• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI FAKTOR RESIKO MIOPIA PADA SISWA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "SKRIPSI FAKTOR RESIKO MIOPIA PADA SISWA"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Data WHO pada tahun 2010 menunjukkan bahwa gangguan refraksi menempati urutan pertama dengan proporsi sebesar 42% sebagai penyebab gangguan penglihatan pada populasi dunia disusul oleh katarak sebesar 33%. Dari sekitar 6 milyar populasi dunia, Asia tenggara menjadi salah satu wilayah dengan angka gangguan penglihatan paling tinggi. Miopia merupakan salah satu penyebab terbesar

gangguan penglihatan di dunia.1

Saat ini, prevalensi miopia pada anak usia sekolah terus meningkat di seluruh dunia. Berbagai penelitian telah dilakukan baik secara global maupun secara lokal

untuk mengetahui perkembangan miopia pada anak. Penelitian Junghans,dkk2 pada tahun 1990 menunjukkan bahwa 6,5% anak usia 4-12 tahun di Australia terkena miopia. Penelitian Fan,dkk3 pada tahun 2013 di Hongkong terdapat 36,71% anak berusia 5-16 tahun yang terkena miopia. Diketahui pula bahwa anak usia 11 tahun ke atas memiliki resiko 15x lebih tinggi terkena miopia dibandingkan dengan anak yang berusia 7 tahun ke bawah.

Prof. Brien Holden dari Carl Zeiss Vision Institute berkata, myopia berlaku kepada 1.6 bilion penduduk seluruh dunia dan angkanya meningkat dengan pantas

setiap tahun terutama melibatkan golongan kanak-kanak.4 Di Malaysia sahaja, daripada sejumlah 12.5 juta penduduk yang mengalami miopia, 7 juta adalah mereka yang berusia di bawah 16 tahun sedangkan anak-anak di bawah usia 12 tahun sahaja berjumlah 2.1 juta orang yang merupakan satu angka yang tinggi dan

membimbangkan.4

(2)

Berbagai faktor telah diketahui memengaruhi terjadinya miopia pada pelajar. Menurut The Beijing Childhood Eye Study5 pada tahun 2012, faktor yang mempengaruhi miopia pada pelajar adalah usia yang lebih tua, jenis kelamin perempuan, penghasilan keluarga yang tinggi, profesi ayah yang lebih tinggi, usia muda saat terdeteksi miopia, membaca dengan penerangan redup, waktu tidur yang singkat serta kondisi psikologis yang buruk/dalam tekanan. Penelitian dari Sydney dan Singapura mengidentifikasi bahwa faktor usia yang lebih tua, jenis kelamin perempuan, tinggal di daerah maju (urban), jenis sekolah yang lebih maju serta aktivitas diluar ruangan yang kurang mempengaruhi terjadinya miopia di wilayah

tersebut.5 Lingkungan perkotaan dan pedesaan juga mempengaruhi miopia pada siswa, Dimana daerah perkotaan dengan fasilitas telekomunikasi yang lebih maju seperti televisi, komputer dan video game akan meningkatkan aktivitas melihat jarak dekat pada pelajar yang berujung pada peningkatan progresivitas miopia pada pelajar.6

Tidak dapat dipungkiri bahwa fungsi indera penglihatan merupakan salah satu fungsi vital dalam menjalankan aktivitas sehari-hari sehingga apabila terdapat gangguan dari penglihatan akan sangat mengganggu baik bagi individu dengan gangguan penglihatan tersebut maupun orang-orang yang ada disekitar mereka. Terutama bagi para pelajar, fungsi penglihatan akan sangat mempengaruhi jumlah informasi yang dapat diterima selama proses belajar mengajar. Sehingga penurunan fungsi penglihatan akibat miopia dapat mengganggu prestasi siswa di sekolah serta membatasi aktivitas yang memerlukan penglihatan jauh seperti membaca papan tulis dari deretan kursi bagian belakang.3

Di Sungai Besar belum ada skrining atau pemeriksaan mata anak usia pra-sekolah dan usia pra-sekolah yang secara berkala dilakukan untuk menyaring miopia sehingga dapat segera diatasi atau dikoreksi dengan kacamata.7 Hal ini penting karena koreksi dari kelainan refraktif dapat memberikan penglihatan normal pada anak.8Upaya ini juga dapat mencegah akibat yang timbul seperti gangguan belajar pada anak.4 Oleh karena latar belakang diatas, perlu dilakukan penelitian mengenai prevalensi miopia dan faktor yang mempengaruhinya pada siswa sekolah dasar di Sungai Besar,

(3)

Selangor.

(4)

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka masalah penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

i. Apakah faktor-faktor resiko terhadap kejadian miopia pada siswa sekolah dasar di Sungai Besar, Selangor?

ii. Apakah prevelensi kejadian miopia pada siswa sekolah dasar di Sungai Besar, Selangor?

iii. Apakah ada riwayat pemeriksaan mata pada siswa sekolah dasar di Sungai Besar, Selangor?

iv. Apakah riwayat keturunan menjadi faktor kejadian miopia pada siswa sekolah dasar di Sungai Besar, Selangor?

v. Apakah jenis kelamin menjadi faktor kejadian miopia pada siswa sekolah dasar di Sungai Besar, Selangor?

vi. Apakah status ekonomi menjadi faktor kejadian miopia pada siswa sekolah dasar di Sungai Besar, Selangor?

vii. Apakah pekerjaan orang tua menjadi faktor kejadian miopia pada siswa sekolah dasar di Sungai Besar, Selangor?

viii. Apakah jenis sekolah menjadi faktor kejadian miopia pada siswa sekolah dasar di Sungai Besar,Selangor?

ix. Apakah perilaku melihat jarak dekat menjadi faktor kejadian miopia pada siswa sekolah dasar di Sungai Besar, Selangor?

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengidentifikasi faktor-faktor resiko terhadap kejadian miopia pada siswa sekolah dasar di Sungai Besar, Selangor.

1.3.2. Tujuan Khusus

1.3.2.1. Untuk mengetahui prevalensi miopia pada siswa sekolah dasar di Sungai Besar, Selangor

1.3.2.2. Untuk mengetahui karakteristik faktor-faktor resiko miopia pada siswa sekolah dasar di Sungai Besar, Selangor

(5)

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Sebagai sumbangan bahan pemikiran dan informasi pada pihak sekolah dan Dinas Kesehatan tentang faktor-faktor resiko miopia.

1.4.2. Sebagai salah satu sumber ilmiah yang diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan dan bermanfaat untuk penelitian selanjutnya.

(6)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi bola mata

Mata merupakan organ penting bagi manusia karena dengan mata kita mampu melihat bagaimana indahnya dunia. Dari luar, mata terdiri atas, kelopak mata, bulu mata, serta bola mata.9 Bola mata terbenam dalam corpus adiposum orbitae, namun terpisah oleh selubung fasia bola mata. Penampang bola mata seperti terlihat dalam gambar 2.1. terdiri atas tiga lapisan, dari luar ke dalam adalah: tunika fibrosa, tunika vasculosa, dan tunika sensoria bulbi. Tunika fibrosa terdiri atas bagian posterior yang opak, sklera, dan bagian anterior yang transparan, yaitu kornea. Tunika vasiculosa dari belakang ke depan, disusun oleh: choroidea, corpus ciliare dan iris. Tunika sensoria terdiri atas retina.9

(7)

Media refraksi adalah bagian mata yang akan membiaskan cahaya dalam proses melihat sehingga bayangan benda jatuh pada retina. Media refraksi terdiri dari kornea, cairan mata, lensa dan badan kaca. Kornea adalah selaput mata yang bening dan tembus cahaya dan merupakan jaringan yang menutup bola mata bagian depan. Pembiasan terkuat dilakukan oleh kornea. Lensa mata terdiri dari zat tembus cahaya yang jernih atau transparan yang berbentuk cakram bikonveks. Lensa mata dapat menebal dan menipis pada saat terjadinya akomodasi. Badan kaca mata memiliki fungsi yang sama dengan cairan mata untuk mempertahankan bola mata agar tetap bulat. Peranannya mengisi ruang untuk meneruskan sinar dari lensa ke retina. Retina merupakan bagian bola mata yang mengandung reseptor cahaya. Fungsi retina adalah menerima rangsangan cahaya dari luar dan akan diteruskan ke otak melalui saraf optik.9

2.2. Fisiologi Penglihatan

(8)

Gambar 2.2. Proses melihat 9,10

Dapat dilihat dari gambar 2.2. penglihatan yang baik adalah hasil kombinasi jalur visual neurologik yang utuh, mata yang secara struktural sehat dan dapat memfokuskan secara tepat.11 Agar dapat menghasilkan informasi visual yang akurat, cahaya harus difokuskan dengan tepat di retina. Ketika sinar cahaya paralel dari objek jauh jatuh di retina dengan mata dalam keadaan istirahat atau tidak berakomodasi, keadaan refraktif mata dikenal sebagai emetropia. Sedangkan apabila sinar cahaya paralel tidak jatuh pada fokus di retina pada mata dalam keadaan istirahat, keadaan refraktif mata disebut ametropia.9

(9)

oleh kornea atau adanya perubahan panjang bola mata maka sinar normal tidak dapat terfokus pada makula.9

2.3. Ametropia

Dalam bahasa Yunani, amertos berarti tidak sebanding atau tidak seimbang, sedangkan ops berarti mata. Sehingga kata ametropia berarti keadaan pembiasan mata dengan panjang bola mata yang tidak seimbang. Hal ini dapat disebabkan oleh gangguan pembiasan sinar pada media penglihatan atau kelainan bentuk bola mata.9

Berdasarkan penyebabnya, ametropia dibagi menjadi dua, ametropia aksial dan ametropia refraktif. Ametropia aksial adalah ametropia yang terjadi akibat sumbu bola mata lebih panjang atau lebih pendek sehingga bayangan benda difokuskan di depan atau di belakang retina. Sedangkan ametropia refraktif adalah ametropia yang terjadi akibat kelainan sistem pembiasan sinar di dalam mata. Bila daya bias kuat, maka bayangan benda terletak di depan retina atau bila daya bias kurang, maka bayangan benda akan terbentuk di belakang retina.9

Ametropia dapat dibagi menjadi miopia, hipermetropia dan astigmatisma. Miopia (penglihatan dekat), terjadi bila kekuatan optik mata terlalu tinggi,biasanya karena bola mata yang panjang, dan sinar cahaya paralel jatuh pada fokus di depan retina. Hipermetropia (penglihatan jauh), terjadi apabila kekuatan optik mata terlalu rendah, biasanya karena mata terlalu pendek, dan sinar cahaya paralel mengalami konvergensi pada titik di belakang retina. Astigmatisme, dimana kekuatan optik kornea di bidang yang berbeda tidak sama. Sinar cahaya paralel yang melewati bidang yang berbeda ini jatuh ke titik fokus yang berbeda.

2.3.1. Hubungan Ametropia dengan Kebutaan

(10)

Pada tahun 1972 WHO13 mendefinisikan kebutaan adalah tajam penglihatan <3/60. Kemudian pada tahun 1979, WHO menambahkannya dengan ketidaksanggupan menghitung jari pada jarak 3 meter dengan koreksi maksimal. Pada tahun 2008, revisi yang direkomendasikan WHO dan International Classification of Disease (ICD) membagi berkurangnya penglihatan menjadi 5 kategori dengan maksimum tajam penglihatan kurang dari 6/18 Snellen, kategori 1 dan 2 termasuk pada low vision sedangkan kategori 3, 4 dan 5 disebut blindness. Pasien dengan lapang pandangan 5 – 10 ditempatkan pada kategori 3 dan lapang pandangan kurang dari 5 ditempatkan pada kategori 4 ( lihat tabel 2.1.)12

Tabel 2.1. Klasifikasi terhadap gangguan penglihatan menurut WHO-ICD 2007

Tingkat Ketajaman Penglihatan

Kategori Gangguan Penglihatan Level Tajam Penglihatan ( Snellen )

Penglihatan Normal 6 / 6 sampai 6 / 18

Penurunan Tajam Penglihatan 1. Kurang dari 6 / 18 sampai 6 / 60 2. Kurang dari 6 / 60 sampai 3 / 60

Kebutaan 1. Kurang dari 3 / 60 (Hitung jari dari jarak 3 m) sampai 1 / 60 ( Hitung jari pada jarak 1 m ) atau lapangan pandang antara 5 – 10.

2. Kurang dari 1 / 60 ( Hitung jari dari jarak 1 m) dengan persepsi cahaya atau lapangan pandang kurang dari 5

3. Tidak dapat mempersepsi cahaya

Sumber: Renardi ANC. Prevalensi kebutaan akibat kelainan refraksi di Kabupaten Langkat [tesis]. Universitas Sumatera Utara. 2009.12

Kebutaan akibat miopia yang tidak dikoreksi atau akibat koreksi yang tidak adekuat dari kelainan refraksi mulai muncul pada usia lebih muda dibandingkan kebutaan yang disebabkan oleh katarak, yang cenderung memanifestasikan dirinya di usia tua. Jika dampak dari kebutaan akibat kelainan refraksi dihitung dalam jumlah kebutaan per orang per tahun, maka seseorang yang menjadi buta karena kelainan refraksi di usia muda yang tidak dikoreksi, menghasilkan jumlah tahun dalam kondisi buta yang lebih lama daripada jumlah tahun kebutaan karena katarak sehingga beban

(11)

Sehingga dapat disimpulkan bahwa kebutaan akibat kelainan refraksi dapat menghambat pendidikan, pengembangan kepribadian, dan peluang karir, dan juga

menyebabkan beban ekonomi di masyarakat.14

Dampak kebutaan dari miopia mungkin berbeda dari hiperopia, karena kebutaan akibat miopia cenderung memiliki visus dekat yang lebih baik daripada kebutaan akibat hiperopia. Meskipun tidak ada data yang tersedia mengenai kerugian ekonomi akibat dari kebutaan karena kelainan refraksi, namun hal ini memberikan dampak penting dalam bidang ekonomi karena proporsi mereka yang terkena dalam kelompok usia produktif cukup tinggi. Akan tetapi, beban kerugian ekonomi ini dapat bervariasi sesuai dengan jenis kelainan refraksi.14

2.4. Miopia

Miopia didefinisikan sebagai keadaan refraksi dimana pantulan paralel sinar yang masuk ke mata saat istirahat difokuskan di depan retina.15 Pantulan sinar pada bola mata yang mengalami miopia terlihat pada gambar 2.3. Sedangkan juvenile-onset miopia adalah miopia dengan onset (angka kejadian) antara usia 7 hingga 16 tahun, terutama tergantung dari pertumbuhan globe axial length.16

(12)

Pada miopia, panjang bola mata anteroposterior dapat terlalu besar atau kekuatan pembiasan media refraksi terlalu kuat.9 Dikenal beberapa bentuk miopia, antara lain miopia refraktif dan miopia aksial. Miopia refraktif adalah miopia yang terjadi akibat bertambahnya indeks bias media penglihatan. Hal ini terjadi akibat pembiasan media penglihatan kornea dan lensa yang terlalu kuat. Miopia aksial adalah miopia yang terjadi akibat panjangnya sumbu bola mata, dengan kelengkungan kornea dan lensa yang normal.9 Menurut derajat beratnya, miopia dibagi dalam miopia ringan, dimana miopia lebih kecil dari 3 dioptri (D); miopia sedang, dimana miopia antara 3-6 D; dan miopia berat atau tinggi, dimana miopia lebih besar dari 6 D.

Progresi miopi 1 D atau lebih dilaporkan pada 15%-25% anak usia 7-13 tahun, prevalensi miopia paling meningkat pada anak perempuan usia 9-10 tahun, sedangkan pada anak laki-laki usia 11-12 tahun. Semakin dini terjadinya miopia, semakin besar progresinya. Pada sebagian besar individu, progresi miopi berhenti pada pertengahan usia remaja, sekitar usia 15 tahun untuk anak perempuan dan 16 tahun untuk anak laki-laki. 75% miopia pada remaja bersifat stabil.16

Gejala miopia antara lain penglihatan kabur melihat jauh dan hanya jelas pada jarak tertentu/dekat, selalu ingin melihat dengan mendekatkan benda yang dilihat pada mata, gangguan dalam pekerjaan, dan jarang sakit kepala.18

Koreksi mata miopia seperti yang terlihat pada gambar 2.3. adalah dengan memakai lensa minus/negatif. Lensa yang digunakan adalah dengan ukuran teringan yang sesuai untuk mengurangi kekuatan daya pembiasan di dalam mata. Biasanya pengobatan dengan kaca mata dan lensa kontak. Pemakaian kaca mata dapat terjadi pengecilan ukuran benda yang dilihat, yaitu setiap -1D akan memberikan kesan pengecilan benda 2%. Pada keadaan tertentu, miopia dapat diatasi dengan pembedahan pada kornea antara lain keratotomi radial, keratektomi fotorefraktif,

(13)

2.4.1. Etiologi dan Faktor Resiko Miopia

Prevalensi miopia di seluruh dunia terus meningkat, namun patogenesisnya masih belum jelas. Etiologi miopia diyakini multifaktorial dengan interaksi yang erat antara faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik dapat menurunkan sifat – sifat kelainan refraksi ke keturunannya, baik secara autosomal dominan maupun autosomal resesif. Orangtua yang mempunyai sumbu bola mata yang lebih panjang dari normal akan melahirkan keturunan yang memiliki sumbu bola mata yang lebih

panjang dari normal pula.10 Adanya riwayat miopia pada paling tidak salah satu orang tua, berhubungan dengan kejadian miopia. Riwayat miopia pada minimal salah satu orang tua secara signifikan lebih tinggi pada penderita miopia dibandingkan dengan

orang tanpa miopia (45,5% vs 17,8%).19 Miopia lebih banyak diderita oleh perempuan dibandingkan dengan laki-laki dengan presentase pada penelitian di Iran sebesar 60,7% : 39,3%.16 Pada penelitian kelainan refraktif siswa usia 7-15 tahun di Qazvin, Iran didapatkan juga bahwa prevalensi miopia meningkat seiring dengan pertambahan usia.20

Faktor genetik mungkin merupakan faktor yang paling penting; namun faktor lain meliputi pekerjaan jarak dekat dan pendidikan juga dapat mempengaruhi. Terdapat hubungan antara aktivitas melihat dekat meliputi waktu yang dihabiskan untuk membaca, penggunaan komputer, menonton televisi dan bermain video game,

serta lamanya pajanan terhadap cahaya dengan kejadian miopia.19 Gangguan penerangan dapat menimbulkan gangguan akomodasi mata, kontraksi otot siliar

secara terus-menerus akan menimbulkan gangguan refraksi mata yaitu miopia.21

(14)

membaca. Hal ini ditunjukkan dari hasil penelitian tersebut dimana didapatkan bahwa prevalensi miopia untuk siswa kelas tiga adalah 21,74% sedangkan untuk siswa kelas enam adalah 30%.4

Faktor lainnya telah diketahui memengaruhi terjadinya miopia pada pelajar menurut The Beijing Childhood Eye Study5 pada tahun 2012, adalah usia yang lebih tua, jenis kelamin perempuan, penghasilan keluarga yang tinggi, profesi ayah yang lebih tinggi, usia muda saat terdeteksi miopia, membaca dengan penerangan redup, waktu tidur yang singkat serta kondisi psikologis yang buruk/dalam tekanan. Penelitian dari Sydney dan Singapura5 mengidentifikasi bahwa faktor usia yang lebih tua, jenis kelamin perempuan, tinggal di daerah maju (urban), jenis sekolah yang lebih maju serta aktivitas diluar ruangan yang kurang mempengaruhi terjadinya miopia di wilayah tersebut. Lingkungan perkotaan dan pedesaan juga mempengaruhi miopia pada siswa, Dimana daerah perkotaan dengan fasilitas telekomunikasi yang lebih maju seperti televisi, komputer dan video game akan meningkatkan aktivitas melihat jarak dekat pada pelajar yang berujung pada peningkatan progresivitas miopia pada pelajar.6

Tidak dapat dipungkiri bahwa fungsi indera penglihatan merupakan salah satu fungsi vital dalam menjalankan aktivitas sehari-hari sehingga apabila terdapat gangguan dari penglihatan akan sangat mengganggu baik bagi individu dengan gangguan penglihatan tersebut maupun orang-orang yang ada disekitar mereka. Terutama bagi para pelajar, fungsi penglihatan akan sangat mempengaruhi jumlah informasi yang dapat diterima selama proses belajar mengajar. Sehingga penurunan fungsi penglihatan akibat miopia dapat mengganggu prestasi siswa di sekolah serta membatasi aktivitas yang memerlukan penglihatan jauh seperti membaca papan tulis dari deretan kursi bagian belakang.3,4

(15)

Upaya ini juga dapat mencegah akibat yang timbul seperti gangguan belajar pada anak serta penurunan prestasi di sekolah.3,7

2.4.2. Penanganan Miopia 1. Kaca mata

Kacamata dan lensa kontak meperbaiki kelainan refraktif dengan cara menambah atau mengurangi kekuatan fokus pada kornea dan lensa. Kekuatan yang diperlukan untuk memfokuskan gambaran secara langsung ke retina diukur dalam dioptri. Pengukuran ini juga dikenal sebagai resep kacamata.22

Pada miopia, kornea dan lensa terlalu banyak memiliki kekuatan fokus, sehingga cahaya yang dibisakan bertemu pada suatu titik didepan retina. Kacamata dan lensa kontak mengatasi keadaan ini dengan cara mengurangi kekuatan fokus mata yang alami dan memungkinkan cahaya terfokus pada retina. Untuk miopia, resepnya adalah negatif,

misalnya -4,25 dioptri.22

Cara membaca resep kacamata Contoh :

Sferis Silindris Axis OD (mata kanan) -1,25 -2,50 90

OS (mata kiri) -0,75 -2,25 90

Resep ini dibaca sebagai berikut :

Mata kanan minus 1,25; minus 2,50; axis 90. Mata kiri minus 0,75; minus 2,25; axis 90. Artinya mata kanan menderita miopi sebesar 1,25 dioptri, astigmata sebesar 2,50 dioptri dengan orientas silindris 90 derajat. Mata kiri menderita miopi sebesar 0,75 dioptri, astigmata sebesar 2,25 dioptri dengan orientasi silindris 90 derajat. Diperlukan kacamata bifokus dengan kekuatan lensa sebesar +1D untuk membantu membaca.22

2. Lensa kontak

(16)

penglihatan sebaik kacamata. Lansia dan penderita artritis mungkin akan mengalami kesulitan dalam merawat dan memasang lensa kontak. Terdapat berbagai jenis lensa kontak yang dapat digunakan antara lain lensa kontak yang kaku (keras), yaitu lensa berupa lempengan tipis yang terbuat dari plastik keras. Lensa lainnya yang dapat ditembus gas terbuat dari silikon dan bahan lainnnya, lensa ini kaku tetapi memungkinkan penghantaran oksigen yang lebih baik ke kornea. Ada juga lensa kontak hidrofilik yang lunak terbuat dari plastik lentur yang lebih lebar dan menutupi seluruh kornea serta lensa non-hidrofilik yang paling lunak terbuat dari silikon.22

Penderita miopia usia lanjut biasanya lebih menyukai lensa yang lunak karena perawatannya lebih mudah dan ukurannya lebih besar. Lensa ini juga tidak mudah lepas atau debu atau kotoran lainnya tidak mudah masuk ke bawahnya. Selain itu lensa kontak yang lunak memberikan kenyamanan ketika pertama kali dipakai, meskipun memerlukan perawatan yang cermat. Kebanyakan lensa kontak harus dilepas dan dibersihkan setiap hari. Atau bisa digunakan lensa sekali pakai, ada yang diganti setiap satu sampai 2 minggu sekali atau ada juga yang diganti setiap hari. Lensa sekali pakai tidak perlu dibersihkan dan disimpan karena setiap kali diganti dengan yang baru.22

Setiap jenis lensa kontak memiliki resiko yaitu komplikasi yang serius, termasuk ulserasi kornea akibat infeksi yang bisa menyebabkan kebutaan. Resiko ini bisa dikurangi dengan mengikuti aturan pemakaian dari pembuat lensa kontak dan petunjuk dari dokter mata. Jika timbul rasa tidak nyaman, air mata yang berlebihan, perubahan penglihatan atau mata menjadi merah, sebaiknya lensa segera dilepas dan periksakan mata ke dokter mata.22

3. Pembedahan & Terapi Laser

Pembedahan dan terapi laser bisa digunakan untuk memperbaiki miopia,

(17)

Pembedahan refraktif biasanya dijalani oleh penderita yang penglihatannya tidak dapat dikoreksi dengan kacamata atau lensa kontak dan pederita yang tidak dapat menggunakan kacamata atau lensa kontak.22

a. Keratotomi Radial dan Keratotomi Astigmatik

Pada keratotomi radial (KR), dibuat sayatan radial (jari-jari roda) pada kornea,

bisaanya sebanyak 4-8 sayatan. Keratotomi stigmatic (KA) digunakan untuk memperbaiki astigmata alami dan astigmata setelah pembedahan katarak atau pencangkokan kornea. Pada keratotomi astigmatic dibuat sayatan melengkung.22

Pembedahan bertujuan mendatarkan kornea, sehingga kornea bisa lebih memfokuskan cahaya yang masuk ke retina. Dengan pembedahan ini penglihatan penderita menjadi lebih baik dan sekitar 90% penderita yang menjalani pembedahan bisa mengemudi tanpa bantuan kacamata maupun lensa kontak.22

Efek samping yang dapat ditimbulkan antara lain penglihatan berubah-ubah (kadang jelas, kadang kabur), terutama pada beberapa bulan pertama setelah pembedahan, kornea menjadi lemah, lebih mudah robek jika terpukul secara langsung, infeksi, kesulitan dalam memasang lensa kontak, silau jika melihat cahaya, nyeri yang bersifat sementara.22

b. Keratektomi Fotorefraktif

Prosedur pembedahan laser ini bertujuan untuk kembali membentuk kornea. Digunakan sinar berfokus tinggi untuk membuang sebagian kecil kornea sehingga bentuknya berubah. Dengan merubah bentuk kornea, maka cahaya akan lebih terfokus ke retina dan penglihatan menjadi lebih baik. Masa penyembuhan dari terapi laser ini lebih lama dan lebih terasa nyeri dibandingkan dengan pembedahan refraktif.22

c. Laser In Situ Keratomileusis (LASIK)

(18)

2.4.3. Pencegahan Miopia

Selama bertahun-tahun, banyak pengobatan yang dilakukan untuk mencegah atau memperlambat progresi miopia, antara lain dengan koreksi penglihatan dengan bantuan kacamata, pemberian tetes mata atropin, menurunkan tekanan dalam bola mata, penggunaan lensa kontak kaku untuk memperlambat perburukan rabun dekat pada anak, latihan penglihatan berupa kegiatan merubah fokus jauh – dekat.23

2.5. Tajam Penglihatan atau Visus

Penglihatan dapat dibagi menjadi penglihatan sentral dan penglihatan perifer. Ketajaman penglihatan sentral diukur dengan memperlihatkan sasaran dengan berbagai ukuran yang terpisah pada jarak standar dari mata.11 Pemeriksaan tajam penglihatan merupakan pemeriksaan fungsi mata. Untuk mengetahui tajam penglihatan seseorang, dapat digunakan kartu snellen seperti pada gambar 3 dan bila penglihatan mata kurang maka tajam penglihatan diukur dengan menentukan kemampuan melihat jumlah jari ataupun proyeksi sinar.9

Ukuran besarnya kemampuan mata untuk membedakan bentuk dan rincian benda ditentukan dengan kemampuan melihat benda terkecil yang masih dapat dilihat pada jarak tetentu. Biasanya pemeriksaan tajam penglihatan ditentukan dengan melihat kemampuan mata membaca huruf-huruf berbagai ukuran pada jarak baku untuk kartu. Hasilnya dinyatakan dengan angka pecahan seperti 20/20 untuk

(19)

Gambar 2.4. Snellen chart.24

2.6. Pemeriksaan Visus

Pemeriksaan tajam penglihatan dilakukan pada mata dengan atau tanpa kacamata. Setiap mata diperiksa terpisah. Biasakan memeriksa tajam penglihatan kanan dahulu kemudian kiri lalu mencatatnya.9 Dengan gambar kartu Snallen ditentukan tajam penglihatan dimana mata hanya dapat membedakan 2 titik terpisah bila titik tersebut membentuk sudut 1 menit. Satu huruf hanya dapat dilihat bila seluruh huruf membentuk sudut 5 menit dan setiap bagian dipisahkan dengan sudut 1 menit. Makin jauh harus dilihat, maka makin besar huruf tersebut harus dibuat karena sudut yang terbentuk harus tetap 5 menit.9

Pemeriksaan tajam penglihatan sebaiknya dilakukan pada jarak 5 sampai 6 meter, karena pada jarak ini mata akan melihat benda dalam keadaan beristirahat atau tanpa akomodasi. Untuk mengetahui sama atau tidaknya ketajaman penglihatan kedua mata dapat dilakukan dengan menutup salah satu mata. Bila seseorang diragukan apakah penglihatannya berkurang akibat kelainan refraksi, maka dilakukan uji

(20)

berkas yang terfokus di pusat yang dapat mencapai retina, sehingga menghasilkan bayangan yang lebih tajam.11 Bila dengan pinhole

penglihatan lebih baik, maka ada kelainan refraksi yang masih dapat dikoreksi dengan kacamata. Bila penglihatan berkurang dengan diletakkannya pinhole di depan mata berarti ada kelainan organik atau kekeruhan media penglihatan yang mengakibatkan penglihatan menurun. Pada seseorang yang terganggu akomodasinya atau adanya presbiopi, maka apabila melihat benda-benda yang sedikit didekatkan akan terlihat kabur.9

2.7. Kerangka teori

Berdasarkan tinjauan kepustakaan di atas, berikut ini disajikan kerangka teori dari penelitian mengenai “Faktor-faktor resiko terhadap kejadian miopia pada siswa sekolah dasar di Sungai Besar, Selangor”.

Faktor Usia

TV BermainVideo Menggunakan Membacadengan

Waktu

Tidur Aktivitas diLuar Kondisi Game Komputer PeneranganRedup Ruangan Psikologis

: Variabel Independen : Variabel yang diteliti : Variabel Dependen : Variabel yang tidak diteliti

Skema 2.1

Kerangka teori miopia

(21)
(22)

BAB III

KERANGKA KONSEP

3.1. Dasar Pemikiran Variabel Penelitian

Dengan semakin meningkatnya prevalensi miopia pada anak usia sekolah maka perlu diketahui faktor-faktor yang menyebabkan peningkatan prevalensi tersebut sehingga dapat ditemukan metode intervensi yang tepat baik untuk mencegah semakin meningkatnya prevalensi penderita miopia dikalangan pelajar serta mengatasi keluhan dan efek samping ke depannya dari miopia pada pelajar. 4,5

Berdasarkan tinjauan pustaka, miopia terjadi akibat multifaktorial terutama hasil interaksi antara faktor genetik dan faktor lingkungan. Sehingga di antara berbagai faktor tersebut, maka variabel dependen yaitu miopia dan variabel independen yaitu faktor keturunan, jenis kelamin serta faktor lingkungan yang terdiri atas perilaku melihat jarak dekat (menonton televisi/TV, membaca buku/belajar, bermain video game, bekerja/belajar menggunakan komputer), pekerjaan orang tua, penghasilan orang tua dan jenis sekolah.6 Penentuan variabel tersebut didasarkan pada kontribusi faktor-faktor tersebut dalam terjadinya miopia di berbagai belahan dunia. Variabel usia dalam hal ini dapat dihilangkan karena usia subjek dalam populasi penelitian yang homogen. Dalam penelitian ini, peneliti memfokuskan penelitian pada faktor resiko berupa perilaku melihat jarak dekat sehingga variabel jumlah waktu tidur, aktivitas di luar ruangan serta kondisi psikologis tidak diteliti.

(23)

Faktor

Keturunan Perilaku melihat jarak

Karakteristik dekat:

responden: •Menonton TV

•Jenis kelamin •Membaca

•Status ekonomi buku/belajar jarak

keluarga dekat

•Pekerjaan orang

tua •Bermain video game

Jenis sekolah •Bekerja/bermain

menggunakan komputer

Miopia

Skema 3.1

Kerangka konsep penelitian hubungan antara faktor-faktor resiko terhadap kejadian miopia pada siswa sekolah dasar di Sungai Besar, Selangor

3.2. Definisi Operasional 3.2.1. Miopia

a) Definisi

Kemampuan untuk melihat jauh dengan tajam penglihatan kurang dari 6/18

b) Alat ukur

Kartu Snellen c) Cara ukur

(24)

namun tidak menekan bola mata, demikian pula sebaliknya. Kemudian subjek akan diminta menyebutkan nama huruf pada kartu snellen yang ditunjuk pemeriksa. Pemeriksa akan menunjuk satu persatu seluruh huruf pada kartu snellen, dimulai dari huruf di baris paling atas hingga subjek salah menyebut 3 huruf dari baris yang ditunjuk. Lalu pemeriksa akan mencatat katajaman penglihatan subjek sesuai standar yang tertera pada kartu snellen. Apabila hasil tajam penglihatan subjek adalah 6/6, maka pemeriksa akan meletakkan lensa positif di depan mata subjek untuk melihat apakah mata subjek normal atau subjek menderita hipermetropia. Apabila hasil tajam penglihatan subjek kurang dari 6/6, maka pemeriksa akan meletakkan lensa negatif di depan mata subjek. Apabila penglihatan subjek lebih baik, maka subjek menderita miopia. Kemudian pemeriksa akan melakukan uji

pinhole. Pinhole akan diletakkan di depan mata yang akan diperiksa dan subjek diminta membaca baris terakhir yang masih dapat dibaca sebelumnya. Apabila dengan uji pinhole penglihatan tidak bertambah baik maka kemungkinan terdapat kelainan organik pada mata seperti kelainan retina atau saraf optik.9,15

d) Hasil ukur

1. Mata normal: Visus 6/6 – 6/18 2. Miopia: Visus > 6/18

3.2.2. Faktor keturunan a) Definisi

Pelajar yang mempunyai salah satu atau kedua orang tua yang menderita miopia.

b) Alat ukur

(25)

c) Cara ukur

Responden diberikan pertanyaan tentang penggunaan kacamata miopia dalam keluarga

d) Hasil ukur

1. Ada : Terdapat anggota keluarga yang menggunakan kacamata untuk melihat jarak jauh

2. Tidak ada: Tidak terdapat anggota keluarga yang menggunakan kacamata untuk melihat jarak jauh

3.2.3. Jenis Kelamin a) Definisi

Perbedaan secara seksual dari responden b) Alat ukur

Kuesioner c) Cara ukur

Melalui pencatatan variabel sesuai yang diperoleh dari kuesioner d) Hasil ukur :

1. Laki-laki 2. Perempuan

3.2.4. Status ekonomi keluarga a) Definisi

Kondisi keuangan keluarga pelajar berdasarkan hasil penggabungan penghasilan kedua orangtua.

b) Alat ukur

Wawancara orang tua via telepon c) Cara ukur

(26)

d) Hasil ukur

1. Golongan menengah ke bawah : penghasilan kurang dari RM 2.000 -

2. Golongan menengah ke atas : Penghasilan lebih dari RM 2.000,-

3.2.5. Pekerjaan orangtua a) Definisi

Kegiatan utama yang dilakukan orangtua pelajar untuk memenuhi kebutuhan keuangan keluarga.

b) Alat ukur

Wawancara orang tua via telepon c) Cara ukur

Responden diberikan pertanyaan tentang pekerjaan d) Hasil ukur

1. Institusi pemerintah: bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS) dalam berbagai bidang baik dalam bidang pemerintahan, kesehatan, hukum, maupun pada badan usaha milik negara (BUMN)

2. Institusi non pemerintah: bekerja baik sebagai pemilik maupun pegawai dari instansi swasta maupun usaha pribadi lainnya.

3.2.6. Jenis sekolah b) Definisi

Pengelompokan tempat pendidikan pelajar berdasarkan kepemilikan oleh negara berupa sekolah negeri dan sekolah swasta

c) Alat ukur

Kuesioner d) Cara ukur

(27)

1. Sekolah Agama Tahfiz Al-Quran: pelajar yang bersekolah di Sekolah Agama Tahfiz Al-Quran sebagai perwakilan sekolah swasta

2. Sekolah Kebangsaan Seri Makmur: pelajar yang bersekolah di Sekolah Kebangsaan Seri Makmur sebagai perwakilan sekolah negeri

3.2.7. Kebiasaan menonton televisi a) Definisi

Kebiasaan subjek dalam aktivitas menonton tayangan televisi dengan jarak antara posisi duduk dengan layar televisi lebih dari 2 meter dan durasi kurang dari 3 jam sehari tanpa henti.

b) Alat ukur Kuesioner

c) Cara ukur

Responden diberikan 2 pertanyaan dalam kuesioner mengenai kebiasaan menonton televisi

d) Hasil ukur

1. Mengikuti syarat: Jawaban dari kedua pertanyaan sesuai dengan kondisi menonton televisi yang benar

2. Tidak mengikuti syarat: Jawaban dari kedua pertanyaan tidak sesuai dengan kondisi menonton televisi yang benar

3.2.8. Kebiasaan membaca c) Definisi

Kebiasaan subjek menelaah buku dengan jarak mata terhadap buku lebih dari 30 cm, dalam posisi duduk dan penerangan yang cukup.

d) Alat ukur

Kuesioner

e) Cara ukur

(28)

f) Hasil ukur

1. Mengikuti syarat: Jawaban dari keempat pertanyaan sesuai dengan kondisi membaca yang benar

2. Tidak mengikuti syarat: Jawaban dari keempat pertanyaan tidak sesuai dengan kondisi membaca yang benar

3.2.9. Kebiasaan bermain video game

a) Definisi

Kebiasaan subjek dalam aktivitas permainan elektronik dengan jarak mata dengan layar televisi lebih dari 2 meter dan durasi kurang dari 3 jam sehari dan jarak mata dengan layar video game portable lebih dari 30 sentimeter dan durasi kurang dari 3 jam sehari

b) Alat ukur Kuesioner

a) Cara ukur

Responden diberikan 5 pertanyaan dalam kuesioner mengenai kebiasaan bermain video game

d) Hasil ukur

1. Mengikuti syarat: Jawaban dari kelima pertanyaan sesuai dengan kondisi bermain video game yang benar.

2. Tidak mengikuti syarat: Jawaban dari kelima pertanyaan sesuai dengan kondisi bermain video game yang benar.

3.2.10. Kebiasaan menggunakan

computer a) Definisi

Kebiasaan subjek dalam aktivitas menatap, mengetik, membaca atau

browsing dengan jarak mata dengan layar komputer lebih dari 60 cm dan durasi kurang dari 3 jam sehari.

b) Alat ukur

(29)

c) Cara ukur

Responden diberikan 3 pertanyaan dalam kuesioner mengenai kebiasaan menggunakan komputer

d) Hasil ukur

1. Mengikuti syarat: Jawaban dari ketiga pertanyaan sesuai dengan kondisi menggunakan komputer yang benar 2. Tidak mengikuti syarat: Jawaban dari ketiga pertanyaan tidak sesuai

dengan kondisi menggunakan komputer yang benar

3.2.11. Riwayat pemeriksaan mata a) Definisi

Riwayat pemeriksaan mata yang pernah dijalani b) Alat ukur

Kuesioner

c) Cara ukur

Responden diberikan 4 pertanyaan dalam kuesioner mengenai riwayat pemeriksaan mata sebelumnya

d) Hasil ukur

(30)

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan cross sectional. Jenis studi ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan kejadian miopia pada siswa sekolah dasar di Sungai Besar, Selangor.

Penelitian dimulai dengan memberikan kuesioner kepada siswa kelas 5 sekolah dasar swasta dan negeri untuk mengidentifikasi faktor-faktor miopia pada siswa tersebut. Oleh karena itu, desain ini dapat dilakukan dalam waktu singkat serta hasil penelitian dapat digeneralisasikan ke populasi karena berasal dari sampel yang representatif.25

4.2. Tempat dan Waktu Penelitian 4.2.1. Tempat Penelitian

Dalam penelitian ini faktor yang akan diteliti antara lain adalah status ekonomi serta jenis sekolah terhadap kejadian miopia pada siswa sekolah dasar di Sungai Besar, Selangor. Untuk itu, diperlukan tempat penelitian yang dapat mewakili faktor-faktor tersebut. Dalam hal ini, dipilih Sekolah Agama Tahfiz Al-Quran sebagai representasi sekolah swasta di Sungai Besar, Selangor dan Sekolah Kebangsaan Seri Makmur sebagai representasi dari sekolah negeri di Sungai Besar, Selangor.

4.2.2. Waktu Penelitian

(31)

4.3. Populasi dan Sampel 4.3.1. Populasi

1. Populasi target

Populasi target adalah siswa sekolah dasar yang mengikuti pendidikan di Sungai Besar, Selangor.

2. Populasi terjangkau

Populasi terjangkau adalah siswa kelas 5 sekolah dasar dari lokasi penelitian yang telah ditentukan. Pemilihan populasi ini didasarkan pada kondisi siswa kelas 5 yang memiliki usia antara 11 tahun dimana usia ini memiliki resiko paling tinggi menderita miopia.

4.3.2. Sampel

Sampel adalah sejumlah pelajar Kelas 5 Sekolah Agama Tahfiz Al-Quran dan Sekolah Menengah Seri Makmur yang terdiri dari laki-laki dan perempuan serta memenuhi kriteria inklusi dan kriteria ekslusi. Perhitungan besar sampel yang dibutuhkan dalam suatu penelitian menggunakan rumus Slovin. Pemilihan sampel dilakukan secara “Simple Random Sampling”.

Jadi besar sampel yang diperlukan: n= N/(N.d2+1)

n= 176/(176x0.052)+1

n= 122,2 ≈122

(32)

1. Kriteria inklusi:

Subjek kelas 5 yang bersedia mengikuti penelitian 2. Kriteria eksklusi:

a. Subjek yang tidak hadir pada saat penelitian b. Subjek sejak awal menderita miopia

c. Subjek dengan gangguan penglihatan lainnya

d. Subjek yang tidak memberikan informasi dalam kuesioner dan wawancara secara lengkap

4.4. Metode Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian 4.4.1. Jenis Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Data primer diperoleh dengan cara kunjungan ke lokasi penelitian dan wawancara orangtua via telepon serta membagikan kuesioner untuk diisi sendiri oleh responden serta pemeriksaan tajam penglihatan dengan menggunakan kartu Snellen.

4.4.2. Instrumen Penelitian

1. Kuesioner dan wawancara digunakan sebagai alat pengumpul data. 2. Kartu Snellen digunakan untuk mengukur tajam penglihatan

4.5. Manajemen Penelitian 4.5.1 Pengumpulan data

Pengumpulan data dilakukan setelah memperoleh perizinan dari pemerintah setempat, dan instansi yang terkait, dalam hal ini sekolah dasar di Sungai Besar, Selangor serta orang tua siswa. Kemudian peneliti akan menghubungi orang tua siswa untuk wawancara.

(33)

kartu Snellen.

4.5.2. Pengolahan dan Penyajian Data

Data primer yang diperoleh dari hasil penelitian diolah dan dikumpulkan menurut variabel dan kemudian akan diolah menggunakan komputer dan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi secara deskriptif.

4.6. Etika Penelitian

Hal-hal yang terkait dengan etika penelitian dalam penelitian ini adalah

1. Menyertakan surat pengantar yang ditujukan kepada pihak pemerintah setempat dan instansi terkait sebagai permohonan izin untuk melakukan penelitian

2. Menjaga kerahasiaan subjek penelitian dengan cara tidak menuliskan nama responden tetapi hanya berupa nomor register, sehingga diharapkan tidak ada pihak yang merasa dirugikan atas penelitian yang dilakukan 3. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak

yang terkait sesuai dengan manfaat penelitian yang telah disebutkan sebelumnya.

4. Bagi subjek yang terdeteksi menderita miopia , disarankan pada orangtua untuk memeriksakan anaknya ke dokter mata.

BAB V

HASIL PENELITIAN

(34)

orang pelajar kelas V periode 2016/2017. Data yang digunakan merupakan data primer, pengumpulan data dilakukan dengan pengisian kuesioner dan wawancara orangtua via telepon. Setelah semua informasi diperoleh, kuesioner dinilai berdasarkan kriteria objektif, kemudian hasilnya diolah menggunakan komputer dan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi secara deskriptif.

Berikut ini merupakan data hasil penelitian yang diperoleh dan disajikan

Status ekonomi Menengah ke atas 98 80.3

Menengah ke bawah 24 19,7

Pekerjaan orangtua Institusi pemerintah 28 23,0 Institusi non pemerintah 94 77,0

Sekolah Sek. Keb. Seri Makmur 52 42,6 Sek. Agama Tahfiz

Al-Quran 70 57.4

Kebiasaan menonton Memenuhi syarat 64 52,5

TV Tidak memenuhi syarat 58 47,5

Kebiasaan membaca Memenuhi syarat 72 59,0 Tidak memenuhi syarat 50 41,0

Kebiasaan bermain Memenuhi syarat 60 49,2

video game Tidak memenuhi syarat 62 50,8

Kebiasaan Memenuhi syarat 45 36,9

menggunakan

komputer Tidak memenuhi syarat 77 63,1

Sumber: Data primer

(35)

tidak memenuhi syarat. Begitu pula dengan subjek dengan kebiasaan membaca memenuhi syarat, kebiasaan bermain video game memenuhi syarat dan kebiasaan menggunakan komputer sesuai dengan tata cara yang benar.

Tabel 5.2 Deskripsi riwayat pemeriksaan mata

Variabel Kategori

Frekuensi Presentase

(n) (%)

Mata pernah diperiksa Ya 52 42,6

Tidak 70 57,4

Keluhan Sulit melihat tulisan di papantulis 6 11,5 Sulit membaca tulisan kecil 16 30,8

Sakit kepala 6 11,5

Lain-lain 10 19,2

Tanpa keluhan 14 26,9

Sumber: Data primer

Jumlah responden yang pernah memeriksakan mata lebih sedikit bila dibandingkan dengan responden yang sama sekali belum pernah memeriksakan mata. Dimana responden lebih banyak diperiksa oleh petugas kesehatan. Responden paling banyak memeriksakan kondisi mata ketika duduk di kelas empat dengan keluhan sulit membaca tulisan berukuran kecil.

Tabel 5.3 Deskripsi hasil pemeriksaan ketajaman penglihatan

(36)

Berdasarkan definisi dari WHO dan definisi operasional yang diambil dalam penelitian ini subjek dianggap menderita miopia apabila diperoleh tajam penglihatan <6/18 dari hasil pemeriksaan. Tabel 5.3 menunjukkan bahwa responden dengan gangguan penglihatan memiliki jumlah yang lebih banyak yaitu sebanyak 49,2% daripada responden dengan tajam penglihatan yang normal maupun dengan menderita miopia.

1.1. Karakteristik Keturunan sebagai Faktor Resiko Miopia

Tabel 5.4 Karakteristik Keturunan sebagai Faktor Resiko Miopia pada Siswa Sekolah Dasar di Sungai Besar, Selangor, Malaysia, 2016.

(37)

Grafik 1. Karakteristik Keturunan sebagai Faktor Resiko Miopia pada Siswa Sekolah Dasar di Sungai Besar, Selangor, Malaysia, 2016

Tabel 5.4 dan Grafik 1 menunjukkan karakteristik keturunan sebagai faktor resiko miopia. Dari 122 sampel diperoleh 36 orang (29,5%) memiliki keluarga yang menderita miopia, dan 86 orang (70,5%) tidak memiliki keluarga yang menderita miopia.

Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini bahwa terdapat 36 orang subjek yang memiliki keluarga dengan miopia, 16 orang daripadanya menderita miopia dan 20 orang daripadanya memiliki gangguan penglihatan. Manakala, siswa yang tidak ada riwayat keluarga yang menderita miopia kebanyakannya memiliki penglihatan normal yaitu sebanyak 44 orang (51,2%) dari sejumlah 86 orang.

1.2. Karakteristik Jenis Kelamin sebagai Faktor Resiko Miopia

Tabel 5.5 Karakteristik Jenis Kelamin sebagai Faktor Resiko Miopia pada Siswa Sekolah Dasar di Sungai Besar, Selangor, Malaysia, 2016.

Variabel Miopia Gangguan Penglihatan

Normal Jumlah

n % n % n % n %

Laki-laki 7 14,6 25 52,1 16 33,3 48 100,0

Perempuan 11 14,9 35 47,3 28 37,8 74 100,0

(38)

Laki-Laki Perempuan

Grafik 2. Karakteristik Jenis Kelamin sebagai Faktor Resiko Miopia padaSiswa Sekolah Dasar di Sungai Besar, Selangor, Malaysia, 2016

Tabel 5.5 dan grafik 2 menunjukkan karakteristik jenis kelamin sebagai faktor resiko miopia. Dari 122 sampel terdiri dari 48 laki-laki orang (39,3%) dan perempuan sebanyak 74 orang (60,7%).

Dari 48 orang laki-laki ditemukan sebanyak 7 orang (14,6%) yang menderita miopia dan gangguan penglihatan sebanyak 25 orang (52,1%) serta terdapat 16 orang (33,3%) memiliki penglihatan normal. Sedangkan dari 74 orang perempuan didapatkan 11 orang (14,9%) yang menderita miopia dan 35 orang (47,3%) terganggu penglihatannya serta siswa dengan penglihatan normal sebanyak 28 orang (37,8%).

1.3. Karakteristik Status Ekonomi sebagai Faktor Resiko Miopia

Tabel 5.6 Karakteristik Status Ekonomi sebagai Faktor Resiko Miopia pada Siswa Sekolah Dasar di Sungai Besar, Selangor, Malaysia, 2016.

Variabel Miopia Gangguan

Penglihatan

Normal Jumlah

n % n % n % n %

Menengah Ke Atas 14 14,3 48 49,0 36 36,7 98 100,0

(39)

Sumber : Data Primer

Menengah Ke Atas Menengah Ke Bawah 0

Grafik 3. Karakteristik Status Ekonomi sebagai Faktor Resiko Miopia padaSiswa Sekolah Dasar di Sungai Besar, Selangor, Malaysia, 2016

Tabel 5.6 dan grafik 3 menunjukkan karakteristik status ekonomi sebagai faktor resiko miopia. Dari 122 sampel terdapat 98 orang siswa(80,3%) berasal dari keluarga dengan status ekonomi menengah ke atas dan sebanyak 24 orang (19,7%) dari keluarga dengan status ekonomi menengah ke bawah.

Dari 98 orang siswa dengan status ekonomi menengah ke atas, ditemukan sebanyak 14 orang (14,3%) menderita miopia dan gangguan penglihatan sebanyak 48 orang (49,0%) serta terdapat 36 orang (36,7%) memiliki penglihatan normal. Sedangkan dari 24 orang siswa dengan status ekonomi menengah ke bawah, didapatkan 4 orang (16,7%) menderita miopia dan 12 orang (50,0%) terganggu penglihatannya serta siswa dengan penglihatan normal sebanyak 8 orang (33,3%).

1.4. Karakteristik Pekerjaan Orang Tua sebagai Faktor Resiko Miopia

Tabel 5.7 Karakteristik Pekerjaan Orang Tua sebagai Faktor Resiko Miopia pada Siswa Sekolah Dasar di Sungai Besar, Selangor, Malaysia, 2016.

(40)

Penglihatan

n % n % n % n %

Institusi Pemerintah 6 21,4 18 64,3 4 14,3 28 100,0 Institusi Non-Pemerintah 12 12,8 42 44,7 40 42,5 94 100,0

Sumber : Data Primer

Grafik 4. Karakteristik Pekerjaan Orang Tua sebagai Faktor Resiko Miopia padaSiswa Sekolah Dasar di Sungai Besar, Selangor, Malaysia, 2016

(41)

Didapatkan rata-rata siswa yang memiliki orang tua yang bekerja di institusi pemerintah lebih sedikit kejadian miopia dan gangguan penglihatan yaitu sebanyak 6 orang (21,4%) dan 18 orang (64,3%) masing - masing. Manakala, siswa yang orang tuanya bekerja di institusi non-pemerintah lebih banyak menderita miopia dan gangguan penglihatan yaitu sebanyak 12 orang (12,8%) dan 42 orang (44,7%) masing - masing.

1.5. Karakteristik Jenis Sekolah sebagai Faktor Resiko Miopia

Tabel 5.8 Karakteristik Jenis Sekolah sebagai Faktor Resiko Miopia pada Siswa Sekolah Dasar di Sungai Besar, Selangor, Malaysia, 2016.

Variabel Miopia Gangguan

Penglihatan

Normal Jumlah

n % n % n % n %

Sek. Keb. Seri Makmur 7 13,5 27 51,9 18 34,6 52 100,0 Sek. Agama Tahfiz Al-Quran 11 15,7 33 47,1 26 37,1 70 100,0

Sumber : Data Primer

(42)

Tabel 5.8 and Grafik 5 menunjukkan karakteristik jenis sekolah sebagai faktor resiko miopia. Sekolah Kebangsaan Seri Makmur sebagai representasi dari sekolah negeri dan Sekolah Agama Tahfiz Al-Quran sebagai representasi sekolah swasta di Sungai Besar, Selangor. Dari 122 sampel diperoleh 52 orang (42,6%) daripada Sekolah Kebangsaan Seri Makmur, manakala 70 orang (57,4%) daripada Sekolah Agama Tahfiz Al-Quran.

Dari 52 orang siswa Sekolah Kebangsaan Seri Makmur, didapatkan 7 orang (13,5%) yang menderita miopia, 27 orang (51,9%) memiliki gangguan penglihatan dan 18 orang (34,6%) daripadanya normal. Sekolah Agama Tahfiz Al-Quran memiliki lebih banyak siswa yang menderita miopia yaitu sebanyak 11 orang (15,7%) dan 33 orang (47,1%) terganggu penglihatannya serta siswa yang normal penglihatannya sebanyak 26 orang (37,1%).

1.6. Karakteristik Kebiasaan Menonton TV sebagai Faktor Resiko Miopia Tabel 5.9 Karakteristik Kebiasaan Menonton TV sebagai Faktor Resiko Miopia

pada Siswa Sekolah Dasar di Sungai Besar, Selangor, Malaysia, 2016.

Variabel Miopia Gangguan

Penglihatan

Normal Jumlah

n % n % n % n %

Memenuhi Syarat 3 4,7 27 42,2 34 53,1 64 100,0

(43)

Memenuhi Syarat Tidak Memenuhi Syarat

Grafik 6. Karakteristik Kebiasaan Menonton TV sebagai Faktor Resiko Miopia padaSiswa Sekolah Dasar di Sungai Besar, Selangor, Malaysia, 2016

Tabel 5.9 dan Grafik 6 menunjukkan karakteristik kebiasaan menonton TV terhadap miopia. Dari 122 sampel diperoleh 64 orang (52,5%) memenuhi syarat dalam perilaku menonton TV dengan benar, sedangkan 58 orang (47,5%) daripadanya tidak memenuhi syarat.

Dari 64 orang yang memenuhi syarat dalam perilaku menonton TV dengan benar hanya 3 orang (4,7%) yang menderita miopia dan 27 orang (42,2%) memiliki gangguan penglihatan manakala terdapat 15 orang (25,9%) yang menderita miopia serta 33 orang (56,9%) terganggu penglihatannya karena tidak memenuhi syarat dalam perilaku menonton TV dengan benar.

1.7. Karakteristik Kebiasaan Membaca sebagai Faktor Resiko Miopia

Tabel 5.10 Karakteristik Kebiasaan Membaca sebagai Faktor Resiko Miopia pada Siswa Sekolah Dasar di Sungai Besar, Selangor, Malaysia, 2016.

Variabel Miopia Gangguan

Penglihatan

Normal Jumlah

n % n % n % n %

(44)

Tidak Memenuhi Syarat 13 26,0 28 56,0 9 18,0 50 100,0 Sumber : Data Primer

Memenuhi Syarat Tidak Memenuhi Syarat 0

10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Kebiasaan Membaca

Miopia

Gangguan Penglihatan Normal

Grafik 7. Karakteristik Kebiasaan Membaca sebagai Faktor Resiko Miopia padaSiswa Sekolah Dasar di Sungai Besar, Selangor, Malaysia, 2016

Tabel 5.10 dan Grafik 7 menunjukkan karakteristik kebiasaan membaca terhadap miopia. Dari 122 sampel diperoleh 72 orang (59,0%) memenuhi syarat dalam perilaku membaca dengan benar, sedangkan 50 orang (41,0%) daripadanya tidak memenuhi syarat.

(45)

1.8. Karakteristik Kebiasaan Bermain Video Game sebagai Faktor Resiko Miopia

Tabel 5.11 Karakteristik Kebiasaan Bermain Video Game sebagai Faktor Resiko Miopia pada Siswa Sekolah Dasar di Sungai Besar, Selangor, Malaysia, 2016.

Variabel Miopia Gangguan

Penglihatan

Normal Jumlah

n % n % n % n %

Memenuhi Syarat 4 6,7 24 40,0 32 53,3 60 100,0

Tidak Memenuhi Syarat 14 22,6 36 58,1 12 19,4 62 100,0 Sumber : Data Primer

Memenuhi Syarat Tidak Memenuhi Syarat 0

10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Kebiasaan Bermain Video Game

Miopia

Gangguan Penglihatan Normal

(46)

Tabel 5.11 dan Grafik 8 menunjukkan karakteristik kebiasaan bermain video game terhadap miopia. Dari 122 sampel diperoleh 60 orang (49,2%) memenuhi syarat dalam perilaku bermain video game dengan benar, sedangkan 62 orang (50,8%) daripadanya tidak memenuhi syarat.

Dari 60 orang yang memenuhi syarat dalam perilaku bermain video game

dengan benar, didapatkan hanya 4 orang (6,7%) yang menderita miopia, 24 orang (40,0%) memiliki gangguan penglihatan dan 32 orang (53,3%) daripadanya memiliki penglihatan normal. Manakala, terdapat lebih banyak siswa yang menderita miopia akibat tidak memenuhi syarat perilaku bermain video game yang benar yaitu sebanyak 14 orang (22,6%).

1.9. Karakteristik Kebiasaan Menggunakan Komputer sebagai Faktor Resiko Miopia

Tabel 5.12 Karakteristik Kebiasaan Menggunakan Komputer sebagai Faktor Resiko Miopia pada Siswa Sekolah Dasar di Sungai Besar, Selangor, Malaysia,

2016.

Variabel Miopia Gangguan

Penglihatan

Normal Jumlah

n % n % n % n %

Memenuhi Syarat 2 4,4 12 26,7 31 68,9 45 100,0

(47)

Memenuhi Syarat Tidak Memenuhi Syarat

Grafik 9. Karakteristik Kebiasaan Menggunakan Komputer sebagai Faktor Resiko Miopia padaSiswa Sekolah Dasar di Sungai Besar, Selangor, Malaysia,

2016

. Tabel 5.12 dan Grafik 9 menunjukkan karakteristik kebiasaan menggunakan komputer terhadap miopia. Dari 122 sampel diperoleh 45 orang (36,9%) memenuhi syarat dalam perilaku menggunakan komputer dengan benar, sedangkan 77 orang (63,1%) daripadanya tidak memenuhi syarat.

Dari 45 orang yang memenuhi syarat dalam perilaku menggunakan komputer dengan benar, didapatkan hanya 2 orang (4,4%) yang menderita miopia, 12 orang (26,7%) memiliki gangguan penglihatan dan 31 orang (68,9%) daripadanya memiliki penglihatan normal. Manakala, terdapat lebih banyak siswa yang menderita miopia akibat tidak memenuhi syarat perilaku menggunakan komputer yang benar yaitu sebanyak 16 orang (20,8%) dan hanya13 orang (16,9%) yang memiliki penglihatan normal.

(48)

6.1. Prevalensi Miopia

Pendidikan sekolah dasar adalah tahun pendidikan paling penting karena pada ketika inilah anak-anak memperoleh proses pembelajaran yang banyak. Dengan demikian, ketajaman visual yang baik pada anak-anak adalah penting untuk memastikan potensi pendidikan yang optimal. Subyek dipilih untuk penelitian ini diwakili oleh siswa dari sekolah dasar negeri dan juga sekolah dasar swasta, distribusi jenis kelamin yang hampir serata, dan tidak mengambil kira dari segi ras.

Berdasarkan definisi dari WHO dan definisi operasional yang diambil dalam penelitian ini subjek dianggap menderita miopia apabila diperoleh tajam penglihatan <6/18 dari hasil pemeriksaan. Tabel 5.3 menunjukkan bahwa responden dengan gangguan penglihatan memiliki jumlah yang lebih banyak daripada responden dengan tajam penglihatan yang normal maupun menderita miopia. Dimana dalam hasil penelitian ini hanya ditemukan 14,7% responden yang menderita miopia. Sedangkan jumlah responden dalam kategori gangguan penglihatan ditemukan sebanyak 49,2% dari total responden.

Adapun faktor resiko terjadinya miopia seperti riwayat keluarga, usia, jenis kelamin, status ekonomi keluarga, pekerjaan orang tua, kebiasaan waktu tidur, perilaku melihat jarak dekat, aktivitas di luar ruangan serta kondisi psikologis. Pada penelitian ini diutamakan faktor resiko : keturunan, jenis kelamin, status ekonomi keluarga, pekerjaan orang tua, jenis sekolah, dan perilaku melihat jarak dekat saat menonton TV, membaca, bermain video game dan menggunakan komputer.

6.2. Faktor Keturunan dan Miopia

(49)

Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini, terdapat 36 orang subjek yang memiliki keluarga dengan miopia, 10 orang daripadanya menderita miopia. Sedangkan 86 orang subjek yang tidak memiliki keluarga dengan miopia, 8 orang diantaranya juga menderita miopia. Dari hasil penelitian ini menujukkan bahwa faktor resiko keturunan memainkan peran penting dalam kejadian miopia pada siswa sekolah dasar di Sungai Besar, Selangor.

Hal ini sejalan dengan penelitian Morgan dan Kathryn26 yang menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang jelas antara faktor keluarga terhadap kelainan refraksi dan panjang axis bola mata. Disebutkan dalam penelitian tersebut bahwa pada familial miopia terjadi lokalisasi kromosom yang jelas dan pada beberapa kasus, mutasi genetik. Penelitian lain yang dilakukan pada siswa sekolah dasar (usia 6-12 tahun) di Singapura tahun 1996-1999 menunjukkan bahwa 100 orang dari 153 orang responden menderita miopia. Dan progresivitasnya berkisar 0,5 D sampai 1,0 D pertahun menurut penelitian oleh Dorothy dan Lisa.14

6.3. Karakteristik Responden dan Miopia 6.3.1. Jenis kelamin dan miopia

Pada hasil penelitian terdapat 60,7% responden perempuan yang menderita miopia dan gangguan penglihatan. Jumlah ini lebih banyak dibandingkan dengan responden laki-laki dengan 39,3%. Hal ini sejalan dengan penelitian Aniza, dkk27 yang memperoleh hasil yang sama dimana jumlah responden perempuan lebih banyak yang menderita miopia daripada responden laki-laki. Hal ini terjadi oleh karena perempuan cenderung memiliki aktifitas seperti membaca yang lebih banyak sehingga menjadi salah satu faktor resiko mengidap miopia.

(50)

6.3.2. Status ekonomi dan miopia

Dari hasil penelitian ditemukan status ekonomi keluarga tidak memainkan peran terhadap kejadian miopia pada pelajar sekolah dasar di Sungai Besar, Selangor. Terdapat 14,3% responden dengan kondisi ekonomi menengah ke atas menderita miopia, sedangkan terdapat 16,7% responden yang menderita miopia berasal dari keluarga dengan status ekonomi menengah ke bawah. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian menurut Sheng You,dkk7 bahwa pelajar yang berasal dari keluarga dengan penghasilan lebih tinggi lebih cenderung menderita miopia.

6.3.3. Pekerjaan orang tua dan miopia

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pekerjaan orang tua cukup berpengaruh terhadap terjadinya miopia. Jumlah responden dengan miopia maupun gangguan penglihatan berjumlah sangat banyak yang berasal dari keluarga yang bekerja pada institusi non-pemerintah sebanyak 54 orang daripada 94 orang semuanya.

Hal ini sejalan dengan penelitian di Beijing bahwa pelajar yang memiliki orang tua dengan pekerjaan dan tingkat pendidikan yang lebih baik beresiko lebih tinggi terkena miopia.7

6.3.4. Jenis sekolah dan miopia

Berdasarkan hasil yang diperoleh, jenis sekolah swasta memberikan pengaruh terhadap terjadinya miopia pada siswa sekolah dasar di Sungai Besar, Selangor. Hal ini dapat disebabkan sekolah swasta berkait rapat dengan status ekonomi keluarga yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang belajar di sekolah negeri. Menurut penelitian di Singapura, Australia, maupun di Jogjakarta, jenis sekolah yang memberikan kontribusi terhadap terjadinya miopia adalah sekolah yang terletak di daerah urban (kota) bila dibandingkan dengan sekolah di daerah rural (desa). Sehingga lokasi sekolah-lah yang memberikan kontribusi terhadap miopia pada pelajar. 2,3,6

6.4. Perilaku Melihat Jarak Dekat dan Miopia

(51)

kejadian miopia diberbagai belahan dunia. Dimana ketika mata melihat pada jarak dekat, maka bola mata akan memanjang untuk memaksimalkan ketajaman gambar pada retina. Bila hal ini dipertahankan dalam jangka waktu panjang dan konstan maka dapat menyebabkan penurunan penglihatan yang permanen. Penglihatan jauh akan menjadi kabur karena mata “dipaksa” fokus secara berlebihan.10,11,12 Selain itu, melihat dengan pencahayaan redup dapat memperberat terjadinya miopia oleh karena cahaya merupakan salah satu faktor protektif terhadap miopia. Melakukan aktivitas jarak dekat dengan pencahayaan yang cukup akan meningkatkan jumlah dopamin yang dikeluarkan dari retina. Dimana dopamin merupakan penghambat elongasi axis bola mata.7

6.4.1. Kebiasaan menonton televisi dan miopia

Hasil penelitian menunjukkan bahwa menonton televisi (TV) pada jarak dekat dan dalam waktu lama dapat meningkatkan resiko terkena miopia, dimana responden yang mengalami gangguan penglihatan dan miopia akibat tidak memenuhi syarat dalam perilaku menonton TV yang benar adalah sebanyak 33 orang (56,9%) dan 15 orang (25,9%) masing-masing.

Aktivitas visual yang paling banyak dilakukan oleh siswa sekolah dasar adalah menonton TV. Dengan tingginya akses terhadap media ini serta rendahnya pengawasan orang tua dapat memperberat kejadian miopia pada pelajar. Hal ini sejalan dengan penelitian oleh Aniza,dkk27 bahwa menonton TV memberikan pengaruh terhadap terjadinya miopia pada pelajar sekolah dasar di Beranang, Selangor.

6.4.2. Kebiasaan membaca dan miopia

(52)

memberi pengaruh terhadap miopia.

6.4.3 Kebiasaan bermain video game dan miopia

Perilaku bermain video game memberikan hasil signifikan terhadap terjadinya miopia. Hal ini karena berdasarkan penelitian, lebih banyak siswa yang mengidap miopia akibat tidak memenuhi syarat bermain video game yang benar. Siswa yang bermain video game dengan jarak dekat dan waktu lama dapat beresiko lebih tinggi terkena miopia. Dengan perkembangan teknologi saat ini, banyak siswa sekolah dasar yang telah memiliki telepon genggam maupun difasilitasi dengan media permainan lainnya seperti, Playstation, PSP maupun permainan video game online di komputer. Tidak jarang siswa sekolah dasar juga mengunjungi tempat penyewaan atau warung internet untuk menyalurkan keinginan mereka dalam bermain. Kecilnya ukuran layar, intensitas dan durasi media video game yang dimainkan turut menimbulkan pengaruh terhadap terjadinya miopia. Hal ini sejalan dengan penelitian oleh Sheng You,dkk7 bahwa terdapat pengaruh bermain video game dengan jarak dekat dan waktu lama terhadap miopia.

6.4.4. Kebiasaan menggunakan komputer dan miopia

(53)

Hongkong, Beijing maupun Yunani menunjukkan bahwa memang terdapat hubungan antara penggunaan komputer jarak dekat dalam waktu lama dapat menimbulkan miopia.2,3,7

BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

1. Riwayat miopia dalam keluarga merupakan salah satu faktor resiko yang dapat meningkatkan resiko kejadian miopia pada setiap individu.

2. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, golongan perempuan lebih beresiko mendapat miopia.

3. Menurut penelitian ini, dapat disimpulkan bahawa status ekonomi keluarga dan pekerjaan orang tua memainkan peran terhadap kejadian miopia pada siswa di sekolah dasar di Sungai Besar, Selangor.

(54)

5. Perilaku melihat jarak dekat seperti ketika menonton televisi, membaca, bermain video game dan menggunakan komputer amat berpengaruh terhadap kejadian miopia pada siswa sekolah dasar di Sungai Besar, Selangor.

7.2 Saran

1. Siswa dengan tajam penglihatan menurun segera diperiksa ke dokter mata 2. Edukasi dari orang tua dan pihak sekolah kepada siswa untuk mengurangi

perilaku melihat jarak dekat yang salah demi mencegah terjadinya miopia pada pelajar sekolah dasar

(55)

DAFTAR PUSTAKA

1. WHO. 2010, Global Data on Visual Impairments 2010. [on line], Dari: http://www.who.int./ [12 Januari 2016]

2. Junghans BM, Crewther SG. Little evidence for an epidemic of miopia in Australian primary school children over the last 30 years. BMC Ophthalmology 2005; Feb; 5:1. Dari: http://www.biomedcentral.com/

3. Fan DS, et al. Prevalence, Incidence, and Progression of Miopia of School Children in Hong Kong. Invest Ophthalmol Vis Sci.2004; April; 45:1071– 1075

4. Rahman B.R. Miopia di Kalangan Kanak – Kanak. [online] Januari 2016. Dari: http://www.utusan.com.my/ [13 Januari 2016]

5. Tiharyo I, Gunawan W, Suhardjo. Pertambahan Miopia Pada Anak Sekolah Dasar Daerah Perkotaan dan Pedesaan Di Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Oftalmologi Indonesia Vol. 6, No. 2, Agustus 2008 : Hal. 104 - 1 12 6. You, et al. Faktors Associated with Miopia in School Children in China: The

Beijing Childhood Eye Study. PLoS ONE 2012; Des; 7(12): e52668. 7. Season of Birth, Natural Light, and Miopia diakses 13 Januari 2016 8. WHO: Visual impairment and blindeness diakses 13 Januari 2016

9. A Konstantopoulos, G Yadegarfar, M Elgohary. Near worrk, education, family history, and miopia in Greek conscripts. Eye(2008)22,542–546. Dari:

http://www.v2020la.org/

10. Prevalence of Refractive Errors in Primary School Children 7-15 years of qazvin city diakses 14 Januari 2016

11. Barliana JD, Mangunkusumo VW. Prevalensi dan faktor resiko miopia pada pelajar kelas tiga dan enam sekolah dasar. Oftalmologica Indonesiana 2005;32:74-83.

12. Renardi ANC. Prevalensi kebutaan akibat kelainan refraksi di Kabupaten Langkat [tesis]. Universitas Sumatera Utara. 2009.

13. Sardegna J, Shelly S, Rutzen AR, Steidl SM. The Encyclopedia of Blindness and Vision Impairment 2nd Edition. New York : Facts On File Inc., 2002 ; 195 14. Dandona L, Dandona R. Refractive error blindness. Bulletin of World Health

Organization 2001; 237 – 43.

15. Ilyas S. Ilmu penyakit mata. Ed 2. Jakarta: Balai penerbit FKUI. 2002

(56)

17. Philmena MT. Effectiveness Of Planned Teaching Programme On Eye Health Problems Of School Children Among Rural Primary School Teachers Of Selected Schools In Bangalore [Dissertation]. Rajiv Gandhi University.2010. http://www.eurojournals.com/ejsr_28_2_01.pdf

18. Patu I. Kelainan refraksi. [online]. 2010. Dari: http://cpddokter.com/ [14 Januari 2016 ].

19. Basic and clinical science course section 3: optics, refraction and contac lenses. USA: American Academy of Ophtalmology. 1997. P:118

20. Vaughan DG, Asbury T, Eva PR. Oftalmologi umum. Ed 14. Jakarta: Widya Medika. 2000.

21. Komunitas dan Perpustakaan Online Indonesia. Hal umum penyebab mata menjadi rabun jauh/miopi/miopia [online].2009. Dari : http://organisasi.org/. [ 14 Januari 2016 ].

22. Media informasi obat dan penyakit. [online]. 2012. Dari: http://medicastore.com/.[ 14 Januari 2016 ].

23. Media Online Klik Dokter. [online]. 2012. Dari: http://www.klikdokter.com/ [ 14 Januari 2016 ].

24. Saw SM, Koh D, Lee J, et all. Prevalence rates of refractive errors in sumatra, Indonesia. Investigative Ophtalmology & Visual Science. Vol 43, No.10. 2002. 3174

25. Lapau,B. Metode penelitian kesehatan: Metode ilmiah penulisan skripsi, tesis dan disertasi. Edisi revisi.Jakarta: YOI.2013.

26. Morgan I, Kathryn R, How Genetic Is School Myopia, Retinal and Eye Research. 24(1) 1-38, 2004

Gambar

Gambar 2.1. Bagian-bagian bola mata10
Gambar 2.2. Proses melihat 9,10
Tabel 2.1. Klasifikasi terhadap gangguan penglihatan menurut WHO-ICD 2007
Gambar 2.3. Mata miopia dan koreksinya.17
+7

Referensi

Dokumen terkait

Nomor CM.UPH.17.41 tanggal 02 Mei 2017 perihal Penetapan Pemenang Pengadaan Jasa Pemborongan Pekerjaan Pemasangan Lampu PJU LED dan Penggantian Kabel Tanah PJU

Seiring peningkatan fraksi berat serbuk karet dalam matrik epoxy maka rongga yang terbentuk dalam komposit akan semakin sedikit sehingga komposit akan lebih kuat saat

oryzae (Xoo). Kehilangan yang diakibatkan oleh penyakit tersebut di Indonesia mencapai 70 – 80%, di India mencapai 74 – 81% dan Jepang mencapai 20 – 50%, sehingga menyebabkan

Berdasarkan pengumpulan data validasi yang telah dilakukan oleh penilaian validator ahli media, ahli materi, dan siswa kelas IX, diperoleh persentase rata-rata sebesar

[r]

Brantas Teknik Unggul untuk dapat meningkatkan kinerja perusahaan : • Meningkatkan frekuensi pelatihan pada karyawan terkait pelaksanaan Sistem Manajemen Mutu ISO 9001 : 2008

Penampang

Data harus selalu diproses dalam bentuk tertentu. Untuk menerima