• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUKUM WARIS ADAT DI INDONESIA new 2 (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "HUKUM WARIS ADAT DI INDONESIA new 2 (1)"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

HUKUM WARIS ADAT YANG MASIH DITERAPKAN DI BEBERAPA DAERAH DI INDONESIA

DISUSUN OLEH :

Satriyo Ardi Kartono (E1A111002) Kun Amim Baljun (E1A111074)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

(2)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di Indonesia terdapat tiga macam sistem hukum positif yang masih berlaku sementara, selama belum lahirnya hukum yang baru berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Ketiga macam sistem hukum tersebut, yaitu sistem hukum Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), sistem hukum waris adat dan sistem hukum waris islam berdasarkan atas ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 (sebelum amandemen), yang setelah amandemen berubah menjadi Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945.

Hukum waris adat merupakan bagian dari hukum hindia belanda yang menjadi hukum positif Indonesia.Hukum waris adat masih diberlakukan sampai saat ini, melihat dari nilai-nilai yang terkandung di dalamnya yang masih sesuai dengan perkembangan zaman masyarakat. Di Indonesia, masih terdapat beberapa daerah yang masih kental dengan hukum adatnya, sehingga hukum waris adatnya pun masih kental di beberapa daerah.

(3)

Namun sistem hukum KUHPerdata (BW) masih berlaku bagi orangyang menggunakan sistem hukum BW sebelum lahirnya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. sedangkan untuk sistem hukum waris islam, dengan lahirnya UU No. 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama. Maka orang yang beragama islam mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama, sedangkan untuk orang yang beragama non-islam dapat mengajukan ke Pengadilan Negeri. Dengan adanya produk hukum baru yang berbentuk undang-undang, sangat berpengaruh terhadap ketiga sistem hukum waris yang masih berlaku di Indonesia.

(4)

B. Rumusan Masalah

a. Bagaimana perkembangan hukum waris adat di Indonesia?

b. Bagaimana ketika orang dihadapkan antara memilih sistem hukum waris islam dengan sistem hukum waris adat?

(5)

BAB II PEMBAHASAN

A. perkembangan Hukum Waris Adat di Indonesia

Hukum waris adat menurut Ter Haar (1960), adalah aturan-aturan hukum yang bertalian dengan proses dari abad ke abad, penerusan, dan peralihan harta kekayaan yang berwujud (materiil) dan tidak berwujud (inmateriil) dari satu generasi kepada generasi berikutnya.

Sedangkan menurut Soepomo (1986), hukum adat waris adalah memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan benda yang tidak berwujud (inmateriil goederen) dari satu angkatan manusia (generati) kepada turunannya1.

Seperti masyarakat pada umumnya, mereka selalu mengalami perubahan sosial (dinamis) dikarenakan kebiasaan masyarakat selalu berkembang, tidak seperti hukum yang tertulis yang kadang tidak sesuai dengan perkembangan zaman masyarakat. Perubahan tersebut akan berpengaruh dan menimbulkan perubahan hukum secara umum, dan perubahan hukum waris adat secara khusus. Perubahan tersebut, terutama terlihat pada munculnya harta bersama dan hak mewaris anak perempuan pada masyarakat patrilineal dan hak mewaris anak-anak kepada harta suarang bapaknya pada masyarakat matrilineal, dan juga perkembangan adanya hak mewaris bagi janda atau duda2.

Maksud dari patrilineal dan matrilineal sendiri pada kutipan di atas adalah sistem pewarisan yang berkaitan dengan sistem keturunan (sistem kekerabatan atau sistem kemasyarakatan). Sistem pewarisan itu sendiri dibagi menjadi tiga sistem yaitu :

1. Sistem Patrilineal

Sistem keturunan yang ditarik menurut garis keturunan bapak. 2. Sistem Matrilineal

Sistem keturunan yang ditarik menurut garis keturunan ibu.

(6)

3. Sistem Parental atau Bilateral

Sistem keturunan yang ditarik menurut garis orang tua atau menurut garis dua sisi bapak dengan ibu.

Dengan adanya ketiga sistem pewarisan diatas, hukum waris adat tidak bisa lepas dari corak dan warna dari ketiga sistem keturunan diatas.

Sebelumnya diketahui bahwa, kedudukan ahli waris disaat sebelum Indonesia merdeka adalah mereka yang memiliki hubungan darah dengan pewaris. Dengan demikian, pengertian ahli waris sebelum kemerdekaan selalu dikaitkan dengan hubungan darah. Dengan adanya pendapat tersebut, ini mengakibatkan janda bukan menjadi ahli waris karena tidak memiliki hubungan darah dengan suaminya. Tetapi, setelah dibuatnya keputusan Mahkamah Agung pada tanggal 23 Oktober 1957 No. 130 K/Sip/1957, Mahkamah Agung menetapkan bahwa janda dari pewaris beserta anak-anaknya, bersama-sama berhak atas harta warisan almarhum suaminya3. Tetapi dalam hal ini

Mahkamah Agung masih belum menggunakan istilah “ahli waris” untuk seorang janda, hanya saja disini kita dapat melihat salah satu perkembangan hukum waris adat khususnya tentang kedudukan seorang janda, yang sebelumnya tidak berhak mendapatkan harta warisan dikarenakan tidak adanya hubungan darah. Namun, selanjutnya oleh Mahkamah Agung memberi hak atas harta warisan kepada janda.

Tetapi, untuk harta warisan berupa barang pusaka, menurut putusan ke III dari Raad Yustisi Jakarta tanggal 17 Mei 1940, yang berhak adalah silsilah ke bawah. Jika pewaris tidak memiliki silsilah kebawah (anak) maka harta kembali ke tangan keluarga. Dengan kata lain, istri dari pewaris tidak berhak atas warisan barang pusaka tersebut.

Seiring dengan perkembangannya zaman, janda semakin diakui sebagai ahli waris. Ini berdasarkan keputusan Mahakamah Agung pada tanggal 25 Februari 1958 No. 387 K/Sip/1958, yang berisi bahwa, janda memiliki hak mewarisi separuh harta gono-gini (harta milik bersama dari suami dan istri yang diperoleh selama perkawinan). Dan pada tahun 1960 Mahkamah Agung resmi menetapkan janda sebagai ahli waris dari almarhum suaminya.

(7)

Pada dasarnya, saat ini ada dua sistem hukum waris yang sama-sama berlaku pada masyarakat yang sama sebagai subjek hukumnya. Kedua sistem hukum waris tersebut antara lain hukum waris islam dan hukum waris adat. Kedua sistem hukum waris tersebut saling mengisi kekosongan hukum kewarisan sesuai budaya hukum yang berlaku di lingkungan adat masyarakat Indonesia. Salah satu contohnya yaitu, dalam hukum waris islam mempengaruhi hukum waris adat pada penggunaan istilah hibah untuk menyebut perbuatan hukum yang bersifat sepihak, yang berarti pemberian kepada orang lain secara cuma-cuma dan penggunaan kriterium 1/3 harta sebagai batasan harta hibah yang ditoleransikan dalam kaitannya dengan pembagian warisan yang berbarengan adanya hibah wasiat yang dapat merugikan para ahli warisnya4. Selanjutnya, hukum

waris adat sebagai wujud dari kebiasaan yang hidup di dalam masyarakat, melalui pintu ijtihad diterima sebagai hukum, seperti yang terdapat di dalam kompilasi hukum islam.

(8)

B. Ketika Orang Dihadapkan Antara Memilih Sistem Hukum waris Islam atau Sistem Hukum Waris Adat.

Di setiap Sistem Hukum waris terdapat perbedaan, seperti halnya sistem hukum waris KUHPerdata (BW), sistem hukum warisislam dan sistem hukum waris adat. Ketiga sistem tersebut terdapat perbedaan. Misalnya seperti, di dalam sistem hukum waris islam, anak angkat haram menjadi ahli waris, karena pengangkatan anak angkat adalah semata-mata karena kepedulian semata. Berbeda dengan sistem hukum waris adat, anak angkat mempunyai hak waris terhadap harta kekayaan orang tua angkatnya, dengan kata lain bahwa anak angkat di akui sebagai anak kandung oleh masyarakat adat setempat.Sedangkan dalam sistem hukum KUHPerdata (BW), anak angkat dapat menjadi ahli waris, tetapi harus mengajukan permohonan pengangkatan anak terlebih dahulu di persidangan.

Namun, ketika seseorang di hadapkan antara memilih sistem hukum waris KUHPerdata, sistem hukum waris islam, dan sistem hukum waris adat. Pastilah orang akan memilih sistem hukum waris yang menguntungkan baginya dan/ atau tidak akan memilih sistem hukum waris yang merugikan baginya.Parahnya lagi Pengadilan Agama dan pengadilan negeri saling mengklaim berwenang untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara kewarisan tersebut.Akibatnya menjadi fenomena hukum tersendiri, yang pada akhirnya Asas peradilan cepat, sederhana dan biaya murah hanya sebatas slogan-slogan saja.

(9)

berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan

dalam pembagian warisan, dinyatakan dihapus”.

Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 oleh Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, menimbulkan efek terkait eksistensi dari Pengadilan Agama dan juga kewenangannya. Sebagaimana di dalam Pasal 49 menyatakan “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang : Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf, Zakat, Infaq, Shadaqah dan Ekonomi Syariah”

Untuk warga beragama Islam dalam sengketa hukum waris, idealnya menggunakan hukum waris islam sebagai hukum yang digunakan. Sedangkan hukum waris KUH Perdata (BW) dan juga hukum waris adat tidak berlaku dan tidak mengikat. Sedangkan untuk warga beragama non-Islam, hukum yang digunakan yaitu bisa berupa hukum waris KUH Perdata (BW), ataupun hukum waris adat, sedangkan hukum waris islam tidak mengikat.

Kemudian yang mempermasalahkan pembagian harta warisan apakah menganut dan tunduk pada hukum islam maupun adat atau KUH Perdata, dalam perundangan tersebut tidak diberikan suatu solusi yang dapat menengahi persoalan yang telah mengakar meskipun undang-undang menyatakan pilihan hukum telah dihapus.

Ada beberapa aspek terkait Pilihan Hukum (choice of law) yakni, 1. Pendapat Para Ahli Hukum

(10)

diberi hak pula untuk menerima penuh, menolak, atau menerima dengan bersyarat atas warisan pewaris. Sedangkan menurut Sudargo Gautama dalam bukunya “Segi-segi hukum antar tata hukum pada Undang-undang Peradilan Agama” menyatakan bahwa setiap bidang hukum perdata termasuk kewarisan bersifat mengatur “regelend” dan tidak bersifat memaksa “dwingen” dan dapat disahkan melalui persetujuan pihak-pihak yang bersengketa. Hakim tidak berwenang memaksa pilihan hukum tertentu bagi para pihak.Sehingga dimungkinkan adanya pilihan hukum (choice of law).

2. Dari segi Asas-Asas Hukum

a. Hakim Tidak boleh Menolak suatu Perkara yang diajukan kepadanya.

Bahwa beberapa hakim yang menerima, memeriksa dan memutus sengketa waris terkadang berlindung pada asas ini, yakni hakim tidak boleh menolak perkara yang diajukan kepadanya.Sebagaimana telah diungkapkan dimuka bahwa hakim terkadang mengklaim dirinya (wilayah kewenangan) berwenang untuk menerima, memeriksa dan memutus suatu sengketa waris baik yang beragama Islam maupun yang berbeda agama bagi Para Ahli Warisnya.Sehingga dalam prakteknya beberapa hakim masih menerima dan memeriksa bahkan memutus atau mengklaim institusinya berwenang, walau ada Asas Personalitas Ke-Islaman.Yang mana menjadi persoalan disini, personalitas ke-Islaman tersebut apakah ahli waris atau pewarisnya.

b. Asas Personalitas Ke-Islaman.

(11)
(12)

c. Asas Lex Specialis derogate legi generali, lex posteriori derogate lex priori. Merujuk pada Asas Lex speciali derogate legi generali artinya aturan yang khusus mengalahkan aturan yang umum. Sedang lex posteriori derogate lex priori artinya aturan yang lama (yang berlaku terdahulu) dikalahkan/dibatalkan aturan yang baru (berlaku belakangan). Bahwa dalam sistem hukum di Indonesia menganut beberapa sistem sebagai akibat dari pluralisme hukum, yakni Hukum Adat, Hukum Islam dan Hukum KUH Perdata(BW). Dimana ketiganya mencakup masalah kewarisan.

Maka UU No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang merupakan Undang-Undang Khusus. Oleh karenanya atas dasar Asas Lex Specialis derogate Legi Generali, maka Undang-Undang yang berlaku bagi mereka yang beragama Islam adalah UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Oleh karena itu berdasarkan Asas Lex Posteriori derogate lex priori, maka aturan yang berlaku adalah Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Sehingga dengan berdasar dari Asas-Asas tersebut seharusnya Undang-Undang Peradilan Agama dapat menyisihkan Undang-Undang Peradilan Umum dalam hak kewenangan mengadili perkara Kewarisanbagi orang-orang Islam.

(13)
(14)

C. Pembagian harta waris berdasarkan Hukum Waris Adat di beberapa daerah di Indonesia

Di Indonesia memang menerapkan pilihan hukum (choice of law) dikarenakan sistem hukum di Indonesia bersifat pluralisme. Jika terdapat sengketa, kita bisa memilih hukum mana yang akan digunakan. Jika hukum waris adat yang dipilih, bagaimanakah pembagian harta warisannya?

Jika kita melihat daerah Batak, kedudukan perempuan tidak seimbang dengan kedudukan laki-laki dam hal warisan.Ini disebabkan, masyarakat hukum Batak menganut ajaran sistem patrilineal.Artinya, masyarakat hukum Batak menggunakan sistem keturunan yang ditarik menurut garis keturunan bapak.

Jadi, misalnya pewaris (suami), yang berhak menjadi ahli warisnya yaitu garis lurus kebawah, selanjutnya keatas, dan kesamping yang laki-laki. Artinya, yang berhak pertama kali mendapat harta warisannya yaitu anak laki-laki dari sang pewaris. Jika tidak memiliki anak laki-laki, diberikan kepada orang tua(ayah) sang pewaris. Jika telah meninggal orang tua (ayah) pewaris, diberikan kepada saudara laki-laki sang pewaris.

(15)

Selanjutnya, jika kita melihat daerah Bali, sistem yang dianut daerah ini sama halnya dengan daerah Batak, yaitu patrilineal. artinya, anak laki-laki sebagai ahli waris dalam keluarganya, sedangkan perempuan hanya mempunyai hak untuk menikmati harta peninggalan orang tua atau harta peninggalan suami. Hal ini disebabkan adanya putusan Mahkamah Agung No. 200 K/Sip/1958 tanggal 5 Desember 1958, yang isinya menyatakan bahwa “Menurut hukum Adat Bali, yang berhak mewaris hanyalah keturunan pria dan pihak keluarga pria dan anak angkat lelaki; Maka Men Sardji sebagai saudara perempuan bukanlah akhli waris dan mendiang Pan Sarning”

Tetapi, terdapat perubahan yang bisa membawa cukup kenikmatan bagi kaum masyarakat perempuan Bali dalam hal pewarisan. Pada tahun 2010, dikeluarkannya Keputusan Majelis Utama Dea Pakraman Bali (MUDP) Bali No. 01/KEP/PSM-3/MDP Bali/X/2010, tanggal 15 Oktober 2010, tentang Hasil-Hasil Pasamuhan Agung III MUDP Bali (Keputusan Pasamuhan Agung III/2010).

Di dalam keputusan tersebut diputuskan bahwa, kedudukan suami-istri dan anak terhadap harta pusaka dan harta gunakaya, termasuk hak waris anak perempuan (anak kandung dan juga anak angkat).

(16)

Sementara itu, untuk masyarakat Tionghoa di daerah Palembang, pembagian harta warisan dilakukan pada saat pewaris meninggal dunia.Dimana kedudukan anak laki-laki tertua atau sulung lebih tinggi dari anak perempuan.Karena, anak perempuan hanya berhak atas harta berupa perhiasan saja, sedangkan anak laki-laki harus memperoleh jumlah yang lebih besar dari anak perempuan.Sistem hukum yang digunakan dalam pembagian harta waris di dalam masyarakat Tionghoa daerah Palembang ini menggunakan sistem hukum adat Tionghoa.

Pembagian harta warisan dalam adat Tionghoa memiliki orientasi pembagian terhadap harta-harta pusaka keluarga, seperti abu leluhur, rumah peninggalan keluarga besar (rumah gede) dan perhiasan keturunan.

Pembagian harta warisan pada masyarakat Tionghoa di Palembang diatur sebagai berikut :

1. Perolehan anak laki-laki dan anak perempuan adalah 1 banding setengah (1:1/2),

2. Perolehan janda (orang tua yang ditinggal) disamakan dengan perolehan anak perempuan, yaitu setengah (1/2),

3. Harta warisan baru dapat dibagi kepada ahli waris setelah orang tua meninggal, janda meninggal dunia, atau menikah kembali,

4. Anak lai-laki tertua diberikan kuasa untuk mengolah atau mengurus harta warisan keluarga.

(17)
(18)

KESIMPULAN

Di dalam sistem hukum waris adat, terdapat sistem pewarisan. Sistem pewarisan itu sendiri dibagi menjadi tiga sistem yaitu :

1. Sistem Partilineal

Sistem keturunan yang ditarik menurut garis keturunan bapak. 2. Sistem Matrilineal

Sistem keturunan yang ditarik menurut garis keturunan ibu. 3. Sistem Parental dan Bilateral

Sistem keturunan yang ditarik menurut garis orang tua atau menurut garis dua sisi bapak dengan ibu.

Dengan adanya ketiga sistem pewarisan diatas, hukum waris adat tidak bisa lepas dari corak dan warna dari ketiga sistem keturunan diatas.

Selain itu, hukum waris adat saling mengisi kekosongan dengan hukum waris islam, sesuai budaya hukum yang berlaku di lingkungan adat masyarakat Indonesia.

(19)

Non-Islam, Sehingga masih membuka celah bagi Para Penegak Hukum maupun masyarakat memilih cara yang menguntungkan salah satu pihak, meskipun dalam Penjelasan Umum telah dinyatakan “ Para Pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan, dinyatakan dihapus”.

(20)

DAFTAR PUSTAKA

Subekti, Trusto. Hukum Waris Adat edisi kedua.2013.

Balisruti, Suara Millenium Development Goals.(MDGs), Edisi No. 1 Januari-Maret

Referensi

Dokumen terkait

Responden penelitian adalah petani pembudidaya ikan nila di Kecamatan Seginim Kabupaten Bengkulu Selatan berjumlah 50 pembudidaya ikan air tawar, khususnya ikan

Tense is one of the problem that the students faced when they make text. The student still confused when they choose a tense that appropriate. Tense identifies when an

(1) Aplikasi Basisdata Fuzzy untuk Pemilihan Makanan Sesuai Kebutuhan Nutrisi dapat memiliki tampilan yang cukup mudah digunakan dan dapat menampilkan hasil perhitungan

dapat membantu untuk memenuhi kebutuhan hara pada tanaman melon dan meningkatkan pertumbuhan tanaman melon, sehingga jika dimanfaatkan sebagai pupuk hayati di

Aliran ini sambil mengalir melakukan pengikisan tanah dan bebatuan yang dilaluinya (Ilyas, 1990 dalam Setijanto, 2005). Sungai merupakan bentuk ekosistem perairan mengalir

Maka untuk memenuhi pencapaian target tersebut guna memperoleh validitas dalam proyek ini, maka dilanjutkan dengan penyebaran kuesioner untuk survei konsumen Tahap II yang

23 PEMANFAATAN PROGRAM GEOGEBRA DALAM UPAYA MENINGKATKAN PEMAHAMAN PADA POKOK BAHASAN SEGITIGA DITINJAU DARI HASIL BELAJAR SISWA KELAS VII. Adi

- Biaya administrasi 500.000/tim, maksimal 10 hari kerja setelah mengisi form pendaftaran - Jika >10 hari tidak bayar, dianggap mengundurkan diri, jika mau daftar ulang lagi