• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelaksanaan Ganti Rugi Terkait Migrasi Layanan Flexi Ke Telkomsel (Studi di PT. Telkom Divre I Sumatera)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pelaksanaan Ganti Rugi Terkait Migrasi Layanan Flexi Ke Telkomsel (Studi di PT. Telkom Divre I Sumatera)"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

A. Pengertian dan Dasar Hukum Perlindungan Konsumen

Perlindungan konsumen merupakan bagian tak terpisahkan dari kegiatan bisnis yang sehat. Dalam kegiatan bisnis yang sehat terdapat keseimbangan perlindungan hukum antara konsumen dengan produsen. Tidak adanya perlindungan yang seimbang menyebabkan konsumen berada pada posisi yang lemah. Lebih-lebih jika barang atau jasa yang dihasilkan oleh produsen merupakan jenis barang atau jasa yang terbatas, produsen dapat menyalahgunakan posisinya yang monopolistis tersebut. Hal itu tentu saja akan merugikan konsumen.

Kerugian-kerugian yang dialami oleh konsumen tersebut dapat timbul sebagai akibat dari adanya hubungan hukum perjanjian antara produsen dengan konsumen, maupun akibat dari adanya perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh produsen.

(2)

Wanprestasi salah satu pihak dalam perjanjian merupakan kelalaian untuk memenuhi syarat yang tercantum dalam perjanjian. Hal ini biasanya dialami oleh pihak yang memiliki posisi lemah, dimana biasanya persyaratan-persyaratan dalam perjanjian tersebut telah dituangkan dalam suatu bentuk perjanjian baku. Perjanjian yang demikian sudah lazim dipergunakan dan memegang peranan penting dalam hukum bisnis yang pada umumnya dilandasi oleh nilai-nilai yang berorientasi pada efisiensi14.

Upaya terpenting dalam memberikan perlindungan kepada konsumen adalah melalui peraturan perundang-undangan, sehingga perlu melengkapi ketentuan perundang-undangan bidang perlindungan konsumen yang sudah ada. Hal ini perlu dilakukan dengan pertimbangan yang matang, dan tidak cukup hanya mencontoh undang-undang negara lain yang dianggap berhasil memberikan perlindungan kepada konsumen, karena keberhasilan undang-undang di negara lain belum tentu mencapai keberhasilan yang sama di Indonesia.

Di samping Undang-Undang Perlindungan Konsumen, hukum konsumen “ditemukan” di dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Terdapat peraturan perundang-undangan umum yang berlaku, memuat juga berbagai kaidah menyangkut hubungan dan masalah konsumen. Sekalipun peraturan perundang-undangan itu tidak khusus diterbitkan untuk konsumen atau perlindungan konsumen, setidak-tidaknya ia merupakan sumber dari hukum konsumen dan/atau hukum perlindungan konsumen. Beberapa di antaranya akan diuraikan berikut ini:15

14

Peter Mahmud Marzuki, Pembaruan Hukum Ekonomi Indonesia, Universitas Airlangga

Surabaya, tanpa tahun, hal.8

15

Az Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Diadit Media, Jakarta

(3)

1. Undang-Undang Dasar dan Ketetapan MPR

Hukum Konsumen, terutama Hukum Perlindungan Konsumen mendapatkan landasan hukumnya pada Undang-Undang Dasar 1945, Pembukaan, Alinea ke-4 berbunyi:

“...Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara

Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia...”

Umumnya, sampai saat ini, orang bertumpu pada kata “segenap

bangsa” sehingga ia diambil sebagai asas tentang persatuan seluruh bangsa

Indonesia (asas persatuan bangsa). Tetapi di samping itu, dari kata “melindungi”, di dalamnya terkandung pula asas perlindungan (hukum)

pada segenap bangsa tersebut. Perlindungan hukum pada segenap bangsa itu, tentulah bagi segenap bangsa Indonesia, tanpa kecuali. Baik ia laki-laki atau perempuan, orang kaya atau orang miskin, orang kota atau orang desa, orang asli atau keturunan, dan pengusaha/pelaku usaha atau konsumen.

Landasan hukum lainnya terdapat pada ketentuan yang termuat dalam Pasal 27 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Ketentuan tersebut berbunyi:

“Tiap warga negara berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”

Sesungguhnya apabila kehidupan seseorang terganggu atau diganggu pihak/pihak-pihak lain, maka alat-alat negara akan turun tangan, baik diminta atau tidak, untuk melindungi dan atau mencegah terjadinya gangguan tersebut.

(4)

Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah menetapkan berbagai Ketetapan MPR, khususnya sejak tahun 1978. Dengan ketetapan terakhir Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1993 (TAP-MPR) makin jelas kehendak rakyat atas adanya perlindungan konsumen, sekalipun dengan kualifikasi berbeda-beda, pada masing-masing ketetapan.

Dalam penyusunan peraturan perundang-undangan sebagai pelaksanaan dari TAP-MPR ini, haruslah jelas siapa yang dimaksudkan dengan pelaku usaha dan siapa pula kosnumen, apa hak-hak dan/atau kewajiban sesuai kepentingan masing-masing pihak. Pencampur-adukan keduanya, seperti pemikiran sementara orang pada saat ini, lebih banyak menimbulkan kerancuan dan kesulitan daripada kemanfaatan.

Pelaku usaha adalah pelaku usaha, dan konsumen adalah konsumen; haruslah diciptakan keadaan yang seimbang, serasi dan selaras dalam kehidupan diantara keduanya.

2. Hukum Konsumen dan Hukum Perdata

Dengan hukum perdata dimaksudkan hukum perdata arti luas, termasuk hukum perdata, hukum dagang serta kaidah-kaidah keperdataan yang termuat dalam berbagai peraturan perundang-undangan lainnya. Kesemuanya itu baik hukum perdata tertulis maupun hukum perdata tidak tertulis (hukum adat).

(5)

diperhatikan kenyataan yang ada dalam pemberlakuan berbagai kaidah hukum perdata tersebut.

Jadi, kalau dirangkum keseluruhannya, terlihat bahwa kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah hukum antara pelaku usaha penyedia barang dan/atau penyelenggara jasa dengan konsumennya masing-masing terlihat termuat dalam:

a. KUHPerdata, teruatama dalam Buku kedua, ketiga dan keempat. b. KUHD, Buku kesatu dan Buku kedua.

c. Berbagai peraturan perundang-undangan lain yang memuat kaidah-kaidah hukum bersifat perdata tentang subjek-subjek hukum, hubungan hukum dan masalah antara penyedia barang atau penyelenggara jasa dan konsumen.

3. Hukum Konsumen dan Hukum Publik

Dengan hukum publik yang dimaksudkan adalah hukum yang mengatur hubungan antara negara dan alat-alat perlengkapannya atau hubungan antara negara dengan perorangan.16 Termasuk hukum publik, dan terutama dalam kerangka hukum konsumen dan atau hukum perlindungan konsumen, adalah hukum administrasi negara, hukum pidana, hukum acara perdata, dan atau hukum acara pidana dan hukum internasional khususnya hukum perdata internasional.

Jadi, segala kaidah hukum maupun asas-asas hukum ke semua cabang-cabang hukum publik itu sepanjang berkaitan dengan hubungan hukum konsumen dan/atau masalahnya dengan penyedia barang atau

16

(6)

penyelenggara jasa, dapat pula diberlakukan. Dalam kaitan ini antara lain ketentuan perizinan usaha, ketentuan pidana tertentu, ketentuan-ketentuan hukum acara dan berbagai konvensi dan atau ketentuan-ketentuan hukum pidana internasional.

Diantara kesemua hukum publik tersebut, tampaknya hukum administrasi negara, hukum pidana, hukum internasional khususnya hukum perdata internasional, dan hukum acara perdata serta hukum acara pidana paling banyak pengaruhnya dalam pembentukan hukum konsumen.

Ketentuan hukum administrasi, misalnya menentukan bahwa: Pemerintah melakukan pengaturan dan pembinaan rumah susun dan pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-Undang (termuat dalam Pasal 4 Ayat (1) dan Pasal 20 Ayat (1) Undang-Undang tentang Rumah Susun, Undang-Undang Nomor 16 Thaun 1985 LN Tahun 1985 NO.75).

Selanjutnya dalam Undang-Undang Kesehatan, Undang-Undang No. 23 Tahun 1992, Pasal 73 ditentukan:

“Pemerintah melakukan pembinaan terhadap semua kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaran upaya kesehatan”.

Dalam Pasal 76 Undang-Undang itu dijelaskan pula peran pengawasan yang dijalankan oleh pemerintah, sedangkan Pasal 77 menegaskan wewenang pemerintah untuk mengambil berbagai tindakan administratif terhadap tenaga kesehatan dan atau sarana kesehatan yang melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini.

(7)

administratif berupa pengawasan dan pembinaan terhadap pelaku usaha dengan perilaku tertentu dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan tersebut. Misalnya, tindakan adiministratif terhadap tenaga kesehatan dan atau sarana kesehatan yang melanggar undang-undang (UU No.23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, Pasal 77).

Pasal 77 itu berbunyi:

“Pemerintah berwenang mengambil tindakan administratif terhadap tenaga

kesehatan dan atau sarana kesehatan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan ini”.

Penjelasan pasal ini menentukan: tindakan administratif dalam pasal ini dapat berupa pencabutan izin usaha, izin praktek, atau izin lain yang diberikan, serta penjatuhan hukum disiplin berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tindakan administratif terhadap tenaga kesehatan dilakukan setelah mendengar pertimbangan majelis Disiplin Tenaga kesehatan.

Setelah membincangkan hal-hal diatas, kita perlu mengetahui apa yang dimaksud dengan “perlindungan konsumen”. Menurut Undang-Undang Nomor 8

(8)

Hukum konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk (barang/jasa) antara penyedia dan penggunanya dalam kehidupan masyarakat.17

Sedangkan hukum perlindungan konsumen merupakan bagian khusus hukum konsumen yaitu keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalah penyediaan produk (barang/jasa) konsumen antara penyedia dan penggunanya dalam kehidupan bermasyarakat.18

Kepastian hukum untuk melindungi hak-hak konsumen, yang diperkuat melalui undang-undang khusus, memberikan harapan agar pelaku usaha tidak lagi bertindak sewenang-wenang yang selalu merugikan hak-hak konsumen. Dengan adanya UU Perlindungan Konsumen beserta perangkat hukum lainnya, konsumen memiliki hak dan posisi yang berimbang, dan mereka pun bisa menggugat atau menuntut jika ternyata hak-haknya telah dirugikan atau dilanggar oleh pelaku usaha.

Dari latar belakang dan definisi tersebut kemudian muncul kerangka umum tentang sendi-sendi pokok pengaturan perlindungan konsumen, yang kurang lebih bisa dijabarkan sebagai berikut:19

1. Kesederajatan antara konsumen dan pelaku usaha. 2. Konsumen mempunyai hak.

3. Pelaku usaha mempunya kewajiban.

4. Pengaturan tentang perlindungan konsumen berkontribusi pada pembangunan nasional.

5. Perlindungan konsumen dalam iklim bisnis yang sehat. 6. Keterbukaan dalam promosi barang atau jasa.

7. Pemerintah perlu berperan aktif.

(9)

8. Masyarakat juga perlu berperan serta.

9. Perlindungan konsumen memerlukan terobosan hukum dalam berbagai bidang.

10. Konsep perlindungan konsumen memerlukan pembinaan sikap.

Dalam penjelasan UUPK, disebutkan bahwa kedudukan UUPK dimaksudkan sebagai landasan hukum yang kuat bagi pemerintahan dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen. Undang-Undang Perlindungan Konsumen merupakan “payung” yang mengintegrasikan

dan memperkuat penegakkan hukum perlindungan konsumen. Penjelasan UUPK juga memberikan dasar terbukanya kemungkinan pembentukan undang-undang baru yang bermaksud untuk melindungi konsumen.

Keberadaan UUPK pada dasarnya bukan merupakan awal dan akhir dari hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen. Pasal 64 UUPK menyebutkan bahwa:

“Segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang bertujuan melindungi

konsumen yang telah ada pada saat undang-undang ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus dan atau tidak benrtentangan dengan ketentuan dalam undang-undang ini”.

(10)

B. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen

Dalam Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia terdapat beberapa asas dan tujuan guna memberikan arahan dalam implementasinya. Dengan adanya asas dan tujuan yang jelas, Hukum Perlindungan Konsumen memiliki dasar pijakan yang kuat.

1. Asas Perlindungan Konsumen

Dalam setiap undang-undang yang dibuat pembentuk undang-undang, biasanya dikenal sejumlah asas atau prinsip yang mendasari diterbitkannya undang itu. Asas-asas hukum merupakan fondasi suatu undang-undang dan peraturan pelaksanaannya. Bila asas-asas dikesampingkan, maka runtuhlah bangunan undang-undang itu dan segenap peraturan pelaksanaannya.

Mertokusumo memberikan ulasan asas hukum sebagai berikut:

”...bahwa asas hukum bukan merupakan hukum konkrit, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak, atau merupakan latar belakang peraturan konkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat ditemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan konkrit tersebut.”20

Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, terdapat lima asas perlindungan konsumen yaitu:

a. Asas manfaat

Asas ini dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus

20

Yusuf Shofie (a), Pelaku Usaha, Konsumen, dan Tindak Pidana Korporasi, cet. 1, Ghalia

(11)

memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan

b. Asas keadilan

Asas ini dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

c. Asas keseimbangan

Asas ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual.

d. Asas keamanan dan keselamatan konsumen

Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

e. Asas kepastian hukum

(12)

Kelima asas yang disebutkan dalam pasal tersebut, jika diperhatikan substansinya, maka dapat dibagi menjadi tiga asas, yaitu:21

a. Asas kemanfaatan yang di dalamnya meliputi asas keamanan dan keselamatan konsumen;

b. Asas keadilan yang di dalamnya meliputi asas keseimbangan; dan

c. Asas kepastian hukum.

2. Tujuan Perlindungan Konsumen

Konsumen merupakan pihak yang sangat rentan terhadap perilaku yang merugikan yang dilakukan oleh pelaku usaha, sehingga konsumen perlu mendapat perlindungan.

Dengan adanya perlindungan konsumen maka diharapkan tindakan sewenang-wenang pelaku usaha yang merugikan konsumen dapat ditiadakan.

Adapun tujuan yang ingin dicapai dari perlindungan konsumen, dimuat dalam Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang menyatakan bahwa:

Perlindungan konsumen bertujuan:

a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;

b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan,

dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

21

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, PT.Rajagrafindo

(13)

d. Menciptakan sistem perlindungan yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;

f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

C. Prosedur Penyelesaian Sengketa Perlindungan Konsumen

1. Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan

Penyelesaian sengketa yang timbul dalam dunia bisnis, merupakan masalah tersendiri, karena apabila para pelaku bisnis menghadapi sengketa tertentu, maka dia akan berhadapan dengan proses peradilan yang berlangsung lama dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit, sedangkan dalam dunia bisnis, penyelesaian sengketa yang dikehendaki adalah yang dapat berlangsung cepat dan murah. Di samping itu, penyelesaian sengketa dalam dunia bisnis diharapkan sedapat mungkin tidak merusak hubungan bisnis selanjutnya dengan siapa dia pernah terlibat suatu sengketa. Hal ini tentu sulit ditemukan apabila pihak yang bersangkutan membawa sengketanya ke pengadilan, karena proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan (litigasi), akan berakhir dengan kekalahan salah satu pihak dan kemenangan pihak lainnya. Di samping itu, secara umum dapat dikemukakan berbagai kritikan terhadap penyelesaian sengketa melalui pengadilan, yaitu karena:22

a. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan sangat lambat

22

(14)

Penyelesaian sengketa melalui pengadilan yang pada umumnya lambat atau disebut buang waktu lama diakibatkan oleh proses pemeriksaan yang sangat formalistik dan sangat teknis. Di samping itu, arus perkara yang semakin deras mengakibatkan pengadilan dibebani dengan beban yang terlampau banyak. b. Biaya perkara yang mahal

Biaya perkara dalam proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan dirasakan sangat mahal, lebih-lebih jika dikaitkan dengan lamanya penyelesaian sengketa, karena semakin lama penyelesaian sengketa, semakin banyak pula biaya yang harus dikeluarkan. Biaya ini akan semakin bertambah jika diperhitungkan biaya pengacara yang juga tidak sedikit.

c. Pengadilan pada umumnya tidak responsif

Tidak responsif atau tidak tanggapnya pengadilan dapat dilihat dari kurang tanggapnya pengadilan dalam membela dan melindungi kepentingan umum. Demikian pula pengadilan dianggap sering berlaku tidak adil, karena hanya memberi pelayanan dan kesempatan serta keleluasaan kepada “lembaga besar” atau “orang kaya”. Dengan demikian, timbul kritikan yang menyatakan bahwa “hukum menindas orang miskin, tapi

orang berduit mengatur hukum”.

d. Putusan pengadilan tidak menyelesaian masalah

(15)

objektif putusan pengadilan tidak mampu memuaskan, serta tidak mampu memberikan kedamaian dan ketentraman kepada para pihak.

e. Kemampuan para hakim yang bersifat generalis

Para hakim dianggap mempunyai kemampuan terbatas, terutama dalam abad iptek dan globalisasi sekarang, karena pengetahuan yang dimilki hanya di bidang hukum, sedangkan di luar itu pengetahuannya bersifat umum, bahkan awam. Dengan demikian, sangat mustahil mampu menyelesaikan sengketa yang mengandung kompleksitas berbagai bidang.

Berdasarkan berbagai kekurangan penyelesaian sengketa melalui pengadilan itulah, sehingga dalam dunia bisnis, pihak yang bersengketa dapat lebih memilih menyelesaikan sengketa yang dihadapi di luar pengadilan.

Penyelesaian sengketa di luar pengadilan juga dikenal dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Lembaga yang menangani penyelesaian sengketa di luar pengadilan tersebut adalah “Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen”. Hal ini diatur dalam Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen, bahwa: “pemerintah membentuk Badan

(16)

Tugas dan wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen meliputi: a. melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen

dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi; b. memberikan konsultasi perlindungan konsumen;

c. melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;

d. melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran dalam ketentuan ini;

e. menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;

f. melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;

g. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;

h. memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap undang-undang ini; i. meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi,

saksi ahli atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen;

j. mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;

k. memutuskan dan menetapkan ada atau tidaknya kerugian di pihak konsumen;

l. memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;

m. menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini.

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Daerah Tingkat II diatur dalam Surat Keputusan Menteri (Pasal 53 Undang-Undang Perlindungan Konsumen).

Penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau yang lebih dikenal dengan Alternative Dispute Resolution (ADR) dapat ditempuh dengan berbagai cara. ADR tersebut dapat berupa arbitrase, mediasi, konsiliasi, minitrial, summary jury trial, settlement conference serta bentuk lainnya.23

23

(17)

Sedangkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, arbitrase dibedakan dari alternatif penyelesaian sengketa, karena yang termasuk dalam alternatif penyelesaian sengketa hanya konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan penilaian ahli.

Walaupun terdapat berbagai cara yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan, namun yang akan dibahas lebih lanjut hanya arbitrase, konsiliasi, dan mediasi sebagaimana yang dikenal dalam Undang-Undang perlindungan Konsumen.

1) Arbitrase

Arbitrase dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternarif Pilihan Penyelesaian Sengketa “Arbitrase adalah cara penyelesaian

suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.”24

Keuntungan penyelesaian sengketa melalui arbitrase:25 a) Penyelesaian lebih cepat

Umumnya prosedur arbitrase dicantumkan dengan batas-batas waktu penyelesaian dalam setiap tahap penyelesaian sengketa. Disamping itu, keputusan arbitrase bersifat final dan mengikat

(final and binding) sehingga tidak tersedia upaya naik banding.

24

(18)

b) Terjaga kerahasiaannya

Proses pemeriksaan sengketa melalui arbiter atau majelis arbiter dilakukan secara tertutup (Pasal 27) dan tidak ada publikasi. Para arbiter juga terikat oleh ketentuan untuk tidak memberitahukan materi sengketa tanpa seizin seluruh pihak yang bersengketa.

c) Biaya lebih rendah

Biaya arbitrase ditentukan oleh arbiter (Pasal 76). Biaya itu meliputi:

(a) Honorarium;

(b) Biaya saksi dan atau saksi ahli yang diperlukan dalam pemeriksaan sengketa; dan

(c) Biaya administrasi.

Disamping itu, para arbiter adalah para ahli dan praktisi dibidang yang menjadi pokok sengketa, serta memiliki reputasi tinggi sehingga diharapkan mampu memberikan putusan dengan cepat dan objektif.

2) Negosiasi

(19)

“negotiation” yang berarti perundingan. Adapun orang yang

melakukan perundingan dinamakan dengan negotiator.26 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, negosiasi:

a) Proses tawar-menawar dengan jalan berunding untuk memberi atau menerima guna mencapai kesepakatan bersama antara satu pihak (kelompok atau organisasi) dan pihak (kelompok atau organisasi) yang lain;

b) Penyelesaian sengketa secara damai melalui perundingan antara pihak-pihak yang bersengketa.

Dalam Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, tidak menjelaskan secara jelas mengenai pengertian negosiasi, namun dalam Pasal 6 ayat (2) disebutkan :

“Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui alternatif penyelesaian sengketasebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dan hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis.”

Kata “pertemuan langsung” sebagaimana tersebut dalam

ketentuan Pasal 6 ayat (2) tersebut menunjukkan bahwa penyelesaian sengketa atau beda pendapat dilakukan melalui negosiasi.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa negosiasi itu adalah cara penyelesaian sengketa diluar pengadilan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang bersengketa atau kuasanya secara langsung, tanpa keterlibatan pihak ketiga sebagai penengah. Para pihak yang bersengketa langsung melakukan perundingan atau tawar-menawar sehingga menghasilkan suatu kesepakatan

26

(20)

bersama. Pada umumnya kesepakatan bersama tersebut dituangkan secara tertulis.27

3) Mediasi

Didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa mediasi adalah pengikutsertaan pihak ketiga dalam proses penyelesaian sengketa. Dalam proses itu pihak ketiga bertindak sebagat penasihat.

Steven Rosenberg, Esq. Mengartikan mediasi sebagai :

“Method of dispute resolution that is voluntery, confidencial

generaly, and cooperative. Yang secara bebas diartikan bahwa mediasi adalah metode penyelesaian masalah yang dilakukan secara sukarela, rahasia dan kooperatif, tidak ada unsur paksaan.”28

Sehubungan dengan pengertian mediasi, ketentuan dalam Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyatakan sebagai berikut :

“Dalam hal sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapatdiselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator.”

Dari beberapa rumusan pengertian mediasi diatas, dapat disimpulkan bahwa mediasi adalah cara penyelesaian sengketa diluar pengadilan melalui perundingan yang melibatkan pihak ketiga yang bersikap netral (non-intervensi) dan tidak berpihak (impartial) kepada pihak-pihak yang bersengketa serta diterima kehadirannya oleh pihak-pihak yang bersengketa. Tugas pihak

27

Ibid, hal. 66

28

(21)

ketiga hanya membantu pihak-pihak yang bersengketa dalam menyelesaikan masalahnya dan tidak mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan. Dengan mediasi diharapkan dicapai titik temu penyelesaian masalah atau sengketa yang dihadapi para pihak yang bersengketa, yang selanjutnya akan dituangkan sebagai kesepakatan bersama. Pengambilan keputusan tidak berada ditangan mediator, tetapi ditangan para pihak yang bersengketa.29

4) Konsiliasi

Salah satu bentuk penyelesaian sengketa diluar pengadilan adalah konsiliasi. Konsiliasi diatur dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternarif Pilihan Penyelesaian Sengketa. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan pengertian konsiliasi adalah suatu usaha untuk mempertemukan keinginan pihak yang berselisih untuk mencapai persetujuan dan menyelesaikan perselisihan tersebut.30

Sedangkan menurut Oppenheim, konsiliasi adalah

“Suatu proses penyelesaian sengketa dengan menyerahkan kepada suatu komisi orang-orang yang bertugas menguraikan/menjelaskan fakta-fakta dann (biasanya setelah mendengar para pihak dan mengupayakan agar mereka mencapai suatu kesepakatan), membuat usulan-usulan suatu penyelesain, namun keputusan tersebut tidak mengikat.”(dalam Huala Adolf dan A. Chanderawulan, 1995: 186).

29

(22)

Inti konsiliasi dalam definisi diatas adalah penyelesaian sengketa kepada sebuah komisi dan keputusan dibuat oleh komisi tersebut tidak mengikat para pihak. Artinya bahwa para pihak dapat menyetujui atau menolak isi keputusan tersebut. 5) Penilaian ahli

Dalam proses penyelesaian sengketa melalui penilaian ahli, para pihak yang bersengketa menunjuk seorang ahli yang netral untuk membuat penemuan fakta-fakta yang mengikat ataupun tidak, atau bahkan membuat pengarahan materi tersebut secara mengikat. Penunjukan ini dilakukan sebelum memulai ligitasi. Bilamana suatu sengketa sudah benar-benar dalam litigasi, ahli yang netral yang ditunjuk oleh para pihak dapat mengarahkan para pihak untuk melakukan re-evaluasi estimasi apa kiranya yang akan mereka peroleh dan dalam menjembatani/ memperpendek perbedaan-perbedaan diantara mereka.

Di samping dikenalnya Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, usaha lainnya yang dimaksudkan untuk menyelesaikan sengketa konsumen secara lebih cepat adalah dikenalnya class action dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yaitu suatu prosedur hukum yang memungkinkan banyak orang bergabung untuk menuntut ganti kerugian atau kompensasi lainnya di dalam suatu gugatan.

(23)

mengenai pihak-pihak yang dapat mengajukan gugatan kepada pelaku usaha, yaitu:

a. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;

b. Sekelompok konsumen yang memiliki kepentingan yang sama; c. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang

memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;

d. Pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.

Berdasarkan ketentuan di atas, maka dasar hukum gugatan kelompok

(class action) semakin kuat, karena gugatan kelompok yang diajukan selama ini belum memiliki ketentuan tertulis, walaupun dalam kenyataan, gugatan kelompok tersebut diterima untuk diperiksa oleh pengadilan.

(24)

konsumen semata, akan tetapi bahkan pengusaha pun dapat menggunakan pengadilan ini.

Perbedaan utama antara gugatan melalui small claim tribunal, dengan pengajuan gugatan pada pengadilan biasa adalah karena pengajuan gugatan pada small claim tribunal memberikan keuntungan dari segi waktu dan biaya.

Penyelesaian sengketa melalui small claim tribunal ini melalui dua tahap utama, tahap pertama adalah tahap konsultasi dengan panitera yang bertindak sebagai mediator, di mana para pihak mengadakan pertemuan untuk berusaha mencapai penyelesaian sengketa yang dapat diterima. Apabila tahap konsultasi tersebut tidak membuahkan hasil, maka gugatan diteruskan ke tahap yang kedua, yaitu pemeriksaan di depan hakim, di mana hakim memberikan putusan berdasarkan fakta dan hukum.

(25)

Referensi

Dokumen terkait

Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui pengurangan skor tingkat stres belajar siswa kelas X antara sebelum dan sesudah diberikan perlakuan konseling kelompok dengan

Untuk mencapai kematangan tersebut, remaja memerlukan bimbingan dari gurunya terutama guru Bimbingan Konseling yang profesional, karena dengan adanya guru Bimbingan

Berdasarkan hasil analisis pre-test dan post-test dapat diketahui bahwa perangkat pembelajaran Salinitas Salt Water (SSW) pada materi klasifikasi materi dan

Oleh karena itu dalam pelaksanaan akhlak anak banyak hal yang dilakukan oleh orang tua agar pembinaan akhlak anak lebih baik, melihat realita dilapangan bahwa masih adanya

Hasil Penelitian menunjukkan Persentase kerjasama muatan PPKn pada siklus I 75% (cukup) pada muatan matematika 78% (cukup) pada siklus II muatan PPKn meningkat menjadi 96% (sangat

Bersama ini diumumkan dengan hormat kepada Para Penyedia yang mengikuti pelelangan paket.. pekerjaan tersebut di atas bahwa peserta yang diumumkan sebagai Pemenang

Pokja Bidang Konstruksi 3 ULP Kabupaten Klaten akan melaksanakan [Pelelangan Umum/Pemilihan Langsung] dengan pascakualifikasi untuk paket pekerjaan konstruksi secara

Bersama ini diumumkan dengan hormat kepada Para Penyedia yang mengikuti pelelangan paket.. pekerjaan tersebut di atas bahwa peserta yang diumumkan sebagai Pemenang