BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG KONSUMEN DAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN
A. Pengertian Konsumen dan Pelaku Usaha
1. Pengertian Konsumen
Kata konsumen berasal dari bahasa Inggris yaitu consumer. Dalam bahasa
Belanda, istilah konsumen disebut dengan consument. Konsumen secara harfiah
adalah “orang yang memerlukan, membelanjakan atau menggunakan; pemakai
atau pembutuh.”18 Istilah lain yang dekat dengan konsumen adalah “pembeli”
(Inggris: buyer, Belanda: koper). Istilah koper ini dapat dijumpai dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Pengertian konsumen secara hukum tidak hanya
terbatas kepada pembeli. Bahkan,jika disimak secara cermat pengertian konsumen
sebagaimana di dalam Pasal 1 angka 2 UUPK, di dalamnya tidak ada disebut kata
pembeli.19
Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perlindungan
konsumen di Indonesia, menjelaskan istilah “konsumen” sebagai definisi yuridis
formal ditemukan pada pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut dengan UUPK). UUPK
menyatakan “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang
18
N.H.T. Siahaan, Hukum Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, Cet. ke-1, (Bogor: Grafika Mardi Yuana, 2005), hal. 23.
19
lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”20
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (diberlakukan 5 Maret 2000).
Undang-undang ini memuat suatu definisi tentang konsumen yaitu “Setiap
pemakai dan atau pengguna barang dan atau jasa, baik untuk kepentingan diri
sendiri maupun untuk kepentingan orang lain.”
Kamus
Umum Bahasa Indonesia mendefinisikan konsumen sebagai lawan produsen,
yakni pemakai barang-barang hasil industri, bahan makanan dan sebagainya.
21
Pengertian konsumen jelas lebih
luas daripada pembeli. Luasnya pengertian konsumen dilukiskan secara sederhana
oleh Mantan Presiden Amerika Serikat, John F. Kennedy yang mengatakan
bahwa, “Consumers by definition include us all.”22
Konsumen dalam arti luas mencakup pada kriteria itu, sedangkan
konsumen dalam arti sempit hanya mengacu pada konsumen pemakai terakhir. Di
Perancis, berdasarkan doktrin dengan yurisprudensi yang berkembang, konsumen
diartikan sebagai, “The person who obtains good or services for personal or Pakar masalah konsumen di
Belanda, Hondius, menyimpulkan para ahli hukum pada umumnya sepakat
mengartikan konsumen sebagai pemakai produksi terakhir dari benda dan jasa
(uitendelijke gebruiker van goederen en diensten).Dengan rumusan itu Hondius
ingin membedakan antara konsumen bukan pemakai terakhir (konsumen antara)
dengan konsumen pemakai terakhir.
20
Zulham, S.Hi, M.Hum,Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2013), hal. 15.
21
Lihat lebih lanjut pada Pasal 1 huruf o Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
22
family purposes.” Sedangkan di Spanyol pengertian konsumen didefinisikan
secara lebih luas, yaitu “Any individual or company who is the ultimate buyer or
user of personal or real property, products, services, or activities, regardless oh
whether the seller, supplier, or producer is a public or private entity, acting alone
or collectively.”Pengertian konsumen dapat dibagi sebanyak 3 (tiga) macam yakni
:
1. Konsumen secara umum adalah setiap orang yang mendapatkan barang
atau jasa digunakan untuk tujuan tertentu;
2. Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/jasa
untuk digunakan dengan tujuan membuat barang/jasa lain atau untuk
diperdagangkan (tujuan komersial);
3. Konsumen akhir adalah setiap orang alami yang mendapat dan
menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan
hidupnya pribadi, keluarga dan atau rumah tangga dan tidak untuk
diperdagangkan kembali (non komersial).23
Terhadap barang dan/atau jasa yang digunakan, tergantung pada konsumen
mana yang dimaksudkan. Bagi konsumen antara barang dan jasa itu adalah barang
atau jasa kapital, berupa bahan baku, bahan penolong atau komponen dari produk
lain yang akan diproduksinya (produsen). Jika dia distributor atau pedagang,
berupa barang setengah jadi atau barang jadi yang menjadi dagangan utamanya.
Konsumen antara ini mendapatkan barang atau jasa itu di pasar industri atau pasar
produsen. Sedangkan bagi konsumen akhir, barang dan/atau jasa itu adalah barang
23
atau jasa konsumen yaitu barang atau jasa yang biasanya digunakan untuk
memenuhi kebutuhan pribadi, keluarga atau rumah tangganya (produk konsumen).
Barang atau jasa ini pada umumnya diperoleh di pasar-pasar, dan terdiri
dari barang atau jasa yang umumnya digunakan di dalam rumah tangga
masyarakat.24 Unsur tersebut untuk membuat barang atau jasa lain dan atau
diperdagangkan kembali merupakan pembeda antara lain konsumen antara
(produk kapital) dan konsumen akhir (produk konsumen), yang penggunaannya
bagi konsumen akhir adalah untuk diri sendiri, keluarga atau rumah tangganya,
unsur inilah yang pada dasarnya merupakan pembeda dari kepentingan
masing-masing konsumen yaitu, penggunaan sesuatu produk untuk keperluan atau tujuan
tertentu yang menjadi tolok ukur dalam menentukan perlindungan yang
diperlukan.25
Konsumen diartikan tidak hanya pada individu (orang), tetapi juga suatu
perusahaan yang menjadi pembeli atau pemakai terakhir. Adapun yang menarik
disini, konsumen tidak harus terikat dalam hubungan jual-beli sehingga dengan
sendirinya konsumen tidak identik dengan pembeli. Rumusan-rumusan berbagai
ketentuan itu menunjukkan sangat beragamnya pengertian konsumen,
masing-masing ketentuan memiliki kelebihan dan kekurangan. Tampaknya perlakuan
hukum yang lebih bersifar mengatur dengan diimbuhi perlindungan tersebut,
merupakan pertimbangan tentang perlunya pembedaan dari konsumen itu. Pada
umumnya, diperoleh di pasar-pasar konsumen, dan terdiri dari barang atau jasa
24
Ibid. 25
yang umumnya digunakan di dalam rumah tangga masyarakat.26
1. Setiap orang
Untuk itu dengan
mempelajari perbandingan dari rumusan konsumen, kita perlu kembali melihat
pengertian konsumen dalam pasal 1 angka 2 UUPK. Konsumen adalah :
Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang berstatus
sebagai pemakai barang dan/atau jasa. Istilah “orang” sebetulnya
menimbulkan keraguan, apakah hanya, orang individual yang lazim
disebut natuurlijke person atau termasuk juga badan hukum
(rechtspersoon). Hal ini berbeda dengan pengertian yang diberikan untuk
“pelaku usaha” dalam pasal 1 angka 3 UUPK yang secara eksplisit
membedakan kedua pengertian persoon diatas, dengan menyebutkan
kata-kata : “orang perseorangan atau badan usaha.” Tentu yang paling tepat
tidak membatasi pengertian konsumen itu sebatas pada orang
perseorangan. Namun, konsumen harus mencakup juga badan usaha,
dengan makna lebih luas daripada badan hukum. UUPK tampaknya
berusaha menghindari penggunaan kata “produsen” sebagai lawan dari
kata “konsumen.” untuk itu, digunakan kata “pelaku usaha” yang
bermakna lebih luas. Istilah terakhir ini dipilih untuk memberi arti
sekaligus bagi kreditur (penyedia dana), produsen, penyalur, penjual dan
terminologi lain yang lazim diberikan. Bahkan, untuk kasus-kasus spesifik
seperti dalam kasus periklanan, pelaku usaha ini juga mencakup
perusahaan media, tempat iklan itu ditayangkan.
26
2. Pemakai
Sesuai dengan bunyi penjelasan pasal 1 angka 2UUPK “pemakai”
menekankan, konsumen adalah konsumen akhir (ultimate
consumer).Istilah pemakai dalam hal ini tepat digunakan dalam rumusan
ketentuan tersebut, sekaligus menunjukkan, barang dan/atau jasa yang
dipakai tidak serta merta hasil dari transaksi jual beli. Artinya, yang
diartikan sebagai konsumen tidak selalu harus memberikan prestasinya
dengan cara membayar uang untuk memperoleh barang dan/atau jasa itu.
Dengan kata lain, dasar hubungan hukum antara konsumen dan pelaku
usaha tidak perlu harus kontraktual (the privity of contract). Dapat dilihat
bahwa konsumen tidak hanya sekedar sebagai pembeli saja tetapi semua
orang (perseorangan atau badan usaha) yang mengkonsumsi jasa dan/atau
barang. Keterkaitan disini adalah dimana pelaku usaha dan konsumen
tidak hanya sebatas pada transaksi jual beli saja melainkan di saat
konsumen tersebut ikut dalam menikmati manfaatdari barang atau jasa
yang diberikan oleh si pelaku usaha, sehingga pada saat suatu nanti apabila
dia merasa dirugikan maka dapat mengajukan klaim atas ketidaknyamanan
terhadap barang atau jasa yang didapatnya dari pelaku usaha tersebut.
Dapat disimpulkan bahwa konsumen berdasarkan directive adalah pribadi
yang menderita kerugian (jiwa, kesehatan maupun benda) akibat
pemakaian produk yang cacat untuk keperluan pribadinya. Jadi, konsumen
yang dapat memperoleh kompensasi atas kerugian yang dideritanya adalah
3. Barang dan/atau Jasa
Berkaitan dengan istilah barang dan/atau jasa, sebagai pengganti
terminologi tersebut digunakan kata produk. Saat ini “produk” sudah
berkonotasi barang atau jasa, semula kata produk hanya mengacu pada
pengertian barang. Dalam dunia perbankan, misalnya istilah produk
dipakai juga untuk menamakan jenis-jenis layanan perbankan. UUPK
mengartikan barang sebagai setiap benda, baik berwujud ataupun tidak
berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik dapat dihabiskan
maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan,
dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak menjelaskan perbedaan
istilah-istilah “dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan.” Sementara itu, jasa
diartikan sebagai setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi
yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.
pengertian “disediakan bagi masyarakat” menunjukkan jasa itu harus
ditawarkan kepada masyarakat. Artinya, harus lebih dari satu orang. Jika
demikian halnya, layanan yang bersifat khusus (tertutup) dari individual,
tidak tercakup dalam pengertian tersebut. Kata-kata “ditawarkan kepada
masyarakat” itu harus ditafsirkan sebagai bagian dari suatu transaksi
konsumen. Artinya, seseorang yang karena kebutuhan mendadak lalu
menjual rumahnya kepada orang lain, tidak dapat dikatakan perbuatannya
itu sebagai transaksi konsumen, si pembeli tidak dapat dikategorikan
4. Yang Tersedia dalam Masyarakat
Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus
tersedia di pasaran (lihat juga bunyi pasal 9 ayat (1) huruf e UUPK).
Dalam perdagangan yang makin kompleks dewasa ini, syarat itu tidak
mutlak lagi dituntut oleh masyarakat konsumen. Misalnya, perusahaan
pengembangan (developer) perusahaan sudah biasa mengadakan transaksi
terlebih dahulu sebelum bangunannya jadi. Bahkan, untuk jenis-jenis
transaksi konsumen tertentu, seperti futures trading,keberadaan barang
yang diperjualbelikan bukan sesuatu yang diutamakan.
5. Bagi Kepentingan Diri Sendiri, Keluarga, Orang Lain, Makhluk Hidup
Lain
Transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri,
keluarga, orang lain dan makhluk hidup lain. Unsur yang diletakkan
dalam definisi itu mencoba untuk memperluas pengertian kepentingan.
Kepentingan ini tidak sekedar ditujukan untuk diri sendiri dan keluarga,
tetapi juga barang dan/atau jasa itu untuk diperuntukkan bagi orang lain
(diluar diri sendiri dan keluarganya), bahkan untuk makhluk hidup lain,
seperti hewan dan tumbuhan. Dari sisi teori kepentingan, setiap tindakan
manusia adalah bagian dari kepentingannya. Oleh sebab itu,
penguraian unsur itu tidak menambah makna apa-apa karena pada
dasarnya tindakan memakai suatu barang dan/atau jasa (terlepas
ditujukan untuk siapa dan makhluk hidup lain), juga tidak terlepas dari
peliharaannya, misalnya berkaitan dengan kepentingan pribadi orang
itu untuk memiliki kucing yang sehat.
6. Barang dan/atau Jasa itu tidak untuk Diperdagangkan
Pengertian konsumen dalam UUPK ini dipertegas yakni hanya
konsumen akhir. Batasan itu sudah biasa dipakai dalam peraturan
perlindungan konsumen berbagai negara. Secara teoritis hal demikian
terasa cukup baik untuk mempersempit ruang lingkup pengertian
konsumen walaupun dalam kenyataannya, sulit menetapkan
batas-batas seperti itu.27
Berkaitan dengan itu maka konsumen dalam mendapatkan barang atau jasa
yang diinginkannya tersebut berasal dari pelaku usaha, istilah pelaku usaha
umumnya lebih dikenal dengan sebutan pengusaha. Pengusaha adalah “setiap
orang atau badan usaha yang menjalankan usaha memproduksi, menawarkan,
menyampaikan, atau mendistribusikan suatu produk kepada masyarakat luas
selaku konsumen”, pengusaha memilki arti luas, tidak semata-mata membicarakan
pelaku usaha, tetapi juga pedagang perantara atau pengusaha.28
Berdasarkan pasal 1 angka 3 UUPK disebutkan bahwa pelaku usaha yaitu:
“Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Republik 2. Pengertian dari Pelaku Usaha
27
Shidarta,Op.Cit.,hal. 16-27.
28
Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.”Dalam
penjelasan undang-undang yang termasuk dalam pelaku usaha adalah perusahaan,
korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor dan
lain-lain.29
Hak merupakan sesuatu yang patut diterima setelah melakukan suatu hal
atau kewajiban tertentu, dimana apabila setelah melakukan kewajiban namun hak
tidak diberikan, maka boleh dituntut secara paksa agar hak tersebut diberikan.
Sebelum memperoleh hak, ada suatu perbuatan yang harus dilakukan terlebih
dahulu, yang dinamakan dengan kewajiban. Kewajiban merupakan sesuatu yang
harus atau wajib dilaksanakan dengan tujuan untuk memperoleh hak. Sebagai
pemakai barang dan/atau jasa, konsumen memiliki sejumlah hak dan kewajiban.
Pengetahuan tentang hak-hak konsumen sangat penting agar masyarakat bisa
bertindak sebagai konsumen yang kritis dan mandiri. Tujuannya apabila terjadi
suatu tindakan yang tidak adil terhadapnya, maka secara spontan ia akan dapat
menyadari hal tersebut lalu segera mengambil tindakan untuk memperjuangkan Mengenai pengertian pelaku usaha dalam pasal 1 angka 3 UUPK cukup luas
karena meliputi grosir, leveransir, dan pengecer. Sebagai penyelenggara kegiatan
usaha, pelaku usaha adalah pihak yang bertanggung jawab atas akibat-akibat
negatif dari akibat kerugian yang ditimbulkan oleh usahanya terhadap pihak ketiga
yaitu konsumen.
B. Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha
29
hak-haknya. Dengan kata lain, ia tidak hanya akan berdiam diri ketika menyadari
bahwa hak-haknya telah dilanggar oleh pelaku usaha.30
a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barangdan/atau jasa;
1. Hak dan Kewajiban dari Konsumen
Sebagai pemakai barang dan/atau jasa, konsumen memiliki sejumlah hak
dan kewajiban. Pengetahuan tentang hak-hak konsumen sangat penting agar
masyarakat bisa bertindak sebagai konsumen yang kritis dan mandiri. Tujuannya
apabila terjadi suatu tindakan yang tidak adil terhadapnya, maka secara spontan ia
akan dapat menyadari hal tersebut lalu segera mengambil tindakan untuk
memperjuangkan hak-haknya. Dengan kata lain, ia tidak hanya akan berdiam diri
ketika menyadari bahwa hak-haknya telah dilanggar oleh pelaku usaha. Instrumen
peraturan nasional yang mengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen ialah
UUPK. Adapun hak-hak konsumen diatur UUPK pasal 4, sebagai berikut:
b. hak untuk memilih dan mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
h. hak untuk mendapatkan kompensai, ganti rugi, dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
30
Hak-hak konsumen sebagaimana disebutkan dalam pasal 4 UUPK lebih
luas daripada hak dasar konsumen sebagaimana pertama kali dikemukakan oleh
Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy di depan kongres pada tanggal 15
Maret 1962,31
Selain hak-hak yang disebutkan itu,ada juga hak untuk di lindungi dan akibat
negatif persaingan curang. yaitu terdiri atas :
1. hak memperoleh keamanan;
2. hak memilih;
3. hak mendapat informasi;
4. hak untuk didengar;
32
Konsumen berhak mendapatkan keamanan dan barang dan/atau jasa yang
ditawarkan kepadanya. Produk barang dan jasa itu tidak boleh
membahayakan jika dikonsumsi sehingga konsumen tidak dirugikan baik
secara jasmani dan rohani.
Akhirnya, jika semua hak-hak yang disebutkan itu
disusun kembali secara sistematis akan diperoleh urutan sebagai berikut:
a. Hak konsumen mendapatkan keamanan.
33
Setiap produk yang diperkenalkan kepada konsumen harus disertai
informasi yang benar. Hak atas informasi yang jelas dan benar
dimaksudkan agar konsumen dapat memperoleh gambaran yang benar b. Hak untuk mendapatkan informasi yang benar
31
Mariam Darus Badrulzaman, Pembentukan Hukum Nasional dan Permasalahannya, (Bandung: Alumni, 1981), hal. 47.
32
Pencantuman hak ini pertama kali diperkenalkan Shidarta dalam : “Pengetahuan tentang Aspek Hukum Perlindungan Konsumen dan Status Media Cetak serta Pelanggaran Hak-Hak Konsumen dalam Iklan” (Tesis, Program Studi Ilmu Hukum, Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial, Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1994).
33
tentang produk barang dan jasa, informasi ini dapat disampaikan dengan
berbagai cara, seperti secara lisan kepada konsumen melalui iklan di
berbagai media atau mencantumkan dalam kemasan produk (barang).34
Hak untuk memilih dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada
konsumen untuk memilih produk tertentu sesuai dengan keinginan dan
kebutuhannya. Ia tidak boleh mendapatkan tekanan dari pihak luar
sehingga ia tidak lagi bebas untuk membeli atau tidak membeli. Hak
memilih yang dimiliki oleh konsumen ini hanya ada jika ada alternatif
pilihan dari produk jenis tertentu, karena jika suatu produk dikuasai secara
monopoli oleh suatu produsen atau dengan kata lain tidak ada pilihan lain
(baik barang dan jasa), maka dengan sendirinya hak untuk memilih ini
tidak akan berfungsi. c. Hak untuk memilih
35
Hak untuk di dengar ini merupakan hak dari konsumen agar tidak
dirugikan lebih lanjut, atau hak untuk menghindarkan diri dari kerugian.
Ini disebabkan karena informasi yang didapat oleh konsumen dinilai
kurang cukup memuaskan. Untuk itu, konsumen berhak mengajukan
permintaan informasi lebih lanjut. d. Hak untuk didengar
36
34
Ibid.
35
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Cet. ke-2, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 42-43.
36
e. Hak untuk memperoleh ganti rugi
Hak ini merupakan hak yang dimana apabila konsumen merasa dirugikan
akibat kuantitas dan kualitas barang dan/atau jasa yang dikonsumsinya
tidak sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya, ia berhak mendapatkan
ganti kerugian yang pantas. Jenis dan jumlah ganti kerugian itu tentu saja
harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau atas kesepakatan
masing-masing pihak.37
Mengenai konsumen atas lingkungan yang baik dan sehat merupakan hak
yang diterima sebagai salah satu hak dasar konsumen oleh berbagai
organisasi konsumen di dunia. Lingkungan hidup yang baik dan sehat
berarti sangat luas, dan setiap makhluk hidup adalah konsumen atas
lingkungan hidupnya. Lingkungan hidup meliputi lingkungan hidup dalam f. Hak untuk memperoleh pendidikan
Masalah perlindungan konsumen di Indonesia termasuk masalah yang
baru. Oleh karena itu, wajar bila masih banyak konsumen yang belum
menyadari haknya. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen ini
dimaksudkan agar konsumen memperoleh pengetahuan maupun
keterampilan yang diperlukan agar terhindar dari kerugian akibat
penggunaan produk, karena dengan pendidikan konsumen tersebut,
konsumen akan dapat menjadi lebih kritis dan teliti dalam memilih suatu
produk yang dibutuhkan.
g. Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat
37
arti fisik dan lingkungan nonfisik. Diatur dalam pasal 5 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup.38
Hak ini dimaksudkan untuk melindungi konsumen dari kerugian akibat
permainan harga secara tidak wajar. Karena dalam keadaan tertentu
konsumen dapat saja membayar harga suatu barang yang jauh lebih tinggi
daripada kegunaan atau kualitas dan kuantitas barang dan/atau jasa yang
diperolehnya. Penegakan hak konsumen ini didukung pula oleh ketentuan
dalam pasal 5 ayat (1) dan pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. h. Hak untuk mendapatkan barang sesuai dengan nilai tukar yang
diberikannya
39
Hak untuk mendapatkan ganti kerugian harus ditempatkan lebih tinggi
daripada hak pelaku usaha untuk membuat klausula ekonerasi secara
sepihak. Jika permintaan konsumen dirasakan tidak mendapat tanggapan
yang layak dari pihak terkait dalam hubungan hukum dengannya, maka
konsumen berhak mendapatkan penyelesaian hukum, termasuk advokasi.
Dengan kata lain konsumen berhak menuntut pertanggungjawaban hukum
dari pihak yang dipandang merugikan karena mengkonsumsi produk itu. i. Hak untuk mendapatkan penyelesaian hukum
40
Bagaimanapun ragamnya rumusan hak-hak konsumen yang telah
dikemukakan, namun secara garis besar dapat dibagi dalam tiga hak yang
menjadi prinsip dasar, yaitu :
38
Ibid., hal. 45.
39 Ibid. 40
a. Hak yang dimaksudkan untuk mencegah konsumen dari kerugian, baik
kerugian personal, maupun kerugian harta kekayaan;
b. Hak untuk memperoleh barang dan/atau jasa dengan harga yang wajar
dan;
c. Hak untuk memperoleh penyelesaian yang patut terhadap permasalahan
yang dihadapi;41
Oleh karena ketiga hak atau prinsip dasar tersebut merupakan himpunan
beberapa hak konsumen sebagaimana diatur dalam UUPK. Apabila konsumen
benar-benar akan dilindungi, maka hak-hak konsumen yang disebutkan di atas
harus dipenuhi baik oleh pemerintah maupun oleh produsen, karena pemenuhan
hak-hak konsumen tersebut akan melindungi kerugian konsumen dari berbagai
aspek.42
a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
Adapun mengenai kewajiban konsumen dijelaskan dalam pasal 5 UUPK,
yakni :
b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
2. Hak dan Kewajiban dari Pelaku Usaha
Tidak hanya konsumen yang mempunyai hak dan kewajiban sebagaimana
diatur dalam UUPK. Tetapi pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya
tentunya juga mempunyai hak. Hak–hak produsen dapat ditemukan antara lain
41
Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, Disertasi, (Surabaya: Program Pascasarjana Universitas Airlangga, 2000), hal. 140.
42
pada faktor-faktor yang membebaskan produsen dari tanggung jawab atas
kerugian yang diderita oleh konsumen, meskipun kerusakan timbul akibat cacat
pada produk, yaitu apabila :
a. produk tersebut sebenarnya tidak diedarkan;
b. cacat timbul di kemudian hari;
c. cacat timbul setelah produk berada di luar kontrol produsen;
d. barang yang diproduksi secara individual tidak untuk keperluan produksi;
e. cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan yang ditetapkan oleh penguasa.43
Berdasarkan pasal 6 UUPK, pelaku usaha mempunyai hak sebagai berikut:
a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
b. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berkaitan dengan hak tersebut maka otomatis timbullah kewajiban pelaku
usaha bahwa pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya juga tentunya
mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi dan dilaksanakan. Adapun
kewajiban pelaku usaha dapat ditinjau dari pasal 7 UUPK, yaitu :
a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
43
d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atau barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan;
f. memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan konsumen tidak sesuai dengan perjanjian.
Kewajiban pelaku usaha beritikad baik dalam melakukan kegiatan usaha
merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian. Ketentuan
tentang itikad baik diatur dalam pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (selanjutnya disebut dengan KUH Perdata). Bahwa perjanjian
harus dilaksanakan dengan itikad baik. Sedangkan arrest H.R. di negeri Belanda
memberikan peranan tinggi terhadap itikad baik dalam tahap pra perjanjian,
bahkan kesempatan ditempatkan di bawah asas itikad baik, bukan lagi pada teori
kehendak. Begitu pentingnya itikad baik tersebut, sehingga dalam
perundingan-perundingan atau perjanjian antara para pihak, kedua belah pihak akan berhadapan
dalam suatu hubungan hukum khusus ini membawa akibat lebih lanjut bahwa
kedua belah pihak itu harus bertindak dengan mengingat kepentingan-kepentingan
yang wajar dari pihak lain. Bagi masing-masing calon pihak dalam perjanjian
terdapat suatu kewajiban untuk mengadakan penyelidikan dalam batas-batas yang
wajar tehadap pihak lawan sebelum menandatangani kontrak, atau masing masing
pihak harus menaruh perhatian yang cukup dalam menutup kontrak yang
berkaitan dengan itikad baik.44
44
Berdasarkan UUPK pelaku usaha diwajibkan beritikad baik dalam
melakukan kegiatan usahanya, sedangkan bagi konsumen diwajibkan beritikad
baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Dalam UUPK
tampak bahwa itikad baik lebih ditekankan kepada pelaku usaha, dikarenakan hal
tersebut meliputi semua tahapan dalam melaukan kegiatan usahanya, sehingga
dapat diartikan bahwa kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik dimulai sejak
barang dirancang atau diproduksi sampai pada tahap purna penjualan, sebaliknya
hanya konsumen hanya diwajibkan beritikad baik dalam melakukan transaksi
pembelian barang dan/atau jasa. Hal ini disebabkan karena kemungkinan untuk
terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak barang dirancang atau
diproduksi oleh pelaku usaha, sedangkan bagi konsumen, kemungkinan untuk
dapat merugikan pelaku usaha mulai dapat pada saat melakukan transaksi dengan
produsen.45
a. Representasi, merupakan hal terpenting dan merupakan kewajiban
penyampaian informasi yang harus dilakukan oleh pelaku usaha terhadap
konsumen. Pelaku usaha dapat memberikan informasi mengenai barang
atau jasa biasanya dapat melalui iklan-iklan, brosur-brosur, kemasan dari
barang, dan sebagainya. Representasi suatu produk juga diatur dalam
Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Adapun representasi produk
tersebut diatur dalam Bab IV mengenai perbuatan yang dilarang bagi
pelaku usaha. Salah satu larangan yang berkaitan dengan represerntasi Selanjutnya ada 3 kewajiban bagi pelaku usaha kepada konsumen
yaitu:
45
tersebut terlihat dalam ketentuan pasal 8 ayat (1) huruf f dan pasal 9 ayat
(1) UUPK. UUPK menegaskan bahwa pelaku usaha dalam memberikan
informasi tersebut harus jelas dan tidak boleh menyesatkan konsumen.
Pengaturan tentang representasi produk dalam UUPK wajib dipenuhi oleh
pelaku usaha. Apabila dilangggar oleh pelaku usaha dan menyebabkan
kerugian terhadap konsumen, maka pelaku usaha dapat dituntut
berdasarkan perbuatan melanggar hukum. Hal ini berarti bahwa untuk
melakukan upaya hukum gugatan kepada pelaku usaha, maka konsumen
tidak harus terikat perjanjian dengan pelaku usaha yang digugat. Dengan
demikian, ketentuan dalam UUPK dapat memberikan perlindungan hukum
kepada pihak ketiga yang tidak terikat perjanjian dengan pelaku usaha.
Upaya gugatan perbuatan melawan hukum merupakan langkah maju
dibandingkan dengan menggolongkan mispresentasi sebagai wanprestasi.
b. Peringatan, merupakan informasi yang harus diperhatikan konsumen
dalam menggunakan barang atau jasa dari pelaku usaha. Fungsi peringatan
ini sama pentingnya dengan instruksi penggunaan sebuah barang atau jasa,
akan tetapi memiliki fungsi yang berbeda. Instruksi diperuntukkan untuk
menjamin keamanan penggunaan produk, sedangkan peringatan dirancang
untuk menjamin keamanan penggunaan barang atau jasa.46
46
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.Cit., hal. 44-45.
Adanya
peringatan ini menjelaskan tentang peranan dan tanggungjawab pelaku
usaha terhadap konsumen. Pelaku usaha tentunya berperan dan
Hal ini berarti bahwa tugas pelaku usaha tidak hanya memperkenalkan
kelebihan dari barang atau jasanya yang diperdagangkan, akan tetapi
pelaku usaha juga wajib memberikan informasi terhadap pemakaian
barang atau jasa yang dapat merugikan dan berbahaya terhadap konsumen.
Peringatan yang merupakan bagian dari pemberian informasi kepada
konsumen ini merupakan pelengkap dari proses produksi. Permasalahan
yang sering timbul adalah bahwa produsen telah menyampaikan peringatan
secara jelas pada label suatu produk, namun konsumen tidak membaca
peringatan yang telah disampaikan kepada, atau dapat pula terjadi bahwa
peringatan itu telah disampaikan tapi tidak jelas atau tidak mengundang
perhatian konsumen untuk membacanya. Dalam kasus ER Squibb & Sons
Inc V Cox, pengadilan berpendapat bahwa konsumen tidak dapat menuntut
jika peringatannya sudah diberikan secara jelas dan tegas. Namun, jika
produsen tidak menggunakan cara yang wajar dan efektif untuk
mengkonsumsikan peringatan itu, yang menyebabkan konsumen tidak
membacanya, maka hal itu tidak menghalangi pemberian ganti rugi pada
konsumen yang telah dirugikan.47
c. Instruksi, yaitu yang ditujukan untuk menjamin efesiensi penggunaan
produk juga penting untuk mencegah timbulnya kerugian bagi konsumen.
Pencantuman informasi bagi konsumen yang berupa intruksi atau
petunjuk/prosedur pemakaian suatu produk merupakan kewajiban bagi
produsen agar produknya tidak dianggap cacat. Sebaliknya, konsumen
47
berkewajiban untuk membaca atau mengikuti petunjuk informasi atau
prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi
keamanan dan keselamatan. Misalnya dalam hal penganjuran pemakaian
obat yang dijual secara bebas, kemudian terdapat adanya kesalahan
konsumen dalam penggunaan produk bebas (obat tanpa resep), walaupun
obat tersebut adalah obat yang dinyatakan aman oleh para ahli dan ada
pencantuman penggunaan di label seta peringatannya. Implementasi
penggunaan obat dapat terlaksana dengan baik oleh pihak-pihak yang
terkait dengan pengobatan tersebut.48
Hukum Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen merupakan istilah yang
seringkali disama artikan. Ada yang beranggapan bahwa hukum konsumen adalah Tidak hanya berkaitan dengan obat-obatan tetapi bukan berarti bahwa
produk lain tidak membutuhkan informasi tentang tata cara pemakaiannya, karena
terhadap banyak produk lain, instruksi tersebut juga tetap dibutuhkan oleh
konsumen, karena setiap produk yang memiliki kemungkinan menimbulkan
kerugian manakala terjadi penggunaan secara keliru, sebaiknya memiliki instruksi
tentang tata cara pemakaiannya. Karena setiap kerugian tersebut harus diberi
pertanggungjawaban yang sepadan atas apa yang menjadi kekeliruan dan
ketidaksesuaian dari setiap informasi yang diberi dan diterima oleh konsumen.
C.Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen dan Sejarah Hukum
Perlindungan Konsumen
1. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen
48
juga hukum perlindungan konsumen. Namun ada pula yang membedakannya,
dengan berpendapat bahwa baik mengenai substansi maupun mengenai luas
lingkupnya adalah berbeda satu sama lain. Konsumen berada pada posisi yang
lemah, maka konsumen harus dilindungi oleh hukum yang sifat dan tujuannya
adalah memberikan perlindungan atau pengayoman terhadap masyarakat. Jadi,
bisa dikatakan bahwa sebenarnya hukum konsumen dan hukum perlindungan
konsumen adalah dua bidang hukum yang sulit untuk dipisahkan dan ditarik
batasannya. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa hukum perlindungan
konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang lebih luas.
Az. Nasution berpendapat bahwa “hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah bersifat mengatur dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen.” Adapun, menurut Az. Nasution yang dimaksud dengan hukum konsumen adalah “keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk barang dan/atau jasa, antara penyedia dan penggunanya dalam kehidupan bermasyarakat.”49 Sedangkan mengenai hukum perlindungan konsumen
didefinisikannya sebagai “keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk konsumen antara penyedia dan penggunanya dalam kehidupan bermasyarakat.”50
Dalam pasal 1 angka 1 UUPK disebutkan : “Perlindungan konsumen
adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi
perlindungan kepada konsumen.” Karena itu, menyangkut tentang perlindungan
konsumen bahwasanya hal ini mempunyai cakupan luas meliputi perlindungan
konsumen dalam memperoleh barang dan jasa, yang berawal dari tahap kegiatan
untuk mendapatkan barang dan jasa hingga akibat-akibat dari pemakaian barang
dan jasa itu. Pemberlakuan UUPK dimaksudkan menjadi landasan hukum yang
49
Az. Nasution, Op.Cit.,hal. 22.
kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat
untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan
pendidikan konsumen dan melindungi kepentingan konsumen serta mendorong
iklim berusaha yang sehat yang mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh
dalam menghadapi persaingan yang berkualitas.51
Asas hukum tersebut dianggap tidak memenuhi fungsi pengaturan
perlindungan konsumen sehingga tanpa disadari tidak diadakan dengan
pembatasan berlakunya asas-asas hukum tersebut.Pembatasan dimaksudkan
dengan tujuan “menyeimbangkan kedudukan” di antara para pihak pelaku usaha
dan konsumen bersangkutan.
Undang-undang tentang
perlindungan konsumenmemiliki ketentuan yang menyatakan bahwa semua
undang-undang yang ada dan berkaitan dengan perlindungan konsumen tetap
berlaku, sepanjang tidak bertentangan atau telah diatur khusus oleh
undang-undang. Sebagai akibat dari penggunaan peraturan perundang-undangan umum
ini, dengan sendirinya berlaku pulalah asas-asas hukum yang terkandung di
dalamnya pada berbagai pengaturan dan perlindungan konsumen tersebut.
52Di
seorang
a. Peraturan Umum
yaitu peraturan perundang-undangan yang tidak secara khusus mengatur
tentang perlindungan konsumen, yaitu :
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Staatsblaad
Tahun 1847 Nomor 23, Bagian Hukum Perikatan (Buku III),
51
Rahmadi Usman, SH,Hukum Ekonomi dalam Dinamika, (Jakarta: Djambatan, 2000), hal. 195.
52
khususnya mengenai wanprestasi (Pasal 1236 dan seterusnya) dan
perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 dan seterusnya);
2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);
3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Barang;
4. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1966 tentang Hygiene;
5. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1965 tentang Pendaftaran Gedung;
6. Undang-Undang Nomor Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan di Daerah ;
7. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal;
8. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar
Perusahaan;
9. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1962 tentang Hygiene untuk
Usaha-Usaha Umum;
10. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan;
11. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian;
12. Ordonansi tentang Barang Berbahaya, Stbl. 1949-337
13. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup yang diganti dengan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup;
14. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Ketenagalistikan;
15. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1994 tentang Agreement
Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan
16. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas
yang sudah diganti dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas;
17. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil yang
sudah diganti dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah;
18. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan yang sudah
diganti dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang
Pangan;
19. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987 tentang Hak Cipta;
20. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten;
21. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1989 tentang Merek;
22. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup;
23. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan yang
sudah diganti dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang
Ketenagakerjaan dan dilengkapi dengan Undang-Undang Nomor 2
tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial serta
24. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1989 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan;
25. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat;
26. Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbritase dan Alternatif
Penyelesian Sengketa;
27. Peraturan Presiden Nomor 48 Tahun 2015 tentang Kementrian
Perdagangan;
28. Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 3 Tahun 2014 Tentang
Kawasan Tanpa Rokok;
29. Peraturan Walikota Medan Nomor 35 Tahun 2014 tentang Petunjuk
Teknis Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 3 Tahun
2014 tentang Kawasan Tanpa Rokok.
b. Peraturan Khusus
yaitu peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang
perlindungan konsumen, diantaranya ialah sebagai berikut :
1. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal
27 , dan Pasal 33;
2. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
(Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 No. 42 Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3821;
3. Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan
4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2001
Tanggal 21 Juli 2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen
Nasional;
5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2001
Tanggal 21 Juli 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen
Swadaya Masyarakat;
6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 90 Tahun 2001
Tanggal 21 Juli 2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen Pemerintah Kota Medan, Kota Palembang, Kota
Jakarta Pusat, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang,
Kota Yogyakarta Kota Surabaya, Kota Malang, dan Kota Makassar;
7. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 108 Tahun 2004
tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pada
Pemerintah Kota Kupang, Kota Samarinda, Kota Sukabumi, Kota
Bogor, Kota Kediri, Kota Mataram, Kota Palangkaraya, dan pada
Kabupaten Kuopang, Kabupaten Belitung, Kabupaten Sukabumi,
Kabupaten Bulungan, Kabupaten Serang, Kabupaten Ogan Komering
Ulu, dan Kabupaten Jeneponto;
8. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 108 Tahun 2004
tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pada
Pemerintah Kota Padang, Kabupaten Tangerang, Kabupaten
9. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006
tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pada
Pemerintah Kota Pekalongan, Kota Parepare, Kota Pekanbaru, Kota
Denpasar. Kota Batam, Kabupaten Aceh Utara, dan Kabupaten
Serdang Berdagai;
10. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2008
tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pada
Pemerintah Kota Banjarmasin, Kota Cirebon, Kota Surakarta, Kota
Magelang, dan Kota Tanjung Pinang, serta pada Kabupaten Nganjuk,
Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah;
11. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2009
tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pada
Pemerintah Kota Tebing Tinggi, Kota Binjai, dan Kabupaten Bogor;
12. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2010
tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pada
Pemerintah Kota Serang, Kota Kendari, Kota Bukittinggi, Kota
Singkawang, Kota Pontianak, Kabupaten Kota Waringin Barat, dan
Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten Karawang, dan Kabupaten
Batubara;
13. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2012 tentang
Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pada
Balai, Kabupaten Lampung Tengah dan Kabupaten, Kabupaten Paser,
Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Cirebon;
14. Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2012 tentang Penetapan
Keanggotaan Indonesia pada Consumers International (Konsumen
Internasional);
15. Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 2012 tentang Hari Konsumen
Nasional;
16. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik
Indonesia Nomor 605/MPP/KEP/8/2002 tentang Pengangkatan
Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pada Pemerintah
Kota Makassar, Kota Palembang, Kota Surabaya, Kota Bandung, Kota
Semarang, Kota Yogyakarta, dan Kota Medan;
17. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 13/M-DAG/PER/3/2010
tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen dan Sekretariat Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen;
18. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 38/M-DAG/PER/12/2011
tentang Pengalihan Pelaksanaan Kewenangan di Bidang Standarisasi
dengan Perlindungan Konsumen, Meteorologi Legal dan Pengawasan
Barang Beredar dan Jasa;
19. Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No. 795
/DJPDN/SE/12/2005 tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan
Peraturan perundang-undangan yang menyangkut aspek perlindungan
konsumen itu dapat dikelompokkan ke dalam empat bagian besar, yaitu pada
bidang perindustrian, perdagangan, kesehatan dan lingkungan hidup. Dengan
diundang-undangkannya masalah perlindungan konsumen, dimungkinkan
dilakukannya pembuktian terbalik jika terjadi sengketa antara konsumen dan
pelaku usaha. Konsumen yang merasa haknya dilanggar bisa mengadukan dan
memproses perkaranya secara hukum di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK).53
Perhatian perlindungan konsumen, terutama di Amerika Serikat
(1960-1970-an) mengalami perkembangan yang sangat signifikan dan menjadi objek
kajian bidang ekonomi, sosial, politik dan hukum. Banyak artikel dan buku yang
ditulis berkenaan dengan gerakan ini. Di Amerika Serikat bahkan pada era
tahun-tahun tersebut berhasil diundangkan banyak peraturan dan dijatuhkan
putusan-putusan hakim yang memperkuat kedudukan konsumen. Fokus gerakan
perlindungan konsumen (konsumerisme) dewasa ini sebenarnya masih paralel
dengan gerakan pertengahan abad ke-20. Di Indonesia, gerakan perlindungan
konsumen timbul dari gerakan serupa di Amerika Serikat. Yayasan Lembaga
Konsumen Indonesia (selanjutnya disebut dengan YLKI) yang secara popular
dipandang sebagai perintis advokasi konsumen di Indonesia berdiri pada kurun
waktu tepatnya pada tanggal 11 Mei 1973. Gerakan di Indonesia termasuk cukup
responsif terhadap keadaan, bahkan mendahului Revolusi Dewan Ekonomi dan 2. Sejarah Hukum Perlindungan Konsumen
53
Sosial PBB (ECOSOC) Nomor 211 Tahun 1978 tentang Perlindungan
Konsumen.54
Sebelum ada YLKI perhatian terhadap konsumen di Indonesia sama sekali
terabaikan. Beberapa produk hukum yang ada, bahkan yang diberlakukan sejak
zaman kolonial dan berkaitan dengan sendi-sendi penting perlindungan konsumen.
dilihat dari kuantitas dan materi muatan produk hukum itu dibandingkan dengan
keadaan negara-negara maju (terutama Amerika Serikat), kondisi di Indonesia
masih jauh dari negara maju. Walaupun begitu, keberadaan peraturan hukum
bukan satu-satunya ukuran untuk menilai keberhasilan gerakan perlindungan
konsumen. Gerakan ini seharusnya bersifat menyeluruh dan membutuhkan
keinginan politik yang besar untuk mengaplikasikannya.55
Gerakan konsumen Indonesia terus mengalami perkembangan, termasuk
yang diprakarsai oleh YLKI mencatat prestasi besar setelah naskah akademik UU
No. 8 Tahun 1999 berhasil dibawa ke DPR.56
54
Shidarta, Op.Cit., hal. 29.
55 Ibid. 56
Ibid., hal.17
Gerakan dan perjuangan untuk
mewujudkan sebuah undang-undang tentang perlindungan kosumen dilakukan
selama bertahun-tahun. Baru pada era reformasi, keinginan terwujudnya UU No. 8
Tahun 1999 bisa terpenuhi. Pada masa pemerintahan Presiden BJ. Habibie,
tepatnya pada tanggal 20 April 1999, Rancangan Undang-Undang Perlindungan
Konsumen (selanjutnya disingkat RUUPK) secara resmi disahkan sebagai UU No.
koridor suatu sistem hukum perlindungan konsumen yang merupakan bagian dari
sistem hukum nasional.57
Kuatnya tekanan dari dunia Internasional menjadi salah satu andil yang
mendorong bagi YLKI dalam kehadiran Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang perlindungan konsumen, dan tanpa mengurangi terhadap upaya yang
terus-menerus dilakukan oleh YLKI. Setelah pemerintah RI mengesahkan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Persetujuan Pembentukan
Organisasi Perdagangan Dunia (Agreemeent Estabilizing the world Trade
Organization), maka ada kewajiban bagi Indonesia untuk mengikuti
standar-standar hukum yang berlaku dan diterima luas oleh negara-negara anggota WTO.
Salah satu di antaranya adalah perlunya eksistensi Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.58
“ …bahwa asas hukum bukan merupakan hukum konkrit, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak, atau merupakan latar belakang peraturan yang kongkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat atau cirri-ciri yang umum dalam peraturan kongkrit tersebut”.
D. Asas dan Tujuan Perlindungan Hukum bagi Konsumen
Sudikno Mertokusumo memberikan ulasan asas hukum sebagai berikut:
59
Asas hukum ini ibarat jantung peraturan hukum atas dasar dua alasan
yaitu, pertama asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya
57
Happy Susanto,Op.Cit.,hal. 11.
58
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.Cit., hal.18.
59
suatu peraturan hukum. Ini berarti bahwa penerapan peraturan-peraturan hukum
itu dapat dikembalikan kepada asas-asas hukum. Kedua, karena asas hukum
mengandung tuntutan etis, maka asas hukum diibaratkan sebagai jembatan antara
peraturan-peraturan hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan etis
masyarakatnya.60
a) Asas Manfaat
1. Asas Hukum Perlindungan Konsumen
Perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen terdapat beberapa asas
yang terkandung di dalamnya. Perlindungan konsumen dilakukan sebagai bentuk
usaha bersama antara masyarakat (konsumen), pelaku usaha dan pemerintah
sebagai pembentuk peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
perlindungan konsumen, hal ini terkandung dalam ketentuan Pasal 2 UUPK.
Kelima asas tersebut adalah:
Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala
upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus
memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen
dan pelaku usaha secara keseluruhan. Asas ini menghendaki bahwa
pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen tidak
dimaksudkan untuk menempatkan salah satu pihak diatas pihak yang
lain atau sebaliknya, tetapi adalah untuk memberikan kepada
masing-masing pihak, pelaku usaha (produsen) dan konsumen, apa yang
menjadi haknya. Dengan demikian, diharapkan bahwa pengaturan dan
penegakan hukum perlindungan konsumen bermanfaat bagi seluruh
60
lapisan masyarakat dan pada gilirannya bermanfaat bagi kehidupan
berbangsa.
b) Asas Keadilan
Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat
diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada
konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan
melaksanakan kewajibannya secara adil. Asas ini menghendaki bahwa
dalam pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen ini,
konsumen dan pelaku usaha (produsen) dapat berlaku adil melalui
perolehan hak dan penunaian kewajiban secara seimbang. Karena itu,
UUPK mengatur sejumlah hak dan kewajiban konsumen dan pelaku
usaha.
c) Asas Keseimbangan
Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan
antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam
arti materil ataupun spiritual. Asas ini menghendaki agar konsumen,
pelaku usaha (produsen), dan pemerintah memperoleh manfaat yang
seimbang dari pengaturan dan penegakan hukum perlindungan
konsumen. Kepentingan antara konsumen, pelaku usaha (produsen)
dan pemerintah diatur dan harus diwujudkan secara seimbang sesuai
dengan hak dan kewajibannya masing-masing dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Tidak ada salah satu pihak pun yang
mendapat perlindungan atas kepentingannya yang lebih besar dari
d) Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan
keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan
pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
Asas ini menghendaki adanya jaminan hukum bahwa konsumen akan
memperoleh manfaat dari produk yang dikonsumsi atau dipakainya,
dan sebaliknya bahwa produk itu tidak akan mengancam ketentraman
dan keselamatan jiwa dan harta bendanya. Karena itu Undang-undang
ini membebankan sejumlah kewajiban yang harus dipenuhi dan
menetapkan sejumlah larangan yang harus dipatuhi oleh produsen
dalam memperoduksi dan mengedarkan produknya.
e) Asas Kepastian Hukum
Asas ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen
menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan
perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Artinya undang-undang ini mengharapkan bahwa aturan-aturan
tentang hak dan kewajiban yang terkandung di dalam undang-undang
ini harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga
masing-masing pihak memperoleh keadilan. Oleh karena itu, negara bertugas
dan menjamin terlaksananya undang-undang ini sesuai dengan
bunyinya.61
Memperhatikan substansi Pasal 2 UUPK demikian pula penjelasannya,
tampak bahwa perumusannya mengacu pada filosofi pembangunan nasional
61
yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada
falsafah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kelima asas yang disebutkan
dalam pasal tersebut, bila diperhatikan substansinya, dapat dibagi menjadi 3
(tiga) asas yaitu :
1) Asas kemanfaatan yang didalamnya meliputi asas keamanan dan
keselamatan konsumen;
2) Asas keadilan yang didalamnya meliputi asas keseimbangan; dan
3) Asas kepastian hukum.62
a. meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
Asas hukum yang berkaitan dengan perlindungan konsumen tidak hanya
terdapat dalam UUPK, tetapi juga terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat yakni di dalam Pasal 2 yang berbunyi:
“Pelaku Usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya
berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan
antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum”.
2. Tujuan Hukum Perlindungan Konsumen
Tujuan yang ingin dicapai melalui UUPK ini sebagaimana disebut dalam
Pasal 3 adalah:
b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; c. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan,
dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
62
d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung undur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
e. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;
f. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
Ketentuan Pasal 3 UUPK mengatur tujuan khusus perlindungan konsumen
sekaligus membedakan tujuan umum yang dikemukakan dengan ketentuan Pasal 2
UUPK. Keenam tujuan khusus tersebut dikelompokkan ke dalam tiga tujuan
hukum secara hukum untuk mendapatkan keadilan. Tujuan untuk memberikan
kemanfaatan dapat terlihat pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf f.
Terakhir tujuan kepastian hukum terlihat dalam huruf d. Pengelompokan ini tidak
berlaku mutlak, oleh karena seperti yang dapat kita lihat dalam rumusan pada
huruf a sampai dengan huruf f terdapat tujuan yang dapat dikualifikasikan sebagai
tujuan ganda.
Tujuan perlindungan konsumen tersebut merupakan isi pembangunan
nasional yang menjadi sasaran akhir yang harus dicapai dalam pelaksanaan
pembangunan di bidang hukum perlindungan konsumen. Keenam tujuan tersebut
hanya dapat tercapai secara maksimal, apabila didukung oleh keseluruhan
subsistem perlindungan yang diatur dalam UUPK tanpa mengabaikan fasilitas
penunjang dan kondisi masyarakat.63
63
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit., hal. 34-35.
Mengamati tujuan dan asas yang terkandung
di dalam UUPK, jelaslah bahwa undang-undang ini membawa misi yang besar
perlindungan konsumen yang ada itu merupakan sasaran akhir yang harus dicapai
dalam pelaksanaan pembangunan di bidang hukum perlindungan konsumen.
Achmad Ali mengatakan masing-masing undang-undang memiliki tujuan
khusus.64
Kesulitan memenuhi ketiga tujuan hukum (umum) sekaligus sebagaimana
dikemukakan sebelumnya, menjadikan sejumlah tujuan khusus dalam huruf a
sampai dengan huruf f dari pasal 3 tersebut hanya dapat tercapai secara maksimal,
apabila didukung oleh keseluruhan subsistem perlindungan yang diatur dalam
undang-undang ini, tanpa mengabaikan fasilitas penunjang dan kondisi
masyarakat. Unsur masyarakat sebagaimana dikemukakan berhubungan dengan
persoalan kesadaran hukum dan ketaatan hukum, yang seterusnya menentukan
efektivitas Undang-Undang Perlindungan Konsumen, sebagaimana dikemukakan
oleh Achmad Ali bahwa kesadaran hukum, ketaatan hukum, dan efektivitas
perundang-undangan adalah tiga unsur yang saling berhubungan.65
64
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, (Jakarta: Chandra Pratama, 1996), hal. 95-96.
65