BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Bahasa daerah adalah bahasa yang dipergunakan oleh penduduk di daerah
geografis tertentu yang terbatas dalam wilayah suatu negara. Penelitian dan
pendokumentasian bahasa yang dilaporkan oleh Summer Institute of Linguistics
(Grimes, 1996) menyebutkan bahwa ada 6703 bahasa di dunia. Dilihat dari lima
wilayah persebarannya (Asia, Eropa, Amerika, Afrika, dan Pasifik), kawasan Asia
merupakan tempat beradanya 2.165 bahasa (33%). Sementara kawasan Eropa hanya
mempunyai 225 bahasa (3%). Di kawasan Pasifik ditemukan 1.302 bahasa (19%), di
Amerika ada 1000 bahasa (15%), dan di benua hitam Afrika tercatat 2.011 bahasa
(30%).
UNESCO mencatat bahwa setidaknya ada lebih dari seribu bahasa terancam
punah. Atlas bahasa terbaru yang diluncurkan UNESCO menunjukan bahwa
beberapa bahasa yaitu bahasa Tandia di Papua Barat, Bahasa Nusa Laut, Piru, dan
Naka’ela di Maluku, bahasa Enyak di Alaska, Bahasa Maku, Yuruti di Brasil, bahasa
Homa di Kenya, dan bahasa Rangkas dan Tolcha di India dinyatakan punah.
Bahasa-bahasa lain seperti Bahasa-bahasa Hulung, Loun, Amahai, dan Kamaria di Maluku, Bahasa-bahasa
Durlankere, Mansim, Dusner, Worla, dan Saponi di Papua Barat, bahasa Baghati dan
Honduri di India, dan bahasa Samatu, Lamu, dan Laji di Cina tergolong dalam bahasa
Dalam Ethnologue: Language Of The World (2005) dikemukakan bahwa di
Indonesia terdapat 742 bahasa, dimana 737 diantaranya masih digunakan oleh
penuturnya. Beberapa bahasa yang masih hidup tersebut terancam punah. Hal
tersebut disebabkan oleh penuturnya yang semakin berkurang dan ada juga yang
terdesak oleh pengaruh bahasa daerah lain. Arief Rachman (2007) memetakan
kepunahan bahasa daerah di Indonesia sebagai berikut, ada lebih dari 50 bahasa
daerah di Kalimantan, satu di antaranya terancam punah. Di Sumatera, dari 13 bahasa
daerah yang ada, 2 di antaranya terancam punah dan 1 lainnya sudah punah. Namun,
di Jawa tidak ada bahasa daerah yang terancam punah. Sedangkan di Sulawesi dari
110 bahasa yang ada, 36 bahasa terancam punah dan 1 sudah punah, di Maluku dari
80 bahasa yang ada 22 terancam punah dan 11 sudah punah, di daerah Timor, Flores,
Bima dan Sumba dari 50 bahasa yang ada, 8 bahasa terancam punah. Di daerah Papua
dan Halmahera dari 271 bahasa, 56 bahasa terancam punah. Dikatakan lebih lanjut
bahwa data yang diberikan oleh Frans Rumbrawer dari Universitas Cendrawasih pada
tahun 2006 lebih mengejutkan lagi, yaitu pada kasus tanah Papua, 9 bahasa
dinyatakan telah punah, 32 bahasa segera punah, dan 208 bahasa terancam punah.
Secara Kuantitas, jumlah penutur bahasa-bahasa daerah di Indonesia cukup
berbeda. Ada bahasa daerah yang masih bertahan dengan jumlah penuturnya yang
relatif besar, tetapi ada pula bahasa daerah yang jumlah penuturnya tinggal sedikit
saja. Namun demikian, walaupun secara kuantitas jumlah penuturnya kecil, hal
tersebut tidak selalu menjadi indikator punahnya suatu bahasa tetapi loyalitasnya
(Coulmas, 1997:276). Namun pewarisan bahasa daerah kepada kaum muda
merupakan hal yang tetap untuk dilakukan agar bahasa daerah tetap bertahan.
Bahasa daerah selain digunakan untuk berkomunikasi pada suatu suku bangsa
yang ada, namun juga diyakini dapat mempererat solidaritas antar mereka. Sehingga
bahasa daerah tersebut merupakan hal yang sangat penting untuk dapat dilestarikan
dan di sosialisasikan oleh masing-masing suku bangsa tersebut kepada generasi
penerusnya. Pada lembaga keluarga terdapat berbagai macam fungsi keluarga yang
salah satu adalah sosialisasi. Dalam proses sosialisasi bahasa kepada anak, keluarga
merupakan lembaga pertama yang melakukan sosialisasi dan pengenalan bahasa
kepada anak, baik bahasa resmi yaitu Bahasa Indonesia dan juga bahasa daerah.
Kecenderungan anak yang tinggal di daerah perkotaan justru dilakukan pengenalan
bahasa asing dibandingkan dengan pengenalan terhadap bahasa daerah yang notabene
merupakan bahasa yang mayoritas digunakan oleh keluarga besar mereka. (Budhiono,
2009). Hasil survai Gunarwan (1993) atas 126 orang subyek dari Jakarta, Bandung,
dan Palangkaraya mengungkapkan angka rata-rata penilaian subyek atas 11 ciri-ciri
penutur bahasa Indonesia dan penutur bahasa Inggris secara keseluruhan
menempatkan bahasa Inggris lebih tinggi daripada bahasa Indonesia.
Sosialisasi bahasa daerah dalam keluarga merupakan proses pengenalan
bahasa daerah pada anak dan bagaimana anak tersebut memahami dan mengerti
tentang bahasa daerah. Sosialisasi bahasa daerah ini dimulai sejak masa kanak-kanak.
Sosialisasi bahasa daerah di kalangan anak-anak merupakan upaya untuk mengenal
bahasa daerah. Apabila usia anak meningkat ke umur remaja maka sosilalisasi bahasa
daerah sehingga mendorong mereka mencintai bahasa daerah. Tujuan akhir dari
sosialisasi bahasa daerah ini adalah mempersiapkan dan membuat individu
memahami tentang bahasa daerah dan hal tersebut harus dipertahankan.
Perkembangan pengetahuan terhadap bahasa daerah tidak terlepas dari bagaimana
sosialisasi yang diberikan orang tua kepada anak sampai mereka beranjak remaja dan
menjadi dewasa.
Remaja adalah salah satu generasi yang memegang peranan penting dalam
pelestarian bahasa daerah yang seharusnya mendapatkan bimbingan dan arahan dari
orang tua mengenai pentingnya bahasa daerah. Berkembang atau punahnya bahasa
daerah itu tergantung bagimana remaja sadar dan tahu pentingnya bahasa daerah dan
pentingnya pelestarian budaya, yang merupakan kekayaan bangsa. Namun, sekarang
ini remaja mengacuhkan keberadaan bahasa daerah mereka dan hanya sedikit yang
peduli terhadap bahasa daerah. Disebabkan, karena adanya anggapan jika berbahasa
daerah dianggap tidak modern dan kampungan. Keadaan seperti inilah yang
menyebabkan semakin tertinggalnya bahasa daerah di masa sekarang ini. Bahasa
daerah semakin tertinggal dengan adanya les tambahan bahasa Inggris yang diberikan
kepada anaknya. Namun lebih parahnya lagi, adanya anggapan bahwa bahasa daerah
adalah bahasanya masyarakat miskin dan tidak berpendidikan. Dikarenakan bahasa
Inggrislah yang dimasukkan dalam mata pelajaran sekolah, bukannya bahasa daerah.
Sehingga munculah streotipe bahwa bahasa kaum kaya adalah bahasa Inggris dan
bukannya bahasa daerah.
Hal ini tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di kalangan remaja dan
daerah dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu: pertama, remaja yang tidak tahu
berbahasa daerah sama sekali. Kedua, remaja yang hanya mengerti apa yang
dikatakan oleh orang lain yang berbahasa daerah, tetapi kurang mampu dalam
berkata-kata dalam bahasa daerah. Ketiga, remaja yang fasih dalam berbahasa daerah.
Dari keadaan tersebut menimbulkan pertanyaan mengenai peran dan penggunaan
bahasa daerah di dalam keluarga.
Di GBKP Klasis Medan-Kp.Lalang para jemaat merupakan masyarakat yang
homogen, karena mereka terdiri dari satu kebudayaan dan suku bangsa yaitu suku
bangsa karo. Selain suku bangsa yang homogen, GBKP Klasis Medan-Kp.Lalang
secara tidak langsung juga memberikan pengajaran bahasa daerah terlihat dari
kuantitas kebaktian tiap bulannya. Dalam sebulan terdapat empat kali kebaktian yang
diselenggarakan oleh GBKP Klasis Medan-Kp.Lalang, kebaktian dengan bahasa
daerah (Karo) sebanyak tiga kali dan kebaktian dengan bahasa Indonesia sebanyak
satu kali. Hal tersebut mengakibatkan betapa perlunya kemampuan dalam berbahasa
daerah pada remaja, karena mereka merupakan pelestari bahasa daerah agar
kedepannya bahasa daerah tidak hilang seiiring berkembangnya waktu. Berdasarkan
keadaan di atas tentang keberadaan bahasa daerah di tengah-tengah keluarga, maka
peneliti memilih penelitian di atas.
1.2. Perumusan Masalah
Hal yang sangat penting untuk memulai suatu penelitian adalah adanya
masalah yang akan diteliti. Agar penelitian dapat dilaksanakan dengan
jelas bagi peneliti dari mana harus mulai, ke mana harus pergi dan dengan apa
(Arikunto, 2006:24).
Adapun perumusan masalah berdasarkan latar belakang diatas adalah:
1. Bagaimana penggunaan bahasa daerah (Karo) pada keluarga GBKP Klasis
Medan-Kp.Lalang berdasarkan kategori sosial?
2. Hubungan diantara berbagai kategori sosial dalam pengunaan bahasa daerah
(Karo) pada keluarga GBKP Klasis Medan-Kp.Lalang?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk Mengetahui penggunaan bahasa daerah (Karo) di dalam keluarga
berdasarkan kategori sosial.
2. Untuk Mengetahui apakah ada korelasi antara kategori sosial dengan
penggunaan bahasa daerah (Karo) dalam keluarga.
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah :
1.4.1. Manfaat Teoritis
Untuk menambah pengetahuan peneliti mengenai penggunaan bahasa daerah
(Karo) di dalam keluarga berdasarkan kategori sosial dan hubungan antara kategori
sosial terhadap pengguanan bahasa daerah (Karo) pada Keluarga GBKP Klasis
Medan-Kp.Lalang sehingga dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan teori
1.4.2. Manfaat Praktis
Memberikan sumbangan pengetahuan dalam bentuk bacaan untuk
memperkaya wawasan setiap individu yang membaca hasil penelitian ini dan menjadi
bahan evaluasi diri keluarga dan masyarakat tentang pentingnya bahasa daerah.
1.5. Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah dalil atau prinsip yang logis yang dapat diterima secara
rasional mempercayainya sebagai kebenaran sebelum diuji atau disesuaikan dengan
fakta-fakta atau kenyataan-kenyataan yang mendukung atau menolak kebenarannya
(Nawawi; 1995).
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa hipotesis dalam suatu
penelitian harus diuji. Oleh karena itu, perumusan hipotesa yang baik adalah hipotesa
yang dapat diuji kebenarannya atau ketidakbenarannya. Berdasarkan penjelasan di
atas, maka hipotesa yang dapat dibuat dalam penelitian ini adalah:
H0
H
: Tidak terdapat hubungan pengaruh yang signifikan antara Kategori
Sosial terhadap Bahasa Daerah (Karo).
1
1.6. Definisi Konsep
: Terdapat hubungan pengaruh yang signifikan antara Kategori Sosial
terhadap Bahasa Daerah (Karo).
Konsep adalah istilah yang terdiri dari satu kata atau lebih yang
menggambarkan suatu gejala atau menyatakan suatu ide maupun gagasan (Hasan,
2002:17). Untuk menjelaskan maksud dan pengertian konsep-konsep yang terdapat di
dalam penelitian ini, maka akan dibuat batasan-batasan konsep yang dipakai adalah
Kategori sosial
Berangkat dari pendapat Koentjaraningrat yang menjelaskan bahwa kategori
sosial merupakan kesatuan manusia yang terwujud karena adanya suatu ciri khas atau
suatu kompleks ciri-ciri objektif yang dapat dikenakan kepada manusia-manusia itu.
Ciri khas tersebut dilakukan dengan maksud untuk memudahkan penggolongan
dalam suatu tujuan dan biasanya dikenakan oleh pihak luar tanpa disadari oleh pihak
yang bersangkutan.
Seperti yang peneliti akan lakukan terhadap kehidupan keluarga GBKP
Klasis Medan-Kp.Lalang yang perlu dilakukan penggolongan untuk memudahkan
penelitian, walupun pihak yang diteliti tidak menyadari hal tersebut. Kategori Sosial
yang dibuat oleh peneliti adalah sebagai berikut:
1. Tingkat Ekonomi
Tingkat ekonomi yang dimaksud adalah berdasarkan kemampuan finansial
yang dimiliki oleh masing-masing runggun yang ada pada GBKP Klasis
Medan-Kp.Lalang. Dalam hal pengklasifikasian ini, peneliti mengikuti klasifikasi yang
dilakukan oleh GBKP Klasis Medan-Kp.Lalang yang terdiri dari tiga rayon yaitu
rayon A, B, dan C. Menurut Pengurus GBKP Klasis Medan-Kp.Lalang,
pengklasifiksian tersebut berdasarkan: kemampuan finansial anggota tiap runggun,
jumlah kepala keluarga yang ada di runggun tersebut, dan juga setoran-setoran
(kolekte, perpuluhan, iuran, dll) yang diberikan oleh runggun tersebut. Berdasarkan
uraian diatas maka peneliti mengklasifikasikan tiga tingkatan ekonomi berdasarkan
rayon, dimana Rayon A mempunyai tingkat ekonomi yang lebih tinggi, kemudian
Namun pengklasifikasian yang digunakan peneliti adalah berdasarkan
pendapatan keluarga dan hal tersebut didukung oleh UMR (Upah Minimum
Regional) didukung lagi oleh klasifikasi yang ditentukan oleh peneliti.
Pengklasifikasian jumlah pendapatan di tujukan agar dari setiap pendapatn keluarga
terwakili. Dari pendapatan rendah, menengah sampai dengan pendapatan yang besar.
sehingga terjadi keaneka-ragaman jumlah pendapatan. Pengklasifikasian akan
dilakukan berdasarkan jumlah pendapatan sebagai berikut:
Pendapatan keluarga > Rp. 4.000.000.
Pendapatan keluarga < Rp. 3.900.000 – Rp. 2.000.000.
Pendapatan keluarga < Rp. 1.900.000.
2. Daerah Tempat Tinggal
Daerah tempat tinggal diklasifikasikan berdasarkan daerah tempat bermukim
responden yang mempunyai etnis yang sama ataupun berbeda-beda. Baik minoritas,
mayoritas ataupun dengan jumlah yang hampir sama antar etnisnya.
Pengklasifikasian berdasarkan daerah tempat tinggal dimaksudkan untuk melihat
seberapa jauh pengaruh daerah tempat tinggal mempengaruhi penggunaan bahasa
daerah. Hal tersebut menjadi alasan peneliti mengklasifikasikan daerah tempat tinggal
berdasarkan:
Daerah tempat tinggal mayoritas etnis Karo.
Daerah tempat tinggal beragam etnis.
Bahasa Daerah
Bahasa daerah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tentang penggunaan
bahasa daerah (karo) pada keluarga, sesama etnis, dan juga berbeda etnis.
1. Keluarga
Pada keluarga yang menjadi batasan peneliti adalah melihat bagaimana
komunikasi ataupun penggunaan bahasa daerah (karo) didalam keluarga. Dalam hal
ini peneliti melihat komunikasi antara orang tua-anak, orang tua,
anak-abang/kakak/adik.
2. Sesama Etnis
Sesama etnis yaitu komunikasi ataupun penggunaan bahasa daerah (karo)
pada sesama anggota jemaat GBKP, pada tetangga yang berada disekitar daerah
tempat tinggal, dan juga pada keluarga besar yang sesama etnis.
3. Berbeda Etnis
Berbeda etnis yaitu komunikasi ataupun penggunaan bahasa pada tetangga
yang berada disekitar daerah tempat tinggal, dan pada keluarga besar yang berbeda
etnis.
1.7. Operasional Variabel
Operasional variabel adalah suatu batasan yang diberikan kepada suatu
variabel dengan cara memberikan arti atau mempersepsikan kegiatan ataupun
memberikan suatu operasional yang diperlukan untuk mengukur variabel tersebut.
Operasional variabel juga dimaksudkan untuk mencegah salah tafsir dan perluasan
permasalahan dari serangkaian proses penelitian ini melibatkan dua variabel, yaitu
tempat tinggal, sedangkan variabel terikat (Bahasa Daerah) melihat penggunaan
bahasa daerah antara keluarga (orang tua-istri/suami, orang tua-anak, anak-orang tua,
anak-saudara), sesama etnis (sesama anggota jemaat GBKP Klasis Medan-Kp.Lalang,
tetangga, keluarga besar), berbeda etnis (tetangga, keluarga besar).
Kedua variabel tersebut ingin dilihat bagaimana hubungan yang ada antara
satu variabel dengan variabel lainnya.
1.8. Bagan Operasional Variabel
Untuk lebih jelasnya di bawah ini ditunjukkan dalam bentuk skemanya :
Variabel Bebas (X) Variabel Terikat (Y)
Kategori Sosial
Status Ekonomi
Lingkungan daerah
tempat tinggal
Bahasa Daerah (Karo)
Keluarga
Sesama Etnis