• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesadaran Kritis Mahasiswa Terhadap Media Sosial (Studi Deskriptif Kualitatif Literasi Media Tentang Kesadaran Kritis Mahasiswa Ilmu Komunikasi USU Terhadap Media Sosial)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kesadaran Kritis Mahasiswa Terhadap Media Sosial (Studi Deskriptif Kualitatif Literasi Media Tentang Kesadaran Kritis Mahasiswa Ilmu Komunikasi USU Terhadap Media Sosial)"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA 2.1Paradigma Kajian

Paradigma merupakan suatu kepercayaan atau prinsip dasar yang ada

dalam diri seseorang tentang pandangan dunia dan membentuk cara pandangnya

terhadap dunia (Wibowo, 2013:36). Paradigma penelitian mengarahkan peneliti

dalam memandang suatu masalah dan menjawab masalah dalam penelitian.

Dalam konteks keilmuan, paradigma disebut sebagai perspektif, mahzab

penelitian, atau teori, model, pendekatan, kerangka konseptual, strategi

intelektual, kerangka pemikiran, serta pandangan dunia (Mulyana, 2001:9).

Paradigma dalam penelitian digunakan untuk menyadari bahwa suatu

pemahaman selalu dibangun oleh keterkaitan antara apa yang menjadi

pengamatan dan apa yang menjadi konsepnya. Penggunaan paradigma dapat

mengimbangi perubahan fakta sosial yang terus menerus berubah dan mewajibkan

peneliti untuk toleran pada perbedan cara pandang, serta bijak dalam

menggunakan pelbagai metode (Ardianto dan Q-Anees, 2007:77), dengan

demikian peran paradigma menjadi sangat penting dalam penelitian, karena

mempengaruhi teori, dan analisis.

Paradigma pada bidang ilmu komunikasi sangat beragam, namun yang

sering digunakan adalah post-positivisme, interpretif, konstruktivis, dan kritis.

Teori konstruktivisme adalah pendekatan secara teoritis untuk komunikasi yang

dikembangkan tahun 1970-an oleh Jesse Delia dan rekan-rekan sejawatnya. Teori

konstruktivisme menyatakan bahwa individu melakukan interpretasi dan bertindak

menurut berbagai kategori konseptual yang ada dalam pikirannya.

Menurut teori ini, realitas tidak menunjukkan dirinya dalam bentuknya

yang kasar, tetapi harus disaring terlebih dahulu melalui bagaimana cara

seseorang melihat sesuatu (Morissan, 2014:166). Konstruksi personal diatur atau

diorganisasi ke dalam skema interpretif yang akan mengidentifikasi suatu objek

(2)

melihat segala sesuatu lebih dalam dan kerucut, berbeda dengan positivis yang

melihat dari garis besarnya saja. Sumber dan sebab dari suatu kasus akan ditelaah

tahap demi tahap dalam bentuk-bentuk pertanyaan yang mengarah kepada

jawaban paling mutlak dan jelas. Konstruktivisme pada dasarnya adalah teori

dalam memilih strategi. Prosedur riset konstruktivisme yang dilakukan biasanya

adalah dengan meminta subjek untuk memilih berbagai tipe pesan yang berbeda

dan mengelompokkannya ke dalam berbagai kategori strategi. Penelitian ini

menggunakan paradigma konstruktivisme untuk melihat bagaimana mahasiswa

sebagai subjek menilai media sosial yang berlandaskan kesadaran kritis sebagai

sebuah objek yang harus dianalisa isi pesannya, dan bagaimana pesan-pesan

tersebut berpengaruh dalam konteks sosial.

2.2Kerangka Teori

Penelitian membutuhkan teori sebagai sebuah landasan yang mendukung

pemecahan masalah, dan menjadi titik tolak, dengan alasan tersebut, peneliti

menggunakan teori-teori yang relevan dengan topik permasalahan yang akan

diteliti, yaitu sebagai berikut:

2.2.1 Literasi Media

Istilah literasi media hingga saat ini masih belum banyak diketahui oleh

sebagian besar masyarakat awam dan masih merasa asing dengan istilah tersebut.

Rubin mendefinisikan, media literacy, then, is about understanding the source

and technologies of communication, the codes that are used, the message that are

produced, and the selection, interpretation, and impact of those message (Baran,

2003: 51). Defenisi yang dipaparkan oleh Rubin tersebut mengutarakan tentang

pemahaman mengenai sumber, isi dan segala unsur yang terdapat dalam informasi

yang disampaikan oleh media, kemudian proses pemilihan dan cara mengartikan

suatu pesan juga menjadi hal yang diperhatikan secara menyeluruh hingga

khalayak dapat memahami bagaimana dampak dari informasi tersebut terhadap

(3)

Literasi media memang memiliki beragam definisi yang dikemukakan oleh

beberapa ahli, salah satunya seperti yang dikemukakan oleh Potter, “a set of

perspectives that we actively use to expose ourselves to the media to internet the

meaning of the message we encounter” (Sunarto, 2012:129) . Pengertian tersebut

menyiratkan pengandaian sifat khalayak yang aktif dalam berinteraksi dengan

media. Relasi antara media dengan khalayak di zaman sekarang ini bersifat

niscaya. Artinya masyarakat modern tidak bisa melepaskan keberadaan dirinya

dari media massa.

Pengertian lain menyebutkan bahwa literasi media adalah suatu

keterampilan yang dapat dan selalu ditingkatkan untuk mempertimbangkan

pentingnya media massa dalam menciptakan dan memelihara budaya yang

membantu dan menentukan kehidupan kita (Baran, 2003: 50). Keterampilan

dalam melihat peran dari media massa ini dibutuhkan dalam menjaga kualitas

kehidupan dan berbudaya bagi khalayak, karena dengan semakin majunya

perkembangan, maka semakin terampil pula khalayak ditutuntut dalam menilai

media massa.

Alan Rubin menawarkan tiga definisi lain mengenai literasi media (Baran, 2003: 50). Yang pertama dari National Leadership Confrence on Media Literacy, yaitu kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan mengkomunikasikan pesan. Yang kedua dari ahli media Paul Messaris, yaitu pengetahuan tentang bagaimana fungsi media dalam masyarakat. Yang ketiga dari peneliti komunikasi massa, Justin Lewis dan Sut Jhally, yaitu pemahaman akan budaya, ekonomi, politik dan teknologi terhadap kreasi, produksi dan transmisi pesan. Rubin juga menambahkan bahwa definisi-definisi tersebut menekankan pada pengetahuan spesifik, kesadaran, dan rasionalitas, yaitu proses kognisi terhadap informasi.

Literasi media juga dapat dipahami sebagai kemampuan membaca,

menulis, berbicara, berpikir, dan menonton. Ketiga kemampuan tersebut dapat

dilihat dari masing-masing aspek, dan kemudian dapat pula dijadikan satu aspek.

Ketika menonton, seseorang bisa melakukan semua hal itu sekaligus berkaitan

dengan isi dari apa yang ditonton oleh mereka, sebab ketika mampu melakukan

semua hal tersebut sekaligus hal itu menandakan bahwa kemampuan berpikir

penonton sudah lebih baik dari pada hanya melakukan satu-persatu dari yang di

(4)

Hagood mengatakan bahwa literasi media kritis merupakan memberikan

individu-individu akses untuk memahami bagaimana teks-teks cetak dan bukan

cetak yang merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari dapat membantu untuk

mengkonstruksikan pengetahuan mereka tentang dunia dan berbagai posisi sosial,

ekonomi, dan politik dimana tiap individu ada di dalamnya.

Aspek-aspek literasi media baik digital maupun bukan tidak berarti

menutup kemungkinan luasnya daya cakup yang harus dimiliki ketika

mengonsumsi media. Seperti yang dijelaskan oleh Alverman, Moon dan Hagood,

pemikiran individu dipaksa untuk dapat merespon tiap isi dari media yang mereka

konsumsi agar tidak hanya sekedar mengikuti apa yang disajikan oleh media,

tetapi memiliki keturutsertaan dalam menilai setiap aspek informasi yang mereka

dapatkan, sehingga ketika ada sebuah kesalahan seperti pemihakan kepada salah

satu pihak, khalayak bisa memprediksi bagaimana tingkat akurasi penyampaian

informasi media tersebut.

Messaris menjelaskan bahwa literasi media dalam kajian yang sama dapat

didefenisikan sebagai pengetahuan tentang bagaimana media massa menjalankan

fungsinya dalam masyarakat. Definisi ini hampir berhubungan dengan penjelasan

di atas, yaitu pengetahuan khalayak mengenai semua aspek pekerjaan media

seperti landasan ekonomi, struktur organisasi, efek psikologis, konsekuensi sosial,

dan yang utama dari itu adalah bahasa media, yakni konvensi-konvensi

representasional, dan strategi-strategi retoris dari iklan, program-program televisi,

dan bentuk-bentuk lain dari isi media massa (Raharjo, 2012:13).

Definisi-defisi tersebut memaparkan bahwa penekanan definisi-definisi

tersebut adalah suatu kondisi khalayak yang secara aktif mampu memikirkan

segala sesuatu bagi dirinya dari berbagai aspek kehidupan yang ada, dan dapat

pula menganalisis hal-hal yang berkaitan dengan media yang dikonsumsi.

Berbagai kemampuan tersebutlah yang menjadi tujuan literasi literasi media agar

khalayak memiliki kesadaran dalam menggunakan media dalam kehidupannya

(5)

Perpaduan antara kecakapan dengan pengetahuan, The National

Leadership Conference on Media Literacy dalam Potter mengatakan bahwa

seseorang yang melek media dapat mengartikan, mengevalusi, menganalisis, dan

memproduksi pesan-pesan baik media cetak maupun media penyiaran (Raharjo,

2012:13). Orang-orang juga butuh untuk mengetahui lima hal yaitu:

1. Pesan-pesan yang dikonstruksikan.

2. Pesan-pesan media diproduksi dalam konteks ekonomi, sosial, politik,

historis, dan estetis.

3. Interpretasi terhadap proses penciptaan terhadap makna yang ada

dalam penerimaan pesan yang berisi interaksi antara pembaca, teks,

dan budaya.

4. Media memiliki bahasa yang unik, sebuah karakteristik yang

mempresentasikan beragam bentuk, genre, dam sistem lambang

komunikasi.

5. Representasi media memainkan peranan dalam pemahaman orang

tentang realitas sosial.

Menurut Hoobs, ia melihat pada apa yang terjadi dengan pesan yang

disampaikan media massa, dan dalam pendangannya, pesan-pesan yang disajikan

media massa seperti berikut (Iriantara, 22: 2009):

1. Pesan-pesan yang dikonstruksi

2. Pesan-pesan media merepresentasikan dunia

3. Pesan-pesan media memiliki tujuan dan konteks ekonomi dan politik

4. Individu membuat makna terhadap pesan media melalui penafsiran

Perihal tersebut menggambarkan mengenai bagaimana media merangkai

pemberitaan yang akan dikonsumsi oleh masyarakat sehingga literasi media

berfungsi sebagai penyaring akan hal-hal yang dianggap merugikan.

Literasi media tidak terlepas dari berbagai unsur yang membentuknya

menjadi sebuah bidang pengatahuan. Yayasan Pengembangan Media Anak

(6)

mengemukakan bahwa literasi media harus memiliki beberapa unsur

(Tamburaka, 2013:23), yaitu:

1. Khalayak

2. Pemberdayaan, dan

3. Kritis

Ada beberapa faktor penghambat seperti yang dipaparkan oleh

Buckingham dan Domaile (Iriantara, 2009:34 ), bahwa di 52 negara menunjukkan

bahwa penghambat pengembangan literasi media ini adalah:

1. Konservatisme sistem pendidikan.

2. Terus berlanjutnya resistensi terhadap budaya pop yang bernilai penting

untuk dipelajari.

3. Potensi ancaman dalam bentuk-bentuk pemikiran kritis yang melekat

(inherent) pada pendidikan media.

Sejumlah isu yang mengemuka dalam literasi media ada yang mencul ke

permukaan. Menurut Burn dan Durran, yang petama, bahwa literasi media adalah

sesuatu yang bersifat kultural, dimana masyarakat harus dilibatkan secara aktif.

Kedua, literasi media menyangkut tentang berfikir kritis. Ketiga, literasi media

bersifat kreatif (Nur dan Junaedi, 2013:51).

Keberhasilan iterasi media tidak terlepas dari peran pendidikan media, dan

keberhasilan pendidikan media ditentukan oleh berbagai faktor yang tidak hanya

melibatkan dunia pendidikan, namun juga profesional media dan dukungan

kelembagaan. Hal ini menyangkut tujuan dari pendidikan media itu sendiri yaitu

literasi media yang berupa kemahiran yang dinamakan kompetensi media.

Secara umum, literasi media memiliki tiga tujuan pokok, yakni perbaikan

dan peningkatan kehidupan individu-individu, pengajaran (literasi media perlu

dimasukkan dalam kurikulum pendidikan), dan literasi media sebagai aktivisme

atau gerakan sosial (Raharjo, 2012:14). Sedangkan Masterman mengatakan bahwa

tujuan dari literasi media yaitu untuk menghasilkan warga masyarakat yang

(7)

literasi media juga dipaparkan oleh The National Leadership Conference on

Media Literacy yang mengatakan bahwa tujuan mendasar dari literasi media

adalah otonomi kritikal dalam berhubungan dengan semua media yang meliputi

tanggung jawab sosial, apresiasi dan ekspektasi estetika, advokasi sosial, harga

diri, dan kompetensi pengguna. Masterman berpendapat bahwa tujuan dari literasi

media adalah untuk menjadikan warga masyarakat menjadi well-informed yang

dapat membuat penilaian mereka sendiri berdasarkan bukti-bukti yang tersedia,

bukan hanya sekedar dari kabar burung yang didengar. Pendidikan media tidak

berusaha mendesakkan gagasan tentang program-program televisi, surat kabar

film atau media sosial yang baik atau buruk.

Literasi media sebagai aktivisme atau gerakan sosial, Anderson memakai

istilah impact mediation untuk merujuk pada pikiran atau perilaku yang

distimulasi oleh isu-isu sosial yang dipengaruhi oleh isi media. Beberapa contoh

dari isu-isu tersebut adalah kekerasan, materialisme, distorsi dalam pemberitaan

dan strereotip terhadap ras, gender, orientasi seksual, dan kelas. Buckingham

mengatakan bahwa komunitas-komunitas yang berinteraksi dalam konteks sosial

dan kultural seharusnya diciptakan dan kesadaran ini seharusnya digunakan untuk

memutuskan posisi-posisi tekstual apa yang akan diterima (Raharjo, 2012:15).

Berdasarkan pandangan lain, Devito menawarkan cara-cara untuk

meningkatkan kemampuan literasi media. Hal yang perlu dilakukan adalah

meningkatkan kepekaan terhadap media dengan mengkaji bagaimana dalam

penggunaan media (Raharjo, 2012:22). Jika memungkinkan, perlunya melakukan

pencatatan terhadap waktu yang digunakan dalam mengonsumsi pesan-pesan

media dalam sehari, media yang paling sering digunakan, maksud atau tujuan

menggunakan media, dan imbalan yang diperoleh dalam menggunakan media.

2.2.1.1Elemen-Elemen Literasi Media

Silverblatt mengidentifikasi beberapa elemen yang menjadi dasar dalam

literasi media (Raharjo, 2012:15), yaitu :

1. Kecakapan berpikir kritis yang memungkinkan khalayak mampu

(8)

2. Pemahaman tentang proses komunikasi massa.

3. Kesadaran tentang dampak media terhadap individu dan masyarakat.

4. Strategi-strategi untuk menganalisis dan mendiskusikan pesan-pesan

media.

5. Pemahaman tentang isi media sebagai sebuah teks yang memberikan

pandangan ke dalam budaya dan kehidupan.

6. Kemampuan untuk menikmati, memahami, dan memberi apresiasi

terhadap isi media.

7. Pengembangan kecakapan-kecakapan produksi yang efektif dan

bertanggung jawab.

8. Pemahaman mengenai kewajiban etis dan moral dari para praktisi

media.

Berikut penjelasan mengenai delapan elemen dalam literasi media:

Pertama, berpikir kritis tentu akan membuat penonton lebih dewasa dalam

memberi penilaian terhadap media, bukan hanya karena kontennya saja tetapi

secara keseluruhan. Berpikir secara kritis mengenai isi yang dikonsumsi

merupakan hal yang penting dalam literasi media. mengapa menonton apa yang

ditonton, membaca apa yang dibaca, mendengarkan apa yang didengarkan? Jika

tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka seseorang akan

dianggap tidak memiliki tanggung jawab terhadap diri sendiri dan pilihannya.

Kedua, jika mengetahui komponen-komponen dari proses komunikasi

massa dan bagaimana setiap komponen tersebut berhubungan, maka dapat tercipta

harapan-harapan tentang bagaimana khalayak dapat dilayani oleh media dalam

artian yang sesungguhnya. Selanjutnya yaitu bagaimana kesadaran khalayak

terhadap media. Tulisan dan cetakan telah merubah dunia dan orang di dalamnya.

Hal yang sama juga dilakukan oleh media. Jika mengabaikan dampak yang

bersumber dari media terhadap kehidupan pribadi, maka tidak cukup hanya

memiliki kemampuan untuk mengendalikan dampak yang terjadi, tetapi

(9)

Keempat, untuk mengonsumsi isi pesan media secara bijak, maka akan

dibutuhkan sebuah landasan yang berbasis pada keyakinan dan refleksi. Jika akan

menciptakan sebuah makna, maka haruslah memiliki peralatan yang dibutuhkan

(seperti pemahaman mengenai maksud dan dampak dari film dan

konveksi-konveksi video, seperti sudut bidik kamera dan tata lampu), selain itu untuk

mendiskusikan tentang sesuatu terkait isi media, maka kemampuan menganalisis

juga harus ditingkatkan.

Kehidupan modern seperti saat ini hampir sebagian besar aktivitas

komunikasi, membentuk pemahaman dan pandangan ke dalam budaya didominasi

oleh berbagai pesan-pesan media, dan tidak jarang pula isi media menjadi pacuan

sebagian individu agar tampil dan berpenampilan sebagaimana yang sering dimuat

oleh media dengan menampilkan gaya kaum selebritas sehingga dijadikan

trendsetter yang kemudian ditiru. Bahaya dari konten non-lokal bagi khalayak

yang tidak mampu membentuk pemahamannya mengenai berita seperti itu adalah

menghilangnya budaya lokal yang ada pada diri individu itu sendiri.

Isi media tidak selalu harus dicemooh dan diburukkan ketika ada

kesalahan ataupun ketika khalayak menyadari bahwa isi dari media tersebut tidak

pantas untuk ditayangkan. Literasi media tidak bermakna apabila berada dalam

kehidupan yang tidak kompromistik atau menjadi selalu tidak percaya terhadap

efek yang merusak dan degradasi budaya. Belajar untuk menikmati, memahami,

dan mengapresiasi isi dari media termasuk kemampuan untuk menggunakan

beragam titik akses guna mendekati isi media dari berbagai arah.

Penjelasan berikutnya yakni literasi tradisional beranggapan bahwa orang

yang dapat membaca juga dapat menulis. Literasi media juga beranggapan yang

sama. Definisi mengenai literasi media tidak hanya terkait dengan pemahaman

mengenai isi media yang efektif dan efisien, tapi juga penggunaan yang efektif

dan efisien pula. Oleh karena itu, individu-individu yang melek media seharusnya

dapat mengembangkan kecakapan yang produktif sehingga memungkinkan untuk

(10)

Media literasi dikatakan sempurna jika dapat memahami keseluruhan

mengenai media dan segala hal yang bersangkutan mengenai media itu sendiri,

untuk dapat mengerti dan memahami bagaimana media dan isi yang seharusnya

maka langkah pertama yaitu dengan memahami kewajiban-kewajiban praktisi

media baik secara etis dan moral.

2.2.1.2Karakteristik Literasi Media

Potter mencatat sembilan karakteristik dari literasi media, atau deskripsi

tentang apa yang dibutuhkan seseorang untuk berpikir dan bertindak agar dinilai

melek media (Raharjo, 2012:18).

1. Kecakapan dan informasi merupakan hal yang penting.

2. Literasi media adalah seperangkat perspektif di mana kita mengekspos diri

terhadap media dan mengartikan makna dari pesan-pesan yang ditemukan.

3. Literasi media harus dikembangkan. No one is born media literate.

4. Literasi media bersifat multi dimensi.

5. Literasi media tidak dibatasi pada satu medium.

6. Orang yang melek media dapat memahami bahwa maksud dari literasi

media yaitu kemampuan mengendalikan pesan-pesan yang menerpanya

dan menciptakan makna.

7. Literasi media harus dikaitkan dengan nilai-nilai.

8. Orang yang melek media meningkat terpaan mindful-nya.

9. Orang yang melek media mampu memahami bahwa literasi media adalah

sebuah kontinum, bukan kategori.

Informasi yang dimiliki, namun tidak mempunyai kecakapan, maka akan

sulit untuk memahami informasi dengan baik. Informasi akan tersimpan dalam

memori namun tidak diintegrasikan ke dalam struktur-struktur pengetahuan.

Kecakapan dalam hal inilah yang dimaksud kemampuan untuk menganalisis

mengevaluasi, membuat sintesis, dan ekspresi persuasif. Sisi yang lain

menjelaskan, jika memiliki kecakapan kecakapan namun tidak merepresentasikan

diri ke dalam pesan-pesan media atau pengalaman dunia nyata, maka

(11)

media, isi media, efek media, dan informasi tentang media merupakan kawasan

utama dari pengetahuan.

Perspektif dibangun dari struktur-struktur pengetahuan. Struktur

pengetahuan akan membentuk landasan untuk bisa melihat fenomena media yang

multi aspek: organisasi, isi, dan efeknya terhadap individu dan institusi. Semakin

banyak struktur pengetahuan yang dimiliki, maka akan semakin banyak fenomena

media akan dapat dilihat. Semakin berkembang struktur pengetahuan, maka akan

semakin banyak konteks yang dimiliki untuk membantu memahami apa yang

dilihat, dan hal tersebut dapat memperluas perspektif dalam melihat media.

Literasi media merupakan sesuatu yang harus dikembangkan dan tidak dapat

muncul secara langsung dan hal tersebut mempersyaratkan usaha dari setiap

individu. Pengembangan adalah proses jangka panjang yang tidak pernah

berhenti, yakni tidak seorangpun akan mencapai tahapan literasi yang lengkap.

Kecakapan akan dapat selalu dikembangkan dalam tingkatan yang lebih tinggi.

Jika kecakapan tidak diperbaiki secara berkelanjutan, maka kecakapan yang

dimiliki akan menurun (atrophy). Selain itu, struktur-struktur pengetahuan tidak

akan pernah berakhir, karena media dan dunia nyata secara konstan mengalami

perubahan.

Berikutnya yaitu informasi dalam struktur-struktur pengetahuan tidak

dapat dibatasi pada elemen-elemen kognitif saja, tapi juga berisi elemen-elemen

emosional, moral dan estetika. Struktur-struktur pengetahuan yang kuat akan

berisi informasi dari empat ranah tersebut. Jika salah satu tipe informasi hilang,

maka struktur pengetahuan menjadi kurang tereleborasi.

Gagasan lama mengenai literasi media hanya dibatasi pada kegiatan

membaca dan lambang-lambang komunikasi yang diakui saja. Literasi media

adalah hal yang luas, yakni mengkonstruksikan makna dari pengalaman dan

konteks ekonomi, budaya, politik, dan lain sebagainya. Menjadi melek media

merupakan kemampuan melakukan kontrol terhadap terpaan media dan

mengkonstruksi makna dari pesan-pesan yang disampaikan oleh media. Ketika

(12)

apa yang penting dalam hidup mereka dan menata harapan untuk memperoleh

pengalaman dari hal-hal yang penting. Jika seseorang tidak melakukannya, maka

pesan-pesan media akan melimpah ke dalam kondisi yang kurang

menguntungkan.

Masterman menegaskan bahwa pendidikan media tidak berusaha untuk

memaksakan nilai-nilai budaya yang spesifik, tidak pula berusaha untuk

memaksakan gagasan-gagasan tentang apa yang baik dan buruk. Pendidik media

tidak mengartikan pesan-pesan yang baik dan buruk, tetapi menegaskan bahwa

terpaan yang reaktif terhadap pesan merupakan hal yang buruk, dan bahwa

menginterpretasikan pesan secara aktif adalah hal yang baik.

Seseorang yang mempunyai pandangan kuat mengenai fenomena media

sangat berpotensi untuk bertindak dalam persoalan melek media. Seperangkat

struktur pengetahuan tidak akan mengindikasikan melek media, tetapi orang harus

aktif dan proaktif dalam menggunakan informasi. Dengan demikian, orang yang

melek media hanya akan menggunakan sedikit waktu untuk memproses informasi.

Semakin sadar terhadap tujuan menggunakan media dan membuat keputusan

tentang bagaimana menyaring dan memaknai konstruksi media.

Pengukuran yang mutlak tidak ada dalam literasi media. Seseorang tidak

bisa dikatakan tidak memiliki literasi media dan tidak pula dikatakan seseorang

tersebut adalah sangat melek media. Perspektif mereka tentang media adalah

bagaimana orang diposisikan di sekitar kontinum dalam literasi media. Oleh

karena itu ada banyak variasi yang sangat beragam dalam literasi media.

Menurut Baran bahwa mengonsumsi media merupakan hal yang mudah,

namun ketika mengonsumsinya perlu kecakapan-kecakapan yang khusus

(Raharjo, 2012:21), antara lain:

1. Kemampuan dan keinginan untuk menciptakan upaya memahami isi,

memberi perhatian dan meyaring noise. Sesuatu yang mengganggu

keberhasilan komunikasi adalah noise, dan banyak gangguan seperti itu

(13)

2. Pemahaman tentang kekuatan isi media. Media massa ada dilingkungan

sekitar dan pesan-pesan yang disampaikan gratis atau relatif tidak mahal.

Banyak isi media yang dapat diprediksi dan tanpa makna, sehingga

mudah untuk memberikan catatan bahwa isi media terlalu sederhana

untuk bisa memengaruhi.

3. Kemampuan untuk membedakan reaksi emosional dari reaksi logisketika

merespon isi media dan bertindak di dalamnya. Isi media sering

dirancang untuk menyentuh aspek emosional. Menikmati kehilangan diri

sendiri ketika menikmati isi media.bereaksi secara emosional merupakan

sesuatu yang layak dan pantas.

Kecakapan lain diutarakan oleh Hoobs yaitu bahwa kecakapan yang

dibutuhkan oleh orang yang melek media merupakan kemampuan-kemampuan

mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan mengkomunikasikan. Kecakapan

produksi juga dibutuhkan jika dihadapkan dalam kondisi saat ini yang membuat

siapa saja bisa menjadi kaki-tangan media dengan menyebarkan informasi dengan

siapa saja tanpa ada batasan.

Kemampuan literasi media menurut Devito, memiliki cara-cara agar dapat

ditingkatkan. Hal yang yang perlu dilakukan adalah meningkatkan kepekaan

terhadap media dengan mengkaji bagaimana menggunakan media, jika

memungkinkan perlu untuk melakukan pencatatan terhadap waktu yang

digunakan dalam mengonsumsi pesan-pesan media dalam sehari, media yang

paling sering digunakan, maksud atau tujuan menggunakan media, dan imbalan

yang kita peroleh dalam menggunakan media.

Berdasarkan uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa literasi media

adalah kemampuan berpikir kritis seseorang dengan menganalisa, mengamati, dan

memiliki pengetahuan mengenai media apa yag dikonsumsi, serta apa

kegunaannya dan bagaimana isi dari media tersebut dapat dipergunakan dalam

kehidupan. Seseorang tidak dapat dikatakan rendah melek media atau tinggi

melek media, karena literasi itu sendiri bersifat kontinum, sehingga semua itu

tergantung dari perspektif bagaimana seseorang melihat media dan seperti apa ia

(14)

2.2.1.3Kesadaran Kritis dalam Literasi Media

Pemikiran teoritik tentang literasi media merupakan produk dari sejarah

intelektual barat. Pemikiran tersebut terkandung lebih kurang dua pernyataan

penting mengenai literasi media, yang pertama yaitu literasi media mendorong

munculnya pemikiran kritis khalayak terhadap program-program yang disajikan

media. Kedua adalah literasi media memungkinkan terciptanya kemampuan untuk

berkomunikasi secara kompeten dalam semua bentuk media, dan lebih bersikap

proaktif dari pada reaktif dalam memberi makna tehadap program-program yang

disajikan oleh media (Raharjo, 2012:22). Kemunculan literasi media menjadi

pendorong khalayak untuk harus bersikap kritis terhadap media beserta

kontennya, terlebih lagi dengan kehadiran berbagai media sosial yang menuntut

khalayak untuk lebih aktif lagi dalam bermedia, tetapi juga lebih menuntut untuk

tetap menjaga diri mereka dengan memiiki kesadaran kritisnya masing-masing

sehingga media tetap marak namun tidak kebablasan dalam menyampaikan

informasi.

Kesadaran kritis juga sering dianggap sebagai remeh karena dianggap

tidak terlalu berpengaruh, namun sama seperti keterampilan lainnya, keterampilan

ini juga harus ditingkatkan, dan apabila kita menganggap betapa pentingnya

media massa dalam menciptakan dan memelihara budaya yang menolong kita

mendefinisikan diri kita sendiri dan kehidupan kita, ini adalah keterampilan yang

harus ditingkatkan. Keterampilan dalam berpikir kritis terhadap isi media yang

diserap adalah esensi dasar melek media, sehingga terjaganya nilai-nilai, sikap,

karakter, etika, budaya, merupakan hasil dari besarnya kesadaran dan kekritisan

tiap anggota masyarakat sebagai konsumen media. Khalayak yang mengabaikan

kesadaran kritis dalam bermedia akan mengahadapi kondisi yang sebaliknya,

terjebak di dunia utopis dan terbawa arus perubahan, dan bukan mengendalikan

dan mengarahkan kemana perubahan itu membawa.

Silverblatt (Baran, 2003:51) menyebutkan beberapa butir tujuan dari literasi

(15)

untuk mendapatkan informasi secara benar, terkait cakupan media dengan

membandingkan antara media yang satu dengan yang lain. Yang kedua yaitu lebih

sadar akan pengaruh media dalam kehidupan sehari-hari, dan menginterpretasikan

pesan tersebut. Kemudian membangun sensitivitas terhadap program-program

sebagai cara mempelajari kebudayaan. Terakhir yaitu mengetahui pola hubungan

antara pemilik media dan pemerintah.

Dampak literasi media pada individu yang dipaparkan oleh Silversblatt,

yaitu kesadaran kritis, diskusi, pilihan kritis, dan aksi sosial. Penjelasan Silverblatt

tersebut pada dasarnya sama dengan konsep kompetensi media yang dikemukakan

oleh Gapski dan Gehrke yang menekan pada daya kritis, refleksi, dan

independensi. Kesadaran kritis, pilihan kritis, pada dasarnya merupakan hal yang

bersangkutan satu dengan yang lain, yaitu kemampuan untuk melihat,

menganalisa, menilai, dan menginterpretasikan pesan yang ada yang kemudian

segala informasi yang diterima disaring dan dipilih berdasarkan tingkat kebutuhan

dan seberapa tinggi nilai faktualitas dan aktualitas, serta bagaimana informasi

tersebut dapat berdampak bagi kehidupan (Iriantara, 2009:35).

Kesadaran kritis dalam konteks literasi media menjadi sebuah hal yang

fundamental jika melihat dari dua gagasan yang dikemukakan oleh Silverblatt,

yaitu menjadi tujuan dan dampak dari literasi media bagi khalayak, sehingga

ketika dampak itu sudah tercapai, maka tercapai pulalah tujuan dari literasi media

tersebut. Tameng untuk menghadapi media telah terbentuk sedemikian rupa ketika

kesadaran dan kekritisan sudah dimikili oleh seseorang, ia tidak hanya dapat

melindungi diri sendiri tetapi juga dapat menjadi seorang pelindung bagi

khalayak.

Kegiatan literasi selain meningkatkan keterampilan sebagaimana

dijelaskan sebelumnya juga bisa digunakan untuk menumbuhkan kesadaran

kegiatan ini dapat dilakukan melalui pemahaman terhadap proses, konteks,

struktur, dan nilai produksi. Selain itu, peningkatan kesadaran bisa dilakukan

melalui denaturalisas media dengan cara menciptakan pemahaman baru bahwa

pesan-pesan media adalah konstruksi dan tidak terjadi secara alamiah. Media

(16)

Menurut O’Neil, adanya pergeseran dalam tujuan literasi media dari

paradigma proteksionis yang bertujuan melindungi dari pengaruh buruk media

massa menjadi paradigma kritis yang berupaya memberdayakan khalayak dengan

menumbuhkembangkan kesadaran kritis pada tiap individu, hal ini dikarenakan

sekedar melindungi tanpa melakukan apapun tentu dampak berbeda dengan segala

perkembangan yang ada di era globalisasi saat ini (Iriantara, 2009:21).

Penggunaan daya analisis dan berpikir tentunya tidak sekedar membatasi diri akan

konten-konten media, tetapi juga dapat memahami bagaimana industri media

menggunakan kontennya sebagai salah satu cara menjatuhkan mental dengan

tayangan dan informasi yang tidak layak.

Darmawan menjelaskan bahwa literasi media merupakan gerakan

membangun kesadaran dan kemampuan publik untuk mengendalikan penggunaan

media dalam memenuhi kebutuhannya. Kesadaran dan kemampuan yang

dimaksud bukan hanya kemampuan memilih media, namun juga dengan isi dari

media tersebut (Sasangka dan Darmanto, 2010:21), dan dengan memiliki media

literasi yang kritis, masyarakat memiliki kemampuan untuk melakukan

perubahan, setidaknya dimulai dari individu ketika mereka berhadapan dengan

media biasa sampai kepada mereka harus menghadapi persaingan media yang

semakin ketat sehingga dimulai dari industri media raksasa hingga ke

media-media baru yang memiliki kekuatan yang diperhitungkan denga tampilan dan

gaya barunya dalam menyajikan informasi. Khalayak harus tahu bagaimana

memposisikan diri agar melek dengan semua pesan-pesan media yang ada dengan

daya persaingan mereka yang semakin sengit itu. Cara berpikir juga menjadi salah

satu faktor apakah khalayak sudah cukup kritis atau tidak. Hal tersebut dapat

dilihat dari bagaimana prilaku seseorang setelah mengetahui sebuah informasi

yang didapatnya dari media apakah ia akan langsung membenarkan apa yang

diterimanya atau kembali mencari refenrensi dari sumber yang berbeda.

Kondisi media yang kini tengah menghadapi beragam media baru tentunya

membutuhkan pula kesadaran kritis tiap anggota masyarakat agar tidak terikut

arus media seperti media sosial, yang juga sedang marak digunakan oleh berbagai

(17)

kebutuhan, seperti mengakases berita, baik video maupun tulisan dari berbagai

sumber baik media resmi hingga sekarang banyak kalangan masyarakat sendri

yang menjadi journalist citizen, mengaharuskan agar memiliki kesadaran dalam

menggunakan media serba canggih tersebut. Hal itu dapat menjadi penengah di

antara informasi dari media sosial dengan masyarakat dan berfungsi sebagai

penyaring alami sampah-sampah media dengan informasi yang berguna, namun

kekritisan dalam media sosial juga sangat penting mengingat yang menyebarkan

informasi adalah masyarakat luas, tentu akan menjadi sebuah kerja keras untuk

menganalisis setiap berita yang diterima dari beragam kalangan agar tidak mudah

terkecoh dengan berita ngasal yang sering kita dapatkan.

Hoobs menangkap daya kritis masyarakat dalam menghadapi media baru

disebabkan oleh banyaknya informasi yang tersedia, dam semakin mudah juga

cara untuk mendapatkan informasi tersebut, hal itu justru meningkatkan kesulitan

untuk menentukan nilai sesungguhnya dari informasi yang ada (Hastarjo,

2012:153). Khalayak cenderung lebih mementingkan format dan design penyajian

informasi di media baru seperti media sosial dibandingkan dengan tingkat

kredibilitas isi informasinya. Rendahnya tingkat kredibelitas yang beredar di

media sosial seharusnya menjadi sebuah ancaman bagi perkembangan informasi

bagi khalayak, namun hal ini seperti masih tidak terlihat sebagai sesuatu yang

membahayakan karena banyaknya yang belum memiliki kesadaran kritis mereka

dalam bermedia sosial.

Kesadaran kritis pada masyarakat membutuhkan dukungan untuk

mengembangkan pemahaman mengenai kesadaran dalam melek media dan lebih

membimbing dalam menggunakannya, yang disebut sebagai kelompok strategis.

Kelompok ini disebut strategis karena ada kemungkinan menyebarluaskan

kembali pengetahuan dan keterampilan melek media yang dimilikinya kepada

warga masyarakat yang lain. Kelompok-kelompok strategis ini dapat menjadi

agen penyebarluas kemampuan melek media di lingkungannya. Salah satu yang

termasuk ke dalam kelompok strategis tersebut adalah guru. Profesi sebagai

pendidik memungkinkan untuk berinterasksi dengan siswa dan ada kalanya

(18)

informasi-informasi dan seputar pengetahuan mengenai melek media ini di tengah

pelajaran yang disampaikannya. Secara sosial juga, guru memiliki posisi sosial

yang istimewa di tengah lingkungannya sehingga kerap menjadi panutan bagi

warga sekeliling lingkungannya. Sisi strategis lain yang membuat sosok guru

menjadi istimewa adalah perannya dalam mempersiapkan masa depan generasi

muda, yang artinya guru merupakan pembentuk generasi melek media di tengah

semakin pesatnya media berkembang nanti.

Kelompok strategis lainnya adalah ibu rumah tangga yang bekerja pada

sektor formal maupun informal, dan ada beberapa alasan yang menjadi latar

belakang mengapa ibu rumah tangga merupakan kelompok strategis, yaitu:

1. Ibu rumah tangga yang tidak bekerja ataupun bekerja menjalankan peran

penting dalam mendidik putra-putrinya, dengan posisi seperti itu, maka

ibu rumah tangga diharapkan mampu menyebarluaskan pemahamannya

atas literasi media pada anggota keluarga dan sesama warga masyarakat.

2. Ibu rumah tangga yang tidak bekerja pada umumnya memiliki waktu

luang yang lebih banyak, sehingga sering mengisi waktunya dengan

menonton televisi, mendengarkan siaran radio atau membaca

koran/majalah, oleh sebab itu ibu rumah tangga masuk dalam salah satuu

kelompok khalayak sasaran penting bagi media massa, baik media cetak

maupun elektronik. Khalayak yang menjadi sasaran media yang penting

berarti juga menjadi sasaran iklan-iklan komersial yang mendorong sikap

konsumtif, sehingga diperlukan kemampuan untuk secara kritis

mengonsumsi pesan-pesan media.

3. Ibu rumah tangga merupakan pelaksana pendidikan keluarga yang

dilakukan oleh berbagai organisasi ibu seperti PKK (Pendidikan

Kesejahteraan Keluarga), dan Posyandu (Pos Layanan Terpadu), maka

pendidikan literasi media ini bisa dikatakan sebagai bagian dari pendidikan

keluarga yang bertujuan untuk menyebarluaskan dan memperkaya

pengalaman anggota-anggota keluarga untuk berpartisipasi dengan

(19)

4. Media massa sendiri sering menempatkan ibu rumah tangga sebagai salah

satu khalayak sasaran yang utama, sehingga pengelola media menyediakan

program khusus yang ditujukan untuk ibu rumah tangga.

Peran ibu rumah tangga juga sebagai sasaran utama terkait posisi strategis

mereka dalam menyebarkan kesadaran media kepada keluarga, terutama

anak-anak, yang dalam hal ini ketika seseorang mendidik seorang ibu rumah tangga,

maka sama dengan mendidik dua generasi sekaligus, sehingga peran ibu di dalam

sebuah keluarga sangat penting untuk mengayomi dan membimbing keluarga dan

anak-anaknya dalam menggunakan media (Tim Peneliti PKMBP, 2013:77).

Kesadaran kritis dalam literasi media disebut juga sebuah hubungan yang

mutlak dan saling terikat satu dengan yang lainnya karena apabila memiliki

kesadaran kritis sudah dipastikan orang tersebut melek media, begitu pula

sebaliknya jika sudah benar-benar memahami dan mengaplikasikan literasi media

dalam kehidupan, maka akan terbentuk kesadaran kritis di dalam diri sehingga

dapat menyaring berbagai informasi yang diterima untuk masing-masing individu.

2.2.2 Kesadaran Kritis

Menurut Paulo Freire, ada tiga bentuk kesadaran yang dimiliki manusia,

yang pertama kesadaran kritis yaitu kesadaran yang paling tinggi dalam arkeologi

kesadaran manusia menurut Paulo Freire adalah kesadaran kritis. Manusia dalam

kesadaran ini mampu berpikir dan bertindak sebagai subjek serta mampu

memahami realitas keberadaannya secara menyeluruh, mampu memahami

pemahaman yang kurang baik dalam teks dan realitas. Dan yang perlu diingat

pada perkataan Freire adalah kesadaran kritis tidak bisa diimpose atau

didepositokan, tapi harus dilahirkan lewat usaha yang kreatif dari dalam diri

sendiri . Masyarakat dengan tingkat kesadaran kritis masih sedikit ditemui saat

ini. mungkin karena masyarakat sudah terbiasa di-nina bobo-kan. Sehingga susah

untuk berpikir kritis. Akibatnya susah untuk mencapai keadilan. Karena jumlah

mereka yang berpikir kritis ini masih sedikit kalah dengan suara mereka yang

(20)

Berbeda dengan kesadaran naif, kesadaran ini justru melihat kalau sistem

dan strukturlah yang menjadi sumber masalah. Maka dalam pandangan ini,

masyarakat harus dididik untuk menemukan keterkaitan antar setiap sistem,

menemukan cela, lalu berusaha membangun ruang baru yang lebih

mengembangkan potensi masyarakat (http://www.kompasiana.com).

2.2.3 Media Baru dan Literasi Media Digital

Media baru dalam katergorisasi media banyak ditafsirkan sebagai media

dengan sebuah hal yang baru, dan bahkan baru dalam konteks jenisnya. Flew

merangkum beberapa pendapat ahli ke dalam sebuah definisi mengenai media

baru, yaitu semua bentuk media yang menggabungkan 3 C; computing

(komputerisasi) dan teknologi informasi, communication networks (jaringan

komunikasi), dan content (isi media) dalam format digital, dimana proses

penggabungan itu sendiri juga diawali dengan C, yaitu convergence (konvergensi)

(Hastarjo, 2012; 143). Flew juga mengatakan bahwa media baru dapat dipahami

sebagai media digital, yakni semua isi media yang menggabungkan dan

menyatukan data, teks, suara, dan berbagai gambaran/citra yang disimpan dalam

format digital dan didistibusikan melalui jaringan komunikasi seperti kabel serat

optik broadband, satelit, dam sistem transmisi gelombang mikro. Media atau

informasi dalam format digital memiliki ciri-ciri atau beberapa karakteristik yang

dikemukakan oleh Feldman ( 2012:144), yaitu:

1. Manipulable

Informasi berbentuk digital sangat mudah untuk diubah pada setiap tahap

pembuatan, penyimpanan, pengiriman, hingga penggunaan. Contohnya, dalam

setiap perubahan yang perlu dilakukan pada e-mail, kita hanya butuh waktu

beberapa menit saja untuk merubahnya. Berbeda dengan surat yang dikirim

melalui pos, yang membutuhkan waktu berhari-hari untuk bisa meralat surat yang

(21)

2. Networkable

Informasi digital dapat digunakan bersama dan saling bertukar di antara

sejumlah besar pengguna secara bersama-sama dan melintasi jarak yang hampir

tak terbatas. Misalnya, seseorang ingin memnyebarkan undangan pesta ulang

tahunnya kepada seluruh teman-temannya di Facebook, maka ia tidak perlu

mengirimkan satu persatu undangan tersebut, melainkan bisa menggunakan

sebuah room event yang dapat mengundang orang-orang kedalamnya dan berbagi

informasi yang dapat dilihat oleh semua orang yang dapat melihatnya. Kemudian

dari room tersebut, para undangan bisa mengkonfirmasi kehadirannya apakah ia

bisa datang atau tidak.

3. Dense (padat)

Informasi digital dalam jumlah yang sangat besar dapat disimpan ke dalam

media penyimpanan yang sangat kecil. Contohnya, foto-foto yang diambil dengan

kamera lama harus menggunakan film sebagai media penyimpanannya, namun

dengan kamera digital semua foto-foto yang banyak dapat disimpan dalam sebuah

kartu memori.

4. Compressible (dapat dimampatkan)

Kandungan informasi yang besar dapat dikompresi ke dalam file yang jauh

lebih kecil dan dapat diuraikan kembali ke ukuran semula apabila diperlukan.

Contohnya adalah mengubah format video dari mp4 ke 3gp.

5. Impartial

Informasi dalam format digital diperlakukan sama tanpa memperdulikan

isi, pemilik, pecipta, atau tujuan penggunaannya.

Penggunaan media baru di kalangan anak muda banyak mendapat

perhatian khusus karena menimbulkan beberapa permasalahan yang krusial.

Jenkins (Hastarjo, 2012:150) menjelaskan bahwa setidaknya ada tiga isu penting

yang harus dihadapi, yang pertama adalah masalah kesenjangan partisipasi. Hal

(22)

menggunakan internet dan media baru. Kesenjangan ini terjadi hampir dari segala

aspek, mulai dari geografis, dimana belum seluruh lokasi di sebuah negara

memiliki akses internet, dari aspek ekonomis-sosiologis, yakni meskipun sebuah

wilayah mempunyai jaringan internet yang baik, namun tidak semua kelompok

dan golongan masyarakat di wilayah tersebut mempunyai kemampuan dan

kesempatan yang sama untuk menggunakannya dikarenakan keterbatasan

finansial atau ilmu pengetahuan.

Kedua, adalah permasalahan mengenai pemahaman anak-anak muda

terhadap apa yang sedang mereka lakukan saat menggunakan media baru, dengan

kata lain persoalan ini diistilahkan dengan sebutan transparansi. Anak-anak

mudan sekalipun semakin terbiasa dengan penggunaan media baru, baik sebagai

sumber dan pendukung di dalam kegiatan mereka mengekspresikan diri ataupun

menjalin hubungan sosial, namun justru seringkali memiliki kemampuan yang

terbatas dalam menelaah dan mengkritisi media baru itu sendiri. Kemampuan

yang kurang dalam mengkritisi isi media baru ini ditanggapi juga oleh Hobbs

(Hastarjo, 2012:153) yang menjelaskan bahwa semakin banyaknya informasi yang

ada dan semakin mudahnya mudahnya cara mendapatkannya, justru semakin

tinggi kesuliatan utnuk menentukan nilai sesungguhnya dari informasi yang

tersedia. Anak-anak muda cenderung lebih mementingkan format dan tampilan

beritannya dibandingkan dengan kredibilitas, isi, dan aturan dari penyebar

beritanya.

Ketiga adalah tantangan dalam hal etika. Dalam buku Fischman yang

berjudul In Making Good; How Young People Cape with Moral Dilemmas at

Work, ia menemukan bahwa kebanyakan wartawan atau jurnalis muda belajar

norma dan etika jurnalisme dari praktek menulis berita di koran sekolah, yang

mana mereka melakukan aktivitas jurnalistik di dalam sebuah lingkungan yang

bisa dikatakan terhindar dan terlindungi dari pengaruh luar dan ada dibawah

bimbingan orang dewasa yang memiliki keahlian atau kejuruan pada praktek

jurnalistik. Hal yang seperti ini tidak dialami oleh sebagian besar anak-anak muda

pengguna media baru, karena sejak awal mengenal media baru mereka tidak

(23)

baru. Ketiga isu tersebut menjelaskan bahwa sangat pentingnya usaha untuk

melakukan literasi media baru, terutama di kalangan anak muda yang menjadi

mayoritas penggunanya.

2.2.4 Social Media (Media Sosial)

Media sosial merupakan salah satu bagian dari media baru yang

perkembangannya sangat pesat, dan kebanyakan penggunanya adalah anak muda,

sehingga kehadiran media sosial di media baru sangat diperhitungkan . begitu juga

dengan nominal jumlah penggunanya yang semakin meningkat.

Informasi dalam media sosial bisa didapat begitu mudah baik secara lokal

dan interlokal, nasional dan internasional. Di satu sisi, hal tersebut sangat

bermanfaat dalam perkembangan umat manusia, namun di sisi yang lain media

sosial juga merupakan ancaman yang sangat merusak. Berikut beberapa manfaat

dan bahaya dari sosial media (Nur dan Junaedi, 2013: 60-61):

1. Melatih anak untuk mengungkapkan ekspresinya, seperti menuliskan

hal-hal yang menggambarkan suasana hati seseorang di beranda

Facebook atau menuliskan aktivitas yang sedang dilakukan di beranda

Blackberry Messenger..

2. Media sosial menjadikan khalayak lebih bersahabat dengan lingkungan

sosialnya. Anak muda akan lebih mudah mendapatkan teman yang

sepaham atau memiliki hobi yang sama melalui media sosial dengan

bergabung di sebuah komunitas atau grup.

3. Melatih untuk memiliki kepedulian sosial. Empati dapat terbentuk

dengan komunikasi yang dilakukan, seperti mengucapkan selamat

ulang tahun, dan lain-lain.

4. Situs jejaring sosial dapat menjadi media untuk mempromosikan

kreativitas, seperti mempromosikan video stopmotion untuk dijadikan

bisnis dengan memposting foto di Instagram dan Youtube, dan

menggunakan blog seperti Wordpress guna mempromosikan hasil

(24)

Media sosial tidak hanya memiliku manfaat bagi penggunanya, bahaya

yang ada juga kerap mengancam kehidupan, yaitu:

1. Munculnya rasa malas untuk berkomunikasi di dunia nyata karena merasa

menemukan dunianya di internet.

2. Tata bahasa yang sesuai dengan aturan yang berlaku di tiap negara di

dunia media sosial seringkali diabaikan, sehingga hal ini bisa membuat

semakin membudayakan menulis di luar Ejaan Yang Disempunakan

(EYD) dan dalam bahasa Indonesia tidak sesuai dengan Kamus Besar

Bahasa Indonesia (KBBI). Kemunculan bahasa alay adalah bukti nyata

tentang hal ini.

3. Situs jejaring sosial menjadi pintu masuk bagi pelaku kejahatan. Kasus

penculikan dan kekerasan dapat dimulai dari perkenalan mereka dengan

orang yang tidak dikenal melalui situs pertemanan di media sosial. Sejauh

ini sampai pada tahun 2012, 27 dari 129 anak-anak yang dilaporkan hilang

kepada Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia diyakini telah

diculik setelah bertemu penculiknya di Facebook atauakan dibunuh.

Fenomena penggunaan media sosial saat ini semakin menekankan pada

persoalan tentang personal menjadi hal yang paling dominan saat ini. Menurut

Santosa, personalisasi penggunaan media ini menjadi menarik dikarenakan

pengguna media sosial merasa bahwa yang terlibat dalam jual beli informasi

adalah mereka yang menjadi anggota jejaring yang relatif mereka kenal secara

sosial, sehingga sering disebut bahwa media sosial merupakan praktek

kekerabatan berbasis teknologi media internet, sehingga status yang sifatnya

personal dianggap relevan untuk diketahui kerabat mereka di jejaring sosial (

Nur dan Junaedi, 59:2013),.

Mayfield dalam bukunya What is social media, membagi media sosial

menjadi tujuh jenis dasar. Pembagian ini menjelaskan beberapa hal mengenai

fungsi di media sosial. Pembagian media sosial berdasarkan fungsi tersebut akan

dijelaskan di bawah ini (Harwina (2011) Skripsi Peranan Kaskus dalam

(25)

1. Sosial Networks.

Situs yang mendukung orang-orang dalam membangun halaman web

pribadi dan dapat berkomunikasi dengan teman lama maupun menemukan teman

baru, berbagi ilmu, pengetahuan dan menjalin komunikasi, selain itu social

networks juga medapat menyediakan berbagai fitur yang memudahkan

penggunanya dalam membagikan file yang dapat berupa dokumen, video, audio,

dan bahkan ada yang menyediakan fitur video call yang dapat membuat pengguna

melakukan panggilan dengan melihat langsung lawan bicaranya melalui video.

Sosial networks saat ini semakin banyak dibuat oleh berbagai negara,seperti Line

yang berasal dari Jepang, dan Facebook yang berasal dari Amerika.

2. Blogs

Blogs adalah bentuk dari media sosial yang dapat berupa jurnal online,

berita ringan, dan bahkan menceritakan kisah kehidupannya berupa tulisan yang

tidak dibatasi. Penulisan di blog sedikit lebih rumit dibandingkan dengan media

sosial biasa, karena tidak hanya perlu mengatur tulisan dan gambar, tetapi juga

harus menyesuaikan segala konten yang akan disediakan oleh pengguna, misalnya

video, tema, atau efek-efek lainnya. Contoh dari blogs adalah Wordpress dan

Blogger.

3. Wiki

Situs yang mengizinkan orang untuk berkontribusi atau menyusun isi di

dalam wacana. Wiki tergolong dalam kolaborasi yang baik, untuk menulis

dokumen terbesar instansi atau perencanaan karya dengan kelompok di beberapa

kantor. Sifatnya dapat bersifat pribadi atau umum, tergantung orang yang menulis

di dalam dokumen, namun tidak sedikit orang-orang yang dapat memanipulasi

segala isi yang ada dalam sebuah wiki.Contoh dari wiki yaitu Wikipedia dan

(26)

4. Podcasts

Podcasts merupakan data audio atau video yang dipublikasikan melalui

internet dan pengguna dapat berlangganan.Podcasts terkadang digunakan secara

khusus untuk menggambarkan video, dan kesannya seperti video recorder

pribadi, dan juga banyak digunakan sebagai tempat untuk mencari teman, dan

banyak juga yang dijadikan sebagai tempat untuk berbagi informasi.Contohnya

AppleiTunes.

5. Forums

Tempat diskusi yang dilakukan secara online, seperti berdiskusi mengenai

sesuatu yang sedang populer, atau sedang menjadi pembicaraan hangat.Setiap

diskusi dalam forum disebut Thread, untuk memberikan wacana dan perbedaan

dalam beragumen ini memberikan tanggapan antar penikmat forum. Contoh dari

forum online ini adalah Yahoo!Answer, Meebo, Yahoo! Messenger, Line Group/

Group chat, dan lain-lain.

6. Content Communities.

Isi komunitas seperti jejaring sosial yang mengorganisasi dan berbagi

mengenai berbagai macam isi seperti foto, dan video.Harus melalui registrasi

kemudian mendapatkan home page dan dapat berkomunikasi dengan

teman.Fokusnya berbagi pada jenis keterangan dari isi, seperti Flickr yang

memuat gambar untuk dipublikasikan dan berbagi video dengan Youtube.

7. Microblogging

Microblogging adalah alat kobinasi dari blog dengan pesan singkat dan

jejaring sosial.Salah satu contohnya adalah Twitter, yang memimpin posisi

(27)

2.3Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran merupakan penjelasan sementara terhadap gejala

yang menjadi objek permasalahan kita. Kerangka ini disusun berdasarkan tinjauan

pustaka dan hasil penelitian yang relevan (Usman & Akbar, 2009: 34).Dalam

penelitian ini kerangka pemikiran digambarkan sebagai berikut:

Kesadaran Kritis Mahasiswa

Isi pesan media (baik/buruk)

Referensi

Dokumen terkait

Although, previous studies have approached the study of the CEO compensation and company performance through the measurement of one or a limited number of variables, but

Rumah Betang atau Huma betang adalah rumah adat khas Kalimantan Tengah yang terdapat di berbagai penjuru Kalimantan Tengah, terutama di daerah hulu sungai yang biasanya

Impementasi Program keluarga Harapan (PKH) Bidang Kesehatan di Desa Kalianyar Kecamatan Ngronggot Kabupaten Nganjuk. Jurnal Ilmu Adinistrasi Negara FISH Unesa. Investasi

Hasil pengolahat data arus dengan menggunakan current rose untuk arus kedalaman dasar (12 m) dimana pergerakan arus dominan ke arah timur dan barat dimana kecepatan tertinggi

Analisis QOS(Quality Of Service) Kampus UKSW Studi kasus gedung G dan F Yang dibimbing oleh :6. Felix

Dokumentasi 7 : Contoh Tanaman keluarga sayur-mayur seperti sawi, bayam. dan juga bangun-bangun yang sering

Belajar Sendiri Exchange Server 2007, Jakarta : PT Elex Media Komputindo.. [6] TIPHON.“Telecommunications and Internet Protocol Harmonization Over

Tujuan: Untuk menentukan korelasi antara kalsium, fosfor dan produk kalsium fosfor dengan skor pruritus pada pasien hemodialisis di RSUP Haji Adam Malik