8
TINJAUAN TEORITIS
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Pengertian Pembinaan Anak
Menurut Mathis (2002), pembinaan adalah suatu proses dimana orang-orang mencapai kemampuan tertentu untuk membantu mencapai tujuan organisasi. Oleh karena itu, proses ini terkait dengan berbagai tujuan organisasi, pembinaan dapat dipandang secara sempit maupun luas.
kehormatan dengan memperalat orang muda.
Dengan demikian, pembinaan yang dimaksud dalam penelitian ini dapat diartikan sebagai upaya pelatihan sampai pelaksanaan program yang dilakukan oleh yayasan Panti Asuhan Salib Putih Salatiga, dilakukan secara sadar terarah, teratur dengan bertujuan agar dapat mengembangkan keterampilan, kecakapan yang sudah dimiliki maupun yang baru dipelajari untuk menumbuhkan kemandirian pribadi yang sesuai.
2.1.1.1 Pengertian Anak
seperti yang terkandung dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, pasal 1 Ayat 1, berbunyi: “Anak adalah seorang
yang belum berusia 18 Tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Sementara
UNICEF mendefinisikan anak sebagai penduduk yang berusia antara 0-18 tahun. Sedangkan menurut definisi WHO, batasan usia anak adalah sejak anak di dalam kandungan sampai usia 19 tahun. Sementara itu dalam konvensi PBB yang ditandangi oleh Pemerintah Republik Indonesia tangal 1990 dikatakan batasan umur anak adalah dibawah umur delapan belas tahun.
2.1.2 Jenis-Jenis Pembinaan
Pembinaan menurut jenisnya dikenal ada pembinaan orientasi, pembinaan kecakapan, pembinaan kepribadian, pembinaan penyegaran, pembinaan lapangan (Mangunhardjana, 1989).
1) Pembinaan Orientasi
pembinaan orientasi ini membantunya untuk mendapatkan hal-hal pokok.
2) Pembinaan Kecakapan
Pembinaan kecakapan (skill training) diadakan untuk membantu para peserta guna mengembangkan kecakapan yang sudah dimiliki atau mendapatkan kecakapan baru yang diperlukan untuk melaksanakan tugasnya.
3) Pembinaan Pengembangan Kepribadian
Pembinaan pengembangan kepribadian (personality development training), tekanan pembinaan ini ada pada pengembangan kepribadian sikap. Pembinaan ini sangat berguna bagi anak asuh, agar dapat mengembangkan diri menurut citacita. 4) Pembinaan Kerja
Pembinaan kerja (in-service training), diadakan oleh suatu lembaga usaha bagi para anggotanya. Maka pada dasarnya pembinaan diadakan bagi mereka yang sudah bekerja dalam bidang tertentu. 5) Pembinaan Penyegaran
tidak ada penyajian hal yang sama sekali baru, tetapi sekedar penembahan cakrawali pada pengetahuan dan kecakapan yang sudah ada.
6) Pembinaan Lapangan
Pembinaan lapangan (field training), bertujuan untuk menempatkan para peserta dalam situasi nyata, agar mendapat pengetahuan dan memperoleh pengalaman langsung dalam bidang yang diolah dalam pembinaan.
2.2 Kemandirian
2.2.1 Pengertian Kemandirian
Kemandirian berasal dari kata mandiri (bahasa jawa) yang berarti berdiri sendiri (Basri, 2000). Sedangkan dalam kamus besar bahasa Indonesia (2002) kemandirian berasal dari kata mandiri yang artinya keadaan dapat berdiri sendiri, tidak tergantung pada orang lain.
Menurut Morrison (2012) bahwa: “Kemandirian adalah kemampuan untuk mengerjakan tugas sendiri, menjaga diri sendiri, dan memulai kegiatan tanpa harus selalu diberi tahu apa yang harus dilakukan.”
mampu mengatasi hambatan/masalah, mempunyai rasa percaya diri dan dapat melakukan sesuatu sendiri tanpa bantuan orang lain.”
Kemandirian merupakan suatu sikap individu yang diperoleh secara kumulatif selama perkembangan, dimana individu akan terus belajar untuk bersikap mandiri dalam menghadapi berbagai situasi di lingkungan sehingga individu pada akhirnya akan mampu berpikir dan bertindak sendiri. Dengan kemandiriannya seseorang dapat memilih jalan hidupnya untuk berkembang lebih mantap.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kemandirian merupakan kemampuan untuk berdiri sendiri (tidak bergantung pada orang lain) dalam mengurus diri dan semua aspek kehidupannya, melakukan sesuatu dan membuat keputusan untuk dirinya sendiri.
2.2.2 Perkembangan Kemandirian pada anak
makan yang benar, “toilet training”, cara menghormati orang yang lebih tua, menolong sesama dan lain sebagainya. Sebetulnya sebagian dari contoh di atas adalah salah satu upaya dalam rangka pembentukan kemandirian (Yulianti, 2004)
Kemandirian dapat dicapai melalui suatu proses belajar, dimulai dan dilatih sejak usia dini dan disesuaikan dengan tingkat perkembangan,serta kemampuan anak. Melalui pemberian latihan tersebut mendorong anak untuk menerapkan disiplin, khususnya disiplin diri. Sebelum individu mampu untuk mengatur dan mempunyai kontrol diri atau dalam hal ini displin diri yang cukup kuat maka dalam diri individu perlu dibutuhkan dan ditanamkan sistem nilai dan perangkat aturan. Hal itu sejalan dengan pendapat Mu’tadin (2002) yang
mengemukakan bahwa dengan diberikannya latihan-latihan tersebut diharapkan, seiring dengan bertambahnya usia seseorang akan bertumbuh pula kemampuan anak
berkembang menjadi pribadi yang lebih baik ke depannya.
2.2.3 Ciri-Ciri Anak Mandiri
Orang yang mandiri mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: menunjukan rasa percaya diri, memiliki rasa bertanggung jawab, mampu bekerja secara mandiri, menguasai keahlian dan ketrampilan sesuai dengan bidang pekerjaannya, menghargai waktu dan secara relative jarang mencari pertolongan pada orang lain (Antonius, 2002)
Pendapat tersebut diperkuat oleh Havighurst dalam Mu’tadin (2002) yang menyatakan bahwa kemandirian terdiri dari beberapa aspek yaitu :
a).Emosi
Emosi, ditunjukan dengan kemampuan mengontrol emosi sendiri dan tidak tergantungnya kebutuhan emosi pada orang lain. Anak mampu mengelola emosinya dan mempunyai kontrol diri yang baik.
b).Ekonomi
sendiri. Contohnya anak mampu untuk mengelola uang saku yang diberikan orang tua, mampu memutuskan apa yang sebaiknya dibeli dan tidak.
c).Intelektual
Intelektual, kemampuan untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi. Anak percaya pada kemampuannya sendiri dalam memecahkan masalah, memiliki inisiatif, bersikap kompeten, kreatif, dapat mengambil keputusan sendiri dalam bentuk kemampuan memilih dan bertanggung jawab atas tindakannya.
d).Sosial
Sosial, kemampuan untuk mengadakan interaksi dengan orang lain dan tidak tergantung pada aksi orang lain. Anak mampu secara aktif untuk berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Di dalam berinteraksi ini anak mempunyai rasa percaya diri sehingga mampu berpisah dari kelekatan dengan orang tua sehingga anak akan merasa aman meskipun tidak ada orang tua disekitarnya.
objektif dan realistis terhadap diri sendiri maupun orang lain, mampu mengintegrasikan nilai-nilai yang bertentangan, ada keberanian untuk menyelesaikan konflik diri, menghargai kemandirian orang lain,sadar akan adanya saling ketergantungan dengan orang lain, mampu mengekspresikan perasaannya dengan penuh keyakinan dan keceriaan.
2.2.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemandirian
Pada prinsipnya banyak faktor yang mempengaruhi kemandirian anak namun dapat digolongan menjadi dua faktor yakni internal dan eksternal. Seperti yang dikemukakan oleh Agus Sujanto bahwa : “Ada dua faktor yang mempengaruhi perkembangan seorang anak yaitu faktor luar (eksternal) dan faktor dari dalam (internal)” (Agus Sujanto,1997)
Faktor internal adalah faktor yang datangnya dari dalam diri anak didik itu sendiri yang meliputi :
a.Pengamatan anak
b.Fantasi
Fantasi adalah daya jiwa untuk menciptakan tanggapan-tanggapan atau kesan-kesan yang baru dengan bantuan tanggapan-tanggapan yang sudah ada.
c. Perasaan
Perasaan merupakan daya yang sangat penting dalam diri siswa. Perasaan mencerminkan kepribadian seseorang dengan dunia luar.
Sedangkan faktor eksternal yang akan mempengaruhi kemandirian siswa adalah sebagai berikut:
a. Faktor lingkungan
pendekatan formal tersebut bersifat superior, tetapi juga oleh karena didukung oleh kesuburan lingkungan yang memiliki sifat-sifat kondusif, yakni bersifat positif dan merangsang yang penting diperhatikan dalam kenyataan ini adalah suatu lembaga yang memperlihatkan bahwa nilai-nilai hidup tertentu memang telah banyak diterapkan oleh anggota masyarakat atau bahwa nilai-nilai tertentu telah memasyarakat. Itulah sebabnya sangat penting untuk menciptakan iklim lingkungan yang kondusif terhadap terjadinya kemandirian yang tertentu, maka pendekatan yang bagaimanapun kita terapkan, pastilah hanya akan mempunyai pengaruh yang sangat terbatas.
b. Pendidik/Pembina
2.3 Panti Asuhan
2.3.1 Pengertian Panti Asuhan
Menurut Arif Gosita 1998 (dalam Suyuti, 2010) secara etimologi, panti asuhan berasal dari dua kata yaitu “panti” yang berarti suatu lembaga atau satuan kerja yang merupakan prasarana dan sarana yang memberikan layanan sosial, dan “asuhan’ yang
mempunyai arti berbagai upaya yang diberikan kepada anak yang mengalami masalah kelakuan, yang bersifat sementara sebagai pengganti orang tua atau keluarga agar dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar baik secara rohani, jasmani, maupun sosial.
cita-cita bangsa dan sebagai insan yang akan turut serta aktif di dalam bidang pembangunan nasional (Suyuti, 2010). Dengan demikian pengertian panti asuhan adalah suatu lembaga kesejahteraan sosial yang bertanggungjawab memberikan pelayanan pengganti dalam pemenuhan kebutuhan fisik, mental, dan sosial pada anak asuh. Sehingga memperoleh kesempatan yang luas, tepat, dan memadai bagi perkembangan kepribadiannya sesuai dengan yang diharapkan. Di dalam panti asuhan anak asuh di asuh oleh pengasuh yang tidak ada hubungan darah sama sekali dengan mereka. (Yamin, 2011). Di sebuah panti asuhan di dalamnya terdapat anak asuh yang tergolong dari yatim, piatu dan juga anak-anak terlantar. Di mana diantara mereka yang tidak mampu dalam kehidupannya, sehingga di taruh oleh keluarganya dipanti asuhan. Dalam konteks Indonesia, kata yatim identik dengan anak yang bapaknya meninggal. Sedangkan bila bapak ibunya meninggal, maka anak tersebut disebut dengan anak yatim piatu (Nur, 2009).
1.Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. 2.Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi
seluh rakyat dan memperdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
Selama menghuni panti asuhan, anak asuh akan mengalami perubahan baik akibat adanya pembinaan, interaksi dengan pengasuh dan sesama penghuni akibat proses pendidikan formal yang diterimanya. Sikap mental seperti kemandirian anak asuh akan memberikan pengaruh yang besar terhadap keberhasilan anak asuh.
Anak yang tinggal di panti asuhan akan dididik oleh beberapa pengasuh. Pengasuh berperan sebagai pengganti orang tua dalam memberikan kasih sayang, perhatian dan mendidik. Namun demikian jumlah antara pengasuh dan remaja yang tinggal di panti asuhan tidak seimbang.
2.3.2 Peranan Panti Asuhan
Peranan merupakan aspek yang dinamis dari kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka hal ini berarti ia menjalankan suatu peranan. Keduanya tidak dapat dipisah-pisahkan dan saling bertentangan satu sama lain. Setiap orang mempunyai macam-macam peranan yang berasal dari pola-pola pergaulan hidupnya. Hal tersebut sekaligus berarti bahwa peranan menentukan apa yang diperbuatnya bagi masyarakat kepadanya. Peranan lebih banyak menekankan pada fungsi, penyesuaian diri dan sebagai suatu proses (Soerjono Soekanto, 2002).
Menurut Soekanto (2002), unsur-unsur peranan atau role adalah:
2). Perangkat hak-hak dan kewajiban
3). Perilaku sosial dari pemegang kedudukan 4). Bagian dari aktivitas yang dimainkan seseorang.
Hubungan-hubungan sosial yang ada dalam masyarakat, merupakan hubungan antara peranan-peranan individu dalam masyarakat. Sementara peranan-peranan itu sendiri diatur oleh norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Jadi seseorang menduduki suatu posisi dalam masyarakat serta menjalankan suatu peranan. Peranan mencakup tiga hal, yaitu:
1) Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang tertulis maupun tidak tertulis.
2) Membimbing seseorang dalam kehidupan kemasyarakatan peranan adalah suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi.
Pembahasan perihal aneka macam peranan yang melekat pada individu-individu dalam masyarakat penting bagi hal-hal yaitu :
1) Bahwa peranan-peranan tertentu harus dilaksanakan apabila struktur masyarakat hendak dipertahankan kelangsungannya.
2) Peranan tersebut seyogyanya dilaksanakan pada individu-individu yang oleh masyarakat dianggap mampu melaksanakan. Mereka harus lebih dahulu terlatih dan menpunyai hasrat untuk melaksanakannya.
3) Dalam masyarakat kadang kala di jumpai individu-individu yang tak mampu melaksanakan peranannya sebagaimana diharapkan oleh masyarakat, karena mungkin pelaksanaannya memerlukan pengorbanan arti kepentingan-kepentingan pribadi yang terlalu banyak 4) Apabila semua orang sanggup dan mampu melaksanakan peranannya, belum tentu masyarakat akan memberikan peluang-peluang yang seimbang, bahkan seringkali terlihat betapa masyarakat membatasi peluang-peluang tersebut. (Soerjono Soekanto, 2002).
yang diharapkan lingkungan untuk dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang karena kedudukannya akan dapat memberi pengaruh pada lingkungan tersebut. Permasalahan yang dihadapi di sini adalah tentang permasalahan kemiskinan yang mengakibatkan perpecahan dalam keluarga dan permasalahan perekonomian dimana sebagai akibatnya adalah keterlantaran anak serta kekurangan kasih sayang dan perhatian yang seharusnya diperoleh anak dari keluarganya. Sebagaimana kita ketahui keluarga adalah bagian terkecil dalam masyarakat yang sangat mempangaruhi pertumbuhan dan perkembangan watak, mental, karakteristik atau kepribadian anak.
anak-anak asuhnya agar menjadi seseorang yang mandiri dan berguna bagi masyarakat, bangsa dan negara.