• Tidak ada hasil yang ditemukan

Relasi Islam-Kristen di Kota Gunungsitoli Dalam Kehidupan Bermasyarakat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Relasi Islam-Kristen di Kota Gunungsitoli Dalam Kehidupan Bermasyarakat"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LOKASI PENELITIAN

2.1.Letak Geografis

(2)

perjalanan udara, penerbangan dari Kota Medan ke Gunungsitoli dapat ditempuh dari Bandar Udara Internasional Kualanamu dalam waktu kurang lebih 55 menit menuju ke Bandar Udara Binaka, dengan menggunakan maskapai Garuda Indonesia dan juga maskapai Lion Air Group yang dioperasikan oleh anak perusahaannya Wings Air. Pada pertengahan Juli 2016, penerbangan dari Kota Padang menuju Kota Gunungsitoli juga dioperasikan oleh Wings Air setiap hari. Meskipun sebelumnya di jalur ini sudah ada Susi Air yang melayani penerbangan dari Kota Padang, Sumatera Barat ke Pulau Nias tetapi penerbangan ini harus transit terlebih dahulu di Pulau Tello (Kepulauan Batu, Nias Selatan).

Pulau Nias yang sebelumnya adalah hanya 1 kabupaten saja, saat ini telah dimekarkan menjadi empat kabupaten dan 1 kota, yaitu Kabupaten Nias, Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten Nias Barat, Kabupaten Nias Utara, dan Kota Gunungsitoli.

2.2.Asal Usul Nenek Moyang Orang Nias

Menurut tulisan E. Fries4, seorang penulis bangsa Persia yang bernama Soleiman, pernah menyinggahi Pulau Nias pada tahun 850 M, yang mengatakan bahwa pulau ini “PULAU NIAN”. Dia melihat bahwa suku tersebut gemar

berperang dan mengayau kepala manusia. Dan suku yang mendiami pulau tersebut disebut bangsa NIAN. Kalau mengikuti istilah nama aslinya, dapat disimpulkan bahwa istilah NIAS itu berasal dari perkataan NIHA tadinya. Pendatang-pendatang orang kulit putih yang banyak memakai huruf “s” di dalam menyatakan sesuatu yang banyak, menambahkan huruf “s” menjadi “NIHA-S”,

4

(3)

yang kemudian diperlunak menyebutnya menjadi “NIAS”. Bahasa penduduk asli

pun selamanya hanya memakai kata-kata huruf hidup dan tidak pernah dengan kata-kata yang berakhiran huruf mati5 .

Beberapa peniliti sejarah mengungkapkan kalau asal usul Orang Nias itu adalah berasal dari keturunan Negara Vietnam yang terjadi saat Perang Dunia I. Terdapat seorang wanita dari kerajaan Vietnam dilarikan ke suatu pulau yang sekarang dikenal Pulau Nias. Memang bisa saja itu masuk akal kalau dilihat dari bentuk muka atau gaya rambut orang Nias kebanyakan mirip dengan orang orang Vietnam. Salah satu mitos juga mengungkapkan asal usul suku Nias berasal dari sebuah pohon kehidupan yang disebut "Sigaru Tora`a" yang terletak di sebuah tempat yang bernama "Tetehöli Ana'a". Menurut mitos tersebut di atas mengatakan kedatangan manusia pertama ke Pulau Nias dimulai pada zaman Raja Sirao yang memiliki 9 orang Putra yang disuruh keluar dari Tetehöli Ana'a karena memperebutkan Takhta Sirao. Ke 9 Putra itulah yang dianggap menjadi orang-orang pertama yang menginjakkan kaki di Pulau Nias6.

Selain itu, beberapa pendapat para antropolog dan sejarahwan tentang asal-usul nenek moyang orang Nias. Seperti pendapat F.M. Schnitger dalam bukunya yang berjudul, “Forgotten Kingdom in Sumatra” terbitan Oxford

University Press-Singapur pada tahun 1989 pada halam 125 yang mengatakan bahwa,

Orang Nias dan Suku Naga di Burma memiliki kesamaan budaya megalitik. Sebab itu, tak diragukan lagi bahwa nenek moyang kedua suku itu berasal dari daerah yang sama yaitu Lembah Irrawaddy-Burma (They must at one time have had a common land of origin and this can have been nowhere but also the valley of the Irrawaddy).

5Sökhi’aro Wel

ther Mendröfa atau Ama Rozaman, Fondrakö Ono Niha (agama purba, hukum adat, hikayat dan mitologi masyarakat Nias. Jakarta: Inkultra Fondation Inc, 1982, hlm 7.

6

(4)

Selain itu, Schroder pun memiliki sebuah pendapat tersendiri tentang asal usul nenek moyang orang Nias. Ia mengatakan:

Orang-orang Nias begitu pula penduduk lain di pulau-pulau sebelah barat,

tiba dari Asia di bagian dunia yang terpisah ini disebabkan keinginan

penduduk untuk pindah. Di tempat ini kehidupan mereka masih utuh

seperti sediakala tanpa ada pengaruh arus luar. Kalau pun ada pengaruh

kebudayaan lain dari suku-suku lain, pengaruh itu sangat terbatas7.

Pastor Yohannes M. Hammerle, OFMCap pun memberikan pendapat tentang asal usul nenek moyang orang Nias. Beliau mengatakan:

Namun kami berpendapat bahwa eksistensi adat dan budaya Cina di Nias tidak

terlalu sulit untuk dibuktikan karena sejarahnya relatif baru. Informasi daratan

Sumatera yang berhadapan dengan pulau Nias, khususnya kota atau pelabuhan

Singkuang yang didirikan oleh orang Cina, jarak tersebut dengan tepi laut di

Kecamatan Lahusa di pantai Timur Nias sekitar 115 kilometer8.

Dalam tulisan Pater Yohannes tersebut, dapat diterka bahwa ada kemungkinan nenek moyang Nias berasal dari Cina tapi bukan daratan Cina melainkan orang-orang Cina yang bermukim di Singkuang9.

Drs. Ketut Wiradnyana, MM juga memiliki pendapat, bahwa:

Selama zaman glacial (2.5 juta tahun yang lalu) berlangsung, umumnya keadaan

alam lebih dingin, air terkumpul dalam bentuk es di daerah-daerah yang bergaris

lintang tinggi, hal ini mengakibatkan permukaan air laut terletak 100 meter lebih

rendah dari sekarang. Perubahan tersebut pun sangat mempengaruhi bentuk

kepulauan Indonesia. Laut Jawa dan sebagian laut Cina Selatan menjadi surut

sehingga mengakibatkan jembatan daratan yang luas di atas paparan Sunda yang

menghubungkan pulau bagian barat Indonesia dengan daratan Asia. Jembatan

daratan inilah yang memungkinkan berlangsungnya proses migrasi awal dari

7

Schroder, E. E. W. G. Nias, Etnographische, geographische en historishe aanteekeningen en studien Leiden Bril, 1917. Teluk Dalam, Yayasan Gema Budaya Nias, 2013, hlm 9.

8Ibid, hlm 10 9

(5)

daratan Asia menyebar ke Jawa. Proses ini juga memungkinkan terjadinya

migrasi darat dari Asia Tenggara ke Sumatera atau dapat juga dari Sumatera ke

Nias10.

Jajang Agus Sonjaya juga memiliki persepsi lain, yaitu:

Jika dikaitkan dengan teori persebaran kebudayaan yang didasarkan pada bukti

bukti linguistik dan arkeologi, Nias dihuni oleh kelompok-kelompok migran

penutur bahasa Austranesia yang datang dari Yunnan secara

bergelombang/bertahap pada hitungan 3500 Sebelum Masehi hingga awal-awal

abad Masehi11.

(6)

2.3.Marga-marga Nias

Lowalangi menciptakan langit berlapis Sembilan. Lalu menciptakan pohon kehidupan bernama Tora’a. pohon kehidupan itu berbuah dua buah yang kemudian dierami oleh seekor laba-laba. Lalu lahirlah sepasang dewa dari buah tersebut bernama Tuhamora’anggi Tuhamoraana’a (berjenis kelamin laki-laki) dan Burutiraoangi Burutiraoana’a (berjenis kelamin perempuan). Kedua Dewa ini kemudian menjadi penghuni langit berlapis Sembilan tersebut. Teteholi Ana’a adalah nama lapis langit yang terdekat ke bumi. Salah satu keturunan Dewa tersebut bernama Sirao Uwu Zihono atau nama lain Sirao Uwu Zato mendiami langit lapis pertama atau yang paling dekat ke bumi. Sirao ini beristri 3 dan masing – masing istrinya melahirkan 3 anak sehingga total anak Sirao ini ada 9 orang.

(7)

1. Hiawalangi Sinada (Hia) turun di Boronadu, kecamatan Gumo dan menjadi leluhur dari marga Telaumbanua, Gulo, Mendofa dan Harefa. 2. Gozo Hela-Hela mendarat di Barat Laut Hilimaziaya, Nias Utara,

kecamatan Lahewa sekarang dan menjadi leluhur dari marga : Baeha, Wuruwu, Zendrato dan Lase.

3. Daeli Bagambolangi (Daeli) turun di Tolamera, negeri Idanoi adalah yang menjadi leluhur marga – marga Daeli, Larosa, Zai, dan Hulu.

4. Hulu Borndano (putra sulung Luo Mewona) turun di Laehuwa, Nias Barat Laut dan menjadi leluhur dari marga-marga : Ndruru, Bu’uolo dan Hulu.

5. Silogu (putra sulung Luo Mewona) turun di Nias Timur dan menjadi leluhur dari marga-marga Zebua, Bawo dan Zega.

Empat putra Sirao yang turun tidak wajar adalah :

1. Bauadano Hia karena badannya yang terlalu berat turun ke Tano Niha menembus ke dalam Bumi dan menjelma menjadi ular yang dikenal dengan sebutan Da’o Zanaya Tano Sisagoro (si penadah bumi). Konon jika di bumi terjadi perang dan darah manusia merembes ke bumi, Da’o

Zanaya akan sangat marah dan mengguncang bumi dari bawah hingga menimbulkan gempa. Untuk menghentikan gempa bumi itu, orang Nias akan berteriak “BihaTua !” artinya : Sudahlah Nenek, kami tidak akan

berperang lagi

(8)

itu bila nelayan hendak mencari ikan di sungai atau laut terlebih dahulu mereka berdoa keada Dewa Sungai tersebut.

3. Lakindrolai Sitambalina ketika turun di bumi tertiup oleh angin kencang dan tersangkut di pohon. Dia menjelma menjadi roh penunggu hutan bernama Bela Hogugeu. Karena itu kaum pemburu selalu lebih dahulu menyembah dewa hutan ini sebelum berburu ke hutan.

4. Sofuso Kara mendarat di bukit bebatuan di daerah Laraga sekarang. Sofuso Kara kemudian menjadi leluhur orang – orang berilmu kebal13.

Terdapat juga cara lain dalam melihat marga-marga yang terdapat di masyarakat Nias. Seperti dalam penelitian Mannis Van Oven dari Negeri Belanda tentang penelitian seputar DNA orang Nias yang di terjemahkan oleh Bapak Saharman Gea, Ph. D, seorang doktor jebolan Inggris. Dalam pengambilan sampel DNA, ia mengelompokkan marga-marga sebagai berikut:

1. Kelompok Hulu: terdiri dari marga Hulu, marga Lahagu

2. Kelompok Gözö: terdiri dari marga Zalukhu, marga Lahagu, marga Waruwu, marga Baeha

3. Kelompok Laoya: terdiri dari marga Lase, marga Zendratö, marga Mendröfa, marga Dahöna, marga Laoli, Marga Za’i, marga Telaumbanua,

marga Harefa

4. Kelompok Daeli: terdiri dari marga Daeli, marga Gea, marga Farasi, marga Laowö, marga Larosa, marga Humendru

5. Kelompok Si’ulu: terdiri dari marga Gaho, marga Duha, marga Hondrö,

(9)

marga Zagötö, marga Bago, marga Wau, marga Dachi, marga Bu’ulölö,

marga Zamili, marga Ziraluo, marga Sarumaha, marga Fau, marga Laia, marga Zamili, marga Zebua, marga Talunohi, marga Ge’e, marga Lö’i,

marga Harita, marga Harefa, marga Lature, marga Barasi.

Cara pengambilan sampel darah orang Nias dilaksanakan pada tahun 2002 dan 2003 oleh Prof. Ingo Kennerknecht dari Munster University-Jerman dan Mannis Van Oven, mahasiswa S3, bidang Biologi Molekuler Forensik, dari Erasmus MC-University Medical Center-Rotterdam-Nederland dan difasilitasi oleh Museum Pusaka Nias dibawah komando Pastor Yohannes M. Hammerle, OFMCap14.

Tabel 3. Garis besar silsilah-silsilah marga Nias

14

Ibid, hlm 23

Sirao

Ma ge ohi A a’a Gözö Hulu Daeli

Hia Ziatö Luo Zalukhu Gulö Zebua Gea

Zega

(10)

2.4.Agama: Dahulu dan Sekarang

Agama, yang dalam bahasa Sansekerta berarti “aturan”, atau religi, yang

dalam bahasa Latin berarti “mengikat”, adalah sebuah kata yang sangat sulit dirumuskan batasannya, di mana pangkal dan di mana ujungnya (Permata, 2000: 14). Agama sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib, khususnya dengan Tuhannya, mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya. Secara khusus, agama didefinisikan sebagai suatu sistem keyakinan yang dianut dan tindakan-tindakan yang diwujudkan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam menginterpretasi dan memberi tanggapan terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai yang gaib dan suci. Bagi para penganutnya, agama berisikan ajaran-ajaran mengenai kebenaran tertinggi dan mutlak tentang eksistensi manusia dan petunjuk-petunjuk untuk hidup selamat di dunia dan di akhirat. Karena itu pula agama dapat menjadi bagian dan inti dari sistem-sistem nilai yang ada dalam kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan, dan menjadi pendorong serta pengontrol bagi tindakan-tindakan para anggota masyarakat tersebut untuk tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran-ajaran agamanya.

(11)

dipandang sebagai juru pendamai karena konon ia adalah saudara Lowalani dan Laturadanö15. Dewa lain yang terdapat di Nias pun diantaranya Afocha-dewa perusak, Bechu Gatua-hantu hutan, Zihi-hantu laut, Simalapari-hantu sungai yang bertemu dengan laut, Si so ba Hogu Geu-pemilik segala binatang hutan yang berdiam di atas pohon. Ada juga kepercayaan yang di yakini seperti Maciana atau roh-roh yang mulanya seorang manusia tetapi setelah mati maka roh tersebut menjelma sebagai roh penganggu para wanita yang hendak melahirkan, ada juga Salofo atau roh orang yang pandai berburu dan Bechu atau hantu orang yang mati. Bermacam-macam ciptaan dan makhluk yang disembah oleh orang Nias . benda-benda ciptaan meliputi matahari, bulan, buaya, cecak dan lain-lain. oleh sebab itu, orang Nias bukan hanya polytheistis, tetapi juga animistis16.

Dalam kepercayaan ini, orang Nias mengenal pemuka agama yang disebut Ere. Ere berperan sebagai perantara dalam memanjatkan doa dan menyampaikan permohonan kepada roh leluhur. Saat melakukan komunikasi dengan leluhur, biasanya akan diberikan sesaji sirih pinang, biji-bijian, hasil ladang, dan kepingan emas. Untuk ritual yang bersifat massal, maka akan disajikan hidangan yang kemudian dibagikan kepada hadirin yang datang. Sementara itu, sesaji akan dibiarkan tetap di lokasi pemujaan. Ere biasanya akan menerima anak babi, ayam, atau telur untuk pekerjaannya. Ere sanggup melihat roh-roh halus tetapi dewa-dewa, tidak. Manusia mengenal dewa-dewa itu dalam berbagai bentuk. Umpamanya, mereka menganggap ayah di dunia atau nenek moyang sebagai wakil ilahi. Orang Nias mengatakan, “Ama, Lowalani ba gulidano,” ang artinya, “ayah adalah illahi dari Tuhan yang nampak di atas bumi.” Ayah diyakini sebagai

15

Jajang Agus Sonjaya. Melacak batu menguak mitos. Yogyakarta: Kanisius, 2008, hlm 75.

16

(12)

pelindung dan ayah dianggap memiliki hak untuk memberkati dan mengutuk. Semua yang di katakan oleh ayah akan dituruti dan tak akan di bantah. Jika ayah meninggal, mereka akan memahat “bayangan” nya pada kayu dan batu dan

pahatan tersebut menjadi tanda akan kehadiran ayah yang telah mati di tengah-tengah keluarga yang masih hidup. Orang Nias percaya bahwa manusia itu hanyalah sebagai ciptaan biasa dari dewa-dewa. Manusia itu adalah babi dari dewa-dewa atau illahi. Bila dewa berselera memakan daging “babi” (dalam hal ini “babi” adalah manusia) maka secara bebas dewa bisa mengambil dan membunuh salah satu babinya. Oleh sebab itu, “babi” merupakan unsur penting dalam

kebudayaan Nias. Kubailönu kubailöna, seiring berjalannya waktu, kepercayaan terhadap roh leluhur mulai luntur karena masuknya agama baru.

Bagian yang menyertai setiap orang dari masa lalu, ialah apa yang dinamakan kepercayaan. Agama itu datang dengan berbagai nama dan bentuk, namun agama sebenarnya berhubungan dengan kepecayaan kepada dewa atau dewa-dewa di dalam suatu bentuk kekuatan gaib, yang menguasai bumi dan mengatur nasib semua yang hidup di dalamnya. Beberapa kepercayaan seperti ini disertai dengan peraturan-peraturan, upacara dan praktik yang merupakan bagian dari kebudayaan manusia yang diketahui semenjak masa lampau yang terjauh sampai sekarang ini17.

2.4.1.Masuknya Agama Kristen

Kedatangan etnis lain di Kota Gunungsitoli adalah etnis Aceh dan Minangkabau (1700), Belanda/VOC (1775-140), Cina (1850), Jerman (1865) dan Jepang (1942). Berdasarkan sejarahnya, motif kedatangan etnis asing tersebut

17

Harold R. Isaacs, Pemujaan Terhadap Kelompok Etnis: Identitas Kelompok dan Perubahan Politik,

(13)

adalah berdagang, kecuali Jerman (motif pengembangan agama Kristen) dan Jepang (motif politik dan kekuasaan). Agama Kristen secara terus-menerus mulai masuk ke wilayah Nias sejak 27 September 1865 yang dibawa oleh E. L. Denninger atas keputusan Rheinische Mission Gesellshaft (RMG) di Barmen, Jerman. Selama 25 tahun pertama (1865-1890), usaha pengabaran Injil di Nias tetap terbatas pada daerah kekuasaan Belanda di sekitaran Gunungsitoli. Dalam masa 25 tahun berikutnya, usaha pengabaran Injil maju dengan lebih cepat karena Injil telah diterjemahkan kedalam bahasa Nias agar lebih mudah dipahami oleh orang Nias. Bidang kegiatan zendeling begitu luas. Mereka membangun jalan-jalan, membuka kebun-kebuk kopi agar melicinkan jalan bagi usaha pengabaran Injil dan meningkatkan daya ekonomi pasar jemaat Kristen. Berkat usaha-usaha tersebut, jumlah orang Kristen meningkat. Akan tetapi terdapat sedikit kekhawatiran di hati mereka karana Injil belum benar-benar masuk ke hati orang Nias. Terlihat jelas pada tingkah laku mereka yang mengalami kekacauan dalam hal pernikahan karena harga perempuan yang sangat mahal, merajalelanya minuman keras, keengganan memberi sumbangan bagi kehidupaan jemaat. Terlebih lagi, mayoritas orang Nias menolak Injil.

(14)

patung-patung dewa, dan benda-benda peninggalan leluhur lainnya ke sungai. Keberhasilan misi Kristen di Nias juga banyak ditentukan oleh strategi yang cerdik dalam mengkonversi ritual-ritual adat sehingga makna ritual tersebut bergeser. Contohnya adalah diberlakukannya ritual fanano buno (menanam bunga) sebagai ganti famaoso dalo (mengangkat tengkorak kepala orang yang sudah meninggal). Pada masa inilah mulai terjadi perubahan sikap kepercayaan orang Nias, yang mana kepercayaan yang sebelumnya ditinggalkan dengan membuang atau menghancurkan dan membakar patung-patung yang tadinya mereka jadikan sebagai dewa. Sangsi-sangsi hukum adat dengan hukum badan, poligami, penyembahan patung, penyembuhan penyakit melalui dukun sudah semakin berkurang. Hingga kini sebagian besar masyarakat Nias beragam kristen (S. Zebua 1984:62). Setelah penyebaran Injil oleh misionaris ke pulau Nias, umat Kristen tumbuh dan berkembang.

2.4.2.Masuknya Agama Islam

Selain memeluk agama Kristen, orang Nias di Kota Gunungsitoli ada juga yang memeluk agama Islam. Syiar Islam di Nias bermula ketika Teuku Polem, berlayar ke selatan Sumatra pada tahun 1642. Putra sulung Teuku Cik, kepala pemerintahan Aceh Barat ini datang di Nias di muara Luaha Laraga Idano dan disambut baik warga setempat, Balugu Harimao. Setahun kemudian, Teuku Polem menikah dengan Bowo’ana’a, putri Balugu Harimao. Setelah mengucapkan dua kalimat syahadat, Bowo’ana’a menjadi orang Nias pertama yang memeluk

(15)

Keturunan saudara yang lain, Kehomo Harefa tinggal di Kampung Mudik, Gunungsitoli dan sebagian di Sifahandro, Kecamatan Tuhemberua.

Siti Zohora, putri Teuku Polem, dinikahkan dengan Datuk Ahmad, bangsawan dari Padang Pariaman, pada 1690. Keturunannya tinggal di Hele Duna yang terus berkembang hingga dikenal sebagai Mudik. Berhubungan dan kawin mawin dengan penduduk asli Nias membuat penyebaran Agama Islam semakin terlihat. Anak cucu Datuk Ahmad ada yang tinggal di Kelurahan Ilir, Kampung Baru, Gunungsitoli. Kampung Islam, Ilir dan Mudik berkembang sepanjang sungai Kali Nou, meneruskan tradisi kesultanan. Raja Sulaeman (1755-1790) mengadakan pesta adat (owasa) pada 1756. Belanda masuk ke Nias pada tahun 1840 dan tiga tahun kemudian mengangkat Datuk Rajo Bendahara di Mudik dan penerusnya tetap mengadakan owasa hingga Raja Muhd Aiyub (1896-1920). Sejak itu, jabatan raja Mudik dihapus dan diganti dengan sebutan Sawala (kepala kampung). Mereka yang beragama Islam biasanya mengadakan upacara mangikuti ajaran-ajaran agama Islam. Mereka tidak lagi mengikiuti tradisi sanomba adu (penyembah patung), tidak lagi percaya kepada dukun-dukun, tidak lagi mengadakan sesajen untuk roh-roh leluhur. Mereka tidak lagi memotong babi lagi karena dalam ajaran Islam, babi ini merupakan hewan yang haram dagingnya untuk dimakan. Biasanya digantikan dengan lembu atau kambing yang diabsahkan oleh ajaran Islam sebagai hewan yang halal. Masyarakat muslim di Nias juga giat melakukan kegiatan ibadah seperti shalat, zakat, puasa, wirid yasin, memperingati isra’mi’raj Nabi Muhammad dan lainnya. Walaupun memiliki

(16)

Penduduk Islam berpusat di wilayah Kota Gunungsitoli dan memanjang ke Nias Selatan pulau Nias mengalami sentuhan ajaran Islam dari orang-orang yang datang dari wilayah Sumatera Barat sedangkan wilayah Nias bagian Utara dan Barat sentuhan ajaran Islam dari Aceh. Ini menunjukkan bahwa anggapan sebagian masyarakat yang ada di luar Pulau Nias tentang agama Islam tidaklah benar. Sentuhan keagamaan yang merambah subur di Pulau Nias juga mempengaruhi adat istiadat yang ada, salah satu dicontohkan bahwa di Nias memiliki adat Tabuik yang perpaduannya berasal dari Sumatera Barat dan Daerah Istimewa Aceh. Dalam adat pernikahan pun adat istiadat dua daerah ini menempati posisi yang sangat sentral terhadap penduduk yang beragama Islam. Pelaksanaan pesta pernikahan di daerah ini hampir seluruhnya menggunakan bahasa Minang yang di daerah ini di kenal dengan bahasa pesisir.

Di muka rumah Bupati KDH Tingkat II Kabupaten Nias dan Masjid Jami’ Mudik, Kota Gunungsitoli bisa kita temui dua meriam yang dibawa T Simeugang, Datuk Ahmad dan Acah Harefa , keturunan Teuku Polem dari Aceh yang mengenalkan Islam di Nias pada abad ke 17, dua abad sebelum Belanda menginjakkan kaki di Nias. Ada belasan masjid dan musala di Gunungsitoli (dibandingkan tempat peribadatan kaum Nasrani yang berjumlah lebih dari 30 gereja), menunjukkan kehidupan beragama di kota ini berlangsung anggun.

2.5.Profil Kota Gunungsitoli

(17)

Undang-Undang Nomor : 47 Tahun 2008. Jauh sebelum menjadi sebuah daerah otonom, Gunungsitoli dikenal sebagai salah satu kota tertua dan representasi dari perkembangan peradaban modern di wilayah Kepulauan Nias. Kepulauan Nias sebelum adanya pemekaran beberapa daerah otonom baru, dulunya merupakan suatau wilayah administratif pemerintahan, yakni Pemerintahan Daerah tingkat II Nias dengan ibu kotanya Kecamatan Gunungsitoli. Seiring dengan perkembangan kondisi ketatanegaraan yang ditandai lahirnya regulasi tentang Pemerintahan daerah atau yang lebih dikenal dengan otonomi daerah, wilayah pemerintahan Kabupaten Nias secara bertahap mulai mengalami pemekaran. Mulai dari terbentuknya Kabupaten Nias Selatan pada tahun 2003, dan dilanjutkan oleh Kota Gunungsitoli, Kabupaten Nias Utara, dan kabupaten Nias Barat pada tahun 2008.

Berdasarkan catatan sejarah, Istilah Gunungsitoli itu sendiri secara etimologis dan historis merupakan terjemahan akulturatif bahasa Melayu dengan bahasa Nias, berasal dari istilah “Hili Gatoli” yakni sebuah nama gunung dalam

kota Gunungsitoli saat ini (Hili = Gunung; Gatoli= Sitoli). Cikal bakal munculnya istilah Gunungsitoli muncul pada saat diadakan kontrak dagang VOC Belanda (terjadinya interaksi orang Nias dengan Belanda untuk kepentingan dagang VOC), sedangkan alasan penggunaan bahasa Melayu dalam istilah Gunungsitoli karena pada saat itu karena bahasa Melayu telah digunakan secara umum di seluruh Nusantara dan orang Belanda telah menguasai bahasa Melayu. Pada tahun 1755 kota Gunungsitoli menjadi kota Pelabuhan yang dinamakan “Kade”dan pada tahun 1840 kota Gunungsitoli menjadi ibu kota Pemerintahan

(18)

Ada beberapa pendapat tentang lahirnya kota Gunungsitoli sebagai ibu kotanya pulau Nias. Momentum ini antara lain Menurut Zebua(1996), ada beberapa peristiwa terdekat yang menjadi pra-momentum lahirnya Kota Gunungsitoli yakni:

a. Pusat kota Gunungsitoli yang sekarang, pada awalnya adalah suatu lokasi dalam teritorial yurisdiksi kerajaan Laraga (yang berpusat di desa Luahalaraga kawasan sungai Idanoi)

b. Pemukiman pertama di Gunungsitoli adalah banua Hilihati (di Hilihati sekarang) yang dididiami oleh Baginda Lochozitolu Zebua, kawasan muara sungai Nou (kampung Dahana’uwe) yang didiami oleh Baginda

Bawolaraga Harefa dan kampung Bonio yang didiami oleh Baginda Laso Borombanua Telaumbanua.

c. Ketiga leluhur pemukiman tersebut (Marga Zebua, Harefa, dan Telaumbanua) disebut Sitolu Tua. Menurut Zebua (1996), pada awalnya penduduk dan populasi kota Gunungsitoli adalah bersifat homogen yang disebut Ono Niha (Orang Nias) namun dari sisi Marga (Mado) bersifat heterogen terdiri dari 3 marga yakni Harefa, Zebua, dan Telaumbanua. d. Penduduk pemukiman Sitolu Tua sama-sama menggunakan Luahanou

segera meningkat penggunaan jasanya dan tampak agak ramai. Dengan demikian Luaha Nou menjadi Saota (Pelabuhan) dagang dan menjadi saingan pelabuhan Luaha Idanoi di Luahalaraga.

(19)

dengan nama Luaha). Tano niha dengan kepulauannya (kepulauan Hinako dan kepulauan Batu) menjadi satu Lurah yang dipimpin oleh Kepala Lurah, dengan Ibu Kotanya Gunungsitoli. Kepala Luhak pertama adalah Daliziduhu Marunduri(1945-1946).Kemudian tahun 1946, status wilayah Luhak Nias di tingkatkan menjadi Kabupaten Nias yang dikepalai oleh Bupati. Bupati pertama adalah Pendeta Ros Telaumbanua (1946-1950), dengan ibu kotanya Gunungsitoli. Belum dikenal secara pasti asal muasal penamaan Gunungsitoli namun menurut referensi buku yang ditulis seorang pastor yang mendirikan Museum Pusaka Nias, disebutkan nama Gunungsitoli diberikan oleh para pedagang yang berasal dari Indocina daratan Asia. Kelak para pedagang inilah yang disebut-sebut sebagai nenek moyang orang Nias. Kata Gunungsitoli berasal dari kata Gunung dan kata Sitoli. Gunung berarti tanah yang tinggi atau berbukit dan Sitoli berasal dari nama orang yang berdiam di bukit dekat rumah sakit atau sekarang lebih dikenal dengan daerah Onozitoli.

(20)

Lase, M.SP dan Drs. Aroni Zendrato. Pada saat ini, nakhoda yang mengendarai Kota Gunungsitoli yaitu Ir. Lakhomizaro Zebua yang di dampingi oleh Sowa’a Laoli.

Moto dari Kota Gunungsitoli yaitu satukan langkah dan tekad, mandiri, eekonomi kerakyatan dan beriman. Visi Kota Gunungsitoli yaitu Kota Samaeri, dimana kata Samaeri berasal dari bahasa daerah Nias, memiliki makna Ina Sendoro/seorang ibu yang memiliki, memelihara, melayani, dan mewujudkan kesejahteran. Dengan misi menyatukan langkah dan tekad segenap rakyat Kota Gunungsitoli menuju Kota mandiri dan masyarakat madani, memperjungkan kesejahteraan umum masyarakat Kota Gunungsitoli, mencerdaskan kehidupan rakyat Kota Gunungsitoli, serta memberdayakan semua sumber daya alam dan sumber daya manusia untuk mempercepat pembangunan Kota Gunungsitoli.

Kota Gunungsitoli dalam perkembangannya sebagai sebuah daerah otonom baru, memiliki ragam potensi sumber daya ekonomi lokal yang belum dikelola secara optimal. Posisi strategis Kota Gunungsitoli sebagai pintu gerbang Kepulauan Nias, serta ketersediaan infrastruktur strategis yang relatif memadai dibandingkan dengan daerah otonom lainnya di wilayah Kepulauan Nias, pada hakekatnya memberikan kontribusi yang sangat signifikan dalam struktur perekonomian daerah terutama pertumbuhan sektor jasa, perdagangan dan industri sebagaiman ciri kota pada umumnya.

(21)

bersinergi dengan kebijakan pemerintah tingkat atas. Untuk mengoptimalkan pelaksanaan kebijakan pembangunan tersebut, pemerintah daerah menetapkan skala prioritas pembangunan daerah, yang pelaksanaannya dilakukan secara simultan meliputi berbagai sektor pembangunan dengan senantiasa mengedepankan azas pemerataan, proporsionalitas, dan keberpihakan pada kepentingan masyarakat. Hal ini dimaksudkan untuk memberi dampak yang luar biasa terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat.

Kota Gunungsitoli adalah kota yang terletak sebuah gugusan pulau yang dikenal dengan nama Kepulauan Nias terletak di sebelah barat Pulau Sumatera, yang secara geografis terletak antara 00012’-1032’ Lintang Utara (LU) dan 970000’-980000’ Bujur Timur (BT). Dengan ketinggian rata-rata 0-600 meter

diatas permukaan laut. Kota Gunungsioli merupakan salah satu daerah kota di Provinsi Sumatera Utara yang mempunyai jarak ± 85 mil laut dari Sibolga. Kota Gunungsitoli memiliki luas wilayah 469,36 km2 atau 0,38 persen dari luas wilayah Propinsi Sumatera Utara, terdiri dari enam kecamatan yaitu Kecamatan Gunungsitoli utara, Kecamatan Gunungsitoli Alo’oa, Kecamatan Gunungsitoli,

(22)

Secara Administratif Kota Gunungsitoli berbatasan dengan: Tabel 4. Letak administratif Kota Gunungsitoli

di sebelah utara Kecamatan Sitolu Ori (Kabupaten Nias Utara)

di sebelah timur Samudra Indonesia

di sebelah Selatan Kecamatan Gido dan Kecamatan Hiliserangkai (Kabupaten Nias)

(23)
(24)

Kota Gunungsitoli beriklim tropis dengan curah hujan yang cukup tinggi yaitu mencapai 2.927,6 mm pertahun sedangkan jumlah hari hujan setahun 200-250 hari atau 86 %. Kelembaban udara rata-rata setiap tahun antara 90 %, dengan suhu udara berkisar antara 17,0ºC – 32,60ºC. Kondisi alam daratan Pulau Nias sebagian besar berbukit-bukit dan terjal serta pegunungan dengan tinggi di atas laut bervariasi antara 0-800 m, yang terdiri dari dataran rendah hingga bergelombang sebanyak 24% dari tanah bergelombang hingga berbukit-bukit 28,8% dan dari berbukit hingga pegunungan 51,2% dari seluruh luas daratan. Akibat kondisi alam yang demikian mengakibatkan adanya 102 sungai-sungai kecil, sedang, atau besar ditemui hampir di seluruh kecamatan. Keadaan iklim kepulauan Nias pada umumnya di pengaruhi oleh Samudra Hindia. Suhu udara dalam satu tahun rata-rata 26°C dan rata-rata maksimum 31°C. Kecepatan angin rata-rata dalam satu tahun 14 knot/jam dan bisa mencapai rata-rata maksimum sebesar 16 knot/jam dengan arah angin terbanyak berasal dari arah utara. Sebagian besar wilayah Nias masih merupakan hutan, sebagian lagi merupakan lahan pertanian dan perkebunan. Iklim daerah Nias sama dengan iklim wilayah indonesia pada umumnya yaitu iklim tropis denagn curah hujan yang cukup besar yaitu antara 3000 sampai 4000 milimeter pertahun. Karena itu antara musim kemaru dan penghujan memiliki kelembaban (humiditas) yang cukup berimbang.

(25)

Gunungsitoli Alo’oa sebanyak 5,32 %. Berdasarkan jumlah penduduk menurut

kelompok umur, penduduk yang paling banyak berada pada kelompok umur 0-4 tahun sebanayak 16.332 jiwa, sementara yang paling sedikit berada pada kelompok umur 60-64 sebanyak 3.400 jiwa.

Berdasarkan jenis kelamin, penduduk dengan jenis kelamin laki-laki sebesar 63.299 atau 48,92 %, sementara penduduk dengan jenis kelamin perempuan sebesar 66.104 atau 51,08 %. Kepadatan penduduk Kota Gunungsitoli tahun 2013 berdasarkan angka proyeksi adalah sebesar 276 jiwa per Km2. Sementara berdasarkan wilayah kecamatan, kepadatan penduduk terbesar berada pada Keamatan Gunungsitoli sebesar 570 jiwa per Km2, dan wilayah kecamatan dengan kepadatan penduduk terkecil berada di Kecamatan Gunungsitoli Alo’oa sebesar 114 jiawa per Km2.

Tabel 6. Perkembangan jumlah umat beragama di Kota Gunungsitoli tahun

2014-2015

2014

Kecamatan Islam Protestan Katolik Hindu Budha

Gunungsitoli 16.125 26.104 877 0 328

Gunungsitoli Idanoi 1.412 16.515 6.858 0 0

Gunungsitoli Selatan

506 10.890 4.269 0 0

Gunungsitoli Barat 0 7.295 1.748 0 0

Gunungsitoli Utara 3.732 11.069 537 0 0

(26)

Alo’oa

Kota Gunungsitoli 21.775 92.530 16.384 0 328

2015

Kecamatan Islam Protestan Katolik Hindu Budha

Gunungsitoli 12.834 36.104 877 0 328

Tabel 7. Perkembangan jumlah tempat ibadah di Kota Gunungsitoli tahun

(27)
(28)

Peneliti hendak ingin meneliti di sebuah desa yang terdapat di Gunungsitoli Selatan, yaitu Desa Fodo. Secara administratif, Desa Fodo berbatasan dengan:

Utara : Desa Miga

Selatan : Desa Luaha Laraga Barat : Desa Lolomboli Timur : Samudera Indonesia

(29)

Gambar

Tabel 3. Garis besar silsilah-silsilah marga Nias
Tabel 4. Letak administratif Kota Gunungsitoli
Tabel 5. Peta wilayah Kota Gunungsitoli
Tabel 6. Perkembangan jumlah umat beragama di Kota Gunungsitoli tahun
+3

Referensi

Dokumen terkait

Pandangan masyarakat terhadap Relasi Islam-Kristen Berbasis Kerukunan Kelurahan Pakis Kecamatan Sawahan Kota Surabaya. Pandangan masyarakat adanya suatu Relasi Islam-Kristen

Inisiator penerapan Syariat tidak datang dari kelompok Islam main- stream di Kota Tasikmalaya, seperti Muhammadiyah, NU, dan Persis, tapi justru datang dari kelompok-kelompok Islam

Demikian pula halnya pada masyarakat Nias yang menganut sistem kepercayaan sanömba adu, sebelum Injil (ajaran Kristen) masuk ke pulau ini pada tahun 1865 memiliki satu bentuk

Interaksi antara penduduk Pulau Bali yang beragama Hindu dengan orang yang memeluk agama Islam yang datang ke Bali beberapa abad yang lalu sangat memungkinkan mereka

Pada bab ini diuraikan mengenai pemaparan hasil penelitian, yaitu Sejarah berdirinya Muhammadiyah di Pulau Nias, Perkembangan amal usaha persyarikatan

Budaya Yang di Hasilkan Setelah Pengaruh Islam Masuk Setelah ajaran agama Islam Syekh Agung, kehidupan masyarakat Jambi khususnya di wilayah Batang Hari mengalami perubahan tetapi

Gunung Semeru adalah gunung tertinggi di pulau Jawa.Gunung Semeru memiliki keindahan yang membuat banyak orang mendatanginya.Banyaknya pendaki yang datang ke Semeru membuat

Islam merupakan Agama samawi yang berisi syariat dari Allah SWT, Tuhan semesta alam. Ajaran Islam bersifat universal yang diperuntukkan bagi semua makhluk baik di