), borderline

lepromatosa (BL) dan lepromatosa (LL).35 c. Klasifikasi menurut WHO

(7)

Tabel 2.1 Pedoman utama untuk menentukan klasifikasi/tipe penyakit kusta menurut WHO (dikutip dari kepustakaan no. 4)

Tanda utama PB MB

Bercak kusta Jumlah 1 sampai

dengan 5

Jumlah > 5

Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi (gangguan fungsi bisa berupa kurang/mati rasa atau kelemahan otot yang dipersarafi oleh saraf yang bersangkutan)

Hanya satu saraf Lebih dari satu saraf

Sediaan apusan BTA negatif BTA positif

2.1.8 Pengobatan kusta

Indonesia sejak tahun 1982 sudah mulai menggunakan obat kombinasi kusta yaitu MDT dengan tujuan mencegah resistensi khususnya DDS (Diamino difenil sulfon), mengobati resistensi yang telah ada, memperpendek masa pengobatan serta memutuskan mata rantai penularan menjadi lebih cepat.35,36 MDT merupakan kombinasi dua atau lebih obat anti kusta, yang salah satunya harus terdiri atas rifampisin sebagai anti kusta yang sifatnya bakterisid kuat dibandingkan obat anti kusta lain yang bersifat bakteriostatik.4

Rejimen pengobatan berdasarkan rekomendasi studi grup WHO di Geneva (1981), pengobatan kombinasi diberikan untuk semua pasien penyakit kusta, baik PB maupun MB.4,36,37

(8)

b. Rejimen dengan lesi kulit 2–5 buah, terdiri atas rifampisin 600 mg sebulan sekali, dibawah pengawasan, ditambah dapson 100 mg/hari (1–2 mg/kg berat badan) swakelola, selama 6 bulan.

c. Rejimen MB dengan lesi kulit lebih dari 5 buah, terdiri atas kombinasi rifampisin 600 mg sebulan sekali dibawah pengawasan, dapson 100 mg/hari swakelola, ditambah klofazimin 300 mg sebulan sekali diawasi dan 50 mg/hari swakelola. Lama pengobatan 1 tahun.

Tabel 2.2 Obat dan dosis rejimen MDT – PB (dikutip dari kepustakaan no. 4)

Jenis obat < 5 tahun 5-9

Tabel 2.3 Obat dan dosis rejimen MDT – MB (dikutip dari kepustakaan no. 4)

(9)

2.2 Dapson

Dapson memiliki struktur sulfon yang sederhana, dengan karakteristik sebuah atom sulfur yang berikatan dengan dua atom karbon. Walaupun dapson diklasifikasikan sebagai golongan sulfonamid, reaksi silang terhadap golongan ini hanya dijumpai pada 7%-22% pasien yang alergi dengan sulfa. Selain bertindak sebagai antibiotik, dapson juga berperan sebagai antiinflamasi.8

Dapson merupakan komponen yang larut di dalam lemak, dan akan berpenetrasi dengan baik ke dalam sel dan jaringan termasuk kulit, hati, ginjal dan eritrosit.8,9,38 Dapson yang dikonsumsi secara oral akan diabsorbsi segera pada saluran gastrointestinal dengan bioavailabilitas lebih dari 86%. Absorbsi obat berkurang pada penyakit kusta yang berat. Pada individu normal, setelah mengkonsumsi 100 mg dapson, konsentrasi dapson dalam serum adalah 1,10-2,33 mg/l dalam 0,5 sampai 4 jam. Waktu paruh obat ini berkisar antara 12-30 jam. 24 jam setelah mengkonsumsi 100 mg dapson secara oral konsentrasi plasma berkisar antara 0,4-1,2 mg/l. Kadar terapeutik konsentrasi serum dapson adalah 0,5-5 mg/l untuk kusta. Konsentrasi obat bersifat stabil setelah 8-10 hari setelah terapi.11,38

Dapson lebih efektif dari golongan sulfonamid yang lain, kemungkinan berhubungan dengan absorbsi yang lebih baik pada usus dan penetrasi yang lebih baik ke dalam sel.8,38 Dapson dapat berpenetrasi melewati plasenta dan air susu ibu namun tidak ditemukan efek dapson yang membahayakan pada uterus.8,10

(10)

N-hidroksilasi. Asetilasi merupakan asetilator cepat dalam metabolisme dapson.8,10 Deasetilasi timbul secara spontan dan memiliki keseimbangan stabil antara monoasetil dapson dan diasetil dapson yang dapat tercapai dalam beberapa jam setelah pemberian oral. Hal ini tampak bahwa tingkat asetilasi tidak berhubungan dengan waktu paruh obat dalam tubuh dan tidak mempengaruhi efikasi obat.9 Jalur kedua dalam metabolisme dapson adalah N-hidroksilasi. N-hidroksilasi dapson terdapat pada hati, dimediasi oleh berbagai enzim sitokrom P-450 termasuk CYP2E1, CYP2C9, dan CYP3A4.8,10,38 Metabolisme dapson pada sitokrom P-450 menimbulkan berbagai efek samping termasuk methemoglobinemia, hemolisis dan agranulositosis, namun bagaimana mekanisme pasti hidroksilamin dapat menimbulkan efek samping ini belum sepenuhnya dimengerti.8,10,11

Sekitar 85% dapson diekskresikan melalui urin dan 10% diekskresikan melalui kandung empedu. Setelah pemberian dapson dosis tunggal sekitar 50% obat ini akan diekskresikan dalam 24 jam pertama. Ekskresi dapson melalui urin dapat diturunkan dengan pemberian probenesid dan meningkat jika diberikan bersamaan dengan rifampisin.8,38

(11)

stres oksidatif menurun seiring waktu. Kerusakan oksidatif menyebabkan perubahan struktural pada membran sel darah merah. Sel ini kemudian di kenal sebagai “senescent” oleh tubuh dan menghilang melalui sirkulasi dari limpa (hemolisis ekstravaskular).10

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa intergritas lipid peroksidasi maupun fosfatidilserin ditemukan berperan. Lipid peroksidase diduga mempengaruhi lipid dan fosfolipid sel darah merah pada pasien yang mendapat terapi dapson.39 Sebagai tambahan sel darah merah pada pasien yang mendapat terapi dapson menunjukkan adanya perubahan membran sulfhidril yang meningkatkan aktifitas heksose monofosfat dan meningkatkan hidrogen peroksida dalam menginduksi lisis sel.Hal-hal yang terjadi diatas menyebabkan penurunan kadar hemoglobin yang disebabkan dapson.39,41

Mekanisme kerja dapson sebagai antibiotik hampir sama dengan sulfonamid yaitu dengan menghambat sintesis asam dihidrofolat melalui kompetisi dengan asam para-aminobenzoik. Oleh karena itu dapson dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang bergantung dari sintesis asam folat endogen.8 Selain itu efek dapson sebagai anti inflamasi bergantung dari migrasi kemotaktik neutrofil dan β2 integrin. Dapson dapat menghalangi aktivasi

(12)

Studi in vitro menunjukkan bahwa dapson menghambat MPO neutrofil yang memediasi iodinisasi dan sitotoksisitas pada konsentrasi yang sebanding dengan dosis terapeutik kadar serum. Dapson diketahui berikatan dengan MPO dan merubahnya dalam bentuk inaktif, dengan cara modifikasi enzim ini. Dapson memiliki efek proteksi sel dari kerusakan yang disebabkan oleh eosinofil dan neutrofil dengan cara menghambat efek toksik dan radikal bebas.8,10,11 Dapson juga dapat menghambat leukotrin B4 (LTB4), menghambat produksi 5-lipooksigenase dan sel mast, enzim lisosom, serta mengurangi pelepasan prostaglandin yang semuanya memiliki peran dalam proses inflamasi.8

2.3 Anemia pada kusta

2.3.1 Definisi dan klasifikasi anemia

Fungsi primer dari sel darah merah adalah untuk membawa oksigen ke jaringan.42 Anemia merupakan suatu kondisi dimana konsentrasi hemoglobin di sirkulasi darah lebih rendah dari normal, sehingga menurunkan kapasitas oksigen dan mengakibatkan gangguan penyebaran oksigen ke jaringan sehingga terjadi hipoksia jaringan.42,43

Menurut WHO, definisi anemia berdasarkan umur, jenis kelamin dan status kehamilan adalah sebagai berikut:43,44

Tabel 2.4 Definisi anemia menurut WHO (dikutip dari kepustakaan no. 44)

Keterangan Anemia ringan (g/dl)

Anemia sedang (g/dl)

Anemia berat (g/dl) Anak 6 bulan – 5 tahun 10-10,9 7-9 < 7 Anak 5 – 11 tahun 11-11,4 8-10,9 < 8

Laki-laki dewasa 11-12,9 8-10,9 < 8

Perempuan 11-11,9 8-10,9 < 8

(13)

Klasifikasi anemia menurut morfologinya yaitu makro atau mikro yang menunjukkan ukuran sel darah merah dan kromik untuk menunjukkan warnanya.45 Berdasarkan ukuran sel darah merah dan keluasan distribusi, menjadi anemia normositer (MCV 80–100 fL), anemia mikrositer (MCV < 80 µm3 [80 fL]), dan anemia makrositer (MCV > 100 µm3 [100 fL]).4

a. Anemia normositer

Pada anemia normositer, kelainan disebabkan karena sel eritrosit yang merupakan “kendaraan” hemoglobin, kurang atau tidak cukup jumlahnya.

Penyebabnya bisa pada proses pembuatan sel eritrosit terganggu, kehilangan sel darah merah dalam jumlah besar atau pemecahan sel yang tinggi. Karena kadar hemoglobin pada dasarnya cukup untuk setiap sel eritrosit maka volumenya masih normal (MCV 80–100 fL) dan MCHC juga normal (33-35 g%).14

(14)

b. Anemia mikrositer

Anemia mikrositer terjadi karena gangguan sintesis atau defek hemoglobin sehingga menyebabkan kadar hemoglobin yang terikat pada eritrosit menjadi rendah. Karena kadar hemoglobin rendah menyebabkan ukuran eritrosit lebih kecil (MCV kurang dari < 80 fL) dan terjadi penurunan MCHC, dan ini merupakan bentuk kompensasi sel agar dapat lebih mudah berikatan dengan oksigen disertai kadar hemoglobin terbatas.14 Anemia mikrositer terjadi karena anemia defisiensi besi, keadaan sideroblastik, dan kehilangan darah kronis, atau gangguan sintesis globin, seperti pada thalassemia.14,45

c. Anemia makrositer

Anemia makrositer (MCV > 100 µm3 [100 fL]) jarang terjadi dibandingkan anemia normositer dan mikrositer. Anemia ini disebabkan karena proses pematangan inti sel eritroblas yang terganggu akibat kekurangan vitamin B12 dan folat yang merupakan zat yang dibutuhkan pada sintesis DNA. Produk yang dihasilkan akibat gangguan ini berupa eritrosit makrositik (MCV > 100 fL) yang mudah pecah. Yang termasuk dalam kategori ini adalah anemia pernisiosa, yang disebabkan karena malabsorbsi vitamin B-12.14

2.3.2 Anemia hemolitik pada kusta

(15)

siklus sel darah merah menjadi pendek dan sumsum tulang tidak dapat mengkompensasi hal ini. Ini terjadi bila umur sel darah merah berkurang dari 120 hari.12

Gambar 2.1 Gambaran mikroskopis hapusan darah (a) normal (b) anemia hemolitik (dikutip dari kepustakaan no.7)

Gejala yang dapat dijumpai pada anemia hemolitik berupa rasa lelah, lemah, sesak nafas, jaundice, pembesaran limfa, dan/atau gangguan pada abdomen. Gambaran klinis anemia hemolitik termasuk kulit berwarna pucat,

jaundice, dan splenomegali ringan.14

Evaluasi untuk anemia hemolitik selama pengobatan dapson jangka panjang diperlukan, yaitu dimulai dari perminggu hingga perbulan selama 3 bulan pertama pengobatan, atau bisa juga setiap 3-4 bulan selama pengobatan untuk melihat hemolisis, dan juga efek samping lainnya.10 Untuk memastikan bahwa dapson menyebabkan anemia hemolitik dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium darah lengkap (kadar Hb, eritrosit, hematokrit, MCV, MCH, MCHC, trombosit dan leukosit) dan hitung retikulosit. Namun, yang berperan dalam anemia hemolitik secara langsung menunjukkan adanya penurunan kadar Hb dan dijumpainya peningkatan retikulosit. Data hasil laboratorium yang lain hanya menjadi data pendukung dalam penelitian ini.45,46

(16)

Untuk menilai gangguan pembentukan sel darah merah, paling efektif dilakukan hitung retikulosit.47 Retikulosit merupakan sel darah merah yang baru saja dilepaskan oleh sumsum tulang.Kadar normal berkisar antara 0,5-1%. Jika terjadi anemia hemolitik maka produksi sel darah merah meningkat sekitar dua hingga tiga kali lipat dari normal.48

Pengobatan yang diberikan jika terjadi efek samping adalah menghentikan obat sementara yaitu dapson dan melihat pasien kembali dalam waktu singkat. Apabila efek samping tidak dapat teratasi maka dapson harus dihentikan.14 Antimikroba lain yang dapat diberikan sebagai pengganti MDT adalah klaritromisin 500 mg/hari, ofloksasin 400 mg/hari dan minosiklin 100 mg/hari digunakan sebagai terapi pengganti dapson atau klofazimin.1

(17)

2.4 Kerangka Teori

Gambar 2.2 Diagram kerangka teori penelitian Kusta

Rifampisin, Dapson Rifampisin, Dapson, Klofazimin

Bersifat stabil dan tidak mempengaruhi efikasi obat

Produksi sel darah merah terganggu

Sel darah merah tidak bertahan dalam sirkulasi

Kompensasi tubuh dengan menghasilkan sel darah merah baru

Umur sel darah merah pendek < 120 hari

(18)

2.5 Kerangka Konsep

Gambar

Tabel 2.1 Pedoman utama untuk menentukan klasifikasi/tipe penyakit kusta
Tabel 2.2 Obat dan dosis rejimen MDT – PB (dikutip dari kepustakaan no. 4)
Tabel 2.4 Definisi anemia menurut WHO (dikutip dari kepustakaan no. 44)
Gambar 2.1 Gambaran mikroskopis hapusan darah (a) normal (b) anemia
+3

Referensi

Dokumen terkait

Rasio NPF adalah rasio yang digunakan untuk mengukur resiko kegagalan dari pembiayaan, dimana NPF adalah rasio antara pembiayaan bermasalah (yang masuk dalam

Kerusakan infrastruktur yang berada di Sungai Senowo dan Pabelan bagian hilir adalah dampak dari banjir lahar dingin yang disebabkan curah hujan yang tinggi di

Independen pada penelitian ini adalah LnTA ( Size Bank ), KreditTA (Kredit dalam Total Aset), DPKTA (Dana Pihak Ketiga dalam Total Aset), TETA (Total Ekuitas dalam Total Aset), IEPO

Cooperative Learning merupakan suatu model pembelajaran yang membantu mahasiswa dalam mengembangkan pemahaman dan sikapnya dengan mengaplikasikan suatu pemb- elajaran untuk

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, maka untuk mendalami mengenai metode pengajaran dalam rangka kerygma dan didache di Sekolah Minggu, penulis menggunakan tiga teori

Pada pemeriksaan ini dilakukan perhitungan terhadap semua kuman yang tumbuh dari sejumlah contoh air yang diperiksa. Bila koloni kuman yang tumbuh  begitu banyak,

Jadi, secara keseluruhan tujuan dari public relations adalah untuk menciptakan citra baik perusahaan sehingga dapat menghasilkan kesetiaan publik terhadap produk yang ditawarkan oleh

Jangan bawa bola ke belakang kepala, karena dalam posisi tersebut susah untuk melakukan operan dengan cepat, dan mudah di curi oleh lawan, kaki melangkah ke depan sasaran, kumpulkan